BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aging Aging atau penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat
“tua tidak sebaik baru” dan ketika laju kegagalan meningkat
bersamaan dengan peningkatan usia, orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004). Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003). 2.1.1
Definisi aging Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine)
adalah kelemahan dan kegagalan fisik-mental yang berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak
kasus dapat diubah
dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). Webster’s New World Dictionary mendefinisikan aging sebagai proses menjadi tua atau menunjukkan tanda-tanda menjadi tua. Kenyataannya aging dapat 7
8
dibagi menjadi dua konsep yang berbeda, yaitu : usia kronologis dan usia biologis. Pada saat merayakan hari ulang tahun (merayakan usia kronologis), kadang benar bahwa penampilan sistem tubuh seseorang, dari fungsi mental hingga penampilan seksual sampai kekuatan fisik, lebih baik atau lebih buruk dari yang diperkirakan jika dibandingkan dengan orang yang seusianya (ini adalah contoh usia biologis) (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). 2.1.2
Harapan hidup manusia Populasi orang tua di dunia mencapai laju yang sangat luar biasa. Sebagian
besar berhubungan dengan penurunan laju kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup dalam 20 tahun terakhir. Di Eropa, persentase orang berumur 60 tahun atau lebih diperkirakan meningkat sekitar sepertiga sejak tahun 1996 sampai 2025, tergantung masing-masing negara. Di beberapa negara berkembang, persentase orang berumur 60 tahun atau lebih diperkirakan meningkat 200% pada periode yang sama. Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang berkembang, sebagian lagi di negara maju (Beers, 2005). Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2010, di Indonesia terdapat 23.992.552 penduduk usia lanjut. Diperkirakan pada tahun 2020, jumlah penduduk usia lanjut ini sebesar 11,34%. Dengan semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya peubahan fisik, baik tingkat selular, organ, maupun sistem karena proses penuaan (Baskoro dan Konthen, 2008).
9
Dengan semakin banyaknya populasi orang tua didunia, menandakan bahwa harapan hidup manusia semakin meningkat. Harapan hidup manusia berbeda di tiap Negara maupun tiap zaman. Menurut Biro Pusat Statistik, pada tahun 2003 harapan hidup tertinggi di Jepang, yaitu 80,93 tahun (pria 77,63 tahun dan wanita 84,41 tahun), di Amerika Serikat 77,14 tahun (pria 74,37 tahun dan wanita 80,05 tahun), sedangkan di Indonesia pada tahun 1966 usia rata-rata (pria dan wanita) adalah sekitar 50 tahun dan pada tahun 1986 pria 58 tahun, wanita 61 tahun, serta pada tahun 1996 pria 61 tahun wanita 63 tahun (Djuanda, 2005). Dari laporan WHO tahun 2006 menunjukkan usia harapan hidup wanita Swiss pada tahun 2004 mencapai 83 tahun dan prianya 78 tahun, sedangkan orang Indonesia wanita hanya mencapai 68 tahun dan pria hanya 65 tahun (Pangkahila, 2007). Walaupun penuaan kulit merupakan sebagian kecil dari proses penuaan, data yang diperoleh dari National Ambulatory Medical Care Survey di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa selama tahun 19961997, 4,6%
total kunjungan ke pelayanan kesehatan berkaitan dengan masalah
kulit (Gilchrest dan Kurtmann, 2006). Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai
10
organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, padahal usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007). Konsep dan definisi ilmu KAP atau AAM pada awalnya diperkenalkan oleh A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine) pada tahun 1993, definisinya adalah “Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat”. Berbagai upaya dilakukan untuk kaitannya dengan anti-aging, di antaranya terapi sulih hormon, olah raga, nutrisi, dan estetika, bahkan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kedokteran yang baru, dikembangkan pula cell therapy dan stem cell therapy untuk upaya anti-aging (Pangkahila,2007). 2.1.3
Mekanisme pada aging Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang menurunkan
kemampuan sel untuk memperbaiki diri. Terjadi dua fenomena, yaitu penurunan fisiologik (kehilangan fungsi tubuh dan sistem organnya) dan peningkatan penyakit (Fowler, 2003).
11
Menurut Fowler (2003), aging adalah suatu penyakit dengan karakteristik yang terbagi menjadi 3 fase yaitu : 1) Fase subklinik (usia 25-35 tahun) Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, growth hormone (GH), dan estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, seperti diet yang buruk, stress, polusi, paparan berlebihan radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging atau penyakit. Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. 2) Fase transisi (usia 35-45 tahun) Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan massa otot yang mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada tahap ini mulai mncul gejala klinis, seperti penurunan ketajaman penglihatan- pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitan dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Tergantung dari gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat sehingga individu mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang menjadi penyebab dari banyak penyakit aging,
12
termasuk kanker, arthritis, kehilangan daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes. 3) Fase Klinik (usia 45 tahun keatas) Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot sekitar 1 kilogram setiap 3 tahun, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Di antara usia 40 tahun dan 70 tahun, seorang pria kemungkinan dapat kehilangan 20 pon ototnya, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk membakar 800-1.000 kalori perhari. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat, akibat sistem organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama untuk menikmati “tahun emas” dan seringkali adanya ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Prevalensi penyakit kronis akan meningkat secara dramatik sebagai akibat peningkatan usia (Fowler, 2007). Sebenarnya banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program (Pangkahila, 2007). Ada 4 teori pokok dari aging (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu: 1)
Teori “wear and tear”
13
Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. 2)
Teori neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. 3)
Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup. 4)
Teori Radikal Bebas
14
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memilkiki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007). 2.1.4
Faktor yang mempercepat aging Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003),
yaitu :
15
1) Faktor lingkungan a. Pencemaran linkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia sebagai
hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga) akan mempercepat penuaan. b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian
ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh. c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan kekebalan. d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga
menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism). e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit. 2) Faktor diet/makanan. Jumlah nutrisi yang cukup, jenis, dan kualitas makanan
yang tidak menggunakan pengawet, pewarna, perasa dari bahan kimia terlarang. Zat beracun dalam makanan dapat menimbulkan kerusakan berbagai organ tubuh, antara lain organ hati. 3) Faktor genetik
16
Genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya. Tetapi faktor genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi, dan zat racun dalam makanan/minuman/kulit yang diserap oleh tubuh. 4) Faktor psikik Faktor stres ini ternyata mampu memacu proses apoptosis di berbagai organ/jaringan tubuh. 5) Faktor organik Secara umum, faktor organik adalah : rendahnya kebugaran/fitness, pola makan kurang sehat, penurunan GH dan IGF-I, penurunan testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan gangguan circandian clock (ritme harian) selanjutnya kulit dan rambut akan berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stress, perubahan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). 2.2.
Growth Hormone (GH) Growth Hormone (GH) diproduksi oleh sel somatotroph di kelenjar hipofise
anterior secara pulsatil. Sekresi GH dikontrol oleh dua hormone, yaitu Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang merangsang sekresi, dan somatostatin yang menghambat sekresi (Somatotropin Release Inhibiting Factor = SRIF).
17
Kebanyakan sekresi GH terjadi pada malam hari ketika pelepasan somatostatin berkurang. Ada juga GHRH yang lain yaitu ghrellin, yang dilepaskan dari lambung dan bekerja langsung pada sel somatotroph sehingga sekresi GH meningkat (Pangkahila, 2007).
2.2.1 Sintesis, Struktur Kimia dan Karakteristik Umum Anterior pituitary gland secara embryologis berasal dari kantong ektoderm stomodeum, yang dikenal sebagai kantong Rathke (Sadler, 2004). Growth Hormone (GH) diproduksi oleh sel somatotroph di kelenjar hipofise anterior ini secara pulsatil (Pangkahila, 2007).
Somatotroph adalah sel terbanyak jumlahnya pada pituitary dan terkonsentrasi pada bagian sayap lateralnya (Berne, 2000).
18
Gambar 2.1 Formasi Pituitary (Besser & Thorner, 2007)
19
Gambar 2.2 Regulasi Sekresi Growth Hormone (Besser & Thorner, 2007) GH juga dikenal sebagai Human Growth Hormone (HGH), Somatotropic Hormone (STH) dan Somatotropin. Disimpan dalam jumlah besar di pituitary gland manusia dan pituitary normal berisi 3-5 mg GH. Sekresi GH sekitar 500-875 µg perhari (Wilson, 2003).
20
Gambar 2.3 Struktur Kimia HGH (Goldman, 2007) Pelepasan pulsatil ter jadi 4-8 kali pada saat setelah makan atau gerak badan dan selama tidur gelombang lambat, sedangkan waktu paruh hormone di plasma adalah 20-30 menit (Wilson, 2003).
21
Gambar 2.4 Regulasi Sekresi HGH (Ganong, 2005). 2.2.2 Regulasi Sekresi GH Regulasi Sekresi HGH (Ganong, 2005).. Keyakinan ini telah dibuktikan jauh dari kebenaran, karena setelah masa remaja sekresi berlanjut pada nilai sama besar dengan masa kanak-kanak. GH diproduksi oleh sel somatotroph di kelenjar hipofise anterior secara pulsatil. Sekresi GH dikontrol oleh dua hormon, yaitu Growth-hormone-releasing hormone (GHRH) yang merangsang sekresi, dan somatostatin yang menghambat sekresi (Pangkahila, 2007). Kebanyakan sekresi GH terjadi pada malam hari ketika pelepasan somatostatin berkurang. Ada juga GHRH yang lain yaitu ghrellin, yang dilepaskan
22
dari lambung dan bekerja langsung pada sel somatotroph sehingga sekresi GH meningkat (Pangkahila, 2007). Sekresi GH dalam 24 jam yang tertinggi terjadi pada masa pubertas, dan menurun dengan bertambahnya usia (Pangkahila, 2007). Nilai sekresi GH dapat meningkat dalam menit berhubungan dengan keadaan nutrisi individu atau stres selama kelaparan, hipoglikemia, latihan fisik, kegembiraan atau trauma (Guyton, 1997)
23
Gambar 2.5 Efek puasa pada sekresi GH pada subyek pria sehat (Hartman, et al, 1992) Banyak faktor yang mempengaruhi sekresi GH. Sekresi terbesar sekitar 70% nya terjadi pada episode pertama pada gelombang tidur slow-wave. Penurunan gelombang tidur slow-wave dari dewasa muda ke setengah baya adalah parallel dengan penurunan sekresi GH , menunjukkan bahwa perubahan axis GH dapat
24
mencerminkan adanya penurunan kualitas tidur (Van Cauter dkk,1998). Jet lag secara transien dapat juga meningkatkan sekresi GH , sehingga sekresi GH dalam 24 jam secara transien ikut meningkat. Olah raga dan stress fisik, termasuk trauma dengan syok hipovolemik dan sepsis, meningkatkan level GH (Vigas dkk, 1997). Malnutrisi kronik dan puasa yang lama berkaitan dengan meningkatnya pulsasi GH dan amplitudo seperti yang tampak pada Gambar 2.11. Obesitas menurunkan level basal dan sekresi GH, kondisi hipoglikemi yang disebabkan oleh insulin juga dapat menstimulasi GH, dan hiperglikemi menghambat sekresi GH. Namun, hiperglikemi kronik tidak berkaitan dengan level GH yang rendah, sebaliknya pada kenyataannya, diabetes yang tidak terkontrol berkaitan dengan peningkatan level basal GH dan level sekresi GH yang terinduksi oleh olah raga. Makanan tinggi protein dan asam amino intravena (termasuk arginine dan leucine) menstimulasi sekresi GH (Casanueva & Dieguez, 1999). Leptin mempunyai peranan yang penting dalam mengatur masa lemak tubuh, makanan yang dikonsumsi, dan penggunaan energy serta dapat beraksi sebagai sinyal metabolik yang meregulasi sekresi GH (Carro dkk, 1997). Leptin dan NeuropeptidaY menginduksi pelepasan GH. Pada dewasa yang defisiensi GH, konsentrasi leptinnya lebih tinggi dari yang diperikirakan bila diukur dari masa lemak tubuh (AlShoumer dkk, 1997).
25
Neuropeptida, neurotransmitter dan opiate berpengaruh pada hipotalamus dan memodulasi pelepasan GHRH dan SRIF. Efek yang terintegrasi dari neurogenik kompleks ini mempengaruhi pola sekresi dari GH. Apomorfin, reseptor dopa agonis, menstimulasi sekresi GH, seperti pada terapi levodopa. Norepinefrin, klonidin, arginin, olah raga, L-dopa, hormone antidiuretik, endorphin, enkefalin,
galanin,
neurotensin, polipeptida intestinal vasoaktif, motilin, kolesistokinin dan glucagon mempunyai efek yang positif terhadap sekresi GH (Kronenberg dkk, 2007). Isolasi ghrellin mempunyai efek kontrol terhadap regulasi sekresi GH. Ghrellin adalah sebuah asam amino peptide yang mengikat reseptor secretagogue GH untuk menginduksi GHRH hipotalamus dan GH hipofise (Kojima dkk, 1999). Ghrellin disintesa di jaringan perifer, khususnya pada sel neuroendokrin mukosa lambung, sama seperti secara sentral dari hipotalamus (Kronenberg dkk, 2007). Sel somatotroph mengekspresikan reseptor spesifik untuk GHRH, secretagog GH, dan reseptor SRIF subtipe 2 dan 5, yang memediasi sekresi GH (Shimon dkk, 1997). SRIF dan GHRH hipotalamik disekresikan pada gelombang independen dan bersama-sama berinteraksi dengan penambahan secretagog GH untuk menghasilkan pulsasi pelepasan GH. GHRH secara selektif menginduksi transkripsi gen GH dan pelepasan hormone dan tidak menginduksi hormone hipofise anterior atau usus yang lain (Barinaga dkk, 1993). SRIF mensupresi GH basal dan pulsasi GH yang distimulasi oleh GHRH, namun tidak mempengaruhi biosintesis GH. Pemberian GHRH pada dewasa normal menunjukkan peningkatan kadar GH serum yang cepat,
26
dengan nilai yang lebih tinggi lebih banyak terjadi pada wanita. Meskipun GHRH yang matur terdiri dari 44 asam amino, aktifitas pelepasan GH terjadi pada proteolitik bentuk pendek 1-37 dan 1-40 dan N-terminus. GHRH disebut juga mempunyai aktifitas mitotik (Kronenberg dkk, 2007).
Gambar 2.6 GH axis (dikutip dari Kronenberg dkk, 2007). Pemberian glukokortikoid secara akut akan menstimulasi sekresi GH, dan terapi pemberian steroid jangka panjang akan menghambat GH. Pada kasus hipertiroid, didapatkan kadar GH yang rendah namun dapat menjadi normal kembali saat berada pada kondisi eutiroid, menunjukkan bahwa hormone tiroid menekan sekresi GH (Kronenberg dkk, 2007).
27
Table 8-20 ADULT GH SECRETION Interval Young Adult (µg/24h) 24-hr secretion Secretory burst GH burst
540+44 12+1 45+4
Fasting
Obesity
Middle Age
2171+333 32+2 64+9
77+20 3+0,5 24+5
196+65 10+1 10+6
GH, Growth Hormone *Deconvolution analysis of growth hormone (GH) secretion in men. From Thorner MO, Vance ML, Horvath E, Kovacks K. The anterior Pituitary. In Wilson JD, Foster DW, eds. Williams Textbook of Endocrinology Philadelphia; W.B. Saunders, 1992: 221-310.
Gambar 2.7 Sekresi GH pada dewasa (Kronenberg dkk, 2007). Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa keseimbangan faktor-faktor yang menstimulasi dan menginhibisi inilah yang akan menentukan pelepasan GH. Faktor yang menstimulasi sekresi GH adalah : 1. Hormon peptida.
28
-
Growth hormone releasing hormone (GHRH disebut juga somatocrinin) melalui ikatan dengan growth hormone releasing hormone receptor (GHRHR) (Lin & Wajnrach, 2002).
-
Ghrelin melalui ikatan dengan growth hormone secretagogue receptors (GHSR)(Wren dkk, 2000)
2. Hormon sex (Meinhardt & Ito, 2006).
-
Meningkatkan sekresi androgen selama masa puber (pada laki-laki di testis dan pada perempuan di cortex adrenal)
-
estrogen
3. Clonidine dan L-DOPA melalui stimulasi pelepasan GHRH (Low, 1991). 4. Hipoglikemia, arginin (Alba dkk, 1998) dan propanolol dengan menghambat
pelepasan somatostatin (Low, 1991). 5. Tidur yang dalam (Van Cauter dkk, 2004). 6. Puasa (Norrelund, 2005). 7. Olah raga anaerob (Kanaley dkk, 1997).
Inhibitor sekresi GH antara lain adalah:
29
1. Somatostatin dari nucleus periventrikular (Guillemin & Gerich, 1976). 2. Konsentrasi GH dan IGF-1 yang ada di sirkulasi (feedback negatif pada
hipofise dan hipotalamus) (Powers, 2005). 3. Hiperglikemi (Low, 1991). 4. Glukokortikoid (Allen, 1996).
5. Dihidrotestosteron. Selain itu untuk mengendalikan secara endogen dan merangsang proses stimulinya, beberapa bahan dari luar tubuh (xenobiotics seperti obat-obatan dan endocrine disruptors) juga diketahui mempengaruhi sekresi dan fungsi GH (Scarth, 2006). HGH disintesis dan disekresi dari hipofise anterior secara pulsatil sepnajang hari, interval sekresi terjadi setiap 3-5 jam (Powers, 2005). Konsentrasi GH dalam plasma yang tertinggi berkisar antara 5 – 45 ng/mL. Kadar tertinggi ini terjadi pada saat sekitar 1 jam di awal tidur (Takahashi dkk, 1968). Di samping itu terdapat variasi pada hari yang berbeda maupun pada individu yang berbeda pula. Hamper 50% sekresi HGH terjadi pada tahap 3 dan 4 REM tidur (Mehta dkk, 2002). Di antara kadar tertinggi , kadar GH basal adalah rendah, biasanya kurang dari 5 ng/mL untuk sepanjang siang dan malam hari (Takahashi dkk, 1968). Analisa lain menunjukkan profil pulsatil GH di kebanyakan kondisi adalah kurang dari 1 ng/mL pada kondisi
30
basal sedangkan kadar tertingginya adalah sekitar 10-20 ng/mL (Nindl dkk, 2001; Juul dkk, 1995). Faktor-faktor lain yang diketahui juga berpengaruh terhadap sekresi HGH, anatara lain adalah umur, jenis kelamin, pola makan, olah raga, stress dan hormone lainnya (Powers, 2005). Dewasa muda mensekresikan HGH sekitar 700µg/hari, sedangkan dewasa sehat mensekresikan sekitar 400µg/hari (Gardner dkk, 2007).
2.2.3 Fungsi Growth Hormone (GH) GH berbeda dengan hormon-hormon lainnya, tidak berfungsi pada organ sasaran tertentu melainkan berpengaruh terhadap seluruh atau hampir seluruh jaringan tubuh (Guyton, 1994). Efek GH pada jaringan tubuh dapat dijelaskan sebagai bahan anabolik (pembentukan). Seperti hormon protein yang lain, GH bekerja melalui interaksinya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel. GH yang juga disebut sebagai hormon somatotropik (SH) atau somatotropin, merupakan molekul protein kecil yang terdiri atas 191 asam amino yang dihubungkan dengan ratai tunggal dan mempunyai berat molekul 22.005. Hormon ini menyebabkan pertumbuhan seluruh jaringan tubuh yang memang mampu untuk
31
bertumbuh. Hormon ini menambah ukuran sel dan meningkatkan proses mitosis yang diikuti dengan bertambahnya jumlah sel (Guyton, 1994). Dalam menjalankan fungsinya untuk menambah tinggi tubuh pada anak-anak dan dewasa, GH mempunyai banyak efek lain pada tubuh yakni: 1. Meningkatkan retensi calcium, dan memperkuat serta meningkatkan mineralisasi tulang. 2. Meningkatkan masa otot melaui sarcomere hyperplasia. 3. Memacu lipolysis. 4. Meningkatkan sintesa protein. 5. Merangsang pertumbuhan organ internal kecuali otak. 6. Berperan dalam homeostasis energi. 7. Mengurangi uptake glukosa di liver. 8. Meningkatkan glukoneogenesis di liver (King, 2006).
9. Ikut berperan dalam memelihara dan mempertahankan fungsi pancreas. 10. Menstimulasi sistem pertahanan tubuh.
32
Selain bekerja untuk pertumbuhan, GH juga mempunyai fungsi metabolik. GH memperoleh sinyal intraselular melalui reseptor perifer dan menginisiasi cascade fosforilasi yang mengikutsertakan alur JAK/STAT (Carter dkk, 1996). Hal-hal yang melibatkan GH sebagai fungsi metabolik : 1. Peningkatan kecepatan sintesis protein di seluruh sel tubuh.
2. Peningkatan pengangkutan asam lemak dari jaringan lemak, dan meningkatkan penggunaan asam lemak untuk energi. 3.
Menurunkan kecepatan pemakaian glukosa di seluruh tubuh.
Jadi efek GH adalah meningkatkan protein tubuh, mengunakan lemak dari tempat penyimpanannya, dan menghemat karbohidrat. Mungkin naiknya kecepatan pertumbuhan itu terutama disebabkan oleh naiknya kecepatan sintesis protein (Guyton, 1994). Di dalam hati terdapat banyak sekali reseptor GH, dan beberapa jaringan perifer juga mempunyai jumlah reseptor yang cukup banyak, termasuk jaringan otot dan lemak (Brown dkk, 2005).
33
Gambar 2.8 GH-IGFBP-IGF axis dalam fungsi pertumbuhan (Kronenberg dkk, 2007). 2.2.3.1 Peran GH dalam meningkatkan penyimpanan protein. Walaupun penyebab utama kenaikan penyimpanan protein yang disebabkan hormone pertumbuhan tidak diketahui, namun ada serangkaian efek yang berbeda telah diketahui, yang semuanya dapat menjadi penyebab naiknya jumlah protein. Selain berbagai faktor di atas, dengan bertambahnya usia, amplitudo GH pulse berkurang, baik pada pria maupun wanita. Pada pria usia lanjut, sekresi GH berkurang 50% setiap 7 tahun setelah usia 18 – 25 tahun. Somatopause adalah istilah
34
yang digunakan untuk penurunan kadar GH yang terus terjadi berkaitan dengan usia (Pangkahila, 2007). 2.2.3.2 Kekurangan Growth Hormone Kekurangan GH pada dewasa dapat dikenali sebagai suatu sindroma yang cukup jelas (Salomon dkk, 1989). Defisiensi GH yang paling sering terjadi adalah defisiensi yang disebabkan oleh adanya gangguan pada hipofise, dan kekurangan GH ini akan menyebabkan perubahan yang negatif pada komposisi tubuh, faktor resiko kardiovaskuler, dan kualitas hidup (de Boer dkk, 1995 dan Molitch dkk, 2006). Harapan hidup akan berkurang pada pasien penderita gangguan hipofise dengan defisiensi GH yang mengakibatkan adanya gangguan kardiovaskuler dan
aliran
pembuluh darah otak , khususnya pada pasien wanita (Bulow dkk, 2000).
2.2.3.3 Kelebihan Growth Hormone Kelebihan GH dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan penebalan pada rahang, jari-jari tangan dan ibu jari kaki. Kondisi ini akan mengarah pada acromegaly. Gejala lain yang menyertai adalah berkeringat, tekanan pada syaraf (missal carpal tunnel syndrome), kelemahan otot, kelebihan sex hormone binding globulin (SHBG) , resistensi insulin atau diabetes tipe 2 meskipun jarang terjadi, dan penurunan fungsi seksual (Liu, 2006).
35
2.2.4 Efek Samping dan Kontraindikasi GH Ada teori yang menyatakan bahwa terapi GH dapat meningkatkan resiko terjadinya diabetes, khususnya pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi dan diberikan terapi dosis tinggi. Jika diberikan pada olahragawan usia muda (25 tahun atau kurang) dapat menyebabkan gejala yang cukup berat. Sebuah survei pada dewasa yang telah diterapi dengan GH cadaver (tidak lagi digunakan sejak tahun 1985) pada masa kanak-kanaknya menunjukkan peningkatan insiden kanker kolon dan prostat, namun kaitan langsung dengan GH masih belum diterbitkan (Swerdlow dkk, 2002). Pemberian extra GH secara regular dapat menunjukkan beberapa gejala efek samping yang negatif seperti pembengkakan sendi, nyeri sendi, carpal tunnel syndrome, dan peningkatan resiko terjadinya diabetes (Liu, 2006). Kontraindikasi mutlak adalah apabila dijumpai adanya suatu keganasan. Berbagai gejala yang muncul sebagai akibat terapi GH pada umumnya bersifat reversible, dengan menghentikan pemakaian atau dengan mengurangi dosis pemberiannya (Ahmad dkk, 2001). 2.3 GH dalam Anti Aging Medicine
36
Growth hormone therapy merupakan salah satu intervensi yang penting dalam Anti Aging Medicine. Segala sesuatu yang berkaitan dengan penuaan – biasanya mulai nampak pada usia pertengahan – dengan gejala ukuran tubuh yang mengecil, punggung yang membungkuk, lemah, gemetar dapat berkaitan pula secara keseluruhan maupun merupakan bagian dari penurunan GH (Klatz, 1998). Di Madison, Wisconsin, seorang ahli endokrin bernama Daniel Rudman akhirnya menemukan apa yang sudah dinanti sekian lama. Sudah sejak lama Rudman mempunyai pemikiran bahwa penurunan aktifitas hormonal dapat menyebabkan penurunan fungsi tubuh yang mulai terjadi pada usia sekitar 35 tahun. Satu-satunya cara untuk menguji hal tersebut adalah dengan terapi sulih hormon pada individu usia lanjut dan dilakukan evaluasi apakah dapat mengembalikan gejala-gejala penuaan yang telah terjadi. Dia memutuskan untuk memulainya dengan GH (Klatz, 1998). Rudman mementukan pilihannya berdasarkan 2 alasan. Pertama, dia tahu bahwa penurunan GH setelah usia 35 tahun biasanya disertai dengan perubahan komposisi tubuh. Setelah usia 35 tahun, rata-rata perubahan berat badan pada individu yang sehat adalah sangat minimal, namun tubuh berubah menjadi lebih lembek. Jumlah lemak tubuh bertambah sampai 50%, sementara itu Lean Body Mass (LBM) yang membentuk otot , tulang dan organ vital tubuh berkurang sampai 30%. Hal ini berarti bahwa struktur tubuh mulai mengalami kemunduran bersamaan dengan kapasitas fungsionalnya pun juga mengalami penurunan. Seperti mobil yang
37
sudah usang, tubuh kita mengalami kerusakan dan penurunan kemampuan (Klatz, 1998). Kedua, peneliti di Denmark dan Swedia menemukan bahwa GH rekombinan mampu memperbaiki lean body contour
pada anak-anak maupun dewasa dengan
defisiensi GH karena gangguan pada hipofise. Nampaknya juga cukup aman, dengan pengalaman lebih dari 30 tahun pada anak-anak tidak dijumpai adanya efek samping yang bermakna yang berkaitan dengan penggunaan GH. Namun tidak seorang pun telah menunjukkan bahwa GH akan memberikan manfaat yang sama pada individu dewasa yang sehat (Klatz, 1998). Mengacu pada sebuah tulisan yang luar biasa dalam Journal of American Geriatrics Society pada tahun 1985, “Growth Hormone , Body Composition, and Aging”, Rudman adalah orang pertama yang merealisasikan idenya bahwa GH mampu membalik penuaan. Pertama-tama dia menyimpulkan mekanisme penurunan fungsi dan struktur tubuh pada usia lanjut yakni: “efek ireversibel” proses penuaan disebabkan oleh akumulasi kerusakan DNA; tidak terjadinya pembelahan sel; kesalahan sintesa protein; akibat kumulasi dari berbagai penyakit seperti aterosklerosis, hipertensi, infeksi dan penyakit autoimun; akibat dari aktifitas fisik yang menurun atau disuse; dan pada wanita, terjadinya menopause (Klatz, 1998). Ketika usia kita mencapai 30, segalanya mengalami penurunan. Lean Body Mass (LBM) semua organ tubuh kita mengalami pengerutan, sementara Adiposse
38
Mass (AM) atau masa lemak semakin bertambah. Antara usia 30 – 75 tahun, hati, ginjal, otak dan pancreas atrofi rata-rata sebanyak 30%. Pada laki-laki usia 40 - 80 tahun, LBM mengalami penurunan sebesar 5 % per tahun dan pada wanita 2,5% per tahun. Di masa yang sama, lemak tubuh pada wanita maupun laki-laki mengalami peningkatan. Di usia kahir 30 tahun, pada laki-laki mulai terjadi akumulasi lemak di area usus. Yang menjadi perhatian adalah bahwa laki-laki pada usia antara 30 – 70 tahun tidak mengalami kenaikan berat badan, namun mengalami penurunan LBM 30% dan pertambahan lemak sekitar 50%. Pada wanita penumpukan lemak terjadi di area paha. Namun saat wanita mengalami menopause, mulai terjadi penumpukan lemak di area perut juga (Klatz, 1998). Menurut ahli gerontologi perubahan ini akan mengancam kesehatan serta memperpendek usia. Pertama, jumlah energi yang dimiliki sangat erat kaitannya dengan LBM. Kedua, pengecilan ukuran organ vital menunjukkan bahwa organ tersebut tidak dapat melaksanakan fungsinya pula, seperti jantung untuk memompa, otot untuk mengangkat, atau ginjal yang membersihkan hasil metabolic dari darah. Ketiga, bersamaan dengan peningkatan penumpukan lemak, meningkat pula resiko serangan jantung, hipertensi dan diabetes (Klatz, 1998). Beberapa studi tentang olah raga pada individu yang tidak banyak bergerak yang sehat menunjukkan bahwa hanya 25% atrofi pada lean body mass disebabkan oleh disuse, sedangkan 75% nya disebabkan oleh proses penuaan. Daniel Rudman punya pendapat lain. Pada tahun 1985 dia mengemukakan hipotesisnya bahwa
39
“penurunan body mass dan peningkatan masa lemak” antara lain disebabkan oleh penurunan growth hormone (Klatz, 1998). 2.3.1 Perubahan pada jaringan otot karena proses penuaan. Salah satu efek paling menyolok dari usia adalah hilangnya massa, strength dan fungsi otot secara diluar kendali, yang disebut dengan sarkopenia (Evans, 1995). Massa otot mengalami penurunan kira-kira 3-8% per dekade sesudah usia 30 tahun dan laju penurunan ini lebih tinggi lagi sesudah usia 60 tahun (Holloszy, 2000). Hilangnya massa, strength dan fungsi otot secara diluar kendali ini merupakan penyebab fundamental dan kontributor disabilitas pada manula. Ini karena sarkopenia meningkatkan risiko jatuh dan kerentanan terhadap injuri dan, karenanya, dapat mengakibatkan ketergantungan fungsional dan disabilitas (Wolfson dkk, 1995). Penurunan massa otot juga disertai peningkatan progresif massa lemak dan karenanya perubahan komposisi tubuh, serta dikaitkan dengan peningkatan insidensi resistensi terhadap insulin pada manula (Evans, 1995). Selanjutnya, densitas tulang menurun, kekakuan sendi meningkat, dan terjadi sedikit reduksi tinggi badan (kyphosis). Semua perubahan ini memiliki kemungkinan implikasi terhadap beberapa kondisi, termasuk diabetes tipe 2, obesitas, penyakit jantung, dan osteoporosis (Volpi dkk, 2010). 2.3.2 Penyebab Sarcopenia
40
Etiologi sarkopenia belum diketahui dengan jelas, tetapi beberapa mekanisme telah dikemukakan. Di tingkat selular, beberapa perubahan spesifik terkait usia meliputi reduksi jumlah sel otot, twitch time dan twitch force otot, volume retikulum sarkoplasma dan kapasitas pemompaan kalsium (Lexell, 1995). Jarak sarkomer menjadi tak beraturan, nukleus otot menjadi terpusat disepanjang serabut otot, membran plasma otot menjadi kurang dapat tereksitasi, dan terjadi peningkatan signifikan akumulasi lemak di dalam dan di sekitar sel otot. Perubahan neuromuskular meliputi penurunan nervous firing rate ke otot, jumlah neuron motorik, dan kemampuan regeneratif jaringan syaraf. Ukuran unit motorik juga meningkat (Lexell, 1995). Selanjutnya, penuaan dikaitkan dengan perubahan jumlah dan satelit sel satelit, suatu indikasi dan kemungkinan penyebab reduksi pertumbuhan otot (McCormick & Thomas, 1992). Perubahan biokimia dan metabolik juga terjadi seiring penuaan. Mutasi delesi DNA mitokondria sesudah kerusakan oksidatif dan reduksi sintesis protein mitokondria telah dilaporkan dan mungkin terkait dengan reduksi aktivitas enzim glikolitik dan oksidatif, simpanan creatine phosphate dan ATP di dalam sel otot, volume mitokondria, dan sedikit reduksi laju metabolik umum (~10%) (Cortopassi dkk, 1992). Perubahan metabolik otot ini ikut andil dalam kapasitas kebugaran fisik umum manula dan merupakan komponen penting dari reduksi kemampuan sebesar sekitar 30% untuk menggunakan oksigen selama exercise (yakni, VO2max) (Volpi dkk, 2010).
41
Beberapa penelitian awal pada sejumlah kecil manula juga menunjukkan keterkaitan antara penuaan dengan reduksi sintesis protein otot dasar, yang bisa bertanggung jawab terhadap reduksi progresif massa otot (Welle dkk, 1993). Tetapi, data lebih baru yang diperoleh pada kelompok terbesar pria tua sehat tidak menguatkan laporan sebelumnya dan berkesimpulan bahwa perbedaan pergantian protein otot dasar antara pria tua dan pria muda tidak dapat menjelaskan hilangnya otot seiring usia, menyiratkan bahwa penelitian di masa mendatang seharusnya memfokuskan perhatian pada respons terhadap stimulus, seperti nutrisi, exercise, atau penyakit (Volpi dkk, 2001). Disamping perubahan spesifik otot yang ditekankan diatas, perubahan terkait usia lainnya dalam hal fungsi endokrin dan responsivitas terhadap stimulus hormonal, nutrisi atau responsivitas terhadap gizi, dan aktivitas fisik bisa bertanggung jawab terhadap terjadinya sarkopenia dan pemburukan sarkopenia (Roubenoff & Castaneda, 1998). Sarkopenia kemungkinan besar merupakan masalah multifaktorial. Tetapi, diantara semua kemungkinan penyebabnya, reduksi fungsi endokrin, aktivitas fisik dan nutrisi tepat kemungkinan besar dapat diobati dengan intervensi perilaku atau obat farmakologi (Volpi dkk, 2010). 2.3.3 Perubahan Endokrin yang berkaitan dengan Sarcopenia
42
Berbagai perubahan hormonal terlihat selama proses penuaan yang bisa ikut andil dalam menyebabkan hilangnya otot seiring penuaan. Kita telah memilih beberapa perubahan paling penting dalam hubungannya dengan efek mereka terhadap otot kerangka (Volpi dkk, 2010). Steroid anabolik yang utama dan paling poten adalah testosterone. Pada sekitar 60% pria berusia diatas 65 tahun, kadar testosterone mengalami penurunan hingga dibawah nilai normal masa muda, suatu proses yang disebut dengan andropause (Lamberts dkk, 1997). Tidak seperti penurunan cepat estradiol yang terlihat pada menopouse, konsentrasi testosterone mengalami penurunan secara bertahap sepanjang proses penuaan (Lamberts dkk, 1997). Karena testosterone meningkatkan sintesis protein, massa dan strength otot , terdapat pandangan bahwa penurunan testosterone bisa menyebabkan penurunan sintesis protein otot dan menyebabkan hilangnya massa otot. Mengingat hal ini, beberapa penelitian mengkaji efek terapi penggantian testosterone pada pria dengan overt hypogonadism atau konsentrasi testosterone pada kisaran rendah-normal. Testosterone diberikan melalui injeksi, koyo (transdermal patch), atau jel kulit (Tenover, 1992; Morley dkk, 1993; Kenny dkk, 2001). Dari penelitian ini, penggantian testosterone hingga kadar pertengahan-normal terbukti menyebabkan peningkatan signifikan massa otot, strength otot, sintesis protein otot dan densitas otot. Hasil ini dengan demikian menunjukkan bahwa andropouse bisa berperan dalam terjadinya sarkopenia, dan menekankan bahwa terapi testosterone bisa
43
mengakibatkan perbaikan atau pelemahan sarkopenia. Tetapi, testosterone dewasa ini tidak direkomendasikan untuk pengobatan sarkopenia dan evaluasi cermat terhadap
kemungkinan
manfaat
dan
kemungkinan
risikonya
(contohnya,
peningkatan antogen spesifik prostat, hematokrit dan risiko kardiovaskular) harus dilaksanakan sebelum membuat rekomendasi seperti itu (Bhasin & Buckwalter, 2001). Pada perempuan, kadar estradiol mengalami penurunan drastis selama menopause (Lamberts dkk, 1997). Terdapat sangat sedikit informasi mengenai peran menopause pada sarkopenia. Massa otot tampaknya tidak dipengaruhi oleh penurunan estrogens. Beberapa penelitian kerat lintang (cross-sectional) yang mengevaluasi efek usia terhadap lean body mass dan massa otot anggota badan menunjukkan bahwa laju penurunan massa otot pada perempuan tidak meningkat sesudah menopause, menunjukkan peran marjinal dari peristiwa ini dalam terjadinya sarkopenia pada perempuan (Melton dkk, 2000). Tetapi, terapi penggantian hormon dapat secara signifikan meningkatkan globulin pengikat hormon steroid serum, yang mengakibatkan penurunan signifikan kadar testosterone bebas serum pada perempuan (Gower & Nyman, 2000). Kadar testosterone bebas serum yang rendah pada perempuan dikaitkan dengan massa otot yang lebih rendah. Dengan demikian, terapi penggantian hormon bisa berperan dalam semakin mereduksi, bukan meningkatkan, massa otot pada perempuan tua (Volpi dkk, 2010).
44
Poros growth hormone/insulin-like growth factor-I juga memperlihatkan penurunan bertahap selama penuaan normal (Lamberts dkk, 1997). Meski pemberian terapi penggantian hormon pertumbuhan pada orang dewasa defisien hormon pertumbuhan menyebabkan peningkatan massa otot, beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya efek terhadap strength otot (Blackman dkk, 2002; Thompson dkk, 1995). Terapi penggantian hormon pertumbuhan pada manula tampaknya bermanfaat untuk menurunkan massa lemak, memperbaiki profil lipid darah dan meningkatkan lean body mass, tetapi perubahan ini mungkin tidak mengakibatkan peningkatan strength dan fungsi otot. Dalam kenyataannya, strength otot hanya meningkat jika hormon pertumbuhan diberikan pada pria tua yang menjalani program latihan berat badan dibandingkan dengan terapi penggantian hormon pertumbuhan saja, atau jika terapi penggantian hormon seks diberikan bersama hormon pertumbuhan. Juga penting untuk ditekankan bahwa metodologi yang digunakan untuk mengukur komposisi tubuh bisa dipengaruhi oleh retensi air (Blackman dkk, 2002; Yarasheski dkk, 1995). Jadi, peningkatan massa otot dengan reduksi massa lemak tanpa perubahan strength sesudah terapi hormon pertumbuhan harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena hormon pertumbuhan meningkatkan retensi air, yang dapat disalahtafsirkan sebagai peningkatan lean body mass. Menyangkut testosterone,
penggantian
hormon
pertumbuhan
dewasa
ini
tidak
direkomendasikan untuk pengobatan sarkopenia disebabkan oleh hasil dari
45
beberapa publikasi penelitian maupun efek samping yang kemungkinan besar serius (contohnya, arthralgia, edema, resistensi terhadap insulin, risiko kardiovaskular, dan lain-lain) (Blackman, 2002). Konsentrasi dehydroepiandrosterone dalam darah juga mengalami penurunan secara bertahap seiring penuaan normal (adrenopause)(Lamberts, 1997). Bahkan, kadarnya bisa lebih rendah hingga lima kali lipat pada pria sangat
tua
dibanding
pada
pria
lebih
muda.
Suplementasi
dehydropiandrosterone secara oral pada orang tua benar-benar mengembalikan kadarnya ke nilai-nilai masa muda, meningkatkan kadar insulin-like growth factor-I pada pria dan perempuan, meningkatkan estrogens pada pria, dan meningkatkan testosterone pada perempuan (Flynn dkk, 1999). Tetapi, tidak terdeteksi perubahan lean body mass dan kadar kolesterol HDL mengalami penurunan signifikan (Flynn dkk, 1999; Casson dkk, 1998). Namun demikian, strength otot meningkat pada pria (tetapi bukan perempuan) tua yang menjalani suplementasi dehydropiandrosterone dalam satu penelitian (Morales dkk, 1998). Baru-baru ini, satu penelitian sangat besar pada individu tua menunjukkan
bahwa
terapi
penggantian
dehydropinadrosterone
tidak
berpengaruh terhadap ukuran, strength, dan fungsi otot (Percheron dkk, 2003). Jadi, pentingnya adrenopause dalam terjadinya sarkopenia tetap harus dibuktikan (Volpi dkk, 2010).
46
Kemampuan jaringan otot untuk merespons insulin merupakan aspek penting dari sensitivitas umum terhadap insulin. Insidensi resistensi terhadap insulin dan insidensi diabetes tipe 2 meningkat seiring penuaan dan sarkopenia bisa berperan penting. Sebagian besar penelitian melaporkan bahwa prevalensi resistensi terhadap insulin dan intoleransi glukosa lebih tinggi pada individu tua jika data dilaporkan per unit massa tubuh, tetapi perbedaan ini hilang jika data dikoreksi dengan lean body mass (Ferrannini dkk, 1996). Ini menunjukkan bahwa perubahan komposisi tubuh bisa mendorong peningkatan resistensi terhadap insulin seiring usia. Meski insulin biasanya dipertimbangkan dalam konteks kemampuannya untuk meningkatkan ambilan glukosa ke sel-sel, terdapat bukti baru bahwa resistensi otot terhadap insulin dan keseluruhan metabolisme protein tubuh pada manula bisa menjadi kontributor yang penting bagi sarkopenia (Volpi dkk, 2000; Boirie dkk, 2001). Contohnya, jika glukosa dikonsumsi
bersama
makanan
reguler,
peningkatan
konsentrasi
insulin
selanjutnya berpengaruh negatif terhadap sintesis protein otot hanya pada individu tua (Volpi dkk, 2000). Ini menyiratkan bahwa, pada penuaan normal, kemampuan sel otot untuk dengan sebaik-baiknya merespons insulin sirkulasi (dengan meningkatkan sintesis protein otot) mengalami kerusakan (Volpi dkk, 2010). 2.3.4 Kaitan Aktifitas Fisik dengan Sarcopenia
47
Kontributor penting lainnya bagi sarkopenia adalah inaktivitas. Meski sukar bagi kita untuk mengetahui secara kausal arti penting gaya hidup sedenter dalam terjadinya sarkopenia, inativitas otot jangka pendek diketahui sangat mereduksi massa dan strength otot sekalipun pada individu muda. Contoh umumnya adalah istirahat di tempat tidur dan weightlessness (keadaan tanpa bobot) (Ferrando dkk, 1995). Perubahan otot ini juga diakui dapat dilawan dengan exercise, biasanya resistance exercise (Ferrando dkk, 1996). Beberapa peneliti melaporkan bahwa resistance exercise akut meningkatkan sintesis protein otot myofibril pada orang dewasa muda maupun tua (Yarasheski dkk, 1993; Hasten dkk, 2000). Resistance exercise training progresif juga terbukti menginduksi hipertrofi otot dan meningkatkan strength pada orang dewasa tua dan lemah fisik (Jozsi dkk, 1999). Meski jelas efektif dalam meningkatkan massa, strength dan fungsi otot, resistance exercise training bisa menjadi intervensi yang sukar untuk dilaksanakan pada individu tua yang tinggal permanen dalam komunitasnya disebabkan oleh kebutuhan akan peralatan spesifik dan supervisi, kemungkinan bahwa latihan tersebut bisa tidak diindikasikan pada kondisi-kondisi tertentu yang sering ditemukan pada pasien tua (contohnya, hipertensi, stroke), dan fakta bahwa mengangkat beban/barbel mungkin bukan merupakan aktivitas yang menarik bagi manula sedenter (Volpi dkk, 2010).
48
Dalam beberapa penelitian, aerobic exercise terbukti meningkatkan VO2max, densitas dan aktivitas mitokondria, sensitivitas terhadap insulin dan pengeluaran energi pada individu muda dan tua (Tseng dkk, 1995). Dua penelitian menunjukkan bahwa aerobic exercise yang panjang dan intens dapat meningkatkan sintesis protein otot pada individu muda aktif (Carraro dkk, 1990). Data awal terbaru menunjukkan bahwa aerobic exercise (40% VO2max) dapat juga secara tajam meningkatkan sintesis protein otot pada orang tua sehat mandiri. Meski aerobic exercise tidak menginduksi hipertrofi otot secara jelas, beberapa penelitian menunjukkan bahwa aerobic exercise training yang intens dapat menginduksi hipertrofi pada tingkat tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan lingkar betis, luas serabut otot, dan aktivasi sel satelit (Coggan dkk,
1992;
Charifi
dkk,
2003).
Postur
khas
pelari
marathon,
yang
merepresentasikan pelaku aerobic exercise, bisa menimbulkan keraguan akan efektivitas anabolik dari aerobic exercise. Namun demikian, penting untuk ditekankan bahwa otot dari para atlet ini, meski tidak hipertrofik, tidak kekurangan strength dan power sebagaimana otot dari orang dewasa tua sarkopenik. Dalam kenyataannya, massa otot bukanlah satu-satunya determinan fungsi otot, dan aerobic exercise training bisa menimbulkan efek positif yang penting terhadap adaptasi neuromuskular dan, karenanya, kualitas otot khususnya pada individu yang sedenter dan sarkopenik sebelum intervensi exercise. Bahkan, kualitas otot terbukti meningkat signifikan dengan resistance
49
training pada orang tua dan pada orang muda dengan muscle wasting (Tracy dkk, 1999; Schroeder dkk, 2003). Jadi, resistance exercise maupun aerobic exercise dapat sangat berguna untuk melawan sarkopenia dan perubahan metabolik terkait pada otot (Volpi dkk, 2010).
2.3.5 Kaitan Nutrisi dengan Sarcopenia Malnutrisi mengakibatkan muscle wasting. Penuaan terbukti terkait dengan reduksi progresif asupan makanan, yang menimbulkan predisposisi terhadap malnutrisi energi-protein. Selanjutnya, orang tua bisa secara sukarela mengurangi asupan protein mereka untuk mematuhi reduksi diet lemak dan kolesterol. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kebutuhan protein dari individu tua bisa lebih tinggi (~1 g/kg/hari) (Campbell, 1994). Jadi, intervensi nutrisi merupakan cara potensial yang menarik untuk mencegah dan mengobati sarkopenia pada manula disebabkan oleh aplikabilitas yang mudah dan keamanan. Asam amino dari protein yang dikonsumsi langsung menstimulasi sintesis protein otot. Menariknya, individu tua sehat merespons stimulus asam amino dengan peningkatan sintesis protein otot yang tidak berbeda secara signifikan dari efek yang terlihat pada individu muda (Volpi dkk, 1998). Tetapi, upaya untuk meningkatkan massa, strength, dan sintesis protein otot dengan suplemen nutrisi komersial atau diet berprotein tinggi sebagian
50
besar tidak sukses (Welle dkk, 1998). Meski satu penelitian lebih awal dan kecil melaporkan peningkatan massa otot dengan suplementasi nutrisi (Meredith dkk, 1992), dalam satu kelompok jauh lebih besar yang terdiri dari individu tua lemah (Fiatarone dkk, 1994). Melaporkan peningkatan massa dan strength otot yang terkait dengan resistance exercise tetapi tidak terkait dengan suplementasi nutrisi. Selanjutnya, suplementasi nutrisi atau makanan berprotein tinggi yang ditambahkan pada resistance exercise tidak menyebabkan peningkatan massa, strength, atau sintesis protein otot dibandingkan dengan exercise saja (Fiatarone dkk, 1994). Setidaknya
terdapat
dua
kemungkinan
penjelasan
mengenai
ketidakmampuan suplemen nutrisi atau peningkatan asupan protein untuk memacu pertumbuhan dan strength otot. Pertama, adanya karbohidrat dalam suplemen nutrisi untuk manula tidaklah bermanfaat, dan bahkan bisa melemahkan respons anabolik protein otot terhadap efek positif asam amino saja (Volpi dkk, 1998). Data ini sesuai dengan temuan pada tikus tua, mengindikasikan bahwa sintesis protein otot tereduksi selama pemberian pakan seimbang (Mosoni dkk, 1995). Karena suplemen komersial dan diet berprotein tinggi yang diuji sebelumnya mengandung karbohidrat, ini saja bisa memberikan penjelasan yang cukup mengenai tidak efektifnya intervensi itu.
51
Kedua, terdapat laporan bahwa orang dewasa tua, yang diberi suplemen tanpa adanya peningkatan aktivitas fisik, menurunkan asupan diet mereka, sehingga asupan energi total harian mereka tetap tak berubah (Fiatarone dkk, 1994). Ini mengindikasikan bahwa suplemen nutrisi bagi manula sebaiknya digunakan sebagai pengganti diet. Oleh karena itu, jika kandungan gizi dari suplemen sedikit berbeda dari kandungan gizi dari diet normal, maka suplementasi tersebut mungkin akan tidak efektif. Karenanya, suplemen nutrisi untuk mencegah atau pengobati sarkopenia seharusnya hanya mengandung gizi yang mutlak diperlukan untuk menstimulasi anabolisme protein otot, untuk mencapai efisiensi anabolik tertinggi (efek anabolik per unit energi). Data dari orang dewasa muda menunjukkan bahwa asam amino esensial sebagian besar bertanggung jawab terhadap stimulasi sintesis protein otot secara terinduksi asam amino (Smith dkk, 1992; Smith dkk, 1998), sedangkan asam amino nonesensial tampaknya tidak berpengaruh signifikan apapun meski diberikan dengan dosis sangat tinggi (Smith dkk, 1998). Beberapa penelitian terbaru menunjukkan hal ini juga terjadi pada orang tua. Dalam kenyataannya, asam amino esensial sebagian besar bertanggung jawab terhadap stimulasi anabolisme protein otot oleh asam amino pada individu tua sehat, sedangkan asam amino non-esensial tampaknya tidak diperlukan (Volpi dkk, 2003). Secara spesifik, asupan 18 g asam amino esensial saja atau berkombinasi dengan 22 g asam amino non-esensial meningkatkan anabolisme
52
protein otot netto. Besarnya efek anabolik dari kedua suplemen tersebut sama. Tetapi, harus diingat bahwa meski kandungan asam amino esensial dan komposisi kedua suplemen tersebut sama, suplemen asam amino seimbang memberikan energi dan amino-nitrogen sebanyak lebih dari dua kali lipat yang diberikan oleh suplemen asam amino esensial (Volpi dkk, 2010). Asam amino non-esensial terdiri atas satu bagian yang signifikan dari protein diet, termasuk protein berkualitas tinggi (contohnya, air dadih, telur) yang biasanya digunakan untuk mensuplementasi diet berprotein rendah. Karena asam amino non-esensial tampaknya tidak diperlukan untuk stimulasi anabolisme protein otot secara akut pada orang tua, protein berkualitas tinggi mungkin masih tidak adekuat untuk pengobatan sarkopenia secara efektif dosis dalam waktu panjang, mengingat berlebihnya jumlah kalori yang mereka sediakan dalam bentuk asam amino non-esensial. Jadi, eliminasi semua sumber energi yang tidak menstimulasi anabolisme protein, termasuk asam amino nonesensial dan karbohidrat, tidak akan menurunkan efek anabolik jangka panjang dari suplemen asam amino esensial bagi manula, meski secara signifikan menurunkan kandungan kalori totalnya. Tetapi, tidak terdapat data mengenai efektivitas suplementasi jangka panjang dengan campuran asam amino esensial yang sangat efisien terhadap pertumbuhan otot pada manula. Oleh karena itu, percobaan klinis acak jangka panjang diperlukan untuk secara jelas mengukur
53
apakah suplemen nutrisi yang sangat efisien dapat secara efektif meningkatkan massa otot pada individu tua sarkopenik (Volpi dkk, 2010). Banyak terdapat kontroversi dalam penggunaan GH sebagai terapi dalam Anti Aging Medicine. Kebanyakan kontroversi ini terbagi dalam 2 kategori : 1. Pernyataan bahwa terapi GH yang sesungguhnya mampu memperlambat atau membalikkan efek penuaan. 2.
Penjualan produk yang secara curang atau menyesatkan, mengatakan akan berubah menjadi GH atau meningkatkan sekresi GH alami dalam konsentrasi yang diharapkan.
2.4 Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Tikus liar, tikus Norwegia, dan tikus cokelat, adalah hewan semarga dengan tikus laboratorium. Akan tetapi nama ilmiah tikus liar lain itu yaitu tikus hitam adalah Rattus norvegicus. Tikus ini mirip dengan tikus Norwegia dan sering terdapat di kotakota di seluruh dunia tetapi jarang dipakai sebagai hewan laboratorium (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) . Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus dapat tinggal sendirian dalam kandang, asalkan dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit tetapi
54
tikus dapat mudah berbiak seperti mencit. Karena hewan ini lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Klasifikasi tikus Wistar (Rattus norvegicus) : Kingdom
:
Animalia
Filum
:
Chordata
Kelas
:
Mamalia
Ordo
:
Rodentia
Famili
:
Muridae
Genus
:
Rattus
Species
:
Rattus norvegicus
Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa, tidak memperlihatkan kawin musiman, dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Jika tikus liar dapat hidup selama 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Umumnya berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 gram, dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat
55
mencapai 500 gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada penelitian ini , dipilih tikus Wistar karena untuk pengambilan sampel akan dilakukan pada organ otot skeletal, sehingga bisa didapatkan sediaan otot yang lebih mudah untuk diamati. Variabel yang akan diamati adalah miofibril dan nukleus di dalam miofibril.
56
Gambar 4.1 Anatomi otot skeletal Secara histologi dapat
(Kevin , 2011)
diperoleh gambaran striated muscle fiber seperti
gambar di bawah ini.
Gambar 4.2 Striated Muscle Fiber
(Bergman dkk, 2011)