BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas atau common carp (Cyprinus carpio L.) yang ada di Indonesia
menurut sejarahnya berasal dari daratan China, Rusia (Santoso 1993) Eropa, Taiwan dan Jepang (Kemenristek 2000). Ikan mas banyak disukai masyarakat karena rasa dagingnya yang enak gurih dan kandungan proteinnya cukup tinggi (Khairuman dkk. 2008). Menurut Saanin (1995) dalam Pratama 2010 klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut: Filum Sub-filum Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Osteichthyes : Actinopterygii : Cypriniformes : Cyprinoidei : Cyprinidae : Cyprinus : Cyprinus Carpio L.
2.1.1 Morfologi Ikan Mas Ikan mas pada umumnya memiliki tubuh memanjang dan sedikit pipih ke samping (compressed), mulutnya berada di ujung tengah (terminal), terdapat dua pasang sungut (barbel) di setiap sisi mulutnya, sungut (barbel) di mulut bagian atas memiliki panjang yang lebih pendek. Sirip dorsal ikan mas terdapat rusukrusuk yang kuat dan memanjang dengan jumlah rusuk sekitar 17 – 22. Sirip anal terdapat 6 – 7 rusuk halus, pada ujung posterior ke tiga dari sirip dorsal dan anal dihiasi oleh spinula tajam. Linear lateralis terdapat 32 sampai 38 sisik (Peteri 2004), berada di pertengahan tubuh melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Khairuman dkk. 2008). Sirip pectoral terletak di belakang operculum. Usus ikan mas umumnya tidak begitu panjang bila dibandingkan dengan hewan pemakan tumbuhan. Ikan mas tidak memiliki lambung, dan tidak memiliki gigi, untuk mencerna makanannya ikan mas menggunakan pharing mengeras sebagai pengganti gigi
7
8
saat menghancurkan makanannya (Santoso 1993). Ikan mas memiliki sisik yang relatif besar dan termasuk kedalam tipe cycloid, memiliki garis rusuk yang lengkap berada pada sirip ekor, gigi kerongkongan (pharyngeal teeth) terdiri dari tiga baris yang berbentuk geraham (Susanto 2004 dalam Pratama 2010). 2.1.2 Biologi Ikan Mas Ikan mas umumnya hidup di alam pada bagian tengah dan hilir sungai serta perairan dangkal tertutup. Ikan mas dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu air sekitar 23 – 30 oC, dengan pH antara 6,5 – 9,0. Ikan mas dapat bertahan hidup pada lingkungan perairan dengan kadar oksigen terlarut rendah (0,3 – 0,5 mg.1-1) dan juga pada situasi supersaturasi (Flajshans and Hulata 2006). Ikan mas dapat hidup di daerah dengan ketinggian 150 – 600 m di atas permukaan laut (dpl). Meskipun tergolong ikan air tawar ikan mas terkadang dapat ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas antara 25 – 30 pptau (Khairuman dkk. 2008). Ikan mas merupakan pemakan segala (omnivorous) dengan kecendrungan yang tinggi untuk memangsa organisme bentik, seperti serangga air, larva serangga, cacing, moluska, dan zooplankton. Pada perairan mengalir ikan mas biasanya menggali di bawah perairan untuk mencari makanan. Konsumsi zooplankton cukup tinggi bila ikan mas hidup di dalam kolam dimana stok plankton memiliki densitas yang tinggi. Terkadang ikan mas juga menkonsumsi ranting, daun, dan biji-bijian dari tumbuhan air maupun darat, tumbuhan akuatik yang membusuk, dan lain-lain (Peteri 2004). Ikan mas yang dibudidayakan di kolam-kolam budidaya dapat dikawinkan sepanjang tahun tanpa harus menunggu musim kawin terlebih dahulu, sedangkan di alam seperti sungai, danau maupun wilayah yang digenangi air lainnya, ikan mas akan memijah pada awal atau sepanjang musim penghujan. Ikan mas biasanya memijah pada perairan dangkal, setelah terjadi kekeringan selama musim kemarau. Ikan mas menempelkan seluruh telurnya pada tanaman atau rerumputan di tepian perairan (susanto 1993). Indukan betina akan mengeluarkan telur 100 sampai 230 g/kg berat tubuhnya. Telur-telur tersebut akan menempel
9
pada substrat berupa tumbuhan air, dan setelah terjadi kontak dengan air telurtelur tersebut akan bersifat adesif kemudian mengembang 3 – 4 kali dari ukuran sebelumnya. Perkembangan embrio membutuhkan waktu sekitar 3 hari di dalam perairan dengan suhu berkisar antara 20 – 23 oC dengan total energi yang dibutuhkan 60 – 70 derajat/hari (degree-days). Anak ikan (fry) yang baru menetas akan tetap menempel pada substrat dan bertahan hidup dengan cadangan makanan dari kuning telur. Setelah tiga hari menetas kandung kemih renang pada bagian posterior mengalami perkembangan, larva ikan mas akan dapat berenang secara horizontal dan mulai menkonsumsi makanan dari luar dengan ukuran maksimum antara 150 – 180 µm (sesuai dengan bukaan mulut) yang sebagian besar adalah kalangan rotifer (Peteri 2004). 2.2
Jenis Ikan Mas Ikan mas mempunyai banyak jenis atau ras dan perkembangan
budidayanya sangat pesat (Santoso 1993). Saat ini banyak sekali jenis ikan mas yang beredar di kalangan pembudidaya, baik dari jenis ikan mas berkualitas sedang hingga jenis unggul. Jenis-jenis ikan mas secara umum dapat digolongkan menjadi dua jenis kelompok, yaitu kelompok ikan mas konsumsi dan kelompok ikan mas hias (Khairuman dkk. 2008). Menurut Sudarto (2004) dalam Pratama (2010), terdapat 21 jenis ikan mas di Indonesia, dari beberapa jenis ikan mas yang dikoleksi dan dipelihara ada beberapa jenis ikan mas yang mati karena tidak cocok dengan kondisi tempat pemeliharaan. Berdasarkan hasil koleksi tersebut dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat berbagai ragam bentuk dan warna ikan mas. 2.2.1 Ikan Mas Majalaya Ikan mas strain Majalaya (Gambar 2) adalah jenis ikan mas hasil seleksi yang secara taksonomi termasuk kedalam spesies Cyprinus carpio L., pertama kali ditemukan di daerah Majalaya, Jawa Barat. Ikan mas Majalaya memiliki warna tubuh hijau keabu-abuan, mulai dari kepala bagian atas sampai pangkal ekor bagian atas, bersisik penuh, badan lebar, perut besar, kepala kecil, mata
10
menonjol, bentuk punggung melengkung, laju pertumbuhan relatif tinggi dan secara luas dipelihara di Indonesia (SNI : 01- 6130 – 1999).
Gambar 2. Ikan Mas Strain Majalaya (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
Ikan mas Majalaya memiliki ukuran tubuh yang relatif pendek dengan perbandingan panjang dengan tinggi tubuh antara 3,2:1. Bentuk tubuhnya semakin lancip ke arah punggung dan bentuk moncongnya pipih, sisiknya berwarna hijau keabu-abuan dan bagian tepinya berwarna lebih gelap, kecuali di bagian bawah insang dan di bagian bawan sirip ekor yang berwarna kekuningan. Semakin ke arah punggung warna sisik ikan ini semakin gelap. Ikan mas Majalaya relatif jinak dan suka berenang di atas permukaan air (Khairuman dkk. 2008). 2.2.2 Ikan Mas Rajadanu Ikan mas strain Rajadanu (Gambar 3) sesuai dengan namanya merupakan ikan mas yang berasal dari suatu desa di daerah Kuningan, Jawa Barat. Secara taksonomi ikan mas Rajadanu termasuk kedalam spesies Cyprinus carpio L., ikan ini memiliki kelebihan dalam segi adaptasi dan laju pertumbuhannya yang lebih baik dari ikan mas Majalaya (Pratama 2010). Berdasarkan ciri morfologinya ikan mas Rajadanu memiliki bentuk tubuh memanjang, dengan perbandingan panjang total dengan tinggi tubuhnya sebesar 3,5:1. Tubuh ikan ini dipenuhi dengan sisik berukuran normal, punggung berwarna hijau keabu-abuan, semakin ke arah perut warna sisik semakin memutih dan pada bagian perut sisik berwarna putih. (Liptan IP2TP 2000).
11
Gambar 3. Ikan Mas Strain Rajadanu (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
2.2.3 Ikan Mas Subang Ikan mas strain Subang (Gambar 4) adalah jenis ikan mas yang biasanya dibudidayakan di daerah Subang dan dipelihara secara turun-temurun, sehingga ikan mas Subang sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan di daerah Subang. Secara taksonomi ikan mas Subang termasuk kedalam spesies Cyprinus carpio L. Berdasarkan ciri morfologinya ikan mas Subang memiliki bentuk tubuh yang panjang dan tidak terlalu tinggi. Seluruh tubuhnya ditutupi oleh sisik yang berwarna abu-abu kehitaman, pada perut bagian bawah berwarna agak putih kekuningan (Khairuman dkk. 2008).
Gambar 4. Ikan Mas Strain Subang (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
Ikan mas Subang sebenarnya belum bisa digolongkan sebagai jenis ikan mas tersendiri, tetapi ikan mas jenis ini paling banyak ditemukan di lapangan dan paling banyak dikenal oleh para pembudidaya. Kemungkinan besar ikan mas Subang muncul akibat terjadinya perkawinan silang yang tidak terkendali antara jenis-jenis ikan mas lainnya, sehingga menimbulkan ciri khas tersendiri yaitu
12
bentuk dan tubuhnya merupakan gambaran dari kombinasi beberapa jenis ikan mas yang sudah ada (Khairuman dkk. 2008). 2.3
Grass Carp (Ctenopharyngodon idella) Grass carp (Ctenopharyngodon idella) merupakan salah satu anggota
terbesar
dari
keluarga
Cyprinidae,
dan
satu-satunya
anggota
genus
Ctenopharyngodon (Shireman and Smith 1983). Grass carp mulai dibudidayakan di sepanjang area Sungai Yangtze dan Sungai Mutiara wilayah bagian Selatan China. Dibandingkan dengan ikan mas, kegiatan budidaya grass carp sudah lebih dulu dilakukan (Weimin 2004). Menurut Shireman and Smith (1983), klasifikasi grass carp adalah sebagai berikut: Filum Sub-filum Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Osteichthyes : Actinopterygii : Cypriniformes : Cyprinoidei : Cyprinidae : Ctenopharyngodon : Ctenopharyngodon idella V.
2.3.1 Morfologi Grass Carp Grass carp (Gambar 5) secara umum memiliki tubuh yang dipenuhi oleh sisik berukuran sedang sampai besar, perutnya membulat, dan kepalanya lebar. Mata terletak di tengah atau atas garis tubuh. Letak mulut subterminal atau terminal dan agak melengkung, memiliki rahang dengan bibir sederhana. Rahang bagian atas sedikit protractile, tidak terdapat sungut atau barbel. Garis linear lateralis lengkap, memanjang mengikuti garis tengah ekor, terdapat sekitar 40 – 45 sisik. Panjang sirip dorsal dengan sirip anal pendek tanpa duri keras, dengan rusuk sirip sekitar 7 dan 8. Sirip dorsal berada bersebrangan dengan sirip ventral, sedangkan sirip anal berada jauh di belakang tepi posterior dorsal, sirip caudal berbentuk forked atau bercagak (Shireman and Smith 1983).
13
Gambar 5. Grass Carp (Ctenopharyngodon idella) (Sumber : http://www.dec.ny.gov/animals/52767.html)
Grass carp memiliki bentuk tubuh silinder, perutnya membulat dan pipih pada bagian belakang, dengan panjang standar sekitar 3,5 – 4,3 kali dari tinggi tubuh, dan 3,8 – 4,4 kali dari panjang kepala. Bagian caudal peduncle memiliki panjang yang lebih besar dari pada lebarnya. Ukuran kepala sedang, pada bagian mulut dilengkapi dengan dua pasang gigi pharing di setiap sisinya. Ikan ini memiliki jenis sisik cycloid, warna tubuh biasanya kuning kehijauan, pada bagian dorsal berwarna coklat gelap, dan putih keabu-abuan di bagian perut (Weimin 2004). Shireman and Smith (1983), berpendapat bahwa ikan ini memiliki warna coklat gelap di bagian atas dorsal, dan warnanya semakin cerah ke bagian bawah, sisi tubuhnya diwarnai dengan kilauan kekuningan. Warna siripnya gelap, sesuai dengan tiap-tiap sisiknya yang berwarna coklat tua. 2.3.2 Biologi Grass Carp Grass carp merupakan ikan asli dari perairan China yang distribusi penyebarannya membentang dari daerah tangkapan air sepanjang Sungai Mutiara di Selatan China sampai ke Sungai Heilongjiang di Utara China. Ikan ini telah diintroduksi oleh sekitar 40 negara. Grass carp merupakan ikan yang hidup di perairan danau, sungai dan waduk. Ikan ini termasuk kedalam jenis herbifora, secara umum makanan utamanya adalah jenis tumbuhan air, meskipun demikian ketika masih menjadi anak ikan (fry) atau larva, grass carp juga memakan zooplankton, dalam kolom budidaya ikan ini juga memakan pelet dan pakan buatan. Grass carp biasanya menghuni bagian tengah hingga dasar perairan, ikan ini relatif menyukai perairan yang jernih dan senang bergerak bebas. Grass carp
14
termasuk juga kelompok ikan yang melakukan migrasi, ikan dewasa akan bermigrasi ke hulu sungai untuk bereproduksi (Weimin 2004). Grass carp umumnya memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, terhitung dari wilayah persebarannya yang luas. Ikan ini bertelur pada aliran sungai utama atau di kanal-kanal selama permukaan air sedang tinggi, dan dipengaruhi oleh suhu serta kecepatan arus. Telur-telur yang mengambang berpeluang hanyut terbawa arus air sejauh 50 – 180 km sebelum akhirnya menetas. Larva memiliki karakteristik untuk berenang sehingga memungkinkan mereka untuk bermigrasi ke hilir sungai, keluar dari aliran sungai utama menuju danau-danau, waduk, dan lahan banjir yang menyediakan wilayah asuhan, sehingga mereka dapat berlindung pada vegetasi tumbuhan. Ikan muda akan bermigrasi kembali ke aliran sungai utama menuju hulu atau hilir sejauh kurang lebih 1000 km dari spawning ground (Shireman and Smith 1983). Ikan ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat yaitu sekitar 0,91 kg per bulan (Sutton et al 2012). 2.4
Giant Barb (Catlocarpio siamensis) Giant barb (Gambar 6) atau Giant Carp, merupakan ikan asli dari perairan
Sungai Mekong dan terkenal sebagai salah satu ikan Cyprinid terbesar di sungai ini yang panjangnya bisa mencapai total tiga meter (Rainboth 1996). Ikan ini dapat ditemukan di Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam (Mattson et al. 2002) Nilai tangkapan ikan ini semakin tahun semakin menurun karena banyaknya kegiatan penangkapan, sehingga membuat ikan ini menjadi salah satu spesies ikan yang terancam punah (Hogan 2011). Menurut ITIS (Integrated Taxonomy Information System dalam www.itis.gov) berdasarkan taksonominya Giant Barb atau Giant Carp memiliki klasifikasi sebagai berikut: Filum Sub-filum Kelas Sub-kelas Ordo Famili Superfamili Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Neopterygii : Cypriniformes : Cyprinidae : Cyprinoidea : Catlocarpio : Catlocarpio siamensis B.
15
Gambar 6. Giant Barb (Catlocarpio siamensis) (Sumber: http://photos.zoochat.com/large/img_55414-242702.jpg)
2.4.1. Morfologi Giant Barb Giant barb memiliki bentuk tubuh yang besar seperti torpedo, punggungnya menonjol ke atas sedangkan bagian perutnya rata. Sirip dorsal tidak memiliki duri keras, kepalanya besar, ukuran kepala bisa mencapai satu per tiga dari panjang standar. Letak mulut terminal, tidak memiliki sungut (barbel), sirip pectoral berada di bawa operculum, sirip ventral letaknya bersebrangan dengan sirip dorsal, dan sirip caudal berbentuk forked. Linear lateralis lengkap menanjang sepanjang garis tengah ekor (Rainboth 1996). Warna tubuh ikan ini umumnya hitam keabu-abuan, dengan warna pangkal sisik hitam dan putih di ujungnya. 2.4.2 Biologi Giant Barb Giant barb umumnya hidup di sungai besar, terkadang terdapat di kanalkanal dan lahan banjir di sekitar Chao Phrya dan Mekong (Rainboth 1996). Secara umum ketika masih muda ikan ini menghuni daerah lahan banjir yang dangkal, ketika semakin besar mereka melakukan migrasi ke sungai-sungai yang lebih dalam (Mattson 2002). Menurut Hogan (2011), ikan ini hidup di habitat sungai utama dimana terdapat banyak alga, fitoplankton, tumbuhan, dan ikan kecil sebagai makanan mereka. Ikan muda menghuni habitat lahan banjir, sedangkan ikan dewasa lebih menyukai perairan dalam di sungai utama, terutama selama musim kering.
16
Giant barb umumnya memakan alga, fitoplankton dan buah-buahan yang jatuh ke perairan (Mattson 2002). Eung (1995) dalam Mattson (2002), menyatakan bahwa giant barb tidak akan makan bila mereka diganggu. Ikan ini juga memakan ikan kering, jagung, kacang kedelai (soy bean), dan kacang hijau (mung bean), dan dedak padi saat dipelihara di kolam. Giant barb dapat mencapai matang gonad ketika usianya sekitar tujuh tahun dengan berat tubuh 9 kg bila dipelihara di kolam tanah, sedangkan di alam berat tubuh ketika sedang bertelur bisa mencapai 60 kg. Secara umum ukuran betina lebih besar dari jantan, dan selama musim kawin, perut betina akan lebih besar dari pada jantannya (Mattson 2002). Menurut Leelapatra et al. (2000) dalam Mattson (2002), menyatakan bahwa di alam giant barb bisa tumbuh dari 2 sampai 4 kg selama delapan bulan. Panjang maksimum dari ikan ini dapat mencapai 3 m (Rainboth 1996), tetapi umumnya sekitar 1 – 2 m dengan berat 70 – 120 kg, namun belakangan ikan dengan ukuran lebih dari 50 kg sudah langka ditemukan (Mattson 2002). 2.5
Deoxyribonucleic Acid (DNA) Deoxyribonucleic acid atau lebih dikenal dengan DNA, adalah suatu
material berisi informasi-informasi genetik yang secara turun temurun diwariskan oleh setiap organisme kepada generasi berikutnya. DNA banyak terdapat di dalam sel nukleus yang dikenal dengan sebutan nukleus DNA, tetapi sebagian kecil DNA dapat ditemukan juga pada mitokondria yang dikenal dengan sebutan mitokondria DNA (mtDNA) (Genetic Home Reference 2014). DNA ditunjukkan sebagai molekul panjang yang terdiri dari empat jenis basa kimia yang berbeda, yaitu adenin (A), guanin (G), timin (T), dan citosin (C) (Watson and Berry 2003). Setiap basa DNA berpasangan satu sama lainnya, basa A berpasangan dengan basa T, basa C berpasangan dengan basa G, untuk membentuk unit yang disebut base pair (bp) atau pasangan basa. Tiap basa juga berpasangan dengan molekul gula dan molekul fosfat. Gabungan antara basa, gula, dan fosfat disebut nukleotida. Nukleotida tersusun dari dua utas panjang membentuk spiral yang disebut dengan double helix (Gambar 7) (Genetic Home
17
Reference 2014). Rangkaian gugusan gula dan fosfat kedua rantai nukleotida sama, tetapi mempunyai arah yang berbeda (3’→5’ dan 5’→3’), bagian ini disebut juga dengan nama backbone chain (rantai tulang punggung).
Gambar 7. DNA Double Helix (Sumber: Genetic Home Reference 2014)
DNA merupakan molekul penyimpanan yang penting, karena DNA memuat semua perintah sel yang dibutuhkan untuk menjaga dirinya agar tetap ada. Perintah ini terdapat pada gen, yang mana setiap bagian DNA terdiri dari sekuen nukleotida spesifik. Pada aplikasinya, perintah yang terdapat dalam gen harus diekspresikan, atau dikopi menjadi suatu bentuk yang dapat digunakan oleh sel untuk memproduksi protein yang dibutuhkan dalam menopang kehidupan (Miko and LeJeune. 2009). 2.5.1 Polimorfisme DNA Polimorfisme atau keragaman genetik merupakan fenomena yang terjadi ketika adanya individu dengan sifat genetik yang berbeda dari suatu populasi. Polimorfisme bertanggung jawab terhadap adanya banyak perbedaan antar organisme, seperti perbedaan warna mata, warna rambut, warna kulit, golongan darah, dan lain-lain. Meskipun banyak polimorfisme yang tidak memiliki dampak negatif pada suatu organisme, ada beberapa jenis perbedaan yang dapat
18
menimbulkan resiko sehingga berkembang menjadi suatu kelainan (Genetic Home Reference 2014). Keragaman genetik penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang dari suatu spesies dan dapat memperkuat ketahanan suatu spesies atau populasi dengan memberikan spesies atau populasi tersebut kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (Dunham 2002 dalam Asih dkk. 2006). Beardmore et al. (1997) dalam Yousefian (2011), menyatakan bahwa keragaman genetik penting bagi alam maupun spesies di sungai, terutama dengan adanya migrasi dari suatu kultur populasi karena hal tersebut dapat memberikan keragaman genetik untuk beradaptasi terhadap terjadinya perubahan kondisi. Individu heterozigot biasanya lebih superior dibandingkan dengan individu yang kurang heterozigot berdasarkan banyak karakteristik dari beberapa aspek penting seperti pertumbuhan, kesuburan, dan ketahanan terhadap penyakit. Keragaman genetik dipengaruhi oleh habitat dan sejarah penyebaran suatu takson. Habitat yang kurang baik akan menyebabkan perkembangan populasinya tertekan dan akibatnya kemampuan reproduksinya juga menurun. Menurunnya kemampuan reproduksi akan menyebabkan keragaman genetik juga menurun (Oktarianti dan Pristiwindari 2007). Hilangnya keragaman genetik pada populasi kecil bisa jadi merupakan konsekuensi dari adanya penyimpangan genetik dan inbreeding (perkawinan sekerabat) yang umumnya ditemukan pada stok budidaya (Sbordoni et al. 1986 dalam Freitas and Galetti 2005). Ada dua fenomena yang sangat berpengaruh terhadap menurunnya keragaman genetik pada populasi kecil dan terisolasi dalam kolom budidaya, diantaranya adalah adanya inbreeding (perkawinan sekerabat) dan founder effect (efek perintis), dimana adanya penurunan genetik yang terjadi ketika populasi baru hanya terdiri dari jumlah individu yang sedikit, dari populasi yang semula berjumlah besar (Barker 1994 dalam Freitas et al. 2007). Selain itu kegiatan pembenihan secara buatan yang dilakukan secara terus menerus dengan jumlah indukan yang terbatas dan dari jenis yang sama kemungkinan akan mengakibatkan genetic drift atau allelic drift (pernurunana kualitas atau keragaman genetik akibat adanya penurunan jumlah dan frekuensi gen berbeda (alel) pada suatu populasi), dan bottleneck effect
19
(penurunan jumlah suatu populasi secara drastis karena kejadian alam seperti gempa, banjir, dan kemarau atau akibat aktivitas manusia seperti penangkapan ikan, reklamasi daerah perairan, limbah, dan kegiatan budidaya ikan) (Jewel et al. 2006). 2.6
Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) atau reaksi polimerase berantai adalah
suatu teknik yang umum digunakan untuk mempelajari biologi molekuler, ditemukan oleh Karry B Mullis pada tahun 1985. Metode PCR memberikan pengaruh yang sangat luar biasa pada dunia riset, terutama dalam bidang biologi dan kesehatan, sehingga sesaat setelah penemuannya PCR telah mempercepat proses pembelajaran tentang gen dan genom (McPherson and Moller 2006).. Prinsip PCR adalah membuat kopi fragmen DNA spesifik dalam jumlah besar menggunakan beberapa reagen biologi molekuler. PCR disebut juga sebagai mesin foto kopi DNA. Awalnya template atau cetakan DNA memiliki konsentrasi yang sedikit, namun konsentrasi DNA tersebut meningkat secara dramatis selama proses berlangsung (McPherson and Moller 2006). PCR merupakan teknik yang sederhana untuk mengkopi potongan DNA di laboratorium dengan menggunakan reagen yang tersedia. Karena jumlah sekuen DNA yang dikopi bertambah secara eksponensial, lebih dari 100 miliar kopi sekuen DNA dapat diciptakan dalam hitungan jam (Mullis 1990). Praktisnya untuk mensintesis DNA dengan menggunakan teknik PCR dibutuhkan primer atau sekuen DNA pendek yang komplementer dengan sekuen DNA template. Primer adalah sekuen DNA sintesis yang biasanya terdiri dari 20 susunan nukleotida, yang berfungsi sebagai pengantar untuk proses amplifikasi atau sintesis DNA pada teknik PCR. Cara kerjanya adalah, sekuen primer akan menempel pada sekuen DNA template yang komplementer, kemudian DNA polimerase menggunakan sekuen DNA template tersebut untuk memperpanjang sekuen primer dengan cara menggabungkannya pada deoxinucleotide (dNTP) yang tepat berdasarkan base pair (pasangan basa-nya) (Gambar 8) (McPherson and Moller 2006).
20
Gambar 8. Penempelan Primer Pada DNA Template (Sumber: McPherson and Moller 2006)
2.6.1 Komponen PCR PCR memiliki beberapa komponen penting yang dijadikan sebagai penunjang keberhasilan dalam proses amplifikasi DNA. Secara garis besar komponen PCR dapat dibagi menjadi dua jenis, pertama adalah komponen alat yang terdiri dari aliquot tube atau microtube, cooler block, microsentrifuge, thermal cycler, dan alat elektroforesis. Kedua, terdiri dari bahan-bahan yang dijadikan sebagai campuran larutan PCR, diantaranya adalah, enzim DNA polimerase atau PCR buffer, dNTP solution, primer oligonukleotida, DNA template, dan nuclease free water, semua bahan-bahan tersebut dicampurkan sampai homogen di dalam aliquot tube atau microtube, lalu dimasukkan ke dalam mesin thermal cycler untuk dilakukan proses PCR secara invitro. Komponen selanjutnya digunakan sebagai media untuk menganalisa hasil dari produk PCR, apakah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, komponen tersebut diantaranya adalah gel agarose dan larutan buffer TBE (tris-borate EDTA), atau TAE (trisacetate EDTA). Gel agarose yang telah diisi oleh larutan produk PCR, direndam dengan larutan buffer yang dimasukkan ke dalam alat elektroforesis, untuk
21
dilakukan proses analisa produk PCR melalui elektroforesis gel agarose (McPherson and Moller 2006). 2.6.2 Prinsip Kerja PCR Proses PCR berlangsung berdasarkan tiga tahapan utama yang diatur oleh tempratur. Tahapan pertama adalah denaturasi, pada tahapan ini utas ganda (double helix) DNA dipisahkan atau dipecah menjadi utas tunggal (single helix) DNA dengan menaikkan tempratur menjadi 94 oC. Tahapan kedua adalah annealing, pada tahapan ini tempratur diturunkan dengan cepat, sehingga memungkinkan primer oligonukleotida untuk menempel dan menyatu dengan DNA template. Selama proses annealing, DNA polimerase yang termostabil akan aktif sampai batas tertentu dan memulai untuk memperpanjang primer sesaat setelah primer tersebut menempel pada template. Hal ini dapat menyebabkan masalah spesifik apabila tempratur annealing terlalu rendah, tempratur annealing berkisar antara 40 – 72 oC (umumnya yang sering digunakan sebesar 55 oC). Tahap yang ketiga adalah tahap sintesis atau amplifikasi DNA, pada tahapan ini tempratur akan dinaikkan menjadi 72 oC, yang merupakan tempratur efisien untuk sintesis atau amplifikasi DNA dengan menggunakan DNA polimerase termostabil. Ketiga tahapan ini biasanya diulang antara 25 sampai 40 kali, atau sesuai dengan kebutuhan pada aplikasi tertentu. Normalnya ada tambahan ekstensi pada tempratur 72 oC, untuk memastikan semua produk memiliki panjang yang lengkap. Akhirnya reaksi didinginkan pada suhu ruangan atau pada tempratur 4 oC tergantung pada aplikasi dan jenis mesin thermal cycler yang digunakan (McPherson and Moller 2006). Siklus pertama pada proses PCR, tiap-tiap utas template memunculkan rangkap baru (Gambar 9), dan menggandakan jumlah kopi dari daerah target. Demikian juga untuk setiap siklus berikutnya, dimana pada tahapan denaturasi, annealing, dan ekstensi, berlaku teori penggandaan jumlah kopi dari DNA target. Jika PCR mencapai efisiensi 100% maka pada siklus ke 20 akan menghasilkan satu juta lipatan amplifikasi dari DNA target (220 = 1.048.572). Tentu saja PCR tidak 100% efisien untuk beberapa alasan, namun dengan menambahkan jumlah
22
siklus dan mengoptimasi kondisi amplifikasi maka memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (McPherson and Moller 2006).
Gambar 9. Prinsip Kerja PCR (Sumber: McPherson and Moller 2006)
Salah satu keuntungan penggunakan teknik PCR adalah kemampuan untuk mengamplifikasi daerah tertentu pada DNA dari template yang sangat kompleks seperti DNA genom. PCR menggunakan dua jenis primer oligonukleotida yang bekerja sebagai tempat terjadinya sintesis atau amplifikasi DNA dengan DNA polimerase, dan juga primer ini dapat mendefinisikan bagian DNA yang akan dikopi (Mullis and Faloona 1987). DNA polimerase membutuhkan sebuah primer umtuk memulai sintesis atau amplifikasi DNA, oleh sebab itu informasi mengenai sekuen DNA target yang akan dikopi harus diketahui terlebih dahulu sebelum mendesain sebuah primer. Primer harus komplementer dengan bagian sekuen yang diketahui pada utas yang berlawanan dari DNA template, dan titik akhir 3´-OH pada primer lainnya (McPherson and Moller 2006). 2.6.3 Random Amplified Polymophic DNA (RAPD-PCR) Perkembangan markah (marker) genetik yang berbasis DNA telah memberikan pengaruh pesat terhadap genetika binatang. Secara teori dengan
23
menggunakan markah DNA seseorang dapat mengamati dan mengeksplorasi keragaman genetik dari keseluruhan genom yang ada. Markah genetik yang populer di komunitas akuakultur diantaranya ada allozim, mitokondria DNA (mtDNA), RFLP, RAPD, AFLP, mikrosatelit, dan lain-lain (Liu and Cordes 2004). Random amplified polymorphic DNA (RAPD) atau dikenal juga sebagai arbitrarily primed PCR (AP-PCR) merupakan salah satu metode pemetaan gen yang relatif cepat (McPherson and Moller 2006). Aplikasi RAPD-PCR dalam dunia akuakultur sudah banyak diterapkan untuk mempelajari keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar spesies ikan, diantaranya analisa keragaman genetik ikan batak (Tor soro) (Asih dkk. 2006), untuk mencari potensi indukan belut sawah (Monopterus albus) (Buwono dkk. 2011), analisa genetik pada ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) dan blue catfish (I. furcatus) (Liu et al. 1998), analisa kekerabatan ikan mas koi (Cyprinus carpio koi) (Muharam 2012), dan untuk analisa keragaman genetik ikan mas (Cyprinus carpio) (Rafsanjani 2010). Prosedur RAPD pertamakali dikembangkan pada tahun 1990 oleh Welsh and McClelland (1990), dan William et al. (1990). RAPD-PCR cocok digunakan untuk pemetaan genetik, dalam aplikasi pemuliaan tanaman dan hewan, serta untuk fingerprinting (pemetaan) DNA, dengan kegunaan khusus yakni mempelajari genetik populasi (William et al. 1990), RAPD-PCR merupakan metode untuk melakukan fingerprinting (pemetaan) DNA yang mudah dan cepat, serta dapat diaplikasikan pada banyak spesies DNA. Metode ini memiliki kelebihan lebih lanjut, yaitu hanya membutuhkan sedikit pengetahuan tentang biokimia atau biologi molekuler dari spesies yang digunakan (Welsh and McClelland 1990). Metode ini menggunakan teknik PCR untuk mengamplifikasi segmen yang tidak diketahui pada DNA nucleus menggunakan sepasang primer identik dengan panjang 8 – 10 bp (Gambar 10) (Liu and Cordes 2004), primer akan menempel secara acak pada sekuen DNA template yang komlpementer dengan sekuen primer tersebut.
24
Gambar 10. Penempelan Primer RAPD-PCR Pada DNA Template (Sumber: Liu and Cordes 2004)
Karena sekuen primer yang pendek maka digunakan suhu tempratur annealing rendah (sekitar 36 – 46 amplifikasi
yang
berbeda
sangat
o
C), kemungkinan kemunculan produk besar
dengan
tiap
produk
yang
merepresentasikan lokus-lokus berbeda. Perbedaan kemunculan pita polimorfisme pada produk amplifikasi menggunaan metode RAPD-PCR dapat terjadi karena pergantian tempat pengikatan basa primer, atau adanya indel antar wilayah pada tempat tersebut, yang dapat menambah atau mengurangi munculnya pita polimorfik pada produk PCR (Gambar 11) (Liu and Cordes 2004).
Gambar 11. Kemunculan Pita Polimorfik Pada RAPD-PCR (Sumber: Liu and Cordes 2004)
25
Potensi dalam mendeteksi polimorfisme cukup tinggi, biasanya 5 – 20 pita polimorfik dapat terbentuk dengan menggunakan pasangan primer yang tepat atau menggunakan berbagai jenis primer secara acak, yang dapat digunakan untuk memindai seluruh genom pada pita-pita RAPD yang berbeda. Karena setiap pita dianggap sebagai biallelic locus (ada atau tidaknya produk amplifikasi), nilai PIC (polymorphic information content) untuk RAPD berada jauh di bawah mikrosatelit dan SNPs (single nucleotide polymorphism), serta RAPD tidak bisa seinformatif AFLP karena lebih sedikit lokus dihasilkan secara serempak (Liu and Cordes 2004). Markah RAPD merupakan markah yang diturunkan berdasarkan Hukum Mendel secara dominan. Pita amplikon RAPD yang dihasilkan didapat dari alel homozigot maupun heterozigot, dan intensitas pita juga mungkin berbeda, perbedaan dari ketepatan PCR membuat penilaian terhadap nilai pita teramplifikasi sulit dilakukan. Sehingga, membedakan antara alel homozigot dominan dari individu heterozigot tidak mungkin dilakukan. Selain itu, sulit untuk menentukan apakah pita-pita yang dihasilkan mempresentasikan lokus berbeda atau alel alternatif dari lokus yang sama, sehingga jumlah lokus yang sedang dipelajari dinilai bisa keliru (Liu and Cordes 2004). RAPD-PCR memiliki semua kelebihan dari markah berbasis PCR, dengan tambahan keuntungan dimana primer tersedia secara komersil dan tanpa harus mengetahui informasi dari sekuen DNA target atau organisasi gen terlebih dahulu (Dinesh et al. 1995 dalam Liu and Cordes 2004). sedangkan kekurangan RAPD adalah sulitnya untuk menunjukkan pewarisan Hukum Mendel dari lokus dan ketidak mampuan dalam memisahlan antara alel homozigot dan heterozigot, selain itu adanya produk PCR yang bersifat paralogous (wilayah DNA berbeda yang memiliki panjang sama dan muncul pada lokus yang sama) membatasi penggunaan markah ini. Akhirnya, markah RAPD sangat tergantung kepada reproduksibilitas yang rendah karena penggunaan tempratur annealing yang rendah pada proses amplifikasi PCR. Kekurangan tersebut telah membatasi penggunaan dari markah ini untuk sains perikanan (Wirgin and Waldman 1994 dalam Liu and Cordes 2004).