BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 TAHAP KUALIFIKASI 2.1.1 Pengertian kualifikasi Tahapan kualifikasi adalah penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sesuai dengan karakteristik proyek yang akan dilakukan. Dengan kata lain proses kualifikasi adalah masa dimana pengguna jasa pelaksana konstruksi melakukan proses seleksi terhadap calon yang akan mengikuti tahap selanjutnya. Dalam tahap ini pengguna jasa pelaksana konstruksi menetapkan kompetensi yang harus dimiliki oleh calon penyedia jasa dan menyingkirkan pilihan pada calon yang dianggap tidak memenuhi kompetensi yang diminta. Mengenai proses kualifikasi pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh pemerintah termuat dan diatur dalam Keputusan Presiden No.80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah. 2.1.2 Kriteria dan Evaluasi dalam Tahapan Kualifikasi Evaluasi kualifikasi penyedia jasa adalah suatu proses pengambilan keputusan yang membutuhkan pertimbangan yang luas mengenai kriteria keputusan yang diambil dan juga keikutsertaan dari banyak sistem pengambilan keputusan (Rusell dan Skibniewski, 1988). Tujuan evaluasi penawaran adalah untuk mencapai target dari proyek dengan memastikan pemilihan penyedia jasa konstruksi dapat memuaskan pengguna jasa nantinya. Ada banyak riset mengenai kriteria-kriteria yang dipakai dalam kualifikasi proyek konstruksi. Dalam penelitian, Dennis (1993) menyimpulkan bahwa kriteria untuk pemilihan kontraktor harus memuaskan kedua pihak, sehingga dalam keseluruhan kriteria bisa diketahui: 1. Kekuatan finansial untuk memperbaharui cash flow dengan kendala yang terjadi akibat kontrak. 2. Kemampuan teknik (termasuk sumber daya manusia) dapat memenuhi persyaratan kontrak. 3. Pemahaman penuh dari lingkup proyek yang mirip dan kemampuan untuk menyerap perubahan pola.
4. Fasilitas-fasilitas (pengetesan, kontrol kualitas) yang perlu untuk memberikan jaminan terhadap mutu. 5. Kemampuan untuk menyelesaikan proyek dengan baik, yang memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan pekerja. Dalam riset yang dilakukan oleh Hatush Z.
and Skitmore (1997), ada 20 kriteria dalam
kualifikasi, yaitu: 1. Previous job uncomplete (Pekerjaan yang belum selesai sebelumnya). 2. Personnel management (Manajemen personalia). 3. Financial status (Status keuangan). 4. Bank Facilities (Fasilitas bank). 5. Capabilities (kemampuan). 6. Management knowledge (pengetahuan manajemen). 7. Project management organization (organisasi manajemen proyek). 8. Experience (pengalaman). 9. External relationship (hubungan eksternal). 10. Job expertise (keahlian pekerjaan). 11. Safety requirements (persyaratan keselamatan). 12. Business experience (pengalaman bisnis). 13. Safety experience (pengalaman keamanan). 14. OSHA application (aplikasi OSHA/K3). 15. Sub-contractor and client relationship (sub kontraktor dan hubungan dengan pihak klien). 16. Credit facilities (fasilitas-fasilitas kredit). 17. Financial capabilities (kemampuan keuangan). 18. Skill workers (keterampilan para pekerja). 19. Equipment and machinery (peralatan dan permesinan). 20. Knowledge increase ratio (rasio peningkatan pengetahuan). Di Indonesia sendiri, kriteria-kriteria kualifikasi untuk pemilihan penyedia jasa konstruksi untuk proyek pemerintah tercantum dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksaanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah, pada bab IV, mengenai Penilaian Kualifikasi atau pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
Dalam proses kualifikasi panitia/pejabat pengadaan dilarang menambah persyaratan prakualifikasi atau pasca-kualifikasi yang sifatnya administratif (Psl 14 ayat 6), kecuali untuk persyaratan teknis (Psl 14 ayat 7) di luar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Keputusan Presiden atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Panitia atau pejabat yang berwenang dalam pengadaan barang/jasa tidak boleh melarang, menghambat, dan membatasi keikutsertaan calon peserta pengadaan dari luar Propinsi, Kabupaten, dan kota dimana lokasi pengadaan barang/jasa dilakukan. Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan harus merupakan persyaratan minimal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan agar terwujud persaingan yang sehat secara luas. Mengenai evaluasi kriteria tersebut, berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah, pada bab IV, mengenai Penilaian Kualifikasi, ada 4 hal yang dinilai, yaitu kelengkapan administratif, keuangan, pengalaman, dan kemampuan teknis. A. Untuk kelengkapan administratif, hal-hal yang menjadi kriteria kualifikasi dan harus dimiliki pelaksana jasa konstruksi adalah : 1.
Memiliki Ijin Usaha Jasa Konstruksi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tempat domisili penyedia jasa.
2.
Memiliki Kompetensi yang ditunjukkan dengan Sertifikat Badan Usaha yang diterbikan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
3.
Secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak pengadaan.
4.
Tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau tidak sedang menjalani sanksi pidana.
5.
Dalam hal penyedia jasa akan melakukan kemitraan, penyedia barang/jasa wajib mempunyai perjanjian kerjasama operasi/kemitraan yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut.
6.
Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir (SPT/PPh) serta memiliki laporan bulanan PPh pasal 25 atau pasal 21/pasal 23 atau PPN sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan yang lalu.
7.
Selama 4 (empat) tahun terakhir pernah memiliki pengalaman menyediakan jasa baik di lingkungan pemerintah atau swasta termasuk pengalaman sebagai sub penyedia jasa baik di lingkungan pemerintah/ swasta, kecuali penyedia jasa pelaksanaan pekerjaan
konstruksi (pemborongan) yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun atau penyedia jasa perencanaan dan jasa pengawasan pekerjaan konstruksi (konsultasi) yang baru berdiri kurang dari 2 (dua) tahun. 8.
Memiliki kinerja baik dan tidak masuk dalam daftar sanksi atau daftar hitam di suatu instansi.
9.
Memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha kecil termasuk koperasi kecil.
10. Untuk bukan usaha kecil : Memiliki kemampuan pada bidang/sub bidang pekerjaan yang sesuai. Memenuhi KD = 2NPt pada sub bidang pekerjaan yang sesuai dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir; KD = Kemampuan Dasar NPt = Nilai pengalaman tertinggi. 11. Dalam hal bermitra, yang diperhitungkan adalah kemampuan dasar dari perusahaan yang mewakili kemitraan (lead firm). 12. Untuk
pekerjaan
khusus/spesifik/teknologi
tinggi/kompleks
dapat
ditambahkan
persyaratan lain seperti peralatan khusus, tenaga ahli spesialis yang diperlukan, atau pengalaman tertentu dan memiliki sertifikat manajemen mutu ISO. 13. Memiliki surat keterangan dukungan keuangan dari bank pemerintah/swasta untuk mengikuti pengadaan barang/jasa sekurang-kurangnya 10% dari nilai proyek untuk pekerjaan pelaksanaan konstruksi (pemborongan), kecuali untuk usaha kecil dan jasa perencanaan dan jasa pengawasan pekerjaan konstruksi (konsultansi). 14. Memiliki kemampuan menyediakan fasilitas dan peralatan serta personil yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan. 15. Termasuk dalam penyedia jasa yang sesuai dengan nilai paket pekerjaan. 16. Menyampaikan daftar perolehan pekerjaan yang sedang dilaksanakan (khusus untuk jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi/pemborongan). 17. Tidak membuat pernyataan yang tidak benar tentang kompetensi dan kemampuan usaha yang dimilikinya. 18. Untuk pekerjaan jasa pemborongan memiliki sisa kemampuan keuangan (SKK) yang cukup dan sisa kemampuan paket (SKP). 19. Persyaratan diatas harus dimiliki pelaksana jasa konstruksi, dan jika tidak, dianggap gugur.
B. Dalam penilaian keuangan, kriteria yang dinilai adalah : 1. Sisa Kemampuan Keuangan (SKK) Untuk menghitung SKK dapat menggunakan rumus sebagai berikut: SKK = KK – (NK – Prestasi) KK = Fp x MK MK = FL x KB KB = (a+b+c) – (d+e), diambil dari neraca
Untuk Nilai Paket (NP) sebesar X, maka bila: • SKK ≥ X, diberikan nilai 100% • 0,5 X ≤ SKK < 0,9 X, diberikan nilai 50% • SKK < 0,5 X, diberi nilai 0% dimana: KK =
Kemampuan Keuangan
Fp
Faktor perputaran modal
=
Fp = 6 untuk penyedia jasa Usaha Kecil Fp = 7 untuk penyedia jasa Usaha Menengah. Fp = 8 untuk penyedia jasa Usaha Besar MK =
Modal Kerja
KB =
Kekayaan Bersih
a
=
Aktiva Lancar
b
=
Aktiva Tetap
c
=
Aktiva Lainnya
d
=
Utang Jangka Pendek
e
=
Utang Jangka Panjang
Fl
=
Faktor likuiditas, dengan: Fl = 0,3 untuk penyedia jasa Usaha Kecil Fl = 0,6 untuk penyedia jasa Usaha Menengah Fl = 0,8 untuk penyedia jasa Usaha Besar
NK =
Nilai kontrak dalam pelaksanaan
Prestasi
=
NP
Nilai paket yang akan dilakukan pengadaannya
=
DB =
Nilai pekerjaan yang sudah dilaksanakan
Dukungan Bank
2. Dukungan Bank Pernyataan bahwa Bank memberikan dukungan pada Perusahaan untuk mengikuti proses pengadaan dan dapat menyediakan fasilitas berupa kredit bagi rekanan Bank tersebut. Surat Dukungan Bank tersebut harus dibuktikan dan dilampirkan pada dokumen kualifikasi. C. Untuk penilaian pengalaman, tiga kriteria yang dinilai adalah: 1. Bidang pekerjaan • Pekerjaan yang Bidang dan Sub Bidangnya sama dengan pekerjaan yang akan dilakukan pengadaannya mendapat bobot nilai 100%. • Pekerjaan yang Bidangnya sama, tetapi Sub Bidangnya berbeda dengan pekerjaan yang akan dilakukan pengadaannya mendapat bobot nilai 50%
2. Besarnya nilai kontrak yang pernah ditangani. Bila nilai pekerjaan yang akan dilakukan pengadaannya sebesar X a. Pengalaman Pekerjaan ≥ X, mendapat nilai 100% b. 0,5 X ≤ Pengalaman Pekerjaan < X , dinilai 50% c. Pengalaman Pekerjaan < 0,5 X, dinilai 0%
3. Status Badan Usaha dalam pelaksanaan pekerjaan a. Sebagai kontraktor utama/Lead Firm J.O. dinilai 100% b. Sebagai sub kontraktor/anggota J.O. dinilai 30% D. Dalam Penilaian Kemampuan Teknis, kriteria yang dinilai yaitu: 1. Penilaian Peralatan. Kombinasi peralatan dapat berbeda dengan yang disusun Panitia Pengadaan, yang dinilai adalah kesesuaian peruntukannya dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud. Penilaian dilakukan atas ekuivalensi kapasitas dan jumlah alat yang disediakan terhadap kapasitas dan jumlah alat yang disusun panitia pengadaan. Kondisi alat yang diperhitungkan hanya yang kondisinya tidak kurang dari 70%. Penilaian dibedakan antara usaha kecil dan menengah dengan usaha besar.
2. Penilaian Personil. Untuk Usaha Menengah, minimal personil yang disediakan disesuaikan dengan kebutuhan manajemen. Panitia Pengadaan harus menyusun terlebih dahulu daftar tenaga inti yang diperlukan, sesuai kebutuhan pekerjaan. Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil yang disediakan harus disertai Sertifikat Keahlian (SKA) dan Sertifikat Ketrampilan (SKT) 3. Manajemen Mutu. Untuk Badan Usaha yang menyampaikan program mutu diberi nilai 5, bagi yang tidak menyampaikan dinilai 0. Bila total nilai kemampuan teknis yang diperoleh < 15 BU yang bersangkutan gugur/tidak lulus kualifikasi. Dari penilaian diatas, panitia pengadaan harus menentukan nilai di tiap kriteria dan menentukan nilai ambang lulus. Bagi penyedia jasa yang memenuhi nilai ambang lulus, masih harus dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk melaksanakan paket pekerjaan dengan menilai sisa kemampuan paket (SKP). Untuk penyedia jasa Usaha Kecil, KP = 3 Untuk penyedia jasa Usaha Menengah, KP = 5 Untuk penyedia jasa Usaha Besar KP = 8 atau KP = 1,2 N SKP = KP – (jumlah paket yang sedang dikerjakan) dimana: N
=
Jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani pada saat yang bersamaan selama kurun waktu 5 tahun terakhir.
KP =
2.2
Kemampuan menangani paket pekerjaan.
MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN
2.2.1 Umum Dalam penentuan bobot penilaian untuk setiap kriteria dalam kualifikasi, panitia pengadaan dapat menggunakan model-model pengambilan keputusan yang telah dikembangkan saat ini sebagai alat bantu.
Ketika panitia pengadaan akan memakai model pengambilan keputusan untuk kualifikasi, kriteria-kriteria di bawah ini harus terpenuhi (Sounder, 1947): a) Realitas
Model perlu mencerminkan kenyataan dari situasi keputusan manajer, yang mencakup berbagai sasaran hasil.
b) Kemampuan
Model harus cukup canggih untuk dihadapkan pada berbagai
periode
waktu,
mensimulasikan
berbagai
kondisi, baik kondisi internal maupun eksternal terhadap proyek, dan mengoptimalkan keputusan. c) Fleksibilitas
Model harus memberi hasil yang valid dengan cakupan yang telah dialami oleh pengambil keputusan.
d) Mudah digunakan
Model harus cukup efektif, tidak menghabiskan waktu yang lama untuk dilaksanakan, dan mudah dimengerti dan dipahami.
e) Biaya
Pengumpulan data dan biaya pemodelan harus sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya proyek dan harus dipastikan lebih rendah dari potensi keuntungan proyek tersebut.
Umumnya, ada dua tipe model pengambilan keputusan, yaitu model numerik dan model non numerik. model non numerik tidak menggunakan angka sebagai input (masukan), sedangkan model numerik menggunakannya, tapi kriteria yang diukur dalam angka dapat bersifat objektif atau subjektif.
Akan tetapi, menurut Jake R. Meredate Samuel J. manfel JR, yang harus diperhatikan dan menjadi konsep dasar model yaitu: 1. Model tidak dapat menghasilkan keputusan, tetapi pemakai model yang menentukan keputusan, sehingga tanggung jawab terhadap keputusan ada pada pemakai model tersebut. 2. Semua model, secanggih apapun itu, hanya berupa penyajian yang bersifat parsial terhadap kenyataan yang ingin dicerminkan lewat model tersebut. Tidak ada model yang dapat menghasilkan keputusan optimal, akan tetapi model dapat menciptakan paradigma dalam mengambil keputusan, sebagai alat analisis.
Menurut Simon ( 1977) proses pengambilan keputusan melibatkan empat tahap utama, yaitu : a. Tahap Identifikasi – Menentukan tujuan pengambilan keputusan berdasarkan masalahmasalah yang telah diidentifikasi. b. Tahap Desain – Perumusan suatu model yang merepresentasikan masalah keputusan. Model tersebut kemudian mensahihkan kriteria-kriteria yang akan dipakai dalam menentukan pengambilan keputusan. c. Tahap Pemilihan – Mengevaluasi kriteria dan merekomendasikan solusi yang sesuai dengan model. d. Tahap Implementasi – Mempraktekkan hasil rekomendasi. Panitia pengadaan sebagai pengambil keputusan dihadapkan pada masalah keputusan untuk menentukan penyedia jasa konstruksi yang akan dipilih pada saat kualifikasi. Sebelum memilih penyedia yang tepat, panitia pengadaan perlu memastikan kriteria-kriteria apa saja yang akan dipakai, dan mengidentifikasi teknik dan model pengambilan keputusan yang paling tepat untuk proyek yang ada.
2.2.2 Model Pengambilan Keputusan Multi Kriteria Multi-Criteria Decision Making ( MCDM) atau pengambilan keputusan multi kriteria dikembangkan di Amerika Serikat dan bertujuan untuk membantu pembuat keputusan dalam mempelajari masalah yang ada dan memandu mereka untuk mengidentifikasi suatu tindakan yang lebih disukai (Zeleny 1992). Model ini digunakan sebagai alat bantu oleh banyak peneliti dan insinyur dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, dan dapat diaplikasikan untuk penelitian yang berhubungan dengan pemilihan penyedia jasa konstruksi ( Fong dan Choi, 2000). Meskipun banyak model pengambilan keputusan multi kriteria yang telah dikembangkan, hanya sedikit model yang tepat diterapkan dalam penentuan bobot penilaian kualifikasi pengadaan jasa konstruksi. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh banyak tenaga ahli, ada tujuh model yang cocok digunakan sebagai alat bantu dalam penentuan bobot, yaitu: 1. Bespoke Approach (Pendekatan Bespoke) 2. Multi-Attribute Analysis (Analisis Multi-Atribut) 3. Multi-Atribute Utility Theory (Teori utilitas Multi-Atribut) 4. Multi Regression (Multi Regresi) 5. Cluster Analysis (Analisis Gugus)
6. Fuzzy Set Theory (Teori Fuzzy) 7. Discriminate Analysis (Analisis Diskriminan) 2.2.3 Analytical Hierarchy Process (Proses Hierarki Analisis) AHP merupakan salah satu pengembangan dari model Multi-Attribute Utility Theory, dan dikenalkan pertamakali oleh Saaty (1979). Secara ringkas, model ini mengubah penilaian subjektif (tanpa bobot) menjadi penilaian yang memiliki bobot. Teknik ini mengaplikasikan dekomposisi, Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi, dan sintesis dari prioritas. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu model pengambilan keputusan yang sering digunakan. Menurut Bourgeois (2005) AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif/pilihan yang ada dan pilihanpilihan tersebut bersifat kompleks atau multi kriteria. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi dan partisipasi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang menuntut transparansi dan partisipasi. Selain itu, karena sifatnya yang pairwise comparison (perbandingan berpasangan), AHP lebih mudah dipahami.