BAB II KAJIAN PUSTAKA A. 1.
Kajian Teori Hasil Belajar a. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar sering kali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil menunjuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional, sedangkan belajar dilakukannya untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar (Purwanto,2011:44). Hasil belajar adalah bukti keberhasilan yang telah dicapai siswa dimana setiap kegiatan belajar dapat menimbulkan suatu perubahan yang khas, dalam hal ini hasil belajar meliputi keaktifan, keterampilan proses, motivasi, dan prestasi belajar (Winkel,1991:42). Dimyati dan Mudjiono (2006) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang dicapai dalam bentuk angka atau skor setelah diberikan tes hasil belajar kepada siswa dalam waktu tertentu. Hasil belajar merupakan hasil akhir setelah mengalami proses belajar, perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diamati dan dapat diukur (Arikunto, 1990:133). Proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar yang dicapai. Dapat diambil gambaran tentang keberhasilan belajar dalam bentuk penentuan raport. Dalam proses belajar mengajar, siswa mengalami pengalaman belajar, kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajar tersebut merupakan hasil belajar (Mustamin, 2010:37). Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas, maka dalam penelitian ini pengertian hasil belajar sejalan dengan pendapatnya Dimyati dan Mudjiono (2006) bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka atau skor setelah diberikan tes hasil belajar kepada siswa dalam waktu tertentu. 8
9 Adapun hasil belajar matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai atau skor yang diperoleh siswa setelah dilakukan tes pada materi yang telah dipelajarinya. b. Ranah Hasil Belajar Menurut teori Taksonomi Bloom (dalam Abdurrahman, 2003) hasil belajar terdapat tiga ranah antara lain kognitif, afektif, dan psikomotor yaitu dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Ranah Kognitif Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian. 2) Ranah Afektif Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif memiliki lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi, dan karakterisasi dengan suatu nilai. 3) Ranah Psikomotor Meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Ketiga ranah tersebut, maka yang akan diukur dalam penelitian ini mengarah pada ranah kognitif dan ranah afektif, karena pada ranah kognitif untuk melihat hasil belajar siswa dilakukan suatu penilaian terhadap siswa dan tes digunakan untuk mengetahui hasil pemahaman siswa, sedangkan pada ranah afektif guna melihat keaktifan belajar siswa. c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Edwin Wandt (1997:20) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses hasil belajar yang dibedakan atas dua kategori, yaitu: 1) Faktor internal Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu, sedangkan faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar.
10 2) Faktor eksternal Faktor-faktor eksternal juga dapat mempengaruhi proses belajar siswa, dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial. Faktor lingkungan sosial meliputi lingkungan sosial sekolah, lingkungan sosial masyarakat, dan lingkungan sosial keluarga, sedangkan lingkungan non sosial meliputi lingkungan alamiah seperti udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat. Adapun pendapat lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses hasil belajar siswa dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar siswa. Menurut Slameto (2003:54), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu: 1) Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor internal, yang meliputi : a) Faktor biologis, meliputi : kesehatan, gizi, pendengaran dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil belajar siswa. b) Faktor psikologis, meliputi : intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berfikir c) Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk, sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu akan hilang.
11 2)
2.
Faktor yang ada pada luar individu yang disebut dengan faktor eksternal, yang meliputi : a) Faktor keluarga, keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar b) Faktor masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar. c) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah. Berdasarkan faktor-faktor hasil belajar di atas, dapat dilihat pada faktor eksternal bahwa salah satu yang mempengaruhi hasil belajar secara eksternal adalah metode mengajar. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perbaikan yaitu dengan memperbaharui metode mengajar yang dilakukan oleh guru guna meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Pembelajaran kooperatif bermula dari pandangan filosofis terhadap konsep belajar, untuk dapat belajar seseorang harus memiliki pasangan atau teman sehingga teman tersebut dapat diajak untuk memecahkan suatu masalah. Menurut Johnson pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut (dalam Lie, 2000:17). Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Sofan dan Iif (2010:67) bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan
12 yang berbeda (tinggi, sedang, dan rendah). Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam pengelompokan yang terdiri dari 4-6 orang yang mempunyai kemampuan akademik, jenis kelamin, suku, yang heterogen (Sanjaya, 2007:239). Menurut David (dalam Suyanto, 2005:149) telah mempublikasikan banyak artikel tentang pembelajaran kooperatif. Mereka mengidentifikasikan empat elemen dasar dalam belajar kooperatif yaitu: 1) adanya saling ketergantungan yang menguntungkan pada siswa dalam melakukan usaha secara bersama-sama, 2) adanya interaksi langsung diantara siswa dalam satu kelompok, 3) tiap-tiap siswa memiliki tanggung jawab untuk bisa menguasai materi yang diajarkan, 4) penggunaan yang tepat dari kemampuan interpersonal dan kelompok kecil yang dimiliki oleh setiap siswa. Menurut Slavin mengemukakan dua alasan dalam pembelajaran kooperatif yaitu 1) beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri sendiri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri, 2) pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan (dalam Sanjaya, 2006:240). Berdasarkan pengertian pembelajaran kooperatif di atas, maka dalam penelitian ini pengertian pembelajaran kooperatif sejalan dengan pendapatnya Sanjaya (2007:239) yang mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam pengelompokan yang terdiri dari 4-6 orang yang mempunyai kemampuan akademik, jenis kelamin, suku, yang heterogen.
13 b. Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif Menurut Isjoni (2009:20) terdapat ciri-ciri dari pembelajaran kooperatif yaitu setiap anggota memiliki peran, terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa, setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukaan. Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif yang lain menurut Aryana (2006) adalah siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi pelajarannya, kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin, dan agama yang berbeda, penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran kooperatif di atas dapat diambil garis besar bahwa pembelajaran kooperatif mengutamakan keaktifan dari semua pihak, baik siswa maupun guru, namun guru tidak sepenuhnya berinteraksi dengan siswa. Guru berinteraksi sepenuhnya saat siswa membutuhkannya, selain itu dalam satu kelompok memiliki kemampuan dan jenis kelamin yang berbeda-beda. c. Unsur-Unsur Dalam Pembelajaran Kooperatif Menurut Roger dan David Johnson (dalam Lie 2002:31), menjelaskan ada lima unsur-unsur pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan, yaitu : 1) Saling Ketergantungan Positif (Interdependensi Positif) Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya. 2) Tanggung Jawab Perseorangan Setiap siswa akan merasa bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik. 3) Tatap Muka Setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi.
14 4) Komunikasi Antar Anggota Suatu kelompok tergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka mengutarakan pendapat. 5) Evaluasi Proses Kelompok Setiap kelompok harus melakukan evaluasi hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Paparan mengenai unsur-unsur dari pembelajaran kooperatif di atas dapat disimpulkan bahwa dalam unsurunsur tersebut terdapat hal-hal yang menjadi inti dari pembelajaran kooperatif, yaitu pertangungjawaban individu, penghargaan kelompok dan kesempatan yang sama untuk berhasil. d. Keunggulan Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Jarolimek dan Parker mengatakan keunggulan yang diperoleh dalam pembelajaran ini adalah: 1) Saling ketergantungan yang positif 2) Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu 3) Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas 4) Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan 5) Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antar siswa dengan guru 6) Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan. e. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Menurut Trianto (2007) terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran kooperatif yaitu 1) Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa yaitu guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. 2) Menyajikan informasi yaitu guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat lembar bacaan. 3) Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif yaitu guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya
15
3.
membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. 4) Membimbing kelompok bekerja dan belajar yaitu guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. 5) Evaluasi yaitu guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. 6) Memberikan penghargaan yaitu guru mencari cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil nilai belajar individu dan kelompok. f. Macam-Macam Model Pembelajaran Kooperatif Asma (2006:51) mengemukakan beberapa model pembelajaran kooperatif, antara lain: STAD (Student Team Achievement Division), TGT (Team Game Tournaments), TAI (Team Assisted Individualization), CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition), Jigsaw, GI (Group Investigation), sedangkan menurut Lie (2002:54) macam-macam model pembelajaran kooperatif yaitu mencari pasangan, bertukar pasangan, TPS (Think Pair Square), berkirim salam dan soal, NHT (Number Heads Together), kepala bernomor terstruktur, keliling kelompok, kancing gemerincing, keliling kelas, lingkaran kecil lingkaran besar, tari bambu, jigsaw, cerita berpasangan dan TSTS ( two stay two stray). Berdasarkan macam-macam model pembelajaran kooperatif, maka yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TSTS karena menurut Lie (2002) model pembelajaran kooperatif TSTS akan mengarahkan siswa untuk aktif, baik dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga menyimak materi yang dijelaskan oleh teman. Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS Model pembelajaran TSTS ini dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992 dan biasa digunakan bersama dengan model Kepala Bernomor (Number Heads Together). Menurut Lie (2002:61) model pembelajaran kooperatif tipe TSTS merupakan
16 salah satu model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi ke kelompok lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Yusritawati (2009) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TSTS merupakan model pembelajaran berkelompok yang memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk membagikan informasinya ke kelompok lain agar siswa dapat saling bekerjasama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah dan untuk bersosialisasi dengan baik. Model ini biasanya terdiri dari 4 siswa dalam satu kelompok, tetapi tidak menutup kemungkinan dalam satu kelompok ada 4-5 siswa tergantung dari jumlah siswa yang ada di kelas. b. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah sebagai berikut (Lie, 2002:60-61). 1) Siswa bekerja sama dalam kelompok. 2) Setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain 3) Dua siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka 4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain. 5) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS yang lain menurut Suprijono (dalam Yusiriza, 2009) adalah sebagai berikut 1) Guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai. 2) Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa secara heterogen dengan kemampuan berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah) maupun jenis kelamin.
17 3) Siswa 2-3 orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain, sedangkan sisa kelompok tetap pada kelompoknya untuk menerima siswa yang bertamu dan membagikan informasinya ke tamu mereka 4) Siswa yang bertamu kembali ke kelompoknya masingmasing dan menyampaikan hasil kunjungannya kepada teman yang tetap berada dalam kelompok. Lie (2002) menyatakan ada beberapa tahapan dalam pembelajaran kooperatif model TSTS yaitu : 1) Persiapan Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah mempersiapkan silabus, RPP, menyiapkan materi pembelajaran, dan menyiapkan lembar kegiatan siswa 2) Presentasi Guru Pada tahap ini guru menyampaikan indikator pembelajaran, mengenal dan menjelaskan materi sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat. 3) Kegiatan Kelompok Pada kegiatan ini pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang berisi tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempelajarinya dalam kelompok kecil yaitu mendiskusikan masalah tersebut bersama-sama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok menyelesaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri. Kemudian 2 dari 4 anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain, sementara 2 anggota yang tinggal dalam kelompok bertugas menyampaikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu, setelah memperoleh informasi dari 2 anggota yang tinggal, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan temuannya serta mancocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
18 4) Penghargaan Kelompok Pada tahap penghargaan kelompok, guru memberikan sebuah reward atau pujian kepada kelompok yang dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka model pembelajaran kooperatif tipe TSTS yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapatnya Yusritawati (2009) yang mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TSTS merupakan model pembelajaran berkelompok yang memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk membagikan informasinya ke kelompok lain agar siswa dapat saling bekerjasama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah dan untuk bersosialisasi dengan baik, dimana model ini biasanya terdiri dari 4 siswa dalam satu kelompok, tetapi tidak menutup kemungkinan dalam satu kelompok ada 4-5 siswa tergantung dari jumlah siswa yang ada di kelas, sedangkan langkah-langkah model pembelajaran TSTS sejalan dengan Suprijono (2009) karena dalam setiap kelompok terdapat 4-5 siswa. Inti dari pembelajaran TSTS adalah siswa berkelompok, kemudian diberi permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya, setelah diskusi dalam kelompok, 2-3 siswa dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompok untuk bertamu ke kelompok lainnya. Anggota kelompok yang tidak mendapat bertugas bertamu, tetap berada pada kelompok untuk menerima tamu dari kelompok lain. Anggota kelompok yang bertamu wajib datang pada semua kelompok, setelah semua proses selesai mereka kembali ke kelompok masingmasing untuk mencocokkan dan membahas hasil yang diperoleh. Diharapkan dengan aktivitas bertamu dan menerima tamu dapat menambah minat siswa untuk mengikuti pelajaran matematika, sehingga pelajaran lebih bermakna dan mudah diingat oleh siswa.
19
4.
c. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS Suatu model pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kelebihan dari model TSTS adalah sebagai berikut, Lie (2002) : 1) Dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan 2) Kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna 3) Lebih berorientasi pada keaktifan 4) Diharapkan siswa akan berani mengungkapkan pendapatnya 5) Menambah kekompakan dan rasa percaya diri siswa 6) Kemampuan berbicara siswa dapat ditingkatkan 7) Membantu meningkatkan minat dan hasil belajar Sedangkan kekurangan dari model TSTS adalah: 1) Membutuhkan waktu yang lama 2) Siswa cenderung tidak mau belajar dalam kelompok 3) Bagi guru, membutuhkan banyak persiapan (materi, dana dan tenaga) 4) Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas Untuk mengatasi kekurangan pembelajaran kooperatif model TSTS, maka sebelum pembelajaran guru terlebih dahulu mempersiapkan dan membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademis. Berdasarkan sisi jenis kelamin, dalam satu kelompok harus ada siswa laki-laki dan perempuannya. Jika berdasarkan kemampuan akademis maka dalam satu kelompok terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang. Pembentukan kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung sehingga memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi yang diharapkan bisa membantu anggota kelompok yang lain. Keaktifan Belajar Siswa a. Pengertian Keaktifan Belajar Siswa Menurut Whipple keaktifan belajar siswa adalah suatu proses belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek
20 kognitif, afektif dan psikomotor selama siswa berada di dalam kelas (dalam Hamalik,2001). Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:115) keaktifan belajar siswa merupakan proses pembelajaran yang mengarah kepada pengoptimalisasian yang melibatkan intelektual-emosional siswa dalam proses pembelajaran dengan melibatkan fisik siswa. Keaktifan belajar siswa di sini adalah usaha yang dilakukan oleh guru pada waktu mengajar, sehingga siswa dapat terlibat aktif baik jasmani maupun rohani dalam mengikuti pelajaran (Sriyono,1992:75). Sagala (2006:124-134) menjelaskan bahwa keaktifan jasmani maupun rohani itu meliputi keaktifan indera (pendengaran, penglihatan, dan peraba), keaktifan akal dimana akal anak-anak harus aktif atau diaktifkan untuk memecahkan masalah, menimbang-nimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan, keaktifan ingatan yaitu pada waktu mengajar, anak harus aktif menerima bahan pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannya dalam otak, kemudian pada suatu saat ia siap mengutarakan kembali, keaktifan emosi dimana dalam hal ini siswa hendaklah senantiasa berusaha mencintai pelajarannya. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:63) untuk dapat menimbulkan keaktifan belajar siswa, maka guru diantaranya dapat melaksanakan perilaku-perilaku seperti menggunakan model pembelajaran yang dapat menimbulkan keaktifan siswa, memberikan tugas individu dan kelompok, memberikan kesempatan pada siswa melaksanakan eksperimen dalam kelompok kecil, mementingkan eksperimen langsung oleh siswa dibandingkan dengan demonstrasi, mengadakan tanya jawab dan diskusi, melibatkan siswa dalam merangkum atau menyimpulkan informasi pesan pembelajaran. Hal ini berarti bahwa kesempatan yang diberikan oleh guru akan menuntut siswa selalu aktif mencari, memperoleh, dan mengolah perolehan belajarnya. Berdasarkan pengertian keaktifan belajar di atas, maka dalam penelitian ini pengertian keaktifan belajar siswa sejalan dengan pendapatnya (Sriyono,1992:75) bahwa keaktifan belajar siswa adalah usaha yang dilakukan oleh guru pada waktu
21 mengajar, sehingga siswa dapat terlibat aktif baik jasmani maupun rohani dalam mengikuti pelajaran. b. Indikator Keaktifan Belajar Siswa Adapun indikator keaktifan belajar siswa menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:122-125) adalah sebagai berikut : 1. Perhatian dan antusias siswa dalam mengikuti pelajaran yang memberikan pengalaman belajar kepada siswa untuk memperoleh dan menemukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan 2. Kebebasan atau keleluasaan melakukan sesuatu hal tanpa tekanan dari guru atau pihak lainnya (kemandirian belajar) 3. Kegiatan yang melibatkan siswa untuk belajar langsung dari media/alat peraga yang diciptakan 4. Kesediaan siswa dalam merespon dan menanggapi siswa dalam proses pembelajaran 5. Kesediaan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok belajar yang ada dalam proses pembelajaran 6. Kesiapan dan kesediaan siswa dalam mempresentasikan hasil kerja kelompoknya c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar Siswa Keaktifan belajar siswa dianggap begitu penting dalam kegiatan pembelajaran, dan keaktifan siswa tersebut muncul karena dipengaruhi beberapa faktor. Berikut adalah beberapa faktor keaktifan siswa menurut Sudjana (1989:27-29) yaitu : 1) Stimulus belajar Peran yang diterima siswa dari guru biasanya dalam bentuk stimulus. Stimulus tersebut dapat berbentuk verbal atau bahasa, visual, auditif atau suara 2) Perhatian dan motivasi Perhatian dan motivasi merupakan prasarat utama dalam proses belajar mengajar. Tanpa adanya perhatian dan motivasi, hasil belajar yang dicapai tidak akan maksimal 3) Respon yang dipelajari Belajar adalah proses yang aktif, sehingga apabila tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan belajar sebagai respon terhadap stimulus yang diterima, tidak mungkin dapat mencapai hasil belajar yang dikehendaki
22
5.
4) Penguatan Setiap tingkah laku yang diikuti oleh kepuasan terhadap kebutuhan, maka akan mempunyai kecenderungan untuk diulang kembali 5) Pemakaian dan pemindahan Pikiran manusia mempunyai kesanggupan menyimpan informasi yang tidak terbatas jumlahnya. Dalam hal ini penyimpanan informasi yang tak terbatas ini penting sekali pengaturan dan penempatan informasi, sehingga dapat digunakan kembali apabila diperlukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) a. Pengertian PTK Menurut Hopkins (dalam Wiriaatmadja, 2005:11) PTK adalah penelitian yang mengkombinasikan prosedur penelitian dengan tindakan substantif, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuiri atau suatu usaha seseorang/guru dengan arahan yang diberikan ke siswa untuk memahami apa yang sedang terjadi, sambil terlibat sebuah proses perbaikan dan perubahan. Suparno (dalam Trianto, 2011:15) mengartikan bahwa penelitian tindakan kelas adalah sebagai salah satu cara pengembangan profesionalitas guru dengan jalan memberdayakan mereka untuk memahami kinerjanya sendiri dan menyusun rencana untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Rapoport (dalam Wiriaatmadja, 2005:11) mendefinisikan penelitian tindakan kelas adalah untuk membantu seseorang dalam mengatasi secara praktis persoalan yang dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu sosial dengan kerja sama dalam kerangka etika yang disepakati bersama. Berdasarkan beberapa pengertian tentang PTK di atas, maka dalam penelitian ini sejalan dengan pendapatnya Hopkins (dalam Wiriaatmadja, 2005:11) yang mengartikan bahwa PTK adalah penelitian yang mengkombinasikan prosedur penelitian dengan tindakan substantif, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuiri atau suatu usaha seseorang/guru dengan arahan yang diberikan ke siswa untuk memahami apa yang sedang terjadi, sambil terlibat sebuah proses perbaikan dan
23 perubahan. Menurut Trianto (2011:18) tujuan PTK yaitu untuk memecahkan masalah, memperbaiki kondisi, mengembangkan dan meningkatkan mutu pembelajaran. b. Prosedur PTK Prosedur PTK adalah langkah-langkah operasional baik yang terkait dengan perencanaan, tindakan, observasi, maupun refleksi yang membentuk sebuah siklus (Santyasa, 2007). 1) Perencanaan : Pada tahap ini dilakukan penyusunan rencana pembelajaran yang mencakup rumusan tujuan pembelajaran sampai dengan alat penilaian untuk mengukur keberhasilan pembelajaran dan membuat berbagai instrumen non tes yang akan digunakan sebagai alat dalam pengamatan suatu tindakan 2) Tindakan : Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan dari suatu rencana yang telah disusun 3) Observasi : Pada tahap ini dilakukan pengamatan untuk mengetahui keaktifan belajar siswa dalam proses belajar mengajar, dan sebaiknya sambil melakukan tindakan hendaknya juga dilakukan pemantauan secara cermat tentang apa yang terjadi 4) Refleksi : Pada tahap ini dilakukan analisa hasil pengamatan hasil evaluasi dari suatu tahap dalam setiap siklus. Peneliti dan pengamat mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan (evaluasi diri), yaitu keterkaitan antara pelaksana dengan perencanaan perlu diperhatikan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji secara menyeluruh, berdasarkan data hasil observasi guna menyempurnakan dan juga memperbaiki tindakan selanjutnya c. Model-Model PTK Pada prinsipnya PTK diterapkan untuk mengatasi suatu permasalahan yang terdapat di dalam kelas. Terdapat beberapa model atau desain yang dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan tersebut (Hamzah, 2011) yaitu: 1) Model Kurt Lewin Model Kurt Lewin dijadikan sebagai acuan atau dasar dari adanya penelitian tindakan khususnya PTK karena dialah yang pertama kali memperkenalkan penelitian tindakan
24 (action research). Konsep pokok penelitian tindakan menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen yaitu (a) perencanaan (planning), (b) tindakan (acting), (c) pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting), hubungan keempat komponen tersebut dipandang sebagai siklus. Hubungan keempat komponen tersebut dipandang sebagai siklus yang dapat digambarkan pada diagram berikut:
Gambar 2.1 Model Kurt Lewin
2) Model Kemmis & McTaggart PTK model Kemmis & McTaggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkanalkan oleh Kurt Lewin. Hanya saja komponen acting (tindakan) dengan observing (pengamatan) dijadikan sebagai satu kesatuan. Disatukannya kedua komponen tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa antara implementasi acting dan observing merupakan dua kegiatan yang tidak terpisahkan. Maksudnya, kedua kegiatan tersebut haruslah dilakukan dalam satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya suatu tindakan begitu pula observasi juga harus dilaksanakan. Untuk lebih tepatnya berikut ini dikemukakan bentuk designnya (Kemmis & McTaggart, 1990:14).
25
Gambar 2.2 Model Kemmis & McTaggart
Apabila dicermati, model yang dikemukakan oleh Kemmis & McTaggart pada hakekatnya berupa perangkatperangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen, yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu, pengertian siklus pada kesempatan ini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Gambar di atas tampak bahwa didalamnya terdiri dari dua perangkat komponen yang dapat dikatakan sebagai dua siklus. Untuk pelaksanaan sesungguhnya, jumlah siklus sangat bergantung kepada permasalahan yang perlu diselesaikan. 3) Model Ebbut Ebbut melakukan penelaahan terhadap praktik penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Lewis. Kegiatan penelaah terfokus pada pelaksanaan kolaborasi antar tim peneliti. Ebbut lebih memusatkan kegiatan pada adanya kesenjangan antara pengajar untuk pemahaman dan mengajar untuk kebutuhan. Ebbut menalaah adanya dilema yang timbul dalam kolaborasi antara peneliti yang berasal dari luar kelas dengan agenda penelitiannya dan guru-guru yang lain menyelidiki dan memperoleh gambaran apa yang telah mereka praktikan sendiri.
26
Gambar 2.3 Model Ebbut
4) Model John Elliot Model John Elliot ini lebih rinci jika dibandingkan dengan model Kurt Lewin dan model Kemmis & McTaggart karena di dalam setiap siklus terdiri dari beberapa tindakan, yaitu antara tiga sampai lima tindakan. Sementara itu, setiap tindakan terdiri dari beberapa langkah yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Model John Elliot dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4 Model John Elliot
27 5) Model McKernan Perlu diperhatikan dari model ini adalah bahwa pada setiap daur tindakan yang ada selalu dievaluasi untuk melihat hasil tindakan, apakah tujuan dan permasalahan penelitian dapat tercapai. Jika tindakan yang diberikan sudah dapat memecahkan masalah maka penelitian dapat diakhiri, jika tidak maka dilanjutkan ke daur berikutnya. Siklus model McKernan dapat dilihat seperti berikut:
Gambar 2.5 Model McKernan
Pada penelitian ini, maka akan menggunakan model Kemmis & McTaggart, karena komponen tindakan dan pengamatan dijadikan sebagai satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya suatu tindakan begitu pula observasi juga harus dilaksanakan.
28 6.
Peta Konsep Unsur-unsur kubus
Jaring-jaring kubus KUBUS Luas permukaan kubus Volume kubus
BANGUN RUANG
Unsur-unsur balok Jaring-jaring balok BALOK Luas permukaan balok Volume balok
7. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian tentang peningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif telah banyak dilakukan, diantaranya yaitu : 1) Penelitian yang dilakukan oleh Umi (2007) dengan judul “Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa Pada Pelajaran Matematika Melalui Implementasi Model Cooperative Learning”. Hasil dari penelitiannya dapat meningkatkan peran aktif siswa dan meningkatkan prestasi belajar siswa yaitu keaktifan siswa dapat dilihat dari setiap siklus yang semakin meningkat. Siklus I menunjukkan keaktifan siswa dengan kualitas baik sebesar 29,7%, dan pada siklus II jumlahnya meningkat menjadi 50%, sedangkan untuk prestasi belajar pada siklus I hanya 62,5% dan terjadi peningkatan pada siklus II yaitu 91,6%. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan peran aktif siswa dalam pembelajaran matematika melalui model Cooperative Learning meliputi menggunakan LKS yang memunculkan persoalanpersoalan yang menarik dan menantang siswa dalam setiap
29 pembelajaran, membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam kelompok, mendorong siswa agar berani bertanya, dan berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kelompok. Apabila peran aktif siswa meningkat maka prestasi belajar siswa pun juga akan meningkat 2) Penelitian yang dilakukan oleh Mustafa dkk (2011) dengan judul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Numbered Heads Together untuk Meningkatkan Keaktifan dan Penguasaan Konsep Matematika”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif model Numbered Heads Together dapat meningkatkan keaktifan dan penguasaan konsep matematika. Hasil peningkatan ini dapat dilihat dari tiap siklus yang semakin meningkat yaitu keaktifan siswa pada siklus I hanya 49% dan siklus II meningkat dengan prosentase 76,6%, sedangkan pada penguasaan konsep matematika siklus I menunjukkan 48% dan meningkat pada siklus II yaitu 79,17%. Hal ini tampak bahwa tindak pembelajaran telah berhasil meningkatkan keaktifan dan penguasaan konsep matematika 3) Penelitian yang dilakukan oleh Candra (2010) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan Siswa dan Prestasi Belajar Matematika Pada Segi Empat Melalui Pendekatan Cooperative Learning Tipe Two Stay Two Stray”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan keaktifan dan prestasi belajar siswa yang dapat dilihat dari peningkatan setiap siklus yaitu pada keaktifan siswa siklus I menunjukkan 55,6% dan siklus II 76,2%, sedangkan pada prestasi belajar siswa pada siklus I 61,3% dan siklus II 83,2%. Hasil tersebut membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa Beberapa penelitian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa inti dari penelitian tersebut yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan peran aktif siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa yaitu keaktifan siswa dapat dilihat dari setiap siklus yang semakin meningkat. Siswa sebagai subjek pembelajaran harus dapat terlibat langsung secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini menempatkan keaktifan siswa dan hasil belajar pada posisi yang penting dalam proses
30 pembelajaran. Oleh karena itu, batasan dari penelitian ini yaitu menggunakan model pembelajaran kooperatif yang terbatas pada model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. 8. Kerangka Berfikir Upaya yang diperlukan untuk mendorong siswa aktif dalam belajar di kelas selalu bergantung pada guru. Keaktifan belajar siswa belum berkembang selama proses pembelajaran yang berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih mendorong keaktifan, kemandirian dan tanggung jawab dalam diri siswa. Pembelajaran ini siswa lebih banyak berperan selama kegiatan berlangsung. Melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Berdasarkan paparan di atas, maka kerangka berfikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
31
KONDISI AWAL
Guru : Dalam pembelajaran masih menggunakan metode ceramah
Siswa : Keaktifan dan hasil belajar siswa masih rendah
Siklus I : Menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi unsurunsur dan jaring-jaring pada kubus dan balok
TINDAKAN
Dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS Siklus II : Menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi luas permukaan dan volume pada kubus dan balok.
KONDISI AKHIR
Melalui model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, keaktifan dan hasil belajar siswa meningkat
32 9.
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: a. Adanya peningkatan hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe TSTS ditandai pada hasil belajar siswa sebanyak 60% siswa yang tuntas dengan siswa sudah memenuhi nilai KKM yaitu 65. b. Adanya peningkatan keaktifan belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe TSTS ditandai dengan meningkatnya keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, yaitu dengan prosentase indikator keaktifan belajar siswa menurut Saminanto (2010) sekurang-kurangnya 70% siswa memenuhi kriteria tinggi.