BAB II. KAJIAN PUSTAKA Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas kaum muda pertama kali dilakukan oleh sosiologiwan Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa kaum muda adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons kaum muda adalah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Wyn and White, 1997: Barker 2005: 422 - 423). Jadi kaum muda bukanlah sebuah kategori biologis yang universal. Hal ini berarti, kaum muda sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidaklah
mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Itulah
sebabnya kecenderungan perlaku kaum muda di Jakarta,
Bandung, atau di
Yogyakarta, bisa berbeda dengan kaum muda di Mumbay, London, atau New York. Kaum muda tumbuh dan berkembang dalam konteks identitas lokal, nasional, bahkan global. Modernitas generasi muda dengan demikian bisa dimaknai sebagi budaya- nilai-nilai, pandangan, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai struktur masyarakat modern saat ini.
A. Modern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis 1. Perspektif Filosofis Pada mulanya filsafat dipandang sebagai sebuah ”kebijaksanaan” (wisdom) yang dalam bahasa Yunani disebut sophia. Maka filsafat (philosophia) adalah cinta akan kebijaksanaan dalam arti mencari dan berusaha mengetahui kebijaksanaan karena hal itu berarti menjalankan keutamaan.
26
Filsafat juga dipandang sebagai pengetahuan mengenai sebab-sebab terakhir dari kenyataan, atau menurut Aristoteles adalah ”ilmu tentang pengada sebagai pengada”. Pandangan ini berusaha untuk menemukan apa yang paling inti atau fundamental. Corak filsafat ini sering disebut ”metafisika”. Perkembangan berikut adalah pandangan yang melihat filsafat merupakan analisis bahasa (linguistic analysis), dan paham yang memandang filsafat sebagai bidang yang bertugas mencari titik temu atau konvergensi berbagai ilmu pengetahuan (Sastrapratedja, 2001). Dalam penelitian ini, filsafat diartikan sebagai suatu disiplin pemikiran yang berawal dari pemikir Yunani Kuno, yang kemudian menjadi khas pemikiran Barat modern sejak dibangkitkan dan diformulasikan kembali oleh Rene Descartes (rasionalisme).
Pengertian filsafat seperti ini merujuk pada bidang-bidang
metafisika, epistemologi, etika, estetika, dan logika. Perhatian akan dipusatkan hanya pada epistemologi secara sambil lalu, dengan pertimbangan bahwa apa yang ada (metafisika) secara konstan mengandaikan pada apa yang diketahui (epistemologi). Istilah modern berasal dari kata Latin “moderna” yang artinya “sekarang” “baru” atau “saat ini”. Atas dasar pengertian asli ini bisa dikatakan bahwa manusia senantiasa hidup di zaman “modern”. Oleh karena itu secara filosofis modern tidak hanya semata-mata menunjuk pada periode, epos atau zaman, melainkan, dan ini kebaruan (newness).
yang lebih penting, juga suatu bentuk kesadaran akan
27
Pemahaman
modernitas
sebagai
sebuah
bentuk
kesadaran
bersifat
epistemologis dalam arti perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau pola-pola berpikir, dan bukan perubahan institusional sebuah masyarakat. Modernitas sebagai bentuk kesadaran dicirikan oleh tiga hal yakni: subjektivitas, kritik, dan kemajuan (Suseno, 1992: 60-69; Hardiman, 2004: 3). a. Subjektivitas : Manusia sebagai Makhluk yang Sadar Yang dimaksud subjektivitas
bukanlah penilaian-penilaian berdasarkan
perspektif subjektif, melainkan “kekuatan subjek” yakni kesadaran manusia atas kemampuan rasionalnya. Jadi manusia tidak sekadar hadir begitu saja di dunia melainkan hadir dengan sadar, dengan berfikir, dengan berefleksi, dengan mengambil jarak, secara kritis, dengan bebas. Subjektivitas manusia mempunyai dua segi (Suseno, 1992: 60 - 64). Pertama, tentang perspektif manusia itu sendiri yang
bertolak dari cara pandang
kosmosentris pada zaman Yunani bergerak ke pandangan yang theosentris, dan dan akhirnya didesak ke samping oleh pandangan antroposentris dalam masa Renaissance sehingga lahirlah manusia universal sebagai cita-citanya. Segi kedua adalah subjektivisme religius yang terungkap dalam reformasi Kristen Protestan, terutama dalam ajaran Martin Luther. Melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia saat itu, Luther mempermaklumkan ”kebebasan orang kristen”, yakni hak untuk tidak mempercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara hatinya. Keyakinan akan hak manusia untuk mengikuti kepercayaan yang diyakininya, ditampung dan diuniversalkan secara etis oleh Emanuel Kant (1724 – 1804). Kant
28
membedakan antara moralitas dan legalitas. Seseorang dapat bertindak sesuai dengan kewajibannya semata-mata karena hal ini menguntungkan dirinya, misalnya ia akan dipuji dan dipercayai sebagai orang baik. Inilah yang disebut legalitas, sebuah kesesuaian lahiriah antara
tindakan dan hukum. Sementara
moralitas, atau sikap moral terpuji, mesti terletak dalam hati. Orang hanya bersikap baik dalam arti moral apabila ia bertindak sesuai dengan kewajibannya karena ia mau menghormati kewajibannya, bukan karena pertimbangan untung rugi. b. Rasionalitas dan Kritik Di dalam subjektivitas terkandung elemen rasionalitas, yakni tuntutan agar suatu klaim atau pernyataan dipertanggungjawabkan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang tidak mengandaikan kepercayaan atau pra-pengandaian tertentu dan dapat diuniversalkan. Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti dan dipertanggungjawabkan dipertanggungjawabkan
secara
rasional.
Maka,
yang
tidak
dapat
secara rasional harus ditolak, seperti tradisi, otoritas
tradisional, termasuk di dalamnya adalah dogma. Penolakan terhadap tradisi, otoritas, dan dogma ini mempunyai dampak dalam bidang ilmu pengetahuan. Budi Hardiman (1994 : 1-15), melukiskan sebuah sketsa menarik. Menurutnya, sejarah modernitas dewasa ini adalah sejarah rasionalisasi, yang digambarkan sebagai pertarungan dua raksasa peradaban yakni antara logos yakni, rasio atau akal budi manusia, dan mitos yakni spekulasi metafisis-teologis tanpa basis empiris. Logos dan mitos memiliki musuh bersama yakni khaos.
29
Pada awalnya, mitoslah yang menyelamatkan manusia dari khaos. Logos yang datang kemudian tampil lebih maju dalam rupa sains, menawarkan sebuah tilikan atas dunia yang dapat lebih dimengeti dan diterima. Pertarungan keduanya, dan juga metamorphosis mereka itulah yang tergelar dalam arena sejarah modernitas (rasionalisasi). Watak sains modern adalah “netral”, yakni tidak berprasangka, tidak memberi penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan. Watak semacam ini secara tegas dibedakan dari etika yang justru berwatak preskriptif, personal, dan menilai tindakan. Dengan watak-watak semacam itu, sains merupakan pembawa nilainilai modern. Dalam komunitas ilmiah nilai-nilai ini terwujud dalam sikap tidak berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada otoritas subjektif. Nilainilai yang dianut komunitas ilmiah itulah yang diandaikan dapat menjadi sumber otoritatif bagi masyarakat. Inilah yang disebut saintisme. Bentuk paling matang dari saintisme ini adalah positivisme yang dirintis August Comte, yang kemudian dimantapkan lagi oleh Kelompok Wina pada abad ke-20. Basis epistemologis positivisme adalah penegasan bahwa satu-satunya fondasi pengetahuan adalah pengalaman indrawi. Karena itu segala sesuatu yang melampaui pengalaman tidak bisa disebut pengetahuan ilmiah. Comte menolak dengan tegas bentuk pengetahuan lain seperti etika, metafisika, teologi, seni yang melampaui fenomena teramati.
30
Namun demikian, sains yang telah menghancurkan dan menyingkirkan mitos dengan
sekularisasi1,
rasionalisasi,
moralitas,
dan
metafiska
ini
mulai
menampakkan wujud aslinya. Logos telah berubah wujud menjadi Mitos baru setelah peristiwa dua Perang Dunia. Mitos baru ini didukung dan dipercaya begitu saja dengan cara membiarkan watak eliminasi dan dominasinya. Maka muncullah para pemikir yang bersikap kritis untuk tetap mempertahankan rasionalitas namun dalam perspektif yang kritis terhadap positivisme dan saintisme, antara lain Teori Tindakan dari Max Weber (1864 – 1920), dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Max Weber, sebagaimana dikemukakan oleh Bryan S. Turner
(1992),
membedakan dua macam tindakan rasional, yakni yang “berorientasi saranatujuan” (functional rationality) , dan yang “berorientasi realisasi nilai absolut” (substantial rationality). Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas seseorang atau sekelompok orang yang berorientasi pada tujuan suatu tindakan, cara mencapai, dan akibat-akibatnya. Rasionalitas ini juga disebut rasionalitas instrumental dan bersifat formal karena hanya mengkalkulasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi seraya memikirkan dan menekankan efisiensi. Sedangkan rasionalitas nilai (substantial rationality) adalah rasionalitas yang mempertimbangkan
nilai
atau
norma-norma
yang
membenarkan
atau
menyalahkan penggunaan cara tertentu untuk mencapai tujuan. Rasionalitas ini 1
Arti asli dari sekularisasi adalah proses penyitaan kekayaan duniawi Gereja di beberapa negara di Eropa, di daerah kekaisaran Jerman misalnya pada tahun 1803. Pada zaman sekarang sekularisasi sering dipahami sebagai upaya menggeser dimensi adikodrati dari semua lingkungan kehidupan duniawi. Sekularisasi berbeda dengan sekularisme. Sekularisme merupakan sikap menentang pengaruh agama atas kehidupan masyarakat. Sedangkan sekularisasi dapat disebut sebagai penduniawian dunia, pendewasaan, dan pemandirian bidang-bidang duniawi. Sekularisasi memang bertentangan dengan paham tradisional, bahwa masyarakat, alam, dan alam gaib merupakan kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Bagi masyarakat modern ketiganya tidak mempunyai hubungan langsung lagi.
31
menekankan pada kesadaran nilai-nilai estetis, etis, politis, dan religius. Dalam kenyataan, kedua rasionalitas ini bercampur aduk dan saling tergantung. Ross Poole menafsirkan konsep rasionalitas Weber dengan cara yang lebih bebas. Bagi Poole (1993 : 87), dalam pandangan Weber sebenarnya terkandung tiga rasio, yakni rasio instrumental, rasio yuridis, dan rasio kognitif atau rasio ilmiah. Rasio instrumental lebih menekankan cara yang paling efektif meraih tujuan. Rasio yuridis mengacu pada bentuk rasionalitas yang terealisasi dalam bidang hukum dan birokrasi. Rasio instrumental dan rasio yuridis sering bercampur namun tidak jarang saling bertentangan. Jenis rasio yang ketiga menurut Poole adalah rasio ilmiah yang mengacu pada pemikiran sistematik tentang dunia teoretik yang abstrak. Pendekatan mutakhir dalam filsafat ilmu-ilmu sosial modern adalah Teori Kritis yang merupakan program yang pertama kali dirumuskan oleh Max Horkheimer, seorang tokoh arsitek “Mazhab Frankfurt”. Kritik merupakan konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Adapun tujuan teori kritis adalah “to link theory and practice, to provide insight, and to empower subjects to change their oppressive circumstances and achieve human emancipation, a rational society that satisfies human needs and powers” Lacey (1990 : 279). Bleich (1977), sebagaimana dikemukakan oleh Nuryatno (2008 : 13-15), menjelaskan tiga prinsip teori kritis. Pertama, teori kritis secara integral terkait dengan realitas sosial bukan dalam alam abstrak dan ahistoris. Kedua, fungsi teori kritis adalah menguji kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di dalam masyarakat modern dan berupaya mencari akar penyebabnya dengan membongkar apa yang
32
tersembunyi dan membuat yang implisit menjadi eksplisit. Ketiga, menggunakan beberapa idealitas nilai-nilai masa lalu utuk menilai situasi sekarang. Max Horkheimer, salah seorang arsitek Mazhab Frankfurt, mengungkapkan adanya dilema usaha manusia rasional yakni tergesernya akal budi atau rasio objektif ke akal budi subjektif atau akal budi instrumentalis (Sindhunata, 1983 : 96-101). Pengertian rasio subjektif berkaitan dengan pengertian masyarakat pada umumnya tentang rasio, bahwa orang yang rasional dapat memutuskan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Karena itu rasio subjektif sangat mementingkan cara dan tidak mempersoalkan tujuan pada dirinya sendiri. Menurut para eksponen Mazhab Frankfurt, teori Marx belum cukup kokoh sebagai basis dalam menjelaskan dinamika masyarakat kapitalis. Mereka sepakat dengan Marx bahwa kapitalisme telah menciptakan konsentrasi kekayaan ekonomi dengan mengorbankan kaum pekerja yang tidak bisa mengkonsumsi komoditas yang mereka hasilkan.
Inilah salah satu alasan Mazhab Frankfurt
mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi politik ke kritik atas penggunaan rasio atau akal budi instrumental dalam masyarakat modern (Marcuse, 1964). Dalam pandangan Mazhab Frankfurt, penggunaan rasio intrumental telah menghasilkan budaya industri yang menghalangi perkembangan individu yang sadar, otonom, kritis, dan independen (Adorno & Horkheimer, 1972). Akan halnya Habermas, salah satu eksponen Mazhab Frankfurt generasi kedua yang paling menonjol. Pemikiran Habermas yang paling penting adalah teori tentang tindakan komunikatif (The Theory of Communicative Action, 1984). Menurut Habermas pekerjaan dan komunikasi adalah dua macam tindakan
33
dasar manusia, yang meskipun saling mengandaikan dan berkaitan erat, namun tidak dapat dikembalikan satu pada yang satunya. Bekerja adalah sikap manusia terhadap alam. Komunikasi adalah sikapnya terhadap manusia lain. Dalam pekerjaan hubungan manusia dengan alam tidak simetris ; manusia mengerjakan alam, ia aktif sementara alam adalah bahan pasif. Manusia menguasai alam melalui pekerjaan. Sedangkan komunikasi adalah hubungan yang simetris atau timbal balik, dalam arti selalu terjadi di antara pihak yang sama kedudukannya. Maka, pekerjaan dan komunikasi berjalan menurut aturan yang berbeda, menunjang ilmu pengetahuan yang berbeda, dan mempunyai rasionalitas yang berbeda pula. Pekerjaan adalah tindakan yang mempunyai rasionalitas sasaran, dan karena itu merupakan tindakan instrumental. Sebaliknya, komunikasi merupakan interaksi dengan
simbol-simbol,
memakai
bahasa
dan
mengikuti
norma-norma.
Komunikasi tidak mengembangkan ketrampilan, melainkan kepribadian orang. Dengan kata lain Habermas membuat distingsi antara manusia sebagai tool making animal dan manusia sebagai speaking/symbolizing animal, antara tindakan instrumental (tindakan rasional yang bertujuan) dan tindakan komunikatif. c. Kemajuan (Progress) Subjektivitas dan rasionalitas/kritik mengandaikan elemen yang ketiga yakni kemajuan (progress). Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari waktu sebagai serangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik itu. Eksistensi manusia terentang antara masa lampau dan masa depan. Karena itu manusia adalah kemungkinan-kemungkinan yang
34
dapat diaktualisasikan masa kini. Intinya, kemajuan merupakan penciptaan kesejahteraan umat manusia di masa depan, karena manusia adalah posibilitas sekaligus aktualitas. 2. Perspektif Sosiologis Ada dua cara untuk menetapkan konsep modernitas, yakni historis dan analitis. Konsep historis mengacu pada ruang dan waktu tertentu. Sosiologiwan Anthony Giddens (1990:1), mendefinisikan modernitas sebagai “modes of social life or organisation which emerged in Europe from about the seventeenth century onwards and which subsequently became more or less worldwide in their influence”. Kendati penetapan ruang (geografis) dan waktunya berbeda-beda antar para sosiologiwan, namun dalam hal faktor pendorong mereka sepakat bahwa modernitas muncul akibat revolusi besar. Revolusi industri di Inggris menyediakan landasan ekonomi, Revolusi Perancis dan Amerika menyediakan landasan institusional politik berupa demokrasi konstitusional, kekuasaan berdasarkan hukum, dan prinsip kedaulatan negara-bangsa. Melengkapi cara historis, muncul cara analitis yakni dengan menemukan ciriciri fundamental modernitas yang digambarkan secara komprehensif dalam berbagai tulisan para teoretisi sosial utama abad ke-19 seperti Karl Marx, Max Weber, Alexis de Tocqueville, Georg Simmel, dan Emile Durkheim. Dalam masyarakat kontemporer saat ini, pemikiran mereka masih tetap relevan, termasuk Marx, kendati beberapa negara sosialisme telah gagal.
35
Bagi Adam Smith dan Karl Marx, kapitalisme dalam arti pasar dan produksi yang berorientasi profit (Marx) merupakan pendorong utama bagi kehidupan sosial modern. Menurut Marx, modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalisme. Marx mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat pramodern ke masyarakat kapitalisme. Namun demikian hampir seluruh karyakaryanya ditujukan untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalis. Melalui kapitalisme, khususnya melalui konsep kepemilikan pribadi, orang jadi berebut-rebutan memiliki alam sebagai sumber kehidupan sebanyakbanyaknya. Manusia bersaing dengan manusia lainnya untuk memperbanyak harta milik pribadinya karena dengan hal itu berarti lebih berkuasa baik kekuasaan ekonomis maupun kekuasaan politis. Dengan demikian kapitalisme menciptakan manusia yang serakah, bukan sebaliknya. Itulah hakikat manusia sebagaimana dia dibentuk oleh sejarah atau human nature as modified in each historical epoch (Fromm, 1966: 25). Sementara itu, August Comte menekankan pada penerapan ilmu dan teknologi secara tertib dan rasional, Tocqueville menekankan pada transisi dari organisasi politik dan nilai-nilai budaya aristokrat ke institusi yang demokratis berdasarkan nilai-nilai egalitarian, sementara Durkheim lebih menonjolkan individualisme dan pembagian kerja (Cohen, 2006: 390). August Comte (Sztompka, 2004: 82) juga menunjukkan beberapa ciri tatanan baru (modernitas) sebagai berikut : konsentrasi tenaga kerja di pusat urban ; pengorganisasian pekerjaan berdasarkan efektivitas dan keuntungan ; penerapan ilmu dan teknologi dalam proses produksi ; munculnya antagonisme, baik laten
36
maupun nyata antara majikan dan buruh ; semakin meluasnya ketimpangan dan ketidakadilan sosial ; dan sistem ekonomi pasar dengan persaingan terbuka. Ciriciri lain dikemukakan oleh para sosiologiwan yang berpandangan dikotomis yakni konsep yang membandingkan dua keadaan : tradisional dan modern, misalnya Ferdinand Tonnies, Spencer, Durkheim, Weber, Parsons, dan Rostow (Etzioni, 1981 : 14-18 ; 36-37). Sztomka (2004: 85-86) mencatat analisis yang lebih sistematis tentang modernitas yang disajikan Krishan Kumar (1988). Menurut Kumar ciri-ciri masyarakat modern adalah individualisme atau “kemenangan individu”, diferensiasi di bidang tenaga kerja dan konsumsi, rasional, ekonomisme dalam arti seluruh aspek kehidupan didominasi oleh logika dan aktivitas ekonomi,dan perkembangan
dalam
arti
bahwa
modernitas
cenderung
memperluas
jangkauannya, terutama ruangnya. Tokoh penting lain yang perlu dikemukakan di sini adalah Georg Simmel. Simmel memandang modernitas
dari dua sisi yang saling berhubungan yakni
kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebarkan dan memperluas modernitas lewat pertukaran (Frisby,1992 : 69). Sambil mengidentifikasi bahwa kota merupakan pusat perekonomian, Simmel berpendapat bahwa hubungan antar manusia di pusat kota cenderung anonim. Hal ini disebabkan oleh relasi pemenuhan kebutuhan di pasar yang anonim pula. Munculnya kota-kota besar memiliki implikasi signifikan di dalam pembentukan hidup sosial, untuk selanjutnya berimplikasi pada meningkatnya konsumsi warga kota.
37
Aspek lain dari modernitas adalah manusianya. Kondisi modern jelas mempengaruhi kepribadian manusianya. Namun sebaliknya, ada kecenderungan kepribadian tertentu dibutuhkan sebagai syarat menjadi manusia modern. Dengan kata lain demi efektifnya sebuah masyarakat modern, diperlukan kualitas sikap, nilai, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat tersebut, seperti dikermukakan Inkeles dan Smith dalam bukunya Becoming Modern : Individual Change in Six Developing Countries (1974). Dalam karyanya itu, Inkeles dan Smith mengemukakan ciri-ciri manusia modern antara lain ; keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru; mampu menghormati segala perbedaan termasuk perbedaan pendapat; berorientasi ke masa kini dan masa depan ; memiliki rasa keadilan dalam berbagi; menghormati martabat orang lain, termasuk orang yang berstatus rendah. Menurut Inkeles, dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia modern setelah ia mencapai usia dewasa. Dari hasil penelitiannya, Inkeles dan Smith menyatakan bahwa memang pendidikan adalah paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lain. Di samping pendidikan, pengalaman kerja, terutama kerja di pabrik, dan konsumsi media massa merupakan cara kedua yang efektif. Memasuki abad ke-21, Daniel Bell (1973), mengemukakan elemen-elemen perubahan dalam masyarakat. Pertama di bidang ekonomi, ada kecenderungan peralihan dari keunggulan barang-barang produksi manufaktur ke industri jasa. Ini merupakan hal yang paling menentukan dalam masyarakat pascaindustri.
38
Kedua, pekerjaan profesional, pemberi jasa, dan teknis menguasai lapangan kerja. Ketiga, ilmu pengetahuan adalah poros sentral dari masyarakat pasca industri dan berperan sebagai sumber utama inovasi dan formulasi kebijakan. Keempat, masyarakat pascaindustri berorientasi pada penafsiran atas kontrol teknologi dan dampak-dampaknya. Kelima, pengambilan kebijakan ikut menciptakan sebuah “teknologi intelektual” baru seperti teori informasi, sibernetika, teori keputusan, dan teori dan proses-proses lain yang melibatkan variabel yang bervariasi. Di bidang teknologi terjadi peningkatan teknologi intelektual baru yang mengacu pada high-tech yang dibutuhkan dalam proses informasi (TI) daripada memproses bahan mentah dan energi. Anthony Giddens, sosiologiwan kontemporer yang menonjol pada abad ini, menggunakan istilah modernitas ”tinggi” atau ”radikal”, runaway world, dunia yang berlari atau dunia yang tunggang langgang untuk melukiskan masyarakat abad ke-21. Runaway world digambarkan bagai sosok “juggernaut” yang lepas kontrol (1990, 1999). Tentang juggernaut ini Giddens (1990 : 139) mengatakan: “A runaway engine of enermous power which, collectively as human beings, we can drive to some extent but which also threatens to rush out of control, and which could rend itself asunder” Dengan terma juggernaut, Giddens menggambarkan keadaan dunia di zaman globalisasi yang kecepatannya tidak dapat dikendalikan dan perubahannya tidak dapat diramalkan. Giddens bermaksud untuk menentang pendapat para pemikir sosial budaya yang menyatakan masyarakat telah memasuki era postmodern. Giddens memilih menggunakan istilah modernitas “tingkat tinggi” atau “radikal”.
39
Senada dengan Giddens, Habermas (1987) menyatakan bahwa modernitas merupakan proyek yang belum selesai dalam arti masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern. Ini berarti bahwa masalah sentral dalam dunia modern masih tetap berpusat pada rasionalitas seperti pada masa Weber. Menurut Giddens (1990: 59) masyarakat modern memiliki empat ciri institusional atau organisasional. Pertama, modernitas mencakup perkembangan sistem kapitalisme. Perusahaan saling bersaing dalam hal modal, tenaga kerja, bahan mentah, dan produk jadi. Kedua, modernitas mengimplikasikan industrialisme, yakni pelipatgandaan usaha manusia dengan menggunakan sumber daya material seperti mesin (teknologi). Ketiga, peran negara dengan kemampuan administratifnya, yakni kemampuan mengendalikan masyarakat dalam daerah tertentu. Keempat, pemusatan pengendalian atas penggunaan sarana kekerasan oleh militer dalam konteks industrialisasi sarana peperangan. Sosiologiwan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah George Ritzer. Sama seperti Weber, Ritzer juga melihat rasionalitas sebagai proses kunci di dunia saat ini. Ritzer menggunakan konsep ideal birokrasi Weber untuk menyoroti restoran cepat saji yang mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Ritzer
melukiskan
peningkatan
rasionalitas
formal
ini
dengan
istilah
McDonaldisasi masyarakat (Ritzer, 2003), yakni suatu proses dimana prinsipprinsip restoran cepat saji mulai mendominasi berbagai sektor dalam masyarakat di seluruh dunia, mulai dari bisnis restoran, agama, seks, pendidikan, dunia kerja, biro periklanan, politik, program diet, keluarga, dan sebagainya.
40
Ada empat prinsip rasionalitas formal restoran cepat saji McDonalds yakni, pertama efisiensi. Kedua, kemampuan untuk diprediksi atau keterprediksian (predictability).
Mengetahui bahwa McDonald's tidak menawarkan kejutan
adalah sebuah kenyamanan besar. Ketiga, McDonald's menawarkan makanan dan layanan yang terkuantifikasi dan terkalkulasi. McDonald's membuktikan nilai budaya yang diyakini banyak orang, "yang lebih besar adalah yang lebih baik", kuantitas sejajar dengan kualitas, dan penghematan waktu. McDonald's menjanjikan, bahwa pergi dan makan di McDonald's lebih hemat waktu ketimbang makan di rumah. Kalkulasi waktu ini juga merupakan kunci sukses sistem home-delivery (pesanan diantar ke rumah) McDonald's. Keempat, McDonald's menawarkan kontrol, terutama prosedur kerja dan penggantian pekerja manusia dengan mesin. Prisip-prinsip di atas adalah komponen dasar sistem masyarakat modern yang rasional. Ritzer menunjukkan bagaimana sistem yang rasional ini sebenarnya penuh dengan irasionalitas. Meningkatnya layanan home-delivery di Jepang misalnya, bukannya meningkatkan efisiensi, tetapi malah membuat jalan raya dipenuhi mobil-mobil pengantar pesanan dan membuat meningkatnya kemacetan. B. Postmodernisme dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis 1. Perspektif Filosofis Anderson (2004: 2-5), menyatakan, sebagai sebuah terma atau istilah, postmodernisme pertama muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an, satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Terma “Postmodernismo” digunakan oleh Frederico de Onis untuk menggambarkan
41
mengalirnya kembali konservatisme (conservative reflux) dalam modernisme di bidang sastra-budaya. Arnold Toynbee pun menggunakan terma tersebut dalam jilid ke-8 bukunya yang berjudul A Study of History yang terbit tahun 1954. Toynbee memberi nama jaman yang baru terbuka setelah Perang Perancis-Prusia (Franco-Prussia War) sebagai era “Post-modern”. Nampak bahwa terma postmodernime digunakan dengan kandungan isi dan maksud yang berbeda, apalagi jika dikaitkan kondisi masa kini. Oleh karena itu perlu dijernihkan dulu beberapa istilah dan konsepkonsep yang mengemuka dalam wacana masa kini tentang kondisi postmodern, yakni postmodernisme, postmodernitas, dan postmodernisasi. Postmodernisme tidak mempunyai sebuah definisi yang tunggal-monolit-ketat karena setiap pemikir (modernis maupun postmodernis) berbicara dengan pengertiannya sendiri. Namun setidaknya postmodernisme memiliki dua karakter pokok yakni pertama merujuk pada gaya estetik dan artistik yang menolak kodekode artistik dan estetis era modernisme, dan kedua posisi teoretik dan filosofis yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (Hutcheon, 2006: 115). Adapun postmodernitas merupakan sebuah tahap
perkembangan atau
perubahan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Postmodernitas merujuk pada epos sosial dan politik yang secara umum melanjutkan atau mengikuti era modern dalam arti sejarah (Ritzer, 2005:14). Sedangkan postmodernisasi menunjuk pada sejumlah perubahan sosial yang mengarah pada transisi dari modernitas ke postmodernitas.
42
Mengacu pada karakter keragaman atau pluralitas, Bambang Sugiharto (1996: 30-32) mengkategorikan bentuk-bentuk pemikiran postmodernisme. Pertama, kecenderungan untuk kembali kepada pola berpikir pramodern. Sebagai contoh adalah kecenderungan mengkaitkan metafisika abad baru dengan wilayah pemikiran mistis, terutama nampak dalam wilayah fisika modern. Kedua, kenderungan yang muncul dalam dunia sastra dan persoalan linguistik. Kata kunci yang muncul adalah dekonstruksi. Motivasinya mencegah totaliterisme dalam segala sistem. Kategori ketiga adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme tanpa menolak modernisme secara total, yakni dengan cara memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Dengan kata lain, mengkritik sambil tetap mempertahankan ideal-ideal modern tertentu. Pemikir Jean Francois Lyotard (1924-1998) dianggap sebagai filsuf yang pertama kali memasukkan istilah “postmodern” ke dalam dunia filsafat sekitar tahun 1970-an. Dalam karya-karyanya, Lyotard selalu menekankan bahwa postmodernitas bukanlah sebuah epos sejarah baru, melainkan fase sejarah yang berulang dalam modernitas. “Postmodernisme adalah bagian dari modern” (Lyotard, 1993: 12). Tesis pokok Lyotard dalam buku The Postmodern Condition (1984) adalah, dalam abad modern ilmu pengetahuan atau sains, yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid, tidak dapat melegitimasi klaimnya itu karena aturan main sains bersifat inheren dan ditentukan oleh konsensus di antara para ilmuwan sendiri. Sains melegitimasi dirinya, secara konkrit, dengan bantuan beberapa narasi besar (grandnarratives) seperti hermeneutika makna, subjek yang
43
rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia sebagai kepercayaan yang optimis tentang kemajuan (1984: xxiii). Narasi atau kisah-kisah besar itu tidak mendasarkan legitimasinya pada peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh para dewa), melainkan pada masa depan, dalam suatu Ide yang harus diwujudkan. Contohnya antara lain adalah keyakinan bahwa kemajuan umat manusia seluruhnya akan tercapai melalui perkembangan tekno-ilmiah yang kapitalistik (technoscience). Bagi Lyotard modus legitimasi semacam itu tidak bisa dipertahankan lagi karena kebanyakan proyek yang berangkat dari narasi besar telah gagal. Prinsip pengetahuan dalam postmodern bukan lagi legitimasi pada kesatuan (homologi), melainkan pada paralogi. Narasi-narasi kecil yang melegitimasikan praktek-praktek pengetahuan tanpa perlu persetujuan dari grandnarratives. Munculnya wacana atau diskursus feminisme, maskulinitas, queer studies, dan berbagai pengetahuan lokal yang ”tidak ilmiah”, bahkan sampai ilmu klenik, merupakan contoh representasi prinsip pengetahuan postmodern. Karena itu istilah-istilah kunci dalam postmodern yang sering muncul adalah, antara lain pluralisme, fragmentasi, heterogenitas, dekonstruksi, skeptisisme, ambiguitas, ketidakpastian, perbedaan. Berbeda dengan Lyotard, Jacques Derrida dikenal luas karena salah satu konsep yang dikemukakannya yakni dekonstruksi. Derrida dan pengikutnya, menolak mendefinisikan dekonstruksi, karena definisi adalah pembatasan, sementara dekonstruksi sendiri berupaya menerobos batas. Bagi Derrida dekonstruksi selalu merupakan dekonstruksi atas sebuah ”teks”.
44
Menurut Derrida, sebuah teks tidak bermakna tunggal melainkan selalu terbuka. “Teks” di sini menggantikan “karya”. Karya, menyatakan secara tidak langsung kualitas intelektual si pengarang. Dalam postmodern, tidak ada lagi pengarang, tidak ada lagi karya. Dalam hal ini, yang menjadi masalah bukan siapa yang menciptakan teks, tetapi lebih pada siapa “yang membaca” teks. Kekuasaan beralih dari pengarang ke pembaca. Inilah demokratisasi dalam ilmu-ilmu sosial. Implikasinya, yang menjadi fokus masalah adalah hubungan antara suatu teks dengan semua teks yang lain, atau intertekstualitas. Tujuan dekonstruksi adalah membebaskan pluralitas makna teks dari represi yang dilakukan struktur maupun maksud pengarang. Dekonstruksi membongkar unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran (Derrida, 1976: 158). Dalam perspektif kaum strukturalis, makna sebuah tanda (kesatuan penandatinanda) diperoleh dari perbedaan tanda itu dengan tanda yang lain. Salah satu jenis kuliner yang digemari orang Indonesia sebagai pengiring makan disebut “sambal” bukan “sandal”, bukan karena kata itu logis berkaitan dengan rasa pedas yang berasal dari cabe, melainkan karena perbedaannya dengan kata ”lalapan”, “krupuk”, “saos”, atau “kecap”. Jadi istilah atau kata “sambal” ditentukan secara manasuka (arbitrary). Begitu pula tanda (kata atau konsep) “manusia” punya arti ketika ia ditautkan dengan tanda “Allah”, “malaikat”, “binatang”, “tumbuhan”. Dengan kata lain, makna tanda diperoleh dari perbedaan rangkaian atau rajutan tanda-tanda. Namun yang sering terjadi, pertautan atau rajutan yang sebenarnya punya banyak kemungkinan, menyempit menjadi pertentangan dua kutub atau oposisi
45
biner. Laki-laki dihadapkan dengan perempuan, personal dengan sosial, privat dengan publik, (negara-negara) Barat dengan Timur atau Utara dan Selatan, jiwa dengan badan, dan seterusnya. Hal ini sebetulnya tidak masalah dalam operasi bahasa. Masalah muncul ketika salah satu terma dalam oposisi itu diunggulkan atas terma lainnya, sehingga terjadi hirarkisasi oposisi biner: satu terma menguasai dan menjadi asal makna bagi terma yang lain. Misalnya terma perempuan memperoleh makna hanya dikaitkan dengan laki-laki; tetapi sebaliknya terma laki-laki seolah-olah memiliki makna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud Derrida ketika mengatakan bahwa hubungan dua terma yang saling beroposisi bukanlah hubungan setara, tetapi hubungan hirarkis yang brutal (violent hierarchy) : In a classical philosophical opposition we are not dealing with the peaceful coexistence of a vis a vis, but rather with a violent hierarchy. One of the two terms govern the other (axiologically, logically, etc.) or has the upper hand. To deconstruct the opposition, the first of all, is to overturn the hierarchy at a given moment (Derrida, 1981: 41). Permasalahannya, hirarki oposisi biner ini tidak hanya berpengaruh dalam cara berpikir tetapi juga terinstitusionalisasi dan dijaga oleh tradisi, sehingga menjadi budaya dalam arti yang seluas-luasnya. Misalnya budaya patriarki yang ditopang oleh superioritas terma “laki-laki” atas “perempuan”. Pauline Rosenau (1992) dalam salah satu karyanya Post-Modernism and the Social Science, mempertajam karakteristik teori sosial postmodern dengan cara yang mudah dipahami. Pertama,
ini yang paling nyata, postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya dalam memenuhi janji-janjinya.
Kedua, teoretisi postmodernis cenderung menolak apa yang
46
dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya seperti pada para teoretisi modernitas. Pemikir pascamoden cenderung membicarakan fenomena pramodern seperti perasaan, emosi, intuisi, refleksi, spekulasi, tradisi, kosmologi, magis, mitos, pengalaman mistik, dan sebagainya. Ketiga, para teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang membuat garis batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademik dan non akademik, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, citra dan kenyataan”. Keempat, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademik modern yang serba teliti, cermat, dan bernalar. Mereka cenderung lebih menyastra daripada gaya bahasa akademik yang logik-argumentatif. Kelima, postmodernis tidak memfokuskan diri pada isu-isu inti (core) masyarakat modern, melainkan pada bagian pinggirannya (peripheri).
Singkatnya,
demikian
Rosenau,
teoretisi
postmodern
lebih
menawarkan “intermediasi daripada determinasi, keragaman (diversity) daripada kesatuan (unity), perbedaan daripada sintesis, dan kompleksitas daripada simplifikasi”. 2. Postmodern : Perspektif Sosiologis a. Gaya Hidup Masyarakat Konsumen Membicarakan teori sosial postmodern tidak bisa dilepaskan dari karya-karya Jean Baudrillard (1929 - ), sosiologiwan postmodern Perancis yang memiliki perhatian terhadap realitas, media, dan ilusi. Pernyataan sentral Baudrillard adalah bahwa objek (konsumsi) menjadi tanda (sign). Maka kalau Ritzer menyebut masyarakat
kontemporer
sebagai
McDonaldization
Society,
Baudrillard
menyebutnya dengan istilah Consumer Society (1988). Baudrillard dipengaruhi
47
oleh Marshall McLuhan yang mementingkan media massa dalam pandangan sosiologis dan Roland Barthes tentang analisis semiotika dalam kebudayaan. Baudrillard (1998 : 32-33) menyatakan, situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi yang ditandai oleh multiplikasi objek, jasa, dan barang-barang material. Gagasan mengenai manusia yang mempunyai kebutuhan dan harus selalu terpenuhi melalui konsumsi adalah mitos. Dalam kenyataan manusia tidak akan pernah merasa terpuaskan kebutuhan-kebutuhannya, karena pemenuhan kebutuhan tidak menyangkut soal representasi identitas. Dalam konteks inilah sebuah objek konsumsi bermakna sebagai tanda. Ketika seseorang mengkonsumsi objek, maka orang itu sedang mengkonsumsi tanda, dan pada waktu itu yang bersangkutan sedang mendefinisikan dirinya. Dengan kata lain, mengkonsumsi objek tertentu menandakan (bahkan secara tidak sadar), bahwa seseorang sama dengan orang-orang yang mengkonsumsi objek tersebut, sekaligus berbeda dengan orang yang mengkonsumsi objek lain. Inilah yang disebut kode, yang mengontrol apa yang kita konsumsi dan yang tidak kita konsumsi. Dengan cara lain dapat dikatakan, mengkonsumsi tidak lagi sekadar kegiatan memenuhi kebutuhan dasar atau fungsi kegunaan, akan tetapi berkaitan dengan kegiatan mengekspresikan posisi atau status sosial ekonomi tertentu, menandai kelas seseorang dalam masyarakat, atau menentukan identitas kultural seseorang. Komoditas yang dikonsumsi tidak hanya sekadar objek atau materi, tetapi juga makna simbolik atau tanda alias makna-makna sosial yang tersembunyi di
48
dalamnya. Masyarakat didorong untuk semakin konsumtif dengan munculnya berbagai industri kartu kredit. Manifestasi masyarakat konsumen semacam ini adalah persoalan gaya hidup. Menurut David Cheney, gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern (2004: 40). Siapapun yang hidup dalam masyarakat modern, akan menggunakan gagasan gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Menurut Chaney gaya hidup merupakan gaya, tata cara menggunakan barang, tempat, dan waktu, yang khas kelompok masyarakat tertentu. Gaya hidup, dengan demikian dikaitkan dengan perbedaan pola penggunaan barang, ruang, dan waktu tertentu oleh kelompok masyarakat yang berbeda. Gaya hidup dipahami oleh Cheney sebagai proyek reflektif dan penggunaan fasilitas konsumen secara sangat kreatif. Senada dengan Chaney, Piliang mengartikan gaya hidup sebagai karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya (Piliang, 1998: 209). Karakteristik tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya cara berpakaian, cara makan, cara berbicara, kebiasaan di rumah, di kantor, atau di sekolah/kampus, kebiasaan belanja, pilihan teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut, tata busana, dan sebagainya. Ada dua pendekatan yang menonjol untuk menyoroti gaya hidup, yakni ideologis dan sosio-kultural (Piliang, 1998: 210-212). Pendekatan ideologis berasal dari analisis sosial Marxisme. Menurut pandangan kaum Marxist, gaya
49
hidup dilandasi oleh suatu ideologi yang menentukan bentuk dan arah gaya hidup. Sedangkan pendekatan sosio-kultural memandang gaya hidup sebagai refleksi dari kesadaran kelas kelompok masyarakat tertentu, atau bentuk ungkapan makna sosial dan kultural. Setiap penggunaan objek, ruang, dan waktu, menyiratkan adanya aspek-aspek penandaan dan semiotik, yang mengungkapkan makna sosial dan kultural tertentu. Pemikiran Baudrillard yang sudah dipaparkan di atas termasuk dalam pendekatan ini. Salah satu perhatian para sosio-kulturalis adalah gaya hidup yang tercermin dalam dan dibentuk oleh iklan. Iklan tidak saja merepresentasikan gaya hidup, tetapi juga menaturalisasikannya. Dalam konteks modernitas, gaya hidup yang ditawarkan oleh iklan menjadi lebih beragam, tidak lagi milik kelas tertentu dalam masyarakat, seperti sebelumnya (Piliang, 1998 ; Heryanto, 2000). b. Daya kritis Sikap atau daya kritis boleh dikatakan sebagai semangat atau roh dari postmodernisme. Kritik atau sikap kritis menyiratkan bahwa rasio tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari otoritas tradisi atau untuk menghancurkan prasangkaprasangka yang menyesatkan (emansipatoris). Paulo Freire (1999) membedakan kesadaran manusia menjadi tiga. Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran yang melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Kedua, kesadaran naif, yakni lebih melihat aspek ‘manusia’ sebagai penyebab persoalan
50
(blaming the victims). Ketiga adalah kesadaran kritis yakni cara pikir yang melihat sistem atau struktur sebagai sumber masalah. Mengacu pada pandangan Henry Giroux dan Marleau Ponty, Agus Nuryatno (2003) mengemukakan bahwa sikap atau cara berpikir kritis adalah suatu pola berpikir yang mampu mengetahui adanya fenomena tersembunyi atau berpikir lebih dari sekadar asumsi akal sehat, atau berpikir melampaui struktur-struktur yang sudah ada, yang menekankan pada fenomena dimensi-dimensi historis, relasional, dan normatif. Hal yang terakhir ini menunjukkan bahwa suatu masalah tidak dapat dilihat secara satu dimensi atau mekanistik saja, tetapi harus dilihat dalam konteks interaksi antara individu dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ikhwal bagaimana menumbuhkan daya kritis masyarakat, orang sering menunjuk dunia pendidikan sebagai pilihannya. Berpikir kritis memungkinkan peserta didik menemukan kebenaran di tengah banjir peristiwa dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari (Johnson, 2002: 101). Dalam konteks pendidikan, berkembang mazhab yang disebut
aliran
pendidikan kritis. Proyek emansipatoris aliran pendidikan kritis didasarkan pada komitmen untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis-dialektis. Dalam hal ini sekolah (lembaga pendidikan) merupakan motor penggerak untuk menciptakan “persamaan dan mobilitas sosial yang lebih adil dan lebih baik” (Carnoy, 1998: 78). Proses pembelajaran dalam aliran pendidikan kritis
ditujukan untuk
mengkritik, memproduksi, dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk
51
mengubah realitas, memberdayakan yang lemah dan mentransformasikan ketidakadilan sosial. Menurut Henry Giroux dan Peter McLaren, Keunggulan Aliran Pendidikan Kritis terletak pada
”tujuannya untuk memberdayakan yang lemah dan
mentransformasikan ketidakadilan sosial” (Giroux & McLaren, 1991: 152). Ketidakadilan sosial sering menggejala terutama dalam masyarakat plural akibat diabaikannya hak-hak kelompok masyarakat yang mempunyai kultur dan subkultur berbeda-beda, khususnya yang dipandang dan diperlakukan sebagai kelompok minoritas. Dalam konteks ini paham multikulturalisme menjadi relevan untuk masyarakat modern/postmodern. c. Multikulturalisme Secara teoretis, multikulturalisme dan postmodernisme saling memperkaya satu sama lain, sekaligus menciptakan suasana yang kondusif bagi keduanya (Ritzer, 2003: 323). Postmodernisme telah menciptakan iklim intelektual yang memungkinkan multikulturalisme berkembang, dan sebaliknya multikulturalisme menciptakan sebuah lingkungan sosial politis yang kondusif bagi perkembangan teori sosial postmodern (Rogers, 1996 : 6). Ben Agger (1995) menyatakan bahwa multikulturalisme adalah versi paling politis dari posmodernisme. Pengertian multikulturalisme sendiri, sebegitu jauh tidak terang benderang meski tidak pula gelap gulita. Tiap-tiap orang tampaknya memiliki pengertian tersendiri dan cenderung menghindari definisi yang jelas dan pasti. Dalam tataran ideologi, ia merupakan gagasan yang menekankan pada penerimaan terhadap perbedaan ras, etnik, bahasa, dan praktik keragaman kultur/subkultur dalam
52
sebuah masyarakat plural (Budianta, 2004: 2). Dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah, multikulturalisme dimaksudkan untuk memelihara harmoni antar kelompok ras, etnik atau agama yang berbeda serta antar mereka dan negara. Dalam bidang pendidikan, multikulturalisme berarti pengakuan terhadap kontribusi semua kelompok kultural atas perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan (Petrozza, 1996). Oleh karena itu kurikulum yang dikembangkan harus pula mencakup semua materi dari berbagai kultur (Gorski, 1998). Lebih jauh, John Rex (1995 :31) menggambarkan multikulturalisme sebagai “an enhanced form of the welfare state in which “the recognition of cultural diversity actually enriches and strengthens democracy”. Di sini multikulturalisme diletakkan sebagai bagian penting dalam proses demokrasi. Douglas Kellner (1995), seorang teoretisi kritis generasi ketiga dalam tradisi Mazhab Franfurt, mengembangkan istilah multikulturalme kritis dalam bukunya Media Culture. Kata “kritis” digunakan untuk menjelaskan upaya menguak bentuk-bentuk penindasan dan dominasi, serta mengartikulasikan perspektif normatif
untuk
mengkritik
penindasan
tersebut
(Kellner,
1995:95).
Multikulturalisme kritis menggunakan perspektif normatif yang terdapat dalam teori-teori kritis, cultural studies, maupun teori-teori interpretasi. Perspektif kritis mempertanyakan bagaimana konstruksi budaya seperti ras, etnisitas, kelas, gender, dan orientasi seksual direpresentasikan dalam masyarakat kontemporer serta bagaimana menafsirkan budaya dan masyarakat dalam relasi kekuasaan, dominasi, dan resistensi (Kellner, 1995:96).
53
Pandangan di atas perlu dilengkapi dengan penelusuran peta multikulturalisme menurut Bikhu Parekh (2000) berikut ini. Pertama, adalah ragam subkultur (subcultural diversity), yakni kelompok masyarakat yang memiliki budaya umumnya masyarakat, namun dalam beberapa hal mereka memiliki keyakinankeyakinan dan praktek-praktek yang berbeda berkaitan dengan perbedaan wilayah-wilayah kehidupan atau mengembangkan cara hidup yang relatif berbeda. Ragam subkultur ini adalah kalangan waria, anak-anak jalanan, orangtua tunggal, gay, lesbi, dan berbagai individu atau kelompok yang mengikuti gaya hidup atau struktur keluarga yang tidak konvensional. Kedua, ragam pandangan (perspectival diversity) yakni anggota atau kalangan masyarakat yang sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai utama dari budaya dominan yang ada di dalam masyarakat dan berupaya untuk membentuknya kembali. Contoh untuk ini adalah kalangan feminis yang terus menyerang bias budaya patriarkhi yang demikian mengakar dalam masyarakat, kalangan pecinta lingkungan yang terus mengkritik bias antroposentris dan kecenderungan teknokratik dalam pengelolaan alam. Ketiga, ragam komunal (communal diversity) yakni komunitas-komunitas yang memiliki kesadaran diri dan hidup dengan sistem-sistem keyakinan dan prakteknya sendiri yang berbeda. Mereka terorganisasi dengan cukup baik. Termasuk dalam kalangan ini adalah para imigran/pendatang, berbagai komunitas keagamaan, dan kelompok-kelompok budaya yang terkonsentrasi secara teritorial seperti orang-orang asli (indigenous peoples).
54
Sampai di titik ini menjadi penting untuk mengkonstruksi konsep modernitas/postmodernitas secara lebih utuh berdasarkan paparan teoretik di atas. Tinjauan filosofis tentang modern/postmodern di atas menjadi dasar bagi peneliti untuk menyusun konstruk pemikiran sebagai titik pangkal dari penelitian ini. Modernitas yang berawal dari Renaissance ditandai dengan munculnya ilmu pengetahuan yang tidak tergantung lagi pada kekuasaan agama, politik, atau moral. Dalam sejarah pemikiran modern gagasan Descartes cogito ergo sum menegaskan kemandirian tersebut. Seperti telah dinyatakan di atas, modernitas menyimpan tiga keyakinan besar yakni subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Masyarakat modern meyakini bahwa ketiganya akan membawa ke situasi yang lebih baik, dengan rasionalitas sebagai penopang utama. Karena ketiga ciri ini saling mengandaikan maka yang menjadi fokus perhatian penelitian ini adalah ciri yang kedua yakni kritik. Dalam pengertian kritik sudah tersirat ciri atau elemen subjektivitas atau rasionalitas sekaligus kemajuan (progress), karena kritik mengarah pada kemajuan. Di dalam elemen kritik ada elemen rasionalitas, demikian juga sebaliknya. Keduanya mengandaikan kemajuan. Kritik mengandaikan bahwa rasio atau akal budi tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari otoritas tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan (emansipatoris). Kritik juga menjadi semangat atau jantung gerakan postmodernisme, karena postmodernisme pada dasarnya merupakan kritik terhadap nalar modernitas.
55
Postmodernisme di sini dipahami sebagai konstruk pemikiran yang hendak merevisi modernisme tanpa menolak modernisme secara total, yakni dengan cara memperbarui premis-premis modern di sana-sini. Dirumuskan secara ringkas, postmodernisme
mengkritik
sambil
tetap
mempertahankan
ideal-ideal
modernisme. Seperti yang dikemukakan Lyotard, postmodern adalah bagian dari modern. Justru karena sesuatu itu postmodern maka ia menjadi modern. Inilah titik pijak yang digunakan dalam mengembangkan konstruk teori dalam penelitian ini. Maka dalam penelitian ini sikap kritis dijadikan sebagai salah satu indikator atau komponen dalam variabel modernitas individual. Modernitas individual dengan kandungan isi sikap kritis diperlakukan sebagai variabel dependen dalam penelitian ini. Teori-teori
modernitas
yang
mengawali
perspektif
sosiologis
lebih
mengedepankan struktur masyarakat modern beserta ciri-cirinya, mulai dari pemikiran August Comte, Krishan Kumar, sampai Daniel Bell, kecuali Inkeles dan Smith yang lebih menekankan kualitas manusia modern. Dalam perspektif sosiologis Inkeles dan Smith lebih menekankan pelaku atau aktornya. Kedua sudut pandang ini tidak akan dipertentangkan melainkan, sesuai asumsi dasar, dilihat sebagai bentuk dualitas (bukan dualisme), dalam arti keduanya saling mengandaikan. Pemikiran Giddens menentang pendapat para pemikir sosial budaya yang menyatakan masyarakat telah memasuki era postmodern, dan keyakinan Habermas bahwa modernitas merupakan proyek yang belum selesai, diadopsi
56
peneliti sebagai titik pijak penelitian ini. Dalam konteks ini posisi teori-teori sosial postmodernisme dipandang sebagai pelengkap sekaligus penopang kritis atas teori sosial modernisme. Penelitian ini menjadikan kota sebagai ”locus”nya. Hal ini merujuk pada pandang Simmel yang memandang kota sebagai tempat di mana modernitas dipusatkan dan diintensifkan. Munculnya kota-kota besar memiliki implikasi signifikan di dalam pembentukan hidup sosial, untuk selanjutnya berimplikasi pada meningkatnya konsumsi warga kota. Dalam konteks inilah teori sosial postmodern dari Jean Baudrillard diletakkan, yakni tentang masyarakat konsumen yang berujung pada persoalan gaya hidup. Ciri-ciri pemikiran postmodernisme yang analogis, luwes, dan mengacu ke beragam makna bersama dengan nilai-nilai postmodernisme yang menekankan pada toleransi, pluralitas, kebebasan, dan perdamaian menjadi inspirasi peneliti untuk menekankan pentingnya nilai-nilai multikulturalisme. Hal ini ditopang dengan pendapat Ritzer bahwa dalam wacana teoretik postmodernisme dan multikulturalisme saling memperkaya satu sama lain, sekaligus menciptakan suasana yang kondusif bagi keduanya. Atas dasar refleksi di atas maka gaya hidup dan eksplisitasi nilai-nilai multikulturalitas dikonstruksi menjadi indikator-indikator modernitas individual generasi muda bersama dengan sikap kritis yang sudah ditekankan pada paparan perspektif filosofis di atas. Dirumuskan secara lebih eksplisit modernitas individual generasi muda yang diteliti berisi tiga indikator yakni sikap atau daya kritis, gaya hidup, dan eksplisitasi nilai-nilai multikulturalisme.
57
C. Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial biasanya dibedakan dengan diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial dikaitkan dengan pembagian formasi sosial secara horisontal, sedangkan stratifikasi sosial merupakan pembagian secara vertikal (hirarkis). Hasilnya adalah peringkat atau strata sosial. Konkritnya ada kelas tinggi, menengah, dan kelas yang rendah. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan atau ketidakmerataan pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial, dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Stratifikasi semacam itu
bisa hanya sekadar konsep, namun dapat
juga
merefleksikan realitas sosial dalam masyarakat. Strata sebagai realitas sosial ditentukan oleh jarak sosial tetapi lebih sering terjadi karena peminggiran yang sistematis. Sosiologiwan juga membedakan antara sistem strata yang tertutup seperti kasta dalam masyarakat Hindu dan sistem strata yang terbuka yang ditentukan oleh sistem pekerjaan atau kelas dalam masyarakat modern. Dalam teori fungsional, stratifikasi sosial merupakan kesepakatan bersama karena menguntungkan secara sosial. Sementara dalam teori konflik, stratifikasi selalu dikontestasikan dan disertai dengan dominasi. Teoretisi marxist melihatnya sebagai
akibat
dari
eksploitasi
ekonomi,
sementara
kaum
Weberian
memperlakukannya sebagai akibat dominasi berwajah ganda, yakni kombinasi antara klas sosio-ekonomi, status sosio-kultural, dan hirarki otoritas sosio-politik (Pakulski, 2006:586). Terdapat konsensus yang luas di kalangan para sosiologiwan bahwa status pekerjaan atau jabatan merupakan kekuatan utama pembentuk strata sosial dalam
58
masyarakat modern. Di samping itu strata sosial juga ditentukan oleh kepemilikan aset seperti : pengaruh politik, otoritas (Dahrendorf, 1988), tingkat pendidikan, ketrampilan, human capital, keahlian (Garry Becker, 1987 ; Daniel Bell, 1973), jaringan sosial dan modal sosial (Coleman, 1974), modal kultural, selera, gaya hidup, dan gender (Bordieu, 1980), etnik, ras, prestise (Shils, 1980). Dalam teori sosiologi mainstream, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah : kedudukan (status) dan peran (role). Status atau kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain. Kriteria berikut biasanya dipakai untuk mengukur status sosial (ekonomi) seseorang yakni, jabatan atau pekerjaan, tingkat pendidikan, kekayaan, dan pengaruh politik. D. Media massa Istilah media massa biasanya merujuk pada penyebaran informasi melalui buku, surat kabar, majalah, film, radio, program-program televisi, CD, DVD, dan sebagainya. Menurut Straubhaar dan LaRose (2002:15) media massa merupakan “One-to-many camunication delivered through an electronic or mechanical channel, with delayed feedback from the audience, and which reached all members of its audience in about the same time”.
Definisi ini sebenarnya lebih menekankan pada saluran (channel) yang digunakan yakni cetak seperti buku, majalah, tabloid, surat kabar, dan elektronik seperti radio , televisi, dan film yang sering disebut sebagai ”old media”. Namun kemajuan teknologi komunikasi yang begitu pesat membuat batasan di atas tidak memadai lagi. Maka muncul istilah ”media komunikasi massa”. Media
59
komunikasi massa merupakan
”the industrialized production and multiple
distribution of messages through technological devices”. (Turow, 2009: 17) Dalam pandangan Turow, media massa adalah instrumen teknologinya yang bisa berupa surat kabar, majalah, radio, maupun televisi. Maka definisi ini dapat digunakan sebagai payung bagi segala bentuk komunikasi (penyampaian pesan) yang dimediasikan lewat saluran elektronik maupun mekanik (technological devices). Konvergensi antara media massa,
komputer, dan telekomunikasi
berujung pada internet yakni ”a network of networks that connects computers worldwide... ” yang akhirnya melahirkan sebuah masyarakat informasi (Straubharr and LaRose, 2002). Pemikir asal Canada Marshal McLuhan berpendapat bahwa teknologi media mempunyai dampak fundamental terhadap perasaan dan pikiran manusia. Pernyataan McLuhan yang terkenal “media adalah pesan itu sendiri” (“the medium is the message”) menunjukkan hal itu. Maksudnya, apa yang disampaikan media kepada masyarakat ternyata lebih luas daripada apa yang akan diterima masyarakat itu jika mereka berkomunikasi tanpa media. Ini berarti adanya materi cetak lebih penting daripada kandungan maksud yang disampaikannya atau keberadaan televisi lebih penting daripada apa yang ditayangkan. Dilawankan dengan tradisi lisan masyarakat, perkembangan tulisan dan cetakan telah menciptakan budaya yang didominasi oleh “sense of vision” dan pendekatan penyelesaian masalah secara analitik dan sekuensial. Hal ini memungkinkan individu menjadi lebih independen, rasional, dan terspesialisasi (McLuhan, 1964).
60
Pendapat McLuhan ini jauh berbeda dengan pandangan para “Teoretisi Kritis” dari Mazhab Frankfurt. Horkheimer (1895- 1971) dan Adorno (1903 – 1969), menyoroti asal usul dan dampak dari apa yang mereka sebut “industri budaya” atau the culture of industry (Adorno, 1972). Lewat teknologi dan media, kapitalisme modern telah berhasil membangun apa yang disebut oleh Baudrillard the world of hiper-reality yakni situasi ketika orang sulit membedakan antara what is the real dan what is not. Orang kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas dan fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya (realitas sosial) dan fakta yang didapat dari media (realitas media). Ini adalah tanda masyarakat telah kehilangan kapasitas kritisnya. Dalam masyarakat konsumtif, misalnya, orang sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Budaya industri memberi kontribusi terhadap merosotnya otonomi dan critical reasoning masyarakat. Orang hanya bisa mengafirmasi
dan tidak dapat
menghindari kekuatan-kekuatan eksternal yang termanifestasikan dalam sistem ekonomi kapitalis. Adorno juga menyatakan bahwa media massa merupakan ideologi baru dalam masyarakat modern. Media massa menyediakan jalan bagi masyarakat untuk melarikan diri dari realitas hidup sehari-hari yang keras, pendangkalan imajinasi, dan memperlemah kemampuan berpikir kritis. Senada dengan Adorno dan Horkheimer, para teoretisi yang berhalauan Marxist pun berpendapat bahwa media massa dipandang sebagai medium ideologis, dalam arti bahwa media massa digunakan oleh kelompok atau kelas dominan untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang mempromosikan kepentingan
61
mereka sendiri, dan digunakan untuk memelihara status quo. Althusser (1971) bahkan menyebut media massa sebagai salah satu “ideological state apparatuses”. Media massa, dengan cara menyeleksi event-event tertentu, atau dengan membahasakan dan melabeli fakta-fakta tertentu, menciptakan kesadaran semu di tengah masyarakat seputar realitas sosial yang mereka hadapi. Media massa memiliki kuasa seperti ini, karena politik pengemasan berita dan isi media lain pada umumnya tidaklah bersifat objektif sama sekali, melainkan sangatlah subjektif. Dalam kerangka sedemikian, dapat dipahami bahwa relasi antara media massa dan khalayak bersifat negatif. Tentu saja dapat dipahami pula bahwa relasi antara media massa dan pendidikan, yang sama-sama merupakan instrumen ideological state aparratus, bisa saja memiliki hubungan saling memberdayakan demi melanggengkan kekuasaan. Tetapi, dalam situasi ketika media massa dikuasai oleh kelompok kapitalis, para teoretisi Kritis menilai, keberadaan media massa dengan efek negatifnya mengancam semua sektor kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (Rivers, 2004: 39) menyatakan media komunikasi dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan (hegemonik). “Kelompok-kelompok kuat kian mengandalkan teknik manipulasi melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka bisa mengontrol secara lebih halus” Hal yang terakhir ini nampak jelas pada iklan, terlebih dalam media elektronik seperti televisi. Bagaimana media mempengaruhi masyarakat? Ada beberapa teori efek media yang menjawab pertanyaan ini antara lain, teori peluru (bullet theory) dan ”model
62
jarum hipodermik” atau ”hypodermic needle model”, teori kultivasi, (Straubharr and LaRose, 2002; Turow, 2009), teori kegunaan dan kepuasan atau uses and gratifications, , teori agenda setting, dan teori proses belajar sosial. Teori peluru dan jarum hipodermik disebut sebagai teori yang simplistik. Teori ini menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi khalayak secara langsung dan begitu kuat. Khalayak tidak berdaya sama sekali untuk mengontrol atau menolaknya, seperti keadaan diberondong peluru (bullet theory), atau seperti jarum hipodermik yang disuntikkan di bawah kulit yang langsung bereaksi (hypodermic needle model). Teori kultivasi (Straubharr and LaRose, 2002: 437) sangat menonjol dalam menjelaskan dampak media televisi terhadap khalayak. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh George Gerbner. Menurut Gerbner, media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu kepada anggota masyarakat, kemudian mengikatnya. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya bahwa apa yang disajikan televisi adalah sebuah ”kenyataan” yang benar adanya. Menurut teori kultivasi, televisi merupakan media utama tempat khalayak belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Persepsi khalayak tentang masyarakat dan budayanya sangat ditentukan oleh televisi. Dengan kata lain melalui televisi khalayak belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, dan adat kebiasaannya.
Dibandingkan dengan media lain, televisi telah
mendapatkan tempat yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
63
mendominasi lingkungan ”simbolik” khalayak. Teori ini disebut teori kultivasi karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen homogenisasi kebudayaan. Teori lain adalah teori agenda setting. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa media menyeleksi berita, artikel, tulisan, atau acara yang akan disiarkannya. Setiap kejadian atau isue diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (kolom dalam surat kabar atau waktu dalam radio dan televisi) dan cara penonjolan. Inti teori ini adalah, jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Apa yang dianggap penting oleh media, menjadi penting pula bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang kuat terutama karena berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap atau pendapat. Berbeda dengan teori di atas, teori atau pendekatan uses and gratification menganggap khalayak sebagai aktif dan rasional dalam arti mempunyai tujuan dan mengkaitkannya dengan pemilihan media (Straubharr and LaRose, 2002: 58). Penggunaan media oleh khalayak adalah salah satu cara untuk memuaskan kebutuhan, karena itu efek media dipahami sebagai situasi ketika kebutuhan individu dipuaskan (oleh media). Bagaimana kebutuhan itu terpenuhi melalui konsumsi media massa amat tergantung pada perilaku khalayak yang bersangkutan. Teori lain yang cukup banyak dirujuk dalam penjelasan mengenai efek media adalah Teori Belajar Sosial atau Social Learning Theory (Straubharr and LaRose, 2002: 60) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1986), seorang pakar psikologi klinis. Jikalau Straubharr mengklasifikasikan teori ini dalam kubu
64
behaviorism, Pritchard dan Woollard (2010: 16) memasukkan teori ini ke dalam kelompok teori social constructivism. Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan. Dengan kata lain manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik. Diterapkan dalam kajian efek media, Teori Belajar Sosial menjelaskan bahwa sebuah tindakan, baik prososial maupun antisosial, dapat dipelajari lewat mengkonsumsi media massa, khususnya menonton televisi atau film. Orang yang menyaksikan tindakan antisosial berulang-ulang akan lebih memungkinkan mereka melakukan tindakan ini (Turow, 2009: 158). Di samping itu juga akan menimbulkan gejala “desensitisasi” (desensitization) atau proses ketika seseorang menjadi tidak peka terhadap tindakan antisosial dan akibatnya. Berbagai informasi lewat televisi yang hedonistik seperti iklan, infotainment, aneka kuis, sampai peristiwa kriminal dan berita
berpotensi
menumpulkan atau menurunkan sensitivitas masyarakat terhadap kenyataan. E. Teknologi Informasi (TI) Pada umumnya orang memandang teknologi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan (pandangan tradisional instrumentalis). Apakah teknologi itu berupa palu, mesin, mobil, atau komputer, dipandang sebagai sarana dan karena itu pada dirinya netral, dalam arti dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Namun juga ada kecenderungan seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (1976), yang menyatakan bahwa teknologi itu mendominasi seluruh kehidupan seseorang
65
dan karena itu mengarahkan kegiatan seseorang. Kata Maslow, bagi orang yang memegang palu, seluruh dunia rasanya seperti akan dipukul. Sastrapratedja (2001:89) mengemukakan pandangan dialektis yang melihat teknologi mengalami perkembangan konseptual dalam tiga fase. Fase pertama adalah teknik seorang tukang, kedua adalah fase mesin ”klasik” yang menggunakan energi alam, dan fase yang ketiga adalah teknologi informasi. Pertama teknologi mengganti otot manusia, fase kedua mengganti energi dari dirinya, dan yang terakhir, teknologi informasi merupakan eksteriorisasi ”otak” manusia. Ketiga tahap perkembangan teknologi di atas menunjukkan semakin meningkatnya teknologi itu bekerja dengan dirinya dan oleh dirinya sendiri atau mencerminkan derajad ”self-sustaining” teknologi. Pada titik ini teknologi menjadi teknosains. Teknologi informasi merupakan salah satu dari sekian banyak teknologi modern
yang
berkembang
sangat
pesat.
Kemampuan
komputer
yang
memungkinkan manipulasi dan pengolahan informasi secara efektif berpadu dengan teknologi komunikasi yang berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi pada paruh kedua abad ke-20. TI sendiri secara umum merupakan teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran informasi. Tentu saja hal ini menyangkut perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), maupun kandungan isi (content). Isi bisa berupa suara, tulisan, gambar, dan data lain dalam bentuk dan format yang berbeda-beda.
66
Pada abad ke-20 sebuah teknologi informasi baru mulai merambah di tengah masyarakat dan tidajk hanya mempengaruhi kehidupan orang-orang biasa melainkan juga berpengaruh terhadap kehidupan bisnis, pendidikan, dan pemerintahan. Beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, mayoritas individu maupun keluarga menggunakan komputer, internet, dan telepon seluler (ponsel).
Ketiga peralatan ini di Amerika Serikat disebut dengan istilah
information technology (IT), sedangkan negara-negara di Eropa menggunakan phrasa “information and communication technologies”
yang sering disingkat
dengan ICT (Brynin dan Kraut, 2006: 3) . Internet sendiri merupakan sebuah konvergensi antara media massa, komputer, dan telekomunikasi. Cavanagh (2007: 48) sengaja mengutip beberapa penulis ketika memberikan gambaran tentang pengertian internet sebagai berikut : For Charles Ess the internet is simply 'the mother of all networks' (1996: 1). Burnett and Marshall define the internet as the 'global connection of hundreds of thousands of public and private computer networks by means of ... nodes, gateways and computer centres using the TCP/IP protocol' (2003: 206). The internet network is flexible, adaptive, a 'nonhierarchical, rhizomatic global structure' (Morse 1998, cited in Urry 2003: 63), 'webs ... without central points, organizational principles, hierarchies' (Plant 1997, cited in Urry 2003: 63). Dalam sebuah survey terhadap pengguna dan bukan pengguna internet di Amerika Serikat dan Inggris, Katz Dan Rice (2002) menyimpulkan bahwa penggunaan internet tidak mengurangi modal sosial masyarakat melainkan sebaliknya justru memberi kontribusi yang signifikan, memungkinkan munculnya bentuk-bentuk interaksi sosial dan ekspresi diri yang baru. Salah satunya adalah fenomena “web log” atau blog. Blog (dan sekarang jaringan sosial semacam Facebook dan Twitter) menghapus garis batas antara ruang publik dan ruang
67
privat. Tentang penyalahgunaan, Katz dan Rice menyatakan hal itu juga bisa terjadi pada setiap sistem informasi apapun. Ringkasnya, Katz dan Rice menyimpulkan bahwa internet sangat membantu memenuhi kepentingan individu dan menguntungkan bagi masyarakat. Di samping komputer dan internet, komunikasi bergerak nirkabel (wireless mobile communication) seperti telpon genggam pun menjanjikan revolusi informasi yang mengubah kebiasaan kerja dan belajar masyarakat serta aktivitas mereka dalam ruang publik (Katz, 2003). Ketika komunikasi bergerak dikombinasikan dengan internet, persoalan baru akan muncul, namun demikian hal ini juga akan memberikan peluang sosial dan ekonomi yang lebih baik. Dalam lingkup satuan masyarakat yang lebih sempit seperti
individu dan
keluarga, Brynin dan Kraut (2006: 6-8) menyebutkan empat pendekatan tentang manfaat TI. Keempat pendekatan tersebut adalah pertama, TI sebagai alat, kedua, TI sebagai teknologi yang menggeser tujuan, ketiga, yang menghasilkan kesejahteraan pribadi, dan keempat, yang berdampak sosial. Hal yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Allison Cavanagh (2007), yang melihat internet khususnya, sebagai sebuah jaringan (network), media komunikasi, ruang sosial (social space), dan sebagai sebuah teknologi. Dalam konteks kaitan antara revolusi TI dan generasi muda, Don Tapscott (2009) membedakan 4 generasi yang dimulai dari tahun 1946 sampai sekarang. Pertama adalah generasi Baby Boom. Termasuk dalam generasi ini adalah mereka yang lahir antara Januari 1946 sampai dengan Desember 1964. Mereka ini juga sering disebut sebagai ”Cold War Generation”,” atau “Growth Economy
68
Generation,” Kedua adalah generasi X (generation X), yakni yang lahir antara Januari 1965 sampai dengan Desember 1976. Mereka ini disebut dengan generasi Baby Bust. Generasi ketiga adalah yang disebut oleh Tapscott sebagai ”The Net Generation” atau juga disebut Generation Y yakni yang lahir antara Januari 1977 sampai dengan Desember 1997. Generasi keempat adalah yang lahir antara Januari 1998 sampai sekarang yang disebut Generation Next atau Generation Z. Tapscott mengawali bukunya yang berjudul ”Grown Up Digital : How the Net Generation is Changing You World” dengan mengutip pernyataan para orang tua, guru, kaum terpelajar, akademisi, dan wartawan, tentang sisi gelap kaum muda di era sekarang. Dikatakan bahwa : They’re dumber than we were at their age, … they’re screenagers, Net addicted, losing their social skills, and they have no time for sports or healthy activities. … they have no shame, …… they are adrift in the world and afraid to choose a path, … they steal, they’re bullying friends online, … the latest they’re narcissistic, “me” generation (Tapscott, 2009: 3-5)
Tapscott membuktikan dengan penelitiannya, bahwa semua kekhawatiran di atas tidak benar. Lewat teknologi dan media, kapitalisme modern telah berhasil membangun apa yang disebut oleh Baudrillard (1988) the world of hiper-reality yakni situasi ketika orang sulit membedakan antara what is the real dan what is not. Pada saat itu orang dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas dan
69
fiksi, realitas dan simulasi, fakta sesungguhnya (realitas sosial) dan fakta yang didapat dari media (realitas media). Ketika hal ini terjadi, berarti masyarakat telah kehilangan kapasitas, daya, atau sikap kritisnya. Paparan tentang stratifikasi sosial, media massa, dan TI di atas oleh peneliti dimaksudkan sebagai gambaran kerangka teoretik tentang variabel bebas yakni status sosial ekonomi keluarga responden, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa. Stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap dan umum pada setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang mempunyai aset berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah. Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari sesuatu yang dipandang berharga oleh masyarakat, akan tetapi kedudukan tinggi tersebut bersifat kumulatif, dalam arti mereka yang mempunyai uang banyak, misalnya, akan dengan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, bahkan kehormatan. Dalam penelitian ini status sosial ekonomi keluarga responden ditentukan oleh kombinasi faktor ekonomi dan sosial. Konkritnya adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pengeluaran per bulan. Tiga komponen ini adalah komponen standar yang dapat ditambah dengan berbagai komponen lain yang mencerminkan
tingkat
kesejahteraan
atau
kemakmuran
seseorang
atau
70
sekelompok orang. Karena itu tiga komponen standar di atas perlu ditambah dengan satu komponen lagi yakni status kepemilikan tempat tinggal. Dari uraian tentang media massa, terdapat pandangan yang optimistik-positif maupun pesimistik-negatif. Pandangan pesimistik diwakili oleh pemikiran Adorno dan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt dan para pemikir Marxist. Menurut mereka, media massa digunakan oleh kelompok atau kelas dominan untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang mempromosikan kepentingan mereka sendiri, dan digunakan untuk memelihara status quo. Media massa memperlemah kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis. Sebaliknya bagi para pemikir yang berpandangan optimistik seperti McLuhan misalnya, media massa membuat masyarakat menjadi lebih independen, rasional, dan terspesialisasi. Bagaimana media mempengaruhi masyarakat, teori kultivasi dan teori belajar sosial dijadikan titik tolaknya. Hal yang kurang lebih sama nampak pada paparan tentang TI, yang dalam penelitian ini dibatasi pada komputer, internet, dan telpon genggam. Kajian Don Tapscott tentang The Net Generation di atas menunjukkan para “Net Geners” ternyata memiliki karakteristik yang potensial untuk melakukan perubahan sosial sekarang ini. Menurut Krautt, terdapat empat pendekatan tentang apa yang disebut sebagai “dampak sosial dari TI”. Pertama, TI sebagai alat, kedua, TI sebagai teknologi yang menggeser tujuan, ketiga, yang menghasilkan kesejahteraan pribadi, dan keempat, yang berdampak sosial. Peneliti mengkaitkan optimisme Tapscott
71
tersebut dengan pandangan Krautt dan kawan-kawan, terutama pada pendekatan pertama sampai ketiga. Dalam penelitian ini stratifikasi sosial, konsumsi media massa, dan pengetahuan tentang TI bersama-sama dibingkai sebagai variabel bebas, sementara salah satu segi dari TI yakni penggunaan atau pemanfaatannya dipandang sebagai variabel terikat bersama-sama dengan variabel tingkat modernitas seperti yang telah dipaparkan di muka. F. Penelitian yang Relevan 1. Yudi Perbawaningsih (2003) pernah meneliti budaya teknologi di kalangan akademik, yakni staf pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), yang berjumlah 78 responden, berusia sekitar 23 tahun sampai 50 tahun. Hasilnya menunjukkan hampir seluruh responden merasa membutuhkan teknologi untuk mendukung aktivitas komunikasinya, kendati ada perbedaan dalam derajad kebutuhannya. Pengetahuan dan pemanfaatan teknologi komunikasi di antara responden boleh dikatakan rendah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya responden yang mengoperasikan komputer dengan cara belajar sendiri dan belajar bersama teman di sela-sela waktu luang. Walaupun demikian hanya sebagian kecil di antara mereka yang mengaku tidak memiliki sendiri perangkat komputer. 55,1% generasi muda percaya bahwa teknologi merupakan pendorong modernitas. Sebagian responden lebih suka memanfaatkan media konvensional, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, untuk mendapatkan informasi. Ini sejalan dengan temuan bahwa hanya
33.3% responden yang
72
memanfaatkan internet, sementara mereka yang memiliki homepage pribadi hanya sebesar 3,8%, dan 12,8% mengaku sering memanfaatkan jasa online. 2. Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret-Juli 2006 oleh Ogilvy Public Relation Worldwide, Jakarta, yang sudah dikutip sebelumnya, sedikit banyak memberikan gambaran yang optimistik tentang anak muda Indonesia (Tempo, 22 Oktober 2006). Penelitian ini mengambil 385 pasang anak muda usia 15 – 24 tahun yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, Yogyakarta, Medan, Makasar. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa kaum muda kota lebih menghargai nilai gagasan. Mereka lebih kreatif, ekspresif, berjiwa merdeka, tidak canggung tampil beda, dan berani menerobos pakem-pakem konvensional. Mereka ingin meraih dunia dengan semangat independen, serba indie. Secara rinci disebutkan bahwa 61% menyatakan mereka bisa atau mampu membuat apa saja, baju, sepatu, aksesori, musik, majalah yang mereka suka (dalam ungkapan Sunda “kumaha aing”). Sebanyak itu pulalah (61%) juga yakin bahwa mereka bisa memilih karier apa saja yang mereka sukai. Bahkan 92% di antara responden menyatakan makin banyak orang di lingkungan yang mereka kenal seperti kakak, adik, teman, tetangga, selebriti, yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari hobi mereka. 50% responden menyatakan sudah tidak zamannya lagi seseorang dinilai hanya berdasarkan satu karakter, 97% mengatakan kreativitas lokal itu penting, 92% meyakini tidak perlu pengeluaran mahal untuk menjadi keren, 34% mengatakan media yang ada saat ini tidak mewakili anak muda, dan 85% menyatakan bahwa tampil beda itu penting.
73
Responden yang mengaku menggunakan
telpon genggam ada 88,3%,
komputer 68,8%, 25,4% responden suka dan sering akses atau koneksi ke internet, 40% akses e-mail, dan yang bermobil sebesar 31,3% sementara yang sehari-hari bersepeda motor sebanyak 51,5%. 3. Survey yang dilakukan oleh Agus Suwignya tentang kualifikasi-kualifikasi yang dituntut oleh pasar kerja di Indonesia dari para lulusan Perguruan Tinggi pada tahun 2000 di Yogyakarta, Jakarta, dan Palembang (2003) menunjukkan bahwa salah satu kualifikasi personal/interpersonal yang dituntut adalah sikap kritis. Kuesioner dibagikan kepada manajer human resources development (HRD) atau personalia lima sektor lapangan kerja modern yakni keuangan/bisnis, rekayasa/teknik, pendidikan, hukum, dan kedokteran/medis. Terdapat 15 kualifikasi yang dinyatakan oleh para pencari kerja sebagai ”yang paling penting”, ”yang paling dicari”, dan ”yang paling menentukan” dalam proses rekrutmen. Beberapa kualifikasi personal dan interpersonal yang muncul dalam ketiga perspektif di atas adalah jujur, bertanggungjawab, kritis, penuh kemauan dan inisiatif, mampu bekerja sama, solider dan punya kepekaan sosial. 4. Studi Gerke terhadap peran media massa, seperti yang telah dikutip pada bagian pendahuluan menunjukkan bahwa para jurnalis dari sejumlah penerbitan koran dan majalah, terutama majalah gaya hidup menyimpulkan bahwa mereka : “... indeed, regarded themselves as stylists and missionaries of modernity as well as trend-setters or a new way of life. They were the providers of symbolic goods of modernity” (2000 : 146).
74
5. Masih dalam domain gaya hidup, Mark Plus & Co melakukan penelitian dengan tajuk “The Future Study of Men in Indonesia” pada bulan Desember 2003 (Wibowo, 2006: 202-204). Penelitian ini melibatkan 400 responden pria dan 300 responden perempuan di wilayah Jabotabek. Status sosial ekonomi responden dikategorikan menjadi kelas peralihan (89,5%), kelas menengah (8,4%), dan kelas elit (2,1%). Hasilnya antara lain, pria Jakarta sangat mendukung pergerakan kaum feminis (83%). Mereka menyatakan, jika mereka bisa kembali ke masa lalu, mereka tidak akan membatalkan pergerakan perempuan (89,7%) dengan alasan bahwa tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Dalam skala 1 sampai 5, pentingnya berdandan bagi pria memperoleh skor 4,4, dan tidak menjadi masalah pria melakukan perawatan wajah meraih skor 3,3. G. Kerangka Pemikiran Dalam sosiologi, struktur tidak pernah dilepaskan dari agency (agen atau aktor). Dalam bahasa yang lebih umum dan abstrak disebut objektivisme determinisme (struktur) dan subjektivisme-voluntarisme (agen). Subjektivisme dan voluntarisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman invividu di atas gejala keseluruhan. Sementara objektivisme dan determinisme merupakan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu. Dalam The Constitution of Society, Anthony Giddens (1984) mencoba melihat keduanya tidak sebagai dualisme (dualism) melainkan sebagai dualitas (duality) dalam arti “tindakan dan struktur saling mengandaikan”. Inilah inti teori strukturasi dari Giddens yang dijadikan asumsi dasar penelitian ini.
75
Teori-teori modernitas/postmodernitas seperti yang dikemukakan di atas, baik klasik maupun modern, sedikit banyak menggambarkan struktur masyarakat modern dewasa ini yang mengandaikan serangkaian kualitas manusia modern. Karakteristik manusia modern menurut Inkeles dan Smith dimodifikasi sesuai dengan perkembangan pemikiran teori-teori sosial dan kajian budaya (Cultural Studies). Hasilnya adalah manusia modern yang secara konseptual ditandai dengan ciri-ciri gaya hidup, sikap kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas. Ketiga indikator ini dapat disejajarkan dengan ranah konatif/psikomotorik, kognitif, dan afektif. Tiga aspek ini menjadi indikator dari variabel bebas yakni tingkat modernitas generasi muda. Di samping tingkat modernitas, penelitian ini juga memperlakukan pemanfaatan TI sebagai variabel bebas dengan pertimbangan bahwa secara konseptual-teoretik maupun realitas-empirik, TI menjadi fenomena yang mewarnai modernitas. Modernitas menunjuk pada aspek pemikiran atau aspek mentalitas, sedangkan TI diletakkan sebagai instrumen teknologi yang relatif otonom dalam arti terpisah dari penggunanya. Tentu saja secara konseptual, keduanya dapat saling berkorelasi. Generasi muda dewasa ini hidup dalam struktur masyarakat modern dengan segala macam perubahannya. Merekalah kelompok masyarakat yang paling sensitif namun juga adaptif menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan yang menggejala di lingkungan sekitarnya seperti perubahan di bidang sosial ekonomi dan budaya. Mereka juga hidup dalam masyarakat majemuk dalam arti masyarakat yang terdiferensiasi dalam sekat-sekat profesi, agama, etnik, dan
76
golongan sekaligus terstratifikasi dalam lapisan-lapisan sosial ekonomi politik. Oleh karena itu status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, serta media massa yang dikonsumsi ditetapkan sebagai variabel bebas. H. Hipotesis Atas dasar pemahaman terhadap tinjauan teoretik dan hasil-hasil penelitian yang terjangkau, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan secara rinci sebagai berikut : 1. Status sosial ekonomi keluarga memberi kontribusi yang signifikan terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda 2. Pengetahuan tentang TI memberi kontribusi yang
signifikan terhadap
pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda 3. Konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda. 4. Status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki generasi muda. 5. Status sosial ekonomi keluarga memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat modernitas individual generasi muda. 6. Pengetahuan tentang TI memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat modernitas generasi muda. 7. Konsumsi media massa memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat modernitas generasi muda.
77
8. Status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa secara bersama-sama memberi kontribusi yang signifikan terhadap tingkat modernitas generasi muda.