12
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terdahulu Penulis menggunakan sumber dari lapangan dan menggunakan beberapa pustaka sebagai acuan pembanding. Menurut tinjauan penulis, proposal yang menjelaskan secara khusus tentang faktor figur yang mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif Partai Gerindra di DPRD Kabupaten Klungkung Provinsi pada pemilu 2014 memang belum ada, namun tulisan atau skripsi yang berkaitan dengan masalah pemilu secara umum telah banyak dilakukan oleh peneliti lain. Beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan antara lain: Pertama, penulis menggunakan penelitian Ahmad Fauzi (2014) dengan skripsi berjudul “Strategi Kampanye Caleg Partai Gerindra dalam Pemilu 2014 di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan Madura” membahas strategi dalam melaksanakan kampanye pemilihan legislatif daerah yang merupakan suatu perencanaan cermat dan disusun, serta dikerjakan oleh tim kampanye yang memiliki tujuan mencapai kemenangan atas sasaran yang telah ditentukan dalam pemilu. Penelitian Fauzi juga membahas bagaimana menguatnya suhu dunia politik membuat psikologi kontestan, pemilih dan konstituen memanas. Kejadian ini membuat para pendukung saling mengukur kekuatan dan menghantam kelemahan lawannya. Menyusun strategi dan taktik pemenangan untuk memperoleh suara terbanyak. Hal ini merupakan bagian penting sekaligus hal untuk
13
mengimprovisasi demokrasi. Kompetisi sehat dan tidak sampai mengarah black campaign. Semua hal ini harus diapresiasi, karena merupakan bagian dari demokrasi, dan porsi kemenangan serta keputusan akhir ada di tangan rakyat. Kedua, penulis menggunakan penelitian Rika Rubyanti dengan skripsi berjudul “Pengaruh Popularitas Terhadap Pilihan Pemilih Pemula Studi Kasus Fenomena Artis Dalam Politik” yang membahas bagaimana fenomena artis yang merambah dunia politik. Fenomena ini juga sangat mengancam keberadaan kader yang murni dari partai tersebut, dan hal ini menimbulkan protes dari para kader murni. Konteks masyarakat Indonesia, figur kandidat berpengaruh terhadap pilihan pemilih. Karena sebagian besar Indonesia masih menggunakan pilihannya berdasarkan ikatan primordial. Apabila artis ditetapkan sebagai caleg dalam pemilu hanya sebagai voter gate dan alasan konsep budaya populer, tanpa mempertimbangkan kapabilitas dari mereka, maka inilah awal kehancuran partai politik Indonesia. Skripsi ini membahas bagaimana popularitas dapat mengalihkan masyarakat untuk memilih artis menjadi caleg dan tidak memilih kader murni dari partai bersangkutan. Popularitas tokoh dapat menjadi penghancur dunia politik di Indonesia karena salah memilih wakil rakyat. Penulis menggunakan beberapa refrensi buku sebagai bahan tinjauan pustaka yaitu pertama, Prof. Dieter Roth (2008) buku yang berjudul Studi Pemilu Empiris (Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode). Buku yang ditulis oleh Roth memberikan pegangan tentang studi perilaku empiris
14
perilaku pemilih, lebih khususnya tentang metode survey. Buku ini juga menjelaskan cara untuk mengetahui kecenderungan perilaku pemilih, yang sebagian besar partai politik pun menerima survey sebagai cara utama untuk menghitung kekuatan electoral mereka. Melalui sebuah survei mereka melihat trend pendapat serta perilaku pemilih dan menjadikan titik tolak sebagai acuan system electoral. Kedua, penulis menggunakan refrensi buku yang di tulis oleh Firmanzah (2007) buku yang berjudul Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Buku memaparkan permasalahan politik yang ada sekarang. Firmazah mengatakan demokrasi tidak hanya menyelenggarakan pemilu secara berkala, tetapi juga perlu didukung oleh penegakan hak asasi manusia, hokum yang berwibawa, kesadaran masyarakat tentang politik yang sangat luas, dan adanya pergantian kekuasaan secara damai. Penulis membahas tentang marketing politik yang ada dalam politik di Indonesia. Kompleksnya fenomen marketing politik membuat Firmanzah harus menyusuri berbagai landasan teori, tidak hanya dari sisi marketing, politik, tetapi juga sosiologi kemudian berlanjut kepada psikologis masa bahkan sampai membahas tentang filsafat. Ketiga, penulis menggunakan buku dari Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi (2012) yang berjudul Kuasa Rakyat : Anaslisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru. Buku ini merupakan serangkaian penelitian lapangan mengenai perilaku pemilih Indonesia yang menganut sistem
15
demokrasi pada tahun 1999. Buku ini banyak membahas tentang survei terhadap pemilu bersama lembaga survey nasional mengenai pemilu Indonesia pasca masa orde baru. Berdasarkan ketiga buku ini terbentuk pola pikir penulis dalam menentukan bagaimana pemilih dalam menentukan pilihannya terhadap kontestan yang mencalonkan dirinya sebagai seorang wakil rakyat. Peranan komunikasi politik sangat berpengaruh bagi kontestan mengemas untuk dirinya agar masyarakat tertarik memilih dirinya menjadi anggota dewan. Buku yang ditulis oleh Prof. Dieter Roth lebih memaparkan tentang model penjelasan teoritis mengenai perilaku pemilu, maka tidak hanya ada satu teori yang benar, karena juga tidak ada hanya satu teori mengenai manusia pada umumnya. Buku yang ditulis Firmanzah, menyebutkan bahwa faktor internal maupun faktor eksternal individu secara simultan mempengaruhi cara individu berfikir dan mengikat dirinya secara politik dengan partai tertentu. Buku yang ditulis oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi pada bab enam membahas tentang kualitas tokoh dalam masa pemilu yakni hanya berkatan dengan “kesukaan” terhadap tokoh-tokoh utama partai politik yang bersaing dalam pemiu tersebut. Kualitas tokoh ini dapat dipahami secara lebih rinci mencakup tidak hanya “kesukaan” tetapi ada beberapa dimensi lain yang menjadi pengaruhnya. Ketiga buku ini memiliki keterkaitan yang sangat penting dikarenakan satu sama lain memiliki ketertarikan tentang pemilih, kualitas orang yang dipilih
16
dan teori mengenai perilaku pemilu secara sosiologis, psikologi dan model pilihan rasional.
2.2 Kerangka Teori Keterpilihan seseorang ditentukan oleh kualitas orang tersebut. Secara umum keterpilihan lebih dikenal dengan kata “elektabilitas”, elektabilitas sudah terserap dalam bahasa Indonesia. Elektabilitas sendiri memiliki arti ketertarikan seseorang dalam memilih (KBBI, 2010). Popularitas merupakan bagian dari elektabilitas. Popularitas berasal dari kata populer yang memiliki arti yaitu terkenal, dikenal, atau disukai. Arti elektabilitas secara umum yaitu tingkat ketertarikan yang disukai atau dipilih (KBBI, 2010). 2.2.1 Popularitas Popularitas merupakan modal yang sangat berharga yang harus dimiliki oleh siapapun untuk terjun dalam publik. Popularitas seseorang dapat menjadi salah satu aspek yang mendukung seseorang untuk memperoleh kekuasaan. Pemilihan Umum, Pilpres, serta Pemilukada kepopuleran seseorang calon atau kontestan sangat mendominasi dan menentukan bagi pilihan ditentukan oleh rakyat. Menurut Nimmo (2008), dengan adanya modal popularitas maka akan lebih mudah bagi seseorang atau figur tersebut untuk mencuri perhatian masyarakat, melalui pemberitaan media yang diharapkan nantinya akan mempunyai
nilai
tambah
untuk
meningkatkan
atau
mendongkrak
elektabilitas. Untuk mewujudkan semua itu, perlu dibangun pencitraan yang
17
baik ditengah masyarakat, agar nantinya timbul simpati dan keberpihakan masyarakat kepada tokoh atau figur tersebut. Popularitas juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a.
Popularitas Sosiometrik (Popularity Sociometric) Popularitas sosiometrik dapat diartikan bagaimana seseorang disukai oleh seorang individu. Keinginan ini berkolerasi oleh perilaku prososial. Mereka yang bertindak dalam cara prososial cenderung lebih dianggap sociometrically popular. Mereka sering dikenal karena perilaku interpersonal yang mereka lakukan, mereka empati untuk orang lain, dan kesediaan mereka untuk bekerja sama dengan non-agresif. Seperti apa yang dikatakan (Borch, Casey; Allen Hyde, Antonius H. N. Cillessen: 2010) ini adalah sebuah penilaian yang lebih pribadi, ditandai dengan likeability (kesukaan), yang pada umumnya tidak akan dibagi dalam kelompok pengaturan.
b. Popularitas Perceived Popularitas berguna untuk menggambarkan orang-orang yang dikenal diantara rekan-rekan mereka sebagai seorang yang populer. Tidak seperti popularitas sosiometrik, popularitas ini sering dikaitkan dengan sikap agresif dan didominasi tidak bergantung pada prososial behaviors. Seperti yang dikatakan
(Cillessen,
Antonius;
Amanda
J.
Rose:
2005)
didalam
penelitiannya yang berjudul "Understanding popularity in the peer system" , individu merasakan popularitas sering terlihat sangat sosial dan sering ditiru tetapi jarang disukai.
18
Keterkaitan penjelasan diatas tentang penelitian ini adalah mengenai sebuah kepopuleran yang mempengaruhi bagaimana pemilih dalam mengambil keputusan untuk memilih kandidat terpilih dari Partai Gerindra yang layak mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu dan layak duduk di kursi anggota DPRD Kabupaten Klungkung. 2.2.2 Model Teori Pengambilan Keputusan Pemilih Dalam
penelitian
yang
dituliskan
oleh
Abramowitz
(1989)
mempertimbangkan tentang tiga model pengambilan keputusan di dalam pemilihan umum. Dalam setiap model, variable dependen adalah calon pemilih
preferensi
(pilihan),
variable
independen
adalah
pemilih
keseluruhan. Evaluasi utama calon (kandidat evaluasi), persepsi pemilih kandidat berkesempatan menerima nominasi partai mereka (kelangsungan hidup), dan persepsi pemilih kandidat kesempatan untuk menang pemilihan November (Electability). Gambar 2.1 A. Simple Candidate choice Model Viability Candidate Evaluation
Choice
Electability
19
Model
pertama
pengambilan
keputusan
yang
akan
dipertimbangkan oleh tulisan Abramowitz dalam The Journal of Politics (Nov, 1989) ini adalah model preferensi calon sederhana. Sesuai dengan model ini, kemungkinan pemilih tidak memiliki pendapat tentang kandidat nominasi dan efek elektabilitas pada preferensi calon pemilih (Lihat gambar 2.1). Mereka memilih kandidat dengan mengevaluasi kandidat paling positif, dan mereka juga cenderung untuk berasumsi bahwa calon yang mereka sukai adalah yang paling mungkin untuk memenangkan Nominasi dan pemilihan umum. Dalam model ini, liputan media penting jika mereka mempengaruhi evaluasi calon Gambar 2.2 A. Bandwagon Model Viability Candidate Evaluation
Choice
Electability Model Kedua yang akan dipertimbangkan dalam dalam tulisan Abramowitz dalam The Journal of Politics (Nov, 1989) ini adalah model bandwagon. Sesuai dengan model ini, kemungkinan pendapat tentang nominasi kandidat yang secara langsung mempengaruhi preferensi calon pemilih, tetapi pendapat mengenai electabilitas tidak berpengaruh pada preferen si calon. Asumsi yang mendasari motivasi model ini adalah bahwa pemilih ingin berada pada posisi yang lebih menyenangkan dari
20
pada mendukung seorang pencundang. Namun, pemilih dalam model ini sangat prihatin terhadap pemilih eksklusif tentang tahap pencalonan presidensial, tidak berat bagi mereka jika keterpilihan sebagai kriteria yang terpisah dalam memilih kandidat dama pencalonan presidensial. Gambar 2.3 C. Expected Utilaty Model Viability Candidate Evaluation
Choice
Electability
Model
ketiga
yang
akan
dipertimbangkan
dalam
tulisan
Abramowitz dalam The Journal of Politics (Nov, 1989) ini adalah sebuah model utilitas yang diharapkan. Menurut model ini, pemilih utama memiliki elektabilitas kuat dengan cara mengevaluasi
calon dalam
membuat pilihan. Asumsi yang mendasari model ini adalah aktor pemilih primer yang rasional berusaha dengan kuat memaksimalkan utilitas yang diharapkan (Aldrich 1980, 80-82). Evaluasi calon dalam model ini, adalah mewakili peniliaian utilitas pemilih yang mendapatkan calon kandidat presiden. Maka. evaluasi ini harus ditengahi oleh probabilitas subjektif dari masing-masing kandidat dalam memenangkan pemilihan umum. Penulis menggunakan ketiga model pengambilan keputusan dalam sebuah pemilu merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian ini
21
karena keputusan yang diambil oleh pemilih merupakan hal penting yang akan mempengaruhi suara, serta keputusan juga mempengaruhi bagaimana latar belakang calon yang dipilih oleh pemilih apakah layak dan mempunyai elektabilitas yang baik. 2.2.3 Pencitraan Politik Citra politik berkaitan dengan pembentukan pendapat umum karena pada dasarnya pendapat umum politik terbangun melalui citra politik. Citra politik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik (Arifin, 2003:105). Citra di dalam politik sebenarnya sekadar lebih strategi untuk menampilkan kontestan atau partai politik pada pemilih. Tetapi juga ada kaitannya dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Citra lebih sekadar pesan dan kesan yang diciptakan oleh kontestan ataupun yang diciptakan oleh pemilih itu sendiri, tetapi citra merupakan negosiasi, evaluasi, dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha yang dilakukan bersama. Keyakinan pemilih tentang kandidat berdasarkan interaksi atau saling membutuhkannya antara yang dilakukan oleh kontestan dan pemilih. Citra adalah sebuah interaksi antara strategi seorang kontestan dalam menciptakan kesan personal dengan kepercayaan yang sudah ada dalam benak pemilih. Citra seseorang terhadap politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesucian subyektif akan memberi kepuasan bagainya, yang paling tidak memiliki tiga kegunaan, yaitu:
22
1. Anggapan benar atau salah, lengkap atau tidak lengkap, pengetahuan orang tentang politik, memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu. 2. Kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. 3. Citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. Sebagai bagian dari komunikasi politik citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. Pencitraan sebagai
bagian dari komunikasi politik, pencitraan politik dilakukan
secara persuasif untuk memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih. Corner dan Pels mencatat baik figur yang bersih maupun bermasalah (notorious) secara substansial bekerja keras membangun citra politik untuk mempengaruhi pemilih, karena citra telah menjadi faktor paling menentukan sukses tidaknya sebuah perjalanan kampanye (Nimmo,2011:8) Pencitraan sosok atau figur tertentu bukan hanya menjadi monopoli para pemilik saham stasiun televisi, tetapi juga terjadi dilakukan oleh orang luar yang mempunyai kekuatan modal kuat untuk membangun suatu politik pencitraan terhadap sosok tertentuyang didukung oleh pemilik saham. Tentunya diharapkan akan dapat memberi keuntungan dikemudian hari bila sosok tersebut benar-benar berhasil sesuai dengan yang direncanakan. Sementara teori lainnya digunakan dalam penelitian ini
23
adalah Dan Nimmo pada tahun 2004, bahwa pencitraan politik itu seperti kapstok, yang sebenarnya bukan menyajikan realitas politik yang sebenarnya. Menurut Dan, realitas politik bukanlah sesuatu yang kita alami sekarang, karena apa yang kita alami sekarang sudah melalui kegiatan simbolik yang disampaikan
melalui kegiatan simbolik. Jika dikaitkan
dengan media massa, maka kegiatan simbolik tersebut sebenarnya hanya merupakan aktifitas yang tertangkap dan diangkat oleh media massa saja. (Dan Nimmo, 2004:8) Penelitian ini berkaitan dengan citra di dalam politik sebenarnya lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya, citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih, tetapi citra merupakan negosiasi, evaluasi dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama. Dengan kata lain, keyakinan pemilih tentang kandidat berdasarkan interaksi atau kesalingbergantungan antara yang dilakukan oleh kandidat dan pemilih.
2.3 Kerangka Alur Berfikir Kerangka pemikiran dalam penelitian yang berjudul Faktor Figur dalam Keterpilihan Anggota DPRD Partai Gerindra Kabupaten Klungkung
24
pada Pemilu 2014 ini berfokus pada Partai Gerindra sebagai obyek penelitian. Dari permasalahan yang penulis angkat yaitu faktor figur dan keterpilihan seorang anggota dewan, penulis ingin mengetahui pengaruh figur dan keterpilihan sebagai dasar terpilihnya seorang calon dari Partai Gerindra. Penulis menggunakan teori popularity sociometric dan popularity perceived sebagai dasar teori untuk melihat figur dan keterpilihan seorang anggota dewan terpilih. Pertama, popularitas sosiometrik dapat diartikan bagaimana disukai oleh seorang individu. Keinginan ini berkolerasi oleh perilaku prososial. Mereka yang bertindak dalam cara prososial cenderung lebih dianggap sociometrically popular. Kedua, popularitas perceived ini sering kali dikaitkan dengan sikap agresif dan didominasi tidak bergantung pada prososial behaviors.
25
Bagan 1 Kerangka Alur Berfikir
FIGUR Caleg DPRD Kab. Klungkung
PENCITRAAN Citra Caleg Partai Gerindra
POPULARITY Sociometric Perceived
ELEKTABILITAS Calon Anggota DPRD Terpilih dari Partai Gerindra
VOTE Perolehan Suara
Bagan penulis diatas, menunjukkan faktor figur tercipta karena adanya peranan citra semua anggota partai bukan hanya ketua umum melainkan dari anggota, relawan, simpatisan, dan kader Partai Gerindra itu sendiri. Figur Partai Gerindra meningkat setelah pemilu 2009 menuju 2014 performa Partai Gerindra mengalami peningkatan yang signifikan dalam memperoleh hasil suara pada pemilu 2009 memperoleh 4.464.406 suara,
26
mengalami peningkatan pada hasil pemilu 2014 lalu menjadi 14.760.371 perubahan ini menjadikan partai ini memiliki popularitas yang sangat tinggi dalam bersaing dengan partai-partai lainnya yang mengikuti pemilu 2014. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah ketika Partai Gerindra mampu mendapatkan suara terbanyak pada pemilu 2014 di DPRD Kabupaten Klungkung. Partai ini mampu mengantarkan perolehan suara terbanyak yang diraih oleh kontestan dapil Nusa Penida yaitu I Wayan Baru dengan perolehan 6.183 suara. Faktor ini tidak luput dari yang namanya popularitas mempengaruhi keterpilihan figur seorang calon anggota terpilih dari Partai Gerindra. Faktor figur sendiri merupakan kaitan dari pencitraan seorang calon, jika seseorang calon memiliki citra yang baik maka popularitasnya akan meningkat, akan tetapi jika citranya kurang berkenan di hati masyarakat maka kurang baik pula popularitas yang akan diraih, namun bisa saja seorang figur akan dikenal dengan popularitas yang kurang baik. Dari popularitas seorang calon akan mempengaruhi kesukaan atau disukai oleh pemilih faktor itu disebut electability atau elektabilitas dimana faktor ini merupakan bagian dari figur, popularitas lalu selanjutnya elektabilitas yang akan menentukan layak atau tidak calon tersebut mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Klungkung. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pengaruh figur dalam keterpilihan seorang anggota legislatif yang terpilih dari Partai Gerindra untuk menduduki kursi di DPRD Kabupaten Klungkung. Dari hasil proses
27
menentukan
figur
dan
popularitas
seorang
calon,
maka
akan
mempengaruhi kekuatan teori model pengambilan keputusan yang ada pada jurnal Abramowitz dalam The Journal of Politics (Nov, 1989). Penguatan figur ini sendiri sangat berpengaruh, bukan hanya untuk seorang calon melainkan untuk partai politik yang ingin memperoleh simpati dan empati dari masayarakat untuk memilih partai tersebut.