perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Hakikat Pembelajaran Fisika di SMA a. Hakikat Belajar Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahawa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003: 2). Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Jersild (1942) menyatakan bahwa belajar adalah, “modification of behavior through experience and training”. Jadi, belajar merupakan aktivitas yang berdampak pada perubahan tingkah laku karena pengalaman atau latihan-latihan, sehingga proses belajar juga merupakan aktivitas fisik, bukan semata-mata aktivitas psikis atau mental (Sagala,2009: 12). Sejalan dengan dengan pendapat tersebut, Sadirman (mengutip simpulan Cronbach, 1963) menyatakan bahwa, ”Learning is shown by a change in behaviour as a result of experience”. Jadi dapat dikatakan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku sebagai hasil dari suatu pengalaman (2004 : 20). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses aktivitas mental dan fisik yang terpadu yang dialami seseorang melalui interaksi aktif dengan lingkungannya melalui pengalaman dan latihan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
Prinsip-prinsip belajar yang jdapat dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dan oleh setiap siswa secara individual, Slameto (2003 : 27-28) menjelaskan sebagai berikut : 1) Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar a) Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional; b) Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat kepada siswa untuk mencapai tujuan instruksional; c) Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif. d) Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya 2) Sesuai hakikat belajar a) Belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya; b) Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery; Belajar adalah proses kontinuitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan respon yang diharapkan); 3) Sesuai materi/bahan yang harus dipelajari a) Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya; b) Belajar harus dapat mengembnagkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya; 4) Syarat keberhasilan belajar a) Belajar merupakan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang; b) Repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar commit toituuser pengertian/keterampilan/sikap mendalam pada siswa.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Belajar dapat terjadi di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah dan di masyarakat, serta berlangsung dengan cara apa saja. dari apa, dan siapa saja. Bahkan kemampuan orang untuk belajar ini merupakan salah satu ciri penting yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain. b. Teori-Teori Belajar Ada beberapa macam teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli. Di sini penulis mengggunakan teori belajar Piaget, Vygotsky, Bruner, dan Gagne. Pemilihan teori-teori belajar tersebut didasarkan pada kesesuaian dengan model dan metode mengajar yang digunakan penulis pada penelitian. Penjelasan untuk masing-masing teori belajar adalah sebagai berikut. 1) Teori Belajar Menurut Piaget Menurut Jean Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual. Berikut ini diuraikan beberapa hal penting yang menjadi inti dari masing-masing tingkat perkembangan tersebut. a) Tingkat Sensori-motor (pada usia 0-2 tahun) Pada tahap ini anak mengenal lingkungannya dengan menggunakan kemampuan panca inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motorik). b) Tingkat Pra-operasional (pada usia 2-7 tahun) Pada tahap ini disebut pra-operasional karena pada umur ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental seperti menambah atau mengurangi. Pada usia 2-4 tahun, anak mengalami sub-tingkat pralogis. Anak pada tingkat ini memiliki penalaran transduktif, di mana anak melihat hubungan hal-hal tertentu yang sebenarnya tidak ada. Pada usia 4 -7 tahun anak mengalami tingkat berpikir intuitif. Ciri yang lain pada anak pada tingkat praoperasional adalah tidak dapat berpikir reversibel dan bersifat egosentris. c) Tingkat Operasional Konkret (pada usia 7-11 tahun) Pada tingkat ini anak mulai berpikir rasional. Dalam memecahkan to user masalah yang konkretcommit anak dapat mengambil keputusan secara logis.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Namun demikian anak pada tahap ini belum mampu untuk berpikir dengan materi yang abstrak. d) Tingkat Operasi Formal ( pada usia 11 tahun ke atas ) Pada tahap ini, anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Anak juga sudah memiliki kemampuan berpikir abstrak (Dahar, 1989). Teori belajar Piaget tentang perkembangan intelektual sesuai untuk penelitian yang dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada siswa tingkat SMA yang menurut Piaget berada pada tingkat Operasional Formal. Pada tingkat ini siswa telah memiliki kemampuan berfikir abstrak. Implementasi teori ini dalam penelitian adalah dalam pembelajaran siswa dilatih untuk mampu berfikir dalam memecahkan suatu masalah. Kemampuan berfikir memecahkan masalah ini merupakan salah satu bentuk berfikir yang abstrak dan kompleks. 2) Teori Belajar Menurut Vygotsky Vygotsky menyatakan bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi individu dengan orang lain merupakan faktor yang terpenting yang dapat mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam kerjasama antarsiswa (Anni & Rifa’i, 2009: 34). Ide Vygotsky ini hampir sama dengan ide Piaget, hanya saja Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan intelektual seseorang atau menekankan pada perkembangan kognitif anak sebagai makhluk sosial, sedangkan menurut Piaget perkembangan intelektual seseorang terlepas dari konteks sosialnya. Menurut Vygotsky, individu memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial dalam Arends (2008) dijelaskan kedua tingkat perkembangan tersebut sebagai berikut. Tingkat perkembangan aktual menentukan fungsi intelektual commit to useruntuk mempelajari sendiri hal-hal individu saat ini dan kemampuannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
tertentu. Individu juga memiliki tingkat perkembangan potensial yang oleh Vygotsky didefinisikan sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dapat dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, misalnya guru, orang tua, atau teman sebayanya yang lebih maju. Zona yang terletak di antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut sebagai zone of proximal development (hlm. 47). Teori belajar Vygotsky sesuai untuk diaplikasikan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini pembelajaran dimulai dengan memberikan suatu permasalahan kepada siswa. Masalah ini merupakan pengalaman yang baru dan membingungkan bagi siswa. Melalui masalah ini siswa akan di ajak untuk mencari penyelesaiannya baik secara mandiri maupun dengan bekerja sama dengan siswa lain. Penyelesaian permasalahan secara mandiri ini menempatkan siswa pada tingkat perkembangan aktualnya sedangkan penyelesaian masalah dengan bekerja sama menempatkan siswa pada tingkat perkembangan potensialnya. Hal ini sesuai dengan dengan teori belajar Vygotsky. 3) Teori Belajar Menurut Bruner Teori belajar Jerome Bruner dikenal dengan teori belajar penemuan atau discovery learning. Bruner menekankan pentingnya model pengajaran yang membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi (personal discovery). Teori ini mengisyaratkan bahwa tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga mengarah pada penciptaan (invention) dan penemuan (discovery) pengetahuan. Dalam melaksanakan belajar penemuan atau discovery learning ini Bruner menekankan penalaran induktif dan proses penyelidikan yang merupakan karakteristik dari metode ilmiah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan akan lebih bermakna bagi siswa karena belajar penemuan memiliki kelebihankelebihan. Sebagaimana diterangkan oleh Dahar (1989) bahwa belajar penemuan memiliki beberapa kelebihan yaitu: Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara lain. Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya, Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas (hlm. 103). Teori
Bruner
sering
digunakan
untuk
melaksanakan
pembelajaran Fisika karena sesuai dengan karakterisitik Fisika. Teori belajar Bruner ini selain dapat digunakan untuk menilai kemampuan kognitif juga memungkinkan untuk melakukan penilaian afektif maupun psikomotor. Ozek (2005) menyatakan bahwa saat terjadi pembelajaran dengan menggunakan teori belajar Bruner ”… the participants cognitive, sensorial and psychomotor skills were investigated” (hlm. 19). Teori belajar Bruner sesuai untuk dilaksanakan dalam penelitian ini. Pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini tidak serta merta memberikan sebuah konsep Fisika yang utuh kepada siswa. Namun siswa diberi kebebasan untuk menemukan konsep berdasarkan masalah yang dikemukakan di awal pembelajaran. Penemuan konsep yang dilakukan siswa ini dilakukan secara mandiri atau kerja sama dengan siswa lain. 4) Teori Belajar Menurut Gagne Teori belajar Gagne dikenal sebagai teori belajar pemrosesan informasi. Gagne mengemukakan bahwa dalam tindakan belajar (learning act) ada delapan fase yang dilalui oleh siswa. Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru. Setiap fase juga mengisyaratkan adanya suatu proses yang terjadi dalam pikiran siswa (proses internal). Kedelapan fase tersebut dijelaskan Dahar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
dalam bukunya Teori-Teori Belajar. Berikut ini diuraikan beberapa hal penting yang menjadi inti dari masing-masing fase tersebut. a) Fase Motivasi Siswa harus diberi motivasi untuk belajar dengan adanya harapan. Misalnya, siswa dapat mengharapkan bahwa dengan belajar sungguhsungguh mereka akan mendapatkan nilai yang baik. b) Fase Pengenalan (Aprehending) Siswa memperhatikan aspek-aspek yang penting dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru dapat pula membantu memusatkan perhatian siswa tersebut terhadap informasi yang relevan. c) Fase Perolehan (Acquisition) Informasi relevan yang telah diperhatikan siswa tidak langsung disimpan dalam memori melainkan dikaitkan dengan informasi yang telah ada dalam memorinya agar menjadi bermakna bagi dirinya. Dengan demikian, siswa dapat membentuk gambaran-gambaran tentang informasi tersebut. d) Fase Retensi (Retention) Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Hal ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (reherseal) atau praktek (practice). e) Fase Pemanggilan (Recall) Fase ini menunjukkan bagian penting dalam belajar yakni upaya memperoleh hubungan dengan informasi yang telah dipelajari dengan memanggil informasi tersebut dari memori jangka panjang. Materi yang terstruktur dengan baik akan lebih mudah dipanggil dari pada materi yang disajikan tidak teratur. f) Fase Generalisasi Generalisasi atau transfer informasi merupakan upaya menerapkan suatu informasi ke dalam situasi-situasi baru. Hal ini merupakan fase kritis dalam belajar. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
g) Fase Penampilan Para siswa harus menunjukkan kemampuan yang mereka peroleh setelah belajar melalui penampilan yang tampak. Misalnya, setelah belajar tentang alat termometer siswa mampu menunjukkan cara pengukuran suhu suatu benda dengan benar. h) Fase Umpan Balik Para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilannya sehingga mereka mengetahui sudah benar atau belum pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran. Umpan balik ini dapat memberikan reinforcement (penguatan) kepada mereka untuk penampilan yang berhasil (1989). Menurut Gagne dalam proses belajar dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal. Kondisi eksternal akan berpengaruh terhadap kondisi internal. Penjelasan hubungan antara kondisi internal dan eksternal disajikan dalam tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1. Kejadian Eksternal Berpengaruh Terhadap Proses Internal dalam Proses Belajar Menurut Gagne Proses Internal Kejadian Eksternal Perhatian Perubahan stimulus yang membangunkan perhatian Pemilihan persepsi Meningkatkan dan membedakan sifat-sifat objek Pengkodean Intsruksi verbal, gambar, dan diagram Semantik menunjukkan skema pengkodean Perolehan Informasi Isyarat , organ yang membantu ingatan dan Pengelolaan Pengelolaan Respon Instruksi verbal tentang tujuan akan menjelaskan pebelajar tentang kinerja kelas Proses Pengawasan Instruktur membangun susunan yang dapat mengaktifkan dan menentukan strategi, misalnya memperagakan suatu keterampilan Harapan Menjelaskan pebelajar tentang tujuan untuk memenuhi berbagai harapan khusus (Yulaelawati, 2004: 79 ) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Jika kedua kondisi belajar, yaitu kondisi internal dan ekternal ini direncanakan dan diorganisasi dengan baik, maka akan terjadi proses pembelajaran yang baik juga. Teori belajar Gagne sesuai untuk diaplikasikan dalam penelitian ini. Dalam penelitian, proses pembelajaran dimulai dengan pemberian motivasi pada siswa untu mengajak siswa pada materi yang akan dipelajari dan diakhiri dengan adanya feedback atau umpan balik setelah pembelajaran dilakukan. Hal ini sesuai dengan fase belajar menurut Gagne. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Belajar merupakan aktivitas kompleks yang terjadi pada seseorang, sehingga banyak faktor yang mempengaruhinya. Menurut Sardiman (2004) “Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi belajar, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor intern (berasal dari dalam diri siswa) dan faktor ekstern (berasal dari luar diri siswa)” (hlm. 39). Faktor intern menyangkut faktor-faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor yang berkaitan dengan kondisi jasmaniah siswa. “Faktor fisiologis terdiri dari faktor kesehatan dan cacat tubuh” (Slameto, 2003:54). Faktor psikologis merupakan faktor yang berkaitan dengan kondisi psikis dari siswa. Banyak klasifikasi yang dilakukan oleh para ahli berkaitan dengan faktor psikologis dalam belajar. Menurut Sardiman (mengutip simpulan Staton, 1978) bahwa faktor psikologis yang mempengaruhi belajar dapat diklasifikasikan menjadi enam faktor yaitu: motivasi, konsentrasi, reaksi, organisasi, pemahaman, dan pemahaman (2004: 40). Slameto (2003) menyebutkan bahwa “faktor psikologis yang mempengaruhi belajar antara lain: intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan” (hlm. 55). Faktor ekstern yang mempengaruhi belajar berkaitan dengan faktorfaktor yang berasal dari luar diri siswa. Menurut Slameto (2003) menyatakan: Faktor ekstern yang mempengaruhi belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor,commit yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor to user masyarakat. Faktor keluarga meliputi cara mendidik orang tua, relasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar siswa dapat berupa metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Sedangkan faktor masyarakat yang mempengaruhi belajar antara lain kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat (hlm. 60). Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya proses belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa sedangkan faktor ekstern merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa. d. Tujuan Belajar Tujuan belajar adalah hasil belajar yang akan dicapai siswa setelah siswa mengalami atau melewati proses belajar. Tujuan belajar bermacammacam dan bervariasi, tetapi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan belajar yang secara eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional atau instructional effect dan tujuan belajar yang merupakan hasil sampingan atau nurturant effect. Instructional effect biasanya berbentuk pengetahuan dan keterampilan sedangkan nurturant effect biasanya berbentuk sikap. Berkaitan dengan tujuan belajar, Sardiman merangkum tujuan belajar secara umum sebagai berikut : 1) Untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. 2) Penanaman
konsep
dan
keterampilan.
Penanaman
konsep
atau
merumuskan konsep memerlukan keterampilan. Keterampilan dapat diperoleh dengan banyak melatih kemampuan. 3) Pembentukan sikap. Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai atau transfer of values. Oleh karena itu guru tidak sekedar pengajar tetapi betul-betul sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai tersebut kepada anak didiknya (2001). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar adalah mendapat pengetahuan, keterampilan, dan penanaman sikap mental atau nilai-nilai. e. Pengertian Mengajar Mengajar merupakan usaha yang dilakukan oleh guru untuk membantu dan membimbing siswa agar siswa belajar. Sagala (2009) menyatakan bahwa “Mengajar pada hakikatnya merupakan suatu proses mengatur, mengorganisasi, lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa belajar” (hlm. 9). Jadi menurut pengertian ini, mengajar lebih menekankan pentingnya mengorganisasi lingkungan agar dapat mendorong siswa untuk belajar. Sedangkan menurut Rusyan, dkk (Burton, 1952) menyatakan bahwa "Mengajar adalah upaya dalam memberikan perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar” (1989: 26). Pengertian ini menitikberatkan mengajar pada pemberian stimulus dan dorongan kepada siswa agar siswa belajar. Lain halnya dengan pendapat Arends (2008) yang menyatakan bahwa “...mengajar adalah proses mengupayakan pertumbuhan yang lebih tinggi pada diri siswa” (hlm. 112). Pandangan ini mengisyaratkan bahwa mengajar merupakan segala upaya untuk membuat siswa mengalami pertumbuhan yang diperolehnya melalui proses belajar. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengajar merupakan upaya untuk menciptakan kondisi belajar yang sebaikbaiknya dengan cara mengatur dan mengorganisasi lingkungan belajar serta memberikan stimulus kepada siswa sehingga akan menumbuhkan dorongan pada siswa untuk belajar. Kondisi yang baik dapat tercipta jika guru dapat mengatur, mengorganisasi, dan memanfaatkan lingkungan dengan sebaikbaiknya. Proses Pembelajaran adalah proses yang didalamnya terdapat commit to user kegiatan interaksi antara guru-siswa dan komunikasi timbal balik yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar (Rustaman, 2001:461). Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa merupakan dua komponen yang tidak bisa dipisahkan. Antara dua komponen tersebut harus terjalin interaksi yang saling menunjang agar hasil belajar siswa dapat tercapai secara optimal f. Pembelajaran Fisika di SMA Menurut Piageat yang dikutip dari Suparno (2007: 9): “pengetahuan datang dari tindakan”. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa aktif anak memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Perkembangan kognitif bukan akumulasi dari kepingan informasi terpisah, namun lebih kepada pengkonstruksian oleh siswa untuk memahami lingkungan mereka. Sehingga, dalam pembelajaran fisika, guru seharusnya hadir sebagai fasilitator bagi siswa dalam mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya. Menurut Hassard (2005) yang dikutip oleh Supriyono (2012: 23), pembelajaran Fisika menyajikan tidak hanya fakta-fakta dan informasi Fisika, tetapi juga proses Fisika kepada siswa. Dengan demikian, pembelajaran Fisika berkewajiban menciptakan lingkungan kelas yang menumbuhkan nilai-nilai ilmiah yang sama dengan fisikawan terdahulu yaitu seberapa jauh siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya, apakah aktivitas di dalam kelas dirancang untuk memunculkan jawaban-jawaban dan penyelesaian-penyelesaian
alternatif,
apakah
siswa
didorong
untuk
mengidentifikasi dan kemudian mencoba untuk memecahkan masalah yang relevan, dan apakah masalah-masalah yang mereka pecahkan memiliki konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan mareka. Harlen dalam Purwati (2010: 3) menambahkan, karakteristik pembelajaran fisika antara lain: 1) merupakan ilmu yang berhakekat pada proses dan produk, artinya dalam belajar fisika tidak cukup hanya mempelajari produknya melainkan juga menguasai cara memperoleh produk tersebut; 2) produk fisika cenderung bersifat abstrak dan dalam commit bentuk pengetahuan fisik danto user logika matematik. Oleh karena itu,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
pembelajaran fisika yang penyajiannya melibatkan siswa secara aktif baik dari segi mental maupun fisik dan bersifat nyata (konstekstual) akan menjadi semakin menarik. Dengan demikian pembelajaran Fisika memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencari, mempertanyakan dan mengeksplorasi pengetahuan. Widhy (2013: 2) menambahkan bahwa selain Fisika merupakan ilmu yang berhakekat pada proses (a way of investigating) dan produk (a body of knowledge), Fisika sebagai bagian dari IPA juga merupakan ilmu yang berhakekat pada sikap (a way of thinking). Fisika sebagai proses mengandung arti bahwa ciri seorang saintis harus memecahkan persoalan berdasar pada metode ilmiah yang dapat diterima secara logis. Produk Fisika merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dapat berbentuk konsep, teori, hukum dan postulat, produk ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam melakukan pengamatan selanjutnya. Komponen sikap menekankan pada kegiatan dan pola pikir yang dilakukan dan diharapkan dapat menjadi sikap yang tetap dilakukan dalam setiap aktivitas kehidupan. Menurut Kemendikbud (2014) yang dikutip dalam Santika (2014: 20-21) nilai-nilai Fisika berhubungan dengan tanggung jawab moral, nilainilai sosial, manfaat Fisika dalam kehidupan manusia, sikap, dan tindakan seseorang dalam belajar atau mengembangkan Fisika, serta terbentuknya sikap ilmiah, misalnya keingintahuan, keseimbangan antara keterbukaan dan skeptis, kejujuran, ketelitian, hati-hati, toleran, dan hemat. Dengan demikian, Fisika dapat dipandang sebagai cara berpikir untuk melakukan penyelidikan dan sebagai kumpulan pengetahuan. Dengan pemahaman atas hakekat Fisika sebagai bagian dari IPA diharapkan menjadi latar belakang dan modal bagi pendidik untuk memahami pembelajaran Fisika yang berkualitas baik. Pada pokoknya, guru atau pendidik melaksanakan tugas pembelajaran Fisika di dalam kelas, namun jika berhasil bukan tidak mungkin hal itu menyebabkan siswa aktif belajar Fisika di dalam kelas maupun di luar kelas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
2. Model Pembelajaran a. Model Problem Based Learning Model problem based learning atau model pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu contoh dari model pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning). Dalam kegiatan pembelajaran siswa merupakan subjek pembelajaran dan menduduki posisi yang amat penting. Problem
based
learning
menurut
Arends
(2008)
adalah
“Pembelajaran yang menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan” (hlm. 41). Dalam pembelajaran siswa diberi permasalahan terlebih dahulu di awal pembelajaran selanjutnya masalah tersebut diinvestigasi dan dianalisis untuk dicari penyelesaian atau solusinya. Masalah yang disajikan adalah masalah yang biasa siswa lihat atau siwa alami dalam kehidupan sehari hari (kontekstual). Jadi, peran guru dalam pembelajaran
adalah
menyodorkan
berbagai
masalah,
memberikan
pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Problem based learning bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan melatih belajar tentang menyelidiki permasalahan-permasalahan penting yang kontekstual serta melatih siswa untuk menjadi individu yang mandiri. Hal ini sesuai dengan rumusan problem based learning menurut Depdiknas yaitu ”Problem based learning membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu.” Sebagaimana model pembelajaran yang lain, problem based learning juga mempunyai tahapan atau sintaks dalam pelaksanaannya. Berikut ini tabel 2.2 yang berisi sintaks pelaksanaan problem based learning.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Tabel 2.2 Sintaks Problem Based Learning Fase Perilaku Guru Fase 1 : Memberikan orientasi Guru membahas tujuan pelajaran, tentang permasalahan kepada siswa mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah Fase 2 : Mengorganisasi siswa Guru membantu siswa untuk untuk meneliti mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. Fase 3 : Membantu investigasi Guru mendorong siswa untuk mandiri dan kelompok mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Fase 4 : Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam mempresentasikan artefak dan merencanakan dan menyiapkan exhibit artefak-artefak yang tepat seperti laporan, rekaman video, dan model model, dan membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain. Fase 5 : Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk mengevaluasi proses mengatasi melakukan refleksi terhadap masalah investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan (Arends, 2008: 57) Pada intinya problem based learning merupakan suatu pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata disajikan di awal pembelajaran. Kemudian masalah tersebut diselidiki untuk diketahui solusi dari pemecahan masalah tersebut oleh siswa. Problem based learning tidak dirancang untuk membantu guru untuk menyampaikan informasi dalam jumlah yang besar kepada siswa. Problem based learning benar-benar dirancang untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berfikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya untuk mempelajari peran orang dewasa melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan sehingga siswa akan menjadi pelajar yang mandiri dan otonom. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
b. Komponen-komponen Problem Based Learning Para ahli pengembang problem based learning seperti Gordon, Krajcik, Madden, Dolan dan Wasik merumuskan komponen-komponen yang terdapat dalam problem based learning. Deskripsi untuk masing-masing komponen sebagaimana yang dikutip oleh Arends adalah sebagai berikut: 1) Pertanyaan atau perangsang masalah. Alih-alih mengorganisasikan pelajaran di seputar prinsip akademis dan keterampilan tertentu, PBL mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah yang penting secara sosial dan bermakna aecara personal bagi siswa. 2) Fokus interdisipliner. Meskipun PBL dapat dipusatkan pada subjek tertentu (sains, matematika, sejarah), tetapi masalah yang diinvestigasi dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk menggali banyak subjek. 3) Investigasi autentik. PBL mengharuskan siswa untuk melakukan investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi riil untuk masalah riil. 4) Produksi artefak dan exhibit. PBL menuntut siswa untuk mengontruksikan produk dalam bentu artefak dan exhibit yang menjelaskan atau mempresentasikan solusi mereka. 5) Kolaborasi. PBL ditandai oleh siswa-siswa yang bekerja bersama siswasiswa lain, paling sering secara berpasangan atau dalam bentuk kelompok kelompok kecil (2008). Dari lima komponen problem based learning tersebut, dapat dilihat bahwa dalam pembelajaran siswa benar-benar dilibatkan secara aktif. Melalui pembelajaran siswa akan dilatih untuk berfikir dalam memecahkan suatu permasalahan baik secara individu maupun kelompok. Keterampilan berfikir memecahkan masalah ini merupakan salah satu keterampilan berfikir tingkat tinggi yang melibatkan self regulated dalam proses berfikir sehingga akan menjadikan siswa sebagai individu yang mandiri dan pembelajaran yang mereka peroleh akan benar-benar bermakna bagi mereka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
3. Metode Mengajar Metode mengajar merupakan salah satu komponen utama dalam proses belajar mengajar selain tujuan, bahan, dan penilaian. Dalam interaksi belajar mengajar siswa diarahkan oleh guru untuk mencapai tujuan melalui bahan pengajaran yang dipelajari oleh siswa dan disampaikan oleh guru dengan metode tertentu. Berkaitan dengan metode mengajar Syah (mengutip Tardif, 1987) menyatakan bahwa “Metode mengajar ialah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa” (2008: 201). Sejalan dengan pendapat di atas, Sanjaya (2009) menyatakan definisi metode mengajar yaitu “Metode mengajar merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal” (hlm. 147). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode mengajar merupakan segala cara yang ditempuh oleh guru untuk menciptakan suasana belajar yang mendukung sehingga akan tercapai tujuan belajar secara efektif dan efisien. Metode mengajar bermacam-macam dan bervariasi jenisnya. Dalam hal ini, penulis memilih metode mengajar eksperimen. Hal ini didasarkan pada karakteristik metode tersebut dengan pelajaran Fisika dan kesesuaian metode tersebut dengan teori-teori belajar yang penulis gunakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. a. Metode Eksperimen Menurut Suparno (2007) “Metode eksperimen adalah metode pembelajaran yang mengajak siswa untuk melakukan percobaan sebagai pembuktian, pengecekan bahwa teori yang sudah dibicarakan itu memang benar”(hlm 77). Sedangkan menurut Roestiyah (2001) berpendapat ‘Metode eksperimen adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan siswa untuk melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta commitkemudian to user hasil percobaannya, kemudian menuliskan hasil percobaannya,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
hasil pengamatan tersebut disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru” (hlm 80). Tujuan dari penggunaan metode ini adalah agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas permasalahanpermasalahan yang ditemui dengan mengadakan percobaan sendiri. Melalui pembelajaran eksperimen, siswa dituntut dapat menemukan bukti kebenaran dari teori yang dipelajarinya. Menurut Sudirman (1992:163) metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran di mana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari, dalam proses belajar mengajar dengan metode percobaan ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek keadaan atau proses sesuatu. Dengan demikian siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari suatu kebenaran, atau mencoba mencari data baru yang diperlukan, mengolah sendiri, membuktikan suatu hukum atau dalil, dan menarik kesimpulan atas suatu proses yang dialaminya itu. Dari
pendapat-pendapat
para
ahli
di
atas
maka
penulis
menyimpulkan bahwa mengertian metode eksperimen adalah suatu cara penyajian pelajaran dengan tujuan untuk membuktikan suatu pertanyaan atau hipotesis tertentu yang memeberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri dalam mencari kebenaran atau mencari data baru, mengolah sendiri, membuktikan suatu hukum, dan menarik kesimpulan atas proses yang dialaminya. b. Prosedur Metode Eksperimen Roestiyah (2001: 81) juga menyatakan jika siswa akan melakukan suatu eksperimen perlu memperhatikan prosedur sebagai berikut : 1) Perlu dijelaskan kepada siswa tentang tujuan eksperimen, mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui eksperimen. 2) Kepada siswa perlu diterangkan pula tentang : commityang to user a) Alat-alat serta bahan-bahan akan digunakan dalam percobaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
b) Agar tidak mengalami kegagalan siswa perlu mengetahui variabelvariabel yang harus dikontrol c) Urutan yang akan ditempuh sewaktu eksperimen berlangsung d) Seluruh proses atau hal-hal yang penting saja yang akan dicatatat e) Perlu menetakan bentuk catatan atau laporan berupa uraian, perhitungan, grafik, dan sebagainya. 3) Selama eksperimen berlangsung, guru harus mengawasi pekerjaan siswa. Bila perlu memberikan saran dan pertanyaan yang menunjang kesempurnaan jalannya eksperimen. 4) Setelah ksperimen selesai guru mengumpulkan hasil eksperimen siswa, mendiskusikan ke kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau tanya jawab di dalam kelas. c. Langkah-langkah Metode Eksperimen Menurut Rachmayati yang dikutip oleh Neti (2014: 27), pembelajaran dengan metode eksperimen meliputi tahap-tahap berikut : 1) Percobaan awal, pembelajaran diawali dengan melakukan percobaan yang didemonstrasikan guru atau dnegan mengamati fenomena alam. Demonstrasi ini menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan materi fisika yang akan dipelajari. 2) Pengamatan merupakan kegiatan siswa saat guru melakukan percobaan. Siswa diharapkan untuk mengamati dan mencatat peristiwa tersebut. 3) Hipotesis awal, siswa dapat merumuskan hipotesis sementara berdasarkan hasil pengamatannya. 4) Verifikasi, kegiatan untuk membuktikan kebenaran dan dugaan awal yang telah dirumuskan dan dilakukan melalui kerja kelompok. Siswa diharapkan merumuskan hasil percobaan dan membuat kesimpulan, selanjutnya dapat dilaporkan hasilnya. Aplikasi konsep, setelah siswa merumuskan dan menemukan konsep, hasilnya diaplikasikan dalam kehidupannya. Kegiatan ini merupakan pemantapan konsep yang telah dipelajari. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
5) Evaluasi, merupakan kegiatan akhir setelah selesai satu konsep. Penerapan pembelajaran dengan metode eksperimen akan membantu siswa untuk memahami konsep. Pemahaman konsep dapat diketahui apabila siswa mampu mengutarakan secara lisan, tulisan, maupun aplikasi dalam kehidupannya. Dengan kata lain, siswa memiliki kemampuan untuk menjelaskan, menyebutkan, memeberikan contoh, dan menerapkan konsep terkait dengan pokok bahasan. Langkah-langkah dalam pembelajaran dengan metode eksperimen adalah : 1) Perencanaan: yaitu meliputi kegiatan menerangkan metode eksperimen, mebicarakan terlebih dahulu permasalahan yang dapat diangkat, menetapkan alat-alat yang diperlukan, menentukan langkah-langkah apa saja yang perlu dicatat dan variabel-variabel yang harus dikontrol; 2) Pelaksanaan: melaksanakan pembelajaran dengan metode eksperimen, mengumpulkan laporan, memproses kegiatan dan mengadakan tes untuk menguji pemahaman siswa. d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Eksperimen Menurut Roestiyah (2010: 82) metode pembelajaran eksperimen seringkali digunakan sebagai metode pembelajaran IPA karena memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: 1) dengan eksperimen, siswa terlatih menggunakan metode ilmiah dalam menghadapi masalah sehingga tidak mudah percaya terhadap sesuatu yang belum pasti kebenaranya; 2) siswa lebih aktif berpikir dan berbuat, hal tersebut sangat sesuai dengan tujuan kegiatan pembelajaran modern yang menghendaki siswa untuk lebih banyak aktif belajar sendiri dengan bimbingan guru; 3) siswa dalam melaksanakan proses eksperimen di samping memperoleh ilmu pengetahuan juga menemukan pengalaman praktis serta ketrampilan dalam menggunakan alatalat percobaan; 4) dengan eksperimen, siswa membuktikan sendiri kebenaran suatu teori sehingga akan mengubah sikap mereka yang tahayul atau peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Disamping keunggulanya metode eksperimen juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1) memerlukan peralatan, bahan dan atau sarana eksperimen yang mencakup bagi setiap siswa atau sekelompok siswa untuk dapat melakukan eksperimen, 2) kegagalan atau kesalahan dalam eksperimen akan mengakibatkan perolehan hasil belajar (berupa informasi, fakta, atau data) yang salah atau menyimpang. Dengan adanya kelemahan metode pembelajaran eksperimen diatas maka kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan cara menyiapkan peralatan dan bahan yang mencukupi untuk kegiatan eksperimen. Disamping itu, kegiatan eksperimen harus mengacu pada prosedur kerja atau langkahlangkah percobaan yang telah ditentukan. Dengan demikian, kesalahan dan penyimpangan informasi, data atau fakta dalam eksperimen dapat diminimalisir. 4. Kemampuan Kognitif Hasil belajar menurut Sudjana, “Hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya” (1989: 22). Bloom secara garis besar mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotoris. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah Psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. (Sudjana 1989: 22-23) Dalam penelitian ini, hasil belajar yang akan diukur adalah domain (ranah) kognitif. Domain kognitif adalah berpikir berlandaskan menggunakan otak (Iskandar, 2012: 90). Sedangkan Sudaryono (2012: 43) mendefinisikan bahwa, “kemampuan kognitif mencakup kegiatan otak, yang artinya segala upaya yang menyangkut aktivitas otak termasuk ke dalam kemampuan commit to user kognitif”. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir seseorang dalam memproses satu atau lebih informasi. Menurut Taksonomi Bloom ranah kognitif yang telah direvisi Anderson dan Krathwohl (2010) membagi kemampuan kognitif menjadi enam tingkatan, sebagai berikut: a. Mengingat (Remember) Mengingat merupakan usaha mengambil kembali pengetahuan dari memori atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun yang sudah lama didapatkan. Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). Mengenali berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang konkret, misalnya tanggal lahir, alamat rumah, dan usia, sedangkan memanggil kembali (recalling) adalah proses kognitif yang membutuhkan pengetahuan masa lampau secara cepat dan tepat. b. Memahami (Understand) Memahami berkaitan dengan membangun makna dari materi pembelajaran, termasuk apa yang diucapkan, ditulis, dan digambar oleh guru. Proses-proses kognitif dalam kategori memahami meliputi menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan dan menjelaskan. c. Mengaplikasikan (Apply) Menerapkan
menunjuk
pada
proses
kognitif
memanfaatkan
atau
mempergunakan suatu prosedur untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan permasalahan. Mengaplikasikan berkaitan dengan dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Mengaplikasikan terdiri dari dua proses kognitif, yakni mengeksekusi (ketika tugasnya hanya soal latihan yang familier) dan mengimplementasikan (ketika tugasnya merupakan masalah). d. Menganalisis (Analyze) Menganalisis merupakan proses memecah-mecah materi menjadi bagiancommit to userhubungan antar bagian dan antara bagian kecil dan menentukan bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
setiap bagian dan struktur keseluruhannya. Kategori proses menganalisis meliputi proses-proses kognitif membedakan (menentukan potonganpotongan informasi yang relevan atau penting), mengorganisasi (menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi), dan mengatribusikan (menentukan tujuan di balik informasi). e. Mengevaluasi (Evaluate) Mengevaluasi merupakan membuat keputusan berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria yang biasanya digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria atau standar ini dapat pula ditentukan sendiri oleh siswa. Standar ini dapat berupa kuantitatif maupun kualitatif serta dapat ditentukan sendiri oleh siswa. Kategori mengevaluasi meliputi prosesproses kognitif memeriksa (keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kriteria internal) dan mengkritik (keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kriteria eksternal). f. Mencipta (Create) Mencipta merupakan proses memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang baru dan koheren atau membuat suatu produk yang orisinal (tidak pernah ada sebelumnya). Proses-proses kognitif yang terlibat dalam mencipta umumnya sejalan dengan pengalaman-pengalaman belajar sebelumnya Tingkatan kemampuan kognitif menurut teori Bloom berguna bagi guru dalam menyusun tes-tes hasil belajar yang lebih mengacu kepada tujuan pendidikan. Thoha (2001: 43) mendifinisikan tes sebagai alat pengukuran berupa pertanyaan, perintah, dan petunjuk yang ditujukan kepada peserta tes untuk mendapatkan respon sesuai dengan petunjuk itu. Atas dasar respon tersebut ditentukan tinggi rendahnya skor dalam bentuk kuantitatif yang selanjutnya dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan untuk ditarik kesimpulan yang bersifat kualitatif. Untuk siswa SMA, tingkatan kemampuan kognitif yang ditekankan adalah pada tingkat mengingat, memahami, mengaplikasikan, dan menganalisis atau jenjang C1 sampai dengan jenjang C4. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
5. Hakikat Fisika Fisika merupakan salah satu cabang dari ilmu sains atau ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu, aspek Fisika tidak jauh berbeda dengan ilmu pengetahuan alam atau sains. Berkaitan dengan aspek sains, Prasetyo (mengutip Collete & Eugene, 1993 ) mengemukakan bahwa: “sains dapat dipandang dari tiga aspek sebagai upaya memahami alam, yaitu: science as away of thinking, science as away of investigating, and science as a body of knowledge” (2008: 2). Druxes, Born, dan Siemsen (mengutip Brockhaus) berpendapat “Fisika adalah pelajaran tentang kejadian dialam, yang memungkinkan penelitian dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara matematis, dan berdasarkan peraturan-peraturan umum” (1986, 3). Selanjutnya, Druxes et al (mengutip Gerthsen) menyatakan bahwa “Fisika adalah suatu teori yang menerangkan
gejala-gejala
alam
sesederhana
mungkin
dan
berusaha
menemukan hubungan antara kenyataan-kenyataan persyaratan utama untuk pemecahan masalah dengan mengamati gejala-gejala tersebut” (1986: 3). Hal ini berarti bahwa Fisika merupakan teori yang mempelajari gejala-gejala alam, kemudian hasilnya dirumuskan dalam bentuk definisi ilmiah dan persamaan matematis berdasarkan hasil pengamatan dan penyelidikan sehingga dapat berguna untuk memecahkan masalah yang ada di alam. Dari kedua definisi Fisika di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam dan disajikan dalam bentuk yang sederhana yang diperoleh dari hasil penelitian, percobaan, pengukuran serta penyajian secara matematis berdasarkan peraturanperaturan umum sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan. Dalam Fisika diuraikan dan di analisa struktur dan peristiwa di alam sehingga akan ditemukan aturan-aturan atau hukum alam yang dapat menerangkan gejala-gejala alam. Aturan-aturan dan hukum-hukum Fisika atau produk Fisika yang dapat berupa fakta, konsep, teori diperoleh dengan metode ilmiah. Sebagaimana diuraikan oleh Fishbane, Gasiorowich, dan Thornton bahwa “The scientific method has led to accelerated progress in our understanding of the physical word” (1996: 3). commit to user Untuk melakukan metode ilmiah diperlukan keterampilan-keterampilan tertentu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
seperti mengamati, menafsirkan, menerapkan, merencanakan percobaan, dan mengkomunikasikan. 6. Penelitian Tindakan Kelas a. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas Muslich (2012: 45) menyatakan, munculnya istilah classroom action research atau penelitian tindakan kelas (PTK) sebenarnya diawali dari istilah action research atau penelitian tindakan. Secara umum, action research digunakan untuk menemukan pemecahan permasalahan yang dihadapi seseorang dalam tugasnya sehari-hari di mana pun tempatnya. Hasil action research hanya terbatas pada kepentingan penelitinya sendiri, yaitu agar dapat melaksanakan tugas di tempat kerjanya sehari-hari dengan lebih baik. Dari sini jelas terlihat bahwa jika dilihat dari ruang lingkup, tujuan, metode, dan praktiknya, action reseacrh dapat dianggap sebagai penelitian ilmiah mikro. Walaupun bersifat mikro, action research berbeda dengan studi kasus karena tujuan dan sifat kasus yang terdapat di dalamnya tidaklah unik sebagaimana keunikan pada studi kasus. Istilah action research sangat dikenal dalam penelitian pendidikan, bahkan sudah merupakan aliran tersendiri. Untuk membedakannya dengan action research pada bidang lain, para penulis di bidang pendidikan sering menggunakan istilah classroom action research atau classroom research. Dengan penambahan classroom pada action research kegiatan lebih diarahkan pada pemecahan masalah pembelajaran melalui penerapan secara langsung di kelas. Suhardjono dalam Suharsimi dkk (2009: 58), mendefinisikan “penelitian tindakan kelas adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelasnya”. Sedangkan Asrori (2008: 6) mengartikan “Penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki dan meningkatkan praktik pembelajaran di kelas secara lebih berkualitas sehingga siswa dapat memperoleh hasil belajar yang lebih baik”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang bersifat reflektif, dengan berangkat dari permasalahan riil yang dihadapi guru di kelas dengan tujuan untuk memperbaiki mutu praktik pembelajaran. Pemecahan masalah dilakukan dengan tindakan-tindakan nyata yang terencana dan terukur oleh guru atau arahan dari guru yang diberikan pada siswa. Komponen-komponen dalam suatu kelas yang dapat dikaji melalui penelitian tindakan kelas menurut Suhardjono dalam Suharsimi dkk (2009: 58-59) yaitu : Komponen dalam penelitian tindakan kelas meliputi: a. Siswa, dapat dicermati objeknya ketika siswa yang bersangkutan sedang asyik
mengikuti
proses
kelas/lapangan/laboratorium/bengkel
pembelajaran atau
ketika
sedang
di asyik
mengerjakan pekerjaan rumah di malam hari atau sedang mengikuti kerja bakti di luar sekolah. b. Guru,dapat dicermati ketika guru yang bersangkutan sedang mengajar di kelas, sedang membimbing siswa-siswa yang sedang berdarmawisata, atau mengadakan kunjungan ke rumah siswa. c. Materi pelajaran,dapat dicermati ketika guru sedang mengajar atau sebagai bahan yang ditugaskan kepada siswa. d. Peralatan atau sarana pendidikan,dapat dicermati ketika guru sedang mengajar, dengan tujuan meningkatkan mutu hasil belajar, yang diamati adalah guru, siswa, atau keduanya. e. Hasil pembelajaran, merupakan produk yang harus ditingkatkan, pasti terkait dengan tindakan unsur lain, yaitu proses pembelajaran, peralatan atau sarana pendidikan, guru, dan siswa itu sendiri. f. Lingkungan,baik lingkungan siswa di kelas, sekolah, maupun yang melingkungi siswa di rumahnya. Bentuk perlakuan atau tindakan yang dapat dilakukan adalah mengubah kondisi lingkungan menjadi lebih kondusif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
g. Pengelolaan, merupakan kegiatan yang sedang diterapkan dan dapat diatur/direkayasa dalam bentuk tindakan. Unsur pengelolaan yang jelasjelas merupakan gerak kegiatan sehingga mudah diatur dan direkayasa dala bentuk tindakan. Dalam hal ini yang digolongkan sebagai kegiatan pengelolaan misalnya cara pengelompokan siswa ketika guru memberikan tugas, pengaturan jadwal, pengaturan tempat duduk siswa, penempatan papan tulis, penataan peralatan pemilik siswa, dan sebagainya. Salah satu ciri penelitian tindakan kelas adalah adanya kolaborasi (kerjasama) antara praktisi (guru, kepala sekolah, dan siswa) dan peneliti (dosen, widyaiswara) dalam pemahaman, kesepakatan tentang permasalahan, pengambilan keputusan yang akhirnya melahirkan kesamaan tindakan (action). Suhardjono dalam Suharsimi dkk (2009: 63) menyatakan bahwa,“Kerjasama (kolaborasi) antara guru dengan peneliti sangat penting dalam bersama menggali dan mengkaji permasalahan nyata yang dihadapi”. Terutama dalam kegiatan mendiagnosis masalah, menyusun usulan, melaksanakan tindakan, menganalisis data, menyeminarkan hasil dan menyusun laporan. Penelitian tindakan kelas berbeda dengan penelitian formal. Penelitian formal bertujuan menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum. Penelitian tindakan lebih bertujuan memperbaiki kinerja. Perbedaan antara penelitian tindakan kelas ( Classroom Action Research) disajikan dalam Tabel 2.3. Penelitan Tindakan Kelas (PTK) ternyata juga berbeda dengan penelitian tindakan pada umumnya. Basrowi dan Suwandi (2008: 40-41) mengungkapkan perbedaan antara penelitian tindakan dengan PTK yang dapat dirangkum pada Tabel 2. 4. Tabel 2.3 Perbedaan Antara Penelitian Formal Dengan Classroom Action Research (CAR) No. Ketentuan Penelitian Formal Penelitian CAR 1. Pelaku Dilakukan orang lain Dilakukan oleh guru yang bersangkutan 2. Sampel Harus representatif Tidak harus representatif commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
3.
Instrumen
4.
Statistik
5.
Hipotesis
6.
Teori
7.
Fungsi
Harus valid dan reliabel
Tidak harus valid dan reliabel Analisis statistik yang Tidak harus menggunakan baik statistic Hipotesis harus jelas Tidak mensyaratkan hipotesis Harus berlandaskan Teori tidak terlalu teori yang telah ada berpengaruh Menguji Teori Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung (Kusumah dan Dwitagama, 2010: 10)
Tabel 2.4 Perbedaan Penelitian Tindakan dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Ketentuan PTK Penelitian Tindakan Subjek Kolaboratif antara peneliti dengan Kolaboratif antara peneliti guru, kepala sekolah dan pengawas dengan aktor lain yang sekolah terlibat dalam penelitian Tempat Kelas Masyarakat dalam arti luas seperti organisasi ibu-ibu, remaja, nelayan buruh dan lain-lain Tujuan Memperbaiki proses belajar Memperdayakan dan mengajar di kelas meningkatkan kemampuan subjek yang diteiti dengan metode baru yang dirasa memiliki kelebihan Waktu Pada saat proses pembelajaran Dapat dilakukan setiap saat berlangsung (Basrowi dan Suwandi, 2008: 40-41) b. Model-model Penelitian Tindakan Kelas Sanjaya (2013:154) menyampaikan model PTK ada 4, yaitu: model Kurt Lewin, model Elliot, model Ebbut, dan model Siklus. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Model Kurt Lewin Menurut Kurt Lewin, penelitian tindakan terdiri dari empat komponen, yaitu: perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
2) Model Elliot Model penelitian yang dikembangkan oleh Elliot adalah model yang menekankan kepada proses untuk mencobakan hal-hal baru dalam proses
pembelajaran.
Langkahnya
terdiri
dari
menentukan
dan
mengembangkan gagasan umum, monitoring, dan eksplorasi. 3) Model Ebbut Ebbut beranggapan bahwa suatu penelitian tindakan harus dimulai dari adanya gagasan awal, kemudian dari gagasan awal tersebut peneliti berupaya menemukan berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya. Selanjutnya menyusun rancangan umum dan implementasi yang disertai monotoring. Dari hasil monitoring disusun penjelasan berbagai kegagalan yang dijadikan masukan untuk putaran selanjutnya. 4) Model Siklus Dinamakan model siklus karena model ini lebih menonjolkan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap peneliti dalam setiap kali putaran. Prosedur penelitian dalam bentuk siklus adalah sebagi berikut: a) refleksi awal (proses kegiatan menganalisis pembelajaran yang berlangsung); b) studi pendahuluan (mengkaji literatur dan melakukan konsultasi dengan ahli); c) rencana awal (termasuk menyusun instrumen); d) melakukan tindakan pada putaran pertama sesuai dengan perencanaan awal; e) rencana tahap dua (hasil refleksi pada putaran pertama); dan f) melakukan tidakan putaran kedua sesuai dengan rencana tahap dua. 7. Bahan Ajar Suhu dan Kalor a. Termometer dan Pengukuran Suhu Termometer adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur suhu suatu benda. Prinsip dasar pembuatan termometer adalah perubahan volume zat cair jika dipanaskan atau diberi kalor (pemuaian). Suhu adalah derajat panas dingin suatu benda. Ada beberapa jenis termometer yaitu termometer bimetal, termometer hambatan, termokopel, termometer gas, dan pirometer. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Terdapat empat macam skala yang biasa digunakan dalam pengukuran suhu, yaitu skala Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Interval dari empat skala berbeda-beda. Interval skala Celcius dan Kelvin adalah 100, interval skala Reamur adalah 80 dan interval skala Fahrenheit adalah 180. Berdasarkan interval skala diperoleh perbandingan dari tiap termometer sebagai berikut: C : R : F : K = 100 : 80 : 180 : 100 = 5 : 4 : 9 : 5
(2.1)
Berikut penjelasan tentang keempat jenis skala pada termometer: 1) Skala Celcius. Titik tetap bawah diberi angka 00 C dan titik tetap atas diberi angka 1000 C. Rentang titik tetap bawah dan titik tetap atas dibagi menjadi 100 sehingga tiap skala sebesar 1 derajad. 2) Skala Reamur. Titik tetap bawah diberi angka 00 R dan titik tetap atas diberi angka 800 R. Rentang titik tetap bawah dan titik tetap atas dibagi menjadi 80 skala. Hubungan skala Reamur dengan skala Celcius dapat dinyatakan sebagai berikut: TC 0 100 TR 0 80 TC 5 TR 4
(2.2)
3) Skala Fahrenheit. Titik tetap bawah diberi angka 320 F dan titik tetap atas diberi angka 2120 F. Suhu es yang dicampur dengan garam ditetapkan sebagai 0º F. Rentang titik tetap bawah dan titik tetap atas dibagi 180 skala. Hubungan skala Celcius dengan skala Fahrenheit dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: TF 32 180 TC 0 100 TF 32 9 TC 5
(2.3)
4) Skala Kelvin. Pada skala Kelvin, suhu terendah ditandai dengan 0 K yang sama dengan -2730C sehingga 00C berarti sama dengan 273 K dan 1000C to user berarti sama dengan 373 commit K. Rentang titik tetap bawah dan titik tetap atas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
termometer Kelvin dibagi 100 skala. Hubungan skala Kelvin dengan skala Celcius dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
TK 273 100 TC 0 100 TK 273 1 TC
TK TC 273
(2.4)
Hubungan skala Celcius, Reamur, Fahrenheit dan Kelvin adalah: TC
5 5 TR TF 32 TK 273 4 9
(2.5) (Sunardi dan Zaenab, 2003)
b. Pemuaian Benda Setiap zat (benda) akan memuai jika dipanaskan dan menyusut jika didinginkan. Pemuaian zat padat, zat cair dan zat gas menunjukan karakteristik yang berbeda. Berikut penjelasan tentang konsep pemuaian: 1) Pemuaian Zat Padat Suatu zat padat yang dipanaskan akan memuai ke segala arah. Pemuaian zat padat terdiri dari pemuaian panjang, pemuaian luas dan pemuaian volume. a) Pemuaian panjang Pemuaian panjang adalah bertambahnya ukuran panjang suatu benda karena menerima kalor. Pada pemuaian panjang, nilai lebar dan tebal sangat kecil dibandingkan dengan nilai panjang benda tersebut sehingga lebar dan tebal dianggap tidak ada. Sebuah benda yang memiliki
panjang
mula-mula
L0
pada
temperatur
T
mengalami pemuaian panjang sebesar ΔL jika temperatur dinaikan sebesar ΔT. Perumusan pemuaian panjang secara matematis dapat dituliskan:
L L0 T dengan α adalah koefisien muai panjang. commit to user
(2.6)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
L L0 T
(2.7)
Satuan dari α adalah kebalikan dari satuan temperatur skala Celsius (1/ ° C) atau kelvin (1/K). b) Pemuaian Luas Pemuaian luas dapat terjadi ketika benda dipanaskan. Perumusan pada pemuaian luas hampir sama seperti pada pemuaian panjang, yaitu:
A A0 T
(2.8)
dengan β adalah koefisien muai luas.
A A0 T
(2.9)
satuan dari β adalah /K sama seperti koefisien muai panjang (α). Sebuah tembaga berbentuk persegi sama sisi. Panjang sisi tembaga adalah L0 maka luas tembaga adalah L02. Tembaga dipanasi sampai terjadi perubahan temperatur sebesar ΔT maka sisi-sisi tembaga akan memuai dan panjang sisi tembaga menjadi L0 + ΔL. Luas tembaga setelah memuai akan berubah menjadi (L0 + ΔL)2 dan perubahan luas setelah pemuaian adalah: A L0 L L0 2
2
A L0 2 L0 L L2 L0 2
2
A 2L0 L L2
(2.10)
dari perumusan koefisien muai luas, yaitu:
2 L L L2 A 0 2 A0 T L0 T
(2.11)
karena perubahan panjang ΔL tembaga sangatlah kecil maka nilai ΔL2 dapat diabaikan. Persamaan menjadi:
2 L0 L L2
maka,
L0 T 2
2L L0 T commit to user
(2.12)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
L 2 L0 T
(2.13)
c) Pemuaian Volume Panjang benda memuai ketika dipanaskan maka volume benda juga ikut memuai. Perumusan untuk pemuaian volume sama dengan perumusan panjang dan luas:
V V0 T
(2.14)
dengan γ adalah koefisien muai volume
V V0 T
(2.15)
Perlu diketahui, terdapat hubungan antara α dan β terhadap waktu γ:
3
3 2
(2.16)
2) Pemuaian Zat Cair Zat cair hanya mengalami pemuaian volume, sehingga persamaan pada pemuaian zat cair sama seperti persamaan yang berlaku pada muai volume, yaitu:
V V0 V V V0T
V V0 1 T
(2.17)
3) Pemuaian Gas Gas juga mengalami pemuaian volume, tetapi pemuaian volume gas lebih besar daripada pemuaian volume zat cair untuk kenaikan suhu yang sama. Gas dapat mengalami pemuaian tekanan pada volume tetap. Pemuaian gas dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: a) Pemuaian Gas pada Suhu Tetap (Isotermal) Pemuaian gas pada suhu tetap berlaku hukum Boyle, yaitu gas di dalam ruang tertutup yang suhunya dijaga tetap, maka hasil kali tekanan (P) dengan satuan atm dan volume gas (V) dengan satuan liter adalah tetap. Dirumuskan: commit to user P V = tetap atau P1 V1 = P2 V2
(2.18)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
b) Pemuaian Gas pada Tekanan Tetap (Isobar) Pemuaian gas pada tekanan tetap berlaku hukum Gay Lussac, yaitu gas di dalam ruang tertutup dengan tekanan dijaga tetap, maka volume gas (V) sebanding dengan suhu mutlak gas (T) dengan satuan suhu mutlak Kelvin. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan sebagai: V1 V2 T1 T2
(2.19)
c) Pemuaian Gas Pada Volume Tetap (Isokhorik) Pemuaian gas pada volume tetap berlaku hukum Boyle-Gay Lussac, yaitu jika volume gas di dalam ruang tertutup dijaga tetap, maka tekanan gas sebanding dengan suhu mutlaknya. Hukum Boyle-Gay Lussac dirumuskan sebagai: P1 P2 T1 T2
(2.20)
dengan menggabungkan hukum Boyle dan hukum Gay Lussac diperoleh persamaan: P1V1 P2V2 T1 T2
(2.21)
d) Proses Adiabatik Proses adiabatik didefinisikan sebagai proses yang tidak mengalami perpindahan kalor dari atau ke sistem yang dinyatakan dengan,
Q 0 dan
U 2 U1 U W
Pada proses adiabatik, ketika sistem mengembang W positif, U negatif dan energi dalam U menurun sedangkan ketika sistem dimampatkan W negatif, U positif dan energi dalam U meningkat (Sunardi & Zaenab. 2003: 231-238). c. Kalor 1) Definisi Kalor Kalor adalah energi yang berpindah dari suatu zat yang suhunya commit to user lebih tinggi menuju zat lain yang suhunya lebih rendah sampai suhu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
keduanya sama dan kesetimbangan termal tercapai. Kalor dilambangkan dengan Q yang memiliki satuan kalori (kal) atau joule (J). Hubungan antara kalor yang diberikan (Q) dengan kenaikan suhu (T) dan massa air (m), yaitu T
1 dan T Q m
atau
T
Q Q mT m
(2.22)
2) Pengertian Kalor Jenis dan Kapasitas Kalor Kalor jenis benda didefinisikan sebagai jumlah kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 kg zat sebesar 1 Kelvin. Kalor jenis dilambangkan dengan c yang memiliki satuan kal/gr.C atau J/kg.K. Kalor jenis merupakan sifat khas suatu benda yang menunjukkan kemampuannya untuk menyerap kalor. Semakin besar kalor jenis suatu benda, semakin besar pula kemampuan untuk menyerap kalor pada perubahan suhu yang sama. Kalor jenis setiap benda berbeda-beda, yang sering digunakan dalam soal dan dijadikan patokan adalah air. Kalor jenis air 1 kal/gr C atau 4180 J/kg K sering dibulatkan menjadi 4200 J/kg K. Kalor jenis dapat dinyatakan dalam persamaan matematis sebagai berikut: c
Q m T
(2.23)
Kapasitas kalor didefinisikan sebagai jumlah energi kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu suatu benda sebesar 1 kalori. Kapasitas kalor dilambangkan dengan C yang memiliki satuan J/K. Kapasitas kalor dapat dirumuskan: C
Q T
Q CT
(2.24)
Perlu diperhatikan bahwa, untuk kalori berpasangan dengan Celcius dan gram, sedangkan untuk joule berpasangan dengan kg dan Kelvin. 1 kalori = 4,2 Joule dan 1 joule = 0,24 kalori. Suhu dalam Celcius commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
dirubah menjadi Kelvin dapat menggunakan persamaan K = Celcius + 273 (Kelvin adalah satuan internasional dari suhu) 3) Hukum Kekekalan Energi untuk Kalor Hukum kekekalan energi untuk kalor memenuhi asas yang diajukan oleh Joseph Black, yaitu “pada pencampuran dua zat, banyak kalor yang dilepas oleh zat yang suhunya lebih tinggi sama dengan banyak kalor yang diserap oleh kalor yang suhunya lebih rendah.” Pernyataan hukum kekekalan energi untuk kalor sering dinamakan asas Black. Berdasarkan hukum kekekalan energi untuk kalor, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: 𝑄𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠 = 𝑄𝑡𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 atau 𝑚1 𝑐1 ∆𝑇1 = 𝑚2 𝑐2 ∆𝑇2
(2.25)
Sesuai dengan asas Black, maka pertukaran kalor pada zat dapat ditentukan dengan mengukur kalor jenis zat dengan menggunakan kalorimeter (Sunardi dan Zaenab, 2003). 4) Perubahan Wujud dan Kalor Laten
Gas
mencair
Padat
Cair membeku
Gambar 2.1 Perubahan Wujud Zat (Sunardi dan Zaenab, 2003: 245) Pada Gambar 2.1, ditunjukan diagram perubahan wujud zat. Melebur merupakan perubahan wujud suatu zat dari padat menjadi cair. Suhu zat yang mengalami peleburan disebut titik lebur zat. Kejadian yang sebaliknya adalah membeku, yaitu perubahan wujud zat dari cair menjadi padat. Suhu zat yang mengalami pembekuan disebut titik beku commit to user zat. Dua sifat penting dalam peristiwa melebur dan membeku adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
suhu ketika zat padat melebur sama dengan suhu ketika zat cair membeku, bila perubahan berlangsung dalam tekanan yang sama dan suhu zat tidak berubah ketika sedang melebur atau membeku. Menguap merupakan perubahan wujud suatu zat dari cair menjadi uap. Pada peristiwa penguapan dibutuhkan kalor. Peristiwa penguapan hanya terjadi pada permukaan zat cair dan dapat terjadi pada sembarang suhu. Mendidih adalah peristiwa penguapan yang terjadi pada seluruh bagian zat cair dan hanya terjadi pada suhu tertentu yang disebut titik didih. Titik didih zat cair dipengaruhi oleh tekanan udara, semakin besar tekanan udara, semakin besar pula titik didih suatu zat. Pada tekanan udara normal (76 cmHg) air mendidih pada suhu 100 0C. Tekanan udara yang berubah menyebabkan titik didih zat juga akan mengalami perubahan, apabila tekanan udara luar kurang dari 76 cmHg, maka air akan mendidih kurang dari 1000C. Kejadian yang sebaliknya dari menguap disebut mengembun, yaitu perubahan wujud dari uap menjadi zat cair. Zat yang sedang melebur, suhu zat tetap, walaupun kalor diberikan pada zat. Es yang dipanaskan melebur pada suhu 0 0C dan menjadi air pada suhu 00C. Zat yang sedang membeku memiliki suhu tetap walaupun ada kalor yang dilepaskan oleh zat. Zat ketika sedang berubah wujud, baik melebur, membeku, menguap, dan mengembun, suhu zat tetap walaupun ada pelepasan atau penyerapan kalor. Terdapat sejumlah kalor yang dilepaskan atau diserap pada saat perubahan wujud zat, tetapi tidak digunakan untuk menaikkan atau menurunkan suhu yang disebut sebagai Kalor Laten disimbolkan dengan huruf L yang memiliki satuan joule (J). Jadi, kalor laten adalah kalor yang dibutuhkan oleh suatu zat untuk mengubah wujudnya per satuan massa zat. Dengan demikian dapat dirumuskan: Q=mL
(2.26) (Sunardi dan Zaenab, 2003) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Kalor laten peleburan Lf adalah istilah yang digunakan ketika perubahan fasenya adalah dari padatan ke cairan (f adalah untuk fusi, yang berarti mengombinasikan dengan cara melebur). Kalor laten peleburan sama dengan energi yang dibutuhkan per satuan massa untuk mengubah ikatan antar molekul dari ikatan jenis padatan menjadi ikatan jenis cairan. Kalor laten penguapan Lv adalah istilah yang digunakan ketika perubahan fase terjadi dari cairan ke gas (cairanya menguap). Kalor laten penguapan adalah jumlah energi per satuan massa yang harus ditambahkan ke dalam cairan untuk memisahkan molekul-molekul dari ikatan jenis cairan menjadi ikatan jenis gas. Kalor laten penguapan untuk suatu zat biasanya sedikit lebih besar daripada kalor laten peleburan karena jarak rata-rata antar molekul dalam fase gas jauh lebih besar daripada fase cairan maupun padatan (Jewett dan Serway, 2010: 46-50). Terdapat suatu perubahan yang unik yaitu menyublim, merupakan peristiwa perubahan wujud dari zat padat langsung menjadi uap tanpa melalui wujud cair. Sebaliknya, perubahan wujud uap menjadi padat juga disebut dengan menyublim (Sunardi & Zaenab. 2003: 245). 5) Grafik Suhu terhadap Kalor Analisis grafik perubahan wujud pada es yang dipanaskan sampai menjadi uap pada tekanan 1 atm. Dalam grafik dapat dilihat semua persamaan kalor digunakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
T0C, 1 atm 1000C D
E
uap air
air + uap air (kalor)
air 00C
B
-100C
es A
C
Q
Gambar 2.2 Grafik Suhu terhadap Kalor ( Kanginan, 2002: 246) Pada Gambar 2.2, suhu naik (dari A ke B) sampai titik lebur es 00C dicapai. Pada A dan B hanya terdapat satu wujud, yaitu wujud padat (es). Kalor terus ditambahkan (dari B ke C), suhu tetap sampai semua es melebur menjadi air. Pada B dan C terdapat dua wujud zat, yaitu padat (es) dan wujud cair (air). Suhu air akan naik kembali (dari C ke D) sampai titik didih air 1000C dicapai. Pada C dan D hanya terdapat satu wujud, yaitu wujud cair (air). Pada titik didih (dari D ke E) kembali suhu tetap walaupun kalor terus bertambah sampai semua air mendidih menjadi uap air (gas). Pada D dan E terdapat dua wujud, yaitu wujud cair (air) dan wujud gas (uap air). Suhu air akan naik kembali jika kalor terus diberikan (Kanginan, 2002: 246). d. Perpindahan Kalor Ada tiga cara perpindahan kalor, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. 1) Konduksi Perpindahan kalor secara konduksi adalah perpindahan kalor yang tidak disertai perpindahan zat penghantar. Laju perpindahan kalor secara konduksi (H) dengan satuan J/s bergantung pada panjang atau tebal (d) dengan satuan meter, luas penampang (A) dengan satuan m2, to user konduktivitas termal (k)commit dengan satuan W/mK, dan beda suhu (ΔT)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
dengan satuan Kelvin. Banyak kalor Q yang dapat berpindah selama waktu t (sekon) tertentu ditulis dengan persamaan berikut: H
Q kAT t d
(2.27)
2) Konveksi Perpindahan kalor secara konveksi adalah perpindahan kalor yang disertai perpindahan partikel-partikel zat. Laju perpindahan kalor secara koveksi (H) dengan satuan J/s bergantung pada luas penampang (A) dengan satuan m2, koefisien konveksi (h) dengan satuan W/m2K, dan beda suhu (ΔT) dengan satuan Kelvin. Banyak kalor Q yang dapat berpindah selama waktu t (sekon) tertentu ditulis dengan persamaan berikut: H
Q hAT t
(2.28)
3) Radiasi Perpindahan kalor secara radiasi adalah perpindahan energi kalor dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Laju perpindahan kalor secara radiasi (H) dengan satuan J/s bergantung pada luas penampang (A) dengan satuan m2, konstanta Stefan-Boltzmann dengan besar (5,67) (10-8) W/m2K4, dan suhu di sekeliling permukaan dengan satuan Kelvin. Banyak kalor Q yang dapat berpindah selama waktu t (sekon) tertentu ditulis dengan persamaan berikut: H
Q AT 4 t
(2.29)
Persamaan berlaku untuk benda hitam sempurna. Benda hitam sempurna adalah benda yang mampu menyerap dan memancarkan radiasi kalor secara sempurna. Benda yang bukan benda hitam sempurna memiliki emisivitas yang berbeda dengan benda hitam, sehingga berlaku persamaan berikut: H
Q eAT 4 t
(2.30)
commit to user Emisivitas adalah kemampuan permukaan untuk memancarkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
radiasi yang diukur sebagai perbandingan energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dengan energi yang dihasilkan oleh benda hitam pada suhu yang sama. Besar emisivitas benda (e) yaitu 0 e 1, untuk benda hitam sempurna e = 1 (Sunardi & Zaenab. 2003: 247-253).
A. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan pada siswa kelas X-5 IPA SMAN Gondangrejo Tahun Ajaran 2015/2016 didapatkan hasil bahwa kemampuan kognitif siswa relatif rendah. Hasil pra-siklus mata pelajaran Fisika pada materi konsep suhu dan kalor menunjukkan 73,7 % siswa belum memenuhi batas ketuntasan minimal yang ditentukan dalam aspek kognitif. Berdasarkan hasil tersebut, 26,3 % siswa yang memenuhi batas ketuntasan minimal. Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan kognitif siswa, yaitu motivasi belajar siswa rendah, penggunaan model dan metode pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Dari hasil wawancara pada tahap pra-siklus, dapat disimpulkan bahwa minat belajar siswa pada materi pelajaran fisika rendah, siswa mengeluhkan terlalu banyak persamaan yang harus dihafalkan. Proses pembelajaran sendiri menjadi kurang maksimal karena model dan metode pembelajaran yang seharusnya dapat dditerapkan saat kegiatan belajar mengajar di kelas masih kurang dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap siswa kelas X5 SMAN Gondangrejo Tahun Ajaran 2015/2016 pembelajaran fisika hampir selalu memiliki pola yang sama untuk tiap materi pembelajaran. Siswa sendiri mengaku selama ini walaupun sekolah sudah melengkapi fasilitas perlengakapan praktikum untuk penunjang kegiatan pembelajaran, namun selama pembelajaran berlangsung tidak memanfaatkan fasilitas tersebut. Hal ini menyebabkan pengetahuan siswa akan almu fisika sebatas hanya pada buku teks dan keterangan guru, pembelajaran dilaksanakan secara konvensional dengan metode ceramah di dalam kelas. Yang menjadi permasalahan adalah siswa tidak memiliki gambaran mengenai materi yang disampaikan oleh guru, sehingga commit to user materi bersifat abstrak.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
Fisika meliputi tiga karakterisitik yaitu : pengetahuan, proses, dan sikap ilmiah. Pengetahuan dalam Fisika berupa produk (hasil) seperti konsep, prinsip, hukum, dan teori. Proses dalam fisika berkaitan dengan ketrampilan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Sikap ilmiah adalah sikap yang melandasi seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Pendekatan serta metode yang sesuainya untuk bidang sains khususnya Fisika yaitu pendekatan pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning (PBL) dengan metode eksperimen. Penelitian Restiono (2013: ) pada model problem based learning, terjadi peningkatan pencapaian dalam aspek aktivitas berkarakter dalam Fisika dibandingakan dengan kelas yang menggunakan model klasikal. Model problem based learning memiliki kelebihan siswa memiliki kebebasan dalam melakukan proses pembelajaran. Siswa dibebaskan untuk mempelajari dan memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri. Hal ini akan menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar. Penelitian Suprihatin, dkk (2013: 4) pada metode eksperimen, siswa mengalami peningkatan pada penelitian ini keterampilan yang diukur adalah keterampilan komunikasi sains siswa setelah pembelajaran menggunakan metode eksperimen menunjukkan sebuah peningkatan, pada kegiatan eksperimen dapat menciptakan pembelajaran dengan aktif. Dengan metode ini siswa dapat terlibat merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta, mengumpulkan data, mengendalikan variabel, dan memecahkan masalah. Senada dengan itu, penelitian Mastin D Poiyo (2013: ) pada metode Eksperimen, metode tersebut baik digunakan pada proses pembelajaran, hal ini terlihat ketika kegiatan pembelajaran berlangsung siswa aktif dan dapat mengetahui percobaan secara nyata, hal ini terjadi karena metode eksperimen adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana siswa melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri sesuatu pertanyaan hipotesis yang dipelajari. Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat pengaruh hasil belajar siswa sebelum diterapkan metode pembbelajaran eksperimen dan setelah diterapkan metode pembelajaran eksperimen. Dengan demikian, model commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
problem based learning dengan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran yang dilaksanakan, peran guru tidak dapat dihilangkan
sama
sekali.
Pembelajaran
dengan
metode
eksperimen
menggunakan masalah atau soal konkret atau yang ada dalam pikiran siswa yang disebut dengan masalah realistik sebagai titik awal proses pembelajaran, diharapkan dapat membuat siswa berfikir aktif sejak awal dan siswa mandiri menemukan konsep yang akan dipelajari, peran guru hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator antara lain adalah memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu siswa dalam mengungkapkan gagasannya, menunjukkan pemikiran siswa dapat sejalan atau tidak menghadapi persoalan baru yang
ditemui. Selanjutnya,
dengan mpenerapan metode tersebut, dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan kemampuan analisis berfikir siswa kelas X-5 SMAN Gondangrejo tahun ajaran 2015/2016. Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini diterapkan sebuah model pembelajaran yang inovatif yaitu penerapan model pembelajaran problem based learning dengan menggunakan metode eksperimen untuk dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Skema kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.3.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
1. Pembelajaran bersifat teacher centered, siswa
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
hanya pasif dalam kegiatan pembelajaran 2. Kemampuan kognitif siswa rendah
Siklus Menerapkan Penerapan model pembelajaran problem based learning dengan menggunakan metode eksperimen pada materi Suhu dan Kalor
Diduga melalui penerapan model pembelajaran problem based learning dengan menggunakan metode eksperimen dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa pada materi Suhu dan Kalor Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
B. Hipotesis Tindakan Hipotesis penelitian tindakan kelas ini dapat dituliskan yaitu penerapkan pendekatan PBL pada metode eksperimen pada pembelajaran akan meningkatkan kemampuan kognitif siswa X SMAN Gondangrejo Tahun Ajaran 2015/2016.
commit to user