BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Keaktifan Belajar a. Pengertian Keaktifan Belajar Proses pembelajaran pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan aktivitas dan kreatifitas siswa melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Sardiman, 2001: 98). Whipple (dalam Hamalik, 2009) memberikan pengertian bahwa keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar adalah suatu proses belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor selama siswa berada di dalam kelas. Menurut Rahardja (2002: 12) aktivitas adalah kegiatan jasmani dan rohani manusia untuk melakukan sesuatu dalam upaya mencapai tujuan tertentu. Guru berupaya agar siswa benar-benar ada keaktifan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar baik keaktifan secara jasmani seperti melakukan praktik, berlatih dan keaktifan secara rohani seperti: mengamati, memecahkan persoalan, mengambil kesimpulan dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keaktifan belajar siswa adalah kegiatan yang dilakukan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas baik keaktifan secara jasmani maupun keaktifan secara rohani guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor selama siswa berada di dalam kelas. b. Prinsip-prinsip Keaktifan belajar Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Siswa yang beraktivitas akan memperoleh pengetahuan pemahaman dan keterampilan serta perilaku lainnya. Sistem pembelajaran dewasa ini sangat menekankan pada pendayagunaan asas keaktifan/aktivitas (Hamalik, 2008). Proses pembelajaran akan berlangsung efektif apabila guru memberikan peluang kepada siswa agar mereka secara berlangsung dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Suhendra, dkk., 2007). Sardiman (2001) mengemukakan bahwa prinsip aktivitas belajar siswa dibagi menjadi 2 yaitu a) menurut pandangan ilmu lama, aktivitas 5
6 belajar siswa didominasi oleh guru sehingga guru memegang peranan penting, siswa hanya bersifat pasif dan menerima begitu saja; b) menurut pandangan ilmu modern, siswa dipandang sebagai organisme yang memiliki potensi untuk berkembang sehingga tugas seorang pendidik adalah membimbing dalam mengembangkan bakat dan minatnya. Aktivitas diperlukan karena tanpa perbuatan anak itu tidak berpikir. Prinsip aktivitas menurut pandangan ilmu lama dan ilmu modern terdapat perbedaannya. Menurut pandangan ilmu lama aktivitas belajar siswa didominasi oleh guru tetapi dalam pandangan ilmu moden siswa diberi kesempatan untuk memperoleh pengalamannya sendiri, sehingga mereka akan berpikir dengan melakukannya. Implikasi prinsip aktivitas bagi siswa terwujud melalui perilaku-perilaku seperti mencari sumber informasi yang dibutuhkan, menganalisis hasil percobaan, ingin tahu hasil dari suatu reaksi kimia, membuat karya tulis, membuat kliping, dan perilaku sejenis lainnya (Dimyati & Mudjiono, 2009). Gagne dan Briggs (dalan Hamalik, 2008) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi keaktifan siswa, yaitu: a) motivasi, jika siswa dimotivasi dalam kegiatan pembelajaran maka mereka akan berperan aktif dalam kegiatan tersebut; b) penjelasan tujuan instruksional dari guru; c) penjelasan kompetensi belajar dari guru kepada siswa; d) stimulus (masalah, topik, dan konsep yang akan dipelajari); e) petunjuk dari guru kepada siswa cara mempelajarinya; f) inisiatif guru dalam memunculkan aktivitas, partisipasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran; g) umpan balik atau feedback, umpan balik atau feedback dari guru maupun siswa lain didalam kelas akan membuat siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran; h) tes atau mengerjakan lembar kerja siswa, dengan adanya tes atau lembar kerja siswa, kemampuan siswa selalu terpantau dan terukur. Keaktifan dapat ditingkatkan dan diperbaiki dalam keterlibatan siswa pada saat belajar. Hal tersebut seperti dijelaskan oleh Usman (2001) cara untuk memperbaiki keterlibatan siswa diantaranya yaitu abadikan waktu yang lebih banyak untuk kegiatan belajar mengajar, tingkatkan partisipasi siswa secara efektif dalam kegiatan belajar mengajar, serta berikanlah pengajaran yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang akan dicapai. Selain memperbaiki keterliban siswa juga dijelaskan cara meningkatkan keterlibatan siswa atau keaktifan siswa dalam belajar. Cara meningkatkan keterlibatan atau keaktifan siswa dalam belajar adalah mengenali dan membantu anak-anak yang kurang terlibat dan menyelidiki penyebabnya dan usaha apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keaktifan siswa, sesuaikan pengajaran dengan kebutuhan-kebutuhan individual siswa.
7 Hal ini sangat penting untuk meningkatkan usaha dan keinginan siswa untuk berfikir secara aktif dalam kegiatan belajar. Menurut Hamalik (2008: 91) aktifitas siswa sangat besar nilainya bagi pengajaran siswa karena: siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri; berbuat sendiri akan mengambangkan seluruh aspek pribadi siswa; memupuk rasa kerjasama yang harmonis dikalangan siswa yang pada gilirannya dapat memperlancar kerja kelompok; siswa belajar dan bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri; memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar menjadi demokratis; mempererat hubungan sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru; Pengajaran diselenggarakan secara realistis dan konkret sehingga mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindari terjadinya verbalisme; pembelajaran dan kegiatan belajar di sekolah menjadi hidup sebagaimana aktivitas kehidupan di masyarakat. Berdasarkan pendapat Hamalik tersebut, maka dengan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran di kelas akan memberikan pembelajaran yang lebih bermakna bagi siswa, dimana siswa mendapat kesempatan untuk turut berperan serta dalam kegiatan belajar serta belajar untuk bekerjasama dengan teman lain. c. Indikator Keaktifan Belajar Indikator aktivitas belajar siswa menurut Paul D. Diedrich (Hamalik, 2008), terdiri atas delapan kelompok yaitu: 1) Kegiatankegiatan visual seperti membaca, memerhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pameran, mengamati orang lain bekerja; 2) Kegiatankegiatan lisan/ oral seperti mengajukan suatu pertanyaan, menghubungkan suatu kejadian, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi; 3) Kegiatan-kegiatan mendengarkan seperti mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik, pidato; 4) Kegiatan-kegiatan menulis seperti menulis cerita, menulis laporan, menulis karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket; 5) Kegiatan-kegiatan mengambar seperti menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola; 6) Kegiatan-kegiatan motorik/metrik seperti melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi), berkebun; 7) Kegiatan mental seperti merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, mengambil keputusan; 8) Kegiatan-kegiatan emosional seperti minat, membedakan, berani, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
8 Berdasarkan uraian tersebut diharapkan keaktifan belajar siswa dapat mengikutsertakan tujuh indikator diatas. Siswa tidak hanya mendengarkan dan menulis saja tetapi juga lisan, visual, mental serta emosional. Penelitian ini menggunakan tujuh indikator aktivitas dari Paul D. Dierich (Hamalik, 2008) untuk mengukur keaktifan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. 2. Hasil Belajar a. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar merupakan pencapaian bentuk perubahan perilaku yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu (Jihad dan Haris, 2008: 14). Menurut Suprijono (2012:5), Hasil belajar adalah polapola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pada pemikiran Gagne, Hasil belajar berupa a) informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis; b) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang; c) Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri; d) Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan koordinasi; e) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut (Suprijono, 2012: 5-6). Hasil belajar yang ditandai oleh perubahan perilaku menurut Suprijono (2012:4) memiliki ciri-ciri yaitu: sebagai hasil tindakan rasional instrumental yaitu perubahan yang disadari, kontinu atau kesinambungan dengan perilaku lainnya, fungsional atau bermanfaat sebagai bekal hidup, positif atau berakumulasi, aktif atau sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan, permanen atau tetap, bertujuan atau terarah, mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom (Hamalik, 2008) hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya sebagai berikut: a) Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian; Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai; b) Ranah afektif , berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai; c) Ranah psikomotor, meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar tersebut dapat ada karena siswa telah melakukan
9 pembelajaran dalam kompetensi tertentu, dan dalam pembelajaran tersebut siswa mendapat pengalaman berulang-ulang dari pembelajaran di kelas, baik itu langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengaruh lingkungan belajarnya. b. Pengukuran hasil belajar Penilaian hasil belajar sangat bermanfaat bagi siswa. Bagi siswa, hasil belajar berguna untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan serta untuk mengetahui kelebihan atau potensi dan kekurangan yang dimilikinya. Adapun fungsi hasil belajar (Arifin, 2011) adalah sebagai berikut: a) Fungsi formatif, yaitu untuk memberikan umpan balik dan memperbaiki proses pembelajaran serta mengadakan remedial bagi siswa; b) Fungsi sumatif, yaitu untuk menentukan nilai/ angka kemajuan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran tertentu, sebagai bahan laporan kepada pihak tertentu, penentuan kenaikan kelas dan penentuan lulus tidaknya siswa; c) Fungsi diagnostik, yaitu untuk memahami latar belakang siswa yang mengalami kesulitan belajar, dan hasilnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memecahkan kesulitan tertentu; d) Fungsi penempatan, yaitu untuk menempatkan siswa dalam situasi pembelajaran yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Berdasarkan fungsi hasil belajar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar tidak hanya menilai tentang bagaimana pemahaman siswa tetapi juga untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran yang sudah dilaksanakan, mengatasi kesulitan belajar siswa serta untuk mengontrol kemajuan siswa. Hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil belajar dari fungsi sumatif yang diartikan sebagai peningkatan kemampuan kognitif siswa yang diukur melalui pretestt dan posttest guna memperoleh data berupa nilai. 3. Metode Diskusi Metode diskusi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru memberikan kesempatan kepada siswa di dalam kelompok (3-7 orang) untuk mengadakan perbincangan secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau mencari berbagai alternatif pemecahan masalah terhadap suatu masalah. Metode diskusi juga dapat diartikan sabagai suatu kegiatan dimana sejumlah orang membicarakan secara bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik/masalah berdasarkan semua fakta (Rahardja, 2002:59). Diskusi pada dasarnya ialah tukar menukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan
10 bersama (Sudjana, 2008: 79). Menurut Sagala (2009) diskusi adalah percakapan ilmiah yang responsif berisikan pertukaran pendapat yang dijalin dengan pertanyaan-pertanyaan problematis pemunculan ide-ide dan pengujian ide-ide ataupun pendapat, dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran. Jadi, dapat dikatakan bahwa metode diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran dimana sejumlah siswa bergabung dalam kelompok bertukar pikiran dan pendapat untuk memperoleh pemecahan masalah. Metode diskusi juga memiliki beberapa jenis yaitu diskusi kelas dan diskusi kelompok. Beberapa tipe diskusi kelas yaitu whole group, brain stroming group dan colloqium, sedangkan diskusi kelompok yaitu buzz group, Syndicate Group, informal debate dan fish bowl dan juga gabungan keduanya yaitu diskusi kelas dan kelompok yaitu panel (Rahardja, 2002: 62-63). Jenis-jenis diskusi kelas yang sering dilakukan dalam kegiatan pembelajaran adalah a) Whole Group: Suatu kelas merupakan satu kelompok diskusi dengan anggota tidak lebih dari 15 anggota; b) Brain stroming Group: Merupakan suatu diskusi dimana anggota kelompok bebas menyumbangkan ide-ide baru terhadap suatu masalah tertentu, dibawah seorang ketua. Semua ide yang sudah masuk dicatat untuk kemudian diklarifikasikan menurut suatu urutan tertentu. Suatu saat mungkin ada diantara ide baru tersebut yang dirasa menarik untuk dikembangkan; c) Colloqium: Merupakan suatu kegiatan dimana siswa dihadapkan pada nara sumber untuk mengajukan pertanyaan. Selanjutnya mengandung pertanyaan-pertanyaan tambahan dari siswa yang lain. Pelajaran dengan maksud untuk memperjelas bahan pelajaran yang telah diterima. Menurut Rahardja (2002: 63-65) diskusi kelompok dibedakan menjadi a) Buzz group: Suatu kelas yang besar dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil 4 atau 5 orang, tempat duduk diatur sedemikian rupa sehingga siswa saling berhadapan untuk memudahkan pertukaran pendapat, diadakan ditengah-tengah atau diakhir pembelajaran; 2) Syndicate Group: Suatu kelas besar dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3-5 orang. Guru menjelaskan garis besar masalah dengan aspek-aspeknya. Kemudian tiap kelompok bertugas membahas suatu topik yang berbeda antar kelompok dan membuat kesimpulan untuk dilaporkan dalam sidang pleno serta didiskusikan lebih lanjut; 3) Informal Debate: Kelas dibagi menjadi dua team yang agak sama besarnya untuk memperdebatkan suatu bahan yang problematis, tanpa memperhatikan peraturan diskusi panel; 4) Fish Bowl: Diskusi terdiri dari beberapa orang siswa yang dipimpin oleh seorang ketua, tempat duduk
11 diatur setengah lingkaran dengan dua atau tiga kursi kosong menghadap peserta, seolah-olah menjaring ikan dalam sebuah mangkuk (fish Bowly), kelompok pendengar yang ingin menyumbangkan pikiran dapat duduk di kursi kosong tersebut, ketua mempersilahkan berbicara dan setelah selesai kembali ketempat semula. Demikianlah beberapa jenis metode diskusi yang dapat digunakan dalam pembelajaran di kelas. Salah satunya dalam penelitian ini adalah menggunakan metode diskusi Tipe Syndicate Group. 4. Metode Diskusi Tipe Syndicate Group a. Pengertian Metode Diskusi Tipe Syndicate Group Metode diskusi kelompok tipe Syndicate Group pada hakikatnya adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru membagi kelas dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3-5 siswa, yang setiap kelompok ditugasi membahas sub-sub topik (aspek tertentu) yang berbeda dari topik yang sama pada akhirnya akan diadakan diskusi kelas, agar setiap kelompok melaporkan hasilnya di forum kelas untuk ditarik suatu kesimpulan dari suatu topik itu (Rahardja, 2002: 59-62). Metode diskusi tipe Sindicate Group merupakan salah satu jenis diskusi kelompok kecil (3-6 orang), dimana setiap kelompok mengerjakan tugas yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain (Dimyati & Mudjiono, 2009). Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode diskusi tipe Syndicate Group adalah salah satu jenis diskusi kelompok kecil yang terdiri dari 3-6 siswa. Setiap kelompok ditugasi membahas sub-sub topik yang berbeda antara kelompok satu dengan yang lainnya. Kemudian setiap kelompok melaporkan hasilnya di depan kelas untuk kemudian ditarik ditarik kesimpulan. b. Langkah-langkah metode Diskusi Tipe Syndicate Group Metode diskusi kelompok jenis Syndicate Group memiliki langkah-langkah yang sesuai dengan tahapan pada pembelajaran kooperatif, pola mengajar dari Morrison Plan dan unsur-unsur dari pembelajaran kooperatif (hamalik, 2009:60-61). Langkah-langkah tersebut yaitu a) Proses forming (pembentukan)/tahap eksplorasi dan presentasi, siswa diberi kesempatan untuk membentuk kelompok sesuai norma yang berlaku dan kemudian guru memberi arahan untuk menghubungkan dengan topik/ subtopik yang akan dibahas dengan harapan tumbuh sikap saling ketergantungan positif; b) Proses functioning (pengaturan)/ tahap asimilasi, siswa diberikan pembagian tugas untuk menyelesaikan topik/subtopik yang akan dibahas, dan juga siswa diberi kesempatan mempelajari masalah dan mempelajari bahan-bahan dari berbagai sumber serta berusaha menguasainya hingga menjadi miliknya dan menumbuhkan tanggung jawab perseorangan untuk mendukung kelompoknya karena subtopik yang
12 dibahas tiap kelompok berbeda; c) Proses Formating (perumusan)/ tahap organisasi, siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan, baik lisan maupun tertulis, materi yang telah dikuasainya kemudian disusun dalam satu kesatuan melalui ketrampilan memahami bahan pelajaran khususnya dalam bentuk rangkuman yang didalamnya dilandasi proses komunikasi yang tumbuh antar anggota kelompok; d) Proses Fermenting (penyerapan)/tahap resitasi, kegiatan yang dilakukan adalah resitasi atau penilaian performance (penampilan) masingmasing kelompok melalui presentasi mengkomunikasikan buah pemikiran kelompok pada subtopiknya masing-masing di kelas dan ditanggapi kelompok yang lain untuk ditarik suatu kesimpulan serta guru memberikan tambahan pemahaman materi yang telah dipelajari. Langkah-langkah pembelajaran dengan metode diskusi kelompok Tipe Syndicate Group yang terdiri dari forming, functioning, formating dan fermenting (Hamalik, 2009) dirasa cocok untuk penelitian ini. Hal tersebut dirasa cocok untuk mengetahui pengaruh metode Diskusi Tipe Syndicate Group terhadap keaktifan dan hasil belajar matematika siswa SMP kelas VII. B. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Wahyono (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Metode Diskusi Syndicate Group Untuk Meningktakan Pemahaman Mahasiswa pada Konsep Dasar Pengantar Ilmu Ekonomi” menyatakan bahwa metode Diskusi Tipe Syndicate Group efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah pengantar ilmu ekonomi. Prestasi belajar mahasiswa mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Ketuntasan belajar mahasiswa sebelum penerapan metode siklus belajar 0%, setelah penerapan metode siklus belajar, ketuntasan belajar dari mahasiswa setelah dilakukan uji akhir adalah 94%. Minat, keaktifan dan kerjasama mahasiswa dalam proses pembelajaran juga meningkat. Susetiyono dan Achmad A. Hinduan (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model Syndicate Group Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Zat Dan Wujudnya Untuk Kelas VII SMP” menyatakan bahwa penerapan model Syndicate Group dapat meningkatkan motivasi belajar siswa juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model Syndicate Group dapat membantu siswa mempermudah dalam memahami materi fisika, siswa dapat bertanya kepada sesama teman, dan siswa mengembangkan pengetahuannya melalui diskusi antara teman, baik diskusi kelompok maupun diskusi kelas sehingga memperoleh pengetahuan dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Selain itu terdapat hubungan yang signifikan antara hasil belajar siswa dengan motivasi belajar fisika siswa.
13 Takarina (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Keaktifan Dan Hasil Belajar Siswa Dengan Penerapan Metode Diskusi Dalam Pembelajaran Matematika Bagi Siswa Kelas V SD Negeri 3 Banjardowo Tahun Pelajaran 2009/2010” menyatakan bahwa penggunaan metode diskusi dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan presentase keaktifan siswa pada pra siklus dan siklus 1 adalah 38% dan 83% meningkat menjadi 100%. Hasil belajar siswa juga mengalami kemajuan. Rata-rata hasil belajar pada pra siklus, siklus 1, dan siklus 2 berturut-turut 54, 63, 88. Pratiwi (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara keaktifan siswa dalam kegiatan kepramukaan dengan kedisiplinan siswa kelas V di gugus kartini Salatiga tahun ajaran 2009-2010” menyatakan bahwa adanya hubungan positif dan signifikan antara keaktifan siswa dalam kegiatan kepramukaan dengan kedisiplinan siswa kelas V di Gugus Kartini, dimana semakin tinggi keaktifan siswa dalam kegiatan kepramukaan semakin tinggi pula tingkat kedisiplinan siswa kelas V di Gugus Kartini Salatiga tahun 20092010. Sutejo (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Metode Diskusi Kelompok Jenis Syndicate Group Sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di Kelas VIII D Semester Gasal 2010/2011 SMP Bhakti Mulia Wonosobo” menyatakan bahwa penerapan metode diskusi tipe Syndicate Group dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa serta berpengaruh positif pada hasil belajar siswa. Pada siklus 1 aktivitas belajar siswa meningkat menjadi 80,16% dan peningkatan tersebut berdampak positif pada hasil belajarnya yang juga meningkat menjadi 90,48. Pada siklus 2 Prosentase aktivitas belajar siswa meningkat menjadi 90,87% dan hasil belajarnya meningkat menjadi 97,38. Swasono (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara perilaku asertif dengan keaktifan dalam proses belajar mengajar di kelas pada siswa SMA Laboratorium Satya Wacana” menyatakan bahwa ada hubungan positif dan sangat signifikan antara perilaku asertif dengan keaktifan dalam proses belajar mengajar di kelas pada siswa SMA laboratorium Satya Wacana. Variansi skor variabel keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dijelaskan oleh variabel perilaku asertif sebesar 27,8%. Wahyuningsih (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Metode Diskusi Kelompok Jenis Syndicate Group Terhadap Hasil Belajar Kognitif Dan Afektif IPA Siswa Kelas V SD Gugus Hasanudin Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan Semester II Ahun Ajaran 2011/2012” menyatakan bahwa penggunaan metode diskusi kelompok jenis Syndicate Group efektif terhadap hasil belajar kognitif. Hasil analisi menunjukkan nilai siswa yang menggunakan metode diskusi kelompok jenis Syndicate Group lebih tinggi daripada nilai siswa yang belajar dengan metode konvensional.
14 Diperkuat dengan hasil analisi uji t untuk hasil belajar kognitif adalah sebesar 4,181 dengan probabilitas signifikasi sebesar 0,000 (0,000 < 0,05). Berdasarkan beberapa penetian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh Metode diskusi kelompok Tipe Syndicate Group terhadap keaktifan dan hasil belajar matematika siswa SMP kelas VII. Adapun subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Bergas kabupaten Semarang semester II tahun Ajaran 2012/2013. C. KERANGKA BERPIKIR Kondisi awal siswa kelas VII SMP Negeri 1 Bergas, kecenderungan siswa aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran di kelas masih kurang, banyak siswa yang kurang fokus ketika guru sedang menjelaskan dan asyik dengan kegiatannya sendiri. Proses pembelajaran di kelas tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga pembelajaran hanya berjalan satu arah saja atau berpusat pada guru. Kondisi pembelajaran tersebut berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, sehingga diperlukan suatu metode pembelajaran yang berpusat pada siswa. Mengatasi pembelajaran yang berpusat pada guru, maka penelitian ini mencoba mengeksperimenkan metode Diskusi Tipe Syndicate Group dalam proses belajar-mengajar. Hal ini karena metode Diskusi Tipe Syndicate Group merupakan metode yang menuntut siswa melakukan kegiatan atau aktivitas secara bertanggungjawab untuk mendapatkan pengetahuan, sehingga pembelajaran tidak hanya didominasi oleh guru, tetapi siswa juga terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan menjadi bagian dalam pembelajaran. Penelitian ini menggunakan dua kelas sebagai sampel penelitian, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas kontrol adalah siswa kelas VIIC dan Kelas eksperimen adalah siswa kelas VIIG SMP Negeri 1 Bergas. Pemilihan siswa kelas VIIC dan VIIG SMP Negeri 1 Bergas karena pada kondisi awalnya memiliki keseimbangan keaktifan belajar dan hasil belajar. Kemudian dari kedua kelas, akan diberi perlakuan yang berbeda, kelompok eksperimen akan menggunakan pembelajaran dengan metode Diskusi Tipe Syndicate Group, sedangkan pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran secara konvensional tanpa perlakuan. Kemudian hasil belajar dari kelas eksperimen dan kelas kontrol akan dibandingkan. Begitu juga dengan keaktifan belajar siswa selama proses pembelajaran di kelas. Adapun bagan kerangka berpikir dapat dilihat sebagai berikut: Keaktifan belajar siswa Metode Diskusi tipe Syndicate Group Hasil belajar Siswa Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir
15 D. HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut “Metode Diskusi Tipe Syndicate Group Berpengaruh Terhadap Keaktifan Dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Bergas Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajaran 2012/2013”.
16