BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kedisiplinan Siswa 2.1.1. Pengertian Disiplin Disiplin merupakan kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah, dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih (Naim, 2012). Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Mulyasa (2008) dan The Liang Gie (dalam Imron, 2011), bahwa disiplin merupakan suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan yang telah ada dengan senang hati. Menurut Slavin (2011), disiplin mengacu ke metode yang digunakan untuk mencegah masalah perilaku yang ada dengan maksud mengurangi kejadiannya pada masa mendatang. Hal ini ditambahkan oleh Papalia et al., (2009), bahwa disiplin merupakan metode pembentukan karakter anak serta mengajarkan mereka untuk melakukan kontrol diri dan melakukan perilaku yang dapat diterima. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian kedisiplinan siswa adalah siswa melaksanakan dan mentaati segala peraturan serta tata tertib yang berlaku di sekolah. 8
2.1.2. Aspek-aspek Kedisiplinan Menurut Abu (dalam Widiastuti, 2008), Kedisiplinan memiliki aspek yaitu: a) Ketertiban terhadap peraturan. Adanya ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan-peraturan secara tertulis maupun tidak tertulis. b) Tanggung jawab. Tanggung jawab memunculkan disiplin yang berkaitan dengan bersikap jujur dan penuh tanggung jawab atas perbuatan dan berani menanggung resiko. Adapun ciri-ciri kedisiplinan yang ada di sekolah menurut Emil Durkheim (dalam Nurul, 2012) , yaitu sebagai berikut: a) Patuh pada peraturan sekolah yaitu: serangkaian perilaku yang menunjukan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan ketertiban sikap atau perbuatan yang bukan lagi dirasakan sebagai beban. b) Melaksanakan tugas yaitu belajar: siswa belajar secara rutin baik di rumah maupun di sekolah. c) Teratur masuk kelas yaitu: siswa secara rutin masuk kelas untuk mengikuti setiap pelajaran yang diberikan. d) Harus tiba pada waktu yang telah ditetapkan yaitu: siswa harus datang dan pulang pada waktu yang telah ditetapkan. e) Tidak membuat onar di kelas yaitu: siswa bersikap tenang saat guru sedang menjelaskan dan tidak membuat kegaduhan didalam kelas. f) Mengerjakan pekerjaan di rumah yaitu: siswa mengerjakan PR di rumah tanpa mencontek PR teman.
9
2.1.3. Pentingnya Disiplin Perilaku negatif sebagian remaja, pelajar, dan mahasiswa pada akhirakhir ini telah melampaui batas kewajaran karena telah menjurus pada tindakan melawan hukum, melanggar tata tertib, melanggar moral agama, kriminal, dan telah membawa akibat yang sangat merugikan masyarakat (Mulyasa, 2008) Hurlock (2004) mengungkapkan, disiplin perlu untuk perkembangan anak, karena ia memenuhi beberapa kebutuhan tertentu. Dengan demikian disiplin memperbesar kebahagian dan penyesuaian pribadi dan sosial anak. beberapa dari berbagai kebutuhan yang diisi oleh disiplin yaitu: a) Disiplin memberi anak rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. b) Dengan membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat perilaku yang salah. c) Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan. d) Disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi pendorong ego yang mendorong anak mencapai apa yang diharapkan darinya. e) Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani – “suara dari dalam” pembimbing dalam pengambilan keputusan dan pengendalian perilaku.
10
2.1.4. Upaya Menanamkan Disiplin di Sekolah Menurut Reisman and Payne (dalam Mulyasa, 2002), mengemukakan strategi umum merancang disiplin sekolah sebagai berikut: 1) Konsep diri (self-concept), strategi ini menekankan bahwa konsep-konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehinggapeserta didik dapat mengeksplorasi pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah. 2) Keterampilan berkomunikasi (communication skills), guru harus memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik. 3) Konsekuensi-konsekuensi
logis
dan
alami
(natural
and
logical
consequences), perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah. Untuk itu guru disarankan: a) membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya. b) memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah. 4) Klarifikasi nilai (values clarification), strategi ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri. 5) Analisis transaksional (transactional analysis), disarankan agar guru belajar sebagai orang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah.
11
6) Terapi realitas (reality therapy), sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Guru perlu bersikap positif dan bertanggung jawab. 7) Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline), metode ini menekankan pengendalian
penuh
oleh
guru
untuk
mengembangkan
dan
mempertahankan peraturan. Prinsip-prinsip modifikasi perilaku yang sistematik diimplementasikan di kelas, termasuk pemanfaatan papan tulis untuk
menuliskan
nama-nama
peserta
didik
yang
berperilaku
menyimpang. 8) Modifikasi perilaku (behavior modification), perilaku salah disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakan remidiasi. Sehubung dengan hal tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif. 9) Tantangan bagi disiplin (dare to discipline), guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin.
2.1.5. Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Pelanggaran Siswa Maman Surahman (dalam Sonita, 2013), mengungkapkan penyebab timbulnya pelanggaran disiplin sekolah dibagi atas tiga kelompok sebagai berikut:
12
a) Pelanggaran disiplin yang timbul oleh guru antara lain: Aktivitas yang kurang tepat, kata-kata guru yang menyindir dan menyakitkan, kata-kata guru yang tidak sesuai dengan perbuatannya, rasa ingin ditakuti dan disegani, kurang dapat mengendalikan diri, suka mempergunjingkan siswanya, dalam pelajaran tidak memakai metode yang tidak variatif sehingga kelas membosankan, gagal menjelaskan pelajaran dengan menarik perhatian, memberi tugas terlalu banyak dan berat, kurang tegas dan kurang berwibawa sehingga kelas ribut dan kurang mampu menguasai. b) Pelanggaran disiplin yang ditimbulkan oleh siswa antara lain: Siswa yang suka berbuat aneh untuk menarik perhatian, siswa berasal dari keluarga disharmonis, siswa kurang istirahat di rumah sehingga mengantuk disekolah, siswa kurang membaca dan belajar serta tidak mengerjakan tugas-tugas dari guru, siswa yang pasif, potensi rendah, lalu datang tanpa persiapan diri, siswa suka melanggar tata tertib sekolah, siswa yang pesimis dan putus atau putus asa terhadap keadaan lingkungan dan prestasinya, siswa yang datang ke sekolah dengan terpaksa, hubungan antara siswa yang kurang harmonis, adanya klik antara kelompok, adanya kelompok-kelompok ekslusif di sekolah. c) Pelanggaran disiplin yang ditimbulkan oleh lingkungan antara lain: Kelas yang membosankan, perasaan kecewa karena sekolah bertindak kurang adil dalam penerapan disiplin dan hukum, perencanaan dan implementasi disiplin yang kurang baik, keluarga yang sibuk dan kurang
13
memperhatikan anak-anaknya, serta banyak problem, keluarga yang kurang mendukung penerapan disiplin sekolah, sekolah yang dekat dengan pusat keramaian kota, manajemen sekolah yang kurang baik, lingkungan bergaul siswa kurang baik
Menurut Evira (dalam Safitri et al., 2011), penyebab siswa tidak disiplin di sekolah yaitu: a) Faktor kesadaran. b) Faktor dari dalam diri sendiri. c) Faktor kebiasaan. d) Desakan keadaan. e) Pengaruh orang lain. f) Sangsi yang kurang tegas. g) Ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran.
2.2. Konformitas Teman Sebaya 2.2.1 Pengertian Konformitas Teman Sebaya Menurut Cialdini & Goaldstein (dalam Taylor et al., 2009), konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Myers (2012), bahwa konformitas adalah bertindak atau berfikir secara berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa kita lakukan jika kita sendiri.
14
Oleh karena itu, konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan agar selaras dengan orang lain. konformitas merupakan perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler, dalam Sarwono, 2005). Hal ini ditambahkan oleh Baron & Byrne (2005), bahwa konformitas merupakan suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Dari beberapa pendapat tokoh di atas, peneliti menggunakan pengertian konformitas dari Kiesler & Kiesler (dalam Sarwono, 2005), bahwa konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja. Definisi teman sebaya menurut Santrock (2003) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Dalam penelitian ini yang dimaksud konformitas teman sebaya yaitu perubahan sikap dan tingkah laku agar sesuai dengan orang lain yang memiliki tingkat kesamaan usia kurang lebih sama akibat tekanan nyata kelompok maupun yang dibayangkan saja.
15
2.2.2. Jenis-jenis Konformitas Menurut Myers (dalam Sarwono & Eko, 2009), ada dua jenis konformitas yaitu Compliance dan Acceptance. 1) Compliance Konformitas compliance adalah suatu bentuk konformitas dimana individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan yang diberikan oleh kelompok sementara secara pribadi ia tidak menyetujui perilaku tersebut. Pada jenis compliace individu menghindari penolakan kelompok dan mengharapkan reward atau penerimaan kelompok (normative influence) (Sarwono & Eko, 2009). Prinsip dasar compliance menurut Cialdini (dalam Sarwono & Eko, 2009) adalah sebagai berikut: a) Pertemanan atau rasa suka. Kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan teman atau orang yang kita sukai daripada permintaan yang tidak kita kenal atau kita benci. b) Komitmen atau konsistensi. Saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi atau tindakan. kita akan lebih mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya. c) Kelangkaan.
16
Kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan daripada yang tidak. d) Timbal-balik. Kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Dengan kata lain, kita merasa wajib membayar utang budi atas bantuannya. e) Validasi sosial. Kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu tindakan jika tindakan itu konsisten dengan apa yang kita percaya orang lain akan melakukannya juga. Kita ingin bertingkah laku benar, dan satu caa untuk memenuhinya adalah dengan bertingkah laku dan berfikir seperti orang lain. f) Otoritas. Kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas yang diakui, atau setidaknya tampak memiliki otoritas. 2) Acceptance Konformitas acceptance adalah suatu bentuk konformitas dimana tingkah laku maupun keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. Pada bentuk acceptance, konformitas terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh individu (informational influence) (Sarwono & Eko, 2009).
17
Menurut Baron & Byrne (2005), tendensi untuk menyesuaikan diri berdasarkan pengaruh informasi bergantung pada dua aspek situasi yaitu: seberapa besar keyakinan kita pada kelompok dan seberapa besar keyakinan kita pada penilaian diri kita sendiri.
2.2.3. Alasan Individu Melakukan Konformitas Menurut Baron & Byrne (2005), alasan mengapa individu memilih untuk melakukan Konformitas yaitu: a) Pengaruh Sosial Normatif: Keinginan untuk disukai dan rasa takut akan penolakan. Sebagai akibat internalisasi dan proses belajar di masa kecil maka banyak individu melakukan konformitas untuk membantu mendapat persetujuan dengan banyak orang. Persetujuan diperlukan agar individu mendapatkan pujian. Oleh karena pada dasarnya banyak orang senang akan pujian maka banyak orang berusaha untuk konfrom dengan keadaan. Jika kecendrungan kita untuk melakukan konformitas terhadap norma sosial berakar, paling tidak sebagian, pada keinginan kita untuk disukai dan diterima oleh orang lain, maka masuk akal jika apa pun yang dapat meningkatkan rasa takut kita akan penolakan oleh orang-orang akan meningkatkan konformitas kita. b) Pengaruh Sosial Informasional: Keinginan untuk merasa benar Banyak keadaan menyebabkan individu berada dalam posisi yang dilematis karena tidak mampu mengambil keputusan yang dirasa benar.
18
Maka kita merujuk pada orang lain, kita menggunakan opini dan tindakan mereka sebagai panduan opini dan tindakan kita. Ketergantungan terhadap orang lain semacam ini, seringkali menjadi sumber yang kuat atas kecendrungan untuk melakukan konformitas.
Lebih lanjut Baron & Byrne (2005), mengungkapkan ada dua alasan mengapa seseorang bisa saja tidak melakukan konformitas. alasan tersebut adalah: a) Individuasi Kebutuhan untuk mempertahankan individualitas kita, secara khusus, tampaknya merupakan faktor yang kuat. Kita ingin menjadi seperti orang lain – tetapi tampaknya tidak sampai pada titik dimana kita kehilangan identitas pribadi kita. Dengan kata lain, bersamaan dengan kebutuhan untuk menjadi benar dan disukai, sebagian besar dari kita memiliki keinginan akan individuasi agar dapat dibedakan dari orang lain dalam beberapa hal. b) Keinginan untuk memiliki kontrol atas kehidupan diri sendiri Individu juga menolak untuk konfrom karena dirinya memang tidak ingin untuk konfrom. Menurutnya, tidak ada hal yang bisa memaksa dirinya untuk mengikuti norma sosial yang ada. 2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas Baron & Byrne (2005), menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas, faktor-faktor tersebut adalah:
19
a) Pengaruh dari orang-orang yang disukai Orang-orang yang disukai akan memberikan pengaruh lebih besar. Perkataan dan perilaku mereka cenderung akan diikuti atau diamini oleh orang lain yang menyukai dan dekat dengan mereka. b) Kekompakan kelompok. Kekompakan kelompok sering disebut sebagai kohesivitas. Semakin kohesif suatu kelompok maka akan semakin kuat pengaruhnya dalam membentuk pola pikir dan perilaku anggota kelompok. c) Ukuran kelompok dan tekanan sosial. Konformitas akan meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok. Semakin besar kelompok tersebut maka akan semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, walaupun mungkin kita akan menerapkan sesuatu yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan. d) Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif. Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian orang lakukan pada situasi tertentu. Norma ini akan mempengaruhi tingkah laku kita dengan cara memberi tahu kita mengenai apa yang umumnya dianggap efektif atau bersifat adaptif dari situasi tertentu. Sementara itu, norma injungtif akan mempengaruhi kita dalam menetapkan apa yang harus dilakukan dan tingkah laku apa yang diterima dan tidak diterima pada situasi tertentu.
20
2.3. Remaja 2.3.1. Pengertian Remaja Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial (Papalia et al., 2009). Selaras dengan Dariyo (2004), remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Thronburg (dalam Dariyo, 2004) menggolongkan remaja menjadi 3 tahap, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun), dan remaja akhir (usia 18-21 tahun). Remaja menurut WHO (dalam Sarwono, 2005), memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Maka, secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: a) individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b) individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c) terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
21
Dari pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi perubahan terhadap fisik, psikis, kognitif dan psikososial yang berada pada rentang usia 13-21 tahun.
2.3.2 Karakteristik Masa Remaja Menurut Gunawan (2011), sebagai periode yang paling penting, masa remaja ini memiliki karakteristik yang khas jika dibanding dengan periodeperiode perkembangan lainnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a) Masa Remaja Adalah Periode Yang Penting Periode ini memiliki dampak penting terhadap perkembangan fisik dan psikologis yang cepat dan penting. Kondisi inilah yang menuntut individu untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan melihat pentingnya menetapkan suatu sikap, nilai-nilai dan minat yang baru. b) Masa Remaja Adalah Masa Peralihan Periode ini menurut seorang anak untuk meninggalkan sifat kekanakkanakannya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikapsikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas mengenai peran yang dituntut oleh lingkungan. c) Masa Remaja Adalah Periode Perubahan Perubahan yang terjadi pada periode ini berlangsung secara cepat, perubahan fisik yang cepat membawa konsekuensi terjadinya perubahan
22
sikap dan perilaku yang juga cepat. Terdapat lima karakter perubahan yang khas dalam periode ini yaitu, 1) peningkatan emosionalitas, 2) perubahan cepat yang menyertai kematangan seksual, 3) perubahan tubuh, minat dan peran yang dituntut oleh lingkungan yang menimbulkan masalah baru, 4) karena perubahan minat dan pola perilaku maka terjadi pula perubahan nilai, dan 5) kebanyakan remaja merasa ambivalent terhadap perubahan yang terjadi. d) Masa Remaja Adalah Usia Bermasalah Pada periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi anak pria maupun wanita. Hal ini disebabkan oleh dua alasan yaitu: pertama, pada saat paling tidak sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua atau guru, sedangkan sekarang individu dituntut untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena mereka dituntut untuk mandiri maka seringkali menolak untuk dibantu oleh orang tua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. e) Masa Remaja Adalah Masa Pencarian Identitas Diri Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. f) Masa Remaja Adalah Usia Yang Ditakutkan
23
Masa remaja ini seringkali ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran-gambaran negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku remaja mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja. Hal ini membuat para remaja itu sendiri merasa takut untuk menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orangtua atau pun guru untuk memecahkan masalahnya. g) Masa Remaja Adalah Masa Yang Tidak Realistis Remaja memiliki kecenderungan untuk melihat hidup secara kurang realistis, mereka memandang dirinya dan orang lain sebagaimana mereka inginkan dan bukannya sebagai diri namun bagi keluarga, teman. Semakin tidak realistis aspirasi mereka maka akan semakin marah dan kecewa apabila aspirasi tersebut tidak dapat mereka capai. h) Masa Remaja Adalah Ambang Dari Masa Dewasa Pada saat remaja mendekati masa dimana mereka dianggap dewasa secara hukum, mereka merasa cemas dengan stereotype remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka mendekati dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa seringkali tidak cukup, sehingga mereka mulai untuk memperhatikan perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang dewasa seperti merokok, minum, menggunakan obat-obatan bahkan melakukan hubungan seksual.
24
2.4. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya dengan Kedisiplinan Siswa Beberapa fenomena menggambarkan kedisiplinan di sekolah yang kerap kali dilanggar oleh siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Hubungan dengan teman sebaya yang kurang baik dapat memberikan pengaruh negatif begitu pula sebaliknya hubungan dengan teman sebaya yang positif dapat memberikan pengaruh yang positif pula. Interaksi dengan teman sebaya yang kurang baik dapat memunculkan sikap dan perilaku yang kurang baik seperti melanggar tata tertib serta peraturan yang berlaku di sekolah. Individu memiliki kecendrungan untuk selalu menyamakan perilaku dalam dirinya dengan perilaku kelompoknya, sehingga dapat diterima keberadaannya oleh kelompok agar terhindar dari celaan, keterasingan, maupun cemoohan (Baron & Byrne, 2005) Fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka, remaja belajar tentang apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama sama baiknya, atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan oleh remaja lain (Santrock, 2003). Pada dasarnya tidaklah mudah bagi remaja untuk mengikatkan diri mereka pada suatu kelompok, karena setiap kelompok memiliki tuntutan yang harus dapat dipenuhi oleh setiap remaja yang ingin bergabung (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Agar remaja diterima didalam kelompoknya mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan cara tampil semirip mungkin dengan teman sebayanya (Baron & Byrne, 2005). Menurut Santrock (2003), konformitas muncul ketika individu
25
meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka agar sesuai dengan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Insanti (2010), mengungkapkan bahwa ada hubungan antara konfromitas dengan kedisiplinan. Ia mengungkapkan bahwa semakin tinggi orang yang melakukan konformitas pada hal positif maka akan semakin tinggi kedisiplinan. Tekanan untuk melakukan konformitas berakar dari kenyataan bahwa diberbagai konteks ada aturan-aturan yang sering kali menimbulkan efek yang kuat pada tingkah laku kita. Kecenderungan yang kuat terhadap konformitas untuk mengikuti harapan kelompok mengenai bagaimana seharusnya kita bertindak diberbagai situasi agar sesuai dengan norma sosial yang ada (Baron & Byrne, 2005). Karena penerimaan teman sebaya jauh lebih penting bagi kebanyakan anak, mereka cenderung untuk mengikuti harapan kelompok dengan cara menyesuaikan diri dengan teman-temannya baik dalam hal kedisiplinan (Hurlock, 2004). 2.5. Kerangka Berfikir
Konformitas
Kedisplinan
Teman Sebaya
Siswa
26
2.6. Hipotesis Penelitian Penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: 1) Hipotesis nihil (H0)
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara
konformitas teman sebaya dengan dengan kedisiplinan siswa kelas XI SMA PGRI 117 Karang Tengah Tangerang. 2) Hipotesis alternatif (Ha)
: Ada hubungan yang signifikan antara
konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan siswa kelas XI SMA PGRI 117 Karang Tengah Tangerang.
27