BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Hasil Belajar
2.1.1
Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Dalam proses belajar akan ada perubahan yang diperoleh. Perubahan itu dinamakan hasil belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran. Menurut Oemar Hamalik hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Menurut Agus Supriyono, hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilainilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne, haasil belajar berupa : a. Informasi Verbal yaitu kapabilitaas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan respon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik.
Kemampuan tersebut tidak
memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan. b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri ari kemampuan mengategorasi, kemampuan analitis-sintetis, fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-
5
6
prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual
merupakan kemampuan
melakukan aktivitas kognitif bersifat khas. c. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmanidalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. Menurut Bloom, hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Domain
kognitif
adalah
knowledge
(pengetahuan,ingatan),
comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), aplication (menerapkan),
analysis
(menguraikan,
menentukan
hubungan),
syntetis
(mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respon), valuing ( nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotorik juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Tujuan belajar taksonomi Bloom dalam pembelajaran meliputi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah psikomotorik, dan ranah afektif. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll (2001). Revisi Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi (C6). Berikut ini akan diuraikan secara singkat ke - 6 jenjang proses berpikir tersebut: 1) Ingatan (C1), merupakan jenjang proses berpikir yang paling sederhana. Butir soal akan dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir ingatan, jika butir soal tersebut hanya meminta pada peserta didik untuk mengingat kembali tentang segala
7
sesuatu yang telah diajarkan dalam proses pembelajaran, seperti mengingat nama, istilah, rumus, gejala, dan sebagainya tanpa menuntut kemampuan untuk memahami atau menggunakannya; 2). Pemahaman (C2), merupakan jenjang proses berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir pemahaman, jika butir soal tersebut tidak hanya meminta pada peserta didik untuk mengingat kembali tentang segala sesuatu yang telah diajarkan dalam proses pembelajaran, tetapi peserta didik tersebut harus mengerti, dapat menangkap arti dari materi yang dipelajari serta dapat melihatnya dari beberapa segi; 3). Penerapan (C3), merupakan jenjang proses berpikir yang setingkat lebih tinggi dari pemahaman. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir penerapan, jika butir soal tersebut meminta pada peserta didik untuk memilih, menggunakan, atau menggunakan dengan tepat suatu rumus, metode, konsep, prinsip, hukum, teori, atau dalil jika dihadapkan pada situasi baru; 4). Analisis (C4), merupakan jenjang proses berpikir yang setingkat lebih tinggi dari penerapan. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir analisis, jika butir soal tersebut meminta pada peserta didik untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan antar bagian tersebut; 5). Evaluasi (C5), merupakan jenjang proses berpikir yang lebih kompleks dari analisis. Butir soal dikatakan mengukur kemampuan proses berpikir evaluasi, jika butir soal tersebut meminta pada peserta didik untuk membuat pertimbangan atau menilai terhadap sesuatu berdasarkan kriteria-kriteria yang ada; 6). Membuat (C6), menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Yang harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagaimana tersebut diatas tidak dilihat secara fragmentasi atau terpisah, melainkan komprehensif. Jadi, hasil belajar adalah hasil perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dari hasil pengalaman/pembelajaran yang membuat siswa dari tidak tahu menjadi tahu, belum bisa menjadi bisa dan hasil tersebut dapat berupa kemajuan
8
untuk diri siswa maupun sesuatu hal yang buruk yang dimilikinya dari hasil pengalaman yang di dapat dengan interaksi terhadap lingkungannya. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil tes yang diberikan guru kepada siswa untuk mengetahui batas dan kemampuan yang telah dicapai siswa dari hasil proses pembelajaran. Tes yang dimaksudkan itu sendiri adalah prosedur pengukuran yang sengaja dirancang secara sistematis, untuk mengukur atribut tertentu, dilakukan dengan prosedur administrasi dan pemberian angka yang jelas dan spesifik, sehingga hasilnya relatif ajeg bila dilakukan dalam kondisi yang relatif sama, tes pada umumnya berisi sampel perilaku, cakupan butir tes yang bisa dibuat dari suatu materi tidak terhingga jumlahnya, yang secara keseluruhan mungkin mustahil dapat tercakup dalam tes, sehingga tes harus dapat mewakili kawasan (domain) perilaku yang diukur, untuk itu perlu pembatasan yang jelas, tes menghendaki subjek agar menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang dipelajari dengan cara menjawab atau mengerjakan tugas dalam tes. Respon subjek atas tes merupakan perilaku yang ingin diketahui dari penyelenggaraan tes, karena tes memang mengukur perilaku, sebagai manifestasi atribut psikologis yang mau diukur. Cara untuk mencari hasil belajar dapat dapat dicari dengan pengukuran. Hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu dengan teknik tes dan non tes namun pada umumnya pengajar lebih banyak menggunakan tes sebagai alat ukur dengan rasional bahwa tingkat obyektivitas evaluasi lebih terjamin, hal ini tidak sepenuhnya benar. Cara untuk mencari hasil belajar dapat melalui : a. Teknik tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan oleh orang yang dites, dan berdasarkan hasil menunaikan tugas-tugas tersebut, akan dapat ditarik kesimpulan tentang aspek tertentu pada orang tersebut. b. Teknik nontes dapat dilakukan dengan observasi baik secara langsung ataupun tak langsung, angket ataupun wawancara. Dapat pula dilakukan dengan sosiometri, teknik non tes digunakan sebagai pelengkap dan digunakan sebagai pertimbangan tambahan dalam pengambilan keputusan penentuan kualitas hasil belajar, teknik ini dapat bersifat lebih menyeluruh pada semua aspek kehidupan anak.
9
Untuk mencari hasil belajar dengan cara teknik tes terdapat evaluasi sebagai berikut : a. Evaluasi Formatif, yakni penilaian yang dilaksanakan pada setiap akhir pokok bahasan, tujuannya untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap pokok bahasan tertentu. b. Evaluasi Sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan pada akhir satuan program tertentu, (catur wulan, semester atau tahun ajaran), tujuannya untuk melihatprestasi yang dicapai peserta didik selama satu program. c. Evaluasi Diagnostik, yaitu penilaian yang dilakukan untuk melihat kelemahan siswa dan faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab, dilakukan untuk keperluan pemberian bimbingan belajar dan pengajaran remidial. d. Evaluasi penempatan (placement), yaitu penilaian yang ditujukan untuk menempatkan siswa sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. e. Evaluasi Seleksi, yakni penilaian yang ditujukan untuk menyaring atau memilih orang yang paling tepat pada kedudukan atau posisi tertentu. Hasil tes belajar dapat dianalisis dari tes yang diberikan. Jenis tes yang diberikan, diantaranya : a. Tes Lisan Pertanyaan secara lisan masih sering digunakan untuk mengukur daya serap peserta didik pada kawasan kognitif. b. Tes Pilihan Ganda Ketika Anda mengembangkan tes pilihan ganda hendaknya memperhatikan sepuluh pedoman penulisannya yaitu: soal harus jelas, isi pilihan jawaban homogen dalam arti isi, panjang kalimat pilihan jawaban relatif sama, tidak ada petunjuk jawaban benar, hindari mengggunakan pilihan jawaban “semua benar “ atau “semua salah”, pilihan jawaban angka diurutkan, pilihan jawaban logis dan tidak menggunakan negatif ganda, kalimat yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta tes, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan baku, dan letak pilihan jawaban benar ditentukan secara acak. c.
Bentuk Tes uraian Obyektif
10
Bentuk ini tepat digunakan untuk bidang Matematika dan IPA, karena kunci jawabannya hanya satu. d.
Bentuk Tes Uraian Tes ini menuntut siswa menyampaikan, memilih, menyusun, dan memadukan gagasan dan ide-idenya dengan menggunakan kata-katanya sendiri.
e.
Bentuk Tes jawaban Singkat Tes ini mengharuskan siswa menuliskan jawaban singkatnya sesuai dengan petunjuk.
f.
Bentuk Tes Menjodohkan Pengerjaan tes ini dilakukan dengan menjodohkan atau memasangkan suatu premis dengan daftar kemungkinan jawaban, dan suatu petunjuk untuk menjodohkan masing-masing premis itu dengan satu kemungkinan jawaban.
g.
Bentuk Tes Unjuk Kerja (Performance) Tes bentuk ini sering pula diklasifikasikan dalam bentuk penilaian autentik atau penilaian alternatif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah di kehidupan nyata. Tes atau soal ujian merupakan alat ukur yang memiliki fungsi ganda yaitu
untuk mengukur efektivitas belajar dan mengukur efektivitas guru dalam mengajar. Untuk dapat menjadi alat ukur yang baik dan dapat memberikan informasi yang akurat maka setiap soal sebagai bagian dari konstruksi tes harus dijaga kualitasnya. Kualitas instrumen sebagai alat ukur ataupun alat pengumpul data diukur dari kemampuan alat ukur tersebut untuk dapat mengungkapkan dengan secermat mungkin fenomena-fenomena ataupun gejala yang diukur. Kualitas yang menunjuk pada tingkat keajekan, kemantapan serta konsistensi dari data yang diperoleh itulah yang disebut dengan validitas dan reliabilitas.
2.1.2
Pembelajaran Matematika Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang
berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran.
11
Matematika merupakan alat dan bahasa dasar banyak ilmu. Menurut Roy Hollands (Kamus Matematika:1995) ”matematika adalah suatu sistem yang rumit tetapi tersusun sangat baik yang mempunyai banyak cabang. Pada suatu tingkat rendah ada ilmu hitung, aljabar (bagian dari matematika dan perluasan dari ilmu hitung, yang banyak digunakan diberbagai bidang disiplin lain, misal fisika, kimia, biologi, teknik, komputer, industri, ekonomi, kedokteran dan pertanian) dan ilmu ukur, tetapi setiap ini telah diperluas pada tingkat yang lebih tinggi dan banyak cabang baru yang bertambah seperti ilmu ukur segitiga, topologi ,mekanika, dinamika, statistika, peluang, analisis, logika dan banyak lagi yang lainnya. Matematika adalah mata pelajaran yang mempelajari tentang bilangan dan ruang yang mempunyai berbagai cabang seperti hitung, pengukuran, statistik, dll. Matematika termasuk ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran, yang berdiri sendiri dan bukan cabang dari ilmu alam. Sesuai Permendiknas UU No. 20 th 2003 tentang standar isi, Matematika merupakan mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari program Paket A untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika dalam dokumen ini disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.
12
Tabel. 2.1.2.1 SK dan KD Matematika Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Geometri dan Pengukuran 6. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun
6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar 6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang 6.3 Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana 6.4 Menyelidiki sifat-sifat kesebangunan dan simetri 6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar dan bangun ruang sederhana
2.1.3
Teori Belajar Dienes Teori belajar Dienes sangat terkait dengan teori belajar yang dikemukakan
oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Piaget adalah orang pertama yang menggunakan filsafat konstruktivis dalam proses belajar mengajar. Piaget (dalam Bell, 1981), berpendapat bahwa proses berpikir manusia merupakan suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual kongkret ke abstrak berurutan melalui empat tahap perkembangan, sebagai berikut: 1.
Periode Sensori Motor (0 – 2) tahun. Karateristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan meraba-raba objek.
13
2.
Periode Pra-operasional (2 – 7) tahun. Operasi yang dimaksud di sini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak di dalam berpikirnya tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika.
3.
Periode operasi kongkret (7 – 12) tahun. Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan menjadi operasional. Periode ini disebut operasi kongkret sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objekobjek. Operasi kongkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-kongkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalamanpengamanan yang khusus. Pengerjaan-pengerjaaan logika dapat dilakukan dengan berorientasike objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak.
4.
Periode Operasi Formal (> 12) tahun. Periode ini merupakan tahap terakhir dari keempat periode perkembangan intelektual. Periode operasi formal ini disebut juga disebut periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkmbangan intelektual
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap siswa. Dasar nya bertumpu pada Pieget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Teori belajar Dienes yang menekankan pada tahapan permainan yang berarti pembelajaran yang diarahkan pada proses melibatkan anak didik dalam belajar. Hal ini berarti proses pembelajaran dapat membangkitkan dan membuat anak didik senang dalam belajar. Oleh karena itu teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Berikut ini akan dijelaskan secara singkat tentang PAKEM.
14
Dienes (dalam Ruseffendy, 1992) dan Dienes (Nyimas Aisyah dkk:2008) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara strukturstruktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Menurut Dienes (Nyimas Aisyah dkk:2008), konsep-konsep Matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahaptahap belajar yang boleh dilakukan satu tahap maupun gabungan tahap yang saling berurutan. Tahap-tahap itu menjadi beberapa, yaitu: a. Permainan Bebas (Freeplay) Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsepkonsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi. Dalam permainan ini bisa menggunakan permainan apa saja yang dapat mengkonkretkan materi ke dunia nyata. Siswa dapat berfikir dan biarkan imajinasinya timbul untuk memecahkan masalah matematika yang diberikan. b. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti polapola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui
15
permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. c. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. d. Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. e. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) Simbolisasi
termasuk
tahap
belajar
konsep
yang
membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak. f. Permainan dengan Formalisasi (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
16
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Permainan Interaktif untuk Belajar Matematika Menurut Ruseffendi (1992), untuk dapat mengajarkan konsep matematika pada anak dengan baik dan mudah dimengerti, maka materi yang akan disampaikan hendaknya diberikan pada anak yang sudah siap intelektualnya untuk menerima materi tersebut. Contoh, meskipun anak berumur 3 tahun sudah dapat menghitung angka 1 –10, tetapi dia belum mengerti bilangan 1, 2, dan seterusnya. Oleh karena itu, dia akan kesulitan jika harus belajar tentang bilangan. Agar anak dapat mengerti materi matematika yang dipelajari, maka dia harus sudah siap menerima materi tersebut. Salah satu hal yang menyenangkan bagi anak didik di SD adalah permainan, karena dunia anak tidak lepas dari permainan. Menurut Monks (terjemahan Pitajeng, 2005) anak dan permainan merupakan dua pengertian yang hampir tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini berarti bahwa anak-anak tidak dapat dipisahkan dari permainan. Bagi anak, bermain merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan. Adalah merupakan suatu tindakan yang kejam dan tidak adil jika ada orang tua yang membebani anaknya dengan berbagai kegiatan belajar, les, atau kursus sampai anak kehilangan waktu bermainnya, meskipun dengan dalih untuk mempersiapkan masa depan anak. Padahal kenyataannya tidak anak saja yang suka bermain, remaja bahkan orang dewasa pun masih suka bermain. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijaksana jika seseorang anak dijauhkan dari permainan atau dilarang untuk bermain. Permainan merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, terutama anak-anak. Menurut Ahmadi (dalam Firmanawaty, 2003), permainan adalah suatu perbuatan yang mengandung keasyikan dan dilakukan atas kehendak sendiri, bebas tanpa paksaan, dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan pada waktu melakukan kegiatan tersebut. Dengan demikian, jika seorang anak melakukan kegiatan dengan asyik, bebas, dan mendapat kesenangan pada waktu melakukan kegiatan tersebut, maka anak itu merasa sedang bermain-main. Jika pendapat ini
17
diterapkan pada pembelajaran matematika, maka pembelajaran itu merupakan hal yang menyenangkan bagi anak. Permainan interaktif merupakan suatu permainan yang dikemas dalam pembelajaran, sehingga anak didik menjadi aktif dan senang dalam belajar. Oleh karena itu, jika guru dapat mengemas permainan sebagai media maupun pendekatan dalam belajar matematika bagi anak, maka anak akan senang belajar matematika sehingga menjadi efektif untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal Kelebihan belajar Dienes diantaranya : 1) Dengan menggunakan benda-benda konkret, siswa dapat lebih memahami konsep dengan benar. 2) Susunan belajar akan lebih hidup, menyenangkan, dan tidak membosankan. 3) Dominasi guru berkurang dan siswa lebih aktif. 4) Konsep yang lebih dipahami dapat lebih mengakar karena siswa membuktikannya sendiri. 5) Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat menerapkan kedalam situasi yang lain. Teori belajar Dienes bersumber pada
perkembangan Piaget yang
membagi manusia dalam beberapa tahap perkembangan yang telah dikembangkan kembali oleh Dienes yang diorientasikan pada anak-anak, sehingga menjadi lebih menarik untuk anak-anak. Sesuai dengan yang diungkapkan Dienes maka siswa akan lebih memahami pembelajaran matematika jika diajarkan menggunakan benda-benda nyata dan dalam bentuk permainan.
2.1.4
Pembelajaran Kooperatif tipe TGT(Teams Game Tournament) Pembelajaran
kooperatif
merupakan
strategi
pembelajaran
yang
menitikberatkan pada pengelompokan siswa secara heterogen kedalam kelompok kecil. Siswa diajarkan keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada teman kelompoknya, meghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur dan siswa pandai membantu siswa yang lemah.
18
Teams Games Tournament pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwars merupakan metodepembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang disampaikan guru dan tim kerja juga menggunakan tournament akademik. Dalam tournament dapat menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalahmasalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temanya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual. Menurut Ani Kurniasari dalam penelitiannya TGT (Teams Game Tournament)
merupakan salah satu model pembelajarankooperatif dengan
dibentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri tiga sampai lima siswa yang heterogen baik dalam prestasi akademik, jenis kelamin, ras, maupun etnis. Dalam TGT ini digunakan turnamen akademik, dimana siswa berkompetisi sebagai wakil dari timnya melawan anggota tim yang lain yang mencapai hasil atau prestasi serupa pada waktu lalu. Langkah-langkah dalam TGT adalah penyajian materi, tim, game, turnamen dan penghargaan kelompok. Penjelasan langkah-langkah seperti berikut : a. Penyajian materi Dalam TGT, materi mula-mula dalam penyajian materi. Siswa harus memperhatikan selama penyajian kelas karena dengan demikian akan membantu mereka mengerjakan kuis dengan baik dan skor kuis mereka menentukan skor kelompok. Materi dapat menggunakan materi kurikulum yang dirancang khusus yang diadaptasi dari buku teks atau sumber lain yang bisa digunakan guru. b. Tim Tim dalam TGT terdiri atas 4-5 siswa dengan prestasi akademik, jenis kelamin, ras, dan etnis yang bervariasi. Fungsi utama kelompok adalah untuk meyakinkan bahwa semua anggota kelompok belajar dapat berhasil dalam kuis. Setelah guru menyampaikan materi, kelompok bertemu untuk mempelajari lembar
19
kerja atau materi lain. Seringkali dalam pembelajaran tersebut melibatkan siswa untuk mendiskusikan soal bersama, membandingkan jawaban dan mengoreksi miskonsepsi jika teman sekelompok membuat kesalahan. Pada anggota kelompok ditekankan untuk menjadi yang terbaik bagi timnya dan tim melakukan yang terbaik untuk membantu anggotanya. Tim merupakan fitur dalam TGT. Tim memberikan dukungan untuk pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan memberikan perhatian, saling menguntungkan dan respek penting sebagai dampak hubungan intergroup, harga diri dan penerimaan dari siswa sekelompok. c. Game Game disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang isinya relevan dan didesain untuk menguji pengetahuan siswa dari penyajian materi dan latihan tim. Game dimainkan oleh tiga siswa pada sebuah meja, dan masing-masing siswa mewakili tim yang berbeda yang dipilih secara acak. Kebanyakan game berupa sekelompok berjalan dan harus memalui pos pos game soal. Setiap kelompok akan diatur waktu oleh guru untuk berpindah pos dan siap untuk menyelesaikan tugas kelompok atau game tersebut. d. Turnamen Turnamen
merupakan
struktur
game
yang
dimainkan.
Biasanya
diselenggarakan pada akhir pekan atau unit, setelah guru melaksanakan penyajian materi dan tim telah berlatih dengan lembar kerja. Turnamen 1, guru menempatkan siswa ke meja turnamen, delapan siswa terbaik pada hasil belajar yang lalu pada meja 1, delapan siswa berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang sama ini memungkinkan siswa dari semua tingkat pada hasil belajar yang lalu memberi kontribusi pada skor timnya secara maksimal jika mereka melakukan yang terbaik. Setelah turnamen satu, siswa pindah meja berikutnya tergantung pada hasil mereka dalam turnamen satu. Pemenang satu pada tiap meja ditempatkan ke meja berikutnya yang setingkat lebih tinggi, misal dari 5 ke 6. Pemenang ini akan membacakan soal yang akan di tournamentkan di meja berikutnya. Pemenang no 2 juga akan membacakan soal setelah pemenang pertama. Dan selanjutnya sampai soal habis terselesaikan di meja tournament.
20
e. Penghargaan kelompok Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain apabila skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu. Menurut Slavin (1995: 80) penghargaan yang diberikan kepada kelompok yang paling unggul. Aturan dalam TGT : a. Persiapan materi harus sudah siap b. Menempatkan siswa ke dalam tim harus tepat sesuai tingkat akademis yang dimilik. Guru dapat melihat dan mengelompokkan dari nilai-nilai pembelajaran sebelumnya. c. Menempatkan siswa ke meja tournamen dengan pembagian dan peraturan yang jelas d. Menentukan skor tim dengan tepat sesuai hasil kerja individu dan kelompok e. Mempersiapkan sertifikat atau bentuk penghargaan lainya. Kelebihan TGT : a. Dapat diterapkan setiap minggu dalam pembelajaran b. Siswa akan menikmati suasana tournament yang selalu berkompetisi dengan kelompok-kelompok yang memiliki kemampuan yang setara c. Kompetisi lebih fair dibandingkan kompetisi dalam pembelajaranpembelajaran tradisional lainnya. d. Dapat menggunakan materi apa saja dalam materi sekolah dasar Kelemahan TGT : a. Siswa terlihat kadang ramai saat pembelajaran berlangsung, khusunya saat tahap game-game kelompok b. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi mendominasi dalam kelompok c. Membutuhkan waktu dan dan suasana yang tepat
2.1.5 Dienes Freeplay Dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Pembelajaran
kooperatif
tipe
TGT
yang
didasari
pada
kerja
kelompok/diskusi memang dapat menumbuhkan kemampuan siswa dalam kerja sama. Namun penngunaaan model TGT akan menumbuhkembangkan sifat
21
persaingan yang tinggi untuk mewujudkanya. Terkadang TGT membuat siswa takut dan minder akan ikut serta dalam turnament. Model pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan
belajar Dienes
freeplay yang mengutamakan pembelajaran menggunakan benda konkrit sebagai medianya dan sebuah permainan dalam pengemasannya. Dengan menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah memahami suatu keadaan atau materi yang dipelajari siswa. Percobaan TGT dengan
belajar Dienes Freeplay akan
dilakukan dan agar lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa. Dengan dilakukannya pengembangan pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan
belajar Dienes Freeplay, diharapkan pembelajaran dapat
berlangsung dengan optimal. Pembelajaran yang dilakukan dengan benda konkrit dan desain permainan dapat menimbulkan minat dan keinginan siswa untuk mengikuti dan memahami materi pembelajaran.
2.1.6 Pembelajaran Konvensional Metode Ceramah Pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran dengan guru lebih banyak mengajar tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang berpusat pada guru dimana hampir seluruh kegiatan pembelajaran dikendalikan oleh guru. Jadi guru memegang peranan utama dalam menentukan proses dan isi belajar termasuk dalam menilai kemajuan siswa (I Wayan Sukra, 2009: 83). Sedangkan menurut Nurhadi (2009: 43) metode konvensional terlihat pada proses siswa menerima informasi secara pasif, siswa belajar secara individual, hadiah/penghargaan untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai angka/raport saja, pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa, dan hasil belajar diukur hanya dengan tes. Dalam pendekatan konvensional yang pembelajarannya berpusat pada guru (teacher-centred approaches), model yang digunakan adalah ceramah. Disebabkan karena model ini relative mudah dalam penyampaiannya. Cara ini
22
kadang akan membuat bosan siswa, maka dalam pelaksanaannya diperlukan ketrampilan tertentu agar penyajiannya tidak membosankan. Menurut Roestiyah (1998: 137) cara mengajar dengan ceramah dapat dikatakan juga sebagai teknik kuliah, merupakan suatu cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau informasi, atau uraian tentang suatu pokok persoalan serta masalah secara lisan. Dalam menerapkan metode ceramah Jusuf Djajadisastra mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut : Tabel 2.1.6.1 Penerapan pembelajaran konvensional di kelas Guru
Siswa
1. Berbicara sepanjang waktu jam 1. Mendengarkan pelajaran tersedia 2. Aktif
sendiri
uaraian
sepanjang
waktu
pelajaran
atau
yang
mencatat
diberikanguru
sepanjang waktu yang tersedia 2. Pasif dalam arti tidak diberikan
3. Mendominasi kelas. Guru
yang
kesempatan
untuk
bertanya,
menentukan semua kegiatan yang
mengemukakan
harus dilaksanakan siswa.
atau bergerak keluar dari kursi atau
4. Menempati suatu tempat kedudukan yang tetap (di belakang meja guru) 5. Komunukasi searah, yaitu guru kepada siswa saja.
pendapat
sendiri
bangkunya. 3. Mengikuti
segala
sesuatu
yang
ditetapkan guru. 4. Menempati temapat duduk yang tetap sepanjang waktu. 5. Komunikasi searah , yaitu hanya dari guru kepada siswa.
Pembelajaran
konvensional
mempunyai
beberapa
kelebihan
dan
kekurangan seperti pendapat yang dikemukakan oleh Sudaryo (1990: 29), yaitu : a. Kelebihan pembelajaran konvensional 1) Murah biayanya karena media pelajaran yang digunakan cukup suara guru
23
2) Mudah mengulangnya kalau diperlukan, sebab guru yang cermat, bahan dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih mudah diterima dan diingat oleh siswa 3) Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang cermat, bahan dapat disampaikan dengan cara yang sanagat menarik, lebih mudah diterima dan diingat oleh siswa 4) Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran 5) Siswa dilatih menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi inti b. Kekurangan pembelajaran konvensional 1) Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang baik, sehingga akan menimbulkan verbalisme. 2) Agak sulit untuk mencerna atau menganalisis materi yang diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan penjelasan atau ceramah guru. 3) Tidak memberikan kesempatan sisiwa untuk “belajar” dan “berbuat”. 4) Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan pelajaran tidak dapat tercapai. 5) Menimbulkan rasa bosan, sehingga materi tidak dapat dicamkan. 6) Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka mengandalakan suara guru saja. Metode ceramah dalam proses pembelajaran dari perspektif mahasiwa atau siswa perlu diperhatikan dosen/guru. Butir-butir penting dibawah ini banyak menguntungkan siswa atau mahasiswa. Ketika dosen menggunakan ceramah sebagai strategi atau metode yaitu : 1. Menyajikan materi secara jelas, logis dan dapat di dengar dengan jelas 2. Memungkinkan mahasiswa menguasai prinsip dasar ilmu 3. Membuat materi bermakna secara jelas 4. Mengkover dasar ilmu secara memadai dan menunjukkan seorang ahli 5. Menjaga kesinambungan matakuliah 6. Membantu dalam uraian dan memasukkan materi yang tidak terakses 7. Mengatur kecepatan bicara, ringkas padat dan jelas 8. Menggambarkan aplikasi praktis dari teori
24
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Dalam Penelitian Ari Wulandari dengan judul penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament sebagai upaya meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar ips ekonomi siswa (studi Pada Siswa
Kelas VIIIF Semester Ganjil SMPN 10 Bandar Lampung TP 2008/2009). Persentase aktivitas siswa yang terkategori aktif pada siklus I sebesar 77,77% dan siklus II sebesar 3, 11%. Peningkatan aktivitas ini terjadi karena guru selalu memperbaiki kinerjanya pada setiap siklus. persentase siswa yang memperoleh nilai >: 65 pada siklus I sebesar 77,14% dan siklus II sebesar 86,48%. Hasil ini menunjukkan aktivitas dan hasil belajar sudah tercapai berdasarkan indikator pencapaiannya yang ditetapkan yaitu 80% siswa aktif dalam proses pembelajaran dan 70% siswa memperoleh nilai >. 65. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatiftipe TGT dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPS Ekonomi Siswa Kelas VIIIF SMP Negeri 10 Bandar Lampung. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh kompetensi professional guru terhadap restasi belajar mata pelajaran PKn siswa kelas X di SMA Al-Kautsar Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2004-2005. Dalam penelitian Ani Kurniasari 2006. Komparasi hasil belajar antara siswa yang diberi TGT (Teams Games Tournament) dengan STAD (Student Teams Achievement Division) hasil analisis tahap akhir dibagi menjadi 3 tahap, analisis aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Pada aspek kognitif diperoleh rata-rata hasil belajar kelas TGT adalah 76,05, sedangkan kelas STAD sebesar 70,13. Hasil analisis diperoleh thitung sebesar 2,992 > ttabel (1,99) yang berarti Ho ditolak yang berarti ada perbedaan hasil belajar aspek kognitif antara kelas TGT dan STAD. Analisis aspek afektif diperoleh nilai rata-rata kelas TGT adalah 73,5 (tinggi). Dalam Wanda Ferdianto bahwa Dienes dalam model STAD dapat berpengaruh terhadap nilai Matematika siswa kelas IV dengan nilai 70,79 menjadi 85,54 dan uji t yang menujukkan hasil Hasil analisis uji t di atas berdasarkan asumsi bahwa varians adalah homogen atau mempunyai varian yang sama, karena signifikansi dari uji F menunjukkan > 0,05 yaitu 0,345. Didapatkan bahwa t
25
hitung sebesar 2.162, nilai signifikansi 0,036. Karena signifikansi pada T Test lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan yang nyata terhadap hasil belajar matematika antara penerapan teori belajar Dienes dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran konvensional. Untuk meningkatkan SDM diperlukan pengembangan dalam pendidikan untuk hasil yang optimal. Komunikasi dua arah antara guru dan siswa atau siswa dengan siswa sehingga terjadi kerjasama yang timbal balik. Salah satu model pembelajaran yang menerapkan kerjasama adalah Kooperatif tipe STAD yang dikembangkan dengan teori belajar Dienes. Penelitian tersebut di atas walaupun berbeda akan tetapi masih berhubungan dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian di atas mendukung penelitian ini. Pada penelitian ini menekankan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada peningkatan hasil belajar dan lebih baik daripada pembelajaran konvensional.
2.3 Kerangka Pikir Banyak siswa yang bermasalah dengan kurang menyukai belajar matematika. Sehingga
siswa kurang berminat untuk
mengikuti
proses
pembelajaran. Matematika yang dianggap sulit untuk dikerjakan. Hal ini disebabkan guru kurang kreatif dalam mengembangkan model pembelajaran, dan dalam proses pembelajaran cenderung guru yang lebih aktif dan siswa hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan guru. Pembelajaran dengan model konvensional seperti itu membuat siswa pasif, dan kesulitan dalam memahami materi yang dipelajari, sehingga hasil belajar yang dicapai menjadi kurang memuaskan. Model pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan
belajar Dienes
freeplay yang mengutamakan pembelajaran menggunakan benda konkrit sebagai medianya dan sebuah permainan dalam pengemasannya. Dengan menggunakan benda konkrit, dan tahap perkembangannya itu siswa dapat lebih mudah memahami suatu keadaan atau materi yang dipelajari siswa. Dienes Freeplay di
26
kolaborasikan dengan TGT yang sekaligus terdapat perlombaan yang memicu siswa untuk mengeksplor kemampuan siswa. Percobaan TGT dengan belajar Dienes Freeplay akan dilakukan dan agar lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa. Dengan menggunakan Dienes Freeplay dalam metode pembelajaran kooperatif tipe TGT diharapkan siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan anggota kelompoknya. Penggunaan metode ini diharapkan siswa menjadi lebih tertarik dan fokus dalam memahami materi yang diberikan sehingga hasil belajar siswa akan meningkat. Kelas
Pre Test
Kontrol
Pembelajaran menggunakan Pembelajaran metode ceramah
Hasil pre test tidak boleh ada perbedaan yang signifikan
Kelas Eksperimen
Pre Test
Post Test
Uji beda hasil posttest apakah ada pengaruh yang positif dan signifikan dengan penggunaan Dienes freeplay dalam TGT
Pembelajaran menggunakan Dienes freeplay dalam model TGT
Gambar 2.3 1. Kerangka Pikir
Post Test
27
2.4 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, kajian, dan kerangka berfikir, maka peneliti dapat mengambil hipotesis sebagai berikut : 1. Dalam penelitian ini bahwa dengan penggunaan Dienes freeplay dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT (X) berpengaruh pada hasil belajar (Y) siswa mata pelajaran matematika kelas V semester genap di SD N Tuntang 02. H0 : μ1= μ2 : “Penggunaan Dienes freeplay dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT (X) tidak berpengaruh pada hasil belajar (Y) siswa kelas IV semester II SD N Tuntang 02.” H1 : μ1≠ μ2 : “Penggunaan Dienes freeplay dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT (X) berpengaruh pada hasil belajar (Y) siswa kelas IV semester II SD N Tuntang 02.” 2. Pembelajaran konvensional di SD N Tuntang 01 H0 : μ1= μ2 :“Penggunaan pembelajaran konvensional tidak berpengaruh pada hasil belajar Matemtika siswa kelas IV semester II SD N Tuntang 01.” H1 : μ1≠ μ2 : “Penggunaan pembelajaran konvensional berpengaruh pada hasil belajar Matematika siswa kelas IV semester II SD N Tuntang 01.” 3. Perbandingan hasil belajar di SD N Tuntang 01-02 H0 : μ1= μ2 : “Penggunaan Dienes freeplay dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT tidak berpengaruh secara signifikan daripada pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa kelas IV semester II SD N Tuntang 01-02.” H1 : μ1≠ μ2 : “Penggunaan Dienes freeplay dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh secara signifikan daripada pembelajaran konvensional pada hasil belajar siswa kelas IV semester II SD N Tuntang 0102.”