6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.2 Kajian Teori 2.2.1 Hasil Belajar Seorang siswa dikatakan telah belajar apabila terlihat adanya perubahan tingkah laku yang relatif menetap pada siswa tersebut. Dengan demikian dikatakan bahwa perubahan tingkah laku pada siswa tersebut merupakan hasil dari belajar. Hal ini sesuai yang dinyatakan Sudjana (2005:3) bahwa hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Menurut pendapat Hudojo (1988:44) hasil belajar adalah penguasaan hubungan yang telah diperoleh sehingga orang itu dapat menampilkan pengalaman dan penguasaan bahan pelajaran yang telah dipelajari. Hal ini sejalan yang dinyatakan Sudjana (2005:2) bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Bloom (Sudirman 1989:23) mengemukakan kemampuan sebagai hasil belajar. Terdiri dari tiga kemampuan yaitu: a. Kemampuan kognitif yaitu kemampuan dalam mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensi. b. Kemampuan afektif yaitu kemampuan yang berhubungan dengan sikap kejiwaan seperti kecenderungan akan minat dan motivasi. c. Kemampuan psikomotor yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan dan fisik. Berdasarkan tinjauan diatas bahwa Bloom meninjau aspek-aspek jenis perilaku dalam hasil belajar yang harus dicapai siswa, dan terutama bergerak dibidang Ilmu Didaktif. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diketahui bahwa hasil belajar yang telah diperoleh siswa merupakan pedoman bagi guru untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai materi yang diajarkan sesuai 6
7
dengan tujuan yang telah dibuat oleh guru. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar para siswa maka perlu adanya evaluasi. Nasution (1985:25) menjelaskan bahwa dengan mengadakan evaluasi kita mengetahui kebaikan dan kekurangan usaha kita yang memperkaya kita sebagai pengajar, yang dapat kita gunakan dimasa mendatang dengan anggapan bahwa keberhasilan sekarang juga akan meberikan hasil yang baik bagi murid-murid lain di kemudian hari. Menurut Hamalik (2001: 212) evaluasi pada akhir pelajaran guru berkewajiban memberikan penilaian, dengan maksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai TIK (tujuan instruksional khusus) yang telah ditentukan sebelumnya. Media evaluasi yang ditunjukan untuk menilai sampai dimanakah tujuan pengajaran telah dicapai, baik dari sudut murid maupun dari sudut guru. Dengan tujuan-tujuan mengajar yang operasional, guru memiliki gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Langkah-langkah itu adalah metoda mengajar. Tetapi selain langkahlangkah itu juga dengan perumusan tujuan secara operasional guru memiliki gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah untuk menilai taraf pencapaian tujuan. Menurut W. James Popham dan Eva L. Baker yang diterjemahkan oleh Amirul (2008:113) jika seorang guru menginginkan punya dasar yang memadai untuk menentukan kualitas pengajarannya, ia harus menggunakan tes yang secara teliti dan representatif mengungkapkan tercapai butir-butir tes yang sudah jadi tidak dapat digunakan, maka ia harus menyusun tes sendiri. Untuk mengukur prestasi belajar siswa dibutuhkan suatu alat ukur yang akurat, yang dapat diandalkan. Jika tidak maka informasi yang diperoleh tidak dapat dipercaya dan mungkin tidak memberikan gambaran yang sebenarnya tentang hasil belajar siswa. Masidjo (1995:39) mendefinisikan tes hasil belajar atau Achievment Test adalah suatu tes yang mengukur prestasi seseorang dalam suatu bidang sebagai hasil proses 7
8
belajar yang khas, yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, sikap dan nilai. Dengan demikian disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil usaha yang diperoleh siswa melalui proses belajar berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, yang diukur melalui tes. Sedangkan yang dimaksud dalam penelitian ini mengenai hasil belajar matematika adalah penguasaan yang diperoleh siswa, melalui suatu tes yang mengukur prestasi seseorang dalam suatu bidang sebagai hasil proses belajar yang khas, yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk pengetahuan, pemahaman (kognitif). 2.2.2 Pembelajaran Matematika di SD 2.2.2.1 Pengertian Matematika Menurut Hasan Shadyli (Ensiklopedia Indonesia:1983) istilah ”matematika” (dari yunani: mathematikos ialah ilmu pasti, dari kata
mathema atau mathesis yang berarti ajaran, pengetahuan, atau ilmu pengetahuan). Matematika adalah salah satu pengetahuan tertua, terbentuk dari penelitian bilangan dan ruang. Matematika adalah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tidak merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam. Matematika merupakan alat dan bahasa dasar banyak ilmu. Menurut Roy Hollands (Kamus Matematika: 1995) ”matematika adalah suatu sistem yang rumit tetapi tersusun sangat baik yang mempunyai banyak cabang. Pada suatu tingkat rendah ada ilmu hitung, aljabar (bagian dari matematika dan perluasan dari ilmu hitung, yang banyak digunakan diberbagai bidang disiplin lain, misal fisika, kimia, biologi, teknik, komputer, industri, ekonomi, kedokteran dan pertanian) dan ilmu ukur, tetapi setiap ini telah diperluas pada tingkat yang lebih tinggi dan banyak cabang baru yang bertambah seperti ilmu ukur segitiga, topologi (cabangcabang matematika yang mempelajari posisi dan posisi relatif unsur-unsur dalam himpunan), mekanika (suatu cabang ilmu yang mempelajari kerja 8
9
gaya terhadap benda, kesetimbangan dan gerakan), dinamika (mempelajari penyebab dan sebab benda-benda nyata bergerak), statistika (cabang matematika yang menangani segala macam data numeris yang penting bagi masalah dalam berbagai cabang kehidupan manusia, misal cacah jiwa, angka kematian, angka produktivitas, pertanian, angka perdagangan), peluang (kebolehjadian atau angka banding banyaknya cara suatu kejadian dapat muncul dan jumlah banyaknya semua kejadian yang dapat muncul), analisis (cara memeriksa suatu masalah, untuk menemukan semua unsur dasar dan hubungan antara unsur-unsur yang bersangkutan) dan logika serta banyak lagi yang lainnya. 2.2.2.2 Pengertian Pembelajaran Pembelajaran adalah proses penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui belajar, mengajar dan pengalaman (Slameto, 2007: 4). Sedangkan menurut Poerwadarminta (Budiningsih, 2005: 7) menyebutkan Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “Instruction” yang dalam bahasa Yunani disebut “instructus” atau “instruere” yang berarti menyampaikan pikiran. Dengan demikian arti intruksional adalah penyampaian pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Pengertian ini lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan. Darsono (2001: 15) berpendapat bahwa pembelajaran itu ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Manusia dan binatang sama-sama belajar tetapi cara belajar mereka berbeda. Binatang hanya dapat didorong mengerjakan sesuatu karena dilatih dan diprogram. Manusia sebaliknya dapat berubah perilakunya lewat kreativitas, kemauan yang kuat, komitmen, visi tentang masa depan dan aspirasi-aspirasi. Pembelajaran adalah sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal atau berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi, 9
10
dengan keadaan bahwa karakteristik-karakteristik dari perubahan aktivitas tersebut
tidak
dapat
dijelaskan
dengan
dasar
kecenderungan-
kecenderungan reaksi aksi, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara dari organisme menurut Jogiyanto (2006: 12). Pembelajaran
yang
baik
mempunyai
sasaran-sasaran
yang
seharusnya berfokus pada hal-hal sebagai berikut ini: a) Meningkatkan kualitas berpikir (qualities of mind) yaitu berpikir dengan efisien, konstruktur, mampu melakukan judmen (judgment) dan kearifan
(wisdom) b) Meningkatkan attitude of mind, yaitu menekankan pada keingintahuan
(curiosity), aspirasi-aspirasi dan penemuan-penemuan c) Meningkatkan kualitas personal (qualities of person) yaitu karakter (character), sensitivitas (sensitivity), integritas (integrity), tanggung jawab (resposibility) d) Meningkatkan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep dan pengetahuan-pengetahuan di situasi spesifik (Jogiyanto 2006: 20). Pengertian dari beberapa tokoh menganai pembelajaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan-perubahan yang baru melalui berbagai aspek-aspek, antara lain aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotorik (keterampilan). 2.2.2.3 Pengertian Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran matematika, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah penemuan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui sebelumnya, tetapi bagi siswa penemuan tersebut merupakan sesuatu hal yang baru. Bruner (Heruman 2007: 4) metode penemuannya mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri 10
11
berbagai pengetahuan yang diperlukannya. ‘Menemukan’ disini terutama adalah ‘menemukan lagi’ (discovery), atau dapat juga menemukan yang sama sekali baru (invention). Oleh karena itu, kepada siswa materi disajikan bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahukan cara penyelesaiannya. Dalam pembelajaran ini, guru harus lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu. Selain belajar penemuan, pada pembelajaran matematika harus terjadi
pula
belajar
secara
“konstruktivisme”
Piaget.
Dalam
konstruktivisme, konstruksi pengetahuan dilakukan sendiri oleh siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan menciptakan iklim yang kondusif. 2.2.2.4 Pembelajaran Matematika di SD Sepintas konsep matematika yang diberikan pada siswa sekolah dasar (SD) sangatlah sederhana dan mudah, tetapi sebenarnya materi matematika SD memuat konsep-konsep yang mendasar dan penting serta tidak boleh dipandang gampang. Diperlukan kecermatan dalam menyajikan konsep-konsep tersebut, agar siswa mampu memahaminya secara benar, sebab kesan dan pandangan yang diterima siswa terhadap suatu konsep di sekolah dasar dapat terus terbawa pada masa-masa selanjutnya, sebab kesan yang pertama kali ditangkap oleh siswa akan terus terekam dan menjadi pandangannya di masa-masa selanjutnya. (Antonius Cahya Prihandoko, 2006: 1). Siswa sekolah dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. Menurut usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu 11
12
berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya abstrak. Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman konsep, dan pembinaan ketrampilan. Memang, tujuan akhir pembelajaran matematika di SD ini yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk menuju tahap keterampilan tersebut harus memulai langkah-langkah benar yang sesuai dengan kemampuan dan lingkungan siswa. Berikut ini adalah pemaparan pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep matematika. Penanaman
Konsep
Dasar
(Penanaman
Konsep),
yaitu
pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum, yang dicirikan dengan kata “mengenal”. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu pola pikir siswa. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. 12
13
Pembinaan
Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalm menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan keterampilan juga terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman dan pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. Menurut Aisyah (2008:2-3) Teori belajar Dienes sangat terkait dengan Teori belajar yang dikemukakan Piaget yaitu mengenai perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkrit, semi konkrit dan selanjutnya abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan itu tetap pada setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Empat tahap perkembangan intelektual menurut Piaget adalah sebagai berikut: 1) Periode Sensori Motor (0 - 2) tahun. Karakteristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan meraba-raba objek. Anak itu belum mempunyai kesadaran
adanya
konsep
objek
yang
tetap.
Bila
objek
itu
disembunyikan, anak tidak akan mencarinya lagi. Namun karena pengalamannya terhadap lingkungannya, pada akhir periode ini anak menyadari bahwa obyek yang disembunyikan tadi masih ada dan ia akan mencarinya. 13
14
2) Periode Pra-operasional (2 - 7) tahun Operasi disini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak di dalam berpikirnya tidak didasarkan kepada keputusan yan logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Periode ini sering disebut juga periode pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama (simbol). Pada periode ini anak terpaku kepada kontak langsung dengan lingkungannya, tetapi anak itu mulai memanipulasi simbol dari benda-benda di sekitarnya. Walaupun pada permulaan periode pra-operasional ini anak mampu menggunakan simbol-simbol, ia masih sulit melihat hubunngan-hubungan dan mengambil kesimpulan secara taat asas. 3) Periode Operasional Konkrit (7 – 12) tahun Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan menjadi operasional. Periode ini disebut operasi konkret sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Operasi konkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-konkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman-pengalaman yang khusus. Pengerjaan-pengerjaan yang logik dapat dilakukan dengan berorientasi ke objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak. Anak ini belum memperhitungkan semua kemungkinan dan kemudian mencoba menemukan kemungkinan yang mana yang akan terjadi. Anak masih terikat pada pengalaman pribadi. Pengalaaman anak masih konkret dan belum formal. Karakteristik berpikir anak periode operasional konkrit adalah sebagai berikut: a) Sistem kekekalan b) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh c) Melihat dari berbagai segi d) Seriasi 14
15
e) Klasifikasi f)
Bilangan
g) Ruang, waktu dan kecepatan h) Kausalitas i)
Probabilitas
j)
Penalaran
k) Egosentrisme dan sosialisme 4) Periode Operasi Formal (> 12) tahun Anak-anak pada periode ini sudah memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan dengan benda-benda empirik serta mampu menggunakan prosedur seorang ilmuwan, yaitu menggunakan prosedur hipotetik-deduktif. Identifikasi karakteristik siswa SD ini akan menjadi pijakan/dasar dalam menyusun strategi penerapan teori belajar Dienes permainan menggunkan aturan (Games) secara optimal agar dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan subyek yang telah ditentukan, yaitu siswa kelas IV (masa operasional konkret). 2.2.3 Teori Belajar Dienes Aisyah (2008,2-7) Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anakanak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Dienes (Ruseffendi, 1992; Aisyah, 2008:2-7) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika 15
16
yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Menurut Dienes (Russeffendi, 1992; Aisyah, 2008:2-8), konsepkonsep Matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi beberapa, yaitu: 1) Permainan Bebas (Free Play) Setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi. 2) Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti polapola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan 16
17
pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning). 3) Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok). 4) Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsepkonsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini. Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga 0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ... diagonal … diagonal. 17
18
5) Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak. 6) Permainan dengan Formalisasi (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan
materi matematika secara kongkret agar konsep
matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi
harus
dinyatakan
dalam
berbagai
penyajian
(multiple
embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam18
19
macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep. Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual
variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple
embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut. Kelebihan teori belajar Dienes ini antara lain: a) Dengan menggunakan benda-benda konkret, siswa dapat lebih memahami konsep dengan benar. b) Suasana belajar akan lebih hidup, menyenangkan, dan tidak membosankan. c) Dominasi guru berkurang dan siswa lebih aktif. d) Konsep yang lebih dipahami dapat lebih mengakar karena siswa membuktikannya sendiri. e) Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat menerapkan kedalam situasi yang lain. f) Teori belajar Dienes bersumber pada teori perkembangan Piaget yang membagi manusia dalam beberapa tahap perkembangan yang telah dikembangkan kembali oleh Dienes yang diorientasikan pada anak-anak, sehingga menjadi lebih menarik untuk anak-anak. Sesuai dengan teori yang diungkapkan Dienes maka siswa akan lebih memahami pembelajaran matematika jika diajarkan menggunakan benda-benda nyata dan dalam bentuk permainan.
19
20
2.2.4 Penerapan Teori Belajar Dienes Permainan Menggunakan Aturan (Games) Pada Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Dari teori belajar Dienes tentang Permainan Menggunakan Aturan (Games) akan diteliti oleh peneliti dalam mata pelajaran matematika Kelas IV Semester I. Melalui permainan memahami dan melakukan operasi perkalian. Sesuai dengan teori belajar Dienes permainan menggunakan aturan yang telah di bahas, maka penerapannya dalam mata pelajaran matematika kelas IV semester 1 adalah sebagai berikut: Siswa disiapkan untuk mengikuti
pembelajaran dan dibagi dalam kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Pada tahap ini siswa akan diajak masuk dalam tahan pemahaman konsep. Selanjutnya guru memberikan penjelasan aturan permainan, siswa dalam kelompok haruslah menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang telah ditentukan. Adapun aturan dalam permainan adalah sebagai berikut : a) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil (3-4 Anak), setiap kelompok diberikan satu paket kartu permainan. b) Setelah kartu di kocok berikan tiga kartu kepada setiap anak (sisa ditumpuk posisi tertutup). c) Buka satu kartu sebagai kartu pembuka. d) Secara bergilir siswa menjatuhkan kartunya, dengan cara mencocokkan perkalian dua bilangan dengan hasil perkalian. e) Siswa yang tidak mempunyai kartu yang cocok, mengambil sisa kartu sampai mendapat kartu yang cocok. f) Permainan berakhir setelah kartu sisa habis atau kartu yang di pegang siswa sudah tidak ada yang cocok. g) Siswa yang pertama kali kartunya habis atau kartunya paling sedikit adalah pemenangnya, sebaliknya siswa yang paling lama kartunya habis atau menyimpan kartu paling banyak adalah yang kalah.
20
21
2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Dalam penelitian Tri Mei Suci Setyaningsih (2010) yang berjudul “Upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pelajaran matematika untuk menyelesaikan soal cerita yang melibatkan uang dengan menggunakan metode Role Playing” menyimpulkan bahwa Metode Role Playing dapat meningkatkan Prestasi belajar siswa dalam pembelajaran Matematika untuk menyelesaikan soal cerita yang melibatkan uang di kelas IV SD Bogorejo 3 Kecamatan Bogorejo Kabupaten Blora. Hasil penelitian selanjutnya yang relevan yaitu Penelitian Basuki (2010) yang berjudul “Meningkatkan Kemapuan siswa kelas VI SD Negeri Soroyudan dalam Penghitungan luas Gabungan bangun datar melalui Permainan.” Menurut penelitian tersebut, hasil prestasi belajar siswa meningkat setelah memahami konsep gabungan bangun datar yang tersaji dalam bentuk permainan batang korek api. Kedua penelitian di atas walaupun berbeda namun keduanya samasama mengemas permainan dalam pembelajaran. Dalam penelitian pertama dijelaskan bahwa metode role playing terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar. Pada penelitian yang kedua mengemas permainan dalam perhitungan luas gabungan bangun datar, menurut penelitian tersebut permainan batang korek api terbukti meningkatkan hasil belajar. Pada
penelitian
ini
menekankan
penggunaan
Permainan
Menggunakan Aturan pada peningkatan hasil belajar dan lebih baik daripada pembelajaran konvensional.
21
22
2.4 Kerangka Berpikir Penelitian Agar pembelajaran berlangsung secara efektif, interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang,
memotivasi
peserta
didik
maka
perlu
perencanaan proses pembelajaran yang bukan sekedar transfer knowladge. Belajar matematika akan lebih efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Salah satu hal yang menyenangkan bagi siswa SD adalah dengan permainan. Pada penerapan teori belajar Dienes Permainan Menggunakan Aturan (games) siswa diajak mengenal dan memikirkan struktur matematika itu. Pembelajaran dalam sebuah permainan yang akan merangsang keinginan siswa untuk ingin tahu dan lebih semangat lagi dalam belajar sehingga ada peningkatan hasil belajar siswa. Apabila kerangka berfikir tersebut dibuat dalam gambar adalah sebagai berikut : Pembelajaran Efektif Interaktif Inspiratif Menyenangkan Menantang Memotivasi
Teori Belajar Dienes Penerapan Permainan Menggunakan Aturan Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
22
Peningkatan Hasil Belajar
23
2.5 Hipotesis Penelitian Diduga penerapan Permainan Menggunakan Aturan efektif terhadap peningkatan hasil belajar siswa Sekolah Dasar pada mata pelajaran Matematika. Adapun hipotesis statistik yang diuji dalam penelitian ini adalah: 1. H0 : µ 1 = µ 2 2. H1 : µ 1 µ 2 Dapat dirumuskan hasil uji hipotesis sebagai berikut: H0:
1=
2
: Penerapan Permainan Menggunakan Aturan Tidak Efektif Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Semester I SD Negeri Kawengen 02.
H1:
1
2
: Penerapan Permainan Menggunakan Aturan Efektif Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Semester I SD Negeri Kawengen 02.
23