perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Arends (2008:17) menyatakan bahwa belajar merupakan sebuah aktivitas sosial dimana siswa membangun makna yang dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan dari pembelajaran yang baru dimana belajar bukan merupakan aktivitas pasif siswa untuk menerima informasi dari guru tetapi siswa aktif membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman dan diskusi. Ausubel (1963) mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi. Pertama, menyangkut cara penyajian materi yang diterima oleh siswa. Melalui dimensi ini, siswa memperoleh materi/ informasi pelajaran dengan penerimaan dan penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengasimilasi materi/ informasi pelajaran dengan penerimaan dan penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Menurut teori konstruktivisme dalam Pritchard dan Wood (2010:19) belajar merupakan upaya pembangunan pengetahuan oleh siswa dengan mengakumulasi informasi dan menginterpretasikannya dalam relasi dari pengalaman sebelumnya. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan sebuah aktivitas sosial yang melibatkan kegiatan aktif siswa dalam membangun konsep dengan mengaitkan pengetahuan yang pernah dipelajari dengan pengetahuan yang baru.
2. Tahapan Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Piaget (1896) dalam Slavin (2006:34) mengungkapkan bahwa belajar terjadi dalam empat tahap, yaitu:
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
a.
9 digilib.uns.ac.id
Tahap sensori-motor (0-2 tahun). Bayi mengenal dunianya melalui tindakan dan informasi inderawi. Dalam tahap ini, kapasitas untuk membentuk representasi mental internal muncul.
b.
Tahap pra-operasional (2-7 tahun). Pada tahap ini anak mengambil langkah pertama dari bertindak ke berpikir dengan cara menginternalisasikan tindakan. Hal tersebut ditandai dengan kemampuan anak berpikir secara simbolis. Inovasi lain yang mulai terjadi adalah kemampuan memahami percakapan.
c.
Tahap operasional konkret (7-12 tahun). Karakteristik dasar pada tahap ini adalah: (a) kesadaran mengenai stabilitas logis dunia fisik; (b) kesadaran bahwa elemen-elemen dapat diubah atau ditransformasikan tetapi tetap mempertahankan karakteristik aslinya; dan (c) pemahaman bahwa perubahanperubahan itu dapat dibalik. Operasi penting lain yang dikuasai di tahap ini adalah classification (klasifikasi). Klasifikasi bergantung pada kemampuan anak untuk memfokuskan perhatiannya pada karakteristik objek-objek dan kemudian mengelompokkan objek-objek tersebut menurut karakteristiknya.
d.
Tahap operasional formal (12+). Pada tahap ini, siswa sudah mampu melihat bahwa situasi riil dan benar-benar dialaminya hanyalah salah satu di antara beberapa kemungkinan situasi.
2. Pembelajaran Matematika Pembelajaran menurut Slavin (2006:166) adalah proses aktif yang berfokus pada informasi penting, memperjelas informasi yang tidak penting, dan menggunakan informasi yang telah dimiliki untuk menentukan suatu konsep. Ausubel (1963) dalam Slavin (2006:190) menyatakan pembelajaran yang bermakna bukan hanya belajar sesuka hati tetapi menghubungkan informasi yang baru dengan informasi atau konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Sedangkan Bergstrom dan O’Brief (2001) dalam Slavin (2006:246) menyatakan bahwa pembelajaran menurut pendekatan konstruktivisme dimana siswa berusaha menemukan prinsip-prinsip pembelajaran dengan dirinya sendiri dan dalam commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembelajaran ini siswa berusaha belajar lebih luas melalui lingkungan yang aktif dengan konsep dan prinsip, dan guru menfasilitasi siswa untuk bereksperimen dan mengkonduksikan pengalaman yang menfasilitasi siswa untuk menemukan prinsip-prinsip pembelajaran. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan proses aktif siswa dalam membangun konsep matematikanya sendiri dan guru berperan sebagai fasilitator. Pada implementasi pembelajaran matematika di sekolah, guru harus memahami hakikat matematika sekolah. Ebutt dan Straker (1995) dalam Marsigit (2003) mendefinisikan hakikat matematika sekolah sebagai berikut: a.
Matematika merupakan penelusuran pola dan hubungan, hal yang termasuk dalam definisi ini adalah memberikan kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan; memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara; mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dsb; mendorong siswa menarik kesimpulan umum; membantu siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya
b.
Matematika merupakan kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, hal yang termasuk dalam definisi ini adalah mendorong inisaitif dan memberikan kesempatan berpikir berbeda; mendorong rasa ingin tahu, keinginan
bertanya,
kemampuan
menyanggah,
dan
kemampuan
memperkirakan; menghargai penemuan yang di luar perkiraan sebagai hal yang bermanfaat daripada menganggapnya sebagai kesalahan; mendorong siswa menemukan struktur dan desain matematika; mendorong siswa menghargai penemuan siswa yang lainnya; mendorong siswa berpikir refleksif; dan tidak menyarankan hanya menggunakan satu metode saja c.
Matematika merupakan kegiatan pemecahan masalah (problem solving), hal yang termasuk dalam definisi ini adalah menyediakan lingkungan belajar commit to user matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika; membantu
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan cara mereka sendiri; membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika; mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten sistematis,
dan
mengembangkan
mengembangkan kemampuan
dan
sistem
dokumentai
keterampilan
atau
untuk
catatan;
memecahkan
persoalan; membantu siswa untuk mengetahui kapan dan bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/ media pendidikan matematika d.
Matematika merupakan alat berkomunikasi, hal yang termasuk dalam definisi ini adalah mendorong siswa mengenal sifat matematika; mendorong siswa membuat contoh sifat matematika; mendorong siswa memberikan alasan perlunya kegiatan matematika; mendorong siswa membicarakan persoalan matematika; mendorong siswa membaca dan menulis matematika; dan menghargai bahasa ibu siswa dalam membicarakan matematika Karakteristik siswa belajar matematika di sekolah yang wajib dibangun
oleh guru adalah motivasi, karakteristik, dan fungsi sosial. Motivasi merupakan sebuah tindakan yang kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan sikap secara umum terhadap suatu pelajaran. Karakteristik merupakan suatu lapisan dari partisipasi suatu kegiatan dimana pengalaman guru dan interpretasi sosial siswa saling menguntungkan. Sedangkan fungsi sosial menurut penelitian yang dilakukan oleh Stenberg (1985) dalam Pritchard dan Wood (2010) menghasilkan suatu simpulan bahwa kecerdasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksesan dalam praktek kehidupan. Apabila uraian di atas digabungkan, maka dalam pembelajaran matematika di sekolah guru harus menggunakan paham konstruktivisme. Pritchard dan Wood (2010:45) menyatakan konstruktivisme sebagai berikut: Pengajaran konstruktivis terkait dengan pembelajaran yang terdiri dari beberapa hal berikut; berpikir kritis, motivasi, kemerdekaan pebelajar, umpan balik, dialog, bahasa, penjelasan, bertanya, belajar melalui pelajaran, kontekstualisasi, eksperimen, dan pemecahan masalah seharihari. Lesh dan Doerr (2003:16) menyatakan bahwa berpikir matematika commit to user merupakan cara berpikir tentang mengkonstruksi, mendesripsikan, menjelaskan,
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memperhitungkan mengenai kuantitas dan objek matematika yang lain, membuat pola dan regularitas dalam sistem yang kompleks serta mempresentasikan sistem yang relevan termasuk varisasi dari menulis, berbicara, mengkonstruksi, menggunakan media, dan mempresentasikan makna untuk memahami konstruksi matematika. Prinsip-prinsip
pembelajaran
konstruktivisme
menurut
Muijs
dan
Reynolds (2008:99) adalah sebagai berikut: a.
Belajar merupakan sebuah proses aktif
b.
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai permasalahan kognitif (permasalahan dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi, dan metakognisi
c.
Belajar merupakan pencarian makna. Dengan demikian guru berusaha mengkonstruksikan berbagai kegiatan belajar mengajar di seputar ide-ide besar dan eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna
d.
Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orangtua, dan sebagainya, sehingga guru mendorong kerja dan diskusi kelompok
e.
Siswa secara individual maupun kelompok mengkonstruksikan pengetahuan sehingga guru harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar
f.
Belajar selalu dikonseptualisasikan
g.
Belajar merupakan kegiatan eksplorasi dan pengaitan makna dengan materi yang lain
h.
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman realitis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
Dalam praktek pengajaran matematika secara konstruktivisme harus memperhatikan elemen-elemen yang terdapat di dalamnya, yaitu: 1) mengaitkan ide-ide dengan pengetahuan sebelumnya, dalam hal ini guru wajib mencari tahu apakah murid-muridnya paham tentang topik tersebut sebelum pembelajaran dimulai; 2) Guru memberikan permodelan atau langkah-langkah kunci dalam pencarian makna yang akan dilakukan oleh siswa, permodelan muncul dalam dua bentuk: 1) permodelan tingkah laku untuk penunjukan langkah-langkah yang kasat mata dan permodelan kognitif untuk proses-proses kognitif yang tidak kasat mata. Murid akan semakin mandiri seiring berjalannya waktu, dan permodelan pun berkurang. Proses tersebut disebut dengan scaffolding; 3) Coaching, proses motivasi yang diberikan kepada murid, menganalisis penampilan mereka dan memberikan umpan balik tentang kinerja mereka; 4) Refleksi, kegiatan ini dilakukan untuk membandingkan hasil pekerjaan siswa dengan teman lainnya atau dengan guru; 5) pembelajaran secara kolaborasi; 6) kegiatan eksplorasi dan menyelesaikan masalah; 7) guru harus bersikap adaptif, yaitu pembelajaran individual untuk mengetahu gaya belajar siswa; dan 8) menekankan adanya cara yang baik untuk mengalihkan murid dari konsepsi bahwa selalu ada sebuah jawaban yang benar, dan akan membantu mereka menjadi lebih bijak dan terlibat dalam pembelajaran yang lebih mendalam. Biggs (1996) dalam Prince dan Felder (2006) menyatakan bahwa pendukung dari konstruktivisme dalam model pembelajaran yang efektif adalah sebagai berikut: a. Model pembelajaran harus diawali dengan materi dan pengalaman yang pernah dimiliki siswa, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara informasi yang baru dengan informasi yang telah dimiliki. Konsep baru yang dipresentasikan harus dikemas dalam aplikasi nyata dan saling berhubungan sehingga siswa tidak berpikir abstrak dan keluar dari konsep. b. Siswa belajar pada Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu area diantara apa yang siswa mampu berpikir dengan dirinya sendiri dan apa yang siswa commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mampu lakukan dibawah bimbingan orang dewasa ataupun melalui kolaborasi sebaya. c. Model pembelajaran harus membantu siswa memenuhi celah dan memperhatikan materi yang dipresentasikan oleh guru. d. Model pembelajaran melibatkan siswa untuk bekerja dalam kelompok kecil.
3. Model Pembelajaran Permendikbud No. 103 Tahun 2014 menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintaks, pengaturan, dan budaya misalnya discovery learning (pembelajaran berbasis penemuan), project based learning (pembelajaran berbasis proyek), problem based learning (pembelajaran berbasis masalah), dan inquiry learning (pembelajaran inkuiri). Simon (1995) menyatakan bahwa model pembelajaran menekankan pada interaksi antara rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru, guru, dan aktivitas siswa pada proses pembelajaran di kelas. Joyce, et al. (2009:1) menyatakan model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembangunan jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Sedangkan Hiebert, dkk (2003) menyatakan bahwa model pembelajaran menguraikan sebuah sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran
menggunakan
kegiatan
pembelajaran
yang
berkelanjutan
berdasarkan rancangan pembelajaran yang melibatkan pengalaman. Arends (2008:259) menyatakan bahwa model pembelajaran memiliki dua karakteristik, yaitu: a. Model pengajaran mencakup pendekatan pengajaran secara keseluruhan, luas, dan bukan strategi atau teknik tertentu. Model pembelajaran memiliki beberapa
atribut
diantaranya
adanya
basis
teoritis
yang
koheren,
merekomendasikan berbagai perilaku mengajar, dan adanya ketentuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
tentang struktur kelas yang dibutuhkan untuk mewujudkan berbagai tipe pembelajaran yang berbeda. b. Model pembelajaran merupakan alat komunikasi yang penting bagi guru karena di dalamnya tergambarkan tujuan pengajaran, sifat lingkungan belajar, adanya sintaksis, serta lingkungan belajar yang dipersyaratkan. Tujuan pengajaran yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hasil yang dicapai siswa, sedangkan sintaksis adalah aliran kegiatan belajar secara keseluruhan. Model pembelajaran sangat penting dalam pembentukan karakter siswa. Joyce, et al. (2009:9) menyatakan bahwa model pembelajaran digunakan untuk meningkatkan kekuatan siswa sebagai pembelajar. Terdapat berbagai istilah dalam dunia pendidikan, yaitu pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, prinsip pembelajaran, teknik pembelajaran, dan model pembelajaran. Arends (2008:259) menyatakan batasan untuk model pembelajaran dengan karakteristik sebagai berikut: a. Model pembelajaran mencakup pendekatan pengajaran secara keseluruhan, yang luas, dan bukan strategi atau teknik tertentu. Model pembelajaran memiliki beberapa atribut diantaranya adanya basis teoritis yang koheren, merekomendasikan berbagai perilaku mengajar, dan adanya ketentuan tentang struktur kelas yang dibutuhkan untuk mewujudkan berbagai tipe pembelajaran yang berbeda. b. Model pembelajaran merupakan alat komunikasi yang penting bagi guru karena di dalamnya tergambarkan tujuan pengajaran, sifat lingkungan belajar, adanya sintaksis, serta lingkungan belajar yang dipersyaratkan. Tujuan pengajaran yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hasil yang dicapai siswa, sedangkan sintaksis adalah aliran kegiatan belajar secara keseluruhan. Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan serangkaian instruksi kegiatan yang berisi pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik pembelajaran yang dibuat oleh guru dengan menggunakan sintaks-sintaks tertentu yang menekankan pada aktivitas siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Model yang dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika seharusnya lebih realistis dan mampu membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif. Tujuan pengembangan model pembelajaran dalam Hiebert (2003) adalah sebagai berikut: a. Menjadikan siswa terampil matematika b. Mengembangkan pengetahuan, kompetensi, dan meningkatkan efektifitas waktu dari pembelajaran matematika untuk menfasilitasi siswa menjadi terampil matematika Joyce, et al. (2009:58) menyatakan bahwa model pembelajaran memiliki unsur-unsur berikut ini: a. Sintaks, yaitu urutan langkah pembelajaran yang menunjukkan fase-fase atau tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru jika ia menggunakan model pembelajaran tertentu. b. Prinsip
reaksi,
unsur
ini
berkaitan
dengan
pola
kegiatan
yang
menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa, termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon kepada siswa.
Prinsip
ini
memberi
petunjuk
bagaimana
seharusnya
guru
menggunakan aturan pembelajaran. c. Sistem sosial, yaitu pola hubungan guru dengan siswa pada saat terjadinya proses pembelajaran (situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam penggunaan model pembelajaran tertentu). d. Sistem pendukung, yaitu segala sarana, bahan, dan alat yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran secara optimal. e. Dampak instruksional dan dampak pengiring, dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai atau yang berkaitan langsung dengan materi pelajaran, sementara dampak pengiring adalah hasil belajar sampingan (iringan) yang dicapai akibat dari penggunaan model pembelajaran tertentu. Pada penelitian ini, unsur yang dikembangkan dalam pengembangan model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D adalah sintaks model pembelajaran yang merupakan perpaduan dari sintaks model pembelajaran commit to user induktif dengan pemanfaatan Cabri 3D, sedangkan prinsip reaksi, sistem sosial,
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sistem pendukung, serta dampak instruksional dan pengiring disusun oleh peneliti sebagai unsur yang diharapkan muncul pada saat implementasi maupun setelah implementasi model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D.
4. Model Pembelajaran Induktif Pembelajaran
Induktif
merupakan
model
pembelajaran
yang
dikembangkan oleh Hilda Taba. Prince dan Felder (2007) menyatakan bahwa model pembelajaran induktif dimulai dengan guru memberikan tantangan pada siswa untuk melakukan berbagai kegiatan khusus, seperti melakukan percobaan untuk mendapatkan data kemudian diinterpretasi, analisis permasalahan, dan menyelesaikan permasalahan matematika sehari-hari. Siswa dengan cepat mengenali kebutuhan dari fakta, keterampilan, dan pemahaman konseptual dimana peran guru memberikan fasilitas siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Model pembelajaran tersebut mampu membantu guru dalam memberikan tantangan
pada
siswa
sehingga
siswa
akan
mencari
tahu
bagaimana
menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh guru. Moor dan Piergiovanni (2003) menyatakn bahwa model pembelajaran induktif dimulai dari bagian terkecil dan membangun ketentuan umum. Model pembelajaran ini berlawanan dengan kebiasaan guru yang mengajar dari ketentuan umum menuju bagian terkecil. Hesketh, et al. (2002) menyatakan bahwa model pembelajaran induktif merupakan model dimana siswa melakukan observasi kemudian memberikan dugaan untuk prinsip umum. Pendekatan saintifik juga dimulai dengan pembelajaran induktif ketika ilmuwan merumuskan keumuman yang menjelaskan observasi mereka. Pada pembelajaran induktif, siswa membutuhkan motivasi untuk materi teoritis. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran induktif adalah suatu kegiatan pembelajaran, dimana guru bertugas menfasilitasi siswa untuk menemukan suatu kesimpulan sebagai aplikasi hasil belajar melalui tahap pembentukan konsep, interpretasi data, dan penerapan commit to user prinsip.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Taba (1965) dalam Joyce, et al. (2002) membangun model pembelajaran induktif dengan pendekatan yang didasarkan pada tiga sumsi, yaitu: a. Proses berpikir dapat dipelajari dan mengajar berarti membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir melalui latihan. b. Proses berpikir adalah suatu transaksi aktif antara individu dengan data. Hal tersebut berarti siswa menyampaikan sejumlah data dari beberapa domain pelajaran. Siswa menyusun data ke dalam sistem konseptual, menghubungkan poin-poin data dengan data yang lain, membuat generalisasi dari hubungan yang mereka temukan, dan membuat kesimpulan dengan hipotesis, meramalkan, dan menjelaskan fenomena. c. Mengembangkan proses berpikir dengan urutan yang sah menurut aturan. Postulat Taba menyatakan bahwa untuk menguasai keterampilan berpikir tertentu, pertama seseorang harus menguasai satu keterampilan tertentu sebelumnya, dan urutan tersebut tidak dapat dibalik. Prince dan Felder (2006) menyatakan bahwa dasar dari model pembelajaran induktif adalah paham konstruktivisme, struktur kognitif siswa, perkembangan kecerdasan dan pendekatan pembelajaran, dan model pembelajaran berbasis siklus. Pembelajaran berbasis siklus dalam Prince dan Felder (2006) terdiri dari beberapa langkah, yaitu: 1) Siswa dihadapkan pada kesempatan yang diskenario oleh guru untuk mengetahui materi dan keahlian termasuk pembelajaran objektif. 2) Siswa merumuskan pemikiran awal, refleksi pada apa yang mereka telah ketahui dan membangun konsep dari kesempatan dan menggeneralisasi ide tentang bagaimana siswa menempatkan kesempatan tersebut. 3) Sumber pembelajaran yang beranekaragam 4) Evaluasi pada model pembelajaran ini terdiri dari evaluasi dan diskusi siswa, mengerjakan tugas rumah yang diberikan, menyampaikan rangkuman pembelajaran, dan melaksanakan ujian. 5) Wrap-Up
dilaksanakan
dengan
cara
siswa
pembelajaran di akhir pembelajaran. commit to user
menyampaikan
laporan
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bransford (2000), pendukung dari model pembelajaran induktif dan paham konstruktivisme adalah sebagai berikut: 1) Semua pembelajaran melibatkan transfer informasi yang didasarkan pada pembelajaran sebelumnya. Model pembelajaran induktif menjelaskan bahwa informasi baru yang dibangun oleh siswa dimana informasi tersebut memiliki hubungan dengan informasi yang telah dimiliki siswa merupakan struktur kognitif. Pembelajaran induktif merupakan pembelajaran dignostik, yaitu pembelajaran diatur untuk menemukan apa yang siswa pikirkan dalam hubungan dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh siswa, mendiskusikan miskonsepsi siswa, dan memberikan situasi dimana siswa difasilitasi untuk berpikir tentang faktor yang berguna menumbuhkan ide dan pemikiran siswa. Ide dan pemikiran siswa dapat ditumbuhkan dengan cara guru membantu siswa dalam mengorganisasikan ide atau pemikiran mereka. Fraenkel (1992) menyatakan terdapat lima kriteria yang berfungsi untuk mengorganisasi ide atau pemikiran siswa, yaitu: a) Signifikan, faktor ini berarti apakah pemikiran mempresentasikan sebuah hubungan penting antara aspek pembelajaran dengan aspek dalam kehidupan siswa. b) Kekuatan penjelasan, faktor ini berarti apakah pemikiran siswa tersebut membantu siswa memahami dan menjelaskan masalah penting yang dihadapi saat ini. c) Ketepatan, faktor ini berarti apakah pemikiran siswa tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan, menarik, dan kematangan siswa. d) Ketepatan waktu, faktor ini berarti apakah pemikiran siswa tersebut sangat penting. e) Keseimbangan, faktor tersebut berarti akankah ide tersebut meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami fakta dan kejadian. 2) Pembelajaran menjadi lebih termotivasi ketika siswa mampu melihat kebermanfaatan dari apa yang dipelajari dan siswa dapat menggunakannya to user untuk melakukan sesuatu yangcommit memiliki pengaruh bagi pengetahuan.
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Lingkungan dimana pengetahuan dan keterampilan didapatkan dari suatu pembelajaran dimana akan tertransfer pada setting pekerjaan nyata sebagai fungsi dari kesamaan dua lingkungan. Pengorganisasian pembelajaran melalui masalah autentik, projek, dan kasus membantu siswa untuk menghasilkan perbedaan sehingga membuat lingkungan transfer dengan tujuan guna meningkatkan motivasi belajar siswa seperti yang telah dijelaskan. Memastikan kelompok kecil menampilkan tugas-tugas yang dibutuhkan dalam pembangunan konsep yang berguna untuk membantu mengembangkan keahlian kerja suatu kelompok dan pekerjaan tersebut diorganisasi dengan jalan menjamin akuntabilitas individu untuk semua pembelajaran. 4) Membantu perkembangan metakognisi siswa, yaitu pengetahuan bagaimana siswa belajar, memperbaiki lingkungan transfer informasi yang mereka pelajari. Metode ini menfasilitasi kegiatan pemecahan masalah siswa. Hal tersebut bertujuan membentuk pengertian dari informasi baru yang ditemukan siswa untuk meningkatkan pertanyaan ketika siswa tidap mampu dan sebagai akses untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan keahlian guna membantu keahlian metakognisi. Felder dan Brent (2004) menyatakan bahwa karakteristik dari tingkat perkembangan intelektual
tertinggi
dan sebuah pendalaman pendekatan
pembelajaran yang melibatkan tanggung jawab dari pembelajaran siswa dan pertanyaan terbimbing daripada hanya menerima penjelasan dan guna memahami pengetahuan yang baru dalam arti pengetahuan priori dan pengalaman. Hal tersebut juga berguna meningkatkan perkembangan kecerdasan. Permasalahan autentik dan pembelajaran dengan menggunakan masalah dapat memotivasi siswa dengan cara membantu siswa menggunakan materi yang sesuai dan memelihara minat dan keaktifan siswa selama pembelajaran.
4. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Induktif Kelebihan yang dimiliki oleh model pembelajaran induktif adalah sebagai commit to user berikut:
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Siswa lebih aktif terlibat dalam pembelajaran, sehingga siswa lebih perhatian dan termotivasi terhadap proses pembelajaran. b. Pembelajaran induktif memungkinkan kegiatan diskusi dan kolaborasi siswa. c. Pembelajaran induktif memungkinkan penguatan struktur mental yang ada pada siswa. d. Bay, et al. (1990) menyatakan bahwa melalui pembelajaran induktif, siswa memiliki daya ingat dan pemahaman konsep yang lebih lama dan kuat daripada menggunakan model pembelajaran deduktif. e. Felder (1993) menyatakan bahwa siswa mampu memahami hubungan dan pola antardisiplin ilmu. Sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh model pembelajaran induktif adalah sebagai berikut: a. Felder (1993) menyatakan bahwa kelemahan pembelajaran induktif adalah siswa membutuhkan lebih banyak waktu untuk membangun konsep daripada menggunakan model pembelajaran deduktif. b. Fraenkel (1992) menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mengorganisir data, ide, dan pemikiran dalam menyusun kesimpulan. c. Mastropieri, et al. (1997) menyatakan bahwa pembelajaran induktif kurang efektif untuk mengembangakan konsep siswa yang memiliki kesulitan belajar tanpa dukungan struktural dari guru. d. Bay, et al. (1990) menyatakan bahwa pertanyaan open-ended pada pembelajaran induktif memberikan tantangan keras bagi siswa yang memiliki kesulitan belajar.
5. Sintaks Model Pembelajaran Induktif Joyce, et al. (2002) dan Fraenkel (1992) menyatakan bahwa tahapantahapan model pembelajaran induktif meliputi pembentukan konsep, interpretasi, dan penerapan prinsip. Dalam pembelajaran induktif penyajiannya terbagi dalam lima tahap, yaitu fase
pengenalan pembelajaran, fase open-ended, fase
konvergen, fase penutup, dan fase aplikasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
Sintaks model pembelajaran induktif menurut Fraenkel (1992) adalah sebagai berikut: a. Pembentukan Konsep Joyce, et al. (2000) menyatakan bahwa kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah mengidentifikasi dan menyebutkan data satu persatu. Data yang relean dimasukkan ke dalam topik atau masalah, mengelompokkan data dalam kategori yang sejenis, dan mengembangkan label-label dari setiap kategori. Fraenkel (1992) menyatakan bahwa aktivitas guru dalam tahap ini adalah mendemonstrasikan variasi contoh dan bukan contoh dari konsep yang akan dipelajari dan siswa diminta untuk menentukan perbedaan keduanya. b. Interpretasi Data Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap interpretasi data menurut Joyce, et al.. (2000) adalah mengidentifikasi dimensi-dimensi yang saling berhubungan, menjelaskan dimensi-dimensi yang saling berhubungan, dan membuat inferensi atau kesimpulan. Fraenkel (1992) menyatakan tugas guru pada tahap ini adalah guru dapat meminta siswa untuk mengidentifikasikan hubungan dari berbagai macam jenis data. c. Penerapan Prinsip Kegiatan pada tahap penerapan prinsip menurut Joyce, et al. (2000) adalah memprediksi akibat, menjelaskan fenomena yang tidak lumrah dan melakukan hipotesis, menjelaskan temuan yang mendukung hipotesis, dan menguji perkiraan. Tugas guru dalam tahap ini adalah meminta siswa untuk mengaplikasikan konsep yang elah dibangun untuk menyelesaikan dan memprediksi kebermanfaatan konsep dalam menyelesaikan situasi yang baru. Dampak pengiring dari pembelajaran induktif menurut Joyce, et al. (2000) adalah semangat untuk menemukan, adanya kesadaran akan hakikat pengetahuan, dan berpikir logis. Pada proses pembelajaran induktif, kegiatan siswa untuk mengaplikasikan konsep yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru adalah diskusi kelompok. (STAR Legacy module; Prince dan Felder (2006)). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
Dalam model pembelajaran induktif, guru berperan bukan hanya sebagai pengajar melainkan sebagai fasilitator dan moderator (Slavin, 2006:233). Hal tersebut berarti guru bertugas untuk menfasilitasi siswa dalam membangun konsep dan kerja kelompok siswa.
6. Intuisi Matematika Siswa Zeev (2002) menyatakan bahwa intuisi merupakan alat yang mampu membantu menfasilitasi pemecahan masalah matematika abstrak yang berkaitan dengan akibat dari psikologi pendidikan. Melalui hakekat intuisi matematika, seseorang mampu membantu mengimprovisasi pemahaman dan keahlian berpikir formal dan informal seseorang serta menghasilkan materi instruksional yang lebih efektif. Hadamard (1954) menyatakan intuisi matematika merupakan sebuah alat untuk memahami pembuktian dan mengkonseptualkan suatu masalah matematika. Berdasarkan pandangan filsafat, Westcott (1968:22) menyatakan classicalintuitionist melihat intuisi sebagai hal spesial dengan realitas prima, menghasilkan sebuah sinyal dari kesatuam pokok, kebenaran keindahan, kepastian sempurna, dan harapan. Berdasarkan pandangan ini, intuisi merupakan pendapat antitesis. Sedangkan menurut pandangan inferential-intuitionist, intuisi merupakan produk dari pengalaman priori dan pendapat seseorang. Fischbein (1987) menyatakn bahwa terdapat dua jenis kognisi yang digunakan untuk memformulasikan pengetahuan matematika, yaitu kognisi formal dan kognisi intuitif. Kognisi formal merupakan proses memformulasikan pengetahuan matematika melalui pengaitan antara notasi dan simbol dengan ideide matematika memerlukan aktivitas mental yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti matematika baik melalu induksi maupun deduksi matematika, namun kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas matematika. Sedangkan, kognisi intuitif (intuisi) merupakan kognisi yang dapat diterima langsung tanpa proses pembenaran. Roh (2005) dalam Suslany (2013) menyatakan bahwa terdapat proses mental (kognisi) berbeda selain kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan atau aktivitas commit intuitif to user (intuisi). Sedangkan Budi Usodo matematika yang disebut dengan kognisi
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
(2012) menyatakan bahwa hanya menggunakan proses berpikir analitik dan logika saja belum tentu selalu diperoleh jawaban dari masalah, karena dalam memecahkan masalah terkadang diperlukan dugaan atau klaim suatu pernyataan tanpa harus membuktikan, yaitu kognisi intuitif (intuisi). Selain itu, Fischbein (1987) menyatakan bahwa kognisi intuitif (intuisi) tidak bergantung pada pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi. Windu (2011) dalam Suslany (2013) menyatakan bahwa intuisi dapat bekerja ketika alam di bawah sadar menemukan hubungan antara situasi baru yang dihadapi dengan berbagai pola pengalaman di masa lalu. Bruner (1974) dalam Budi Usodo (2012) menyatakan bahwa intuisi merupakan tindakan seseorang menggapai makna atau struktur suatu masalah, yang tidak menggantungkan secar eksplisit pada analisis bidang keahliannya. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa intuisi matematika adalah kognisi yang dapat diterima secara langsung tanpa pembenaran yang merupakaan dugaan dalam memecahkan masalah yang bekerja ketika menemukan hubungan antara situasi baru dengan berbagai pola pengalaman di masa lalu. Intuisi memiliki peranan penting dalam matematika. Pada umumnya intuisi memiliki berbagai makna. Intuisi merupakan dasar dari perkembangan konsep matematika. Zeev (2002) menyatakan peran dari pemikiran intuitif adalah mengembangkan kreativitas, pembuatan keputusan, dan pemecahan masalah. Ketika hal tersebut dihubungkan dengan intuisi geometri dalam hubungannya dengan intuisi yang sensible, sebuah a posteriori, contohnya dalam pengambilan data (dalam menggambar grafik). Mack (1990) dan Resnick (1986) dalam Benzeev dan Star (2002) menyatakan terdapat fokus tertentu dalam mengkover pengetahuan awal siswa dalam tujuannya untuk membentuk hubungan antara pembelajaran sekolah, pengetahuan formal, dan intuisi informal siswa. Menurut Zeev (2002) terdapat beberapa kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan intuisi, yaitu sebagai berikut: 1.
Induksi dari pembelajaran berdasarkan contoh, dalam proses pembelajaran commit to user media nyata yang mampu ini, guru menggunakan contoh seperti
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
mengilustrasikan konsep dan prosedur. Berkaitan dengan langkah ini, guru dapat menggunakan bantuan media berbasis komputer dalam menkonkritkan bangun ruang tiga dimensi, sebagai contoh Cabri 3D. Hal tersebut dapat dimanfaatkan karena tidak semua permasalahan di matematika mampu dicontohkan dengan kegiatan sehari-hari ataupun dikonkritkan dengan benda nyata. 2. Skema dalam pembelajaran, dalam hal ini Mayer (1982) menyatakan bahwa apabila siswa dihadapkan pada suatu masalah matematika, maka ia akan cenderung mengubah permasalahan tersebut ke dalam bentuk permasalahan umum yang pernah dihadapi sebelumnya. Permasalahan umum tersebut diasosiasikan dengan bentuk skema yang baik. Skema merupakan jaringan terintegrasi dari pengetahuan yang terletak dalam memori jangka panjang dan memungkinkan seseorang untuk memanggilnya kembali, memahami, dan menghasilkan suatu capaian. Lewis dan Anderson dalam Zeev (2002) menyatakan bahwa sekelompok skemata yang termasuk deteksi dari hubungan antara sebuah permasalahan dan suatu algoritma yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu masalah disebut “operator-skemata”. 3. Fokus pada tindakan, siswa membutuhkan pendekatan khusus pada pembelajaran yang melibatkan simbol-simbol matematika yang berarti matematika bergantung pada intuisi. Hal tersebut merupakan tindakan (himpunan refleksi dari suatu tindakan) prosedur dimana siswa harus mengembangkan prosedur matematika (intuisi). Guru dapat menfasilitasi siswa membangun dan menguatkan intuisi matematika di kelas dengan cara penemuan dan manipulasi pembelajaran (Zeev, 2002). Fischbein (1989) menyatakan bahwa selama proses penemuan, siswa secara siklis melakukan proses eksperimen diikuti dengan refleksi. Nilai dari pendekatan penemuan bukan terletak hanya pada kegiatan penemuannya, melainkan proses berpikir yang dilakukan siswa selama kegiatan penemuan tersebut. Zeev (2002) menyatakan meskipun penemuan berdasar pada kegiatan eksperimen dan refleksi tetapi pendekatan tersebut membutuhkan ketertarikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
siswa, motivasi, dan reward di dalamnya. Sedangkan manfaat dari kegiatan manipulasi pembelajaran matematika adalah memungkinkan siswa membangun sebuah hubungan dalam proses eksperimen (memanipulasi benda nyata), sebagai contoh, melalui kegiatan pemecahan masalah. Manipulasi memungkinkan siswa untuk membentuk pola, hubungan, dan kuantitas. Melalui pembentukan pola dan hubungan maka matematika mampu lebih abstrak dalam pemikiran siswa. Zeev (2002) menyatakan bahwa intuisi dapat dipelajari. Ia juga menyatakan bahwa pemikiran memiliki peranan penting dalam sebuah intuisi (pandangan inferential-intuisionist). Siswa memasuki sekolah formal dengan berbagai variasi kemampuan matematika dan intuisi dimana siswa tidak hanya membangun pengetahuan matematika dan menguatkan intuisi sebelumnya tetapi juga mengembangkan intuisi lanjut. Fischbein dalam Budi Usodo (2012) menyatakan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam matematika yang merupakan sesuatu yang sangat mendasar dan yang sangat nampak dari suatu kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah: 1. Kognisi langsung, kognisi self evident (direct, self evident cognitions) Intuisi merupakan kognisi yang diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekkan dan pembuktian lebih lanjut. Sebagai contohnya adalah jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus. 2. Kepastian intrinsik (intrinsic certainty) Intuisi feeling tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus pada item nomor 1 adalah subjektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal maupun empiris) 3. Pemaksaan (coerciveness) Intuisi yang menggunakan efek memaksa pada strategi penalaran individual dan pada seleksinya dari hipotesis dan penyelesaian. Hal ini berarti bahwa commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
individu
cenderung
menolak
interpretasi
alternatif
yang
akan
mengkontradiksi intuisinya. 4. Peramalan (extrapolativeness) Intuisi yang kaitannya dengan kemampuan untuk meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contohnya adalah pernyataan “melalui suatu titik di luar garis hanya digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut”. Mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi. 5. Keseluruhan (globality) Intuisi yang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis. Fischbein (1987) juga mengemukakan karakteristik intuisi lain disebut karakteristik intuisi antisipatori, yaitu karakteristik intuisi yang berkaitan untuk memecahkan masalah. Karakteristik dari intuisi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Intuisi tersebut muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah 2. Intuisi tersebut menyajikan karakter global 3. Intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan keyakinan, meskipun pembenaran secara rinci atau bukti belum ditemukan Tieszen (1989) intuisi matematika berhubungan dengan kegiatan induksi, yaitu keduanya tidak bergantung pada tanda konfigurasi. Sebagai contoh ketika seseorang ingin mengetahui bahwa suatu kesimpulan yang didapatkan secara induktif benar, ia harus menggunakan intuisinya yang tidak dapat dibuktikan secara praktis. Kant (1783), berpendapat bahwa geometri seharusnya berlandaskan pada intuisi keruangan murni. Jika dari konsep-konsep geometri kita hilangkan konsepkonsep empiris atau penginderaan, maka konsep konsep ruang dan waktu masih akan tersisa; yaitu bahwa konsep-konsep geometri bersifat a priori. Namun Kant menekankan bahwa konsep-konsep geometri hanya akan bersifat “sintetik a priori” jika konsep-konsep itu hanya menunjuk kepada obyek-obyek yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
diinderanya. Jadi di dalam “intuisi empiris” terdapat intuisi ruang dan waktu yang bersifat a priori. Sejauh intuisi yang dipahami Kant, ruang hanya mempunyai dimensi 3, karena tidak lebih dari tiga garis dapat berpotongan sehingga ketiga-tiganya membentuk sudut siku-siku. Kant menyimpulkan bahwa untuk memperoleh konsep garis lurus kita harus menggunakan intuisi murni yang bersifat a priori. Dengan demikian, menurut Kant, geometri merupakan ilmu pengetahuan yang menentukan sifat-sifat keruangan secara sintetik namun a priori. Sintetik berarti bahwa konsep-konsep geometri tidak dapat dikonstruksi hanya dari konsep murni saja, tetapi harus berpijak pada intuisi murni yang terjadi sebelum mempersepsi obyek, sehingga intuisinya memang bersifat murni dan tidak empiris. Menurut Kant (1783), prinsip-prinsip geometri bersifat apodiktik, yaitu dapat ditarik secara deduktif dari premis-premis yang mutlak benar. Pernyataan “ruang hanya berdimensi 3” tidak dapat dipahami hanya dengan intuisi empiris. Kant (1783) mempunyai argument yang kuat bahwa proposisi-proposisi geometri bersifat sintetik a priori. Menurutnya jika tidak demikian, yaitu jika proposisi geometri hanya bersifat analitik maka geometri tidak mempunyai validitas obyektif, yang berarti geometri hanya bersifat fiksi belaka. Kant (1783) menyatakan konsep matematika yang diperoleh tidaklah bersifat empiris melainkan bersifat murni. Pengetahuan geometri yang bersifat sintetik a priori menjadi mungkin jika dan hanya jika konsep keruangan dipahami secara transendental dan menghasilkan intuisi a priori. Pada saat siswa dihadapkan pada masalah matematika, yang menuntut untuk segera ditemukan penyelesaiannya, mungkin saja siswa tersebut dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan segera apabila ia telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik mengenai masalah tersebut (Krulik dan Robert, 1980) atau bahkan ia mengalami kebuntuan dalam menyelesaikannya, tentu ia cenderung berusaha menyajikan dengan perantara (gambar, grafik, atau coretan-coretan lainnya) agar secara intuitif mudah diterima dan dipahami (Zeev, 2002). Perantara tersebut biasanya disebut model. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Model merupakan suatu alat yang esensial untuk membantu seseorang memahami suatu objek atau konsep tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian intuisi dan model dapat disimpulkan penalaran intuitif dapat diartikan sebagai suatu sarana untuk memudahkan seseorang memahami objek atau konsep secara intuitif, pada saat objek atau konsep tersebut sulit untuk dipahami atau dibayangkan. Pada sisi lain, model intuitif tidak harus berupa refleksi langsung dari realitas konkret, namun bisa juga berdasarkan interpretasi abstrak dari suatu realitas. Sebagai contoh, grafik yang merepresentasikan sebuah fungsi merupakan model intuitif untuk fungsi dan fungsi tersebut merupakan model abstrak dari sebuah fenomena tertentu. Adapun model penalaran intuitif selanjutnya disebut model intuitif. Beberapa klasifikasi tentang metode yang berdasarkan model intuitif yang ditawarkan pada penelitian ini mengacu pada pendapat Fischbein (1987), yaitu model implicit, model analogy, model pragmatic, dan model digrammatic. Model eksplisit sering digunakan oleh seseorang untuk menentkan model untuk memudahkan atau mengarahkan dalam menyelesaikan masalah. Sebagai contoh, seseorang membuat alat peraga untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Model analogi dan paradigmatik yaitu model yang digunakan untuk dua konsep yang berbeda, namun sistem konsep yang satu juga dimiliki oleh sistem yang lain. Model diagrammatik menganggap bahwa diagram atau grafik merupakan representasi dari suatu fenomena dan keterkaitannya.
5. Intuisi dalam Pemecahan Masalah Siswa SMA Fischbein (1987:201) menyatakan intuisi antisipatori (pemecahan masalah) merupakan asumsi atau konjektur yang diklasifikasikan secara eksplisit dalam aktivitas pemcahan masalah. Sebuah intuisi antisipatori merupakan pendahuluan, pandangan global dari sebuah solusi dari suatu permasalahan, yang dilaksanakan untuk mendahului usaha analitis, mengembangkan suatu solusi meskipun to user solusinya tidak didapatkan secara commit langsung.
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
Tversky dan Kahneman (1974) menyatakan bahwa terdapat intuisi pemecahan masalah yang didapatkan mulai dari heuristik yang relatif sederhana, sehingga intuisi pemecahan masalah terlibat pada situasi saat ini ditinjau dari kesamaan dan perbedaannya dengan pengalaman masa lalu. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa intuisi antisipatori merupakan intuisi yang dimanfaatkan dalam aktivitas pemecahan masalah dimana dalam penggunaannya intuisi ini muncul ketika seseorang berusaha keras untuk memecahkan memecahkan suatu masalah dengan menghubungkan permasalahan dengan kesamaan dan perbedaanya dengan pengalaman masa lalu meskipun solusinya tidak didapatkan secara langsung. Karakteristik dari intuisi antisipatori menurut Fischbein (1987:62) adalah sebagai berikut: a. Intuisi antisipatori merupakan persiapan dari pandangan global yang mendahului suatu pemikiran yang analitis dan mengembangkan solusi dari suatu permasalahan. b. Intuisi antisipatori tidak hanya membantu mengingat fakta tetapi merupakan sebuah penemuan yang merupakan solusi dari suatu permasalahan dan merupakan usaha dalam pemecahan masalah sebelumnya. c. Intuisi antisipatori merupakan sebuah tahap pada proses pemecahan masalah yang harus diikuti oleh sebuah usaha yang analitis. d. Intuisi antisipatori merupakan sebuah dugaan pasti yang didapatkan setelah dilakukan setelah tahap analisis dilakukan. Usaha pemecahan masalah tersebut muncul sebagai ketentuan, kepercayaan, kepastian, dan secara global dapat dipahami. e. Intuisi antisipatori digunakan sebagai kontrol analitis. Budi Usodo (2012) menyatakan bahwa terdapat karakteristik intuisi dalam memecahkan masalah matematika siswa SMA, yaitu sebagai berikut: a. Siswa menggunakan intuisi afimatori yang bersifat langsung dalam memahami masalah matematika, yaitu langsung memahami dari teks soal b. Siswa
menggunakan
intuisi antisipatori dalam membuat rencana commit to user rumus yang diperolehnya dari penyelesaian, yaitu siswa menggunakan
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemahaman teks soal secara langsung dan siswa tidak dapat menjelaskan secara rinci mengapa menggunakan rumus tersebut c. Siswa memeriksa jawaban menggunakan intuisi antisipatori yang mempunyai karakteristik bertentangan dengan dugaan pada umumnya dan berupa pemikiran induktif d. Beberapa siswa tidak menggunakan intuisi baik dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, maupun memeriksa jawaban Di lain pihak, Polya (1973) dalam Budi Usodo (2012) menyatakan prosedur memecahkan masalah terdiri dari empat langkah, yaitu menganalisis dan memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan masalah, dan mengecek solusi suatu permasalahan. Meskipun siswa menguasai langkahlangkah penyelesaian masalah, tetapi siswa masih mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah, sehingga dibutuhkan intuisi. Berkaitan dengan penggunaan intuisi dalam pemecahan masalah, maka keberadaan intuisi dapat dilacak dari tahap pemecahan masalah. Intuisi yang digunakan siswa pada setiap tahap pemecahan masalah pada penelitian ini dilacak menggunakan wawancara terhadap intuisi yang digunakan siswa pada pemecahan masalah untuk tugas dimensi tiga yang diberikan oleh peneliti. Intuisi antisipatori memiliki hubungan dengan visualisasi. Hal tersebut disebabkan karena visualisasi memiliki peranan penting dalam membentuk kognisi segera, khususnya pada materi dimensi tiga. Suslany (2013) dan Hershkowitz (1989) menyatakan bahwa visualisasi merupakan kemampuan, proses, dan produk dari kreasi, interpretasi, penggunaan, dan refleksi gambar, diagram di dalam pikiran di atas kertas atau dengan teknologi dengan tujuan menggambarkan
dan
mengkomunikasikan
informasi,
memikirkan
dan
mengembangkan ide-ide yang sebelumnya tidak diketahui dan memajukan pemahaman. Alasan yang lain juga diungkapkan oleh Hibert dan Vossen (1983) dan Suslany (2013) mengatakan bahwa dengan menggunakan bantuan imajinasi visual dapat memperjelas fakta yang beragam dari masalah geometri, artinya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
dalam mengkonstruksi pengertian intuitif dibutuhkan visualisasi sebagai dasar dalam penalaran intuitif yang diperlukan dalam pembentukan konsep matematika. Dalam proses pembelajaran, ilustrasi visual merupakan faktor penting pembentukan kognisi segera, tetapi kognisi segera bukan merupakan kondisi yang cukup untuk menghasilkan struktur khusus dari kognisi intuitif.
Fischbein
(1987:200) menyatakan representasi visual yang konkret melibatkan kerja individu secara umum lebih baik daripada sebuah konsep atau deskripsi formal sehingga ilustrasi mental dan representasi visual memainkan peran penting dalam aktivitas kretif dalam matematika, khususnya dimensi tiga. Visualisasi yang dimaksud tidak hanya berarti melihat akan tetapi ilustrasi merupakan representasi dinamis dan konstruktivis. Selain itu, pentingnya visualisasi juga dikatakan dalam Teori belajar Piaget dalam Suslany (2013) menyatakan bahwa ada beberapa yang dibutuhkan pelajar agar ia mudah memahami matematika, yaitu: a. Melakukan eksperimen dengan tangannya sendiri (konkret), dengan menggunakan manipulasi bentuk-bentuk geometri dengan papan geometri, bentuk kotak-kotak dan lain sebagainya, b. Menggunakan hubungan antara tangan dengan visualisasi gambar atau menggunakan model yang semikonkret misalnya menggambar atau menggunakan sketch software pada komputer, atau untuk menggambar grafik dapat dengan menggunakan kalkulator grafik, c. Memiliki pemahaman yang abstrak terhadap konsep-konsep dengan melihat gambar dan simbol dari konsep matematika. Sedimikian sehingga dalam mengembangkan intuisi antisipatori dibutuhkan media pembelajaran yang mampu meningkatkan visualisasi siswa, yaitu Cabri 3D.
6. Peran Intuisi Pemecahan Masalah dalam Keberhasilan Pembelajaran Matematika Intuisi pemecahan masalah juga disebut sebagai intuisi antisipatori. Intuisi committetapi to user antisipatori juga merupakan asumsi diklasifikasikan sebagai aktivitas
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemecahan masalah. Intuisi antisipatori berarti sebuah tahap pada proses dari pemecahan masalah dimana pada intuisi tersebut harus diikuti usaha yang analitis sehingga intuisi ini digunakan sebagai kontrol analitis. Hosten dan Starikova (2009) menyatakan bahwa peran intuisi dalam pemahaman matematika adalah menginvestigasi perkembangan dalam praktek matematika dan pengetahuan kognitif. Ketika siswa berusaha memecahkan suatu permasalahan, siswa menyusun hipotesis tentang faktor yang memiliki efek terhadap suatu masalah. Asumsi tersebut disebut dengan persepsi. Setelah itu, hipotesis tersebut dianalisis secara sistematis, selama usaha pemecahan masalah, pasti, bersifat subjektif, global. Ini merupakan intuisi antisipatori. Selain itu, dalam pembelajaran geometri Kant dalam Marsigit (2003) menyatakan bahwa dalam pembentukan konsep geometri hanya akan bersifat sintetik apriori jika konsep-konsep tersebut hanya menunjuk pada objek yang diinderanya sehingga dibutuhkan langkah yang bersifat sintetik. Sintetik berarti bahwa konsep-konsep geometri tidak dapat dikontruksi dengan konsep murni, tetapi harus berpijak pada intuisi murni yang terjadi sebelum mempersepsi objek, sehingga intuisinya memang bersifat murni dan tidak empiris. Penelitian yang dilakukan oleh Fischbein (1987) menghasilkan data bahwa intuisi didasarkan pada struktur skemata tertentu. Selain itu ditemukan pula bahwa intuisi sebagai dugaan spontan yang merupakan fakta di balik skemata. Sehingga intuisi pemecahan masalah berfungsi sebagai ide yang mendahului usaha analitis untuk menyelesaikan suatu permasalahan geometri. Pada
pembelajaran
matematika,
ketika
siswa
dihadapkan
pada
suatu
permasalahan, siswa akan menggunakan struktur skema yang telah dimiliki, sehingga memungkinkan munculnya intuisi yang merupakan dugaan spontan akibat fakta di balik skemata.
7. Cabri 3D Cabri 3D v2 (Cabri 3D) merupakan suatu program aplikasi komputer commit to user untuk matematika dan fisika khususnya materi geometri yang diproduksi oleh
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jean Marie Laborde dan Max Marcadet, Grenoble, France. Program ini pada awalnya dikembangkan oleh Jean Marie Laborde, Perancis tahun 1986 (http://www.Cabri.com). Adapun kriteria software yang baik yang menunjang pembelajaran matematika menggunakan metode inkuiri terbimbing ini adalah sebagai berikut: a. Kejelasan tujuan pembelajaran b. Suatu materi dikatakan bermakna apabila sesuai dengan standar isi yaitu standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi, dan evaluasi siswa c. Praktis digunakan dalam pembelajaran matematika d. Efektif digunakan dalam pembelajaran matematika e. Mampu membantu siswa mengingat apa yang telah dipelajari dan menemukan konsep baru. Hal ini diaplikasikan dalam bentuk student worksheets menggunakan metode inkuiri terbimbing yang di dalam media sehingga
mampu
merangsang
siswa
untuk
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuannya. Cabri 3D v2 (selanjutnya disebut dengan Cabri 3D) bermanfaat untuk membantu mengkonstruksi, menampilkan, dan memanipulasi semua objek dimensi tiga: garis, bidang, kerucut, bola, kubus, prisma, dll. Hasil konstruksi dapat diukur yang diintegrasikan dengan data numerik. Buchori (2010) menyatakan bahwa Cabri 3D merupakan suatu sistem komputasi simbolik. Manfaat dari pemanfaatan program Cabri 3D adalah: a. Dapat mengerjakan komputasi aljabar b. Dapat mengerjakan komputasi analitik c. Dapat mengerjakan berbagai mechanical dan optical d. Mempunyai banyak perintah bawaan dalam library dan paket-paket untuk mengerjakan matematika secara luas e. Mempunyai fasilitas untuk pengerjaan, pengeplotan, dan animasi grafik baik dimensi dua maupun dimensi tiga f. Mempunyai suatu antarmuka commit berbasistoworksheet user
untuk
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g. Mempunyai fasilitas untuk membuat dokumen dalam berbagai format h. Mempunyai fasilitas bahasa pemrograman yang mempermudah pemahaman konsep siswa i. Sangat baik untuk melatih kelancaran, keluesan, dan keterperincian siswa j. Hasil sketsanya lebih baik daripada menggunakan Autograph dan Maple Cabri 3D merupakan software yang memiliki banyak ikon menu yang dapat digunakan menjelaskan materi aljabar, analasis, geometri dan trigonometri. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, Cabri 3D memiliki 6 menu meliputi file, edit, display, document, window dan help. Software tersebut juga mempunyai fasilitas untuk memvisualisasikan bangun geometri, baik untuk dimensi dua maupun dimensi tiga.
Gambar 1. Menu pada Cabri 3D
7. Perpaduan Model Pembelajaran Induktif dengan Pemanfaatan Cabri 3D Perpaduan model pembelajaran induktif dengan pemanfaatan Cabri 3D sebagai media bantu pembelajaran sehingga membentuk sintaks model pembelajaran yang baru didasarkan pada teori-teori sebagai berikut: a. Teori Humanistik Teori humanistik sejalan dengan teori pembelajaran konstruktivisme sosial, yaitu belajar merupakan aktivitas aktif siswa untuk membangun pengetahuan dan guru sebagai fasilitator. Alwasilah (1996:23) menyatakan pengalaman siswa adalah penting dan perkembangan kepribadian serta penambahan perasaan positif dianggap penting dalam pembelajaran. Purwo (1989:212) menyatakan bahwa dalam teori humanistik, siswa hendaknya dapat membantu dirinya sendiri dalam proses belajar mengajar sehingga siswa bukan sekedar penerima ilmu yang pasif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Soemanto (1998:235) menyatakan bahwa peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi siswa. Guru menfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang akan dikembangkan harus mampu mendorong siswa untuk aktif dalam membangun pengetahuan melalui pengalaman dimana guru hanya berperan sebagai fasilitator yang bertugas untuk menfasilitasi dan membimbing siswa dalam memperoleh tujuan pembelajaran. b. Empat Pilar Pembelajaran Pendidikan menurut UNESCO dalam http://www.ibe.unesco.org/ harus memenuhi empat pilar, yaitu belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan sesuatu, belajar untuk menjadi sesuatu, dan belajar untuk hidup bersama. Adapun penjelasan untuk setiap pilar adalah sebagai berikut: 1) Belajar untuk Mengetahui Belajar untuk mengetahui merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Peran guru untuk memenuhi pilar ini adalah berperan sebagai fasilitator dan rekan diskusi dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa. 2) Belajar untuk Melakukan Sesuatu Belajar untuk melakukan sesuatu berarti pendidikan juga merupakan proses belajar untuk dapat melakukan sesuatu. Proses belajar harus mampu menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. 3) Belajar untuk Menjadi Sesuatu Dalam pilar ini, penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri diarjikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang commit to user yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
4) Belajar untuk Hidup Bersama Pada pilar keempat ini, guru harus mengembangkan sikap saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima pendapat orang lain. c. Intuisi dalam Memecahan Masalah Siswa Intuisi antisipatori merupakan sebuah ide atau gagasan yang merupakan pandangan global yang mendahului sebuah usaha analitis dalam menyelesaikan suatu masalah (Fischbein, 1989). Berdasarkan karakteristik intuisi antisipatori yang diungkapkan oleh Fischbein (1989:62), maka dibutuhkan
model
pembelajaran yang mampu mendorong siswa dalam mengorganisir ide atau gagasan siswa untuk menyelesaikan masalah dimensi tiga, bukan hanya sekedar mengingat fakta. Berdasarkan pendapat Zeev (2002) mengenai kegiatan pembelajaran yang dapat mengembangkan intuisi pemecahan masalah siswa, maka model pembelajaran yang dikembangkan harus mampu memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Model pembelajaran yang dikembangkan harus mampu membantu siswa dalam menurunkan abstraksi materi dimensi tiga. 2) Model pembelajaran yang dikembangkan harus mampu menfasilitasi siswa untuk menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk membentuk konsep yang baru. 3) Model pembelajaran yang dikembangkan harus mampu membantu siswa dalam membentuk kesimpulan dan ketentuan umum. d. Peran Visualisasi dalam Pembentukan Intuisi Siswa Presmerg (1986) menyatakan bahwa visualisasi memiliki peranan penting dalam matematika, yaitu: 1) Untuk memahami masalah 2) Untuk menyederhanakan masalah 3) Untuk melihat keterkaitan (koneksi) ke masalah terkait 4) Untuk memenuhi gaya belajar individual 5) Sebagai pengganti untuk komputasi atau perhitungan 6) Sebagai alat untuk memeriksacommit solusi to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk intuitif. Bentuk intuitif diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah Piaget dalam Siregar (2011) menyatakan bahwa kegiatan yang harus dilakukan agar siswa mudah memahami matematika adalah sebagai berikut: 1) Melakukan eksperimen dengan tangannya sendiri (konkret), dengan menggunakan manipulasi bentuk-bentuk geometri dengan papan geometri, bentuk kotak-kotak, dan lain sebagainya. 2) Menggunakan hubungan antara tangan dengan visualisasi gambar atau menggunakan model yang semikonkret. 3) Memiliki pemahaman yang abstrak terhadap konsep-konsep dengan gambar dan simbol dari konsep matematika. Giardino (2010) menyatakan bahwa intuisi matematika tergantung pada latar belakang pengetahuan dan keahlian, dan bahwa hal itu memungkinkan untuk melihat sifat umum dari kesimpulan yang diperoleh dengan cara visualisasi. e. Pentingnya Pengembangan Model Pembelajaran Induktif Berbantuan Cabri 3D Berdasarkan landasan teori di atas, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa dibutuhkan model pembelajaran yang mampu mendorong siswa untuk bertanggung jawab dalam membangun konsep, khususnya dimensi tiga dan guru berperan sebagai fasilitator dan rekan diskusi siswa sehingga dapat menguatkan konsep yang telah ditemukan siswa. Selain itu, pembelajaran juga harus memenuhi empat pilar pendidikan yang telah ditentukan oleh UNESCO. Model pembelajaran
yang mampu memenuhi
tuntutan tersebut
adalah
model
pembelajaran induktif. Model pembelajaran induktif harus dipadukan dengan pemanfaatan media matematika yang mampu membantu visualisasi siswa untuk membentuk intuisi siswa. Model pembelajaran tersebut sesuai dengan pendapat Piaget dalam Siregar (2014) harus mampu melibatkan siswa untuk memanfaatkan media tersebut dalam menggambar dan memanipulasi objek dimensi tiga sehingga dapat membantu visualisasi siswa. Media yang mampu memenuhi tuntutan tersebut adalah Cabri commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3D. Model pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D.
8. Peran Model Pembelajaran Induktif Berbantuan Cabri 3D dalam Perkembangan Intuisi Pemecahan Masalah Siswa Mayer (1982) menyatakan bahwa jika siswa dihadapkan pada suatu masalah matematika, maka siswa akan cenderung mengubah permasalahan ke dalam bentuk permasalahan umum yang pernah dihadapi oleh siswa sebelumnya, yang disebut dengan skema pembelajaran. Zeev (2002) menyatakan bahwa salah satu kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan intuisi siswa adalah skema dalam pembelajaran. Model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D merupakan perpaduan model pembelajaran induktif yang menekankan pada proses penemuan dan pengalaman belajar. Prince dan Felder (2007) menyatakan bahwa model pembelajaran induktif dimulai dengan memberikan tantangan untuk melakukan percobaan dan menyusun kesimpulan. Dalam upaya menyusun kesimpulan dan interpretasi data siswa membutuhkan adanya skema dalam pembelajaran melalui pertanyaan terbimbing dan pada tahap penerapan prinsip, siswa cenderung akan membawa permasalahan pada kasus dan pengalaman yang pernah dialami untuk membentuk suatu ide pemecahan masalah yang melibatkan intuisi. Pemanfaatan Cabri 3D membantu visualisasi siswa dalam memahami materi dimensi tga. Giardino (2010) menyatakan bahwa intuisi matematika tergantung pada latar belakang pengetahuan dan keahlian, dan bahwa hal itu memungkinkan siswa untuk melihat sifat umum dari kesimpulan yang diperoleh dengan cara visualisasi, sehingga visualisasi dan intuisi saling berhubungan. Selain itu, dalam pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa pengalaman
dan
penemuan
berfungsi
untuk
membantu
siswa
dalam
mengembangkan intuisi dan visualisasi berfungsi dalam mengubah masalah ke dalam bentuk intuitif yang diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah (Suslany, 2013).
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D diperlukan dalam pengembangan intuisi yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah.
9. Spesifikasi Produk Model Pembelajaran Induktif Berbantuan Cabri 3D Produk yang dikembangkan dalam pengembangan model pembelajaran ini adalah
model
pembelajaran
induktif
berbantuan
Cabri
3D,
perangkat
pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan video model pembelajaran. Pengembangan produk tersebut didasarkan pada model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D yang dikembangkan. Sintaks model pembelajaran ini merupakan perpaduan dari tahapan model pembelajaran induktif yang bercirikan kegiatan ilmiah melalui pengamatan dan eksperimen dan pemanfaatan Cabri 3D yang mampu membantu visualisasi siswa pada objek dimensi tiga. Sintaks model pembelajaran ini digunakan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D pada dasarnya menggunakan pendekatan konstruktivis kolaboratif, yaitu ilmu pengetahuan tidak ditransfer begitu saja kepada siswa namun menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Secara khusus model pembelajaran induktif memungkinkan siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri dengan menggunakan hubungan dan keterkaitan antardisiplin ilmu (Felder, 1993), sedangkan dalam pemanfaatan Cabri 3D memungkinkan siswa memanipulasi dan melakukan perhitungan secara numerik. Hasil yang didapatkan dari perhitungan dan manipulasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan diskusi jika dibandingkan dengan perhitungan siswa secara manual yang memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Diskusi tersebut menciptakan rekonseptualisasi dan pencarian informasi sehingga pada akhirnya siswa mampu menggunakan intuisi dalam menyusun kesimpulan dan menerapkan prinsip dalam menyelesaikan commit to user masalah.
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D pada prakteknya adalah menambahkan aktivitas pembelajaran induktif ke dalam kegiatan pemanfaatan Cabri 3D, sehingga selain siswa mendiskusikan materi tertentu, juga akan melaksanakan tahap-tahap pembelajaran induktif yang terdiri dari pembentukan konsep, interpretasi data, dan penerapan prinsip. Hasil dari kegiatan penemuan dan diskusi kelompok akan diinformasikan kepada kelompok lain melalui presentasi.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilaksanakan oleh Kusminah (2012) menggunakan jenis penelitian dan pengembangan model pembelajaran induktif kata bergambar kepada siswa Sekolah Dasar menghasilkan data bahwa model pembelajaran yang dikembangkan terbukti efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah pemanfaatan model pembelajaran induktif dalam pembelajaran untuk meningkatkan strategi pemecahan masalah siswa sehingga mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Sedangkan perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan diimplementasikan pada siswa kelas X SMA dengan tahap belajar operasional formal untuk mengembangkan intuisi pemecahan masalah siswa dan media yang digunakan pada penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan menggunakan media bantu Cabri 3D. Penelitian yang dilaksanakan oleh Ramlah, et al. (2013) yang menggunakan jenis penelitian gabungan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilaksanakan pada siswa MAN Kuta Baro Aceh Besar kelas XI IPA menghasilkan data bahwa model pembelajaran induktif berakibat pada pemahaman konseptual dan prosedural matematika siswa ditinjau dari keseluruhan siswa dan pengetahuan terdahulu siswa merupakan dasar dalam proses berpikir selanjutnya untuk menemukan konsep pembelajaran yang baru. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah commit to user pemanfaatan model pembelajaran induktif untuk meningkatkan pemahaman
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konseptual matematika, sedangkan perbedaannya terletak pada fokus dari penelitian yang akan dilaksanakan hanya terletak pada intuisi pemecahan masalah siswa pada materi dimensi tiga. Penelitian yang dilaksanakan oleh Suslany (2013) kepada siswa SMK Negeri 1 Patumbak menggunakan metode peneltian kuantitatif, yaitu kuasi eksperimen menghasilkan kesimpulan bahwa visualisasi memiliki peranan penting dalam mengembangkan penalaran intuitif siswa. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan adalah model pembelajaran yang akan dikembangkan berfungsi untuk membantu visulaisasi siswa sehingga mampu mengembangkan intuisi siswa materi dimensi tiga, sedangkan perbedaannya terletak pada fokus penelitian yang akan dilaksanakan hanya terletak pada intuisi pemecahan masalah siswa. Penelitian yang dilaksanakan oleh Giardino (2010) menggunakan studi literatur menghasilkan data bahwa intuisi dan visualisasi memiliki peran dalam pemecahan masalah. Penelitian itu menghasilkan bahwa intuisi matematika tergantung pada latar pengetahuan dan keahlian yang merupakan visualisasi. Data tersebut digunakan sebagai dasar pengembangan model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D yang mampu meningkatkan visualisasi siswa terhadap materi dimensi tiga untuk mengembangkan intuisi pemecahan masalah siswa. Penelitian yang dilaksanakan oleh Hasanah dan Sabandar (2010) dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif desain pre-post test kepada siswa SMA Negeri 2 Cimahi kelas XI pada materi geometri menghasilkan intuisi dalam pemecahan masalah geometri dapat distimulasi oleh aktifitas eksplorasi, intuisi mendorong kreativitas siswa dalam memilih ide dan strategi dalam pemecahan masalah, namun untuk melahirkan ide dalam menyelesaikan masalah diperlukan waktu, kondisi, dan lingkungan yang tepat. Dalam penelitian tersebut ia menyatakan
menyatakan
Cabri
3D
mampu
membantu
siswa
dalam
mengeksplorasi materi dimensi tiga yang tidak dapat dihitung dan divisualisasikan dengan menggunakan kalkulator. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah adanya pemanfaatan Cabri 3D dalam mendorong commit to user intuisi pemecahan masalah siswa materi geometri. Sedangkan perbedaan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian tersebut dengan penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan terletak pada pengembangan model pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D lebih difokuskan pada perkembangan intuisi pemecahan masalah siswa yang dianalisis menggunakan metode kualitatif. Buchori (2010) dalam penelitiannya yang dilaksanakan menggunakan metode kuantitatif desain pot-test kepada mahasiswa APKG IKIP PGRI Semarang menghasilkan bahwa Cabri 3D mampu membantu visualisasi mahasiswa sehingga mampu mengembangkan kreativitas dan prestasi belajar mahasiswa dalam pembelajaran geometri. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa prestasi belajar siswa pada materi geometri analit yang memanfaatkan Cabri 3D, yaitu 76,40 lebih baik daripada kelas reguler yang tidak memanfaatkan Cabri 3D, yaitu 73,24. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitan yang akan dilaksanakan adalah adanya pemanfaatan Cabri 3D dalam mengembangkan kreativitas siswa dalam memecahkan permasalahan geometri. Sedangkan, perbedaannya terletak pada fokus dari penelitian dan pengembangan yang akan dilaksakan
adalah
pengembangan
memanfaatkan Cabri 3D
model
pembelajaran
induktif
dengan
untuk mengembangkan intuisi pemecahan masalah
siswa.
C. Kerangka Berpikir Salah satu ciri pembelajaran induktif adalah materi dikenalkan kepada siswa melalui observasi, melalui pemecahan masalah, dan teori dipikirkan siswa dimana siswa menemukannya setelah memahami pembuktian. Siswa diberikan tanggung jawab terhadap terlaksananya pembelajaran yang didukung oleh penemuan dimana siswa belajar dengan menggunakan menghubungkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang pernah dimiliki siswa melalui struktur kognitif. Hal tersebut selaras dengan definisi belajar yang dinyatakan oleh Arends (2008:17) yaitu belajar merupakan aktivitas sosial dimana siswa membangun makna yang dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan dari pembelajaran yang baru dimana belajar bukan merupakan aktivitas pasif siswa commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk menerima informasi dari guru tetapi siswa aktif membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman dan diskusi. Dalam upaya membantu penemuan siswa pada materi dimensi tiga mereka membutuhkan visualisasi yang digunakan untuk representasi visual. Melalui bantuan imajinasi visual siswa mampu memperjelas fakta yang beragam dari masalah geometri yang berguna mengkonstruksi pengertian intuitif dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, Cabri 3D digunakan sebagai media bantu dalam pembelajaran menggunakan implementasi model pembelajaran induktif. Cabri 3D merupakan software matematik yang berfungsi untuk membantu menkonstruksi, menampilkan, dan memanipulasi semua objek dimensi tiga dimana hasil konstruksi tersebut dapat diukur dengan numerik. Model
pembelajaran
induktif
berbantuan
Cabri
3D
merupakan
pengembangan dari pendekatan konstruktivis kolaboratif. Pembelajaran induktif terkait dengan bentuk pembelajaran yang mendukung penuh pola konstruktivisme yang bernuansa kooperatif dipadu dengan pemanfaatan Cabri 3D yang akan menfasilitasi
visualisasi
siswa.
Peneliti
menduga
pemanfaatan
model
pembelajaran induktif berbantuan Cabri 3D akan mengembangkan intuisi antisipatori
siswa.
Hal
tersebut
disebabkan
oleh
kelengkapan
model
pembelajarannya. Pembelajaran induktif yang sebenarnya hanya merupakan model pembelajaran yang menfasilitasi penemuan dan diskusi siswa kemudian akan dimodifikasi dengan pemanfaatan Cabri 3D sehingga siswa akan menemukan pembelajaran yang bermakna dan menghasilkan pengalaman belajar dan intuisi antisipatori siswa ketika dihadapkan pada permasalahan dimensi tiga. Proses diskusi yang berlangsung terus menerus dan melalui rangkaian pemanfaatan siswa akan mengembangkan intuisi antisipatori siswa. Model
pembelajaran
induktif
berbantuan
Cabri
3D
mampu
mengembangkan intuisi antisipatori disebabkan karena siswa membangun pengalaman dan mengaitkan pengetahuan yang dimiliki siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pembangunan pengetahuan itu didapatkan dengan commitmenggunakan to user visualisasi objek tiga dimensi dengan Cabri 3D kemudian siswa
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersama kelompoknya mendiskusikan penemuan untuk menyusun kesimpulan menggunakan intuisi antisipatori. Tahap pada model pembelajaran ini adalah pembangunan konsep, interpretasi dasata, dan penerapan prinsip.
commit to user