BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
LANDASAN TEORI
2.1.1 Pengertian Perawatan
Perawatan merupakan aktivitas untuk memastikan bahwa aset fisik dapat terus melakukan apa yang diinginkan si pengguna terhadap aset tersebut (John Moubray, 1997).
Fungsi Perawatan adalah: 1. Menyesuaikan tercapainya mutu produk dan kepuasan pelanggan melalui penyesuaian, pelayanan dan operasi peralatan secara tepat. 2. Memaksimalkan umur kegunaan peralatan. 3. Menjaga agar peralatan tetap aman dan mencegah timbulnya gangguan keamanan. 4. Meminimalkan biaya produksi total yang secara langsung terkait dengan pemeliharaan dan perbaikan alat. 5. Meminimalkan frekuensi dan besarnya gangguan terhadap proses operasi. 6. Memaksimalkan kapasitas produksi dari sumber-sumber peralatan yang ada.
2.1.2 Jenis-jenis Perawatan
Kegiatan perawatan yang dilakukan dalam suatu perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perawatan preventif dan perawatan korektif (Assauri,1980).
II -1
1. Perawatan Preventif
Perawatan Preventif merupakan kegiatan pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan untuk mencegah timbulnya kerusakan-kerusakan yang tidak terduga dan menemukan kondisi yang dapat menyebabkan fasilitas produksi mengalami kerusakan pada waktu digunakan dalam proses produksi. Dengan demikian semua fasilitas produksi yang mendapatkan perawatan preventif akan terjamin kelancaran kerjanya dan selalu diusahakan dalam kondisi atau keadaan yang siap digunakan setiap saat pada proses produksi.
Program PM diperlukan untuk maksud: 1. Meningkatkan otomatisasi (increased automation), 2. Agar
tepat
waktu,
tepat
alat
dan
tepat
material
(Just-in-time
manufacturing), 3. Mengurangi keterlambatan produksi (production delays), 4. Mengurangi alat berlebihan (equipment redundancies), 5. Mengurangi persediaan spare-parts (insurance inventories), 6. Cell dependencies, 7. Meningkatkan umur alat (longer equipment life), 8. Meminimumkan konsumsi energi (minimize energy consumption), 9. Meningkatkan kualitas produk (higher quality product), 10. Kebutuhan organisasi perawatan lebih baik (need for more organized).
Perawatan preventif sangat penting karena kegunaannya sangat efektif dalam menghadapi fasilitas/peralatan produksi yang termasuk dalam critical unit. Sebuah fasilitas/peralatan produksi termasuk dalam critical unit apabila: a.
Kerusakan fasilitas atau peralatan tersebut dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan kerja.
b.
Kerusakan fasilitas ini akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
II -2
c.
Kerusakan fasilitas tersebut akan menyebabkan kemacetan seluruh proses produksi.
d.
Modal yang ditanamkan dalam fasilitas tersebut cukup besar dan mahal.
Menurut Terry Wireman (2003), perawatan preventif yang dilakukan oleh perusahaan terbagi dalam beberapa macam yaitu: 1. Preventive maintenance dasar Meliputi pelumasan, pembersihan, dan inspeksi. 2. Penggantian secara proaktif Melakukan penggantian komponen sebelum terjadi kerusakan 3. Melakukan pembaruan terjadwal Mengembalikan kondisi peralatan kepada kondisi saat beroperasi seharusnya. 4. Predictive maintenance Inspeksi peralatan dengan menggunakan teknologi 5. Perawatan berdasarkan kondisi Dengan melakukan inspeksi secara real-time 6. Reliability engineering Melakukan studi desain engineering untuk melakukan modifikasi pada peralatan untuk membenahi masalah.
Menurut Terry Wireman (2003) terdapat beberapa Program Pengembangan Preventive Maintenance diantaranya dengan cara : 1. Menentukan unit peralatan kritis atau sistem 2. Mengidentifikasi komponen yang menyusun unit atau sistem 3. Menentukan prosedur preventive maintenance tiap tipe dari komponen. 4. Tentukan jadwal dari tiap prosedur preventive maintenance
II -3
2. Perawatan Corrective
Perawatan Corrective merupakan kegiatan pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan setelah terjadinya kerusakan pada peralatan produksi, sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Kegiatan perawatan corrective sering disebut dengan kegiatan perbaikan atau reparasi. Perbaikan yang dilakukan karena adanya kerusakan yang dapat tenjadi akibat tidak dilakukannya perawatan preventif ataupun telah dilakukan tetapi sampai pada suatu waktu tertentu peralatan produksi tetap rusak. Jadi dalam hal ini kegiatan perawatan sifatnya hanya menunggu sampai kerusakan terjadi terlebih dahulu, baru kemudian diperbaiki. Dengan demikian perusahaan hanya mengambil kebijakan corrective saja, maka terdapat
faktor
ketidaksesuaian
proses
produksi
akibat
ketidaklancaran
fasilitas/peralatan produksi. Oleh karena itu kebijakan untuk melakukan perawatan korektif tanpa perawatan preventif akan menimbulkan akibat-akibat yang dapat menghambat kegiatan produksi apabila terjadi kerusakan tiba-tiba.
Salah satu maksud utama dan kegiatan perawatan adalah untuk memelihara reliabilitas sistem pengoperasian pada tingkat yang dapat diterima dan tetap memaksimumkan laba atau meminimumkan biaya. Kegiatan pemeliharaan yang cenderung untuk memiliki reliabilitas sistem termasuk dalam dua ketegori kebijaksanaan pokok, antara lain:
1. Kebijakan-kebijakan yang cenderung untuk mengurangi frekuensi kerusakankerusakan: a.
Pemeliharaan preventif (termasuk pemeliharaan kondisional)
b.
Simplifikasi operasi
c.
Penggantian awal
d.
Perancangan reliabilitas ke dalam komponen-komponen sistem
e.
Instruksi yang tepat kepada operator.
II -4
2. Kebijakan-kebijakan yang cenderung untuk mengurangi akibat kerusakan: a.
Percepatan pelaksanaan reparasi (yaitu untuk meningkatkan jumlah tenaga reparasi)
b.
Mempermudah tugas reparasi
c.
Penyediaan keluaran alternatif selama waktu reparasi.
Untuk tujuan perencanaan pemeliharaan, berbagai kebijakan dapat diuji dengan simulasi untuk menentukan pengaruh masing-masing kebijakan pada total biaya tahunan.
2.1.3 Kerusakan / Failure
Kegagalan adalah ketidakmampuan dari suatu peralatan, sebuah subsistem atau sistem untuk mencapai standar kinerja yang ditentukan (Narayan, 2003). Kerusakan dan mesin atau peralatan tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya human error dimana mesin tersebut tidak dijalankan sesuai dengan standar mesin tersebut. Biaya untuk memperbaiki kerusakan mesin tidaklah murah. Disamping biaya perbaikan mesin terdapat biaya-biaya yang lain seperti biaya kehilangan produksi.
Terdapat dua macam pola fungsional dan peralatan berdasarkan tingkat kerusakannya, yaitu: 1.
Peralatan tak tereparasi.
Tanpa memandang apa penyebabnya suatu kerusakan akan membawa sebuah peralatan dalam keadaan baru. Pada beberapa peralatan, transisi ke keadaan baru ini mengakibatkan peralatan tersebut tidak dapat dipakai lagi. 2.
Peralatan tereparasi
Peralatan tereparasi adalah sesudah mengalami kerusakan peralatan tersebut masih dapat dikembalikan ke kondisi berfungsi kembali.
II -5
1. Fungsi Kerusakan
Tujuan dan perawatan ditentukan oleh fungsi dan ekspektasi performansi dan aset-aset fisik perusahaan pada kondisi tertentu. Proses perawatan terdiri dari dua level (Mounbray,1992): 1. Mengidentifikasi kondisi apa saja yang dapat memungkinkan aset-aset fisik perusahaan dapat berubah menjadi rusak. 2. Kejadian-kejadian apa saja yang dapat menyebabkan aset-aset fisik perusahaan dalam keadan rusak. Fungsi dan kerusakan ini terjadi pada saat sebuah aset-aset perusahaan tidak dapat memenuhi fungsi standar performansi yang dapat diterima oleh penggunanya.
2. Pengaruh Kerusakan
Pengaruh kerusakan menggambarkan ketika model kerusakan terjadi. Kondisi ini harus didukung dengan informasi-informasi yang diperlukan untuk mendukung evaluasi akibat adanya kerusakan, seperti: a. Bukti-bukti atau keterangan apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya suatu kerusakan. b. Bagaimana kerusakan yang telah terjadi dapat dirawat atau diperbaiki dengan mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan lingkungan. c. Dengan cara apa kerusakan dapat berpengaruh terhadap proses produksi. d. Kerusakan fisik apa saja yang dapat menyebabkan kegagalan. e. Tindakan apa saja yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan.
Dengan adanya proses identifikasi fungsi kerusakan, model kerusakan dan pengaruh kerusakan dapat menghasilkan kesempatan untuk memperbaiki performansi dan keselamatan serta dapat juga mengeliminasi hal-hal yang tidak berguna.
II -6
3.
Akibat Kerusakan
Proses reliability yang berpusat pada perawatan mengklasifikasikan akibat kerusakan dalam empat kelompok, antara lain:
a. Akibat kerusakan yang tidak terlihat. Kerusakan yang tidak terlihat biasanya tidak mempunyai dampak langsung, tetapi terkadang memperlihatkan kerusakan secara menyeluruh sehingga dapat menyebabkan masalah. b. Akibat kerusakan terhadap keselamatan dan kesehatan lingkungan. Sebuah kerusakan aset-aset fisik perusahaan memiliki akibat terhadap keselamatan yang dapat melukai atau mungkin dapat membunuh pekerja apabila tidak dikerjakan dengan baik dan sesuai standard operasi. c. Akibat operasional. Kerusakan juga dapat memiliki akibat operasional apabila kerusakan tersebut berpengaruh terhadap produksi, balk berupa output yang dihasilkan, kualitas produksi, pelayanan konsumen atau biaya operasi iainnya sebagal tambahan biaya perbaikan kerusakan secara langsung. d. Akibat non operasional. Akibat non operasional merupakan akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan, yang berpengaruh terhadap biaya-biaya selain operasional.
2.1.4 Teknik Manajemen Kerusakan
Teknik manajemen kerusakan dapat dibagi menjadi dua kategori: 1. Tugas-tugas yang bersifat proaktif Tugas ini dilakukan sebelum terjadinya kerusakan supaya dapat mencegah aset-aset fisik perusahaan dan kerusakan. Antara lain dengan perawatan prediktif dan perawatan preventif, menggunakan penjadwalan perbaikan, penjadwalan penggantian pada saat kondisi perawatan.
II -7
2. Kegiatan setelah terjadi kerusakan Kegiatan ini sama dengan keadaan aset-aset produksi mengalami kerusakan. Hal ini dipilih ketika aset-aset tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan identifikasi tugas-tugas proaktif. Terdiri dan penemuan jenis kerusakan, mendesain perbaikan ulang, dan membiarkan aset-aset tersebut sampai rusak.
2.1.5 Pola Kerusakan
Gambar 2.1 Pola Kerusakan
Pola kerusakan menurut Levitt (2003) terdapat tiga fase, yaitu:
Periode I : Fase Burn In Pada fase ini, laju kerusakan sistem terus menurun sesuai dengan bertambahnya waktu. Diawali dengan tingkat laju kerusakan yang cukup tinggi pada saat awal operasi dan terus menurun. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya kerusakan awal ini, antara lain pengendalian kualitas yang buruk, metode manufaktur yang tidak memadai, performansi material dan tenaga kerja yang berada dibawah standar, kesalahan dalam pemasangan dan setup, kesulitan yang timbul saat perakitan.
II -8
Periode II: Fase Useful Life Pada fase ini diikuti dengan laju kerusakan yang konstan. Hal ini berarti bahwa kerusakan tidak akan bertambah walaupun umur peralatan terus bertambah. Sebagai akibatnya, kerusakan yang terjadi tidak dapat diramalkan sebelumnya atau bisa terjadi karena kerusakan secara tiba-tiba. Timbulnya kerusakan pada fase ini adalah kerusakan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, kesalahan manusia, kerusakan alamiah, dll.
Periode III : Fase Wear Out Pada fase ini kerusakan mulai bertambah. Peningkatan ini merupakan indikasi terakhir dan umur pemakaian yang berguna bagi produk. Bila suatu mesin sudah memasuki fase ini, maka sebaiknya dilakukan perawatan pencegahan untuk mengurangi probabilitas rusak yang lebih parah pada masa yang akan datang. Penyebab kerusakan antara lain perawatan yang tidak memadai, kelelahan akibat pemakaian, terjadi korosi.
2.1.6 Total Productive Maintenance (TPM)
Pengertian Total Productive Maintenance, TPM adalah hubungan kerjasama yang erat antara perawatan dan organisasi produksi secara menyeluruh yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk, mengurangi waste, mengurangi biaya produksi,
meningkatkan
kemampuan
peralatan
dan
pengembangan
dari
keseluruhan system perawatan pada perusahaan manufaktur. Secara menyeluruh defenisi dari Total Productive Maintenance menurut Nakajima mencakup 5 elemen sebagai berikut:
1. TPM bertujuan untuk menciptakan suatu preventive maintenance (PM) untuk memperpanjang umur mesin/peralatan
II -9
2. TPM bertujuan untuk memaksimalkan efektifitas mesin/peralatan secara keseluruhan (overall effectiveness) 3. TPM dapat diterapkan pada berbagai departemen seperti engineering, bagian produksi, bagian maintenance. 4. TPM melibatkan semua orang mulai dari tingkatan manajemen tertinggi hinga para karyawan/operator. 5. TPM merupakan pengembangan dari sistem maintenance berdasarkan PM melalui manajemen motivasi. Kunio shirose, dalam buku TPM team guide mendefinisikan TPM sebagai aktivitas yang bertujuan untuk : a) Mengeliminasi kerusakan mesin/peralatan,cacat produk dan kerugian lainnya yang diakibatkan oleh mesin. b) Meningkatkan efektifitas mesin/peralatan c) Meningkatkan laba bagi perusahaan d) Menciptakan lingkungan kerja yang sehat
2.1.7 Manfaat dari Total Productive Maintenance (TPM)
Manfaat dari penerapan TPM secara sistematik dalam rencana kerja jangka penjang secara khusus menyangkut faktor-faktor sebagai berikut : 1. Peningkatan produktivitas dengan menggunakan prinsip-prinsip TPM akan meminimalkan kerugian-kerugian pada perusahaan. 2. Meningkatkan kualitas dengan TPM akan meminimalkan kerusakan pada mesin/peralatan dan downtime mesin.
II -10
3. Waktu delivery ke konsumen dapat ditepati, Karena produksi yang tanpa gangguan akan lebih mudah untuk dilaksanakan. 4. Biaya produksi lebih rendah karena rugi-rugi dan pekerjaan yang tidak memberi nilai tambah dapat dikurangi. 5. Kesehatan dan keselamatan kerja lebih baik. 6. Meningkatkan motivasi tenaga kerja karen hak dan tanggung jawab didelegasikan ke setiap orang.
2.1.8 Sejarah Singkat FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
FMEA pertama kali dikenalkan pada tahun 1960an oleh NASA untuk proyek pendaratan manusia ke bulan. Baru pada sekitar tahun 1970 ilmu ini diadopsi oleh FORD sebagai suatu reaksi terhadap menurunnya mutu dan kehandalan produk otomotif Amerika. FMEA mulai banyak diterapkan oleh banyak industri pada tahun 80-an khususnya industri yang menekankan pada keselamatan.
2.1.9 Dasar FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
FMEA merupakan salah satu alat dari Six Sigma untuk mengidentifikasi sumbersumber atau penyebab dari suatu masalah kualitas. Menurut Chrysler (1995), FMEA dapat dilakukan dengan cara : 1. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan potensi suatu produk dan efeknya. 2. Mengidentifikasi
tindakan
yang
bisa
menghilangkan
atau
mengurangikesempatan dari kegagalan potensi terjadi. 3. Mendokumentasikan semua proses aktifitas-aktifitas tersebut sebagai dasar dalam mendefinisikan apa yang harus dilakukan desain dan proses untuk memuaskan pelanggan.
II -11
Sedangkan manfaat FMEA adalah sebagai berikut :
Hemat biaya. Karena sistematis maka penyelesaiannya tertuju pada potensial causes (penyebab yang potential) sebuah kegagalan / kesalahan.
Hemat waktu, karena lebih tepat pada sasaran.
Kegunaan FMEA adalah sebagai berikut :
Ketika diperlukan tindakan preventive / pencegahan sebelum masalah terjadi.
Ketika ingin mengetahui / mendata alat deteksi yang ada jika terjadi kegagalan.
Pemakaian proses baru.
Perubahan / pergantian komponen peralatan.
Pemindahan komponen atau proses ke arah baru.
2.1.10 Pengertian FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
FMEA (failure mode and effect analysis) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). FMEA digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab dari suatu masalah kualitas. Suatu mode kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi diluar batas spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu.
Terdapat dua penggunaan FMEA yaitu dalam bidang desain (FMEA Desain) dan dalam proses (FMEA Proses). Desain FMEA akan membantu menghilangkan kegagalan-kegagalan yang terkait dengan desain, misalnya kegagalan karena kekuatan yang tidak tepat, material yang tidak sesuai, dan lain-lain. Proses FMEA akan menghilangkan kegagalan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam variabel proses, misal kondisi diluar batas-batas spesifikasi yang ditetapkan
II -12
seperti ukuran yang tidak tepat, tekstur dan warna yang tidak sesuai, ketebalan yang tidak tepat, dan lain-lain.
Para ahli memiliki beberapa definisi mengenai failure modes and effect analysis. Definisi tersebut memiliki arti yang cukup luas dan apabila dievaluasi lebih dalam memiliki arti yang serupa. Definisi failure modes and effect analysis tersebut disampaikan oleh :
Menurut Roger D. Leitch, definisi dari failure modes and effect analysis adalah analisa teknik yang apabila dilakukan dengan tepat dan waktu yang tepat akan memberikan nilai yang besar dalam membantu proses pembuatan keputusan dari engineer selama perancangandan pengembangan. Analisa tersebut biasa disebut analisa “bottom up”, seperti dilakukan pemeriksaan pada proses produksi tingkat awal dan mempertimbangkan kegagalan sistem yang merupakan hasil dari keseluruhan bentuk kegagalan yang berbeda.
Menurut John Moubray (2000), definisi dari failure modes and effect analysis adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi bentuk kegagalan yang mungkin menyebabkan setiap kegagalan fungsi dan untuk memastikan pengaruh kegagalan berhubungan dengan setiap bentuk kegagalan.
2.1.11 Tujuan Failure Modes and Effect Analysis
Terdapat banyak variasi didalam rincian failure modes and effect analysis (FMEA), tetapi semua itu memiliki tujuan untuk mencapai : 1. Mengenal dan memprediksi potensial kegagalan dari produk atau proses yang dapat terjadi. 2. Memprediksi dan mengevaluasi pengaruh dari kegagalan pada fungsi dalam sistem yang ada. 3. Menunjukkan prioritas terhadap perbaikan suatu proses atau sub sistem melalui daftar peningkatan proses atau sub sistem yang harus diperbaiki.
II -13
4. Mengidentifikasi dan membangun tindakan perbaikan yang bisa diambil untuk mencegah atau mengurangi kesempatan terjadinya potensikegagalan atau pengaruh pada sistem. 5. Mendokumentasikan proses secara keseluruhan.
2.1.12 Langkah Dasar FMEA
Terdapat langkah dasar dalam proses FMEA yang dilakukan oleh tim desain adalah : 1. Membangun batasan proses yang dibatasi oleh struktur proses. 2. Membangun proses pemetaan dari FMEA yang mendiskripsikan proses produksi secara lengkap dan alat penghubung tingkat hirarki dalam struktur proses dan ruang lingkup. 3. Melihat struktur proses pada seluruh tingkat hirarki dimana masing-masing parameter rancangan didefinisikan. 4. Identifikasi kegagalan potensial pada masing-masing proses. 5. Mempelajari penyebab kegagalan dari pengaruhnya. Pengaruh dari kegagalan adalah konsekuensi langsung dari bentuk kegagalan pada tingkat proses berikutnya, dan puncaknya ke konsumen. Pengaruh biasanya diperlihatkan oleh operator atau sistem pengawasan.
2.1.13 Identifikasi Element-Element FMEA Proses
Elemen
FMEA
dibangun
berdasarkan
informasi
yang
mendukung
analisa.Beberapa elemen-elemen FMEA adalah sebagai berikut : 1. Nomor FMEA (FMEA Number) Berisi nomer dokumentasi FMEA yang berguna untuk identifikasi dokumen. 2. Jenis (item) Berisi nama dan kode nomer sistem, subsistem atau komponen dimana akan dilakukan analisa FMEA.
II -14
3. Penanggung Jawab Proses (Process Responsibility) Adalah
nama
departemen/bagian
yang
bertanggung
jawab
terhadap
berlangsungnya proses item diatas. 4. Disiapkan Oleh (Prepared by) Berisi nama, nomer telepon, dan perusahaan dari personal yang bertanggung jawab terhadap pembuatan FMEA ini. 5. Tahun Model (Model Year(s)) Adalah kode tahun pembuatan item, bentuk ini yang dapat berguna terhadap analisa sistem ini. 6. Tanggal Berlaku (Key Date) Adalah FMEA due date dimana harus sesuai dengan jadwal. 7. Tanggal FMEA (FMEA Date) Tanggal dimana FMEA ini selesai dibuat dengan tanggal revisi terkini. 8. Tim Inti (Core Team) Berisi daftar nama anggota tim FMEA serta departemennya. 9. Fungsi Proses (Process Function) Adalah deskripsi singkat mengenai proses pembuatan item dimana sistem akan dianalisa. 10. Bentuk Kegagalan Potensial (Potential Failure Mode) Merupakan suatu kejadian dimana proses dapat dikatakan secara potensial gagal untuk memenuhi kebutuhan proses atau tujuan akhir produk. 11. Efek Potensial dari Kegagalan (Potential Effect(s) of Failure) Merupakan suatu efek dari bentuk kegagalan terhadap pelanggan. Dimana setiap
perubahan
dalam
variabel
yang mempengaruhi
proses
akan
menyebabkan proses itu menghasilkan produk diluar batas-batas spesifikasi. 12. Tingkat Keparahan (Severity (S)) Penilaian keseriusan efek dari bentuk kegagalan potensial. 13. Klasifikasi (Classification) Merupakan dokumentasi terhadap klasifikasi karakter khusus dari subproses untuk menghasilkan komponen, sistem atau subsistem tersebut.
II -15
14. Penyebab Potensial (Potential Cause(s)) Adalah bagaimana kegagalan tersebut bisa terjadi. Dideskripsikan sebagai sesuatu yang dapat diperbaiki. 15. Keterjadian (Occurrence (O)) Adalah sesering apa penyebab kegagalan spesifik dari suatu proyek tersebut terjadi. 16. Pengendali Proses saat ini (Current Process Control) Merupakan deskripsi dari alat pengendali yang dapat mencegah atau memperbesar kemungkinan bentuk kegagalan terjadi atau mendeteksi terjadinya bentuk kegagalan tersebut. 17. Deteksi (Detection (D)) Merupakan penilaian dari kemungkinan alat tersebut dapat mendeteksi penyebab potensial terjadinya suatu bentuk kegagalan. 18. Nomor Prioritas Resiko (Risk Priority Number (RPN)) Merupakan angka prioritas resiko yang didapatkan dari perkalian Severity, Occurrence, dan Detection RPN = S * O * D 19. Tindakan yang direkomendasikan (Recommended Action) Setelah bentuk kegagalan diatur sesuai peringkat RPNnya, maka tindakan perbaikan harus segera dilakukan terhadap bentuk kegagalan dengan nilai RPN tertinggi. 20. Penanggung jawab tindakan yang direkomendasikan (Responsibility for the Recommended Action) Mendokumentasikan nama dan departemen penanggung jawab tindakan perbaikan tersebut serta target waktu penyelesaian. 21. Tindakan yang Diambil (Action Taken) Setelah tindakan diimplementasikan, dokumentasikan secara singkat uraian tindakan tersebut serta tanggal effektifnya.
II -16
22. Hasil RPN (Resulting RPN) Setelah tindakan perbaikkan diidentifikasi, perkiraan dan rekam Occurrence, Severity, dan Detection baru yang dihasilkan serta hitung RPN yang baru. Jika tidak ada tindakan lebih lanjut diambil maka beri catatan mengenai hal tersebut. 23. Tindak Lanjut (Follow Up) Dokumentasi proses FMEA ini akan menjadi dokumen hidup dimana akan dilakukan perbaikan terus menerus sesuai kebutuhan perusahaan.
2.1.14 Perencanaan Kontrol Proses
Perencanaan kontrol proses atau process control plan merupakan penjelasan tertulis dari suatu sistem untuk mengontrol part atau proses dengan tujuan meminimalkan variasi produk/proses. Pembuatan process control plan baru dapat dilakukan setelah diketahui failure mode and effectt analysis (FMEA) dari produk atau proses yang menjadi obyek perbaikan. Adapun isi dari control plan meliputi : 1. Informasi dasar dari part 2. Tahapan pada proses produksi 3. Elemen-elemen penting dalam tiap tahapan 4. Karakteristik part/produk dan karakteristik proses 5. Metode pengukuran untuk masing-masing langkah 6. Rencana aksi bila “defect” ditemukan.
2.1.15 Fungsi Keandalan
Keandalan dan suatu sistem dapat dikatan merupakan probabilitas sistem yang dapat berjalan dengan baik untuk melakukan tugas tertentu. NiIai keandalan berkisar antara 0 dan l. Fungsi keandalan dapat dinotasikan sebagai berikut: R(t) : probabilitas sistem dapat berfungsi dengan baik. P : peralatan beroperasi pada saat t
II -17
R(t) =P{x>t} R(t) =1-P{x t) R(t) =1-F(t) Dimana F (t) : cumulatif distribution function (CDF) umur peralatan. f (t) : fungsi densitas R (t) : fungsi keandalan Berikutnya adalah probability density function (PDF) yang menyatakan bentuk dan distribusi kegagalan sistem.Fungsi PDF sebagai berikut:
F(t) =
dF (t ) d (1 R(t )) = dt dt
F(t) =
dR(t ) dt
tp
tp
R(t) = 1- f (t )dt = f (t )dt
f (t )
1
2
e
1 t 2 ( ) 2
Dimana:
= standard deviasi = waktu rata-rata antar kerusakan e = bilangan pokok logaritma
= laju kerusakan rata-rata t = waktu e = bilangan pokok logaritma (2.718) 1.
Fungsi laju kerusakan t e 2 1
(t )
f (t ) R(t )
t 2 1
II -18
2.
Waktu rata-rata antar kerusakan (MTTF)
3.
t n
Variansi
t t
2
2
n 1
2.1.16 Referensi Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan konsep TPM dan PFMEA merupakan salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas proses/produk dan juga mengurangi losses (kerugian), baik itu berupa kerugian dalam hasil produksi namun juga peralatan (equipment) diantaranya (SEMATECH, 1992) dan (Habib Zahid, 2008). Dengan adanya peningkatan kualitas produk dan berkurangnya kerugian, maka kinerja dari manufaktur atau perusahaan pasti akan meningkat (E. McKone Kathleen, 1999) dan (Ahuja I.P.S., 2007). Penggunaan konsep TPM di industri padat karya seperti industri garment pun telah dibahas (Masud A.K.M, 2007); (Lemma Egijayehu, 2008). Pembahasan penerapan PFMEA (Process Failure Mode and Effect Analysis) dalam industri semikonduktor juga telah dilakukan (Kimura, Fumihiko et al., 2002). Perpaduan antara pengunaan konsep Failure Mode atau Failure Mode and Effect Analysis dengan Total Productive Maintenance juga telah dilakukan, diantaranya (Fauzi Mohd Mohammed Faizal B, 2009) yang berhasil menentukan jadwal preventive maintenance yang optimal dengan mencari failure mode, dan juga (Sutrisno Agung, 2001) mendapatkan jadwal preventive maintenance yang tepat dengan menggunakan metode Advanced Failure Mode and Effect Analysis.
II -19