BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Synodontis Synodontis temasuk pada famili Mochokidae atau kelompok lele yang
hidup di wilayah Afrika. Famili ini terdiri dari 10 genus dan 190 spesies (Koblmüller dkk 2006). Genus synodontis terdiri dari 131 spesies yang dikenal sebagai squeakers karena kemampuannya dalam membuat suara mencicit dengan menggesekan sirip pectoral dan tulang belakang dada ketika merasa terganggu (Friel dan Vigliotta 2006 dalam Fishbase US 2012). Menurut Gosse (1986) klasifikasi ikan synodontis adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Sub filum Kelas Ordo Famili Genus
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Siluriformes : Mochokidae : Synodontis
Kelompok synodontis memiliki ciri berkumis dan memiliki patil yang tidak beracun. Pada bagian perut berwarna lebih gelap dibandingkan daerah punggung. Hal tersebut berfungsi untuk mengelabui mangsa (Priyadi dkk 2010). Ciri-ciri lain yaitu memiliki tiga pasang sungut yang terdiri atas dua pasang sungut bercabang dari duri keras di depan sirip dada dan sepasang di sirip punggung (Ponggo 2002). Ikan synodontis dikenal dengan keindahan sirip dorsalnya yang tegak dan memanjang, sehingga sering disebut featherfin catfish (Hikmawan 2008). Synodontis dipelihara sebagai ikan hias karena pigmentasi yang mencolok. Synodontis jantan umumnya memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan ikan betina. Reproduksi mengenai synodontis belum banyak diketahui. Namun umumnya pada habitat asli synodontis akan memijah pada bulan Juli hingga Oktober saat musim hujan (Lalèyè dkk 2006).
5
6
2.1.1
Synodontis nigriventris (Upside down) Ikan upside down memiliki panjang maksimal 9.6 cm. Kebiasaan
berenang dalam posisi terbalik menyebabkan warna perut ikan upside down menjadi lebih gelap dari bagian punggung (Fishbase US 2012). Warna dasar tubuh coklat muda dan terdapat pola garis yang melingkari tubuh, dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan upside down mempunyai habitat asli di alam yaitu di dasar lumpur atau bersembunyi di bawah pohon-pohon yang tumbang yang terdapat genangan air (Warren 1989 dalam Tiningrum 2007). Parameter air untuk ikan upside down yaitu suhu 22°C - 26°C dengan pH 6 – 8 (Froese dkk 2011 dalam Fishbase US 2012).
Gambar 1. Synodontis nigriventris Sumber : Dokumentasi Pribadi Ikan upside down merupakan ikan nockturnal (Mahrt dan Vickers 2002). Ikan synodontis merupakan salah satu jenis ikan omnivora. Ikan ini juga bersifat kanibal yang sering makan ikan-ikan kecil lainnya (Froese dkk 2011 dalam Fishbase US 2012). Berdasarkan informasi dari PT Peta, Synodontis nigriventris jantan dapat memproduksi sperma yang lebih banyak dari spesies Synodontis notatus, Synodontis decora dan Synodontis multifuctatus. Synodontis nigriventris betina dapat menghasilkan ± 10.000 telur dengan pemijahan intensif.
7
2.1.2
Synodontis decora (Clown syno) Ikan clown syno pada habitat asli merupakan ikan omnivora yang
memakan alga, tumbuhan, crustacea dan cacing-cacingan. Parameter air untuk ikan clown syno yaitu suhu 23°C - 27°C dengan pH 6 – 8. Synodontis decora mampu mencapai panjang maksimal hingga 31.6 cm (Froese dkk 2011 dalam Fishbase US 2012).
Gambar 2. Ikan Synodontis decora Sumber : Dokumentasi Pribadi
Ikan clown syno memiliki sirip ekor yang bercabang dua. Keunikan dari ikan clown syno adalah perpanjangan panjang sirip dorsal yang dapat tumbuh sama panjang dengan sirip ekor (Carey 2009). Ikan ini memiliki warna dasar coklat tua dengan bintik-bintik hitam besar tersebar diseluruh tubuh, dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan ini membiarkan telurnya dierami ikan chilchid, gaya pengasuhan ikan ini sama dengan ikan cuckoo fish. (Fishbase US 2012). 2.1.3
Synodontis notatus (One-spot syno) Ikan Synodontis notatus disebut juga ikan one-spot syno karena memiliki
satu pola lingkaran hitam pada bagian tubuhnya. Ikan ini memiliki warna dasar abu tua dengan bagian ventral keputihan, disamping tubuhnya memiliki bintik bulat besar, dapat dilihat pada Gambar 3. Ikan ini mampu mencapai panjang
8
maksimal hingga 26.5 cm. Parameter air untuk ikan one-spot syno yaitu suhu 22°C - 26°C dengan pH 6 – 7.5 (Fishbase US 2012).
Gambar 3. Ikan Synodontis notatus Sumber : Dokumentasi Pribadi
Ikan ini memijah pada musim hujan. Tingkah laku pemijahan pada ikan one-spot syno yaitu ikan ini akan mengeluarkan warna rona merah pada bagian sirip dorsal sebagai sinyal bahwa ikan tersebut telah memiliki pasangan. Rona pada ikan jantan akan lebih terang dari ikan betina (Marshall 2012). 2.1.4
Synodontis multifuctatus (Cuckoo fish) Cuckoo fish pada habitat asli ditemukan dalam bentuk gerombolan yang
minimal terdiri dari 4 – 6 ekor ikan. Cuckoo fish tidak menyukai cahaya dan menghabiskan waktu berada dalam celah gelap. Cuckoo fish merupakan ikan omnivora, dialam liar ikan ini memangsa larva insekta, crustacean kecil, cacing (Harold dan Walker 2004). Ikan ini memiliki warna dasar abu-abu muda dengan perut atau ekor berbintik. Warna dasar bintik adalah hitam bulat. Punggung dan sirip dada berwarna hitam. Parameter air untuk cuckoo fish yaitu suhu 21°C - 25°C dengan pH 6 – 7.5. Ikan ini mampu mencapai panjang maksimal hingga 27.5 cm, dapat dilihat pada Gambar 4 (Fishbase US 2012). Ikan ini disebut cuckoo fish karena
9
kebiasaan memijahnya yang unik. Setelah bertelur mereka akan membiarkan telur mereka dierami di dalam mulut ikan chilchid. Teknik ini menghilangkan beban pengasuhan Cuckoo fish (Friel dan Vigliotta 2009).
Gambar 4. Ikan Synodontis multifuctatus Sumber : Dokumentasi Pribadi
Ikan chilchid yang mengerami telur Cuckoo fish adalah spesies Ctenochromis horei dan Simochromis babaulti. Brood parasitisme ini dapat terjadi karena bau pemijahan chilchid memacu pemijahan Cuckoo fish dan saat chilchid bertelur Cuckoo fish menyelinap dan memakaan telur chilchid lalu Cuckoo fish mengeluarkan telur dan melakukan fertilisasi hingga chilchid betina akan mengumpulkan telur Cuckoo fish dan telur akan menetas di dalam mulut ibu angkatnya. Setelah menetas di dalam mulut Cuckoo fish akan memakan telur chilchid yang belum menetas (Ntakimazi 2005). 2.2
Hibridisasi Hibridisasi merupakan inseminasi heterospesifik (antara spesies yang
berbeda) yang dapat menghasilkan hibrida dari induk yang digunakan (Kurniasih dan Gustiano 2007). Hibridisasi (persilangan) pada ikan dapat dilakukan antara ras dalam satu spesies, antara spesies dalam satu genus dan antara genus dalam satu famili. Hibridisasi juga dapat dihasilkan strain baru yang memiliki
10
keunggulan dibandingkan dengan tetuanya dalam hal peningkatan kecepatan pertumbuhan, ketahanan hidup dan penampilan warna (Matsui 1976). Penelitian mengenai hibridisasi pada catfish telah dilakukan oleh Argadiredja (2000) mengenai karakteristik ikan patin hibrida antara Pangasius hypophythalmus betina dengan Pangasius nesutus jantan pada ukuran 10-50 gram. Hasil dari penelitian ini adalah bobot berat antara ikan normal dan hibrida relatif sama. Namun sintasan ikan hibrida antara Pangasius hypothalamus betina dengan Pangasius nasutus jantan lebih baik dari ikan normal yaitu 93,67% sedangkan ikan normal sebesar 87,33%, hasil ini menunjukan bahwa ikan hibrida lebih unggul dari ikan normal. Pada tahun 2006 LRPTBAT Sukamandi mengumumkan patin jenis baru yaitu patin pasopati menggunakan metode hibridisasi antara patin siam betina dan patin jambal jantan. Ada beberapa perbedaan antara jenis patin jambal, patin siam dan patin pasupati, diantaranya adalah patin jambal memiliki pertumbuhan yang lambat, fekunditas telurnya rendah, warna dagingnya putih, serta tidak terlalu popular di masyarakat. Sedangkan patin siam memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya merah, popular dikalangan masyarakat. Pasupati memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi dan memiliki warna daging putih (Susanto 2009). 2.3
Fertilisasi Pada proses fertilisasi terjadi penggabungan inti spermatozoa dengan inti
telur dalam sitoplasma sehingga membentuk zigot (Hidayaturrahmah 2007). Sperma adalah gamet jantan yang dihasilkan oleh testis (Affandi dan Tang 2002 dalam Hardita 2010). Sperma merupakan suatu sel kecil, kompak dan sangat khas, yang tidak bertumbuh dan membagi diri (Toelihere 1981 dalam Hardita 2010). Secara morfologi sperma dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, bagian tengah dan ekor. Pada bagian kepala terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel. Pada nukleus inilah terdapat informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Bagian terakhir dari sperma adalah ekor yang berfungsi sebagai alat gerak sperma untuk berenang menuju telur.
11
Fungsi spermatozoa menurut Djuhanda (1981) dalam Hardita (2010) yaitu gamet jantan mempunyai spesifikasi untuk mencari gamet betina dari spesiesspesiesnya, mempenetrasi dan menghantarkan material genetik haploidnya kepada sel telur yang di penetrasi. Selanjutnya gamet betina menunggu gamet jantan untuk di penetrasi, menerima material genetik, menggabungkan material inti gamet jantan yang mempenetrasinya untuk membentuk inti diploid dan memulai perkembangan untuk menghasilkan individu baru. Menurut Woynarovich dan Horvath (1980), derajat pembuahan pada ikan sangat ditentukan oleh kualitas telur, spermatozoa, media dan penanganan manusia. Telur-telur yang diletakkan di air akan cepat mengembang dan mempercepat proses penutupan mikrofil. Waktu yang diperlukan oleh spermatozoa untuk membuahi sel telur sangat singkat. Pada pembuahan buatan juga perlu penanganan khusus. Jika terlalu banyak air yang ditambahkan, beberapa spermatozoa tidak akan sampai atau meleset dari lubang mikrofil. Demikian juga penambahan air yang terlalu sedikit atau tidak mencukupi, mikrofil akan tertutupi oleh telur lainnya atau bahkan oleh mukosa ovarium. Akibatnya spermatozoa tidak mampu masuk mikrofil dan membuahi telur. Sedangkan menurut Woynarovich (1975) dalam Woynarovich dan Horvart (1980) untuk 1 liter telur kering dibutuhkan kira-kira 10 ml cairan sperma. Pembuahan buatan harus dilakukan dengan segera. Hosken (1998) dalam Andias (2008) menyatakan bahwa keberhasilan pembuahan tergantung pada periode ejakulasi sperma (mijah) dan peluang pembuahan dipengaruhi oleh perilaku jantan, anantomi dan fisiologi. Azwar (1994) dalam Said (2011) menambahkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi derajat pembuahan adalah faktor genetik, faktor fisiologis (seperti kualitas sperma individu jantan), dan faktor morfologi/struktur (seperti kesesuaian lubang mikrofil telur dengan kepala spermatozoa). Menurut Condro dkk (2012) menyatakan bahwa konsentrasi cairan sperma yang tinggi dapat menghambat aktivitas sperma yaitu berkurangnya daya gerak juga cairan sperma sangat kental mengandung kadar potassium yang tinggi sehingga dapat menghambat pergerakan dalam menembus dinding sel telur.
12
Pada beberapa spesies ikan teleostei ukuran kepala sperma berkisar antara 2-3 μm. Lebar kepala sperma ikan Salmo salar adalah 3,5-4 μm dengan diameter lubang mikrofil 3-4 μm, lebar kepala sperma Salmo trutta adalah 3 μm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah 3 μm, lebar kepala sperma Carrasius carrasius adalah 3,2 μm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah 3,5-4 μm, dan lebar kepala sperma Crenilabrus griseus adalah 1,7-1,8 μm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah >2 μm. Akan tetapi, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah peningkatan salinitas larutan dan beberapa bahan kimia dapat menyebabkan ukuran kepala sperma mengalami pembesaran atau pembengkakan (Ginzburg 1972). Penelitian mengenai embryogenesis ikan Synodontis eupterus dilakukan Hikmawan (2008). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perkembangan embrio ikan synodontis dari pembuahan hingga penetasan berlangsung kurang lebih selama 22 jam pada suhu 26-28 0C. Fekunditas telur berkisar hingga 8000 butir telur. Derajat pembuahan dengan rata rata 100%, derajat kelangsungan hidup embrio berkisar 64. 35 % serta derajat penetasan berkisar 58.10 %.
Gambar 5. Morfometri spermatozoa: a. panjang kepala; b. lebar kepala; c. areal kepala; d. ekor bagian tengah; e. ekor bagian utama. Sumber : Salisbury dan Van Demark 1961 dalam Hikmawan 2008
Morfometri spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: teknik fiksasi, teknik pewarnaan, handling semen, kualitas mikroskop dan ketrampilan personal. Pengamatan morfometri spermatozoa dapat dilakukan dengan menggunakan metode manual yaitu dengan teknik fiksasi dan pewarnaan, sedangkan pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras yang dilengkapi dengan micrometer. Adapun metode terbaru untuk
13
mengamati morfometri spermatozoa adalah dengan metode Automated Sperm Morphometry Analysis (ASMA), dengan menggunakan sistem ini akan memberikan hasil yang akurat dan lebih mudah. Akan tetapi metode ini sangat mahal dan belum dapat diaplikasikan di Indonesia (Cabrita et al 2008 dalam Hikmawan 2008). Bagian tengah sperma mempunyai panjang 1.5-2 kali panjang kepala dengan panjang spermatozoa 35-45 μm (Hafez 1987). 2.4
Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup merupakan suatu gambaran mengenai jumlah ikan
yang hidup pada suatu periode pemeliharaan dengan demikian kelangsungan hidup erat hubungannya dengan mortalitas, yaitu kematian yang terjadi pada suatu populasi organisme sehingga jumlahnya berkurang (Puspita 2010). Kelangsungan hidup dapat dihitung dengan membagi jumlah ikan pada periode akhir dengan periode awal pemeliharaan (Effendie 1997). Kelangsungan hidup dipengaruhi dua faktor yaitu faktor dari dalam ikan itu sendiri dan faktor dari luar atau lingkungan. Fakrtor dari dalam ikan meliputi umur ikan, ukuran dan kemampuan beradaptasi. Faktor lingkungan meliputi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan, ketersediaan makanan dan kompetisi antar ikan untuk mendapatkan makanan jika jumlah makanan yang tersedia tidak mencukupi (Royce 1973). Kelangsungan hidup ikan rendah terjadi pada masa-masa kritis. Masamasa kritis ikan terjadi pada saat kuning telur yang terdapat di dalam tubuhnya habis terserap dan benih jarus mencari makanan dari luar. Benih ikan yang tidak segera mendapatkan pakan dari luar yang sesuai akan mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Umumnya ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dari induknya (Moav 1968). Kusrini (2010) melakukan penelitian mengenai peningkatan sintasan dan pertumbuhan benih ikan hias upside-down catfish (Synodontis nigriventris) dengan menggunakan sistem resirkulasi dengan kepadatan benih berbeda. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima taraf perlakuan. Langkah awal untuk menjalankan sistem resirkulasi dengan
14
melakukan pemberian pakan berupa pelet komersial sebanyak 200 g/filter yang di masukan kedalam air resirkulasi kemudian didiamkan selama 7-10 hari. Satuan pereobaan yang dicobakan adalah 1 ekor/L, 2 ekor/L, 3 ekor/L, 4 ekor/L dan 5 ekor/L. Hasil pengamatan diketahui bahwa sintasan untuk perlakuan 1 ekor/L sebesar 100%, diikuti 2 ekor/L sebesar 88.5%, 4 ekor/L sebesar 82.5%. 5 ekor/L sebesar 80.5% dan 3 ekor/L sebesar 72.9%. Hasil
pengamatan
dan
pengukuran
pertumbuhan, sintasan (SR),
menunjukkan filter memberikan pertumbuhan pertumbuhan panjang tertinggi
terbaik dengan rata-rata
4 ekor/L sebesar 12.42 mm/ekor, diikuti 1
ekor/L sebesar 12.28 mm/ekor, 5 ekor/L sebesar 11.60 mm/ekor, 2 ekor/L sebesar 10.45 mm/ekor dan 3 ekor/L sebesar 6.87 mm/ekor. Hasil pemeliharaan benih menggunakan sistem resirkulasi dengan kepadatan berbeda menunjukkan bahwa kepadatan benih 4 ekor/L pada pemeliharaan sistem resirkulasi memberikan pertumbuhan terbaik dengan pertambahan panjang 1.24 cm/ekor, bobot 0,24 g/ekor dan sintasan sebesar 82,5%. 2.5
Pertumbuhan Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi
kesehatan individu, populasi, dan lingkungan. Laju pertumbuhan yang cepat menunjukkan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup yang sesuai. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan ukuran (panjang, bobot) selama waktu tertentu. Pertumbuhan dari segi energi juga dapat diartikan sebagai perubahan jaringan somatik dan reproduksi dilihat dari kalori yang tersimpan. Definisi pertumbuhan dari segi energi berguna untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ikan, yaitu asupan energi dari makanan,
keluaran
energi
untuk
metabolisme,
keluaran
energi
untuk
pertumbuhan, dan keluaran energi dalam ekskresi (Brett & Groves 1979 dalam Desirta 2011). Pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis (Effendie 1997). Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang memengaruhi pertumbuhan ikan yaitu
15
keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit (Effendie 1997), serta umur dan kedewasaan. Faktor eksternal yang memengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley 1972), kadar amonia di perairan, dan salinitas (Desirta 2011). Penelitian mengenai perlakuan berbagai jenis pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan sintasan larva ikan upside down dengan perlakuan pemberian pakan Moina sp, Artemia sp dan Tubifex sp di dapatkan bahwa pemberian pakan alami menunjukkan perbedaan yang sangat nyata baik meliputi pertumbuhan, laju pertambahan harian, dan pertambahan panjang, tetapi tidak berpengaruh terhadap sintasannya. Tubifex sp memberikan hasil yang terbaik terhadap pertumbuhan mutlak (pertambahan bobot), laju pertambahan harian, dan pertambahan panjang total (Priyadi, Kusrini dan Megawati 2010). Teori mengenai penurunan sifat atau hereditas yang paling adalah hukum Mendel. Penelitian Mendel menghasilkan hukum Mendel I dan II. Mendel melakukan persilangan monohibrid atau persilangan satu sifat beda, dengan tujuan mengetahui pola pewarisan sifat dari tetua kepada generasi berikutnya. Persilangan ini untuk membuktikan hukum Mendel I yang menyatakan bahwa pasangan alel pada proses pembentukkan sel gamet dapat memisah secara bebas. Hukum Mendel I disebut juga dengan hukum segregasi. Mendel melanjutkan persilangan dengan menyilangkan tanaman dengan dua sifat beda, misalnya warna bunga dan ukuran tanaman. Persilangan dihibrid juga merupakan bukti berlakunya hukum Mendel II berupa pengelompokkan gen secara bebas saat pembentukkan gamet. Persilangan dengan dua sifat beda yang lain juga memiliki perbandingan fenotip F2 sama, yaitu 9 : 3 : 3 : 1 (Ferdinand 2009). Terdapat beberapa penyimpangan semu hukum mendel antara lain komplementer, polimeri, epistasis, intermediet, gen berpautan, pindah silang. Komplementer adalah bentuk interaksi gen yang saling melengkapi. Polimeri adalah dua gen atau lebih yang menempati lokus berbeda tetapi memiliki sifat yang sama. Epistasis adalah gen dominan yang mengalahkan gen dominan lainnya. Kriptomeri merupakan gen yang tidak dominan dan tidak resesif. Gen
16
berpautan adalah gen-gen yang terletak pada kromosom yang sama. Pindah silang adalah proses pertukaran gen antara kromatid-kromatid yang bukan pasangan duplikasi pada sepasang kromosom homolog (Ferdinand 2009). Menurut Tave (1993) dalam Kusmini (2009) menyatakan bahwa hibridisasi dapat memperbaiki produktivitas kerena eksploitasi variasi dominan. Beaumont dkk (2003) dalam Kusmini (2009) menyatakan bahwa variasi dominan adalah keragaman genetik yang dihasilkan masing-masing alel pada lokus. Hibridisasi bertujuan untuk menggabungkan karakter-karakter dari tetuanya yang akan dimunculkan pada turunan sebagai efek heterosis atau sifat unggul hasil hibridasasi (Falconer 1996 dalam Kusmini 2009).