Bab II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya merupakan jurnal-jurnal Indonesia serta jurnal-jurnal internasional yang menjadi acuan dan pendukung dari penelitian ini. Jurnal-jurnal tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 State of The Art
Nama Peneliti Judul No.
&
Hasil Penelitian Penelitian
Tahun Penelitian 1
Febri
Studi
Analisa
Kurniasih
Penyajian
(2010)
Pembentukan Kabinet
Isi Hasil dari penelitian ini menunjukkan
Berita bahwa pada kategori frekuensi topik berita tidak terdapat perbedaan yang
Indonesia signifikan. Untuk kategori sumber
Bersatu II di Surat berita nilai terdapat perbedaan yang Kabar Kompas Republika
Harian signifikan. Pada kategori penempatan dan halaman terlihat adanya perbedaan Periode yang
11-31 Oktober 2009
signifikan.
ditemukan
Perbedaan
dengan
penelitian
yang ini
dilihat dari metode penelitian yaitu kuantitatif dan juga objek penelitian yaitu jenis media cetaknya. Sedangkan persamaannya ialah
penelitian ini
merupakan studi deskriptif mengenai analisis isi penyajian berita di media cetak. 7
8
2
Gema
Analisis
Framing Framing
Mawardi
Berita
(2012)
Surya
Paloh
Partai
Golkar
dilakukan
Mundurnya mediaindonesia.com terhadap berita dari mundurnya Surya Paloh dari Partai di Golkar
mediaindonesia.com dan
yang
sangat
berpihak
pada
kepentingan pemilik media, sementara
vivanews.com framing yang dilakukan vivanews.com
Tanggal 7 September masih 2011
menunjukkan
usaha
media
untuk melakukan pendekatan pada objektivitas pemberitaan. Perbedaan yang ditemukan ialah bahwa dalam penelitian
ini
yang
digunakan
merupakan analisis framing model Pan dan Konsicki dengan objek penelitian berupa
media
online,
sedangkan
persamaannya ialah bahwa penelitian ini juga bertujuan untuk melihat ideologi media melalui wacana, dan metode penelitian yang digunakan sama-sama bersifat kualitatif. 3
Handayani
Wacana Kapitalisme Hasil penelitian secara keseluruhan
Tritama
Dalam
(2012)
Mingguan BELIA di kapitalisme ditunjukkan dengan cara
Suplemen menunjukkan
Harian PIKIRAN BANDUNG
Umum pembenaran
bahwa
sikap
wacana
konsumtif
dan
RAKYAT komodifikasi hijab. Selain itu, terdapat kesimpulan bahwa hijab modis itu sendiri adalah bagian dari kapitalisme karena ia lahir di masyarakat yang berpola
pikir
kapitalis
menjadi
pemberitaan
kapitalis.
ini.
Ideologi
dominan
dalam
Perbedaan
yang
ditemukan ialah teori yang digunakan dan
juga
objek
penelitian
yang
merupakan surat kabar, sedangkan
9
persamaannya
ialah
penggunaan
metode analisa wacana kritis model Norman
Fairclough
dan
juga
penelitian yang bersifat kualitatif. 4
Samuel
A Comparative Study Studi yang membandingkan akan hasil
Alaba
of
Akinwotu,
Strategies
PhD
Media Interviews of bahwa
(2014)
Participants in the pemerintah dipenuhi dengan opini satu
the
Discursive wawancara oleh representasi para in
the tokoh politik di Nigeria menunjukkan adanya
ucapan
dari
juru
January 2012 Fuel pihak dan retorika defensif sementara Subsidy
Removal para demonstran terlibat dalam agresi
Crisis in Nigeria
dan menghukum retorika. Juru bicara pemerintah
menggunakan
strategi
persuasif manipulatif solidaritas dan framing terhadap para pengunjuk rasa. Persamaan penelitian ini ialah metode yang digunakan yaitu analisa wacana kritis, namun perbedaannya terletak pada objek penelitian, pada penelitian ini objek yang digunakan ialah hasil wawancara kemudian
dari dilihat
media
dimana
strategi
dibalik
wacana tersebut. 5
Steen
The Featurization of Perkembangan berita feature yang
Steensen
Journalism
(2011)
telah berkembang menjadi beberapa genre dan telah mendominasi surat kabar. Dalam penelitian ini analisa yang
digunakan
diskursus,
yang
ialah
analisa
kemudian
objek
penelitiannya ialah wacana feature yang ada di berbagai media cetak dan melihat perubahan dalam wacana-
10
wacana
tersebut.
Sedangkan
perbedaannya dilihat dari teori yang digunakan
dan
juga
objek
penelitiannya.
2.2
Landasan Konseptual
2.2.1 Media Massa Dalam berjalan suatu komunikasi massa maka dibutuhkan suatu perantara komunikasi tersebut, yaitu media massa. Media massa merupakan kependekan dari media komunikasi massa, sebuah saran penyampaian pesan-pesan, alat atau sarana yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa. Romli dalam bukunya Jurnalistik Praktis Untuk Pemula menabarkan karakteristik yang terdapat pada media yang meliputi 5 hal berikut : 1. Publisitas, disebarluaskan kepada khalayak. 2. Universalitas, kesannya bersifat umum. 3. Perioditas, tetap atau berkala. 4. Kontinuitas, berkesinambungan. 5. Aktualitas, berisi hal-hal baru. Sedangkan menurut Hafied Cangara dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi (2006:122) mengartikan media massa sebagai alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Adapun karakteristik media massa ialah: 1) Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. 2) Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Bila terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
11
3) Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama. 4) Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar dan semacamnya. 5) Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan suku bangsa. Romli (2005:5) dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik Praktis Untuk Pemula menyebutkan bahwa isi media massa secara garis besar terbagai atas tiga kategori, yaitu berita, opini, dan feature. Karena pengaruhnya terhadap massa (dapat membentuk opini publik), media massa disebut “kekuatan keempat” (The Four Estate) setelah lembaga eksekutif, legistatif, yudikatif. Bahkan karena idealisme dengan fungsi sosial controlnya media massa disebut-sebut “musuh alami” penguasa. Media yang termasuk kedalam kategori media massa adalah surat kabar, majalah, radio, TV dan film. Kelima media tersebut dinamakan “The Big Five Of Mass Media” (lima besar media massa), media massa sendiri terbagi dua macam, media massa cetak (printed media), dan media massa elektronik (electronic media). Yang termasuk media massa elektronik adalah radio, TV, film (movie), termasuk CD. Romli membagi media massa cetak menurut formatnya, yaitu : 1.
Koran atau surat kabar (ukuran kertas broadsheet atau ½ plano)
2.
Tabloid (½ broadsheet)
3.
Majalah (½ tabloid atau kertas ukuran polio atau kuarto)
4.
Buku (½ majalah)
5.
Newsletter (polio atau kuarto, jumlah halaman lazimnya 4-8 halaman)
6.
Buletin (½ majalah jumlah halaman lazimnya 4-8)
2.2.2 Media Cetak di Indonesia Media cetak merupakan media yang mengutamakan peran-peran visual dan bersifat statis. Media ini terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambar, atau foto dalam tata warna. Seperti media massa lainnya, media cetak berfungsi untuk memberi informasi dan menghibur. Perbedaannya yang dimiliki media cetak dengan
12
media lainnya ialah kemampuannya untuk memperoleh penghargaan. Media cetak dapat disebut sebagai suatu dokumen atas segala hal yang dikatakan orang lain dan rekaman peristiwa yang ditangkap oleh sang jurnalis yang kemudian diubah dalam bentuk kata-kata, gambar, dan juga sebuah foto.
2.2.3 Majalah Menurut Romli dalam Kamus Jurnalistik (2008), majalah adalah format penerbitan pers berukuran kertas kuarto, folio, atau setengah tabloid. Ada juga yang berukuran buku atau setengah kuarto (mini magazine). Umumnya mingguan, dwi mingguan, bulanan, atau terbit berkala (periodik), dengan segmen berita khusus sampai politik, ekonomi, hiburan, agama, ataupun umum. Kekuatan utama yang disajikan majalah sebagai media yang efektif adalah tidak dikuasai oleh waktu, bisa dibaca perlahan-lahan, bisa disimpan, bisa dibaca berulang-ulang bahkan bisa didokumentasikan. Majalah sebagai media massa cetak merupakan sebuah media jurnalistik yang membutuhkan kreativitas dalam hal penyajian seperti rubrik, reka bentuk sampai mutu kertas yang digunakan. Majalah dalam media massa cetak dinilai lebih termasa, karena terbit dua mingguan misalnya, sehingga dalam dua minggu masih tersimpan dan membuka peluang untuk tetap dibaca dibandingkan surat kabar harian. Kemunculan majalah disebabkan akan kebutuhan masyarakat atas informasi yang beragam dan sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini, karenanya tak heran bila majalah mempunyai rupa yang beragam, disesuaikan dengan segmentasinya. Pada umumnya, majalah dapat dibedakan sesuai dengan kelompok pembaca atau target pasarnya, yaitu menurut segmen demografis (usia atau jenis kelamin) ataupun perbedaan secara psikografis dan geografis atau dapat dilihat dari segi kebijakan editorialnya (Kasali, 2007:111) Kurniawan Junaedhie dalam Ensiklopedia Pers Indonesia (2010:13) memaparkan bahwa semua produk media cetak yang bisa disebut sebagai majalah ialah : a. Media cetak yang terbit secara berkala, tapi bukan yang terbit setiap hari.
13
b. Media cetak itu bersampul, setidak-tidaknya punya wajah, dan dirancang secara khusus. c. Media cetak itu dijilid atau sekurang-kurangnya memiliki sejumlah halaman tertentu. d. Media cetak itu, harus berformat tabloid, atau saku, atau format konvensional sebagaimana format majalah yang kita kenal selama ini. Majalah merupakan salah satu media yang dalam penerbitannya berlangsung secara periodik, dan hal tersebut juga merupakan salah satu syarat terbitnya sebuah majalah. Majalah adalah tempat penyimpanan berita dan artikel yang diterbitkan secara berkala, yang memiliki sistem periodik dalam penerbitannya.
2.2.3.1 Rubrik Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), rubrik adalah karangan yang bertopik tertentu dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya. Contohnya, dalam sebuah majalah mempunyai rubrik horoscope, kesehatan, musik, resensi. Effendy dan Onong Uchjana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi:Teori dan Praktek (2006:316) menyebutkan definisi rubrik dalam kamus komunikasi, bahwa kata ‘rubrik’ berasal dari Bahasa Belanda yang berarti ruangan pada halaman surat kabar, majalah, atau media cetak lainnya mengenai suatu aspek atu kegiatan dalam kehidupan masyarakat, misalnya rubrik wanita, rubrik olahraga, rubrik surat pembaca. Menurut Effendy, jenis-jenis rubrik dibagi sebagai berikut : 1) Rubrik Informasi a.
Seputar keluarga (pertunangan, perkawinan, kelahiran, kematian)
b.
Kesejahteraan (koperasi, fasilitas dari organisasi, kredit rumah)
c.
Pengumuman pimpinan organisasi
d.
Peraturan
e.
Surat Keputusan
f.
Pergantian Pemimpin
g.
Kepindahan Pegawai
h.
Konferensi
14
2) Rubrik Edukasi a.
Tajuk rencana
b.
Artikel (pengetahuan, ketrampilan, keagamaan, dll)
c.
Kutipan pendapat tokoh (keahlian, kemasyarakatan, keagamaan)
3) Rubrik Rekreasi a.
Cerita Pendek
b.
Anekdot
c.
Pojok atau sentilan
d.
Kisah Minat Insani
2.2.4 Feature sebagai berita Menurut Asep Syamsul M. Romli (2005) penulisan feature tidak selalu terpaku pada rumus klasik 5w + 1h, namun lebih menelusuri jawaban dari how dan why. Namun, sampai saat ini para wartawan dan pakar jurnalisme di dunia belum mencapai kesepakatan akan pengertian atau batasan arti dari feauture news. Daniel R. Williamson dalam bukunya Feautre Writing for Newspaper seperti yang dikutip oleh Santana (2005:5) menyebutkan bahwa “A feauture story is a creative, sometime subjective, article designed primarily to entertain and to inform readers of an event, a situation or an aspect of life” Feature adalah sebuah kisah kreatif, terkadang subjektif yang dibuat untuk menghibur dan menginformasikan pada pembaca mengenai suatu peristiwa,
situasi
atau
aspek
kehidupan.
Sementara
Richard
Weiner
mendefinisikan feature sebagai suatu artikel atau karangan yang lebih ringan atau lebih umum, tentang daya pikat manusiawi atau gaya hidup, daripada berita keras (hard news) yang ditulis dari peristiwa yang masih hangat. Sumadiria (2010) dalam buku Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature menyebutkan lima fungsi feature, yaitu : a)
Pelengkap sekaligus variasi sajian dari berita langsung
Sebagai menu variasi, penulisan sebuah feature bersifat lebih luwes dan tidak terllau kaku dalam mengikuti prinsip 5W + 1H yang disajikan dalam piramida
15
terbalik. Karena itu, unsur kreatifitas amatlah penting bagi seorang jurnalis, selain unsur kepekaan dalam membuat sebuah feature b)
Pemberi informasi yang menarik mengenai suatu situasi, keadaan, atau
peristiwa yang terjadi Tak selamanya sebuah kejadian penting hanya disajikan dalam bentuk straight news saja tanpa menambahkan info pendukungnya. Kalau pun sebuah kejadian itu amatlah penting, maka seorang jurnalis dapat menyajikan berita dari berbagai ragam sisi yang menarik. c)
Penghibur atau sarana rekreasi dan pengembangan imajinasi yang
menyenangkan Kalau tujuan utama sebuah berita langsung (straight news) adalah menyampaikan informasi secara langsung (to the point) dalam cara yang singkat, maka salah satu tujuan feature adalah menyajikan cerita yang mengandung bobot rekreasi lebih kuat. d)
Pemberi nilai dan makna terhadap sebuah peristiwa
Ada kalanya sebuah berita kerap hadir tanpa nilai dan makna. Ia hanya ditafsirkan sebagai sebuah peristiwa biasa, karena terjadi terllau sering, berulang-ulang. Misalnya, peristiwa klasik pembantu diperkosa majikan, pencopet di pukuli massa, petani tewas disambar petir, kecelakaan lalu lintas, mahasiswa demonstrasi, merupakan berita biasa. Karena nyaris terjadi setiap hari, bahkan setiap saat disajikan oleh bergam media massa, baik itu cetak dan elektronik. Maka berita semacam ini menjadi tidak berharga. Tak bernilai,tak bermakna. Memag salah satu konsekuensi dari paradigm berita adalah lebih menekankan keluarbiasaan. News is unusual. Berita adalah sebuah peristiwa yang luar biasa. Namun dengan feature, berita tak hanya dilihat dari sisi kuantitatif angka, jumlah statistic. Fakta berita yang disajikan dalam bentuk feature, sesungguhnya memberi makna terhadap dimensi kualitatif atas sebuah peristiwa situasi dan keadaan. Artinya dalam meliput peristiwa, situasi dan keadaan tersebut harus dilihat dari sudut pandang human interest.
16
e)
Wahana ekspresi yang mempengaruhi khalayak
Tugas utama dari hard news adalah mengisi ruang kognisi khalayak, sedangkan salah satu tugas feature dalam mengangkat dimensi afeksinya, dengan feature kita menemukan emosi, perasaan, suasana hati, empati bahkan jati diri kita masing-masing. Hanya dengan features setiap situasi, keadaan atau aspek kehidupan dapat dinyatakan secara ekspresif. Maka dengan cara inilah emosi publik dapat ikut terlibat, bahkan mampu membangkitkan rasa belas kasihan, semangat, dan inspirasi. Serta mampu menyertakan emosi lain seperti perasaan geram, marah, kecewa, dan lain-lain hanya dengan membaca atau menyaksikan sebuah features. Wahana ekspresi semacam features inilah yang disebut dapat mempengaruhi khalayak pembacanya. Asep Syamsul M. Romli (2005) menjelaskan beberapa ciri khas dalam penulisan feature, antara lain : a)
Mengandung segi human interest
Tulisan feature memberikan penekanan pada fakta-fakta yang dianggap mampu menggugah emosi -menghibur, memunculkan empati dan keharuan. Dengan kata lain, sebuah feature juga harus mengandung sisi human interest. Karenanya, feature termasuk kategori soft news (berita ringan) yang pemahamannya lebih menggunakna emosi. Berbeda dengan hard news yang isinya lebih mengacu kepada penggunaan pemikiran. b)
Mengandung unsur sastra
Satu hal penting dalam sebuah feature ialah tulisan tersebut harus mengandung suatu unsur sastra. Feature ditulis dengan cara atau gaya penulisan fiksi. Karenanya, tulisan feature mirip dengan sebuah cerpen ataupun novel dengan gaya baca yang ringan dan menyenangkan namun tetap informatif dan berdasarkan fakta yang ada (faktual) Karenanya pula, seorang penulis feature pada prinsipnya adalah orang yang sedang bercerita. Berita feature dianggap sebagai perpanjangan terhadap berita peristiwaperistiwa aktual. Berita feature memperlakukan berita dengan penekanan unsur human interestnya.
17
Kusumaningrat (2009:221) dalam bukunya Jurnalistik, Teori dan Praktik memberikan penjelasan singkat mengenai beberapa jenis berita feature, yaitu : a)
Berita Human Interest Sederhana
McKinney mengatakan bahwa berita yang masuk dalam kategori human interest adalah berita yang mempunyai unsur aneh, menyedihkan dan juga karena nilai hiburannya, bukan karena kontribusinya bagi ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat. b)
Berita Hari Kedua (Sidebars)
Berita seperti ini menggabungkan aktualitas dengan fungsi sidebar dalam menambahkan sesuatu untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang peristiwa yang dilaporkan disana-sini. Terkadang sebuah berita sidebar memiliki segi human interest yang sangat kuat, namun segi tersebut hanya berfungsi untuk memperjelas atau menjadi suplemen terhadap fakta-fakta utama tentang peristiwa yang terjadi. c)
Berita Feature
Berita macam ini terkadang disebut sebagai featurized news atau berita yang di feature-kan. Berita-berita golongan ini seperti sidebar dalam hubungannya dengan peristiwa aktual. Perbedaannya, berita feature memperlakukan berita (seringkai berita penting) dengan penekanan pada unsur human interest-nya atau unsur sekundernya. d)
Berita Berwarna
Berita berwarna berusaha membaca pembaca atau pendengarnya secara tepat ke dalam setting cerita yang sedang dilukiskan. Berita berwarna pada dasarnya merupakan pelukisan sebuah adegan atau sebuah keadaan yang mengelilingi suatu kegiatan yang sedang menjadi pusat perhatian. e)
Berita Latarbelakang
Berita-berita berikut ini tidak akan dimuat jika saja suratkabar, radio, atau televisi hanya menaruh minat melaporkan berita seperti apa adanya sesuai
18
dengan yang terjadi saja. Berita-berita seperti ini menambah makna bagi pemahaman khalayak tentang suatu berita yang sedang hangat.
2.2.5 Berita Human Interest Definisi mengenai human interest sering berubah-ubah hal ini dipandang berbeda-beda menurut surat kabar masing-masing dan menurut perkembangan zaman. Kusumaningrat (2009) dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik, Teori dan Praktik menyebutkan bahwa hal yang pasti mengenai human interest ialah unsur yang menarik empati, simpati, atau menggugah perasaan khalayak yak membacanya. Kata human interest sendiri secara harfiah diartikan sebagi menarik minat orang. Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah berita human interest antara lain adalah: a) Ketegangan (Suspense) b) Ketidaklaziman (Unsualness) Kejadian yang tidak lazim atau sesuatu yang aneh akan memiliki daya tarik kuat untuk dibaca c) Minat Pribadi d) Konflik Peristiwa atau kejadian yang mengandung pertentangan senantiasa menarik perhatian pembaca. Para sosiolog, berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian mereka, berpendapat bahwa pada umumnya manusia memberikan perhatian terhadap konflik, kalau tidak mau dikatakan menyukainya. e) Simpati f)
Kemajuan
g) Seks h) Usia i)
Binatang
j)
Humor
19
2.2.5 Agenda Setting Media Bernard Cohen seperti yang dikutip oleh Baran dan Davis (2010) meski tidak secara spesifik menggunakan istilah agenda setting, namun sering kali dipuji karena kembali mendefiniskan ide Lipman ke dalam teori agenda setting. “Pers lebih penting daripada sekadar penyedia informasi dan opini”. Cohen menulis : “Barangkali mereka tidak terlalu sukses dalam menyuruh apa yang dipikirkan seseorang, tetapi mereka biasanya sukses menyuruh orang mengenai apa yang seharusnya mereka pikirkan” Diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw dalam Publik Opinion Quarterly dengan judul The Agenda Setting Function of Mass Media, teori agenda setting mempunyai asumsi dasar bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang diaggap penting bagi media, maka penting juga bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila media massa memberi perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Ide inti teori ini ialah bahwa media berita mengindikasikan kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Menurut Rogers dan Dearing seperti yang disebutkan dalam buku McQuail’s Mass Communication Theory (2011) adanya tiga agenda yang perlu dibedakan, yaitu prioritas terhadap media, terhadap publik, dan terhadap kebijakan. Mereka juga menyatakan bahwa media meiliki kredibilitas yang beragam, pengalaman pribadi dan gambaran media mungkin berbeda-beda, dan bahwa publik mungkin tidak memiliki nilai yang sama mengenai berita sebagaimana medianya. McCombs dan Donald Shaw seperti yang dikutip oleh Burhan Bungin (2009) mengatakan bahwa audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan ‘agenda’ kampanye tersebut dan kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa.
20
McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda setting pada media masa. Agenda media dapat terlihat dari aspek apa pun yang pemberitaanya di tonjolkan (di fokuskan) oleh media. Mereka melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi pemberitaan. McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat. Apriadi Tamburaka (2012) dalam bukunya Agenda Setting Media Massa menyebutkan mengenai penelitian yang dilakukan oleh Wanta dan Wu yang mempunyai hipotesis “bahwa semakin banyak individu terekspos pada media berita, semakin tinggi tingkat keutamaan isu media”. Hasilnya menunjukkan sama dengan dugaan awal bahwa semakin banyak individu terbuka pada media semakin besar kecenderungan mereka untuk peduli dengan isu-isu yang mendapat liputan gencar. Persoalan utama dari terpaan media kepada khalayak adalah khalayak harus memiliki akses terus menerus terhadap tayangan berita. Pernyataan-pernyataannya adalah, apakah khalayak berlangganan surat kabar, sering mendengar siaran radio atau menonton televisi? Kemudian berapa lama mereka menghabiskan waktunya? Apakah mereka memiliki intensitas yang cukup untuk membaca, mendengar atau menonton? Jika khalayak akses media seperti berlangganan surat kabar secara periodik, sering mendengar radio ketika berkendara di mobil, atau menyempatkan waktu penonton siaran berita. Dapat dipastikan khalayak memiliki cukup waktu untuk mendapatkan terpaan media demikian pula besar kemungkinan agenda setting media akan berlaku kepada khalayak tersebut. (Apriadi Tamburaka 2012:47)
21
2.2.5.1 Efek Agenda Setting McQuail dalam bukunya McQuail’s Mass Communication Theory (2011:277) menyebutkan bahwa efek agenda-setting tidaklah berbeda dari sebagian besar efek yang diketahui, mereka juga penting dalam faktor kombinasi yang tepat sehubungan dengan topik, jenis media, dan konteks yang lebih besar. Sebagian besar dari 50 hasil penelitian tentang agenda setting menekankan pada pengukuran efek dari agenda media atau opini publik. Dari sebagian penelitian didapatkan hasil bahwa agenda media tidak sekedar mempengaruhi opini tetapi juga mempengaruhi perilaku khalayak. Prediksi yang dilakukan bahwa efek yang ditimbulkan oleh media cetak tradisional lebih efektif dibandingkan dengan jenis media elektronik kontemporer. Para peneliti menemukan bahwa dengan memberikan lebih banyak pilihan isi dan kontrol terhadap terpaan media, teknologi baru akan memberikan kesempatan untuk membuat lingkungan informasi yang individual. Hal tersebut bisa dilakukan daripada harus dengan ekstrim menutup semua akses informasi dari pusat penyiaran publik dalam masyarakat. Efek dari model agenda setting terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan. Efek langsung berkaitan dengan isu, apakah suatu isu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak, sedangkan efek lanjutan merupakan sebuah persepsi (pengetahuan mengenai peristiwa tertentu) atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu atau aksi protes (Elvinaro, 2007:77) Maxwell McComb dan Donald Shaw dalam McQuail (2011) menyatakan bahwa agenda setting dalam konsep tidak hanya dibatasi pada hubungan yang dibangun dengan topik tertentu antara media dan khalayak. Mereka juga menambahkan literatur terhadap kajian tentang efek media, mereka menunjukkan beberapa penelitian yang menunjukkan pemilihan berita untuk digunakan dalam menentukan isu apa yang dianggap paling penting. Teori agenda setting juga menyediakan alat pengingat bahwa bagaimanapun cerita media dan apapun bentuknya tetaplah sebuah cerita, karena pesan media selalu membutuhkan pemaknaan. Agenda setting merupakan salah satu teori komunikasi massa yang memiliki tujuan dimana media berusaha untuk mempengaruhi pendapat khalayak mengenai isu
22
tertentu dan media yang mengarahkan khalayak isu-isu mana yang perlu mendapat perhatian.
2.2.5.2 Fungsi Agenda-Setting Stephen W. Littlejohn & Karen Foss (2005:280) dalam bukunya Theories of Human Communication mengutip Rogers & Dearing mengatakan bahwa fungsi agenda-setting merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian, yaitu : 1) Agenda Media Prioritas masalah-masalah yang harus dibahas dalam media harus ditentukan 2) Agenda Publik Mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu mempengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya 3) Agenda Kebijakan Publik Apa yang dipikirkan para pembuat kebijakan publik dan privat penting atau pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting oleh publik. Pemberitaan suatu masalah atau peristiwa saat diterima individu berdasarkan apa yang dilihat, timbul suatu pemikiran aktif dalam diri individu tersebut. selama proses berlangsung,
individu
mengevaluasi
pesan
yang
diterimanya
berdasarkan
pengetahuan dan sikap yang dimiliki sebelumnya, dan pada akhhirnya akan terjadi perubahan atau terbentuknya sikap yang baru terhadap isu atau berita yang disampaikan oleh media. Efek media massa diukur dengan membandingkan dua pengukuran yaitu agenda media dan agenda khalayak. Gladys Engel Lang dan Kurt Lang seperti yang dikutip dari buku Alex Sobur (2012) melakukan penelitian antara hubungan pers dan pembentukan opini publik pada skandal Watergate. Penelitian tersebut menyatakan proses penempatan isu pada agenda publik memakan waktu dan melalui beberapa tahap. Penelitian itu juga menyatakan bahwa cara media membingkai isu dan kata-kata sandi yang mereka gunakan ntuk menggambarkannya dapat mempunyai dampak dan bahwa peran-peran individu-individu terkenal yang berkomentar pada isu tersebut menjadi sesuatu yang
23
penting. Gladys Lang dan Kurt Lang kemudian merinci tahapan dalam enam langkah: 1) Pers menyoroti beberapa kejadian atau aktivitas dan membuat kejadian atau aktivitas tersebut menjadi menonjol 2) Jenis-jenis isu yang berbeda membutuhkan jumlah dan jenis liputan berita yang berbeda untuk mendapatkan perhatian 3) Peristiwa-peristiwa dan aktivitas dalam fokus perhatian harus “dibingkai” atau diberi bidang makna dimana didalamnya peristiwa dan aktivitas tersebut dapat dipahami 4) Bahasa yang digunakan media dapat mempengaruhi persepsi akan pentingnya sebuah isu. 5) Media menghubungkan aktivitas atau kejadian yang telah menjadi fokus perhatian dengan simbol-simbol sekunder yang lokasinya pada lanskap politik mudah diketahui. Orang memerlukan dasar untuk berpijak pada sebuah isu 6) Pembentukan agenda dipercepat ketika individu-individu yang terkenal dan dapat dipercaya mulai berbicara tentang sebuah isu. Shoemaker dan Reese seperti yang dikutip oleh Apriadi Tamburaka (2012:52) mengusulkan lima kategori utama pengaruh isi media : 1) Pengaruh dari pekerja media secara individu. Di antara pengaruh-pengaruh ini adalah karakteristik pekerja komunikasi, latar belakang professional dan kepribadian, sikap pribadi, dan peran-peran professional 2) Pengaruh-pengaruh rutinitas media. Apa yang diterima media massa dipengaruhi praktik-praktik komunikasi seharihari orang penghubung (komunikator). Termasuk deadline dan kendala waktu lainnya, kebutuhan ruang dalam penerbitan, struktur piramida terbalik untuk menulis berita, nilai berita, standar objektivitas dan kepercayaan reporter pada sumber-sumber berita. 3) Pengaruh organisasi terhadap isi Organisasi media memiliki beberapa tujuan, dan menghasilkan uang sebagai salah satu yang paling umum digunakan. Tujuan-tujuan organisasi media ini bisa berdampak pada isi melalui berbagai cara.
24
4) Pengaruh terhadap isi dari luar organisasi media Pengaruh-pengaruh ini meliputi kelompok-kelompok kepentingan yang melobi untuk mendapatkan persetujuan (atau menentang) jenis-jenis isi tertentu, orangorang yang menciptaka pseudoevent untuk mendapatkan liputan media, dan pemerintah yang mengatur isi secara langsung dengan undang-undang pencemaran nama baik dan ketidaksopanan. 5) Pengaruh ideologi menggambarkan fenomena tingkat masyarakat. Ideologi yang menyeluruh ini mungkin memengaruhi isi media massa dengan banyak cara.
2.2.6 Agenda Setting dan Pembentukan Opini Publik Opini publik berasal dari bahasa Inggris opinion yang berarti pendapat dan public yang diterjemahkan sebagai umum. Opini publik sendiri mempunyai arti sebagai pendapat umum atau pendapat orang kebanyakan. Dalam hal ini publik yang dimaksud ialah kelompok abstrak dari orang-orang yang menaruh minat terhadap suatu persoalan yang memiliki kepentingan yang sama, disana mereka terlibat dalam suatu proses pertukaran pikiran melalui komunikasi untuk mencari penyelesaian demi kepuasan atas persoalan kepentingan mereka. Oey Hong Lee dalam Arifin (2010:8) menjelaskan bahwa bagian-bagian massa yang tertarik oleh masalah-masalah dan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang diteruskan oleh alat-alat komunikasi massa, secara spontan mempersatukan diri dalam kelompok-kelompok yang dinamakan publik. Opini atau pendapat dipahami sebagai jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang dihadapi dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan penjelasan sebelumnya kita dapat menyimpulkan bahwa opini publik adalah pendapat sama yang dinyatakan oleh banyak orang yang diperoleh melalui diskusi yang intensif sebagai jawaban atas pernyataan dan permasalahan yang menyangkut kepentingan umum. Permasalahan yang tersebar melalui media massa. Pendapat rata-rata individu memberi pengaruh terhadap individu lain, pengaruh tersebut dapat bersifat positif, netral atau bahkan negatif, dalam pernyataan tersebut disimpulkan bahwa opini publik hanya akan terbentuk jika ada isu yang dikembangkan oleh media massa.
25
Tamburaka (2012:102) menyebutkan bahwa media massa agar tidak bias biasanya akan menganalisis terlebih dahulu isu yang perlu ditonjolkan bagaimana kira-kira nantinya dilemparkan kepublik, apakah akan berdampak secara luas atau hanya sementara saja. Biasanya mereka melakukan eksperimen kecil dengan melempar isu tersebut melalui pemberitaan. Bila isu itu memiliki dampak yang signifikan, maka isu itu akan ditonjolkan dan mendominasi pemberitaan. McCombs dan Donald Shaw melakukan penelitian yang membuktikan adanya pengaruh media dalam membentuk opini publik. Arifin (2010:22) menyebutkan opini publik paling tidak memiliki tiga unsur yaitu : a) Harus ada isu peristiwa atau kata-kata penting dan menyangkut kepentingan umum yang disiarkan oleh media massa. b) Harus ada sejumlah orang yang mendiskusikan isu tersebut dan menghasilkan kata sepakat, mengenai sikap dan pendapat mereka c) Pendapat mereka itu harus diekspresikan atau dinyatakan dalam bentuk lisan, tertulism dan gerak-gerik Cangara dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Politik:Konsep, Teori, dan Strategi (2009:157) mencoba untuk mendeskripsikan maksud dari opini publik itu sendiri yang secara garis besar ia pahami sebagai berikut : a) Adanya isu yang diawali ketidaksepakatan, yakni adanya pro dan kontra b) Isu melahirkan dua bentuk masyarakat, yaitu masyarakat yang peduli pada isu itu lalu membuat pendapat, sementara masyarakat yang tidak peduli akan diam c) Pendapat dinyatakan dalam bentuk verbal d) Ada kelompok kolektifitas terlibat, namun sifatnya tidak permanen. Alex Sobur (2012:104) menyebutkan bahwa begitu besarnya pengaruh media dalam pembentukan pendapat umum sehingga 9 dari 10 orang Amerika percaya bahwa media memiliki pengaruh yang tinggi dalam pembentukan pendapat umum. Bahkan ketika diajukan sumber informasi 15 topik terhangat kepada mereka ternyata ada 10 orang yang diperoleh dari media massa .
26
2.2.7 Agenda Setting Dalam Konstruksi Berita Feature Wartawan atau pemimpin redaksi dapat menempatkan berita utama (headline) di halaman muka atau halaman dalam, atau memilih tokoh politik yang satu dengan menyingkirkan tokoh politik yang lain untuk ditonjolkan dalam media massa. Semuanya itu dilakukan dengan mengacu kepada “politik redaksi”, kepribadian dan pencitraan media massa. Wartawan atau pemimpin redaksi sebagai gatekeeper kemudian berkembang menjadi agenda setter sebagaimana yang dikenal dalam teori agenda setting atau agenda media (Arifin, 2010:137) Penyusunan redaksionalnya menyebabkan setiap naskah berita yang masuk kepadanya menjadi normal. Terhadap naskah yang dibaca, dibentuk sebuah kesimpulan umum dari tuturan naskah tersebut : a) Apakah cerita (laporan) itu memiliki nilai berita atau tidak? Jika tidak, tiada harapan untuk dicetak dan dimuat (disiarkan) dalam surat kabar atau media massanya. b) Apakah tuturannya tepat dan wajar? Masalah yang tidak tepat, tidak diinginkan oleh semua surat kabar (media massa), namun jumlahnya akan semakin berkurang. Para editor bertanggung jawab atas penerbitan yang kurang tepat dan kurang teliti. c) Memfitnahkan tuturan (laporan) itu? Suatu persoalan yang berisi kata-kata atau implikasi yang mengakibatkan surat kabarnya mengalami kesulitan, harus segera disingkirkan agar terhindar dari bahaya. d) Lengkapkah unsur-unsur beritanya? Apakah laporan tersebut lengkap atau hanya sebagian saja? Apakah akan diserahkan kepada pembaca dengan tidak menentu sama sekali? Jika demikian, rinciannya harus disingkirkan. (Suhandang, 2010: 71) Apriadi Tamburaka (2012) menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Agenda Setting Media Massa bahwa sebuah berita disimpulkan sebagai laporan atau pemberitahuan tentang segala peristiwa actual yang menarik perhatian orang banyak. Khususnya pada penulisan feature news, fakta yang pada awalnya tampak sepele diubah menjadi menarik untuk diminati dan dinikmati. Namun, membumbui katakata bukan dengan menghilangkan faktanya, tetapi fakta adalah landasan untuk berkisah. Wartawan memang harus membuat tulisannya menarik, tetapi dengan tidak menjuruskan, mewarnai atau memainkan kata-kata.
27
Arifin, seperti yang dikutip oleh Apriadi Tamburaka (2012) mengatakan bahwa selain masalah pemuatan, penempatan, dan juga jumlah berita, maka pemilihan narasumber, gaya berita dan opini media yang ditawarkan bisa menjadi frame bagi khalayak untuk menentukan sikapnya atas suatu isu tertentu.Sesuai dengan tujuan kegiatan jurnalistik dalam rangka memengaruhi khalayaknya, unsur keindahan sajian produknya sangat diutamakan. Indah dalam arti dapat diminati dan dinikmati. Beberapa cara pembingkaian berita bisa “menyentak” gagasan atau skema tentang sebuah topik yang sudah ada di benak orang dengan lebih baik daripada cara-cara lain. Hafied Cangara seperti yang dikutip oleh Tamburaka (2012:138) menjelaskan bahwa para redaktur media memiliki ketajaman untuk mengangkat isu-isu yang perlu dibicarakan oleh masyarakat maupun pemerintah. Isu-isu tidak hanya muncul dari anggota redaksi namun para pengelola media biasanya memiliki kelompok penulis (narasumber) yang dapat dihubungi setiap saat untuk memberi ulasan. Apriadi Tamburaka (2012) menyebutkan bahwa Fraser Bond mengemukakan ada dua belas masalah yang selalu menjadi perhatian orang banyak dalam kehidupannya sehari-hari. Kedua belas masalah tersebut merupakan unsur-unsur terpenting yang bisa dijadikan daya pikat dari suatu berita : a) Minat pribadi b) Uang c) Seks d) Pertentangan e) Hal yang luar biasa f) Berjiwa pahlawan dan termasyhur g) Kegelisahan h) Kemanusaiaan i) Kejadian-kejadian yang memengaruhi organisasi vital j) Kontes k) Penemuan dan pendapat l) Kejahatan
28
Pada umumnya cerita yang memiliki unsur kemanusian (human interest) akan dibentuk dalam sebuah soft news atau sebagai bentuk berita halus seperti feature, dengan penulisan cerita yang kreatif, subjektif yang dirancang untuk menyampaikan informasi dan hiburan kepada pembaca. Iswhara (2011) menyarankan agar dalam cerita deature penulis harus mengontrol fakta dengan cara seleksi, struktur dan interpretasi daripada fakta yang mengontrol penulis. Mengontrol fakta bukan berarti mengekspresikan opini, dan pasti bukan memfiksikannya. Bukan pula memanipulasi fakta demi keuntungan suatu pandangan. Tetapi berusaha memberikan pandangan yang lebih jelas mengenai realitas seperti dilihat seorang pengatamat yang tajam dan tidak memihak.
2.2.8 Jurnalisme Kata jurnalisme atau jurnalistik diambil dari bahasa Perancis journal yang berasal dari istilah Latin diurnal atau diary. Acta Diurna ialah sebuah bulletin yang ditulis tangan dan berisi ulasan mengenai kejadian yang terjadi pada setiap harinya di masyarakat. Acta Diurna pertama kali muncul pada jaman Romawi Kuna dan merupakan asal usur dari surat kabar. (Nurudin 2012: 2) Berdasarkan kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English seperti yang disebutkan oleh Nurudin (2012) arti jurnalisme ialah : 1. The work of profession of producing (writing for journal and newspaper) (Profesi yang berkaitan dengan memproduksi tulisan untuk jurnal dan surat kabar) 2. Writing that maybe be all right for a newspaper (Menulis yang benar untuk surat kabar) MacDougall menyebutkan bahwa journalism adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. (Kusumaningrat 2009:15). Kovach dan Rosentiel (2007:12) merumuskan “Elemen-Elemen Jurnalisme” untuk memandu wartawan bekerja secara profesional. Elemen-elemen Jurnalisme tersebut yakni: 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran Keinginan agar informasi merupakan kebenaran adalah tolak ukur utama. Berita adalah materi yang digunakan orang untuk mempelajari dan berpikir tentang dunia di luar diri mereka, maka kualitas terpenting berita adalah yang bisa diandalkan dan digunakan.
29
2. Memiliki loyalitas kepada masyarakat Kesetiaan pada warga ini memiliki makna independensi dari jurnalistik. Istilah tersebut sering diartikan sebagai sebuah ketidakterikatan, tidak berat sebelah, dan ketidakberpihakan. 3. Memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi Disiplin dan verifikasi adalah hal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Dengan melakukan proses disiplin dan verifikasi, maka kebenaran akan dapat dicapai. 4. Memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya Independensi terhadap sumber berita ini berlaku bahkan kepada mereka yang bekerja di bidang opini, kritik, dan juga komentar. Independensi yang harus diperhatikan oleh wartawan ini bukanlah netralitas. 5. Memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaan Salah satu prinsip dari jurnalisme adalah sebagai watchdog atau anjing penjaga. Jurnalisme harus mampu memantau pemilik kekuasaan tertinggi di suatu negara, agar mereka tidak bertindak dengan sewenang-wenang pada warga masyarakat. 6. Menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik Fungsi forum publik ini mampu menghasilkan demokrasi di suatu negara. Media dalam hal ini kerap berperan sebagai perantara yang jujur dan adil pada semua pihak. 7. Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik Jurnalisme memiliki tujuan menyediakan indormasi yang dibutuhkan warga untuk memahami dunia dengan lebih baik. 8. Membuat berita secara komprehensif dan proporsional Jurnalisme dapat diibaratkan sebagai proses pembuatan peta yang modern yang akan menghasilkan sebuah peta bagi warga untuk mengarahkan persoalan yang sedang dihadapi masyrakat. 9. Memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti hati nurani mereka. Jurnalisme harus mengikuti hati nurani atas kebenaran. Selain itu, kepatuhan setiap wartawan Indonesia terhadap etika profesi tercantum jelas dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 Tentang Pers yakni Pasal 7 Ayat 2. Pada bagian penjelasan disebutkan: yang dimaksud Kode Etik Jurnalistik
30
adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
2.2.9 Jurnalisme Cetak Nurudin (2009:14) dalam bukunya Jurnalisme Masa Kini menyebutkan bahwa jurnalisme cetak dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, yaitu surat kabar, majalah berita, majalah khusus, majalah pedagangan, majalah hobi, newsletter. Masing-masing jenis berbeda satu sama lain dalam penyajian tulisan dan rubriknya. Penulisan feature pada umumnya banyak dipakai dalam majalah. Penulisan feature membutuhkan space yang luas serta kata-kata yang menarik dan diuraikan panjang lebar. Sebuah feature yang baik dan bagus akan memberi kesan kepada pembacanya bagaikan membaca sebuah cerita pendek. Di Indonesia majalah yang mempelopori penulisan feature adalah majalah Tempo.
2.2.10 Jurnalisme Kuning Istilah jurnalisme kuning muncul pada tahun 1800-an, pada awalnya disebabkan oleh “pertempuran headline” dianata dua koran besar di New York yaitu New York World (dimiliki oleh Joseph Pulitzer) dan New York Journal (dimiliki oleh William Randolph Hearst, pesaingan tersebut terjadi dari tahun 1895 sampai 1898 (Nurudin 2012:230). Jurnalisme kuning biasa disebut sebagai jurnalisme pemburuan makna, hal ini disebabkan karena pembuatannya lebih menekankan pada berita sensasional dibandingkan dengan substansi isinya. Stanley J. Baran (2004:109) mendefinisikan jurnalisme kuning sebagai jurnalisme yang menekankan pada sensasi seks, kriminal, dan berita malapetaka, judul besar-besaran, penggambaran yang kasar, dan bergantung pada kartun serta berwarna-warni. Ciri khas jurnalisme kuning ialah pemberitaan yang bombastis, sensasional dan pembuatan judul utama yng menarik perhatian publik. Tujuannya ialah agar masyarakat tertarik. Jurnalisme kuning atau disebut koran kuning terkadang merupakan surat kabar yang kurang mengindahkan aturan umum jurnalistik dalam pemberitaanya. Kamus Bahasa Indonesia mengartikan koran kuning sebagai surat kabar yang sering kali membuat berita sensasi. Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI), Yellow
31
Papers (Koran Kuning) adalah surat kabar yang isinya lebih banyak sensasi, rumor, dan hal-hal yang tidak berkaitan dengan upaya pencerdasan manusia dan merupakan sebuah paradigma yang lahir pada zaman industri modern di mana telah ditemukan mesin cetak super canggih yang kemudian diikuti oleh tumbuhnya dunia hiburan. Menurut Shirley Biagi (2011), istilah yellow journalism (koran kuning) dewasa ini digunakan untuk menggambarkan jurnalisme atau media yang memperlakukan berita secara tidak profesional dan tidak etis. Dalam buku Kamus Jurnalistik (2009) karangan Romli Gutter Journalism didefinisikan sebagai "gaya jurnalistik yang lebih menonjolkan pemberitaan tentang dunia hitam atau dunia kotor, yakni seks dan kejahatan (sex and crime journalism). Adanya unsur yang dilebih-lebihkan serta disertai dengan imajinasi dan ilustrasi yang kental pada koran kuning membuat kesan sebuah jurnalisme yang menjual sensasinya saja. Selain unsur-unsur sensasional dan pendramatisasi dalam pemberitaan karakteristik koran kuning yang menonjol ialah penggunaan aspek visual yang cenderung dibesar-besarkan. Terkadang aspek visual tersebut digunakan untuk menakut-nakuti, contohnya seperti penggunaan headline yang memberikan efek dramatis dengan penggunaan font yang dicetak besar dan berwarna hitam ataupun merah, menampilkan foto dan gambar yang berlebihan. Tidak jarang teknik verbal yang melekat pada koran kuning berisikan cerita atau wawancara yang dibuatbuat (palsu), judul yang menyesatkan ataupun yang penuh dengan kebohongan. Menurut UU No.40 thn 1999 pers Indonesia memiliki kebebasan yang luas sesuai tuntutan pada era reformasi. Beberapa dampak yang mungkin berasal dari kebebasan pers misalnya : 1. Berita bohong 2. Berita yang melanggar norma susila dan norma agama 3. Berita kriminalits dan kekerasan fisik 4. Berita, tulisan, atau gambar yang membahayakan keselamatan dan keamanan Negara dan persatuan bangsa
32
Untuk memecahkan masalah ini maka Komisi penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam memberitakan peristiwa kejahatan (kriminalits) terutamna bag media elektronik yaitu : 1. Menyiarkan atau menayangkan gambar pelaku kejahatan melanggar etika dan hukum 2. Penayangan gambar-gambar mengerikan merugikan konsumen 3. Penayangan gambar korban kejahatan harus dengan izin korban Namun pada kenyataannya sekarang ini banyak beredar media massa yang mementingkan sensasional guna menarik pembaca dan tidak memperhatikan fakta yang ada. Salah satunya ialah tabloid dalam pemberitaannya terhadap selebriti ibu kota.
Gambar 2.1 Jurnalisme kuning dalam pemberitaan selebriti sumber : official twitter Anggun (diakses pada tanggal 8 Januari 2015)
2.2.11 Pers dan Falsafah Pers Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan pers ialah usaha pengumpulan dan penyiaran berita. Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat dalam Jurnalistik, Teori dan Paktrik (2009:17) menyebutkan pengertian Pers yang berasal dari bahasa Belanda pers yang berarti menekan atau mengepres, sedangkan dalam bahasa Inggris press juga mempunya arti yang sama, jadi berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan.
33
Dalam arti luas, pers meliputi berbagai media massa seperti radio, fil, televisi, dan berbagai alat yang digunakan untuk menyampaikan suatu informasti atau berita, baik yang bersifat sebagai penerangan ataupun hiburan, dari suatu organisasi ataupun perorangan yang ditujukan kepada khalayak luas.
2.2.12 Empat Sistem Pers Dalam buku Four Theories of The Press, Siebert Peterson dan Schram, mengemukakan 4 (empat) teori pers yang menurut pengamatannya berlaku didunia sekarang ini : a) Otoriter(Authoritarian) Penemuan alat cetak pers dan pelat huruf yang mudah dipindah terjadi pada saat dunia berada dibawah kekuasan otoriter sistem kerajaan dengan kekuasaan absolutnya. Teori pers pertama (teori otoriter) mendukung kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Adapun pada saat itu belum dikenal adanya kebebasan pers. Mesin cetak harus memiliki izin dan terkadang dalam pemakaiannya pihak jurnalis harus mempunyai hak pemakaian khusus dari kerajaan atau pemerinah agar bisa digunakan untuk penerbitan. Adapun karenanya diperlukan sebuah izin dari pemerintah ataupun kerajaan kemungkinanan adanya kritik mengenai pemerintahan tidaklah ada. Dalam sistem pers otoriter, pers bisa dimiliki baik secara publik atau peroranan namun demikian, tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah. (Severin dan Tankard, Jr. 2005: 373) b) Sofyet Komunis (Sofyet Communist) Teori Sofyet Komunis berkembang setelah Revolusi di Rusia pada Oktober 1917. Teori ini berakar dari teori authoritarian. Sistem pers ini menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Dengan bubarnya Negara Uni Republik Sosialis Soviet pada 25 Desember 1991 yang kini menjadi Negara Persemakmuran, Negara-negar tersebut telah melepaskan sistem politik komunisnya. Kini, teori pers komunis hanya dianut oleh RRC. Budyatna dalam bukunya Jurnalistik Teori dan Praktik (2009:24) menyebutkan perbedaan sistem pers otoriter dengan yang lain ialah :
34
1. Dihilangkannya motif profit, yaitu prinsip untuk menutup biaya pada media 2. Menomorduakan orientasi pada topik apa yang sedang dibicarakan dimasyarakat 3. Dalam teori pers komunis soviet orentasinya ialah perkembangan dan perubahan masyarakat untuk mencapai kehidupan komunis c) Liberal (Libertarian) Teori Liberal pers berkembang pada abad ke-19 sebagai dampak dari adanya usaha untuk melawan otoriter. Fari tulisan Milton, Locke, dan Mill muncul pemahaman bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur dan mencari keuntangan. (Bungin 2008:290) Dalam teori ini manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. d) Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) Teori pers bertanggung jawab social (social responsibility theory) dipandang sebagai modifikasi dari teori pers bebas (libertarian theory) dan teori pers otoriter (authoritarian theory). Teori pers bertanggung jawab social dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers liberatarian terlalu menyederhanakan persoalan. John C Merril dalam Journalism Ethics – Philosophical Foundations for Mews Media seperti yang dikutip oleh Kasiyanto Kasemin (2012) menuturkan Hutchins Commision mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawa kepada masyarakat, lima prasyarat tersebut adalah : 1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna 2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komen dan kritik 3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. 4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat 5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat.
35
Jumlah empat itu tidak mutlak. Kata mereka, that depends on how one counts. Menurut mereka pun sistem Sofyet Komunis sesungguhnya hanya perkembangan baru dari pada sistem Otoriter, sedang sistem Tanggung Jawab Sosial pun kelanjutan dari pada sistem Liberal.
2.2.13 Sejarah Pers Indonesia a) Pers Nasional Masa Penjajahan Belanda Di masa penjajahan Belanda tahun 1744, ketika dipimpin Gubernur Jenderal Van Imhoff, lahir penerbitan media cetak pertama, yaitu Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen. Tetapi sayang media cetak tersebut hanya hidup untuk masa dua tahun saja. Kemudian lahir penerbitan pers baru bernama Het Vendu Nieuws, dan menurut catatan Von Faber nomor terakhir Vendu Niews terbit tahun 1809. Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia-Belanda dituangkan tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie. Terbaca dalam RR 1856 (KB 8 April 1856 Ind.Stb. no. 74) antara lain : semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dahulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabar justisi dan Algemente Scretarie. Pengiriman ini harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Kalau ketentuan itu tidak dipatuhi, karya cetak tersebut disita. Tindakan ini bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat penyimpanan barang-barang cetakan itu. (Kasiyanto Kasemin, 2014 :23) Pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan awal munculnya organisasi Boedi Oetomo yang mempelopori lahirnya kebangkitan nasionalnya. Sejak lahirnya Boedi Oetomo majalah dan surat-surat kabar yang sebelumnya sudah ada mulai memasuki wilayah politik, hal inilah juga yang membuktikan bahwa adanya pengelolaan surat kabar oleh bumiputera. Salah satunya ialah majalah yang beredar di Solo yaitu Darmo Kondo, sebelumnya dikelola oleh warga keturunan Tionghoa namun setelah itu diambil alih oleh Boedi Oetomo dan dipimpin oleh R. Toemanggeong Hardjodipoero. Selain itu di Surabaya juga muncul Soeara Oemoem, di Bandung terbit Berita Oemoem yang merupakan surat kabar dengan menggunakan bahasa Indonesia.
36
Pers Indonesia sejak tahun 1910 merupakan pers perjuangan yang digunakan untuk membentuk opini bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Namun, nasib pers Indonesia masih pasang surut, Belanda masih mencoba untuk menutup beberapa surat kabar yang dianggap menentang kekuasaan pemerintah Belanda, namun ketika pers dilarang di suatu wilayah, maka akan muncul di wilayah lain. Nurudin (2012:38) menyebutkan bahwa pada permulaan Perang Dunia II Indonesia memiliki 350-400 surat kabar harian dan majalah. Diantara media-media penting tersebut adalah : 1) Jakarta : Harian Pemandangan, Tjahja Timoer, dan Berita Oemom. Bahasa Belanda : Java Bode, Het Bataviaasch Niewsblad, Hiet News van den Dag, dan Volkscourant Golongan Tionghoa : Sin Po, Keng Po, Thien Sung Yit Po, Hong Po, dan Siang Po 2) Bandung : Sipatahoenan, Sinar Pasoendan, Nicork Express, Kamu Muda Berbahasa Belanda : Het Algemeen, Indisch Dagblad, De Koerier, dan Indie Bode 3) Semarang Matahari, Seora Smarang, Sinar Selatan, De Locomotief, Het ALgemeen Handelsblad, Trib 4) Yogyakarta Soedi Tomo, Mataram, Djokja Bode, De Vorstenlanden 5) Solo Pewarta, Darmo Kondo 6) Surabaya Soeara Oemoem, Tempo, Pewarta Soerabaja, Het Soerabayaasch Handelsblad, de Indische Courant, Si Tit Po, dan Express 7) Malang Malang Bode, Onthoek Bode 8) Sumatra Pewarta Deli, Sinar Deli Persamaan, Radio , Pertja Selatan, Deli Courant
37
9) Kalimantan Soera Kalimantan 10) Sulawesi Celebes Oetoesan Minahasa, Penyebar, Pikat Mengoeni, Pemberitaan Menado, Minahasa Courant Pada 7 September 1931 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang disebut Persbreidel Ordonantie. Dalam ketentuannya Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang ppenerbitan tertentu yang dinilai dapat “menggangu ketertiban umum”. Dalam Pasal 2 disebutkan Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. b) Pers Indonesia Masa Penjajahan Jepang Setelah Jepang memasuki dan menjajah Indonesia pada 9 Maret 1942, surat kabar Belanda dan Cina ditutup. Segala penerbitan kemudian diambil alih oleh pihak Jepang. Pada zaman Jepang, wilayah Jawad an Madura berda di bawah kekuasaan Balatentara ke XXV, dan wilyah lainnya (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Nusa Tenggara) berada dalam wewenang angkatan laut Jepang. Penguasa Jawa-Madura mengatur sebuah sarana publikasi dan komunikasi dengan menerbitkan Undang-Undang No. 16, dalam UU tersebut dinyatakan bahwa mulai diberlakukannya sistem izin terbit dan sensor preventif Pasal 1 menyatakn bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit, sedangkan pasal 2 melarang semua penerbitan yang sebelumnya menentang kekuasan Jepang untuk melanjutkan penerbitannya. Selain itu dalam Pasal 4 ditekankan bahwa semua barang cetakan sebelum diedarkan, harus melewati bagian sensor balatentara Jepang. (Nurudin 2012:40) Pasal 6 mengatur pihak pencerak, dikatakan tidak haya penerbitan yang harus tunduk kepada sensor. Pencetak pun, setelah mendapat order dari pihak swasta, harus mendapat izin dahulu dari bagian sensor, sebelum mengerjakan order itu. Selainjutnya pasal 9 menegaskan bahwa nama dan alamat pencetak dan penerbit yang menjadi penanggung jawab harus tercetak jelas pada setiap penerbitan. Pada zaman Jepang juga terjadi penyegelan sebuah stasiun radio, pada saat itu radio telah terbukti digunakan sebagai alat propaganda sehingga pemerintahan Jepang selalu mengawasi dan membuat peraturan ketat akan media massa.
38
c) Pers masa Orde Lama Kasiyanto Kasemin dalam bukunya Sisi Gelap Kebebasan Pers (2014) menyebutkan bahwa pada awal-awal kemerdekaan, memang pers merupakan paham idealis dalam rangka memperjuangkan dan menegakkan kemerdekaan. Pada fase ini kehidupan pers mengalami kebebasan yang sangat berarti. Hanya saja dalam praktiknya tidak disertai dengan jaminan berlandaskan hukum. Namun, Pers Indonesia masih mendapatkan tekanan dari pemerintah. Pers dimanfaatkan sebagai alat revolusi dan penggerak masa. Tidak hanya itu pada masa ini Pers Indonesia dibawah kekuasaan pemerintah, dimana sistem pers yang digunakan pada saat itu ialah sistem pers otoriter, hal tersebut tercerminkan melalui : 1. Peraturan No. 3 Tahun 1960 tentang larangan terbit surat kabar berbahasa Cina 2. Peraturan no 19 tahun 1961 tentang keharusan adanya Surat Izin terbit bagi surat kabar 3. Peraturan No.2 tahun 1961 tentang pembinaan pers oleh pemerintah, yang tidak loyal akan dibreidel 4. UU no 4 Tahun 1963 tentang wewenang Jaksa Agung mengenai pers Selain itu, pada 14 September 1956, munculnya peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) May. Jend. AH. Nasution (selaku penguasa militer) yang membuat peraturan, antara lain melarang untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman, persangkaan, atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, sesuatu kekuasaan atau majelis umum atau “seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab menjalankan pekerjaan yang sah” (Pasal 1) Kemudian pada 1960 mengenai SIT (Surat Permintaan Izin Terbit) diperinci lgi syara-syarat penerbitan, yakni bersedia untuk menandatangani kasanggupan 19 pasal yang isinya sebagai berikut : 1) Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan/atau akan dikeluarkan/diberikan oleh Penguasa Perang tertinggi dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan
39
2) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Mnifesto Politik RI secara keseluruhan 3) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah 4) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959 5) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD 1945 6) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila 7) Penerbitan kamu wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia 8) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin 9) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Ekonomi Terpimpin 10) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional Indonesia 11) Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat Negara Republik Indonesia 12) Penerbitan kami wajib menjadi alat pemberantas imperialisme dan kolonialisme, liberalism, federalism/ separatism 13) Penerbitan kami wajib menjadi pembela/pendukung dan alat pelaksana dari bbas dan aktif Negara RI serta tidak menjadi pembela/pendukung dan alar daripada Perang Dingin antara blog Negara asing. 14) Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pancasila. 15) Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Manifesto Politik RI 16) Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamananan umum serta ketenangan politik. 17) Penerbitan kami tidak memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan/gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak
40
18) Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambargambar yang mengandung penghinaan terhadap kepala Negara atau kepala pemerintahan dari Negara asing yang bersahabat dengan Republik Indonesia 19) Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambargambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang Penetapan Presiden No. 7/1959 dan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960 Ketentuan izin yang dikeluarkan oleh penguasa militer Jakarta Raya tanggal 1 Oktober 1960 dipertegas lagi melalui peraturan Peperti No. 10/1960, dimana ketentuan mendapat izin penerbitan diperinci lagi, tidak terbatas pada persyaratan untuk melarang pemberitaan yang sensasional, bertentangan dengan moralitas, tetapi diperluas untuk mengikuti syarat-syarat dari aspek ideologi dan kekuasaan, kemudian ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan Penpres No. 6 Tahun 1963. Intinya pada masa Demokrasi Terpimpin yang menempatkan politik sebagai panglima ini, memandang pers pada dua posisi yang sangat ekstrem. Pertama, pers dilihat sebagai kawan, ketika pers menyalurkan kepentingan politik pemerintah. Kedua, pers akan dianggap sebagai lawan, ketika pers menyuarakan suara-suara sumbang dari kelompok oposisi terhadap pemerintah. Maka, ketika pers berada pada posisi sebagai kawa, penguasa akan melakukan kooptasi, sebaliknya ketika pers pada posisis sebagai lawan, pemerintah akan melakukan pemberangusan, pelarangan terbit atau pembredelan (Kasiyanto Kasemin, 2014:28). d) Pers masa Orde Baru Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa, antara tahun 1966 sampai pertengahan Januari 1974 menyuarakan dan mengartikulasikan aspirasi dan kehendak masyarakat. Kalau pun pers harus melakukan dukungan terhadap kebijakan pemerintah, itupun dilakukan secara kritis, kreatif, dan korektif. Pada awal masa Orde Baru muncul apa yang disebut dengan Pers Pancasila, dimana sistem Pers berdasarkan ideologi Pancasila. Pada pemerintahan Orde Baru sangat ditekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya didasarkan nilai-
41
nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 1966 dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 1966 yang mengnyinggung mengenai pokok-pokok pers serta dibentuknya dewan pers yang merupakan perpanjangan tangan Orde Baru. Selain itu UU No. 21 thn 1982 yg dikeluarkan mempertegas pemberlakuakn KUHP terhadap pers. Di era ini ada 3 faktor penghambat kebebasan pers yaitu : 1.
Adanya perizinan terhadap pers (SIUP)
2.
Adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan yaitu PWI
3.
Praktek intimidasi dan sensor pers. Pada masa Pasca-Malari, pers lebih banyak bergerak sebagai media yang
membantu proses pembangunan dengan cara menjadi sarana bagi komunikasi pembangunan. Artinya media berperan untuk mengkomunikasikan peran-peran pembangunan, bagaimana pembangunan dapat dilakukan dengan memperbanyak “development news” serta menceritakan ”success story” dari berbagai kalangan masyarakat yang telah menjalankan program pembangunan. Hasil penelitian Zaini Abar seperti yang dikutip oleh Kasiyanto Kasemin (2014:30) membuktikan bahwa setelah pasca Malari (1974) pers lebih banyak memperhatikan dan menyuarakan kepentingan dan kemauan Negara. Pers lebih banyak megutip pidato pernyataan, janji dan harapan atau instruksi-instruksi pejabar Negara, kemudian berusaha melakukan interpretasi yang tidak kritis untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat pembacanya. Kontrol sosial, koreksi, kritik ataupun kecaman menjadi kehilangan makna dan gagal mencapai sasarannya. e) Perkembangan pers di era Reformasi Pada Tahun 1999 kemudian dikeluarkan undang-undang mengenai pencabutan SIUP yang dianggap menghambat kebeasan pers di era demokrasi, yang kemudian diganti melalui UU No. 40 Tahun 1999 yang menyebutkan :
42
“Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c,d, dan e perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers” Pers menjadi lebih bebas dan longgar, era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi kebebasan.
2.2.14 Pers Pancasila Pancasila adalah landasan idiil pers nasional Indonesia yang harus dilihat secara bulat dan utuh. Dewan Pers dalam sidang plenonya yang ke-XXV di Solo tanggal 7 Desember 1984 telah merumuskan “Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pers Pembangunan dan Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk pembangunan pers itu sendiri”. Sistem kewarganegaraan diatur dalam pasal 26, pasal 27, sampai dengan pasal 28J UUD 1945 (yang telah diamandemen). Yang langsung terkait dengan kehidupan pers adalah pasal 28 UUD 1945 yang sekaligus merupakan landasan konstitusinya yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam konteksnya dengan sistem ketatanegaraan nasional kita, maka penjabaran pasal 28 UUD 1945 tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Khusus tentang pasal 28 UUD 1945 tidak boleh dipandang sebagai berdiri sendiri, ia harus diperhatikan dengan seluruh komponen hukum konstitusi. Nurdin (2012:76) menyebutkan bahwa Pers Pancasila adalah suatu konsep yang unik dalam sistem pers Indonesia. Atas kebebasan pers dijamin, tetapi penerapan kebebasan itu hendaknya selalu disertai dengan rasa tanggung jawab terhadap segala bentuk penulisan yang dilakukan oleh pers. Pers merdeka bebas tanpa batas tentulah tidak mungkin. Bebas tanpa batas dapat menimbulkan anakhi, anarkhi berlawanan
43
dengan tata tertib, padahal masyarakat yang paling sederhana pun mempunyai tata tertib. Dalam hal ini pers di Indonesia harus dapat mencerminkan kelima sila yang terdapat di Pancasia. Sesuai dengan TAP MPR No. 1/MPR/2003, lima sila tersebut kemudian dijabarkan mejadi 45 butir pancasila A. Sila Pertama 1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama
dan
kepercayaannya
masing-masing
menurut
dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. 7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. B. Sila kedua 1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. 3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. 4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. 5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
44
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. 8. Berani membela kebenaran dan keadilan. 9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. 10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain. C. Sila ketiga 1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. 2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. 3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. 4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia. 5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. 7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa. D. Sila keempat 1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. 2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. 3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. 4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. 5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. 6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. 7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
45
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. 9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. 10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. E. Sila Kelima 1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. 2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. 3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. 4. Menghormati hak orang lain. 5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. 6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain. 7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah. 8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. 9. Suka bekerja keras. 10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. 11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Agus Sudibyo seorang mantan dari anggota Dewan Pers dalam sebuah seminar yang membahas mengenai revitalisasi pancasila dalam sistem pers di sebuah universitas pada Juni 2011, mengatakan menurutnya Pers adalah bagian dari masyarakat, cermin masyarakat dan sebagai kontrol pada kekuasaan dalam bentuk apapun. Pers kini cenderung bergeser fungsi menjadi institusi ekonomi dan tidak
46
begitu mempedulikan nilai-nilai edukasi secara konstan. Seperti semakin banyaknya media yang menyoroti tentang kekerasan dengan gambar yang sangat jelas ditampilkan. Belum lagi konten-konten yang mengandung seksualitas yang tentunya sangat tidak ramah untuk di konsumsi keluarga Indonesia. Hal-hal tersebut sangat bertolak belakang dengan sistem Pers Indonesia yang sejak awalnya didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Hal ini seperti yang disebutkan dalam pembukaan Kode Etik Jurnalistik, bahwa “Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.” Karenanya, pers tidak bisa menggunakan kebebasannya untuk bertindak seenaknya saja. Bagaimanapun juga, kebebasan manussia tidak bersifat mutlak. Kebebasan bersifat terbatas karena berhadapan dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Juga dalam kebebasan pers, pers tidak bias seenaknya memberitakan informasi tertentu, wajib menghormati hak pribadi orang lain. Ada 3 kewajiban pers yang harus diperhatikan : 1.
Menjunjung tinggi kebenaran
2.
Wajib menghormati privasi orang atau subyek tertentu
3.
Wajib menjunjung tinggi prinsip bahwa apa yang diwartakan atau diberitakan dapat dipertanggungjawabkan
Menurut UU No. 40 thn 1999 tanggung jawab pers meliputi : 1.
Pers memainkan peran penting dalam masyarakat modern sebagai media informasi
2.
Pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
3.
Pers wajib menghormati asas praduga tak bersalah
47
4.
Pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan/ atau melanggar kerukunan hidup antar umat beragama
5.
Pers dilarang memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya
2.3
Kerangka Konseptual Gambar 2.2 Kerangka Konseptual sumber : diolah dari hasil penelitian
Pers Pancasila
Berita sebagai Feature Rubrik Heart to Heart Majalah HELLO!
Analisa Wacana Kritis Model Norman Fairclough
Teks :
Praktik Diskursus :
Praktik Sosiokultural
1) Representasi
1) Sisi Wartawan
1) Situsional
2) Produksi Teks
2) Institusional
a) Representasi Anak Kalimat b) Representasi Kombinasi Anak Kalimat c) Rrepresentasi Antar Kalimat 2) Relasi 3) Identitas
3) Sosial
48
Alur dari penelitian ini dimulai dengan keberadaan sistem Pers Pancasila di Indonesia. Pancasila sebagai ideologi kita merupakan Pedoman Bangsa yang menjadi pegangan kita sehari-hari, tidak terkecuali pada sistem Pers yang berjalan di Indonesia. Salah satu dari hasil karya jurnalistik merupakan bentuk feature sebagai berita. HELLO! merupakan salah satu produk media cetak yang mengedepankan pemberitaan mengenai selebriti dan tokoh publik di Indonesia maupun Mancanegara. Dengan tagline “More Than Celebrity News” majalah ini mempunyai rubrik yang bernama Heart to Heart, dengan tujuan untuk menggugah emosi para pembacanya. Namun dengan maraknya pemberitaan yang menyimpang tentang selebriti, apakah sistem pers telah berjalan dengan sebaiknya. Sistem Pers Pancasila merupakan suatu sistem yang memberikan kebebasan pers namun tetap adanya batasan yang mengharuskan pers bertanggung jawab pada masyarakat. Dengan analisis wacana kritis sebuah teks akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu dari teks itu sendiri, dari praktik diskursus dan juga praktik sosialkultural yang ada dibalik sebuah wacana. Dengan begitu sebuah wacana diteliti untuk mengetahui ideologi yang terdapat di balik wacana tersebut.