31
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/ Paradigma Penelitian Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba (Wibowo, 2011: 136)paradigma adalah “ Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya. Penelitian
ini
menggunakan
sebuah
paradigma
Konstruktivis.
Paradigma
konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62). Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162). Denzin dan Lincoln (dalam Wibowo, 2011: 162) menilai bahwa, setiap paradigma dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi, aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements. Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
32
ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Epistomologi adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Karena aneka ragam disiplin terlibat dalam studi komunikasi dan perbedaan hasil pemikiran mengenai riset dan teori, isu-isu epistomologi adalah penting dalam bidang ini. (LittleJohn dalam Zamroni, 2009:87). Objek Epistomologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan. Di antara isu-isu epistomologi yag penting menurut LittleJohn (2002:26), adalah pertanyaan : dengan proses apa pengetahuan itu muncul? Pertanyaan ini sangat kompleks, dan debat pada isu-isu ini terletak pada jantung epistomologi. Konstruktivisme dikaji secara ontologis menurut Guba (dalam Denzin dan Lincoln, 2009 : 137) dapat dikelompokkan dalam relativis. Realitas yang bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindera, yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk beserta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut.
Konstruktivisme
dikaji
secara
epistomologidapat
dikelompokkan
dalam
transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian. Konstruktivisme menganggap bahwa subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan sosialnya(Elvinaro dan Q. Anees, 2007:151). Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural. Konstruktivisme,
berdasarkan
secara
etimologi
mengkonstruksi,
merangkai.
Konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang yang sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang
sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau
membantu seseorang untuk mengadakan perubahan akan pengetahuannya. Perubahan inilah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
33
yang mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007:157)menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan, yaitu : (1) konteks tindakan, (2) konteks membuat akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pembenaran (justifikasi). Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)(Wibowo, 2011: 162). Pengetahuaan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya. Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimanadari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku. Sedangkan paradigma kritis menekan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
34
yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan dengan pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001 : 6). Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis. Menurut Feenberg, pendekatan konstruktivis mengkritisi pandangan deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: (1) teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruihi berbagai kriteria kontekstual; (2) proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss, 2009 : 216). 2.1.1 Pengetahuan Para pemikir konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil pemahaman pemikiran secara terus menerus, berulang-ulang. Piaget (1970) (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 155) membedakan dua aspek dalam pembentukan pengetahuan : (1) aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatiflebih berkaitan dengan transformasi dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Secara ringkas gagasan konstrukstivisme mengenai pengetahuan menurut Glasersferld dan Kitchener dapat dirangkum sebagai berikut (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007 : 155) : 1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
35
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. 3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Stuktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Ketidakpuasan manusia, sepanjang hidup, naluri ingin tahu mendoraong manusia untuk terus mencari tahu. Karenanya, mari kita artikan naluri ingin tahu sebagai dorongan alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal ihwal diri sendiri, dan baru berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya (Vardiansyah, 2008 : 2).
Sebelum mengetahui, juga manusia terlebih dahulu melihat,
mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Yang berada di sekitar manusia adalah seisinya, tampak maupun tidak: asalkan ada, dirasakan , atau mungkin ada. Dengan kata lain, objek tahu adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-alam-an pengalaman. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut pengetahu-an (pengetahuan). Pengetahuan
ada jika manusia demi pengalamannya mampu
mencetuskan pertanyaan atau putusan atas objeknya, seperti mangga yang satu itu masam. (Vardiansyah, 2008: 3). Objek materia adalah objek dari mana ilmu dalam bidang yang sedang diamati,sedangkan objek forma adalah sudut dari mana objek materia dikaji secara spesifik. Dalam hal Ilmu Komunikasi, objek materia adalah tindakan manusia dalam konteks sosial, sama seperti sosiologi atau antropologi misalnya, dan karenanya masuk dalam rumpun ilmu sosial. Sedangkan objek forma ilmu komunikasi adalah ilmu komunikasi itu sendiri. 2.2 Kerangka Teori / Kajian Pustaka
2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011: 125). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
36
Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner (dalam Wibowo, 2011: 125) dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas. Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif sama.” (Wibowo, 2011: 126). Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat. Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011:125) pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu : a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan. b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu : a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
37
b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif. c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999). Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar, 1995: 59). Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980).
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
38
Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu metode
dalam
mengembangkan
pertandaan.
Bahasa
bukan
saja
sebagai
alat
merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar
untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang
dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2001: 88). Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya “Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”, menggambarkan sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik. Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif,
namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif
melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
39
generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Berger dan Luckmann, 1990: 61). Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15). Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realita. LittleJohn (1996: 236) membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak bisa menunjukkan… agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si komunikator mempunyai pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,. karena setiap bahasa – setiap simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi. Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier (Fiske, 1990:39). Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
40
Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media. Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas. 2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding (dalam Rivers, 2003: 28) mengingatkan hewan tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika) serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada. Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers,2003: 28) “Apa yang menyentak manusia bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.” Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citracitra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
41
2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” (dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita). Lippman (dalam Rivers, 2003: 29) dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu
(pseudo-
environment). Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut.
sendiri dunia di pikirannya dalam “Biasanya kita tidak melihat dulu
sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa yang sudah kita ketahui.
Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang
dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann. Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir. Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat. 2. 2. 4. Semiotika Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatanpendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
42
sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371). Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa, sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial (Giddens dan Turner, 2008: 335). Pemilihaan Sussure antara langue dan parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974). Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik
Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam
membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan, 2001: 40). Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ – suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240). Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
43
Semiologi atau pada saat ini dikenal dengan Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Sobur, 2004: vii) ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Makna implisit yang dapat kita ambil dari pernyataan tersebut adalah terciptanya sebuah hubungan atau relasi, jika tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa tanda merupakan unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial. Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan
tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa,
denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54). De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur
(susunan dua komponen yang
berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna. Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda konvensional (yang khusus dibuat untuk komunikasi) Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
44
Terdapat dua bentuk semiotika, yaitu Semiotika Signifikasi oleh Ferdinand de Saussure dan Semiotika Komunikasi oleh Charles Sanders Pierce. Semiotika Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (dalam Sobur, 2004: viii). Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda(sign production), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem tanda(sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna. Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tandatanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan. Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya. Charles Sanders Peirce beranggapan bahwa sebuah tanda (representamen) merupakan sebuah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (intepretant). Tanda menurut pandangan Peirce itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
45
mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164). Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu : a). Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. b). Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. c.). Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut : 1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimanatanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29). 2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besaratau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009:30). 3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
46
dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30). Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007:165). Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda. Proses semiosis (semiotika atau semiologi) yang memberikan makna terhadap unsur kebudayaan yang dipandang akan menghasilkan sebuah tanda. Menurut Danesi dan Perron (1999:68 – 70) tujuan utama semiotika adalah memahami kemampuan otak untuk memproduksi dan memahami tanda serta kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia. Kemampuan itu adalah kemampuan semiosis (semiotika atau semiologi), sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23). Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam Sobur, 2004: 46) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001: 35). Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra (sound image). Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
47
pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11). Semiotika memecah – mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotika menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger, 1987: 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasikan makna (Stokes, 2006 : 78). 2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tandatanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23), desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan. Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat
kepastian, ketunggalan, dan
objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
48
Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan sebuah intepretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai sebuah metode pembacaan karya komunikasi visual. (Tinarbuko, 2009: x). Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm). Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna. Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda (signified). Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6). Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8). Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas. Semiotika Komunikasi Visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Pisau analisis diharapkan mampu memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan visual. Tanda verbal terdapat pada aspek ragam Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
49
bahasa, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya (Tinarbuko, 2009: 9). Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara satu dengan yang lainnya. Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88). Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi. Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis (syntactic) berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika (semantics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap
merupakan bagian dari semiotika.
Pragmatik (pragmatics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya (interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas (kegunaan) tanda bagi pengguna. Klasifikasi Morris ini sangat penting dalam penelitian desain karena dapat menjelaskan tingkat sebuah penelitian, apakah pada tingkat sintaksis (struktur dan kombinasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
50
tanda), tingkat semantik (makna sebuah tanda atau teks) atau tingkat pragmatik (penerimaan dan efek tanda pada masyarakat). Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris Level
Sintaksis
Semantik
Pragmatik
Sifat
penelitian tentang penelitian struktur tanda tanda
Elemen
penanda/petanda
struktural
Penerimaan
sintagma/sistem
kontekstual
pertukaran
konotasi/denotasi
denotasi
wacana
metafora/metonimi
konotasi
efek (psikologis ekonomi- sosial gaya hidup)
ideologi/mitos
makna penelitian efek tanda
Dikutip oleh Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 1995:50
2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63). Roland Barthes melakukan analisa dalam membagi pertandaan. Tingkat pertama adalah denotatif atau denotasi. Tingkat pertama ini merupakan bagian pertandaan yang memiliki ciri umum, makna terlihat langsung, dan tanda dapat dimengerti secara umum. Denotatif terdiri dari dua bagian yaitu penanda dan petanda yang memiliki hubungan hingga menjadi tanda itu sendiri (baca : denotasi). Sementara konotasi merupakan tingkat pertandaan yang dimana terdapat perubahan dalam tingkat isi (C) yang tetap berawal dari dua sistem penanda dan petanda. Selain kedua bentuk analisa tersebut, terdapat satu pertandaan yaitu mitos. Mitos merupakan sebuah perubahan makna konotasi yang telah menjadi pemahaman umum dan diyakini oleh suatu kebudayaan tertentu. Di dalam kerangka pemikiran Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
51
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan. Alasan Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001: 28). Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006). Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu (Sobur, 2004: 63 -66) : 1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki) Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “ kebenaran “ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki penyelesaiannya di dalam cerita. Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban yang lain. (Tinarbuko, 2009: 18)
2. Kode Semik (kode konotatif atau kode semantik) Proses pembacaan dengan menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita bisa menemukan suatu di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Bisa disebut juga dengan kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
52
maskulinitas atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas. (Tinarbuko, 2009: 18). 3. Kode Simbolik Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau konsep Barthes pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa berasal dari oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan secara mitologi dapat dikodekan. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilainilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Disebut juga dengan kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. (Tinarbuko, 2009: 18). 4. Kode Proaretik (kode tindakan/ perlakuan) Kode yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis menurut Barthes melihat semua lakuan (perlakuan) dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan (perlakuan) karena kita dapat memahaminya. Disebut juga dengan kode yang mengandung cerita, urutan, narasi, atau antinarasi. (Tinarbuko, 2009: 18) 5. Kode Gnomik (kode kultural) Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Kode yang memiliki ciri suarasuara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.(Tinarbuko, 2009: 18)
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
53
1. Signifier
2. Signified
(Penanda)
(Petanda)Gambar 2.1
3.Denotative sign 4. Connotative Signifier
5. Connotative Signified
(Penanda Konotatif )
(Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Sumber : Cobley, Paul & Jansz , Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York : Totem Books, Hal . 51
Dari peta tanda Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan Petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Makna konotatif tidak pernah bisa terlepas tanda tingkat pertama denotatif. Tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda
denotatif
yang
melandasi
keberadaannya.
Bentuk
ini
merupakan
penyempurnaan dari semiologi Saussurean yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004: 69). Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut Saussure. Khususnya pada kajian mengenai penanda dan petanda. Barthes mengembangkan teori penanda dan petanda menjadi sebuah kajian denotasi dan konotasi. Sesuatu objek dianggap sebagai tanda karena masing-masing sudah mendapat dan menentukan “makna”nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan (kognisi) anggota masyarakat yang bersangkutan. Tanda-tanda (komponen) tersusun dalam susunan (jukstaposisi) tertentu sesuai dengan “makna”-nya masing-masing. Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda Saussure menjadi lebih dinamis. Ia mengemukakan bahwa
dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah
“ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C). Jadi sesuai dengan teori Saussure tanda adalah “relasi “ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C, tingkat pertama (sistem pertama) atau lebih kita kenal dengan nama denotasi – makna yang dikenal secara umum (Hoed, 2011: 13). Pemakai tanda dapat mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem kedua. Pengembangannya terjadi pada segi E (ekspresi), bila Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
54
pemakain tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada E, tetapi dengan makna yang sama. Ini lebih dikenal dengan istilah metabahasa. Pengembangannya sepeti ini E ( E- R2- C )- R- C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C (isi), yang terjadi adalah pengembangan makna baru yang disebut dengan konotasi, E- R- C ( E - R2 – C). Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Barthes mengembangkan – terutama – menjadi teori konotasi yang justru dimiliki masyarakat budaya
tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik masyarakat
dengan menyatakan semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil proses konotasi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakatnya.
Dengan menulis buku
kumpulan esai yang berjudul Mythologies (1957) ia membebaskan masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang seolaholah sudah berterima di masyarakat itu terjadi (Hoed, 2011: 18). 1. Penanda dan Petanda Tanda adalah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah, saling melengkapi. Petanda bukanlah ‘benda’ melainkan representasi mental dari ‘benda’ (Barthes, 2012:36). Konsep petanda dari lembu bukanlah hewan lembu, melainkan citra atau imaji mentalnya (penjelasan ini penting untuk pembahasan selanjutnya mengenai hakikat tanda). Petanda ialah ‘sesuatu’ yang dimaksudkan oleh orang-orang yang menggunakan tanda tertentu. Setiap sistem penanda (leksikon) terjadi korepodensi, diranah petanda, antara praktik dan teknik; kumpulan petanda-petanda ini menyiratkan dari pihak pengguna sistem (pembaca tanda) tingkat pengetahuan yang berbeda (sesuai dengan kekhasan dalam ‘budaya’ mereka), yang menjelaskan mengapa leksi yang sama (atau satuan bacaan yang lebih besar) dapat dipahami secara berlainan sesuai dengan kehendak individu (Barthes, 2012:41) Satu-satunya perbedaan antara penanda dan petanda adalah
bahwa penanda
merupakan penghubung/mediator; ia membutuhkan materi. Substansi dari penanda selalu material (bunyi, objek, citra). Barthes (dalam Barthes, 2012: 43) mengatakan penandaan dapat dipahami sebagai sebuah proses; penandaan adalah tindakan mengikat penanda dengan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
55
petanda, tindakan yang hasilnya adalah tanda. Penanda adalah merupakan mediator (material) bagi petanda. Sebuah tanda adalah sebuah kombinasi dari sebuah penanda dengan petanda tertentu. “Tertentu” disini berarti sebuah penanda yang sama (misalnya kata ‘laki-laki) dapat mewakil petanda yang berbeda untuk konsep ’laki-laki’ ( misalnya alat yang digunakan untuk mencukur kumis laki-laki). Saussure menekankan bahwa suara dan pikiran tersebut (penanda dan petanda) sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan seperti dua sisi selembar kertas. Mereka terkait intim dan saling tergantung. Sebuah tanda tidak dapat terdiri dari suara (penanda) tanpa arti (petanda) atau arti (petanda) tanpa suara (penanda). Bagi Saussure, penanda dan petanda adalah murni psikologis. Psikologis dalam arti: tanda linguistik bukanlah penghubung antara sebuah benda dengan sebuah nama, tapi antara sebuah konsep (petanda) dengan sebuah pola suara (penanda). (Birowo, 2004: 46). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, disebut juga petanda adalah aspek mental bahasa(Bertens, 2001: 180). Gambar 2.2Sumber: Birowo, 2004 : 46 Petanda Penanda
Meskipun penanda digunakan untuk ‘mewakili’ petanda. Para pakar semiotika Saussurean menekankan bahwa tidak ada hubungan yang mendasar, intrinsik, langsung maupun pasti (tak terelakkan) antara penanda dan petanda. Saussure menekankan adanya sifat kesewenangan atau arbitrer (arbitrariness) pada hubungan penanda dengan petanda. Sebagai gambaran, tidak ada hubungan langsung tulisan atau citra suara ‘kursi’ dengan konsep mental kita tentang ‘kursi’ – yakni sebuah benda yang bisa digunakan untuk duduk. Aristoteles pernah mengatakan bahwa “tidak bisa ada hubungan natural antara bunyi suatu bahasa dengan benda yang ditandainya.” Shakespeare memberikan pernyataan juga bahwa segala apa nama yang kita torehkan pada sekuntum mawar merah, aromanya tetaplah semerbak.” (Birowo, 2004: 50). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
56
Setiap tanda selalu terdiri atas penanda dan petanda. Dalam teori ini, tanda adalah sesuatu yang terstruktur karena terdiri atas komponen-komponen (dalam hal ini ada dua) yang berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan (Hoed, 2011: 44). Tanda bahasa terdiri dari dua unsur yang tidak terpisahkan, yakni unsur citra akustik (bentuk) (signifiant/penanda) dan unsur konsep (signifie/petanda). Hubungan antara penanda dan petanda, yakni antara bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur tersebut terdapat dalam kongnisi para pemakai bahasa. (Hoed, 2011: 54). Penanda adalah “bunyi” yang bermakna atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut : Gambar 2.3 Elemen-Elemen Makna Saussure Sign
Composed of
Signification Signifier Plus
Signified
External Reality of The Meaning Sebuah pemaknaan dalam proses pemroduksi tanda adalah hasil kesepakatan dari budaya pengguna bahasa. Signifier (penanda) merupakan suatu citra, suara atau imaji. Sedangkan, signified(petanda) merupakan konsep yang terbentuk setelah seorang intepretan mendengar citra, bunyi, atau suara penanda. Sebuah kesinambungan yang terjalin antara penanda dan petanda yang akhirnya menghasilkan sebuah tanda. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
57
Semiotika digunakan sebagai metode pembacaan dimungkinkan karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, bila seluruh praktik sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, ia dapat pula dipandang sebagai “tanda”. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian “tanda” itu sendiri. Saussure (dalam Christomy, 2004: 90) menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari bidang—seperti halnya selembar kerta—yaitu bidang penanda (signified) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan konsep atau makna Gambar 2.4 Diagram Komponen Tanda
Penanda + Petanda = Tanda
Dikutip oleh Saussure (dalam Christomy, 2004: 90) . Berkaitan dengan piramida atau diagram pertandaan Saussure diatas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial atau kesepakatan sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa. Penanda dan petanda berasal dari teori Saussure tentang tanda, yang mengatakan bahwa tanda terdiri atas signifier dan signified. Bertolak dari teori Saussure (1915), yang melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifier (penanda), yaitu gejala yang tercerap secara mental oleh manusia sebagai “citra akustik”, dan signified (petanda), yaitu makna atau konsep yang ditangkap dari signifier tersebut. Semiotika digunakan untuk memahami kebudayaan diterangkan oleh Barthes melalui bukunya yang cukup terkenal, Mythologies (1957). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
58
Saussure menyebutkan signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gamabaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signifikasi (signification). Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990: 44). Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu (van Zoest, 1996: 23): 1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta. 2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api. 3, Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Misalnya adalah lampu merah yang berarti menunjukkan untuk berhenti (van Zoest, 1996: 23). Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain. Sementara itu, Umar Junus menyatakan bahwa makna dianggap sebagai fenomena yang bisa dilihat sebagai kombinasi beberapa unsur dengan setiap unsur itu (Sobur, 2001: 126). 2. Denotasi, Metabahasa danKonotasi Roland Barthes mengatakan denotasi adalah first order of signification(tahapan pertama pada signifikasi. Sedangkan konotasi adalah second order of signification (tahapan kedua dari signifikasi). Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan baru inilah yang kemudian menjadi konotasi. Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap (Sobur, 2004: 70).
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
59
Roland Barthes mengembangkan dua tingkat pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Menurut Pilliang (dalam Christomy, 2004: 94) denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Konotasi menurut Piliang adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih-sayang atau tanda tengkorak mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna berlapis kedua yang bersifat
implisit, tersembunyi, yang disebut dengan makna
konotatif. Gambar 2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes First Order
Reality
Second Order
Signs
Culture
Konotasi
Denotasi
Signifier
Bentuk
----------Signified Isi (content) Mitos
Dikutip dari John Fiske (dalam Sobur, 2001: 127)
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
60
Denotasi merupakan sebuah hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, disebut juga makna yang paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua, signifikasi yang berubah dalam bentuk. Fiske (1990) (dalam Sobur, 2001: 128), memberi pengertian denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Gambar 2.6 Tingkat Pertandaan
Tanda
Denotasi
Konotasi (Kode)
Mitos
Dikutip dari Pilliang (dalam Christomy, 2004: 95)
Secara lebih rinci Barthes mengatakan Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan,latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Konotasi dapat disebut juga dengan makna khusus (Hoed, 2011:13). Denotasi adalah pemaknaan secara yang secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat.Metabahasa merupakan pengembangan makna denotasi (makna ekspresi, “e”) dalam padanan kata yang memiliki makna yang sama tetapi bentuk berbeda, atau bisa disebut dengan sinonim.
Dukun
E2 R2 C2
sistem sekunder
Paranormal
METABAHASA Orang Pinter
E1R1 C1 Orang yang pandai
sistem primer
Dukun Mengobati secara
DENOTASI
spiritual
TANDA
Gambar 2.7
: Metabahasa
( Barthes 1957 dan 1964) Sumber : Hoed, 2011: 8 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
61
E1
R1
C1 sistem primer
Mercedes
‘mobil buatan Jerman
DENOTASI Mercedes Benz’
Tanda
‘mobil mewah’ sistem sekunder Konotasi
kaya’
E2R2C2mobil orang
‘mobil konglomerat’ ‘simbol status’
Gambar 2.8 : Konotasi (Barthes 1957 dan 1964) Sumber: Hoed, 2011: 86
Gambar 2.9: Teori Metabahasa dan Konotasi (Barthes 1957) “Metabahasa” E
“Konotasi” SistemCSekunder E
Denotasi
C
E
Sistem Primer
E
C C
Denotasi
Sumber : Hoed, 2011: 45
Secara ringkas, denotasi dan konotasi bisa dijelaskan sebagai berikut (Birowo, 2004: 57), yaitu : 1. Denotasi Interaksi antara signifier (Penanda) dan signified (Petanda) dalam sign (tanda), dan antara sign, dengan referen dalam realitas eksternal. Denotasi dijelaskan sebagai makna sebuah tanda yang literal, terdefinisikan, jelas (mudah dilihat dan dipahami) atau
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
62
commonsense. Dalam kasus tanda linguistik, makna denotasi adalah apa yang dijelaskan di kamus. 2. Konotasi Interaksi yang muncul ketika signbertemu dengan perasaan atau emosi pembaca / pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Istilah konotasi, merujuk pada tanda yang memiliki asosiasi sosio-kultural.dan personal. Ini biasanya berkaitan dengan kelas, umur, gender, etnik dan sebagainya dari sang penafsir. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi. Semiotika konotatif akan ada manakala ada semiotika yang bidang ekspresifnya adalah semiotika yang lain. (Eco, 2009: 79). Yang membentuk sebuah konotasi adalah kode konotatif yang menyadarinya ; sedangkan ciri kode konotatif adalah fakta bahwa signifikasi kedua dan seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikasi pertama. Makna denotasi suatu kata ialah makna yang bisa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata mawar berarti sejenis bunga. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin ‘connotare’, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). (Sobur, 2004: 263). Denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalama ujaran. (Lyons, dalam Pateda, 2001: 98). Makna Denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda(Berger, 2000b: 55). Harimurti Kridaklasana (2001:40) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan konvensi tertentu; sifatnya objektif.” Konotasi
diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang
didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal + X (Pateda, 2001: 112). Misalnya kata amplop ini adalah makna denotasi yang bermakna sampul tempat surat. Pada kalimat “berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop telah berubah menjadi makna konotasi yang mempunyai pengertian berilah uang. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
63
Devito (dalam Sobur, 2004: 263) mengatakan bahwa jika denotasi sebuah kata adalah objektif(umum) kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif (pergeseran makna umum karena ada penambahan rasa dan nilai) atau emosional. Arthur Asa Berger (dalam Sobur, 2004: 263) menyatakan bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol historis, dan hal –hal yang berhubungan dengan emosional. Denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat.itu Bila kita mengucapkan kata yang mempunyai konotasi tertentu, maka kita bermaksud bahwa kata tersebut mempunyai makna tambahan bagi makna denotatif-nya. Makna denotasi (Keraf, 1994: 28 ) mempunyai berbagai istilah, seperti makna konseptual, makna referensial, makna denotasional, makna kognitif, makna ideasional dan proporsional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat dicerap panca indera (kesadaran) dan rasio manusia. Makna ini disebut juga makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-penyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata. Konotasi disebut juga makna emotif, makna konotasional atau makna evalutif (Keraf, 1994: 29). Makna konotasional adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang – tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kara yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266) Pada dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan
sosial atau
hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. Bahasa manusia tidak sekedar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional. Bahasa tidak hanya sematamata menjadi alat untuk menyampaikan faktual (Palmer, 1997: 35-36). Makna konotatif sebuah kata juga dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan budaya (Sumarjo & Saini, 1994: 126). Lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
64
paragraf dengan karangan yang menentukan makna konotatif. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda. (Sobur, 2004: 266) Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiakan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi bersifat opresif ini, Bathes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat ilmiah (Budiman dalam Sobur, 2004: 71). 3. Paradigmatik dan Sintagmatik Ferdinand De Saussure mengatakan bahwa bahasa merupakan sebagai sistem tanda. Untuk bisa mencapai makna yang diharapkan melalui tanda-tanda terdapat semacam main rulesatau aturan utama yang menjadikan bahasa lebih bermakna. Pada sebuah kajian mengenai strukturalisme ( dan pasca strukturalisme) bahasa, dalam melihat sebuah tanda terdapat berbagai macam fase lain. Juga tanda tidak dapat dilihat hanya dengan secara individu. Terdapat sebuah relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah sistem. Proses penganalisaan tanda yang berdasarkan sistem atau kombinasi mengikutkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis., yaitu paradigmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Aksis sintagmatik adalah tanda tersusun dalam susunan tertentu (jukstaposisi). Barthes (1964) mengembangkan pandangan ini dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme adalah suatu susunan yang didasari hubungan sintagmatik. Lebih jelas mengenai sintagmatik dan paradigmatik dijabarkan melalui pembahasan dibawah ini. Contoh dalam hal ini menganalisis dari unsur busana, yaitu (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, dan (d) alas kaki. Urutan (a) sampai (d) disebut dengan urutan sintagmatis. Setiap bagian atau gabungannya merupakan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
65
sintagme. Keseluruhan urutan itu membentuk satu struktur. Setiap unsur sudah mempunyai tempat sendiri serta saling membedakan sehingga membentuk “makna” (fungsi) masing – masing, dan, karenanya, unsur-unsur itu berada dalam suatu relasi paradigmatik. Unsur-unsur itu terjukstaposisi (teratur dalam susunan) dalam suatu susunan, yang disebut susunan sintagmatik (Hoed, 2011: 12). Konsep sintagmatik dan paradigmatik menyangkut sifat relasi (hubungan) antarkomponen dalam struktur dan sistem. Relasi sintagmatik adalah relasi antarkomponen dalam struktur yang sama, sedangkan relasi paradigmatik adalah relasi antara komponen dalam suatu struktur dan komponen lain di luar struktur itu. Contoh : (1) Anjing mengigigit Ali (2) Ali Mengigigit Anjing Dalam (1) di atas, relasi antara anjing, menggigit, dan Ali sudah tertentu sesuai dengan urutannya dan mempunyai makna tertentu.Relasi ini disebut sintagmatik. Jika urutannya berubah (lihat contoh 2 di atas) maka relasi sintagmatiknyaberubah dan maknanya pun berubah. Komponen anjing, mengigigit, dan Ali berada di dalam sebuah struktur. Dalam pada itu, secara asosiatif, anjing merupakan sejumlah kata yang berkaitan secara maknawi, seperti kata kucing, harimau, atau ular. Begitu pula menggigit mempunyai relasi asosiatif dengan memakan, menerkam, atau melukai, dan Ali berkaitan secara relasional asosiatif dengan Ahmad, Munir,atau Johnny. Hubungan in absentia ini disebut relasi paradigmatik dan terjadi dengan komponen di luar struktur (Hoed, 2011: 31). Asosiatif mempunyai pengertian (KBBI) bersifat asosiasi. Asosiasi mempunyai pengertian tautan, pembentukan hubungan atau pertalian gagasan, ingatan, atau kegiatan panca indra. Bahasa adalah sebuah struktur yang mempunyai aturan main tertentu. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan main bahasa (sintaks, grammar) untuk menghasilkan sebuah bahasa atau ekspresi yang bermakna. Menurut semiotika Saussurrean, apapun bentuk pertukaran tanda, ia harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti. Perbedaan dalam bahasa, menurut Saussure, hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis sintagma. Aksis paradigma adalah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
66
satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut dapat dipilih. Sintagma adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat tertentu yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna (Pilliang, 2012: 302 – 303). Sintagma adalah kombinasi tanda-tanda, yang didukung oleh aspek ruang. Ruang itu bersifat linear. Aktivitas analitik yang berlaku bagi proses sintagmatik ialah proses menguraikan. Satuan-satuan yang memiliki kesamaan berasosiasi di dalam memori sehingga membentuk kelompok-kelompok yang mengandung ragam relasi atau pertautan. Aktivitas analitik yang berlaku bagi paradigmatik adalah klasifikasi. (Barthes, 2012: 56) Gambar 2.9 Poros Paradigma dan Sintagma Sintagma
Paradigma Sumber : Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika : Kode, Gaya, dan Matinya Makna (2012), hlm. 303 Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Saussure adalah bahwa di dalam bahsanya hanya ada prinsip perbedaan. Misanya, tidak ada hubungan keharusan antara kata topi dan sebuah benda yang kita pakai sebgai penutup kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan antara “topi”, “tapi”, “tepi”, “kopi”, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna disebabkan mereka berada di dalam relasi perbedaan . jadi yang pertama dilihat di dalam strukturalisme bahasa adalah relasi, bukan hakikat tanda itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
67
Gambaran 2.10 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat
Keceriaan
Kebahagiaan Luapan emosi senang perempuan
Keterangan :
Rina
Memainkan
Boneka
Bersama
Kakak
Ani
Menggerakkan
Mainan
Beriringan
Anak
Nita
Membuat hidup
Replika
Berdampingan (berbarengan)
sintagmatik
Paradigmatik sumber : Hoed, 2011: 162 Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, tetapi tanda dilihat dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem (Christomy, 2004: 91). Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (the rule of combination), yang tediri dari dua aksis (poros) yaitu, aksis paradigmatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Cara pengkombinasian tanda-tanda biasanya dilandasi oleh kode (code) tertentu yang berlaku di dalam sebuah komunitas bahasa. “Kode” adalah seperangkat aturan atau konvensi (persetujuan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lain. Kode menurut Umberto Eco (dalam Christomy, 2004: 91) adalah “. . . aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai penampilan konkretnya di dalam hubungan komunikasi.” Tersirat dari penjelasan tersebut adanya sebuah pengerti “kesepakatan sosial” di antara anggota komunitas bahasa tentang kombinasi seperangkat tanda-tanda dan maknanya. Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam mesin untuk memproduksi makna. Berdasarkan aksis (poros) bahasa yang dikembangkan oleh Saussure tersebut, Roland Barthes mengembangkan sebuah ‘model relasi’ antara apa yang disebutnya dengan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
68
sistem, yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, dan benda) dan sintagma, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu. Diagram 2.2 Struktur Relasi Bahasa Barthes Sistem (paradigmatik)
Sintagma
Sistem Pakaian
Elemen-elemen
Penjajaran elemen-elemen pakaian yang berbeda di pakaian yang tidak dapat dalam satu setelan pakaian, sekaligus pada waktu yang jas-baju-celana. sama : jas, jaket, rompi.
Sistem Makanan
Elemen makanan yang tidak lazim dimakan pada waktu bersamaan : nasi, lontong, dan kentang.
Menu makanan
Sistem Furnitur
Beragam gaya untuk jenis furnitur yang sama : Baroq, Rococo, Art Deco, dan Pascamodern.
Penataan, penjajaran, dan peletakan furnitur yang berbeda di dalam ruangan yang sama, meja-kursi, sofa.
Sistem Arsitektur
Beragam gaya pada elemen Sebuah penggambaran detail arsitektur yang : Corintia, dalam sebuah ruangan. Ionia, dan Mediterania. Dikutip dari Roland Barthes (dalam Christomy, 2004: 93)
4. Mitos dan Pembacaan Mitos adalah sebuah kisah (a story) yang melalui sebuah budaya menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas (Fiske, 1990). Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks budaya tertentu. Barthes (dalam Birowo, 2004: 60) berpendapat bahwa mitos melayani fungsi ideologis naturalisasi. Artinya mitos melakukan naturalisasi budaya, dengan kata lain, mitos membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan dan keyakinan yang dominan terlihat ‘natural’, ‘normal’, ‘abadi’, ‘masuk akal’, ‘objektif’ dan ‘benar’ secara apa adanya. Dalam kajian tentang kebudayaan, teori konotasi dikembangkannya menjadi teori tentang mitos. Mitos dalam pengertian umum adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
69
pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib. (KBBI, 1995). Mitos (Webster’s Dictionary) adalah kepercayaan populer atau tradisi yang telah tumbuh berkembang di sekitar masyarakat atau suatu hal. Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis (semiotika), yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia. Pemaknaannya bersifat arbitrer (sewenangwenang – sesuka-suka) sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun, dalam kebudayaan massa (la culture de masse) konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal, sehingga lama kelamaan menjadi mitos. Pada bukunya, Mythologies (1957), ia mengupas dan membuktikan bahwa mitos adalah hasil konotasi. Pembuktiannya adalah dengan melakukan pembongkaran semiologi terhadap sejumlah gejala kebudayaan massa (baca : makna yang sudah membudaya), yakni yang sudah menjadi mitos dan memiliki makna khusus sesuia dengan konotasi yang diberikan oleh komunitas tersebut. Buku Mythologies (1957) yang
ditulis oleh Roland
Barthes mempunyai tujuan membongkor mitos, serta melakukan kritik ideologi atas bahasa budaya massa, melakukan pembongkaran semiologis atas bahasa tersebut untuk memahami dasar pemaknaa yang sudah mengakar atas fonomena budaya. Mitos merupakan bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. (Sobur, 2001: 128). Mitos menurut Susilo (2000, 204) adalah suatu wahana dimana ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Roland Barthes (dalam Christomy, 2004: 94) juga melithat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Roland Barthes adalah pengodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sesunggunya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari ‘perlindungan alam khayal’. Sebaliknya dalam dunia politik, mitos kerap dijadikan alat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
70
untuk menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, yaitu membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan ‘menglegalisasikan’ sikap dan jalan anti sosial. Tujuan dari suatu mitos politik adalah selalu kekuasaan dalam , karena dianggap bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto, 1985: 220). Demikianlah mitos mudah menjadi “alat kekuasaan” yang sukar dibuktikkan kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka apa yang dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa “lebih depan” lagi (Sobur, 2004: 223 - 224). Mitos dalam pandangan Lappe & Collins (Rahardjo, 1996: 192) dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan “dengan fakta”, sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe & Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah pada umumnya. Apa yang disebut dengan Lappe & Collins sebagai mitos adalah jenis “mitos modern”. Dalam bukunya Mythology (1991) Ferdinand Comte memang membagi mitos menjadi dua macam : mitos tradisional dan mitos modern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, olah raga, sinema, televisi, dan pers (Rahardjo dalam Sobur, 2004: 224). Mitos (myth) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang hampir mirip dengan “representasi kolektif” di dalam sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Barthes (dalam Sudibyo, 2001: 245) mengartikan mitos sebagai : “Cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu sebuah cara mengonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan.” Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep atau suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun gagasan, melainkan cara mitos itu disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan maupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan non verbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, dan komik (Sobur, 2004: 224). Claude Levi-Strauss, seorang antropolog strukturalis menyebutkan bahwa satuan paling dasar dari mitos adalah mytheme. Mytheme ini tidak bisa dilihat secara terpisah dari Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
71
bagian lainnya pada satu mitos (Shri Ahimsa-Putra, 2001 : 97). Hubungan antara mytheme dengan mythemelainnya membetuk satu rangkaian
narasi yang kemudian menjadi
kepercayaan budaya tertentu. Dalam membaca mitos menggunakan pembahasan tatanan penandaan Barthes, tahap ini masuk ke ranah denotasi. Sebuah foto Mariah Carey. Pada tahap denotasi ini adalah foto dari seorang penyanyi dari Amerika Serikat Mariah Carey. Pada tahap konotasi kita menghubungkan foto ini dengan keglamoran bintang pop Amerika Serikat, artis cantik, seksi. Semua ini bisa kita dapatkan dengan membaca teks-teks lain seperti video klip, film, maupun rekaman. Dari perspektif yang lain kita juga melihat kasus ketergantungan terhadap narkoba dan perceraian. Pada tingkat mitos kita pahami bahwa tanda ini bercerita tentang keindahan, gemerlap budaya popular, kebebasan berekspresi, kecantikan abadi, kesuksesan, feminitas, seksualitas. Masing-masing cerita tersebut merupakan rangkaian dan bagian dari mitos atau mytheme. Mytheme didapat dari konteks budaya dan teks lain yang menyertai tokoh atau subjek. 2.2.5Ilustrasi Menurut Baldinger (1986:120), ilustrasi adalah seni membuat gambar yang berfungsi untuk memperjelas dan menerangkan naskah. Jan D. White (1982:110) ilustrasi adalah sebuah tanda yang tampak di atas kertas, yang mampu mengomunikasikan permasalahan tanpa menggunakan kata. Ia dapat menggambarkan suasana, seseorang, dan bahkan objek tertentu agar dapat menarik penggambaran suasana yang dapat membawa pembacanya ke alam cerita. Ilustrasi sebagai gambaran pesan yang tak terbaca, namun bisa mengurai cerita, berupa gambar dan penulisan, yaitu bentuk grafis, informasi yang memikat. Meskipun ilustrasi merupakan attention – getter(penarik perhatian) yang paling efektif, tetapi akan lebih efektif
lagi
bila
ilustrasi
tersebut
juga
menunjang
pesan
yang
terkandung.
(Kusmiati,1999:44). Ilustrasi merupakan bentuk visual dari teks atau ungkapan. Dengan menggambarkan suatu adegan dalam sebuah cerita, ia dapat menerangkan secara umum karakter atau keseluruhan isi cerita. Selain itu, ilustrasi berfungsi untuk menarik pembaca agar tertarik untuk membaca cerita. Sebuah ilustrasi yang dipaparkan dalam sebuah majalah atau koran berfungsi sebagai pendukung estetik dari sebuah cerita. Selain fungsi tersebut, ilustrasi juga dapat mewakili perwatakan cerita yang ditampilkan, ada korelasi antara visual dan latar belakang cerita. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
72
Bentuk ilustrasi awal telah digunakan di dalam kerajaan purba Mesir dalam bentuk gulungan daun papyrus dan kertas kulit. Ciri khas ilustrasi tersebut berupa dekorasi naskah dengan pewarnaan, dan gambar dengan hiasan tepi bersalut emas. Konsep ilustrasi juga awal juga dapat ditinjau kembali ke zaman silam melalui lukisan dinding prasejarah dan konsep tulisan hieroglyph. Perubahan pesat berlaku terhadap ilustrasi selepas Perang Dunia Pertama disebabkan kepesatan surat kabar, majalah, dan buku berilustrasi yang memungkinkan adanya eksperimen teknik oleh pengkarya. Banyak ilustrator yang menjadi kaya dan terkenal. Tema yang mendominasi adalah hasil aspirasi usahawan Amerika ketika itu. Di benua Eropa, seniman pada masa keemasan dipengaruhi oleh kelompok PreRaphaelite dan gerakan-gerakan yang berorientasi kepada desain seperti Arts and Crafts Movement, Art Nouveau, dan Les Nabis. Contohnya Walter Crane, Edmund Dulac, Aubrey Beardsley, Arthur Rackham dan Kay Nielsen. Pada kurun abad ke - 16, sekolah-sekolah seni di Jerman menunjukkan komitmen yang tinggi dalam penghasilan ilustrasi. Albert Durer, Hans Burgkmair, Altorfer dan Hans Holbein adalah tokoh ilustrasi ukiran. Pada kurun ke 17, dengan diketuai oleh Rembrandt, ilustrasi terus berkembang meliputi pelbagai aspek dan subjek. Ketika kita membicarakan gambar dalam konteks Ilustrasi berarti memperbincangkan gambar dalam bingkai fungsi. Sisi fungsi sangat melekat dalam kata ‘Ilustrasi’. Hal ini terjadi karena dalam sejarahnya kata “Illustrate” muncul akibat pembagian tugas fungsional antara teks dan gambar. Dari etimologinya Illustrate berasal dari kata‘Lustrate’ bahasa Latin yang berarti memurnikan atau menerangi. Sedangkan kata‘Lustrate’ sendiri merupakan turunan kata dari * leuk- (bahasa Indo-Eropa) yang berarti ‘cahaya’ (Grolier Multimedia Encyclopedia 2001). Dalam konteks ini Ilustrasi adalah gambar yang dihadirkan untuk memperjelas sesuatu yang bersifat tekstual. Ilustrasi adalah anak industrialisasi yang mendambakan spesialisasi dalam mekanisme kerjanya. Pada awal abad pertengahan terjadi pembagian tugas kerja antara seorang ’Scrittori’ dan seorang ’Illustrator’ dalam pembuatan sebuah illuminated manuscript.Posisi seorang Scrittori bertugas untuk menyiapkan dan mendesain huruf atau kaligrafi dari teks sebuah buku atau manuskrip. Sedangkan seorang Ilustrator bertugas untuk memproduksi ornamen dan gambar yang memperjelas isi teks. Pemilahan tersebut mengawali dan mempertegas istilah Ilustrasi menjadi selalu berdimensi fungsi. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
73
Fungsi memperjelas sebuah teks atau bahkan memberi sentuhan dekorasi pada lembar-lembar teks memberi gambaran bahwa saat itu gambar (ilustrasi) adalah subordinan dari teks. Gambar adalah pelengkap teks. Gambar hanyalah wahana untuk mengantarkan pemahaman secara lebih utuh dari sebuah teks. Seorang Ilustrator harus dapat memahami isi teks dan kemudian mengilustrasikannya dalam bentuk gambar. Kemampuan mentranslasikan dari sesuatu yang tekstual ke dalam bentuk yang visual menjadi poin penting sebagai seorang Ilustrator. Ilustrator berperan sebagai penerjemah (interpreter) ke pada pembaca dari sesuatu yang abstrak (wilayah bahasa/tekstual) ke dalam sesuatu yang konkret sifatnya (wilayah rupa). Tuntutan kepiawaiannya tidak berhenti pada tataran olah rupa (visualisasi) saja, tetapi juga mencakup wawasan (pemahaman terhadap teks) dan olah komunikasinya (bagaimana cara menyampaikan kepada pembacanya melalui rupa). Posisi Ilustrator dalam hal ini adalah sebagai visual interpreter. Secara fungsional Ilustrator berada di posisi antara (in between) penulis dan pembacanya. Di sisi lain posisi seorang Ilustrator adalah sebagai seorang visual dekorator. Menyiapkan iluminasi sebagai bingkai penghias ataupun mengisi ruang-ruang kosong dalam sebuah manuskrip. Era illuminated manuscript ini berakhir ketika gambar yang sebelumnya dieksekusi melalui teknik manual, mulai dicetak dengan teknik woodcut.
2.2.6 Kebangsaan Kebangsaan adalah suatu rasa penjiwaan kesatuan solidaritas masyarakat yang terbangun oleh kebersamaan akibat kesediaan saling berkorban dalam waktu yang panjang serta kesediaan untuk melanjutkan di masa kini dan akan datang dengan berlandaskan pada kebersamaan itu untuk mewujudkan cita-cita bersama (Pranowo & Darmawan, 2003: vii). Solidaritas dan rasa kebersamaan itu tidak terbangun atas dasar asal usul, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, melainkan pengalaman sejarah dan nasib bersama. Oleh sebab itu, pilar utama kebangsaan selain persatuan adalah kemajemukan (pluralisme). Rasa kebangsaan Indonesia terbentuk melalui sebuah proses sinergi dari perasaan yang sama akibat penindasan dan penjajahan serta tumbuhnya kesadaran Nasional untuk pembentukan sebuah bangsa yang bebas dan merdeka. Aktualisasi dari rasa kebangsaan Indonesia adalah kehendak untuk hidup bersatu dalam satu tanah air untuk berjuang bersama-sama mencapai cita-cita bangsa. Fase awal kebangsaan termanifestasi dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, hingga Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dimana cita-cita kebangsaaan, yaitu masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Kesadaran kebangsaan yang muncul tidak didasarkan atas Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
74
sentimen atau semangat primordial lainnya serta etnis, melainkan didasarkan atas pada persamaan nasib untuk menjadi suatu bangsa yang besar, kuat, dan terhormat. Menemukan kembali kebangsaan kita dengan memberikan pemaknaan yang baru. Kebangsaan Indonesia adalah hasil dari suatu sikap inklusif dari segenap elemen masyarakat yang bermuara kepada sikap untuk saling memberi dan menerima segala macam perbedaan. Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah bukti bahwa perbedaan dijadikan sebagai persatuan bangsa.
Siswono Yudohusodo membagi unsur-unsur dalam kebangsaan (dalam, Yudohusodo: 1996): -
Rasa Kebangsaan Kesadaran berbangsa , yaitu kedasaran untuk bersatu sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena sejarah, karena aspirasi perjuangan masa lampau, karena kebersamaan kepentingan, karena rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu dan masa kini, serta kesamaan pandangan, harapan dan tujuan dalam merumuskan cita-cita bangsa untuk waktu yang akan datang.
-
Paham Kebangsaan Aktualisasi dari rasa kebangsaan, yang berupa gagasan-gagasan, pikiran-pikiran yang bersifat rasional, dimana suatu bangsa secara bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbangsa dan tujuan nasional yang jelas dan rasional.
-
Semangat Kebangsaan Tumbuh berkembangnya rasa kebangsaan dan paham kebangsaan itu, membentuk apa yang disebut sebagai semangat kebangsaan. Yaitu, rela berkorban demi kepentingan bangsa, negara dan tanah airnya.
-
Wawasan Kebangsaan Cara pandang yang diliputi oleh rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan dalam upaya bangsa untuk mencapai cita-cita nasionalnya, dan mengembangkan eksistensi kehidupannya atas dasar nilai-nilai luhur bangsanya.
Wawasan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia sebagai “keinginan untuk menjadi atau menciptakan Indonesia (Pranowo dan Darmawan, 2003: 33). Dengan dasar dari wawasan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tersebut, terciptalah sebuah cara pandang (worldview) mengenai keindonesiaan adalah, suatu gerakan positif, yang merupakan operasionalissasi dari suatu kekuatan ideologi baru yang tidak semata-mata berkaitan dengan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
75
soal perlawanan terhadapa dominasi Belanda, tetapi juga berhubungan dengan soal membanguna suatu entitas nasional baru. Menurut John D. Legge (dalam Pranowo dan Darmawan, 2003 : 33), nasionalisme bukanlah produk dari suatu pemerintah opresif, tetapi tumbuh dari kekuatan-kekuatan perubahan sosial yang mendalam.
Awalnya berkembang pemikiran ini didasarkan oleh keinginan untuk menjadi atau menciptakan Indonesia. Jalan pertama yang harus ditempuh adalah membebaskan Indonesia dari kekuatan represif pemerintahan Belanda. Sehingga munculnya sebuah pemikiran yang bernama Persatuan menjadi sebuah kebutuhan, dalam artian – seperti ditulis oleh Robert Cribb, “bahwa tidak satu pun dari kelompok-kelompok etnis pribumi di Nusantara dapat dikucilkan dari gagasan Indonesia.” Persatuan menjadi prioritas utama dari gerakan nasional dimana terdapat suatu semangat kebangsaan (persatuan, keinginan untuk menjadi atau menciptakan Indonesia –secara taken for granted. (Pranowo dan Darmawan, 2003 : 35).
Paham Kebangsaan sesuai Lima Sila Falsafah Pancasila: -
Ketuhanan Yang Berkebudayaan Dalam Prinsipnya mengenai Ketuhanan, Sokarno brpendapat bahwa bukan saja
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ilah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan, hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan. (Yudi Latif, 2011: 75) Sila Ketuhanan menekankan prinsip bahwa moralitas dari spiritualitas keagamaan berperan penting sebagai bantalan vital bagi keutuhan dan keberlangsungan suatu negara bangsa. Kepercayaan baru perlu dihadirkan dengan kelapangan untuk berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan secara bersama. Dengan hakikatnya, agama memiliki kepedulian bersama dalam persoalan publik yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaaan, dan keberadaban. Oleh karena itu, setiap agama harus mencari titik temu dalam semangat gotong-royong untuk membentuk semacam “civic-religion” bagi pengelolaan ruang publik bersama. (Yudi Latif, 2011: 118-119). -
Kemanusiaan Universal Nasionalisme
ataupun
paham
kebangsaan
Indonesia,
dengan
demikiran,
memperjuangkan kesamaan manusia. Nasionalisme yang berperikemanusiaan inilah yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
76
akhirnya terpatri secara utuh dan cemerlang dalam (sila kedua) pancasila. Dalam rumusan sila kedua, cita-cita kemanusiaan menjadi jiwa kemerdekaan. (Yudhi Latif, 2011: 239). Hal ini senafas dengan semangat dan prinsip para pendiri bangsa. Soekarno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan dan kegotongroyongan. Pada Hatta terjelma cita-cita kedaulatan rakyat dan egalitarianisme (pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat). Pada diri Tan Malaka, nampak sosok ideal Indonesia yang bebas. Pada Sila Kedua Pancasila menunjuk kepada nilai-nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai-nila manusiawi (kemanusiaan) merupakan dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak manusia. Sebuah bangsa yang besar serta memiliki peradaban yang tinggi adalah bangsa yang menghargai nilai-nilai universal hak asasi manusia (Yudi Latif, 2011: 243). -
Persatuan dalam Kebhinekaan Sosrodiningrat mengatakan kepada Soekarno, “Berani merdeka berarti berani
mempertahankan Indonesia, dan ini berarti berperang. Buat ini perlu persatuan sekokohkokohnya. Persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antar golongan, menyingkirkan diri, dan golongan diri sendiri.” Kembali dengan lantang beliau meneriakkan kalimat-kalimat, “caranya dalam mengejar kekokohan, persatuan, harus memperhatikan dan menghargai bermacam-macam corak yang mungkin menjadi sifat luhur Negara Indonesia yang akan dibentuk. Soekarno melalui paham dari Renan dan Otto Bauer mendapatkan sebuah paham kebangsaaan yaitu persatuan. Menurut Renan syaratnya bangsa ialah “kehendak untuk bersatu”.” Le desir d’ etre ensemble”, yaitu kehendak untuk bersatu. Maka yang dapat dinamakan sebuah bangsa , yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.Otto Bauer mendefinisikan Nation sebagai sebau persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. (Yudhi Latif, 2011: 331-332) Soekarno merumuskan sebuah paham kebangsaan Indonesia adalah sebuah paham kebangsaan mengenai persatuan, kesamaan pemikiran, dan keinginan untuk bersatu dalam sebuah tanah air yang telah diwariskan oleh Allah S.W.T, dari pulau Sabang hingga ke pulau Merauke bersatu dengan tanah air bersama, Indonesia.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
77
Bung Karno sejak mendirikan republik ini telah menekankan akan kepentingan menjunjung tinggi oleh sebuah bangsa yang merdeka dan beradab, yakni: kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan antarbangsa yang berarti pula penghormatan terhadap internasionalisme. “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.” Soekarno tidak hanya berhasil merumuskan ciri kebangsaan Indonesia, beliau juga mampu menghasilkan sebuah identitas nasional budaya yang berfungsi merekatkan kembali bangsa, yaitu Bahasa Indonesia, bahasa persatuan (Yudhi Latif, 2011: 356). Prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan Indonesia. Suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatu dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), yang dalam slogan negaran dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetap satu jua. Secara singkat dapat dikatakan, keberadaan bangsa Indonesia terjadi karena ia memiliki suatu nyawa, suatu asas - akal yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani suatu kesatuan riwayat yang membangkitkan persatuan karakter dan kehendak untuk hidup bersama dalam suatu wilaya geopolitik yang nyata. Sebagai persenyawaan dari ragama perbedaan, suatu bangsa mestinya memiliki karakternya tersendiri yang bisa dibedakan dari karakter unsur-unsurnya. Dengan demikian, kebangsaan Indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain sunatullah (hukum Tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi kesetaraan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap kemajemukan bangsa, melalui perwujudan demokrasi permusyawaratan yang berorientasi dalam keadilan sosial. Sepertinya yang dinyatakan Notonagoro, “Sila ketiga: Pesatuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Yudhi Latif, 2011: 376). -
Demokrasi Permusyawaratan Tan Malaka seorang Komunis sejati mencintai Indonesia dengan merumuskan sistem
politik yang tepat untuk Indonesia. Gagasannya menegenai republikanisme di Indonesia jelas terkait dengan penegakan demokrasi yang diabdikan untuk rakyat. Dalam pandangannya, bentuk negara yang dicita-citakan bangsa Indonesia adalah negara republik. Dengan bentuk Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
78
ini, rakyat akan memiliki kedaulatan atas negara. Melalui kedaulatan yang dimilikinya, rakyat dapat menentukan nasib sendiri, tidak lagi menyerahkannya kepada satu golongan atau individu tertentu. Untuk menjamin kedaulatan rakyat dalam republik, menurutnya, perlu dijaga keseimbangan kekuasan dengan membaginya menjadi tiga: pertama, kekuasaan untuk membuat undan-undang yang diberikan pada badan legislatif, kedua kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yang diberikan pada badan eksekutif, dan ketiga, kekuasaan untuk mengawasi undang-undang yang diberikan pada badan yudisial. Dengan demikian, tidak ada kekuasaan yang dipegang secara mutlak atau absolut oleh satu badan atau kelompok tertentu. Masing-masing dari ketiga badan ini berfungsi untuk saling mengawasi agar kekuasaan tidak bisa diselewengkan secara sewenang-wenang (Malaka, 2005 dalam Yudhi Latif, 2011: 408) Pandangan Mohamad Hatta dalam demokrasi politik menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam perkembangan kebangsaan. Dalam demokrasi politik, salah satu isiu penting yan perlu dikedepankan adalah soal bagaimana sebuah pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Demokrasi memberikan sebuah panduan dasar bahwa pemerintahan harus berasal dan melibatkan rakyat di negara tersebut. Dan, salah satu proses penting dalam demokrasi menurut Bung Hatta adalah soal prinsip kedaulatan rakyat. Yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat adalah bahwa kekuasaan untuk mengatur negeri berada di tangan rakyat. Melalui prinsip di mana rakyat berdaulat, rakyat tidak lagi ditentukan oleh satu kekuatan di luar dirinya. Mereka menjadi penentu atas masa depannya sendiri melalui mandat yangmereka berikan baik secara langsung maupun perwakilan (Yudhi Latif, 2011: 415). Hatta menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal sifat individualisme yang terjadi pada dunia Barat. Oleh karena itu, model demokrasi yang dikembangkan merupakan demokrasi yang cocok dengan karakter keindonesiaan sendiri, yakni demokrasi kekeluargaan berdasarkan permusyawaratan. Soekarno berpidato pada Rapat Besar 1 Juni 1945. Dalam uraiannya mengenai dasar falsafah negara Indonesia merdeka (philosofische gronslag), dia memasukann prinsip mufakat dan demokrasi. “Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua untuk semua”, “satu untuk semua, semua untuk satu”. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah Permusyawaratan dan Perwakilan.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
79
-
Keadilan Sosial Keadilan sosial merupakan suatu hal yang telah termaktub pada Sila ke Lima
Pancasila. Keadilan Sosial di sini mempunyai pengertian sebuah manifestasi akan kesejahteraan para warga negara Indonesia. Merefleksikan hasrat bangsa untuk beremansipasi dari penindasan ekonomi penjajahan
dengan memuliakan
daulat rakyat
melalui
permberdayaan partisipasi warga di bidang ekonomi. Ini berhubungan dengan demokrasi politik, sehingga bangsa Indonesia memiliki kedaulatan akan ekonomi serta politik di negaranya (Yudhi Latif, 2011: 548).
2.2.7Komunikasi Massa Pengertian Komunikasi Massa menurut pendapat ahli Tan dan Wright (dalam Elvinaro dkk 2004: 1) adalah bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Terdapat perbedaan yang besar dalam public speakingatau retorika dengan komunikasi massa, walaupun proses komunikasinya berjalan secara masif dan komunikannya pada umum sangat heterogen. Komunikasi massa menggunakan sebuah media massa, perbedaan tersebut yang menjadikan komunikasi massa lebih luas cakupan penyebaran informasi. Media massa disini terdiri dari berbagai macam, elektronik (televisi, radio, dan internet) dan cetak (majalah, surat kabar, dan buletin). Pendapat yang lebih rinci lagi dikemukakan oleh Gerbner (dalam Elvinaro dkk 2004: 1), komunikasi massa mempunyai pengertian, “mass communication is the technology and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow messages in industrial societies.” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Dari pengertian Gerbner diatas kita dapat menarik kesimpulan mengenai beberapa hal, proses untuk menghasilkan sebuah bentuk pesan yang masif mewajibkan mengunakan sebuah lembaga baik itu lembaga pers atau stasiun televisi. Kedua lembaga komunikasi massa tersebut dimiliki masyarakat industri yang menggunakan teknologi canggih dalam melakukan penyebaran informasinya, seperti media televisi yang menggunakan satelit atau cetak menggunakan teknologi penerbangan. Adapun penyebaran
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
80
informasi tersebut didistribusikan kepada khalayak tertentu secara tetap, misalnya setiapa satu jam sekali (media televisi), harian (cetak), dwi mingguan atau bulanan (majalah). Sehingga dari pengertian – pengertian diatas kita dapat mengambil beberapa ciri dari komunikasi massa. Ciri yang pertama komunikator terlembagakan, berdasarkan pendapat Wright komunikasi masa itu melibatkan lembaga, dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks, seperti sebuah lembaga pers dalam menghasilkan sebuah koran. Lembaga pers terdiri dari empat bagian, redaksi, perusahaan, litbang (penelitian dan pengembangan), dan distribusi. Jika berpikir sederhana seperti ini, dalam mencari berita (meliput berita) reporter bersama fotografer turun ke lapangan. Setelah itu berita ditulis kemudian diperiksa kembali oleh redaktur liputan. Sebelum turun ke masyarakat, berita tersebut diperiksa berulang-ulang hingga akhirnya berita tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat. Bagaimana jika komunikatornya bukan lembaga? Adapun ciri kedua adalah pesan bersifat umum atau terbuka, dalam hal ini pesan ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan oleh sekelompok tertentu, yang paling penting pesan ditujukan untuk kepentingan masyarakat luas. Ciri selanjutnya komunikan (pengintepretasi) anonim dan heterogen. Anonim disini komunikator tidak mengenal secara langsung penerima pesan yang akan diberikan informasi. Heterogen karena pesan ditujukan untuk tidak ke kalangan tertentu, misal menengah ke atas, tetapi untuk kepentingan masyarakat dari berbagai macam lapisan, suku, budaya dan bahkan agama. Ciri keempat adalah komunikasi bersifat satu arah, disini mempunyai pengertian komunikasi massa menggunakan media sehingga tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif mengirimkan pesan dan komunikan pun aktif menerima pesan, tetapi tidak dapat melakukan sebuah dialog interaktif. Ciri yang terakhir adalah umpan balik yang tertunda, disini proses komunikasi berjalan secara resiprokal (timbal balik), namun timbal baliknya tidak dapat diketahui secara langsung, adapun feedback-nya dilihat dari suara pembaca, melalui telepon interaktif, dan melalui surat elektronik. 2.2. 7. 1 Surat Kabar Menurut Baran (Baran, 2008: 150) surat kabar atau pers memiliki dua hal tentang hubungan antara surat kabar (media) itu sendiri dengan pembacanya, yakni 1) kebenaran mengalir dari banyak ‘lidah’, disini berarti semakin banyak surat kabar, semakin gencarlah kebenaran akan terungkap, 2) masyarakat akan lebih baik jika disediakan sejumlah suara yang saling bertentangan. Dari pernyataan yang kedua dapat dikatakan bahwa semakin banyaknya media yang saling memberikan opini berbeda atau saling silang pendapat, akan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
81
memperlihatkan bentuk kebebasan dalam menyampaikan keadilan, sehingga akhirnya masyarakat yang kritis lah yang menentukan opini mana yang terbaik. Menurut Agee (dalam Elvinaro dkk 2004: 98), secara kontemporer surat kabar memiliki tiga fungsi utama dan fungsi sekunder. Fungsi utama media atau surat kabar adalah : (1) to inform(menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, negara dan dunia), (2) to comment (mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya dalam fokus berita), (3) to provide (menyediakan keperluan informasi bagi para pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui pemasangan iklan di media). Sedangkan fungsi sekunder surat kabar atau media, adalah : (1) untuk kampanye proyek-proyek yang bersifat kemasyarakatan, yang diperlukan sekali untuk membantu kondisi-kondisi tertentu, (2) memberikan hiburan kepada pembaca dengan sajian cerita komik, kartun dan cerita-cerita khusus, (3) melayani pembaca sebagai konselor yang ramah, menjadi agen informasi dan memperjuangkan hak. Lembaga pers dengan produknya surat kabar pada hakikatnya mempunyai fungsi sebagai pemberi informasi. Masyarakat di daerah Papua sana mengetahui peristiwa perampokan Bank CIMB Niaga yang terjadi di Medan, atau masyarakat Indonesia mengetahui perkembangan yang berada di Gaza, Palestina melalui informasi yang diberikan oleh surat kabar. Itulah fungsi, peran, dan hakikat dari surat kabar selain edukasi, hiburan, dan pendidikan. Menurut McLuhan pada saat ini kita berada di sebuah desa global (global village). Salah satu fungsi khusus dari pers pada perkembangannya bertambah sebagai alat kontrol sosial yang konstruktif. Disini pers atau surat kabar mempunyai peran untuk memberikan stimuli (rangsangan) dalam menciptakan atau membangun informasi yang variatif berkaitan dengan perkembangan sosial, misalnya mengenai rasa kebangsaan atau gerakan-gerakan sosial perkotaan. Setelah mengetahui fungsi dari surat kabar, ada baiknya kita mengetahui karakteristik dari surat kabar, Karakteristik atau ciri dari surat kabar harus memiliki yang namanya publisitas. Publisitas disini berarti pesan atau penyebaran pesan pada publik dapat diterima oleh publik secara banyak dan merata. Selanjutnya terdapat periodesitas,yang menunjuk pada keteraturan media tersebut terbit. Periodesitas ini harus terjaga karena pentingya kebutuhan informasi oleh manusia. Keragaman informasi atau universalitas isi menunjukkan kekhasan dari surat kabar. Surat kabar harus memberikan informasi mengenai ekonomi, sosial, budaya, agama, kehidupan, politik, manusia, pendidikan, keamanan, dan lainnya. Sehingga berpulang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
82
kepada pembacalah akhirnya mereka menentukan apa yang hendak dibaca. Karakteristik yang paling penting dimiliki dari surat kabar adalah aktualitas atau biasa disebut kebaruan dari informasi atau berita.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
83
2.3 Model Teoritik Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Ilustrasi Kebangsaan karya Jitet Koestana
Objek Penelitian Pewarnaan, subjek di cerita dan Cerita Ilustrasi pada Ilustrasi Kebangsaan karya Jitet Koestana
Semiotika Roland Barthes
-
Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan Denotasi dan Konotasi Mitos
Level Analisis -
Teks (Pewarnaan, Jalinan Cerita, dan Subjek dalam Cerita) Konteks (sosial, budaya, sejarah, politik, ekonomi, dan kebangsaan)
-Pemaknaan dalam ilustrasi - Imaji (Gambaran) mengenai cita-cita kebangsaan - Mitos
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara