BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Psikoanalisis Sosial Karen Horney 2.1.1 Gambaran Umum Teori Psikoanalisis Sosial Teori psikoanalisis sosial dari Karen Horney dibentuk berdasarkan asumsi bahwa kondisi sosial dan kultur, terutama pengalaman-pengalaman masa kanakkanak, sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian seseorang (Feist & Feist, 2010). Horney berulangkali menitikberatkan pengaruh kultural sebagai dasar utama perkembangan kepribadian individu. Kultur, terutama pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak awal, mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian manusia, menjadi kepribadian neorotik atau sehat (Feist & Feist, 2010). Horney percaya bahwa konflik neurotik dapat muncul dari hampir semua tahapan perkembangan, tetapi masa kanak-kanak adalah masa dimana sebagian besar masalah timbul. Horney meyakini bahwa pengalaman-pengalaman yang merusak ini hampir selalu ditimbulkan oleh kurangnya kehangatan dan kasih sayang yang tulus (Feist & Feist, 2010). Horney berpendapat bahwa keseluruhan pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak
membentuk
struktur
karakter 10
tertentu
atau
juga,
memulai
perkembanganya. Dengan kata lain, keseluruhan hubungan yang terjalin di masamasa awal membentuk perkembangan kepribadian seseorang. Dengan demikian, sikap-sikap terhadap orang lain yang dilakukan di masa dewasa bukan merupakan pengulangan dari sikap-sikap yang dilakukan di masa bayi, melainkan timbul dari struktur karakter yang dasarnya berkembang pada masa kanak-kanak (Feist & Feist, 2010). 2.1.2 Kecemasan dan Konflik Menurut Horney (dalam Alwisol, 2009) semua orang mengalami creature anxiety, perasaan kecemasan yang normal muncul pada masa bayi, ketika bayi yang lahir dalam keadaan tak berdaya dan rentan itu dihadapkan dengan kekuatan alam yang keras dan tidak bisa dikontrol. Bimbingan yang penuh kasih sayang dan cinta pada awal kehidupan membantu bayi belajar menangani situasi bahaya itu. Sebaliknya, tanpa bimbingan yang memadai bayi akan mengembangkan basic anxiety, basic hostility, dan terkadang neorotic distress. 1) Kecemasan Dasar dan Permusuhan Dasar (Basic Anxiety dan Basic Hostility) Kecemasan dasar berasal dari rasa takut; suatu peningkatan yang berbahaya dari perasaan tak berteman dan tak berdaya dalam dunia penuh ancaman. Kecemasan dasar selalu dibarengi oleh permusuhan dasar, berasal dari perasaan marah, suatu predisposisi untuk mengantisipasi bahaya dari orang lain dan untuk mencurigai orang lain itu (Alwisol, 2009). Bersama-
11
sama, kecemasan dan permusuhan membuat orang yakin bahwa dirinya harus dijaga untuk melindungi keamanannya. (Alwisol, 2009). Kecemasan dan permusuhan cenderung direpres, atau dikeluarkan dari kesadaran, karena menunjukkan rasa takut bisa membuka kelemahan diri, dan menunjukkan rasa marah beresiko dihukum dan kehilangan cinta dan keamanan. Oleh karena itu bayi mengalami proses melingkar dari kecemasan, yang oleh Horney dinamakan vicious circle. Dimulai sejak lahir, bayi membutuhkan kehangatan dan kasih sayang untuk dapat menghadapi tekanan lingkungan. Ketika kehangatan cinta dan kasih sayang yang diberikan tidak cukup diperoleh, maka bayi menjadi marah dan muncul perasaan permusuhan karena diperlakukan secara salah itu, tetapi kemarahan harus direpres agar perolehan cinta dan rasa aman yang hanya sedikit (tidak cukup) itu tidak hilang sama sekali, perasaan menjadi kacau, muncul kecemasan dasar dan kemarahan dasar, hingga kebutuhan kasih sayang dan cinta semakin besar, dan kemungkinan akan semakin banyak kebutuhan kasih sayang yang tidak terpenuhi, sehingga semakin kuat pula perasaan marah yang timbul, serta perasaan permusuhan menjadi semakin kuat, dan represi harus semakin kuat dilakukan agar perolehan kasih sayang yang hanya sedikit itu tidak hilang, yang akan menimbulakan tegangan perasaan kacau, marah, gusar, mengamuk semakin kuat. Hal ini lah yang membuat dasra semakin kuat. (Alwisol, 2009).
12
Teori Horney tentang neurosis didasarkan pada konsep gangguan psikis yang membuat orang terkunci dalam lingkaran yang membuat tingkah laku tertekan dan tidak produktif terus-menerus semakin parah (Alwisol, 2009).
Bagan Vicious circle – Anxiety (dalam Alwisol, 2009) 4. 5
Kecemasan dasar dan permusuhan dasar terus diperkuat kalu lingkaran kecemasanpermusuhan- represi berlanjut.
Kebutuhan kasih sayang dan cinta semakin kuat
6 Semakin marah karena kebutuhannya semakin banyak tidak terpenuhi
3
9
represi permusuhan agar tidak kehilangan cinta dan keamanan yang hanya sedikit
Tegangan kemarahan yang semakin kacau
7 8 Represi semakin kuat untuk mempertahankan kasih sayang yang hanya sedikit
2 Permusuhan dan kemarahan karena diperlakukan buruk
1 Kurang kehangatan dan cinta orang tua
13
Perasaan permusuhan semakin kuat
2) Konflik Interpersonal : Kebebasan versus Kesepian Konflik adalah pertentangan antar kekuatan yang berhadapan dalam fungsi manusia yang tidak dapat dihindari. Perbedaan konflik normal dengan konflik neurotik adalah taraf atau tinggi rendahnya. Orang dengan kecemasan dasar mungkin memulai hidup dengan konflik yang sangat berat, konflik antara kebutuhan rasa aman dan kebutuhan menyatakan kebebasan emosi dan pikiran (Alwisol, 2009). a. Kebutuhan-kebutuhan Neurotik Horney menemukan sepuluh kategori kebutuhan neurotik yang yang merupakan suatu cara untuk melawan kecemasan dasar. Masing-masing kebutuhan-kebutuhan neurotik berikut ini berhubungan dengan orang lain dalam berbagai cara: (dalam Feist & Feist, 2010) (1) Kebutuhan neurotik akan kasih sayang dan penerimaan diri: keinginan untuk menyenangkan orang lain dan berbuat sesuai dengan harapan orang lain. Mereka cenderung takut mengatakan bahwa dirinya benar (self-assertion), serta cenderung kurang nyaman dengan permusuhan/ pertengkaran orang lain dan permusuhan dalam dirinya. (2) Kebutuhan neurotik akan rekan yang kuat: tidak memiliki kepercayaan diri, berusaha mengikatkan diri dengan rekan yang kuat.
14
(3) Kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya dalam lingkup yang sempit: orang neurotik sering berusaha untuk tetap tidak menarik perhatian, menjadi orang ke dua, puas dengan yang serba sedikit. Mereka merendahkan nilai kemampuan mereka sendiri, dan takut menyuruh orang lain. (4) Kebutuhan neurotik akan kekuasaan: kebutuhan kekuatan, keinginan berkuasa, tidak menghormati orang lain, memuja kekuatan dan melecehkan kelemahan, biasanya dikombinasikan dengan kebutuhan prestise dan kepemilikan yang berwujud sebagai kebutuhan mengontrol orang lain dan menolak perasaan lemah atau bodoh. (5) Kebutuhan neurotik untuk memanfaatkan orang lain: orang-orang neurotik sering kali menilai orang lain berdasarkan bagaimana orang-orang tersebut bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tetapi pada saat yang sama, mereka takut untuk dimanfaatkan oleh orang lain. (6) Kebutuhan neurotik akan penghargaan sosial atau prestise: kebutuhan
memperoleh
penghargaan
sebesar-besarnya
dari
masyarakat. (7) Kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi: orang-orang neurotik mempunyai kebutuhan untuk dikagumi atas diri mereka daripada atas apa yang mereka miliki. 15
(8) Kebutuhan neurotik akan ambisi dan pencapaian pribadi: orangorang neurotik sering mempunyai dorongan kuat untuk menjadi yang terbaik. Mereka ingin menjadi yang terbaik dan memaksa diri untuk semakin berprestasi sebagai akibat dari perasaan tidak aman, harus mengalahkan orang lain untuk menyatakan superioritasnya. (9) Kebutuhan neurotik akan kemandirian dan kebebasan, kebutuhan yang kuat untuk menjauh dari orang lain membuktikan bahwa mereka bisa hidup tanpa orang lain. Mereka memisahkan diri tidak mau terikat dengan orang lain menjadi orang menyendiri. (10) Kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketidakmungkinan untuk salah : melalui perjuangan yang tidak mengenal lelah untuk menjadi sempurna. Mereka sangat takut untuk membuat kesalahan
dan
mati-matian
berusaha
menyembunyikan
kelemahannya dari orang lain. b. Kecendrungan Neurotik Horney mengidentifikasi tiga sikap dasar, yang disebut kecendrungan neurotik (neurotic trends) atau tiga macam gaya hubungan interpersonal, yaitu: (1) mendekati orang lain, (2) melawan orang lain, (3) menjauhi orang lain. (dalam Feist & Feist, 2010) Penyebab utama timbulnya tingkah laku neurotik menurut Horney adalah hubungan interpersonal yang salah, karena itu mengatasi tingkahlaku neurotik, konflik dan kecemasan hanya dapat dilakukan melalui perbaikan 16
hubungan interpersonal yang salah itu. Perbedaan antara gaya hubungan interpersonal yang normal dengan neurotik, ada pada bagaimana terjadinya tingkahlaku (dalam Alwisol, 2009). (1) Mendekati orang lain Konsep mendekati orang lain yang diutarakan Horney tidak berarti mendekati orang lain melalui cinta yang tulus. Melainkan, mendekati orang lain dalam hal ini mengacu kepada sebuah kebutuhan
neurotik
untuk
melindungi
diri
dari
perasaan
ketidakberdayaan (dalam Feist & Feist, 2010). Dengan kata lain mendekati orang lain sama dengan karakter orang penurut, yang memiliki kebutuhan kuat akan cinta, persatuan dan penerimaan orang lain, sehingga segenap tindakannya akan selalu bergantung dengan orang lain. Horney menamakan kebutuhan ini sebagai ketergantungan yang tidak normal (morbid dependency) sebagai lawan dari saling tergantung (codependency) (dalam Alwisol, 2009). (2) Melawan orang lain Orang yang agresif memandang orang lain sebagai musuh, dan memakai
strategi
melawan
orang
lain
untuk
meredakan
kecemasannya. Sebab akibatnya, mereka mengadopsi strategi melawan orang lain. Orang-orang neurotik yang agresif sama
17
kompulsifnya dengan orang-orang penurut, dan tingkah laku mereka juga sama-sama dipicu oleh kecemasan dasar. (3) Menjauhi orang lain Supaya dapat mengatasi konflik dasar terisolasi, beberapa orang memisahkan diri dari orang lain dan mengadopsi sebuah kecendrungan neurotik yaitu menjauhi orang lain. Strategi ini merupakan ekspresi dari kebutuhan akan kesendirian, kebebasan dan kemandirian. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan ini menjadi neurotik ketika orang berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan membuat jarak emosional antara diri mereka dan orang lain secara terus menerus. Jika telah menikah, mereka tetap memisahkan diri dari orang lain, bahkan dari pasangan mereka. Mereka menghindari komitmen sosial, tetapi ketakutan terbesar mereka adalah apabila mereka membutuhkan orang lain. Menurut Horney (dalam Feist & Feist, 2010), mereka lebih memilih kehebatan mereka yang tersembunyi diketahui orang lain tanpa mereka harus memberitahu orang lain. 3) Konflik Intrapsikis Kecendrungan
neurotik
yang
timbul
dari
kecemasan
dasar,
berkembang dari hubungan anak dengan orang lain. Dinamika kejiwaan yang terjadi menekankan pada konflik budaya dan hubungan antar pribadi. Akan 18
tetapi, Horney tidak mengabaikan faktor intrapsikis dalam perkembangan kepribadian. Proses intrapsikis semula berasal dari pengalaman hubungan antar pribadi, yang sudah menjadi bagian dari sistem keyakinan, proses intrapsikis itu mengembangkan eksistensi dirinya terpisah dari konflik interpersonal (Horney dalam Alwisol, 2009). Horney tidak melupakan faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu konflik intrapsikis yang muncul karena pengalaman interpersonal seseorang. ada dua konflik intrapsikis, yaitu idealized self image dan self hatred a. Idealized self image Merupakan sebuah usaha untuk membuat gambaran diri yang idel, untuk mengatasi konflik diri. Orang yang tidak mendapatkan kasih sayang, sehingga merasa tidak aman dan percaya diri, pada umumnya tidak memiliki kemampuan memahami diri sendiri. Horney percaya bahwa makhluk hidup, jika diberikan sebuah lingkungan dengan kedisiplinan dan kehangatan, akan mengembangkan perasaan aman dan percaya diri serta kecendrungan untuk memiliki pemahaman diri (dalam Feist & Feist, 2010). Horney (dalam Feist & Feist, 2010) mengungkapkan tiga aspek dari gambaran ideal, yaitu (1) pencarian neurotik akan kemuliaan (the neurotic search for glory) , (2)
pernyataan neurotik (neurotic claims), dan (3)
kebanggaan neurotik (neurotic pride). 19
(1) Pencarian Neurotik akan Kemuliaan Orang neurotik akan menjadikan diri ideal mereka sebagai tujuan hidup dan konsep diri mereka. Pencarian neurotik akan kemuliaan ini mencakup kebutuhan untuk selalu tampil sempurna, ambis untuk terus-menerus meraih keberhasilan, dan mencapai kesuksesan dengan menjatuhkan orang lain (Feist & Feist, 2010). Horney (dalam Feist & Feist, 2010), menamakan gaerakan menyeluruh untuk membuat diri ideal menjadi nyata ini sebagai pencarian neurotik akan kemuliaan (neurotic search of glory). Pencarian neurotik akan kemuliaan mencakup pula tiga elemen lain: a) Kebutuhan akan kesempurnaan merupakan dorongan untuk menggabungkan keseluruhan ke dalam diri ideal. b) Ambisi neurotik merupakan dorongan terus-menerus untuk
meraih
mempunyai
keunggulan.
bentuk
yang
Dorongan berbeda-beda
ini
bisa
selama
perjalanan hidup seseorang. c) Dorongan untuk mencapai kesuksesan dengan cara menjatuhkan orang lain, untuk membuat orang lain malu atau kalah melalui kesuksesannya atau untuk memperoleh
20
kekuasaan,
untuk
menimbulkan
ketidakbahagiaan pada orang lain, yang lebih sering merupakan tujuan untuk mempermalukan orang lain. (2) Permintaan Neurotik Dalam pencarian akan kemuliaan, orang-orang neurotik mereka menganggap bahwa diri mereka itu khusus sehingga berhak diperlakukan sesuai dengan gambaran diri ideal mereka sendiri. mereka tidak mampu melihat bahwa permintaan tersebut sangat berlebihan. (3) Kebanggaan Neurotik Kebanggaan yang salah dan didasari bukan pada pandangan realistis dari diri sebenarnya, tetapi pada gambaran yang salah dari diri ideal. Di lain sisi, kebanggaan neurotik timbul berdasarkan gambaran diri yang ideal dan biasanya dinyatakan dengan lantang untuk menjaga dan mendukung pandangan yang mulia tentang diri sendiri. b. Self hatred Usaha menganggap rendah real self. Ketika orang neurotik menyadari bahwa diri sebenarnya tidak dapat memenuhi tuntutan diri ideal, maka mereka
membenci
dan
menganggap
rendah
dirinya.
Horney
mengemukakan enam cara orang mengekspresikan kebencian diri itu:
21
(1) Menuntut kebutuhan kepada diri tanpa ukuran: Merupakan contoh pemaksaan dari seharusnya (tyranny of the should). Orang memunculkan kebutuhan diri yang tidak pernah berhenti. (2) Menyalahkan diri tanpa ampun: Orang neurotik yang terusmenerus mencaci-maki diri sendiri. (3) Menghina diri : Diekspresikan dalam wujud memandang kecil, meremehkan, meragukan, mecemarkan, dan mentertawakan diri sendiri. (4) Frustasi diri : Frustasi diri melakukannya karena benci-diri dan dilakukan untuk mengaktualisasi gambar diri yang rendah. (5) Menyiksa diri : Pada dasarnya semua mekanisme diri-rendah mengandung makna menyiksa diri. Namun ini menjadi kategori terpisah kalau tujuan utama orang neurotik itu membahayakan atau menyakitkan diri sendiri. (6) Tingkah laku dan dorongan merusak diri : Bisa fisikal atau psikological, disadari atau tidak disadari, akut atau kronik, benarbenar dilakukan atau hanya dalam imajinasi.
22
2.2 Gay 2.2.1
Definisi Gay Homoseksual dapat didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang
diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2001 ). Definisi homoseksual yang diberikan Nevid, Rathus & Rathus (1995) adalah “laki-laki yang memiliki orientasi seksual homoseksual disebut gay, sementara perempuan yang memiliki orientasi homoseksual disebut dengan lesbian” Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian” dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial, istilah tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memilki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama. Di Indonesia laki-laki yang menyukai sesama jenis dikenal dengan sebutan gay atau homo (Boellstroff, 2009). Dalam percintaan gay terdapat peran seksual Top, Bottom dan Verst. Peran sekual Top adalah peran seksual yang disematkan untuk gay yang melakukan insertor dalam anal seks, sedangkan peran seksual bottom adalah peran seksual yang disematkan pada gay yang bertindak sebagai insertee dalam anal seks. Peran seksual versatile adalah peran seksual yang disematkan pada gay yang bisa menjalankan peran top dan bottom (Johns et al, 2012).
23
2.2.2
Faktor-faktor Penyebab Homoseksual Menurut Greene & Herek (dalam Handaya, 2011) banyak teori yang mencoba
menjelaskan faktor-faktor penyebab seseorang menjadi homoseksual. Hal ini dikarenakan faktor terjadinya homoseksual sangat beragam, tidak mutlak dikarenakan oleh salah satu faktor. Sehingga tidak ada faktor tunggal penyebab terjadinya homoseksual. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Mc. Whirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin Williams & Rodiguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993 (dalam Santrock, 2002) dikatakan bahwa penyebab terjadinya homoseksual merupakan kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif dan lingkungan. (1) Faktor Biologis atau genetik, yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik. Hal ini senada dengan pendapat Ellis & Arnes (dalam Santrock, 2002) faktor biologis yang dipercaya berpengaruh dalam homoseksul adalah karena keadaan hormon prenatal. Menurut Masters et al (1992) seorang pria yang memiliki hormon kadar hormon esterogen dan progesterone yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita. (2) Faktor Psikoanalisis, Freud (dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995) beranggapan bahwa gay terjadi karena kurang dekatnya hubungan antara anak laki-laki dengan ayah, dan juga hubungan yang terlalu dekat antara anak laki-laki tersebut dengan ibu. Menurut Freud, homoseksualitas 24
berasal dari Oedipus complex negative. Dalam Oedipus complex positive, anak akan mencintai orang tua dengan jenis kelamin berbeda. Pada Oedipus complex negative berlaku sebaliknya, anak akan mencintai orangtua yang berjenis kelamin sama dan mengidentifikasi pada orangtua berjenis kelamin beda. (3) Faktor sosiogenetik atau lingkungan, yaitu orientasi seksual yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Menurut Kartono (1989) yang menyebutkan bahwa terjadinya homoseksual, karena pada proses perkembangan seseorang saat pubertas mendapat pengaruh dari luar (bisa dari lingkungan atau budaya).
2.2.3 Stigma Sosial, Diskriminasi dan Pandangan Homoseksual dalam Masyarakat 1) Stigma Sosial Homoseksual dalam Masyarakat : Stigma sosial
terhadap
homoseksual
dapat
secara
signifikan
mempengaruhi kesehatan mental para homoseks dan lesbian. Penelitianpenelitian menemukan lebih tingginya resiko kecemasan, depresi dan gangguan psiatris lainnya diantara para homoseksual daripada heteroseksual (Cochran dalam Papalia, Olds & Feldman 2009).
25
2) Diskriminasi Diskriminasi jika dilihat dari ruang lingkup hukum hak asasi manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilam yang langsung atau tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Berdasarkan data dari Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan, menyatakan bahwa tindakan diskriminasi yang dialami kelompok LGBT, sebagai berikut: (1) Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan Kelompok LGBT mengalami penolakan untuk diterima bekerja sesuai bidangnya, meskipun ada kaum LGBT yang capable untuk bekerja sesuai bidang ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang menerima mereka. (2) Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan Kasus-kasus kekerasan
yang dialami kelompok LGBT
seringkali diselesaikan diluar pengadilan karena dianggap aib, memalukan. Hal tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor. 26
(3) Diskriminasi dalam pemilihan pasangan Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan. Misalnya,banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa. Selain itu, terdapat pula Prinsip-prinsip Yogyakarta atau Yogyakarta Principles
yang
mengkampayekan
hak-hak
LGBT.
Prinsip-prinsip
Yogyakarta yaitu prinsip yang menyikapi berbagai masalah standar Internasional HAM dan aplikasinya terhadap isu-isu orientasi seksual dan identitas seksual. Prinsip-prinsip Yogyakarta atau Yogyakarta Principles ini terdapat 29 prinsip yang harus dilakukan oleh Negara. Jika hak-hak dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta tersebut tidak dilakukan maka akan menimbulkan diskriminasi terhadap komunitas LGBT. Prinsip-prinsip Yogyakarta, sebagai berikut: Prinsip 1
:Hak untuk penikmatan HAM secara Universal
Prinsip 2
:Hak atas kesetaraan dan non diskriminasi
Prinsip 3
:Hak atas pengakuan di mata hukum
Prinsip 4
:Hak untuk hidup
Prinsip 5
:Hak atas keamanan seseorang
Prinsip 6
:Hak atas privasi
Prinsip 7
:Hak atas kebebasan
dari kesewenang-wenangan
terhadap perampasan kebebasan 27
Prinsip 8
:Hak atas pengadilan yang adil
Prinsip 9
:Hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi selama dalam tahanan
Prinsip 10
:Hak atas kebebasan dari siksaan dan kekejaman, perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan
Prinsip 11
:Hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi, penjualan dan perdagangan manusia.
Prinsip 12
:Hak untuk bekerja
Prinsip 13
:Hak
atas
keamanan
sosial
dan
atas
tindakan
perlindungan sosial lainnya Prinsip 14
:Hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak
Prinsip 15
:Hak atas perumahan yang layak
Prinsip 16
:Hak atas pendidikan
Prinsip 17
:Hak atas pencapaian tertinggi standar pendidikan
Prinsip 18
:Perlindungan atas kekerasan medis
Prinsip 19
:Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi
Prinsip 20
:Hak atas kebebasan berkumpul dengan damai dan berasosiasi
Prinsip 21
:Hak atas kebebasan berpikir, memiliki kesadaran dan agama 28
Prinsip 22
:Hak atas kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23
:Hak untuk mencari perlindungan
Prinsip 24
:Hak untuk menentukan keluarga
Prinsip 25
:Hak untuk perpartisipasi dalam kehidupan public
Prinsip 26
:Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya
Prinsip 27
:Hak untuk memajukan HAM
Prinsip 28
:Hak atas pemulihan dang anti rugi yang efektif
Prinsip 29
:Akuntabilitas
3) Pandangan homoseksual dalam masyarakat Sebagian besar masyarakat memandang kaum homoseksual secara negatif (Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Banyak kelompok masyarakat yang melarang kaum gay menjadi guru dan kegiatan-kegiatan lain berdasarkan mitos bahwa gay akan menggoda dan mempengaruhi anak-anak untuk menjadi homoseksual (Gordon, Snyder, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Menurut Laurda Brown (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa homoseksual sebagai kaum minoritas yang mengalami hidup dalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas, jalan terbaik untuk menyesuaikan diri adalah ketika mereka tidak mendefinisikan diri mereka dalam polaritas, seperti mencoba hidup dalam dunia homoseksual secara tertutup yang sama sekali terpisah dari kebudayaan mayoritas.
29
Dalam budaya Indonesia masa kini, walaupun terdapat sikap negative terhadap kaum gay, ternyata dalam kenyataan kehidupan sehari-hari boleh dibilang tidak seberat didunia barat karena sebagian besar masyarakat bersikap toleran terhadap kaum gay (Oetomo, 2001). 2.3 Dewasa Awal 2.3.1 Definisi Dewasa Awal Dimulainya masa dewasa (emerging adulthood) periode transional yang baru diajukan antara masa remaja dan masa dewasa, biasanya memiliki rentang waktu antara masa remaja hingga usia pertengahan dua puluh (Arnett dan Furstenberg et al, dalam Papalia, Olds & Feldman 2009). Istilah adult berasal dari bahasa Latin, seperti juga istilah adolescenceadolescere- yang berarti “tumbuh menjadi dewasa”. Akan tetapi kata adult berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “ telah menjadi dewasa”. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2004). Hurlock (2004) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
30
Jadi, masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja ke dewasa. Pada masa ini dimana masa pertumbuhan dan penyesuian dengan kedudukan baru yang ada dilingkungan masyarakat. 2.3.2 Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Awal Dalam teori tahap normatif tugas-tugas perkembangan (development task), tantangan-tantangan tipikal yang perlu dikuasai demi adaptasi yang sukses dalam tiap tahap hidup (Papalia, Olds & Feldman 2009). Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman 2009), dewasa awal memiliki tugas-tugas perkembangan, sebagai berikut: 1) Meninggalkan rumah masa kecil demi pendidikan tinggi. 2) Pekerjaan 3) Mengembangkan sence of efficacy dan individuasi (individuation)- kesadaran diri (sence of self) bahwa ia mandiri dan mampu bergantung pada diri sendiri. Dalam tahap perkembangan psikososial Erikson (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Masa dewasa awal (young adulthood) ditandai adanya kecendrungan intimacy versus isolation, menjadi persoalan utama pada dewasa awal. Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas penting masa dewasa awal. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat dan penuh perhatian merupakan motivator penting tingkah laku manusia.
31
2.3.3 Gaya Hidup Menikah dan Tidak Menikah (1) Pernikahan Monogamy – pernikahan terhadap satu orang pasangan. Poligami pernikahan laki-laki dengan lebih dari satu perempuan bersamaan. Poliandri – dimana perempuan umumnya memiliki kekuatan ekonomi yang lebih besar, seorang perempuan dapat mengawini beberapa laki-laki (Gardiner & Kosmitzki dalam Papalia, Olds & Feldman 2009). Pernikahan memberikan keintiman, komitmen, persahabatan, afeksi, pemuasan seksual, dan kesempatan untuk pertumbuhan emosional, juga sebagai sumber identitas dan harga diri (Gardiner & Kosmitzki dalam Papalia, Olds & Feldman 2009). Diberbagai masyarakat, menikah dianggap sebagai jalan terbaik untuk membesarkan anak. Pernikahan yang ideal, mencakup intimacy, friendship, kasih sayang, kepuasaan seksual, companionship, dan kesempatan untuk mengembangkan emosi. Tapi pada masa kini, keuntungan-keuntungan pernikahan seperti seks, intimacy
dan jaminan ekonomi tidak cukup
meyakinkan bagi orang untuk menikah dan menjadi pernikahan yang ideal. Dalam Australia Department of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs (Holt, 2004) mengungkapkan 4 aspek yang menjadikan suatu pasangan bisa disebut memiliki komitmen marriage-like (komitmen yang hampir sama dengan menikah), yaitu:
32
1) Sudah memiliki hubungan yang cukup lama Suatu komitmen bisa dikategorikan sebagai sebuah komitmen marriage-like apabila hubungan yang sudah dijalani kedua pasangan ini cukup lama. Tidak ada batasan pasti berapa bulan atau berapa tahun sebuah hubungan bisa dikatakan cukup lama. Penentuan kriteria ini sangat bersifat subjektif. 2) Kohabitasi, atau tinggal bersama dalam satu rumah. Komitmen marriage-like sangat dekat dengan istilah kohabitasi. Kohabitasi adalah tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Biasanya pasangan akan memutuskan untuk tinggal bersama setelah 2-3 bulan berpacaran. 3) Menanggung tanggung jawab finansial dan legal bersama-sama Dalam kehidupan pernikahan sudah dipastikan finansial keluarga diolah secara bersama-sama untuk kepentingan bersama. Hal ini juga berlaku pada pasangan yang memilki komitmen marriage-like. 4) Hubungan yang diakui secara sosial oleh lingkungan Sebuah lingkungan bisa dikatakan komitmen marriage-like jika sudah diakui dan diketahui oleh lingkungan sosial dimana pasangan tersebut tinggal dan berinteraksi. (2) Kohabitasi Kohabitasi (cohabitation), tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, merupakan gaya hidup yang makin lazim di mana pasangan yang tidak 33
menikah yang terlibat dalam suatu hubungan seksual hidup bersama (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Kohabitasi juga disebut dengan consensual atau informal union, jika di Indonesia kohabitasi lebih terkenal dengan sebutan kumpul kebo. Salah
satu
faktor
meningkatnya
gaya
hidup
bersama
ini
kemungkinannya adalah kecenderungan sekular yang terjadi di awal masa kedewasaan seksual. Hal ini bersama dengan meningkatnya jumlah dewasa muda yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi, menciptakan jarak yang lebih lama antara kematangan fisik dan kematangan seksual. Banyak pada masa dewasa muda yang menginginkan hubungan seksual yang romantis dan intim, tetapi mereka tidak siap dengan pernikahan dan bahkan mungkin tidak akan pernah siap untuk menikah. Kohabitasi juga mempunyai dampak pada perkawinan, dimana hal ini cenderung menunda perkawinan. Pria memandang kohabitasi sebagai kesempatan untuk mendapatkan partner seks tetap tanpa harus terikat. Sedangkan wanita lebih memandang kohabitasi adalah suatu langkah perkawinan. (3) Hubungan Homoseksual dan Lesbian Hubungan homoseks dan lesbian jangka panjang lebih lazim di masyarakat yang mentoleransi, menerima, dan mendukung mereka (Gardiner & Kosmitzki dalam Papalia, Olds & Feldman 2009).
34
Berbagai faktor yang memprediksi kualitas dan stabilitas suatu hubungan penyelesaian psikologis sifat kepribadian, persepsi kesetaraan antara pasangan, cara mengatasi konflik, dan kepuasan terhadap dukungan sosial juga sama bagi pasangan heteroseksual dan homoseksual. Pasangan homoseksual dan lesbian menilai sama atau lebih baik daripada pasangan heteroseksual pada area-area ini kecuali dukungan sosial (Papalia, Olds & Feldman 2009). Menurut sebuah penelitian terhadap pasangan sesama jenis dalam atau tidak dalam pernikahan sesama jenis, lesbian dalam pernikahan sesama jenis lebih terbuka terhadap orientasi seksual mereka daripada lesbian yang tidak dalam pernikahan sesama jenis, dan homoseks dalam pernikahan sesama jenis lebih dekat dengan keluarga asal mereka daripada homoseks yang tidak dalam pernikahan sesama jenis. Dalam pernikahan sesama jenis atau tidak dalam pernikahan sesama jenis, pasangan homoseks dan lesbian cenderung memiliki pemisahan kerja yang lebih tidak tradisional daripada pasangan menikah heteroseksual (Solomon, Rothblum, dan Balsam dalam Papalia, Olds & Feldman 2009 : 190). Bentuk hubungan gay dan lesbian sangat banyak, seperti juga kaum heteroseksual, mencari cinta, pertemanan, dan pemenuhan kebutuhan seksual dengan satu orang. Gay dan lesbian yang telah hidup bersama, juga membangun komitmen yang sama dengan pasangan heteroseksual.
35
Banyak orang (termasuk banyak ahli) membuat kekeliruan dengan menggap bahwa semua kaum homoseksual memiliki gaya hidup yang sama (Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Bell dan Weinberg (dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995) menyatakan bahwa dalam lingkungan homoseksual, secara umum ada 5 variasi gaya hidup yang dijalani, yaitu: a.
Closed-couple: suatu gaya hidup yang dijalani pasangan homoseksual yang berbentuk seperti perkawinan. Di dalamnya terlibat komitmen emosional yang dalam dan tidak ada hubungan seksual dengan orang lain.
b.
Open-couple: Gaya hidup yang dijalani pasangan homoseksual dimana mereka tinggal bersama, mempunyai komitmen, tetapi masih melakukan hubungan seksual dengan orang lain.
c.
Functional: Homoseksual yang menjalani hidup sendiri, bisa menyesuailkan diri terhadap gaya hidup bergant-ganti pasangan, dan mampu bersosialisasi dengan baik.
d.
Dysfunctional: Homoseksual yang menjalani hidup sendiri tetapi mempunyai masalah dalam hal seksual, sosial dan psikologis. Mereka seringkali menderita kecemasan, tidak bahagia dan mempunyai kesulitan dalam membentuk suatu hubungan intim.
e.
Asexual: Homoseksual yang hidup sendiri dan hanya mempunyai sedikit hubungan seksual. Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah homoseksual yang sudah berusia lanjut. 36
2.4 Kerangka Berpikir Setiap individu memiliki caranya masing-masing dalam menyelesaikan suatu masalah atau konflik akibat kecemasana atau permusuhan dasar yang individu alami. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana kepribadian seseorang yang cenderung memiliki pengaruh dalam memandang suatu konflik yang terjadi. Tidak hanya itu, adanya kepribadian pada setiap individu juga cenderung menjadi cerminan atau gambaran diri seseorang dalam berbagai hal khususnya cara mengatasi suatu konflik. Tanpa memandang adanya perbedaan orientasi seksual, seorang gay pun juga tidak terlepas dari adanya konflik yang dialami dalam hidupnya bahkan cenderung lebih besar, dimana mereka tidak hanya memiliki konflik interpersonal baik konflik terhadap keluarga, orang lain bahakan pasangan. Namun konflik interpersonal itu tidak lepas dari konflik intrapsikis yang terkait dengan orientasinya maupun karena konflik interpersonal yang dialami oleh individu tersebut. Seorang gay dapat terlihat seperti laki-laki pada umumnya karena penampilan mereka yang cenderung tidak memiliki perbedaan dengan laki-laki yang memiliki orientasi heteroseksual. Namun, mereka tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya terhadap lak-laki dan juga ingin memiliki pasangan seorang laki-laki. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan dinamika kepribadian pasangan gay berdasarkan teori Psikoanalisis Sosial Karen Horney. Dimana akan dibahas tentang kepribadian individu yang mempengaruhi individu dalam menyelesaikan konflik yang diakibatkan karena kecemasan terhadap sesuatu. Bukan hanya itu saja
37
penelitian ini juga akan membahas bagaimana kepribadian individu dalam berhubungan dengan orang lain, entah itu dengan keluarga, pasangan maupun dengan masyarakat.
38