BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Merupakan seperangkat konstruk konsep, definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena (Kerlinger). Sedangkan Wiersma menambahkan, teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena secara sistematik. 1.
Partisipasi Masyarakat Definisi partisipasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni participate. Kata tersebut memiliki dua pengertian. Pertama, memiliki sejumlah atribut, benda atau kualitas dari seseorang. Kedua, mengambil bagian dalam suatu kegiatan atau membagi sesuatu dalam kebersamaan. Perkembangan partisipasi dapat diukur melalui besar maupun arahnya. Arah tersebut perlu dikendalikan agar tidak kebablasan atau salah arah. Selain itu, perlu adanya pencermatan keberadaan "bibit" partisipasi publik di masing-masing daerah. Kualitas bibit lingkungan yang berpengaruh terhadap partisipasi publik dan lain halnya merupakan satu masalah yang menarik untuk dicermati. Koho (2007:126) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang, yakni: a. b. c.
Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, Partisipasi dalam pelaksanaan, Partisipasi dalam pemanfaatan hasil,
12
13
d.
Partisipasi dalam evaluasi.
Beberapa definisi dari partisipasi masyarakat itu sendiri berdasarkan sudut pandang beberapa ahli antara lain: a.
Keith Davis (1962) “Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi orang-orang dalam
situasi
kelompok
yang
mendorong
mereka
untuk
menyumbangkan pada tujuan-tujuan kelompok dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut”. b.
Mubyarto (1997) Partisipasi adalah tindakan mengambil bagian dalam kegiatan, sedangkan partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan di mana masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap penyusunan program, perencanaan dan pembangunan, perumusan kebijakan, dan pengambilan keputusan.
c.
Sulaiman (1985:6) Partisipasi sosial sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat secara perorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam dan atau di luar lingkungan masyarakat atas dasar rasa kesadaran tanggung jawab sosialnya.
d.
Ach. Wazir Ws. (1999:29) Partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama.
e.
Isbandi (2007:27) Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di
14
masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Dari beberapa definisi para ahli diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat sangat berperan penting dalam pemerintahan jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Keberadaan partisipasi masyarakat juga sangat membantu pemerintah dalam menjalankan segala aktivitas kepemerintahannya. Partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan maupun keterlibatan masyarakat dalam segala hal baik dalam pembangunan maupun semacamnya yang berkaitan dengan tujuan pemerintah dalam mewujudkan tujuan negara. Masyarakat berperan secara aktif untuk memberikan kontribusi demi perbaikan kualitas
pelayanan
pemerintah,
terlebih
lagi
untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat dan tujuan negara seutuhnya. Sedangkan menurut Canter (dalam Arimbi, 1993:1) mendefinisikan: Partisipasi publik sebagai feed-forward information dan feedback information. Definisi partisipasi masyarakat diartikan sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut. Dari pendapat Canter juga tersirat bahwa masyarakat dapat memberikan respon positif dalam artian mendukung atau memberikan masukan terhadap program atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan.
15
Pendapat Mubyarto (1997:35) mendefinisikan bahwa “partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai dengan
kemampuan
setiap
orang
tanpa
berarti
mengorbankan
kepentingan diri sendiri”. Nelson, Bryant dan White (1982:206) juga menyebutkan bahwa “keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan, dapat disebut partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual
dalam
kegiatan
kelompok
dapat
disebut
partisipasi
individual”. Partisipasi yang dimaksud ialah partisipasi vertikal dan horisontal masyarakat. Disebut partisipasi vertikal karena bisa terjadi dalam kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan dimana masyarakat berada pada posisi sebagai bawahan, pengikut atau klien. Disebut partisipasi horisontal, karena pada suatu saat tidak mustahil masyarakat mempunyai kemampuan untuk berprakarsa, di mana setiap anggota atau kelompok masyarakat berpartisipasi horisontal satu dengan yang lain, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. Tentu saja partisipasi seperti itu merupakan suatu tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri. Bank Dunia (Suhartanta, 2001) menambahkan definisi “partisipasi sebagai suatu proses para pihak yang terlibat dalam suatu program yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan serta pengelolaan sumber daya pembangunan
16
yang mempengaruhinya”. Partisipasi sebagai salah satu elemen dalam pembangunan perubahan
merupakan
yang
sedang
proses berjalan.
adaptasi Dengan
masyarakat demikian
terhadap partisipasi
mempunyai posisi yang penting pula dalam pembangunan. Peneliti berpendapat bahwa partisipasi masyarakat sangat membantu keberhasilan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Jika dilihat dari beberapa teori diatas dapat ditarik titik temu dimana partisipasi masyarakat menjadi faktor penting keberhasilan berbagai program yang diselenggarakan pemerintah termasuk pelayanan publik. Ini artinya, jika pemerintah mau dan mampu memaksimalkan ruang partisipasi masyarakat, maka pemerintah akan mendapatkan feedback yang baik, disamping animo positif masyarakat terhadap pemerintah, kepuasan masyarakat juga akan diperoleh pemerintah. Sedangkan untuk jenis-jenis partisipasi sendiri, dalam (Hamijoyo, 2007:2 & Pasaribu dan Simanjuntak, 2005:11) serta (Chapin, 2002:43 & Holil, 1980:81) menyebutkan adanya tiga jenis partisipasi masyarakat jika dilihat dari segi partisipasi berupa buah pikiran yaitu: a.
b.
c.
Partisipasi Sosial adalah partisipasi sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya bisa juga berupa sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Partisipasi dalam Proses Pengambilan Keputusan adalah masyarakat terlibat dalam setiap diskusi atau forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Partisipasi Representatif adalah partisipasi yang dilakukan dengan cara memberikan kepercayaan atau mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.
17
Ditambahkan lagi oleh Cohen dan Uphoff (1977) yang membedakan partisipasi atas empat jenis berdasarkan sistem dan mekanisme partisipasi, antara lain: a.
b.
c.
d.
Participation in Decision Making adalah partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan organisasi. Partisipasi dalam bentuk ini berupa pemberian kesempatan kepada masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya untuk menilai suatu rencana atau program yang akan ditetapkan. Masyarakat juga diberikan kesempatan untuk menilai suatu keputusan atau kebijaksanaan yang sedang berjalan. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah proses dimana prioritasprioritas pembangunan dipilih dan dituangkan dalam bentuk program yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Dengan mengikutsertakan masyarakat secara tidak langsung mengalami latihan untuk menentukan masa depannya sendiri secara demokratis. Participation in Implementation adalah partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan operasional pembangunan berdasarkan program yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan program pembangunan, bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari jumlah (banyaknya) yang aktif dalam berpartisipasi, bentuk-bentuk yang dipartisipasikan misalnya tenaga, bahan, uang, semuanya atau sebagiansebagian, partisipasi langsung atau tidak langsung, semangat berpartisipasi, sekali-sekali atau berulang-ulang. Participation in Benefit adalah partisipasi masyarakat dalam menikmati atau memanfaatkan hasil-hasil pembangunan yang dicapai dalam pelaksanaan pembangunan. Participation in Evaluation adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan serta hasil-hasilnya. Penilaian ini dilakukan secara langsung, misalnya dengan ikut serta dalam mengawasi dan menilai atau secara tidak langsung, misalnya, memberikan saran-saran, kritikan atau protes.
Oleh karena itu ada berbagai cara yang dilakukan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan pelayanan publik. Jika dikaitkan dengan teori (Hamijoyo, 2007:2 & Pasaribu dan Simanjuntak, 2005:11) serta (Chapin, 2002: 43 & Holil, 1980:81), “bentuk dan juga cara
18
partisipasi masyarakat dalam penelitian ini umumnya adalah bentuk partisipasi sosial, dimana keikutsertaan masyarakat umum menjadi faktor penting dalam partisipasi sosial ini”. Masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya melalui berbagai media tanpa adanya diskriminasi dan juga pembatasan selama kebebasan tersebut bertanggungjawab. Sedangkan jika dilihat dari teori Cohen dan Uphoff (1977), partisipasi
masyarakat
dalam
penelitian
ini
termasuk
bentuk
Participation in Evaluation dimana masyarakat dapat mengawasi segala kegiatan pemerintah tanpa terkecuali. Adapun cara yang digunakan bersifat langsung maupun tak langsung, baik melalui kritik, saran, protes, keluhan, laporan dan sebagainya yang nantinya dapat ditindaklanjuti. Hobley merumuskan level/tingkat dan arti partisipasi berdasar pengalamannya. Hal ini ditujukan untuk mengukur tingkat/level partisipasi yang sudah dicapai oleh masyarakat. Adapun level/tingkat partisipasi menurut Hobley yaitu: a.
Manipulatif Participation Karakteristik dari model ini adalah keanggotaan yang bersifat keterwakilan pada suatu komisi kerja, organisasi kerja atau kelompok-kelompok dan bukannya pada individu.
b.
Passive Participation Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa yang telah terjadi, informasi datang dari administrator tanpa mau mendengar respon dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut.
c.
Participation by Consultation Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari luar mendefinisikan maslah-maslah
19
dan proses pengumpulan informasi, dan mengawasi analisis. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam pengambilan keputusan, dan pandangan-pandangan rakyat tidak dipertimabangkan oleh orang luar. d.
Participation for Material Insentive Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin saja petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, tetapi mereka tidak dilibatkan dalam proses percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model ini adalah apabila insentif habis, maka tekonologi yang digunakan dalam program juga tidak akan berlanjut.
e.
Functional Participation Partisipasi rakyat dilihat oleh lembaga eksternal sebagai tujuan akhir untuk mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin berpartisipasi melalui pembentukan kelompok untuk penentuan tujuan yang terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti ini mungkin cukup menarik, karena mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tetapi hal ini terjadi setelah keputusan utamanya telah ditetapkan oleh orang dari luar desa tersebut. Pendeknya, masyarakat desa “dikooptasi” untuk melindungi target dari orang luar desa tersebut.
f.
Interactive Participation Partisipasi rakyat dalam analisis bersama mengenai pengembangan perencanaan aksi dan pembentukan atau penekanan lembaga lokal. Partisipasi lokal dilihat sebgai hak dan tidak hanya merupakan suatu cara untuk mencapai suatu target proyek saja. Proses melibatkan multi disiplin metodologi, ada proses belajar yang terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh kelompok dan kelompok menentukan bagaimana ketersediaan sumber daya digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga potensi yang ada.
g.
Self - Mobilisation Partisipasi masyarakat melalui pengambilan inisiatif secara independen dari lembaga luar untuk perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan dengan lembaga eksternal untuk advice mengenai sumber daya dan
20
teknik yang mereka perlukan, tetapi juga tetap mengawasi bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Untuk
menilai
partisipasi
masyarakat,
penelitian
ini
juga
menggunakan konsep delapan tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on Ladder of Citizen Participation) menurut teori Sherry Arnstein (1971). Dalam konsepnya, Arnstein menjelaskan “partisipasi masyarakat yang didasarkan kepada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir, tiap tangga dibedakan berdasarkan corresponding to the extent of citizen’s power in determining the plan and/or program”. Secara umum dalam model ini ada tiga derajat partisipasi masyarakat: a.
Tidak Partisipatif (Non Participation)
b.
Derajat Semu (Degrees of Tokenism)
c.
Kekuatan Masyarakat (Degrees of Citizen Powers)
21
Tabel 1. Level Partisipasi menurut Arnstein: 8
Kendali Warga (citizen control) Derajat Kuasa/Kekuatan Kuasa yang didelegasi
7
Masyarakat (delegated power) (Degree of Citizen Power)
6
Kemitraan (partnership)
5
Penentraman (placation)
4
Konsultasi (consultation)
Partisipasi Semu
Pemberian Informasi
(Tokenism)
3 (information) 2
Terapi (theraphy)
1
Manipulasi (manipulation)
Tidak Partisipatif (Non Participation)
Sumber: Sherry R Arnstein, A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners 35.1969, hal 216-224 dalam Bruce Mitchell, Resources and Environmental Management, First Edition. Addison Wesley Longman Limited.1997, hal 187.
Dari beberapa definisi partisipasi masyarakat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat adalah sesuatu melibatkan masyarakat bukan hanya kepada proses pelaksanaan kegiatan saja, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam hal perencanaan dan pengembangan dari pelaksanaan program tersebut, termasuk menikmati hasil dari pelaksanaan program tersebut. Lebih lanjut secara sederhana partisipasi masyarakat adalah
22
keterlibatan seseorang (individu) atau sekelompok masyarakat secara sukarela, dalam suatu kegiatan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan, sampai kepada proses pengembangan kegiatan atau program tersebut. Begitu pula dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik jika dilihat dari teori Hobley, partisipasi dalam penelitian ini termasuk interactive participation, dimana masyarakat bersama-sama menyampaikan keluhan, kritik serta laporan akan ketidakpuasannya
dalam
mengakses
pelayanan
publik
instansi
didaerahnya. Ada kesamaan antara tingkat interaksi masyarakat, interactive participation menurut teori Hobley dengan program audit sosial, dimana keduanya dilakukan secara kemitraan melalui analisis bersama serta melibatkan multidisiplin metodologi dan juga proses yang terstruktur. Dikutip dari Modul Audit Sosial LOD DIY menjelaskan bahwa: Dalam program audit sosial yang diselenggarakan LOD DIY mampu menjembatani masyarakat dengan pemerintah lokal terkait perbaikan kualitas pelayanan publik. Masyarakat melakukan analisis bersama dengan LOD DIY mengenai ketidakpuasannya terhadap instansi pemerintah maupun pelaporan tindakan maladministrasi. Proses tersebut juga melibatkan multidisiplin metodologi dan juga ada proses belajar yang terstruktur. Hasil dari program audit sosial tersebut nantinya bisa juga digunakan sebagai sarana penanganan laporan jika instansi tersebut terbukti melakukan maladministrasi. Sehingga dapat ditindaklanjuti oleh LOD DIY, dan nantinya menghasilkan rekomendasi sebagai output yang dapat digunakan sebagai perbaikan kualitas pelayanan publik di berbagai instansi terkait.
23
Oleh karena itu penelitian ini juga bertujuan untuk memahami level/tingkat partisipasi masyarakat jika dinilai dari teori Arnstein (1971). Perubahan kualitas pelayanan publik sangat diharapkan setelah adanya program audit sosial baik itu perubahan personal kelembagaan maupun perubahan institusional. Teori Arnstein juga dapat membuktikan kekuatan partisipasi masyarakat. Melalui kemitraan dengan LOD DIY untuk bersama-sama mengawasai sektor pelayanan publik, masyarakat mulai meningkatkan derajat tanda partisipasi. Begitu seterusnya, ketika masyarakat mampu berpartisipasi melalui program audit sosial yang nantinya mampu mengintegrasi laporan-laporan maladministrasi yang ada
sehingga
dihasilkan rekomendasi untuk
penyelenggaraan pelayanan publik
yang
ada
perbaikan kualitas dan diaplikasikan
setelahnya. Hal tersebut menandakan masyarakat memiliki kendali dimana masyarakat meningkatkan level partisipasi tertinggi yaitu citizen control/citizen power. 2. Pengawasan Pelayanan Publik George R. Tery (2006:395) mengemukakan bahwa “pengawasan adalah mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakantindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan”. Sedangkan Robbin (dalam Sugandha,1999:150) menyatakan bahwa “pengawasan merupakan suatu proses aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk
24
menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi”. Ditambahkan pula oleh Terry (dalam Sujamto,1986:17) yang menyatakan “pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tindakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana”. Admosudirdjo (dalam Febriani, 2005:11) juga mengatakan bahwa pada pokoknya “pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau
mengukur
apa
yang
sedang
atau
sudah
dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma, standar atau rencanarencana yang telah ditetapkan sebelumnya”. Adapun menurut Siagian (1990:107) yang dimaksud dengan “pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan. G. R. Terry dalam Sukama (1992, hal. 116) proses pengawasan terbagi atas empat tahapan, yaitu: a. b.
Menentukan standar atau dasar bagi pengawasan. Mengukur pelaksanaan.
25
c. d.
Membandingkan pelaksanaan dengan standar dan temukanlah perbedaan jika ada. Memperbaiki penyimpangan dengan cara-cara tindakan yang tepat.
Adapun pengawasan menurut subyek pelaksanaannya dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: a.
Pengawasan Melekat Yaitu “pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung yang memiliki kekuatan (power) dilakukan secara terus-menerus agar tugas-tugas bawahan dapat dilaksanakan efektif dan efisien”.
b.
Pengawasan Fungsional “Pengawasan yang dilaksanakan oleh pihak yang memahami substansi kerja objek yang diawasi dan ditunjuk khusus untuk melakukan audit independent terhadap objek yang diawasi”.
c.
Pengawasan Masyarakat Yaitu “pengawasan yang dilakukan masyarakat pada negara sebagai
bentuk
social
control
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat negara yang demokratis”. d.
Pengawasan Legislatif “Pengawasan ini dilakukan oleh DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah”. Dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah Pengawasan Masyarakat, dimana dalam program audit sosial masyarakat bertindak sebagai social control terhadap
26
segala bentuk pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah. Karena dengan begitu masyarakat dapat berpartisipasi dan mengawasi secara langsung penyelenggaraan pelayanan publik yang sebagaimana mestinya. Realita di lapangan yang menunjukkan bahwa menurunnya kualitas layanan publik yang disediakan pemerintah disebabkan karena beberapa hal tindakan penyimpangan/maladministrasi. Oleh karena itu, pengawasan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengiringi setiap kebijakan pemerintah dan juga seluruh instansi pemerintah sebagai pihak penyedia layanan publik. Definisi Pelayanan Publik (Public Service) berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 sebagai berikut: Pelayanan Publik adalah Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menpan No. 63/2004, yang dimaksud dengan hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan “perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat”. Dalam keputusan tersebut, untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan sebagai berikut:
27
a.
Transparansi: bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b.
Akuntabilitas:
dapat
dipertanggungjawabkan
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. c.
Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
d.
Partisipatif:
mendorong
peran
serta
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e.
Kesamaan Hak: tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
f.
Keseimbangan Hak dan Kewajiban: pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masingmasing pihak. Lebih dari dua pertiga kegiatan politik dan ekonomi di Negara maju
berada dalam sektor pelayanan publik. Kemampuan bersaing suatu lembaga banyak ditentukan oleh sejauh mana lembaga tersebut mampu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap lembaga tersebut. Tuntutan terhadap pelayanan melahirkan suatu studi yaitu service management, yang mendiskusikan
28
bagaimana
cara
memberikan
pelayanan
sebaik-baiknya
dan
meningkatkan kualitas pelayanan. Lovelock (1992:10), Service Management mengandung 4 (empat) fungsi inti, yaitu: a. b. c. d.
Memahami persepsi masyarakat yang senantiasa berubah tentang nilai dan kualitas jasa/produk. Memahami kemampuan sumber daya dalam menyediakan pelayanan. Memahami arah pengembangan lembaga pelayanan agar nilai dan kualitas yang diinginkan masyarakat terwujud. Memahami fungsi lembaga pelayanan agar nilai dan kualitas jasa/produk tercapai dan kebutuhan setiap stakeholders terpenuhi.
Jenis-jenis pelayanan publik pada dasarnya ada dua yaitu pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia dan pelayanan administratif yang diberikan oleh orang lain sebagai anggota organisasi (Moenir, 2006:16). Selain itu Fitzsimmons mengemukakan 4 (empat) klasifikasi pelayanan yang berdasarkan pada tindakan pelayanan yaitu: a.
Tindakan pelayanan yang diarahkan dan langsung terasa oleh pelanggan, contohnya penumpang kendaraan, layanan hiburan, rumah makan, dan lain-lain.
b.
Tindakan pelayanan yang diarahkan pada kepemilikan dan langsung dirasakan oleh pelanggan, contohnya layanan binatu, pemeliharaan kendaraan pribadi, keamanan, dan lain-lain.
c.
Tindakan pelayanan yang tidak langsung dapat dirasakan oleh pelanggan, seperti
pengembangan intelektualitas pelanggan,
contohnya layanan pendidikan, layanan konsultasi, dan lain-lain.
29
d.
Tindakan pelayanan yang diarahkan pada aset langganan seperti pelayanan dibidang keuangan/perbankan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang
Pedoman
Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pelayanan kepada masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu: a.
Kelompok
pelayanan
administratif
yaitu
pelayanan
yang
menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik
seperti
misalnya
status
kewarganegaraan,
sertifikat
kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya.
Dokumen-dokumen ini antara
lain KTP,
Akte
Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, BPKB, SIM, STNK, IMB, Paspor, Sertifikat Tanah, dan lain-lain. b.
Kelompok pelayanan barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, jaringan gas, dan lain-lain.
c.
Kelompok pelayanan jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik misalnya pendidikan,
pemeliharaan
kesehatan,
pos,
penyelenggaraan
transportasi, dan lain-lain. Pelayanan publik sekarang ini tidak jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah menggerogoti hampir setiap sendi birokrasi,
30
masyarakat semakin jauh memperoleh pelayanan seharusnya dan semestinya sesuai hak yang dimiliki sebagai warga negara, kekecewaan dari pelayanan publik yang buruk melahirkan keinginan untuk terjadinya perubahan mental dan kultur birokrasi dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Pengawasan atau kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat rendah disebabkan karena buruknya pelayanan publik itu sendiri, Disisi lain, masyarakat tidak mempunyai tempat atau wadah untuk mengajukan keluhan atau complain atas buruknya pelayanan yang diterima. Kurang optimalnya fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan yang telah ada kemudian mengilhami pembentukan lembaga-lembaga pengawas eksternal yang independen dan bebas dari campur tangan kepentingan pihak manapun, tetapi mempunyai akses serta berpengaruh terhadap struktur birokrasi pemerintahan juga lembaga kenegaraan. Lembaga hanya memiliki satu kepentingan yaitu mewujudkan good governance. Pelayanan publik merupakan salah satu kebutuhan dalam rangka pemenuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan sepertinya masih menjadi impian, dan jauh dari realisasi dalam pelaksanaannya padahal pemenuhan kebutuhan merupakan hak dasar bagi setiap warga negara, dan penduduk untuk mendapatkan pelayanan atas barang, jasa dan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik dengan maksimal. Keluhan dan permasalahan terhadap pelayanan publik
31
yang terjadi selama ini masih menunjukan kuatnya dominasi birokrasi yang dalam praktik penyelenggara negara sebagai subyek sementara masyarakat menjadi objek, antara lain: Pertama, tidak melayani tetapi minta dilayani. Kedua, rakyat menjadi objek, menjadi korban serta menjadi abdi penyelenggara negara. Ketiga, tidak ada tolak ukur jelas mengenai pemberian pelayanan. Pemerintah jarang bisa mengoreksi mutu pelayanan yang diberikan oleh street level bureucracy sebagai pihak yang melaksanakan kebijakan dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Tak jarang masyarakat lebih memilih akses yang instan dan melakukan pelanggaran karena harus berhadapan dengan birokrasi atau pelayan publik membuat urusan lebih rumit. Karena seringnya masyarakat dikecewakan pemerintah dalam hal kualitas pelayanan publik inilah yang menuntut dan diharuskan adanya
pengawasan
atau
bentuk
kontrol
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik, agar dalam pelaksanaannya di lapangan pelayanan publik jauh bahkan bebas dari maladministrasi dan segala bentuk penyimpangan yang dapat merugikan negara dan juga masyarakat pada umumnya. Persoalan pengawasan dalam rangka perbaikan pelayanan publik terkesan tidak berjalan optimal meski sudah ada regulasi berupa perundang-undangan yaitu UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik masih sebatas pemenuhan ketentuan legal formal belum sampai masuk pada substansi, hal tersebut jelas terlihat pada penyelenggara
32
pelayanan publik yang menempati rangking tertinggi dilaporkan kepada Ombudsman untuk tahun 2008-2011 (berdasarkan laporan akhir Ombudsman) meliputi: a. Pemerintahan Daerah (Pemda) b. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) c. Badan Pertanahan Nasional (BPN) d. Pengadilan e. Instansi Pemerintah Pusat Hal tersebut menunjukkan dengan adanya laporan dari masyarakat, sudah membuktikan adanya partisipasi dan kontrol atau pengawasan dari masyarakat terhadap semua lembaga lembaga negara penyelenggara pelayanan publik agar terbebas dari praktek maladministrasi demi mewujudkan pemerintahan yang baik juga bersih (good and clean governance). Oleh karena itu, ide pembentukan lembaga Ombudsman tidak terlepas dari kritik dan dorongan publik tentang efektifitas dan independesinya seperti halnya dipersoalkan terhadap lembaga-lembaga pengawasan sebelumnya. Pertanyaan tersebut merupakan sesuatu yang wajar ditengah-tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur penyelenggara negara yang melaksanakan urusan pelayanan publik tidak melakukan sebagaimana mestinya, sebagaimana yang terjadi dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian
33
materiil dan atau immateriil bagi masyarakat dan perseorangan tidak terus menerus terjadi. Oleh karena itu, pengawasan pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk dalam jenis pengawasan masyarakat yang disebut juga pengawasan partisipatif, karena dalam aktivitas pengawasannya, masyarakat ikut berperan serta dalam memberikan aspirasi serta kritiknya dalam perbaikan kualitas pelayanan publik, sehingga pengawasan tersebut merupakan social control dari masyarakat untuk turut serta mewujudkan pemerintahan yang demokratis. 3.
Audit Sosial Istilah Audit Sosial sendiri sudah dikenal sejak tahun 1950-an. Audit sosial merupakan cara untuk mengukur, memahami, melaporkan dan akhirnya meningkatkan etika dan kinerja organisasi sosial (Modul Audit Sosial). Audit sosial juga membantu untuk mempersempit kesenjangan antara visi/tujuan dengan realitas, antara efisiensi dan efektivitas. Hal tersebut adalah teknik untuk memahami, mengukur, memverifikasi, melaporkan dan meningkatkan kinerja sosial dari sebuah organisasi. Audit sosial juga menciptakan dampak terhadap pemerintahan yaitu dalam rangka menampung aspirasi stakeholder termasuk kelompok yang termarginalkan yang aspirasinya jarang tersampaikan dengan baik. Audit sosial
bertujuan
meningkatkan
pemerintahan atau lembaga lokal.
akuntabilitas
serta
transparansi
34
Audit sosial (dalam modul audit sosial) merupakan “serangkaian kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam rangka menilai, menyikapi dan mengevaluasi sebuah kebijakan atau penyelenggaraan negara”. Audit sosial juga merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, bersih, dan demokratis. Audit sosial bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan dan dampak pelaksanaan program pemerintah serta menciptakan transparansi dalam pengelolaan anggaran publik. Inti dari Sosial Audit adalah menyediakan instrumen bagi masyarakat
untuk mengukur
dampak
dari tujuan sebuah
program/proyek maupun kegiatan. Program audit sosial dilakukan secara sistematis dan reguler sehingga berguna bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Audit sosial adalah salah satu bidang ilmu sosial terapan yang penting
dalam
pembangunan,
terutama
untuk
memberdayakan
masyarakat serta mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Buyung Ridwan Tanjung (2012) menjelaskan “pendekatan ini pada dasarnya dicirikan dengan tiga karakteristik utama, yakni dilakukan oleh warga, ditujukan untuk menilai dampak sosial, serta diharapkan menjawab masalah-masalah sosial (transformatif)”. Dalam banyak hal, audit sosial telah diuji coba untuk menyerap aspirasi masyarakat miskin, kelompok perempuan dan kelompok marjinal lainnya untuk ikut serta didengarkan dalam penilaian dampak program-program pembangunan maupun
35
perancangan kembali atas informasi. Kedua, mengintegrasikan hak atas informasi dalam kehidupan sehari-hari kebijakan. Fokus program ini adalah pemberdayaan masyarakat termarjinalkan melalui audit sosial di sektor pelayanan publik. Dikutip dari modul LOD DIY terkait audit sosial, menjelaskan beberapa tujuan program audit sosial antara lain: a. b.
c. d.
e.
Pemberdayaan hak publik masyarakat. Mendorong masyarakat untuk melakukan audit sosial terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh service provider khususnya badan publik pemerintah. Peningkatan efisiensi dan efektivitas program-program pembangunan daerah. Pengawasan keputusan berbagai kebijakan, menjaga kepentingan dan prioritas stakeholder, terutama kaum miskin pedesaan. Mendorong masyarakat untuk memberikan pelaporan kepada LOD terkait layanan publik.
Dalam modul LOD DIY juga dijelaskan bahwa “program audit sosial merupakan bagian dari pengawasan pelayanan publik dimana program tersebut
mengedepankan
partisipasi
masyarakat
terutama
dalam
pengawasannya terhadap pelayanan publik”. Dengan adanya program audit sosial nantinya masyarakat dapat memberikan kontribusi untuk mengubah budaya birokrasi maupun budaya kelembagaan terutama lembaga lokal yang sarat maladministrasi. Dengan adanya keikutsertaan masyarakat, masyarakat dapat memberikan penilaiannya terhadap kualitas pelayanan publik. Program audit sosial juga dijadikan sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelayanan publik yang terhitung masih baru sehingga untuk prakteknya belum banyak yang mempraktekkannya
36
dalam kelembagaan. Oleh karena itu dengan banyaknya manfaat dan keuntungan dari program audit sosial, harapannya audit sosial dapat diterapkan di berbagai lembaga agar masyarakat mendapatkan peran dalam pemerintahan. Pendekatan audit sosial yang dikembangkan oleh LOD DIY sendiri mengedepankan aspek pemantauan atas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah hingga ke level terendah seperti RT/RW. Ketika pada proses audit sosial ini mendapatkan adanya penemuan-penemuan yang harus ditindaklanjuti oleh LOD sesuai dengan kewenangannya, LOD DIY kemudian mengambil alih kasus-kasus ini. Adapun keuntungan dari adanya program audit sosial adalah sebagai berikut: a. Melibatkan partisipasi masyarakat pada perencanaan. b. Mendorong demokrasi lokal. c. Mendorong partisipasi masyarakat. d. Menguntungkan kelompok yang termarjinalkan. e. Meningkatkan pengambilan keputusan kolektif dan berbagi tanggung jawab. f. Mengembangkan sumber daya manusia dan modal sosial. Berdasarkan Blueprint Audit Sosial LOD DIY, Program Audit Sosial sendiri sudah diimplementasikan sejak bulan Februari tahun 2012 hingga sekarang. Dalam perjalanannya, program tersebut memperlihatkan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pengawasan pelayanan publik pemerintah di tempat mereka tinggal. Pada kenyataannya,
37
pengaduan sektor pelayanan publik di LOD DIY masih didominasi daerah-daerah tertentu, yaitu daerah yang dekat dengan akses LOD DIY. Sedangkan masyarakat yang secara geografis jauh dari LOD DIY seperti Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo masih minim. Begitu pula kelompok-kelompok rentan seperti difabel dan perempuan tidak pernah mengakses pelayanan di LOD DIY, padahal kelompok tersebut rentan dengan diskriminasi pelayanan publik. Penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan akan birokrasi serta kesulitan akses terhadap pelayanan publik membuat masyarakat terkadang terkena dampak kerumitan birokrasi serta terbiasa menyaksikan praktek maladministrasi tanpa melaporkannya. Melihat kondisi tersebut, LOD DIY melakukan terobosan dengan membuat program Audit Sosial yang diberlakukan sejak Februari 2012 hingga kini. Fokusnya adalah pemberdayaan masyarakat termarjinalkan melalui audit sosial di sektor pelayanan publik. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari program ini yaitu meliputi pemberdayaan hak publik atas informasi, mengintegrasikan hak atas informasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, mendorong masyarakat
untuk
melakukan audit sosial terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh service provider khususnya badan publik pemerintah dan mendorong masyarakat untuk memberikan pelaporan kepada LOD terkait layanan publik.
38
Gagasan ini dimulai dengan tahap awal pemetaan komunitaskomunitas yang akan dijadikan auditor sosial. Tahun pertama program ini berjalan, komunitas yang dipilih adalah komunitas keagamaan (organisasi masyarakat), komunitas perempuan, dan komunitas difabel. Selanjutnya, setiap komunitas diberikan pelatihan audit sosial melalui training, FGD (Focus Group Discussion), Conducting Audit Sosial dan multistakeholder meeting. Yang nantinya, peserta pelatihan audit sosial diharapkan mampu mengembangkan audit sosial di setiap komunitas masing-masing (Blueprint Audit Sosial LOD DIY). Program ini awalnya diinisiasi oleh LOD DIY. Dalam perjalanannya, MRR UNDP menawarkan kerjasama karena memiliki irisan program yang sama untuk komunitas-komunitas di lereng merapi. Program audit sosial telah nyata memberikan perubahan positif. Perubahan yang riil adalah peningkatan jumlah aduan secara signifikan di LOD DIY. Selain peningkatan kuantitas pengaduan, saat ini LOD DIY juga telah diakses oleh kelompok-kelompok rentan seperti difabel. Sejak LOD didirikan, belum pernah ada pengaduan dari penyandang disabilitas meskipun mereka sangat rentan mendapatkan pelayanan publik yang diskriminatif. Pengaduan di LOD DIY semakin variatif dari berbagai kelompok yang lebih beragam. Dengan keterampilan audit sosial, auditor ini bisa melakukan audit secara mandiri pada kasus yang ada di wilayahnya, sehingga pada akhirnya masyarakat juga diuntungkan dengan adanya program ini.
39
Demikian pentingnya keberadaan program audit sosial yang diinisiasi oleh LOD DIY, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa program audit sosial berupaya menjawab dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang publik untuk menyalurkan aspirasi, segala bentuk keluhan, pengaduan maupun kritik serta saran bagi kerumitan dan segala penyimpangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sehingga masyarakat
serta
lembaga-lembaga
pengawasan
eksternal
dapat
bekerjasama dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di berbagai instansi pemerintah. Masyarakat dapat secara aktif melaporkan jika dalam suatu instansi pelayanan publik milik pemerintah melakukan penyimpangan baik itu maladministrasi maupun penyimpangan lainnya. Sehingga lembaga pengawasan eksternal seperti LOD dapat melakukan follow up terhadap laporan masyarakat serta memberikan rekomendasi yang nantinya digunakan dalam perbaikan pelayanan publik di instansi terkait. 4. LOD DIY Ombudsman merupakan sebuah lembaga yang relatif baru dan mungkin asing didengar dalam keseharian, khususnya dalam pengawasan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Termasuk juga yang diselenggarakan
oleh
Badan
Usaha
Milik
Negara/Daerah
(BUMN/BUMD) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan
40
publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Beranjak pada
Ombudsman sebagai
sebuah
institusi
pengawas
eksternal
independen yang diberi kewenangan dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, perlu kita ketahui pentingnya kesejarahan daripada keberadaan Ombudsman itu sendiri. Ombudsman merupakan wadah untuk menjembatani kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah yang seringkali bertolak belakang. Ombudsman bukanlah pelaksana kekuasaan karena itu wewenang yang dimilikinya hanyalah
mencakup aspek-aspek pengawasan agar tidak terjadi
penyimpangan atau penyelewengan (Antonius Sujata, 2002). Kelahirannya merupakan salah satu agenda reformasi di bidang pelayanan publik. Istilah kata “Ombudsman” sendiri berasal dari Swedia, namun istilah tersebut telah digunakan hampir diseluruh negara yang mengadopsi lembaga ini (Sumber: LOD DIY, Konsorsium Bersama PUSHAM UII dan Gatra Tri Brata, 2006). Berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dalam Ketentuan umum pasal 1 ayat (13), Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD BHMN serta swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN atau APBD.
41
Secara langsung ataupun tidak, Ombudsman telah dijadikan salah satu mekanisme dalam menyelesaikan keresahan, keluhan yang berkaitan penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, kehadiran Ombudsman DIY bertujuan untuk menjembatani kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah yang seringkali tidak sejalan bahkan bertolak belakang. Dalam banyak penelitian dan juga tulisan masih banyak pula masyarakat yang masih belum puas terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan pemerintah propinsi DIY sendiri. Keberadaan standar
pelayanan
yang
merupakan tolak
ukur
dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara negara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur, sedangkan Maklumat yang merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan, oleh penyelenggara pelayanan publik hanya dianggap sebagai ketentuan yang mempersulit pelayanan untuk tidak bisa melakukan praktek-praktek kotor yang berupa pungutan liar (Pungli), korupsi, kolusi, dan bentuk lain berbiaya tinggi serta Maladministrasi yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian dan mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
42
publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan immateriil. LOD sebagai lembaga pengawas eksternal untuk menyelesaikan pengaduan masyarakat, karena melalui lembaga ini masyarakat diberikan ruang dan akses untuk mengontrol jalannya pemerintahan dengan cara menyampaikan pengaduan atas kurang maksimalnya pelayanan yang diberikan. Selanjutnya, LOD DIY juga telah dilembagakan melalui Keputusan Gubernur DIY No. 134 tahun 2004 tentang pembentukan Ombudsman Daerah (OD), yang kemudian dikenal dalam masyarakat dengan nama LOD. Sebagai konsekuensi pembentukan LOD DIY maka pendanaannya menjadi beban APBD dan harus dipertanggungjawabkan langsung kepada Gubernur. Mengenai tugas, fungsi serta kewenangannya telah diatur dalam Keputusan Gubernur yang mendasari pembentukannya, karena dasar hukumnya berbeda dalam setiap periodenya, maka menjadi berbeda pula tugas dan kewenangan LOD pada setiap periodenya. Namun secara khusus yang menjadi tugas pokok LOD adalah menerima dan menyelesaikan pengaduan, serta merumuskan sistem yang baik dalam mewujudkan tata pelayanan publik, khususnya pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam menjalankan tugasnya, LOD mempunyai kewenangan pada bidang pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan atau penyelewengan yang dilakukan oleh badan publik penyelenggaraan pelayanan publik di daerah.
43
LOD DIY adalah lembaga yang mempunyai legitimasi politik sebagai lembaga non struktural di daerah karena pengaturan mengenai keberadaan dan fungsinya diatur secara jelas dalam Peraturan Gubernur. Lahirnya LOD DIY adalah bukti keberhasilan advokasi masyarakat sipil yang dilegitimasi oleh kepala daerah. berkaitan dengan operasional ditentukan oleh Pemprov DIY. Pada dasarnya Ombudsman merupakan sebuah lembaga yang secara mandiri menerima dan menyelidiki tuduhantuduhan kesalahan administrasi (maladministrasi). Jelasnya fungsi Ombudsman adalah memeriksa: a. Keputusan, proses, rekomendasi, tindakan kelalaian atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum, aturan-aturan atau peraturan, atau
pembebasan dari praktik atau prosedur yang sudah ada, kecuali kalau dilakukan dengan itikad baik dan mempunyai alasan yang masuk akal (valid) yang berlawanan, sewenang-wenang atau tidak masuk akal, tidak
adil,
menyimpang,
intimidatif,
atau
diskriminasi
yang
berlandaskan dasar-dasar yang tidak relevan atau yang melibatkan penggunaan kekuasaan, atau menolak hal serupa itu karena alasan KKN, atau motif yang tidak patut, seperti penyogokan, kebobrokan, akses administratif. b. Keteledoran, ketiadaan perhatian, kelambanan, ketidakberwenangan, ketidakefisienan, dan ketidakcakapan dalam administrasi atau pelaksanaan tugas dan tanggungjawab (Jeremy Pope:1999).
44
Kedudukan LOD sebagaimana Keputusan Gubernur dalam pasal 3 (Keputusan No. 134 tahun 2004) dijelaskan sebagai lembaga non struktural yang bersifat mandiri dan tidak mempunyai hubungan struktural dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan daerah untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah. Pada tatanan pemerintahan LOD mempunyai kedudukan sebagai lembaga quasi negara (auxiliary state body) yang kedudukannya bukan sebagai lembaga negara namun mendapatkan pendanaan melalui APBD. Selanjutnya dalam pasal 7 Keputusan Gubernur No. 134 tahun 2004 memberikan mandat kepada LOD untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat khususnya melayani dan menyelesaikan keluhan, laporan atau informasi dari masyarakat atas keputusan, tindakan dan atau perilaku pejabat atau perilaku aparatur negara, pemerintah daerah atau penegak hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dinilai tidak adil, diskriminatif, tidak patut, merugikan atau bertentangan dengan hukum. Di dalam beberapa literatur, tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam tindakan penyimpangan administrasi (maladministrasi) sebagaimana disampaikan oleh Hartono, dkk (2003) dalam Buku Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia. Hartono, dkk (2003) menyatakan lebih lanjut bahwa “maladministrasi merupakan perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha saja”. Hal-hal maladministrasi
45
tersebut menjadi salah satu penyebab timbulnya pemerintahan yang tidak efisien, buruk serta tidak memadai. Dengan kata lain, tindakan atau perilaku maladministrasi bukan sekedar penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat, aparat negara maupun penegak hukum tetapi juga dari segala aspek penyimpangan dalam pemerintahan itu sendiri. Dalam manual LOD sendiri mendefinisikan maladministrasi dalam 15 jenis perbuatan yang pengertiannya sangat mudah dipahami oleh masyarakat yaitu intervensi, penyimpangan prosedur, pemalsuan atau persekongkolan, penggelapan barang bukti, inkompetensi lembaga, menguasai tanpa hak, penyalahgunaan wewenang, memperkeruh perkara, nyata-nyata berpihak, melalaikan kewajiban, menerima imbalan dalam pelayanan, praktek KKN, penundaan berlarut atau tidak melakukan pelayanan, diskriminasi pelayanan pada masyarakat dan juga pengabaian hak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tupoksi (tugas, pokok serta fungsi) LOD DIY dalam pelaksanaannya sangatlah dapat mengurangi adanya maladministrasi dalam pemerintahan, hanya saja dalam prosesnya tidak dapat dilakukan secara instan namun secara kontinyu (terus-menerus) dalam pengawasannya pada penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun yang menjadi parameter keberadaan maladministrasi tidak hanya terbatas pada pelanggaran peraturan hukum dan prosedur dalam administrasi atau praktek tata usaha saja, namun
46
meliputi sikap, perbuatan dan nilai-nilai kepatutan masyarakat serta asas umum pemerintahan yang baik (good governance). B. Penelitian yang Relevan Uswatun Khasanah (2012) dengan judul Audit Sosial Berbasis Komunitas. Temuan dari penelitian ini adalah program audit sosial yang mampu menjembatani masyarakat sebagai pengakses layanan dengan lembaga pemerintah lokal terkait penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengawasan pelayanan publik dengan lembaga pengawasan eksternal melalui program audit sosial. C. Kerangka Pemikiran Partisipasi masyarakat merupakan hal utama dalam pemerintahan demokratis. Hal ini dikarenakan dengan adanya partisipasi masyarakat dapat memberikan kontribusi maupun aspirasi terkait rekomendasi-rekomendasi kebijakan untuk pemerintah membuat kebijakan efektif serta pengambilan keputusan yang partisipatif yang menjamin akuntabilitas dalam perencanaan pembangunan. Namun banyaknya penyimpangan/maladministrasi yang terjadi diberbagai instansi pemerintah penyedia pelayanan publik semakin membuat masyarakat terbiasa dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Contohnya,
ketika
di
suatu
instansi
sudah
melakukan
pelanggaran/penyimpangan setiap harinya baik itu tindakan administratif, maladministrasi maupun penyimpangan-penyimpangan lainnya, membuat masyarakat setempat lama kelamaan makin terbiasa dengan hal tersebut. Penyimpangan yang seharusnya dilaporkan namun didiamkan masyarakat
47
karena masyarakat merasa tidak akan ada perubahan setelah mereka melaporkan penyimpangan yang dilakukan instansi tersebut kepada lembaga pengawasan eksternal, dalam hal ini LOD DIY. Kondisi seperti inilah yang kemudian menginisiasi LOD DIY untuk membuat suatu program audit sosial dimana program tersebut mampu menampung aspirasi masyarakat dari semua lapisan tanpa adanya diskriminasi baik itu masyarakat miskin, kaum perempuan, masyarakat difabel maupun kaum marjinal lainnya untuk ikut berperan aktif menyuarakan aspirasinya dalam pengawasan pelayanan publik. Karena lembaga pengawasan eksternal khususnya LOD DIY menyadari perlunya suatu solusi untuk mengatasi dan meminimalisir maladministrasi dalam pelayanan publik. Oleh karena itu, dilaksanakan program audit sosial yang ditraining sejak bulan Februari 2012 hingga sekarang ini. Sehingga dengan adanya program ini harapannya partisipasi masyarakat lebih bisa terwadahi tanpa diskriminasi terlebih lagi bagi masyarakat yang aksesnya jauh dari kantor LOD DIY, agar mereka lebih mudah melaporkan segala maladministrasi yang terjadi di instansi di daerah mereka. Tujuan program audit sosial yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat terutama dalam pengawasan pelayanan publik maka program audit sosial LOD DIY ini sangat penting untuk dikaji karena pelaksanaan program audit sosial dapat menyerap segala bentuk aspirasi masyarakat terkait perbaikan kualitas pelayanan publik di daerahnya, baik yang dekat maupun yang jauh aksesnya dari kantor LOD DIY. Dalam pelaksanaan program audit sosial sendiri terdapat kelebihan dan juga kekurangan selama pelaksanaannya.
48
Sehingga perlu adanya analisa terkait seberapa penting partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik, bagaimana fakta pelaksanaan program audit sosial di lapangan, jika belum berjalan sesuai harapan, penelitian ini akan berusaha menemukan alasan-alasan atau sebab belum optimalnya pelaksanaan program tersebut. Program audit sosial menjadi sangat penting karena dengan adanya program
tersebut
nantinya
dapat
mengatasi
dan
meminimalisir
maladministrasi dalam pelayanan publik dan juga dapat menjadi bahan koreksi baik bagi stakeholder maupun bagi masyarakat sehingga dapat dilihat hasilnya yaitu sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat melalui program audit sosial. Dengan adanya program audit sosial LOD DIY, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam mengawasi pelayanan publik dan juga ikut memperbaiki kinerja serta kualitas pelayanan publik. Tujuan itu pula yang kemudian yang diharapkan dengan implementasi program audit sosial demi terwujudnya good and clean governance. Bila digambarkan, kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
49
LOD DIY
Audit Sosial
Masyarakat
Pelaksanaan Program Audit Sosial
Aspirasi
Partisipasi Masyarakat
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
50
D. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini meliputi: 1. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik melalui program audit sosial LOD DIY? 2. Bagaimana partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi perbaikan kualitas pelayanan publik? 3. Apakah hasil yang diinginkan dari implementasi program audit sosial LOD DIY? 4. Bagaimana hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program audit sosial LOD DIY? 5. Upaya apa saja yang dilakukan dalam program audit sosial untuk mencapai tujuannya? 6. Bagaimana tanggapan masyarakat dengan adanya program audit sosial? 7. Apakah hasil yang dicapai dari program audit sosial LOD DIY bermanfaat? 8. Apakah ada peningkatan level partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik setelah adanya implementasi program audit sosial? 9. Apa saja kelebihan program audit sosial LOD DIY? 10. Apa saja kekurangan program audit sosial LOD DIY?