BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Profil Perusahaan PT XYZ adalah sebuah Perusahaan Multinasional Asing yang merupakan bagian dari Heineken Group. PT XYZ pertama kali berdiri pada tahun 1929 di Medan dengan nama NV Nederlands Indische Bierbrouwerijen, dengan memiliki tempat pengolahan bir pertama kali di Surabaya. Pada tahun 1963 Heineken NV menjadi pemegang saham utama, dan mengubah nama Perseroan menjadi Heineken Nederlands Indische Bierbrouwerijen Maatschappij. Saat ini PT XYZ merupakan penghasil bir terdepan di Indonesia, yang memproduksi dan memasarkan serangkaian produk terkenal, seperti Bir Bintang, Heineken, Guinness Stout, dan Green Sands. Perseroan memiliki tempat pengolahan bir di Mojokerto dan Tangerang, serta kantor penjualan dan pemasaran yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia, dari Medan di Sumatera Utara hingga Jayapura di Papua dengan kantor pusat di Jakarta. Pabrik Tangerang berdiri pada tahun 1974 berlokasi di Jalan Daan Mogot Km. 19 dengan luas area +/- 11 hektar. Beroperasi dengan sistem shift penuh dengan jumlah karyawan sekitar 400 orang. PT XYZ telah mendapat pengakuan internasional dengan memperoleh sertifikat ISO 9001:2005 (QMS), ISO 14001 (EMS), dan ISO 22000 (HACCP) sehingga ada jaminan dalam bidang proses produksi, instalasai, dan pelayanan.
Proses produksi fermentasi karbohidrat mencakup tiga tahapan, yakni pembuatan larutan nutrien, fermentasi, dan destilasi etanol. Destilasi adalah pemisahan ethanol dari cairan fermentasi. Adapun bahan-bahan yang mengandung gula tinggi, maka tidak memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda. Jika bahan yang berasal dari pati dan selulosa, diperlukan penambahan asam (perlakuan
kimia) maupun proses enzimatis (penambahan enzym) untuk menghidrolisisnya menjadi senyawa yang lebih sederhana. Jika bahan-bahan fermentasi berasal dari biji-bijian seperti gandum dan sereal lainnya, bahan tersebut harus di rendam dalam air (soaking) hingga berkecambah. Selanjutnya bahan tersebut direbus, diproses menjadi mash, dan dipanaskan. Disamping penggunaan mikroorganisme pada proses fermentasi, kondisi optimal fermentasi harus dijaga seperti masalah aerasi, pH, suhu dan lain-lain. Menurut peraturan Menteri Kesehatan No 86 tahun 1997, minuman beralkohol dibedakan menjadi tiga (3) golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5 persen, misalnya bir. Golongan B dengan kadar alkohol 5-20 persen, misalnya anggur. Sedang golongan C dengan kadar alkohol 20-55 persen, misalnya whisky dan brandy. G ris t 70%+ Stout mal t / adjunct
Mash Vessel
Proc ess flowc hart – GFES b y G FEI p roces s Hop addition Yeast food, liquid adjuncts, finings L auter Tun / Mash Filter
Kettle
W hirlpool
Wort Cooler
Air/ Ox ygen Gy le Tank
Bright Beer Tank
CO2 Gyle
Ferm enter GFEI
Storage Tank G reen beer Centrifuge
Chiller
Finings
CO 2
Bottling/canning
Pas teurisation
Labelling
Secondary packagi ng
Gambar 2.1. Proses Produksi Bir Guinness (Guinness® Brand Technical Manual, BTM22I, Rev.8/2006)
1
Proses produksi bir Guinness terdiri dari beberapa tahapan yaitu proses milling (penggilingan gandum), mashing (proses sakarifikasi bubur gandum), lautering (proses pemisahan sari gandum dari ampasnya), boiling (proses pemasakan sari gandum), cooling (proses pendinginan sari gandum), proses fermentasi selama waktu tertentu dengan penambahan ragi/gyle di dalam tangki fermentasi, dan proses penyaringan bir dari gyle untuk memperoleh bir dengan spesifikasi yang diinginkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan alkohol dalam bir Guinness antara lain: 1.
Proses Pemasakan Gandum (milling, mashing, lautering, boiling, cooling)
2.
Proses Fermentasi (Temperatur, pH, Laju Fermentasi, dll)
3.
Manajemen Yeast (Aerasi, Temperatur)
4.
Filtrasi Bir (faktor pengenceran)
2.2 Konsep Process Capability Analisis kemampuan proses dikenal adanya batas-batas spesifikasi. Batas spesifikasi ditentukan berdasarkan kebutuhan pelanggan, disebut juga batas toleransi. Analisis kemampuan proses membedakan kesesuaian dengan batasbatas toleransi. Cara membuat analisis kemampuan proses, antara lain Ratio kemampuan proses atau Indeks kemampuan proses (Proces Capability Ratio atau Capability Process Index / Cp). (Evans & Lindsay, 2002) Untuk membantu para praktisi, maka telah dibuat beberapa tabel berikut ini untuk dipergunakan sebagai referensi penentuan indeks kapabilitas proses dalam pengendalian kualitas menuju target six sigma. Indeks kapabilitas proses Cp, dihitung berdasarkan formula: CP =
(USL − LSL) 6σ 2
Dimana : USL = Upper specification Limit (Batas spesifikasi atas). LSL = Lower specification Limit (Batas spesifikasi bawah). 6σ = Enam simpangan baku.
Persyaratan asumsi dari penggunaan formula ini adalah bahwa distribusi dari proses harus berdistribusi normal dan nilai rata-rata proses harus tepat sama dengan nilai target, yang berarti nilai rata-rata proses harus tepat berada di tengah dari interval nilai USL dan LSL. Jika persyaratan asumsi ini dapat dipenuhi, maka Tabel 1 dapat digunakan sebagai nilai referensi untuk menentukan kapabilitas proses yang sedang dikendalikan itu. Tabel 2.1. Hubungan antara Cp dan Kapabilitas Proses
Cp
Kapabilitas Proses
0,33
1,0 Sigma
0,50
1,5 Sigma
0,67
2,0 Sigma
0,83
2,5 Sigma
1,00
3,0 Sigma
1,17
3,5 Sigma
1,33
4,0 Sigma
1,50
4,5 Sigma
1,67
5,0 Sigma
1,83
5,5 Sigma
2,00
6,0 Sigma
2,17
6,5 Sigma
2,33
7,0 Sigma.
Indeks Kemampuan Proses atas dan Kemampuan Proses Bawah (Upper and lower Capability Index). (Evans & Lindsay, 2002)
3
Cpu =
USL − µ 3σ
Cpu =
µ − USL 3σ
Dimana : Cpu = perbandingan dari rentang atas rata-rata. Cpl = perbandingan rentang bawah rata-rata. Dan untuk menghitung proporsi cacat produk adalah sebagai berikut : (Thomas Pyzdek, 2001) ⎡USL − Χ ⎤ ZU = ⎢ ⎥⎦ dan ⎣ σ
⎡ Χ − LSL ⎤ ZL = ⎢ ⎥⎦ ⎣ σ
Dimana : Z dan Z proposi cacat batas atas dan bawah. U
L
Indeks Kemampuan Proses (Cpk Indeks), indeks kemampuan proses di atas mengukur kemampuan potensial, dengan tidak memperhatikan kondisi rata-rata proses. Rata-rata proses tersebut diasumsikan sama dengan titik tengah dari batasbatas spesifikasi dan proses berada pada kondisi in statistical control. Kenyataannya, nilai rata-rata tidak selalu berada di tengah, sehingga perlu mengetahui variasi dan lokasi rata-rata proses. Nilai Cpk mewakili kemampuan sesungguhnya dari suatu proses dengan parameter nilai tertentu. • Nilai Cpk diformulasikan dengan (Evans & Lindsay, 2002) ⎛ USL − µ µ − USL ⎞ Cpk = min⎜ , ⎟ = Min(Cpu , Cpl ) 3σ ⎠ ⎝ 3σ
Bila
Cpk ≥ 1, Proses disebut baik (Capable) Cpk ≤ 1, Proses kurang baik (Not Capable)
Nilai Cpk ini merupakan kemampuan sesungguhnya dari proses dengan nilai – nilai parameter yang ada. Apabila nilai rata – rata yang sesungguhnya sama 4
dengan nilai tengah, maka sebenarnya nilai Cpk = nilai Cp. Semakin tinggi indeks kemampuan proses maka semakin sedikit produk yang berada di luar batas – batas spesifikasi.
Ada beberapa hal yang digunakan sebagai gambaran dalam analisis kemampuan proses dan nilai indeks Cpk, :
1. Nilai rasio kemampuan proses tidak dapat berubah seperti pusat proses. 2. Nilai resiko kemampuan proses sama dengan indeks Cpk apabila proses berada pada kondisi terpusat. 3. Nilai indeks Cpk selalu sama atau lebih kecil daripada nilai resiko kemampuan proses. 4. Standard Cpk secara defacto sama dengan 1, yang menunjukkan bahwa proses menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi. 5. Nilai Cpk lebih kecil dari 1 menunjukkan bahwa proses menghasilkan produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi. 6. Nilai resiko kemampuan proses lebih kecil dari 1 menunjukkan proses tidak baik atau tidak layak. 7. Nilai Cpk sama dengan 0 menunjukkan rata-rata nilai Cpk sama dengan 1 berarti sama dengan batas spesifikasi. 8. Nilai Cpk negatif menunjukkan rata-rata berada di luar spesifikasi. 9. Nilai resiko kemampuan proses yang dikehendaki adalah lebih besar atau sama dengan 1. 10. Nilai resiko kemampuan proses sama dengan 1 berarti bentangan proses sama dengan spesifikasi. 11. Analisis kemampuan proses ini hanya dapat digunakan untuk pengendalian mutu proses data variabel, untuk pengendalian mutu proses data atribut analisis ini tidak dapat dilakukan, karena dalam pengendalian mutu proses data atribut ini telah ada pada nilai garis pusat atau nilai pada garis pusatnya Indeks kapabilitas proses Cp, memiliki keterbatasan, yaitu: 5
(1) indeks Cp tidak dapat digunakan apabila CTP proses yang akan dikendalikan itu hanya memiliki satu batas spesifikasi (hanya memiliki USL atau LSL saja), dengan kata lain indeks Cp hanya dapat digunakan apabila CTP proses yang akan dikendalikan itu memiliki dua nilai batas spesifikasi (USL dan LSL). (2) indeks Cp tidak mampu mendeteksi process centering, di mana jika nilai ratarata proses (X-bar) tidak tepat sama dengan nilai target (T), maka indeks Cp akan memberikan misleading results (hasil yang salah dalam pembuatan keputusan). Untuk mengatasi kekurangan dari indeks Cp, maka kita dapat menggunakan indeks Cpk. Bagaimanapun juga, indeks Cpk baru dapat dipergunakan apabila memenuhi persyaratan asumsi bahwa proses yang dikendalikan itu harus berdistribusi normal. Pada dasarnya nilai indeks Cp dan Cpk adalah sama pada berbagai tingkat sigma, kecuali indeks Cpk mampu mendeteksi process centering, apakah telah bergeser ke arah bawah menuju LSL atau bergeser ke arah atas menuju USL.
2.3 Sejarah dan Pengertian Six Sigma
Six Sigma adalah salah satu metode dalam perbaikan proses (process improvement) yang belakangan ramai dibicarakan orang. Bahkan bagi sebagian organisasi, Six Sigma bukan hanya sekadar metode tapi sudah menjadi strategi bisnis yang menjadi tulang punggung perusahaan tersebut. Pada akhir tahun 1970, Dr. Mikel Harry, seorang insinyur senior pada Motorola’s Government Electronics Group (GEG) memulai percobaan untuk melakukan problem solving dengan menggunakan analisis statistik. Dengan menggunakan cara tersebut, GEG mulai menunjukkan peningkatan yang dramatis: produk didisain dan diproduksi lebih cepat dengan biaya yang lebih murah. Metoda tersebut kemudian di tuliskan dalam sebuah makalah berjudul ”The Strategic Vision for Accelerating Six Sigma Within Motorola”. Harry kemudian dibantu 6
oleh Richard Schroeder, seorang mantan executive Motorola, menyusun suatu konsep change management yang didasarkan pada data. Hasil dari kerja sama tersebut adalah sebuah alat pengukuran kualitas yg sederhana yang kemudian menjadi filosofi kemajuan bisnis, yang dikenal dengan nama Six Sigma. (Harry dan Scroeder, 2000).
Menurut Tri Hendradi (2006) Six Sigma merupakan proses disiplin tinggi yang membantu mengembangkan dan menghantarkan produk mendekati sempurna. Six Sigma bukan semata-mata merupakan inisiatif kualitas, tetapi merupakan inisiatif bisnis untuk mendapatkan dan menghilangkan penyebab kesalahan atau cacat pada output proses bisnis terhadap pelanggan. Menurut Miranda dan Amin Widjaja Tunggal (2006) definisi Six Sigma adalah suatu sistem yang komprehensif dan flexible, member dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data dan analisi statistik serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha. Dalam jurnalnya Masoud Hekmatpana, dkk (2008) tentang “Six Sigma Process and its impact on the Organization Productivity” menyatakan bahwa metode Six Sigma adalah sebuah proyek manajemen yang digunakan untuk peningkatan kualitas produk, pelayanan dan perbaikan proses secara terus menerus untuk mengurangi cacat dalam proses produksi. Dalam penerapan Six Sigma dilakukan pendekatan untuk menemukan dan mengeliminasi penyebab dari kesalahan/cacat proses yang berfokus pada output yang lebih baik. Ada empat fase untuk proses perbaikan yaitu Measure, Ananlyze, Improve dan Control (MAIC). Ada hubungan langsung dan positif antara Six Sigma dengan produktivitas. Kasus yang paling utama dalam Six Sigma adalah “Good things don’t come easy”. Menurut Peter Pande,dkk, dalam bukunya The Six Sigma Way: Team Fieldbook, ada enam komponen utama konsep Six Sigma sebagai strategi bisnis: 7
1.
Benar-benar mengutamakan pelanggan: seperti disadari bersama, pelanggan bukan hanya berarti pembeli, tapi bisa juga berarti rekan kerja, tim yang menerima hasil kerja, pemerintah, masyarakat umum pengguna jasa, dan lain-lain.
2.
Manajemen yang berdasarkan data dan fakta, bukan berdasarkan opini atau pendapat tanpa dasar.
3.
Fokus pada proses, manajemen dan perbaikan: Six Sigma sangat tergantung pada kemampuan untuk mengerti proses yang dipadu dengan manajemen yang bagus untuk melakukan perbaikan.
4.
Manajemen yang proaktif: peran pemimpin dan manajer sangat penting dalam mengarahkan keberhasilan dalam melakukan perubahan.
5.
Kolaborasi tanpa batas: kerja sama antar tim yang harus mulus.
6.
Selalu mengejar kesempurnaan.
2.4 Keunggulan Six Sigma
Six Sigma dikatakan sebagai metode yang berfokus pada proses dan pencegahan cacat (defect) (Snee, 1999). Pencegahan cacat dilakukan dengan cara mengurangi variasi yang ada di dalam setiap proses dengan menggunakan teknik-teknik statistik yang sudah dikenal secara umum. Menurut Miranda dan Amin Widjaja Tunggal (2006) Sigma (σ) yang digunakan sebagai simbol standar deviasi pada statistik yang merupakan variasi atau ketidaktepatan sekelompok item atau proses. Keuntungan Six Sigma adalah : a. Six Sigma mengukur permintaan dan kebutuhan pelanggan. b. Menyediakan pengukuran yang sifatnya konsisten dengan berfokus pada cacat atau kemungkinan terjadinya cacat, pengukuran Six Sigma dapat digunakan mengukur dan membandingkan proses yang benar-benar berbeda dalam atau antar organisasi.
8
c. Menyatukan tujuan yang penuh ambisi. Dengan memusatkan perhatian seluruh organisasi pada tujuan kinerja 99,9997% dapat membuat perbaikan yang signifikan. Kelebihan yang dimiliki Six Sigma dibanding metode lain adalah: 1. Six Sigma jauh lebih rinci daripada metode analisis berdasarkan statistik. Six Sigma dapat diterapkan di bidang usaha apa saja mulai dari perencanaan strategi sampai operasional hingga pelayanan pelanggan dan maksimalisasi motivasi atas usaha. 2. Six Sigma sangat berpotensi diterapkan pada bidang jasa atau non manufaktur disamping lingkungan teknikal, misalnya seperti bidang manajemen, keuangan, pelayanan pelanggan, pemasaran, logistik, teknologi informasi dan sebagainya. 3. Dengan Six Sigma dapat dipahami sistem dan variabel mana yang dapat dimonitor dan direspon balik dengan cepat. 4. Six Sigma sifatnya tidak statis. Bila kebutuhan pelanggan berubah, kinerja sigma akan berubah. Salah satu kunci keberhasilan Six Sigma adalah kerja tim dan khususnya Black Belt yang dilatih, juga alat-alat yang digunakan dapat memberikan kekuatan pada proses usaha perbaikan dan usaha pembelajaran. Metode atau alat-alat tersebut antara lain: 1. SPC (Statistical Process Control) atau pengendalian proses secara statistik, berguna untuk mengidentifikasi permasalahan. 2. Pengujian tingkat signifikan statistik (Chi-Square, T-Test dan ANOVA), untuk mendefinisikan masalah dan analisis akar penyebab permasalahan, 3. Korelasi dan Regresi, berguna untuk menganalisis akar penyebab masalah dan memprediksi hasilnya. 4. Desain of Eksperiment, untuk menganalisis solusi optimal dan validasi hasil. 5. FMEA (Failure Modes and Effect Analysis), berguna untuk mencari prioritas masalah dan pencegahannya. 6. Mistake - Proofing, berguna untuk pencegahan cacat dan perbaikan proses. 9
7. QFD (Process Function Deployment), untuk mendesain produk, proses dan jasa. Terminologi yang menjadi kunci utama konsep six sigma adalah sebagai berikut : 1. CTP (Critical to Process) = atribut utama dari kebutuhan konsumen. CTP dapat diartikan sebagai elemen dari proses/ kegiatan yang berpengaruh langsung terhadap pencapaian kualitas yang diinginkan. 2. Defect = kegagalan untuk memuaskan pelanggan. 3. Process Capability = kemampuan proses untuk bekerja dan menghasilkan produk yang berkualitas. 4. Variation = sesuatu yang dirasakan dan dilihat oleh pelanggan. Six sigma berfokus untuk mengetahui apa penyebab variasi dan mencegah terjadinya variasi itu, sehingga dapat meningkatkan kapabilitas dari proses. 5. Stable Operation = menjaga konsistensi dari proses yang telah diprediksi sehingga dapat meningkatkan kapabilitas proses. 6. Design For Six Sigma (DFSS) = suatu desain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan kemampuan proses. 7. DPMO (Defect Per Million Opportunity) = ukuran kegagalan dalam six sigma yang menunjukkan kegagalan persejuta kesempatan. 8. DMAIC = merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju six sigma.
2.5 Metodologi Six Sigma
Struktur Six Sigma terdiri dari lima tahapan yang disingkat DMAIC: Define, Analyze, Improve, Control. Selain itu, kesuksesan implementasi Six Sigma
ditentukan oleh kehadiran seorang (atau lebih) fasilitator yang memahami manajemen dan penggunaan statistik; fasilitator ini disebut dengan Black Belt. Namun yang terpenting di atas semua itu adalah team pelaksana, yang sebaiknya terdiri dari anggota yang berasal dari berbagai tim/departemen yang saling terkait (cross-functional team).
10
Setiap tahap, mempunyai bagian-bagian yang mesti dilaksanakan ataupun mempunyai jenis-jenis konsep statistik yang bisa dipakai, walaupun sebenarnya untuk penggunaan statistik bisa cukup fleksibel. Implementasi dari Six Sigma meliputi 5 aktivitas, yaitu define (D), measure (M) analyze (A), improve (I), control (C) atau lebih dikenal dengan DMAIC.
1) Define (D)
Menentukan masalah (define) merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Dalam tahap ini perlu didefinisikan beberapa hal terkait dengan kriteria pemilihan proyek Six Sigma, peran dan tanggung jawab dari orang-orang yang akan terlibat dalam program Six Sigma, kebutuhan pelatihan untuk orang-orang yang terlibat dalam proyek Six Sigma, proses-proses kunci dalam proyek Six Sigma beserta pelanggannya, kebutuhan spesifik dari pelanggan, dan pernyataan tujuan proyek Six Sigma. Jadi, inti dari tahap ini adalah mengidentifikasi masalah dan tujuan proyek Six Sigma. Pada tahap define ada 2 hal yang perlu dilakukan yaitu: 1. Mendefinisikan proses inti perusahan, Proses inti adalah suatu rantai tugas, biasanya mencakup berbagai departemen atau fungsi yang mengirimkan nilai (produk, jasa, dukungan, informasi) kepada para pelanggan eksternal. Dalam hal pemilihan tema Six Sigma pertama-tama yang dilakukan adalah mempertimbangkan dan menjelaskan tujuan dari suatu proses inti yang akan dievaluasi. (Pande, 2000). 2. Mendefinisikan
kebutuhan
spesifik
kebutuhan
pelanggan,
Langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi pemain paling penting didalam semua proses, yaitu pelanggan, pelanggan bisa internal maupun eksternal adalah tugas Black Belt dan tim untuk menentukan dengan baik apa yang diinginkan pelanggan eksternal. Pekerjaan ini membuat suara pelanggan (voice to customer - VOC) menjadi hal yang menantang. Dalam hal mendefinisikan 11
kebutuhan spesifik dari pelanggan adalah memahami dan membedakan diantara dua kategori persyaratan kritis, yaitu persyaratan output dan persyartan pelayanan. (Pande, 2000).
2) Measure (M)
Mengukur (measure) merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. pada tahap ini, terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan memilih atau menetukan karakteristik kualitas (CTP) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan. Dalam langkah yang kedua dalam tahapan operasional pada program peningkatan kualitas Six Sigma terdapat 3 hal pokok yang dilakukan yaitu: (Gaspersz, 2002) a.
Menentukan karakteristik kualitas kunci, CTP ditetapkan berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik pelanggan yang diturunkan secara langsung dari persyaratan - persayaratan output dan pelayanan. karakteristik kualitas sama dengan jumlah kesempatan penyebab cacat.
b.
Mengembangkan rencana pengumpulan data, Pada dasarnya pengukuran karakteristik kualitas dapat dilakukan pada tiga tingkat, yaitu: • Rencana pengukuran tingkat proses, adalah mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik kualitas input yang diserahkan oleh pemasok yang mengendalikan dan mempengaruhi karaktersitik kualitas output yang diinginkan. Tujuan dari pengukuran ini adalah mengidentifikasi setiap perilaku yang mengatur setiap langkah dalam proses. • Pengukuran tingkat output, mengukur karakteristik kualitas output yang dihasilkan suatu proses dibandingkan dengan karakteristik kualitas yang diinginkan pelanggan. • Rencana pengukuran tingkat outcome, mengukur bagaimana baiknya suatu produk atau jasa itu memenuhi kebutuhan spessifik dari pelanggan. Jadi pada
tingkat
ini
adalah
mengukur
kepuasan
pelanggan
dalam
menggunakan produk dan/atau jasa yang diserahkan kepada pelanggan. 12
c) Pengukuran baseline kinerja, Peningkatan kualitas six sigma yang telah ditetapkan akan berfokus pada upaya-upaya yang giat dalam peningkatan kualitas menuju kegagalan nol (zero defects) sehingga memberikan kepuasan total kepada pelanggan. Maka sebelum peningkatan kualitas six sigma dimulai, kita harus mengetahui tingkat kinerja sekarang atau dalam terminologi Six Sigma disebut sebagai baseline kinerja. Setelah mengetahui baseline kinerja maka kemajuan peningkatan-peningkatan yang dicapai dapat diukur sepanjang masa berlaku Six Sigma: •
Pengukuran baseline kinerja pada tingkat proses, biasanya dilakukan apabila itu terdiri dari beberapa sub proses. Pengukuran kinerja pada tingkat proses akan memberikan bagian secara jelas dan konprehensif tentang segala sesuatu yang terjadi dalam sub proses itu.
•
Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output, dilakukan secara langsung pada produk akhir yang akan diserahkan pada pelanggan. Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output akhir dari proses itu untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari pelanggan, sebelum produk itu diserahkan pada pelanggan.
•
Pengukuran baseline kinerja pada tingkat outcome, dilakukan secara langsung pada pelanggan yang menerima output (produk dan jasa) dari suatu proses. Ukuran hasil baseline kinerja yang digunakan dalam Six Sigma adalah tingkat DPMO (Defects Per Millions Oppurtunities) dan pencapaian tingkat sigma. (Gaspersz, 2002)
3) Analyze (A)
Menganalisis (analyze) merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini perlu dilakukan bebrapa hal berikut
menentukan
stabilitas
dan
kapabilitas/kemampuan
dari
proses,
menetapkan target-target kinerja dari karakteristik kualitas kunci (CTP) yang akan ditingkatkan dalam proyek Six Sigma, mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan, dan mengkonversikan banyak kegagalan ke 13
dalam biaya kegagalan kualitas. Jadi, langkah analyze digunakan untuk menemukan “akar masalah”.
4) Improve (I)
Memperbaiki (improve) merupakan langkah operasional keempat dalam program pengnkatan kualitas Six Sigma. Setelah diketahui sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas, maka perlu dilakukan penetapan rencana tindakan (action plans). Rencana-rencana tindakan akan mendeskripsikan tentang alokasi sumber-sumber daya serta prioritas dan atau alternatif yang dilakukan dalam implementasi rencana tersebut. Jadi, pada tahap ini akan diputuskan apa yang harus dicapai (berkaitan dengan target yang ditetapkan), alasan kegunaan (mengapa) rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan diterapkan atau dilakukan, siapa yang akan menjadi penanggung jawab dari rencana tindakan tersebut, bagaimana melaksanakan rencana tindakan itu, dan berapa besar biaya untuk melaksanakan rencana tindakan itu serta manfaat positif yang diterapkan dari implementasi rencana tindakan itu. Metode 5W-2H dapat digunakan pada tahap ini.
5) Control (C)
Kontrol (control) merupakan langkah operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam peningkatan proses distandarisasikan dan dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab dialihkan dari tim Six Sigma pada pemilik atau penanggung jawab proses. Tujuan dari tahap ini adalah untuk meyakinkan bahwa modified process sekarang memampukan key variabel untuk tetap berada dalam range penerimaan yang telah ditetapkan.
14
2.6 Pengetahuan mengenai Tools Six Sigma
a) Lembar Pengecekan (Check Sheet). Check Sheet adalah suatu lembar/formulir yang mana item-item yang akan diperiksa telah dicetak dalam formulir tersebut dengan maksud agar data dapat dikumpulkan secara mudah dan ringkas. Sehingga Check Sheet adalah suatu tool yang paling mudah untuk menghitung seberapa sering sesuatu terjadi atau Check Sheet adalah tool yang sederhana tetapi teratur untuk pengumpulan dan pencatatan data. b) Scatter Diagram (Diagram Sebar) Scatter Diagram (Diagram Sebar) adalah jenis diagram matematika menggunakan koordinat. Data akan ditampilkan sebagai kumpulan titik-titik, masing-masing memiliki nilai satu variabel menentukan posisi pada sumbu horizontal dan nilai dari variabel lain yang menentukan posisi pada sumbu vertikal. c) Diagram Sebab Akibat (Cause and Effect Diagram) atau diagram ishikawa. Diagram Sebab Akibat adalah teknik skematis yang digunakan untuk menemukan lokasi yang mungkin pada permasalahan kualitas. Cause and Effect Diagram digunakan untuk menganalisis persoalan dan faktor-faktor atau sebab-sebab yang menimbulkan persoalan tersebut. Dengan demikian diagram tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab suatu persoalan yang ada. d) Diagram Pareto (Pareto Chart). Diagram
Pareto
adalah
sebuah
cara
menggunakan
diagram
untuk
mengidentifikasi masalah yang sedikit tetapi kritis tertentu dibandingkan dengan masalah yang banyak tetapi tidak penting. Sebuah diagram Pareto menampilkan nilai-nilai dalam urutan, dan garis grafik menunjukkan total kumulatif setiap kategori, mulai dari kiri ke kanan. 15
e) Diagram Alir (Flow Chart). Alat atau tool yang sangat berguna untuk memahami suatu Alir Proses adalah Flow Process Chart. Flow Process Chart merupakan gambaran skematik/diagram yang menunjukkan seluruh langkah dalam suatu proses dan menunjukkan bagaimana langkah itu saling mengadakan interaksi satu sama lain. Setiap orang yang bertanggung jawab untuk memperbaiki suatu proses haruslah mengetahui seluruh langkah dalam proses tersebut. Ada beberapa cara untuk menggambarkan Flow Process Chart dengan berbagai simbol yang digunakannya. f) Histogram Histogram menunjukkan cakupan nilai sebuah perhitungan dan frekuensi dari setiap nilai yang terjadi. g) Statistical Process Control (SPC). Statistical Process Control adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengawasi standar, membuat pengukuran dan mengambil tindakan perbaikan selagi sebuah produk atau jasa sedang diproduksi. Walter A. Shewhart: “A phenomenon will be said to be controlled when, through the use of past experience, we can predict, at least within limits, how the phenomenon may
be expected to vary in the future. Here it is understood that prediction within limits means that we can state, at least approximately, the probability that the observed phenomenon will fall within the given limits.” Dari batasan yang dibuat oleh Shewhart ini, tampak bahwa ide menemukan SPC adalah untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan bisa digunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi sehingga tindakan yang dipandang perlu bisa segera dilakukan. Di samping itu bagan SPC tersebut juga memunculkan gambaran mengenai proses yang diluar kendali atau out of control.
16