BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kelincahan 2.1.1
Pengertian Kelincahan Kelincahan adalah kemampuan untuk mengubah arah gerakan dengan
cepat (BruceW, 2004).
Kelincahan merupakan kemampuan untuk mengubah
posisi tubuh atau arah gerakan tubuh dengan cepat ketika sedang bergerak cepat, tanpa kehilangan keseimbangan atau kesadaran orientasi terhadap posisi tubuh (Nala, 2011). Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kelincahan yang baik dapat dengan mudah merubah posisi tubuhnya dengan tetap menjaga keseimbangan. Di samping itu, menurut Mappaompo (2011) kelincahan adalah suatu bentuk gerakan yang mengharuskan seorang atau pemain untuk bergerak dengan cepat dan mengubah arah serta tangkas. Pemain yang lincah adalah pemain yang bergerak tanpa kehilangan keseimbangan dan kesadaran akan posisi tubuhnya. Unsur atau komponen biomotorik yang saling terkait dengan unsur kelincahan terdiri atas koordinasi, keseimbangan, dan kecepatan (Sajoto, 1988). Kelincahan merupakan persyaratan untuk mempelajari dan memperbaiki keterampilan gerak dan teknik olahraga, terutama gerakan-gerakan yang membutuhkan koordinasi gerak. Ditinjau dari keterlibatannya atau perannya dalam beraktivitas, kelincahan dikelompokan menjadi dua macam yaitu, kelincahan umum (General Agility) dan kelincahan khusus (Special Agility).
9
10
Berdasarkan jenis kelincahan tersebut menunjukkan bahwa, kelincahan umum digunakan untuk aktivitas sehari-hari atau kegiatan olahraga secara umum yang melibatkan gerakan seluruh tubuh. Sedangkan kelincahan khusus merupakan kelincahan yang bersifat khusus yang dibutuhkan dalam cabang olahraga tertentu. Kelincahan yang dibutuhkan memiliki karakteristik tertentu sesuai tuntutan cabang olahraga yang dipelajari dan hanya melibatkan segmen tubuh tertentu (Ismaryanti, 2008). Menurut Joko Purwanto (2004) bahwa seorang pemain yang mempunyai kelincahan yang baik mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: mudah melakukan gerakan yang sulit, tidak mudah jatuh atau cedera, dan mendukung teknik-teknik yang digunakannya terutama teknik menggiring bola. Ciri-ciri kelincahan dapat dilihat dari kemampuan bergerak dengan cepat, mengubah arah dan posisi, menghindari benturan antar pemain dan kemampuan berkelit dari pemain lawan di lapangan. Kemampuan bergerak mengubah arah dan posisi tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi dalam waktu yang relatif singkat dan cepat. Maka berdasarkan beberapa definisi diatas kelincahan adalah kemampuan seseorang dalam merubah arah dan posisi tubuhnya dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapai di lapangan tertentu tanpa kehilangan keseimbangan tubuh. 2.1.2
Kelincahan Pada Sepak Bola Dalam pelatihan olahraga, untuk dapat mencapai prestasi yang maksimal
harus memperhatikan beberapa faktor. Salah satunya adalah teknik dasar dalam
11
olahraga tertentu. Begitu juga dalam olahraga sepak bola, apabila kita menguasai teknik dasar dengan baik maka kita dapat bermain dengan baik. Menurut Sukatamsi (1984) mengatakan untuk dapat mencapai kerjasama tim yang baik, semua pemain harus menguasai teknik dasar dan keterampilan bermain sepak bola. Adapaun teknik dasar dalam permainan sepak bola yang perlu dikuasai olah para pemain adalah menendang bola, menggiring bola, menahan dan menghentikan bola, menyundul bola, melempar bola, dan merebut bola. Hal ini membuktikan bahwa prioritas komponen kondisi fisik pada cabang olahraga sepak bola yaitu kekuatan, kelincahan, kecepatan, ketahanan aerobik dan anaerobik dan kelentukan (Sadikun, 1992). Dengan demikian kecepatan dan kelincahan diperlukan untuk menunjang keterampilan dalam olahraga sepak bola. Kecepatan dan kelincahan sangat dibutuhkan oleh seseorang pemain sepak bola dalam menghadapi situasi tertentu dan kondisi pertandingan yang menuntut unsur kecepatan, kelincahan, kekuatan otot tungkai, dan daya tahan dalam bergerak untuk menguasai bola maupun dalam bertahan menghindari benturan yang mungkin terjadi. Bagi seorang pemain sepakbola situasi yang berbeda-beda selalu dihadapi dalam setiap pertandingan, juga seorang pemain sepak bola menghendaki gerakan yang indah dan cepat sering dilakukan unsur kecepatan dan kelincahanlah yang sangat ditentukan untuk gerakan tersebut (Ardona, 2014). 2.1.3
Mekanisme dan Fisiologi Kelincahan Kelincahan
merupakan
salah
satu
komponen
biomotorik
yang
didefinisikan sebagai kemampuan mengubah arah secara efektif dan cepat. Kelincahan terjadi karena gerakan tenaga eksplosif (Ruslan, 2012). Kelincahan
12
juga merupakan kombinasi antara power dengan flexibility. Besarnya tenaga ditentukan oleh kekuatan dari kontraksi serabut otot. Kecepatan otot tergantung dari kekuatan dan kontraksi serabut otot. Kecepatan kontraksi otot tergantung dari daya rekat serabut-serabut otot dan kecepatan transmisi impuls saraf. Seseorang yang mampu mengubah arah dari posisi ke posisi yang berbeda dalam kecepatan tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti kelincahannya cukup tinggi. Elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat otot dapat memendek atau berkontraksi. Dengan diberikan pelatihan, otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakangerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Dengan meningkatnya komponen-komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan (Pratama et al., 2014). Pelatihan fisik yang teratur akan menyebabkan terjadinya hipertropi fisiologi otot, yang dikarenakan jumlah miofibril, ukuran miofibril, kepadatan pembuluh darah kapiler, saraf tendon dan ligamen, dan jumlah total kontraktil terutama protein kontraktil myosin meningkat secara proposional. Perubahan pada serabut otot tidak semuanya terjadi pada tingkat yang sama, peningkatan yang lebih besar terjadi pada serabut otot putih (fast twitch) sehingga terjadi
13
peningkatan kecepatan kontraksi otot. Sehingga meningkatnya ukuran serabut otot yang pada akhirnya akan meningkatkan kecepatan kontraksi otot sehingga menyebabkan peningkatan kelincahan (Womsiwor, 2014). Selain itu, terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005). Pemberian pelatihan fisik secara teratur dan terukur dengan takaran dan waktu yang cukup, akan menyebabkan perubahan fisiologis yang mengarah pada kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan fisik. Jenis pelatihan fisik yang diberikan secara cepat dan kuat, akan memberikan perubahan yang meliputi peningkatan subtrak anareobik seperti ATP-PC, kreatin dan glikogen serta peningkatan pada jumlah dan aktivitas enzim (McArdle, 2010). Jadi, telah dibuktikan secara teoritis bahwa dengan dilakukan pelatihan fisik maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki. 2.1.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelincahan Faktor yang mempengaruhi kelincahan dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik, tipe tubuh, umur, jenis kelamin, berat badan, kelelahan, motivasi sedangkan faktor eksternal terdiri dari, suhu dan kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, ketinggian tempat, lingkungan sosial. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut:
14
1. Faktor Internal a) Genetik Genetik
manusia,
unit
yang
kecil
yang
tersusun
atas
sekuen
Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam menentukan hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu. Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013). b) Umur Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, di mana kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan daya ledak. Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000). Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak kekuatan otot pada usia 20-30 tahun. Kemudian di atas umur tersebut mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20% dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).
15
c) Tipe Tubuh Tipe tubuh umumnya diklasifikasikan berdasarkan tiga konsep utama atau dimensi-dimensi tipe tubuh, yakni: muscularity, linearity, dan fatness. Tiga komponen tersebut diistilahkan berturut-turut sebagai: mesomorf, ectomorf, dan endomorph. Tipe tubuh merupakan kapasitas fisik umum dan hanya sebagai satu indikasi kecocokan seorang atlet dengan prestasi yang tinggi. berat badan dan tipe memainkan peranan penting dalam pemilihan cabang olahraga tertentu. Orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi ramping (ectomorf) cenderung kurang lincah seperti halnya orang yang bentuk tubuhnya bundar (endomorf). Sebaliknya, orang yang bertubuh sedang namun memiliki perototan yang baik (mesomorf) cenderung memiliki kelincahan yang lebih baik (Jensen & Fisher, 979). Secara khusus oleh Craig yang sependapat dengan Bloomfield (dalam Pyke, 1991) menyatakan bahwa atlet atletik yang bertipe ectomesomorf cenderung lebih lincah dibanding yang bertipe endomesomorf. d) Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Rumus menghitung IMT adalah, IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2 (Arga, 2008). IMT normal sebesar 18,5-22,9 kg/m2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan
16
performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan), balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga, 2008). e) Jenis Kelamin Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011). f) Kelelahan Kelelahan dapat mengurangi kelincahan. Karena itu, penting memelihara daya tahan jantung dan daya tahan otot, agar kelelahan tidak mudah timbul. g) Motivasi Motivasi olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif) di dalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan dicapai hasil latihan maksimal.
17
2. Faktor Eksternal a) Suhu dan Kelembaban Relatif Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95%. b) Arah dan kecepatan angin Arah dan kecepatan angin berpengaruh karena pelatihan berlangsung di lapangan terbuka. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Kanginan, 2000). Dalam penelitian ini, arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat
ditekan sekecil-kecilnya atau tempat
pengambilan data berada pada kondisi yang sama atau satu tempat. c) Ketinggian tempat Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi penurunan percepatan
gravitasi
sebesar 0,3 cm/dtk.
Hal
ini akan
mempengaruhi penampilan atlet. Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar (Shepard, 1978).
18
d) Lingkungan Sosial Faktor lingkungan sosial sekitar juga berpengaruh dalam pembentukan kebiasaan hidup aktif. Komponen utama dalam lingkungan sosial ini adalah orang tua dan saudara kandung. Orang tua mempengaruhi anak dalam membuat keputusan. Demikian juga dalam kegiatan berolahraga atau menjalankan aktivitas jasmani. Selain memberikan dorongan, orang tua juga bisa tampil sebagai model dari anak-anaknya. Pelatih olahraga pada khususnya merupakan salah satu kekuatan inti dalam pembentukan sikap dan kebiasaan hidup aktif. Pelatih yang rajin dan memperlihatkan semangat akan memancarkan pengaruh kepada para siswanya. Media massa merupakan sumber kekuatan yang tersembunyi, namun juga efektif dalam mempengaruhi kesadaran dan sikap. e) Pelatihan Pelatihan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kelincahan. Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002).
19
Selain faktor internal dan eksternal di atas komponen biomotorik kelincahan juga dipengaruhi oleh berbagai unsur. Kelincahan termasuk suatu gerak yang rumit, di mana dalam kelincahan unsur-unsur yang lain seperti keseimbangan, kelentukan (flexibility), kecepatan (speed), koordinasi. Keseimbangan
sendiri
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mempertahankan posisi tubuh baik dalam kondisi statik maupun dinamik. Dalam keseimbangan ini yang perlu diperhatikan adalah waktu refleks, waktu reaksi, dan kecepatan bergerak. Dan biasanya latihan keseimbangan dilakukan bersama dengan latihan kelincahan dan kecepatan, bahkan kelentukan. Keseimbangan dapat dibagi menjadi dua yaitu keseimbangan statis adalah mempertahankan sikap pada posisi diam di tempat. Ruang geraknya biasanya sangat kecil, seperti berdiri di atas alas yang sempit. Sedangkan keseimbangan dinamis adalah kemampuan seseorang untuk mempertahankan posisi tubuhnya pada waktu bergerak. Seperti sepatu roda, ski air, dan olahraga sejenisnya. Kedua keseimbangan ini diperlukan dalam hal olahraga sepak bola. Kelentukan adalah kemampuan seseorang untuk dapat melakukan gerak dengan ruang gerak seluas-luasnya dalam persendiannya. Faktor utamanya yaitu bentuk sendi, elastisitas otot, dan ligamen. Ciri-ciri latihan kelentukan adalah : meregang persendian, mengulur sekelompok otot. Kelentukan ini sangat diperlukan oleh setiap atlet agar mereka mudah untuk mempelajari berbagai gerak,
meningkatkan
keterampilan,
mengurangi
resiko
cedera,
dan
mengoptimalkan kekuatan, kecepatan, dan koordinasi. Kelentukan dapat
20
dikembangkan melalui latihan peregangan (stretching) yaitu peregangan dinamik dan peregangan statik. Menurut Dick (1989) kecepatan adalah kapasitas gerak dari anggota tubuh atau bagian dari sistem pengungkit tubuh atau kecepatan pergerakan dari seluruh tubuh yang dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Terdapat dua tipe kecepatan yaitu kecepatan reaksi adalah kapasitas awal pergerakan tubuh untuk menerima rangsangan secara tiba-tiba atau cepat, dan kecepatan bergerak adalah kecepatan berkontraksi dari beberapa otot untuk menggerakan anggota tubuh secara cepat. Dari kedua tipe kecepatan tipe di atas, tipe yang kedualah yang lebih diperlukan dalam kelincahan. Koordinasi adalah suatu kemampuan biomotorik yang sangat kompleks (Harsono, 1988). Menurut Bompa (1994) koordinasi erat kaitannya dengan kecepatan, kekuatan, daya tahan, dan kelentukan. Oleh karena itu, bentuk latihan koordinasi harus dirancang dan disesuaikan dengan unsur-unsur kecepatan, kekuatan, daya tahan, kelincahan dan kelentukan. 2.1.5
Usia Pelatihan Kelincahan Kelompok usia yang baik untuk melatih kelincahan adalah kelompok usia
10-12 tahun. Rentang usia ini bisa dikatakan merupakan usia emas untuk belajar (golden age of learning). Berbagai materi latihan akan mudah sekali diingat oleh kelompok usia ini. Keberanian juga lebih berkembang hal ini baik terjadi pada anak laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan karena itu harus dibimbing untuk mengembangkan kekuatan badan bagian atas yang sangat berguna untuk memelihara berat badannya. Pada rentang usia ini adalah suatu masa dimana
21
anak-anak mengalami keseimbangan antara pertumbuhan jasmani dengan perkembangan psikologisnya. Itulah sebabnya masa ini sering disebut sebagai “usia harmonis” dan “usia emas” untuk belajar. Pada masa ini aktivitas olahraga sangat dianjurkan bagi anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, pertumbuhan dan koordinasi yang terus berlanjut akan mengalami penyempurnaan pada usia – usia tersebut tetapi yang
benar-benar
menonjol
adalah
perkembangan
keseimbangan
dan
keterampilan terutama dalam melakukan olahraga atletik (Ganesha Putera, 2010). 2.1.6
Pengukuran Kelincahan Kelincahan merupakan suatu kecepatan reaksi seseorang untuk merubah
arah gerakan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan, keseimbangan dan koordinasi. Untuk mengukur komponen kelincahan dilakukan pengukuran terhadap kecepatan lari hingga ke tempat semula. Dalam penelitian ini digunakan shuttle run test yang merupakan tes dengan cara lari cepat bolak balik sejauh 10 meter sebanyak 5 kali, dan dicatat waktu tempuhnya ke tempat semula dalam detik (Nala, 2011). Jarak antara kedua titik dipilih 10 meter agar jarak tidak terlalu jauh karena ada kemungkinan setelah lari beberapa kali bolak balik dia tidak mampu lagi untuk melanjutkan larinya, dan atau membalikkan badannya dengan cepat disebabkan karena faktor kelelahan. Dan kalau kelelahan mempengaruhi kecepatan larinya. Jumlah ulangan atau repetisi lari bolak balik jangan terlalu banyak sehingga menyebabkan atlet lelah. Jika repetisi terlalu banyak maka menyebabkan seperti diatas. Faktor kelelahan akan mempengaruhi waktu tempuh dari shuttle run test tersebut (Harsono, 1988).
22
Gambar 2.1 Shuttle run test (Gilang, 2007) 2.2
Kajian Anatomi dan Fisiologi
2.2.1
Anatomi Otot Tungkai Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan
kontribusi terhadap kelincahan. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah: 1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris) Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot, yaitu:
23
Gambar 2.2 Grup otot quadriceps femoris (Watson, 2002) a) Otot Rectus Femoris Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di cranialis acetabulum (caput obliquum) dan mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan perantaran ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1 (Watson, 2002). b) Otot Vastus Lateralis Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002). c) Otot Vastus Medial Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan termasuk otot tipe II (Watson, 2002).
24
d) Otot Vastus Intermedius Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga merupakan otot tipe II (Watson, 2002). 2. Grup Otot Fleksor Knee dan Ekstensor Hip (Hamstring) Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:
Gambar 2.3 Grup otot hamstring (Watson, 2002)
a) Otot Biceps Femoris Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson, 2002).
25
b) Otot Semitendinosus Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximal tibia (Watson, 2002). c) Otot Semimembranosus Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002). 3. Grup Otot Plantar Fleksor Ankle
Gambar 2.4 Grup otot plantar fleksor ankle (Watson, 2002) a) Otot Gastrocnemius Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf. Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang ke bawah
26
pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu di bawah membentuk tendon yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2002). b) Otot Soleus Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam gastrocnemius, kecuali di sepanjang aspek lateral dari ½ bawah calf, di mana bagian lateral soleus terletak pada bagian atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut slow-twitch (Hamilton, 2002). 4. Group Otot Dorsi Fleksor Ankle
Gambar 2.5 Grup otot dorsi fleksor ankle (Watson, 2002) a) Tibialis Anterior Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar ½ sampai 2/3 ke bawah tungkai otot ini menjadi tendinous. Tendon berjalan di depan malleolus medial sampai pada cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsi fleksi ankle dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki
27
dorsi fleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½ orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2002). b) Extensor Digitorum Longus Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan lateral dari extensor hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat di depan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002). c) Extensor Hallucis Longus Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam tibialis anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar ½ bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki (Hamilton, 2012). Selain otot tungkai, otot yang berperan dalam gerakan kelincahan adalah otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus, Otot-otot ini berperan sebagai pembentuk bokong.
28
a. Gluteus maximus Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium membentuk perineum. Fungsinya, antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga bagian belakang tubuh tetap tegap, atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke posisi yang tepat.
Gambar 2.6 otot gluteus maximus (Watson, 2002) b. Gluteus medius dan minimus Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus maksimus. Fungsinya, abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian medius eksorotasi femur.
29
Gambar 2.7 otot gluteus medius dan minimus (Watson, 2002) 2.2.2
Fisiologi Otot Rangka Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: contractility
yaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang (otot polos 1/6 kali; otot rangka 1/10 kali). Exstensibility (distensibility) yaitu kemampuan otot untuk memanjang bila otot ditarik atau ada gaya yang bekerja pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban. Elasticity yaitu kemampuan otot untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah mengalami exstensibility atau distensibility (memanjang) atau contractility (memendek). Exsitability electric yaitu kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dengan memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan potensi (Tortora dan Derrickson, 2009). Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Dengan latihan yang teratur, akan memberikan beberapa efek positif terhadap otot, bahkan perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang
30
memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada otot (Wiarto, 2013). 2.3 2.3.1
Pelatihan Pengertian Pelatihan Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem
organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Menurut Bompa (1990), pelatihan merupakan suatu proses sistematis dari pengulangan, suatu kinerja progresif yang juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan memperbaiki sistem dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal, secara fisiologis pelatihan fisik merupakan suatu proses pembentukan reflex bersyarat, proses belajar bergerak serta menghafal gerak. Kata kunci yang harus dipahami yaitu pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual: (1) sistematis adalah cara atau metode pelatihan terencana secara detail; (2) repetitif adalah suatu gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali; (3) durasi adalah lamanya aktivitas pelatihan (termasuk istirahat) yang harus dilakukan dalam satu sesi atau sekali pelatihan; (4) progresif adalah peningkatan atau penambahan beban pelatihan yang dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pemberian beban yang ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet atau dimulai dengan pelatihan yang mudah (sederhana) kemudian secara bertahap diberikan pelatihan yang semakin berat (pelatihan yang semakin sulit).
31
Pemberian beban pelatihan tidak dapat disamaratakan untuk setiap atlet, walaupun
mereka
dalam
satu
regu
cabang
olahraga
(Nala,
1998).
Secara garis besar pelatihan dapat dibagi atas : (1) Pelatihan fisik (physical training); (2) Pelatihan teknik (technical training); (3) Pelatihan taktik atau strategi (tactical training); (4) Pelatihan mental atau psikis termasuk rohani (psychological training) (Nala, 2002). 2.3.2
Tujuan Pelatihan Pelatihan fisik adalah suatu aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis
dalam jangka waktu yang lama secara individual dengan kian lama kian bertambah bebannya. Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002). Perkembangan kondisi fisik secara menyeluruh sangatlah penting, oleh karena tanpa kondisi fisik yang baik tidak akan dapat mengikuti pelatihan dengan optimal. Dalam olahraga, pelatihan fisik diarahkan untuk meningkatkan komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikian pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan fungsi kerja faal tubuh dan keterampilan kerja. Tujuan pelatihan fisik meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan pelatihan jangka panjang adalah agar tercapainya status juara, sedangkan tujuan pelatihan jangka pendek berisi aspek yang terkait dengan kinerja olahraga seperti peningkatan kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, reaksi, kelincahan dan sebagainya termasuk keterampilan (Nossek, 1982).
32
Pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik dan penyesuaian diri terhadap pembebanan sehingga dicapai kinerja yang tinggi. Hal ini juga didukung oleh pendapat Nossek (1982) yang mengatakan bahwa pelatihan fisik bertujuan untuk peningkatan kesiapan dan kapasitas kinerja olahragawan. Tujuan pelatihan fisik adalah untuk memperbaiki sistem dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal (Bompa, 1990). Tujuan utama pelatihan fisik adalah untuk membantu memaksimalkan peningkatan keterampilan dan prestasi atlet (Harsono, 1996). 2.3.3
Prinsip Pelatihan Latihan fisik pada hakikatnya merupakan pemberian tahanan pada tubuh
secara teratur, sistematis, berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kinerja, oleh karena itu perlu dipahami prinsip-prinsip latihan (Brooks, 1984). Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut pendapat beberapa ahli bahwa prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah: a) Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip latihan ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh harus mendapat beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari. Beban yang diterima bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban sampai mendekati maksimal.
33
b) Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet. c) Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu : pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang kecil. d) Prinsip kekhususan (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan tersebut meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan harus sesuai dengan keterampilan khusus. e) Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja serta perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu dan kekhususan organisme. f) Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari latihan akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu, demikian harus berkesinambungan. g) Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang, hal ini sering menimbulkan kebosanan.
34
Untuk mengatasinya
pelatih
harus
mampu
menciptakan
suasana
yang
menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan. Dalam melakukan pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu sebelum melakukan pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa gerakan-gerakan ringan selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot (Nala,1986). Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat fisiologis yang telah secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan menghasilkan penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang sebelum pertandingan
dengan
intensitas
yang
lebih
tinggi.
Pemanasan
sangat
menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu otot memungkinkan otot berkontraksi dan mengendor lebih. Pemanasan juga mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan menaikkan volume oksigen sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada permulaan latihan keras, lagi pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko cedera tendon dan otot. Pemanasan atau warming up sangat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Sistema tubuh pada waktu istirahat berada dalam keadaan inersia atau tidak begitu aktif (Nala, 2002). Dalam penelitian ini yaitu olahraga sepak bola, dilakukan pemanasan selama kurang lebih 10 menit, untuk meningkatkan suhu dan aliran darah ke seluruh otot lurik terutama otot-otot pada anggota gerak bawah sehingga memungkinkan unit motorik otot tungkai mempersiapkan fungsinya.
35
Untuk mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu dilakukan pendingan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi kegiatan yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar kembali ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah otot terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan kaki lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit, atau hingga denyut jantung kembali normal (Lutan, 2002). Arti fisiologis yang dapat ditelusuri dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya. Dengan tersingkirnya sampah-sampah sisa olahdaya, maka rasa pegal setelah olahraga dapat dicegah atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan pendinginan yang pada hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri sendiri (Giriwijoyo, 1992). Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah selesai melakukan pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran darah sentral. Selain itu, berfungsi juga untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah. Latihan pendinginan dalam penelitian ini dilakukan kurang lebih 10 menit. Kegiatan yang dilakukan dalam latihan penutupan ini adalah berjalan kaki lamban
36
selama 3 menit, duduk sambil melakukan peregangan statis dan pelemasan terutama pada anggota gerak tubuh bagian bawah selama 7 menit. 2.4
Hexagon Drill
2.4.1 Pengertian Hexagon Drill Hexagon drill merupakan suatu macam latihan kelincahan yang dilakukan dengan menggunakan bentuk segi delapan. Tujuan latihan hexagon drill adalah untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan dan kelincahan otot tungkai. Latihan ini adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respons dari pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat (Lubis, 2005). Latihan hexagon drill yang dijalankan menimbulkan perubahan-perubahan dalam tubuh yang bersifat fisiologis, juga menimbulkan akumulasi nilai dari manfaat latihan sehingga akan meningkatkan “dayakarsa” untuk mengikuti latihan. Perubahan fisiologis yang terjadi akibat latihan ditandai dengan meningkatnya fungsi organ tubuh dan otot, yang pada gilirannya akan memberikan efisiensi gerak bagi pelakunya. Perubahan terjadi pada tingkat jaringan otot akibat latihan yang bersifat anaerobik meliputi: (1) peningkatan sistem ATP-PC seiring dengan meningkatnya cadangan ATP-PC, (2) peningkatan cadangan glukosa dan enzim-enzim glikolitik, (3) meningkatnya kecepatan kontraksi otot, (4) hipertropi pada serabut-serabut otot cepat, (5) meningkatnya densitas kapiler per serabut otot, (6) meningkatnya kekuatan tendon dan ligamen, (7) meningkatkan kemampuan rekruitmen motor unit, dan (8) meningkatnya berat tubuh tanpa lemak (Davis et al., 1989). Perubahan fisiologis yang lain adalah
37
perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur saraf motorik. Oleh Fox (1934) dinyatakan bahwa kebanyakan riset fisiologis dari latihan terfokuskan pada perubahan-perubahan dalam otot skelet, namun demikian beberapa riset yang memusatkan perhatiannya pada neuromuscular junction dan motoneuron tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, karena ditemukan bahwa kedua struktur saraf ini menunjukkan perubahan sebagai akibat hasil latihan. Perubahanperubahan ini termasuk adaptasi seluler dalam strukturnya, modifikasi-modifikasi dari transmisi dan perubahan kecepatan reflek, bahan kimia, respon biokimia dan yang terakhir dalam motoneuron itu sendiri. Pelatihan hexagon drill ini menyebabkan perubahan dalam sistem saraf yang membuat seseorang lebih baik dalam kontrol koordinasi aktivasi kelompok ototnya, dengan demikian kelincahan dan powernya menjadi lebih tinggi. Kemungkinan terjadinya peningkatan, kelincahan dan berkaitan dengan “adaptasi saraf” (Sale, 1992). Perbaikan kontrol motorik dan peningkatan eksplosif nampaknya berkaitan dengan latihan tipe ini, yang memiliki kaitan langsung dengan perubahan susunan saraf otot dan jalur sensor motorik yang kompleks (Radcliffe&Farentinos, 1985). Menurut Sale (1986) mekanisme “adaptasi saraf” yang terjadi akibat latihan menyebabkan meningkatnya gaya kontraksi otot yang disadari
(MVC)
secara
langsung.
Peningkatan
tersebut
terjadi
karena
meningkatnya aktivasi otot-otot penggerak utama. Peningkatan aktivasi reflex otot-otot penggerak utama merupakan peningkatan eksitasi jaringan motoneuron, yang pada gilirannya dapat menghasilkan peningkatan masukan eksitatori, mengurangi masukan inhibitori
38
atau kedua-duanya. Implikasinya pada atlet yang tidak terlatih tidak dapat mengaktifkan otot-ototnya secara maksimal dalam kondisi normal. Secara fungsional simpanan energinya tidak dapat segera digunakan, meskipun diduga sebagai usaha maksimal yang disadari. Gerakan tolakan seperti yang lerjadi pada latihan hexagon drill lebih memungkinkan terjadinya kelelahan. Kelelahan mempunyai pengaruh menurunkan komponen-komponen kelincahan, terutama hilangnya koordinasi (Jensen & Fisher,1979). Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan pelatihan hexagon drill akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 0,92 detik dari sebelum melakukan pelatihan. 2.4.2
Aplikasi Hexagon Drill Prosedur pelaksanaan hexagon drill untuk meningkatkan kelincahan
sebagai berikut : a. Cones
disusun
hingga
berbentuk
segi
delapan
dengan
menggunakan 8 buah cones dengan jarak 1 meter. b. Peserta berdiri di tengah-tengah segi delapan tersebut. c. Setelah diberi aba-aba, peserta melompat ke satu titik, kemudian kembali ke tengah dan melompat ke titik yang lain.
39
Gambar 2.8 Latihan hexagon drill (Gilang, 2007) 2.5 2.5.1
Zig-Zag Run Pengertian Zig-Zag Run Zig-zag run adalah suatu macam bentuk latihan yang dilakukan dengan
gerakan berkelok-kelok melewati rambu-rambu yang telah disiapkan, dengan tujuan untuk melatih kemampuan berubah arah dengan cepat. Tujuan latihan lari zig-zag adalah untuk menguasai keterampilan lari, menghindar dari berbagai halangan baik orang maupun benda yang ada di sekeliling (Saputra, 2002). Sesuai dengan tujuannya lari zig-zag dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Latihan lari zig-zag untuk mengukur kelincahan seseorang 2) Latihan lari zig-zag untuk merubah arah gerak tubuh atau bagian tubuh. Menurut Harsono (1988) keuntungan dan kerugian zig-zag run, yaitu: 1) Keuntungan: a) Kemungkinan cidera lebih kecil karena sudut ketajaman berbelok arah lebih kecil (45 dan 90 derajat). b) Banyak membutuhkan koordinasi gerak tubuh, sehingga mempermudah dalam tes kelincahan dribbling
40
2) Kerugian: a) Secara psikis arah lari perlu pengingatan lebih. b) Atlet tidak terbiasa dengan ketajaman sudut lari yang besar sehingga pada saat melakukan tes kelincahan dribbling atlet menganggap sudut lari tes kelincahan dribbling lebih sulit. Akibatnya atlet konsentrasinya terpusat pada arah belok dan bukan pada kecepatan larinya. Dalam pelatihan zig zag run ini melibatkan otot tungkai untuk bisa menyelesaikan semua beban yang diberikan pada saat pelatihan. Gerakan yang dilakukan dalam pelatihan ini berlari kedepan dan berbelak-belok dengan secepatnya sehingga pergerakan yang dilakukan tidak semata-mata menekankan pada gerakan tungkai. Setiap kerja yang dilakukan oleh tubuh merupakan kontraksi yang terjadi pada otot. Dalam setiap pelatihan, tubuh selalu memberikan respon dan dalam jangka waktu tertentu tubuh akan mulai beradaptasi dengan pelatihan yang diberikan. Pelatihan zig zag run ini akan membuat otot mengalami kontraksi sebagai bentuk respon terhadap beban yang diberikan. Sebagi efek dari diberikan pelatihan adalah adanya perubahan sebagai bentuk adaptasi dari tubuh terhadap pelatihan yang diberikan berupa peningkatan kemampuan kerja otot. Dengan diberikan pelatihan yang sesuai dengan prinsip pelatihan nantinya akan memberikan pengaruh secara fisiologis bagi otot khususnya otot tungkai dan dengan perubahan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan kecepatan dan kelincahan. (Nala, 1998).
41
Dengan diberikan pelatihan zig-zag run maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki. Kekuatan merupakan kemampuan neuromuskuler untuk mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam. Akan terjadi penigkatan kemampuan dan respon fisiologis pada pelatihan ini yaitu terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan adaptasi persyarafan. Terjadinya hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya jumlah myofibril pada setiap serabut otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada serabut otot dan meningkatnya jumlah serabut otot. Terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005). Kecepatan sebagai hasil perpanduan dari panjang ayunan tungkai dan jumlah langkah. Fleksibilitas merupakan kemampuan persendian untuk bergerak dalam ruang gerak sendi secara maksimal dan elastisitas merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan berelaksasi secara maksimal. Dengan diberikan pelatihan zig-zag run otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur sehigga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Otot-otot sinergis berkontraksi lebih tepat, dan meningkatnya inhibisi otot-otot antagonis. Dengan meningkatnya komponenkomponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan.
42
Menurut Hanafi (2010) elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat ia dapat memendek atau berkontraksi. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang. Kelincahan kaki merupakan hal yang sangat penting, sebab pemain tersebut akan dapat dengan mudah untuk mengontrol keadaannya disaat melakukan teknikteknik saat mengontrol bola. Kecepatan reaksi secara fisiologis ditentukan oleh tingkat kemampuan penerima rangsang penghantaran stimulus ke sistem syaraf pusat,
penyampaian
stimulus
melalui
syaraf
sampai
terjadinya
sinyal,
penghantaran sinyal dari sistem syaraf pusat ke otot, dan kepekaan otot menerima rangsang untuk menjawab dalam bentuk gerak (Sukadiyanto, 2005). Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mereaksi stimulus maka semakin baik kecepatan reaksinya. Waktu yang diperlukan untuk mereaksi stimulus akan menjadi semakin singkat karena terlatihnya kepekaan saraf sensorik dalam menghantarkan stimulus ke otak dan terlatihnya saraf motorik dalam menghantarkan perintah/sinyal dari otok ke otot. Dengan meningkatnya komponen kemampuan fisiologis tersebut maka akan menyebabkan peningkatan pada kecepatan reaksi. Secara singkat perjalanan mulai dari ada rangsangan sampai timbul reaksi secara anatomis fisiologis adalah (1) dimulai dari munculnya rangsangan yang diterima oleh reseptor, (2) dan reseptor rangsangan ini di alirkan melalui saraf eferen sensorik menuju ke sistem saraf pusat (otak), (3) perpindahan rangsangan dari saraf eferen ke sistem saraf pusat dan menghasilkan tanda isyarat yang akan
43
dikirim kepada efektor, (4) menjalarnya tanda isyarat ini dari sistem saraf pusat melalui syaraf eferen motorik menuju ke otot skeletal (efektor), (5) rangsangan isyarat ini pada otot skeletal menimbulkan kontraksi, gerakan, aktivitas fisik atau kerja. Makin cepat atau pendek jalan yang ditempuh oleh rangsangan sejak dan adanya rangsangan pada reseptor sampai timbulnya reaksi dan otot, akan semakin baik waktu reaksinya (Hanafi, 2010). Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan pelatihan zig-zag run akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 1,24 detik dari sebelum melakukan pelatihan. 2.5.2
Aplikasi Zig-Zag Run Prosedur pelaksanaan zig-zag run untuk meningkatkan kelincahan sebagai
berikut : a. Cones disusun berbentuk garis zig-zag dengan jarak antar titik 2 meter. b. Peserta berdiri di belakang garis start. c. Setelah ada aba-aba “ya” peserta berlari secepat mungkin mengikuti arah/cones yang telah disusun secara zig- zag sesuai dengan diagram sampai batas finish.
44
Gambar 2.9 Latihan zig-zag run (Gilang, 2007) 2.6
Takaran Pelatihan Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa
adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011). 1. Intensitas Intensitas pada latihan hexagon drill dan zig-zag run merupakan ukuran terhadap aktivitas yang dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Kualitas suatu intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu aktivitas ditentukan oleh besar kecilnya persentase (%) dari kemampuan maksimalnya. dalam takaran pelatihan kelincahan intensitas yang digunakan adalah intensitas sub-maksimum sampai maksimum. Intensitas tersebut diukur berdasarkan posisi, jarak, dan jumlah tiang yang digunakan (Nala, 2011). Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan intern dari siswa-siswa SSB Guntur, maka dalam penelitian ini banyaknya tiang yang digunakan sebanyak 5
45
buah dengan jarak setiap tiang sejauh 2 meter. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kelelahan terhadap pemain tetapi pelatihan yang dilakukan tetap memberikan efek (Nala, 2011). 2. Volume Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah repetisi dan set. Dalam penelitian ini volume yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Repetisi Repetisi merupakan pengulangan yang dilakukan tiap set pelatihan. Untuk latihan kelincahan repetisi yang digunakan adalah 1-3 kali, tetapi untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal repetisi yang sebaiknya digunakan adalah 3 repetisi untuk tiap set (Nala, 2011). b) Set Set adalah satu rangkaian dari repetisi (Nala, 1987). Untuk latihan kelincahan set yang dianjurkan adalah 3-5 kali, untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal set yang sebaiknya digunakan adalah 5 set (Nala, 2011). c) Istirahat Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kelincahan. Waktu istirahat yang
46
dianjurkan adalah selama 1-3 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat (Nala, 2011). 3. Frekuensi Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan per-minggu. Dalam pelatihan kelincahan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1996) Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan terkait intern Sekolah Sepak Bola Guntur Denpasar, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik atlet akan kembali ke keadaan semula (Nala, 1998). Latihan ini dilaksanakan 4 minggu agar mengasilkan efek yang optimal.
8