BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Tinjauan Anak Tunalaras a. Pengertian Anak Tunalaras Pengertian anak tunalaras menurut Putranto dalam Tips Menangani
Siswa
yang
Membutuhkan
Perhatian
Khusus
(2015:220) anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan/norma-norma sosial dengan frekuensi cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh suasana sehingga membuat kesulitan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan
Somantri
(2006:115)
berpendapat
“anak
tunalaras adalah anak yang mangalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya”. Sementara itu, Kosasih dalam Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (2012:158) mengemukakan sebagaimana dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977, yang disebut anak tunalaras adalah 1) Anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak atau kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. 2) Anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku di masyarakat. 3) Anak yang melakukan kejahatan. 8
9
Seperti yang tercantum dalam Balai Pengembangan Pendidikan Khusus (2013:23) anak tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.
Individu
tunalaras
biasanya
menunjukkan
perilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan. Algozzine dalam Purwandari (2009:26), anak tunalaras adalah anak yang secara terus menerus masih menunjukkan penyimpangan tingkah laku tingkat berat yang mempengaruhi proses belajar, meskipun telah menerina layanan belajar dan bimbingan seperti halnya anak lain. Ketidakmampuan menjalin hubungan dengan orang lain dan gangguan belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan fisik, syaraf dan intelegensi. Berdasarkan dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa anak tunalaras adalah seorang anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial yang berpengaruh pada peyimpangan perilaku, yang dapat merugikan orang lain. Contoh perilaku tunalaras
berwujud
mencuri,
mengganggu
teman,
menyakiti orang lain, dan sebagainya.
b. Karakteristik Anak Tunalaras Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka menurut Putranto (2015:220) anak tunalaras memiliki beberapa ciri perilaku yang sering ditunjukkan, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Suka berkelahi, memukul, dan menyerang Pemarah Pembangkang Tidak sopan Suka menentang, merusak, dan tidak mau bekerja sama Suka mengganggu Suka ribut dan membolos Suka pamer
10
9) Hiperaktif dan pembohong 10) Iri hati 11) Ceroboh dan suka mengacau 12) Suka menyalahkan orang lain 13) Hanya mementingkan diri sendiri Jika di atas telah disebutkan beberapa ciri perilaku anak tunalaras, maka selanjutnya karakteristik anak tunalaras seperti yang tertulis pada Balai Pengembangan Pendidikan Khusus (2013:23) adalah: 1) Cenderung membangkang 2) Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah 3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu 4) Sering bertindak melanggar norma sosial/ norma susila/ hukum Sedangkan
Mahabbati
(2010:56)
menunjukkan
bahwa
seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu: 1) Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan 2) Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik 3) Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang dibawah keadaan normal 4) Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan atau depresi 5) Kecenderungan untuk mengembangkan simpton-simpton fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah. Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras memiliki karakteristik antara lain, (1) sulit untuk mengendalikan emosi, (2) bersikap menentang, (3) tingkah laku tidak terkontrol dan merugikan lingkungan sekitar, dan (4) melanggar norma-norma yang ada di lingkungan.
11
c. Klasifikasi Anak Tunalaras Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialami. Sehubungan dengan hal itu Cruickshank dalam Somantri (2006:114) mengemukankan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori: 1) The semi-socialize child Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. 2) Children arrested at a primitive level of socialization Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkat yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikendakinya. 3) Children with minimun socialization capacity Anak pada kelompok ini tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Hal ini disebabkan karena pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini lebih banyak bersikap apatis dan egois. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi dapat diklasifikasikan sebagai: 1) Neurotic bahavior (perilaku neurotic) Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas, dan agresif serta rasa bersalah. 2) Children with Psychotic Processes Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Oleh karena itulah usaha penanggulangannya lebih sulit karena anak tidak dapat berkomunikasi sehingga layanan pendidikan
12
harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan (Somantri, 2006:116). Sedangkan Kosasih (2012:158) menyebutkan bahwa klasifikasi anak tunalaras dilihat dari pemicu tumbuhnya perilaku yang menyimpang dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Penyimpangan tingkah laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi. 2) Penyimpangan
tingkah
laku
sebagai
bentuk
kelainan
penyesuaian sosial. Sementara
itu
Purwandari
(2003:125)
menyebutkan
pendapatnya bahwa: “Klasifikasi anak tunalaras secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu dari tinjauan psikiatris dan behavioristik. Klasifikasi psikiatris mengacu pada penyakit fisik dalam ilmu kedokteran , yakni menekankan pada penyakit kepribadian dan kelainan jiwa yang terkategori dalam taraf ringan atau sedang dan taraf berat. Selanjutnya klasifikasi behavioristik atau dimensional disusun berdasarkan pengamatan langsung atas perilaku tertentu. Anak tunalaras dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam empat perilaku menyimpang, ketidakmampuan mengendalikan diri (seperti, berkelahi, memukul), perilaku menyimpang yang dilakukan secara kelompok (seperti, mencuri berkelompok), penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan kepribadian (seperti cemas, tegang, takut, dan sangat malu), dan penyimpangan perilaku dalam bentuk kurang dewasa dan kurang matang (seperti tidak dapat konsentrasi, melamun, pasif)”. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi
anak
penyimpangan
tunalaras
emosi
dan
dibedakan
menjadi
penyimpangan
dua
perilaku.
yaitu Kedua
penyimpangan tersebut dapat dibedakan lagi dengan tingkat rendah, sedang atau beratnya peyimpangan yang dialami.
d. Faktor Penyebab Anak Tunalaras Jika ada karakteristik dan klasifikasi maka anak tunalaras juga dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut Putranto (2015:221) dalam tips menangani murid yang membutuhkan
13
perhatian khusus, secara umum penyebab anak tunalaras dapat dibagi menjadi dua: 1) Faktor Internal a) memiliki kecerdasan rendah atau kurang mampu mengikuti tuntutan sekolah b) adanya gangguan atau kerusakan pada otak (brain damage) c) memiliki gangguan kejiwaan bawaan d) rasa frustasi yang terus menerus 2) Faktor Eksternal a) kemampuan sosial dan ekonomi rendah b) adanya konflik budaya, yaitu perbedaan pandangan antara kondisi sekolah dengan kebiasaan keluarga c) adanya pengaruh negatif dari geng atau kelompok tertentu d) kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya tidak diharapkan e) kondisi keluarga yang tidak harmonis Sedangkan menurut Somantri (2006:117) ada beberapa latar belakang timbulnya ketunalarasan antara lain: 1) Kondisi/keadaan fisik Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan
baik
tubuh
maupun
sensoris
yang
dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan fisik biologis maupun kebutuhan psikisnya. Masalah ini menjadi semakin kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungannya. Sebagai akibatnya timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak mampu, mudah putus asa dan merasa tidak berguna, sehingga menimbulkan kecenderungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya memperlihatkan perilaku agresif atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk
14
menarik belas kasihan lingkungannya. Dengan demikian jelaslah bahwa kondisi/keadaan fisik yang dinyatakan secara langsung dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi penyesuaian diri seseorang. 2) Masalah Perkembangan Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala, kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak sedang dalam proses menemukan ‘aku’nya. Anak jadi merasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga seringkali menunjukkan respon yang disertai dengan emosi yang meledak-ledak. Misalnya marah, menentang, memberontak, keras kepala. Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka seringkali menentang dan melanggar peraturan baik di rumah maupun di sekolah. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada masa pubertas. 3) Lingkungan Keluarga Banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, beberapa diantaranya, yaitu: (a) kasih sayang dan perhatian, (b) keharmonisan keluarga, (c) kondisi ekonomi. 4) Lingkungan Sekolah Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat dimana seharusnya ia berada didalam kelas. Sebaliknya sikap guru
15
yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukankan tindakan-tindakan menentang peraturan. 5) Lingkungan Masyarakat Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang sifatnya negatif. Disatu pihak para remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, dan dipihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat istiadat dan agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut di rumah atau keluarga bertentangan dengan norma atau kenyataan yang ada dalam masyarakat.
e. Dampak Ketunalarasan Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah ini menyebabkan
mereka
merasakan
adanya
jarak
dengan
lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan yang merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang mendapatkan perhatian dan penaganan yang segera, maka mereka akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya akan semakin bertambah lebar. Seperti yang disebutkan Schloss (Kirk & Gallagher, 1986) dalam Somantri (2006:128) mengenai tekanan batin yang berkepanjangan ini disebabkan oleh: 1) Ketidakberdayaan yang dipelajari
16
Anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya untuk mencoba mengatasi keadaan yang sulit. Ketidak mampuan mereka untuk mengatasi kesulitan tersebut menjadi tergeneralisasi sehingga ketika mereka mempunyai perilaku yang baik sekalipun, mereka tidak mampu mempergunakannya. Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang tidak terkendali dan cenderung mengurangi usaha yang dilakukan setelah menghadapi kegagalan, serta menunjukkan rasa rendah diri. 2) Keterampilan sosial yang minim Perkembangan pribadi yang tertekan akan menimbulkan kekurang terampilan dalam memperoleh penguatan (reinforcement) perilaku sosial yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya interaksi sosial yang positif. 3) Konsekuensi paksaan Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi paksaan. Jika anak yang cemas menarik diri menerima reaksi yang positif dari lingkungannya (simpati, dukungan, jaminan), mereka tetap gagal mengembangkan perilaku pribadi dan keterampilan sosial yang mengarah kepada perilaku yang efektif. Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi lingkungan mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial antar pribadi yang lebih efektif, serta menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguatan ketakberdayaan. Bahwa
perilaku
menyimpang
pada
anak
tunalaras
merugikan lingkungannya kiranya sudah jelas, dan seringkali orang tua maupun guru merasa kehabisan akal menghadapi anak dengan gangguan perilaku seperti ini. Sedangkan Mahhabati (2010:56) mengatakan bahwa gejala emosi dan perilaku yang ‘berbeda’ seringkali mendapat respon yang negatif bahkan penolakan dari masyarakat. Dilematisnya adalah akibat dari penolakan tersebut gangguan emosi dan perilaku yang muncul bukannya teratasi namun justru menjadi bertambah kuat. Sebagaimana dijelaskan oleh Hallahan dan
17
Kauffman
(2006:21)
bahwa
secara
sosial
dan
emosi,
karakteristik anak tunalaras akan mengakibatkan penolakan sosial. Penolakan lingkungan ini bisa jadi dimulai dari teman sebayanya. Akibatnya adalah mereka menjadi tidak terampil dalam menggunakan adan memahami bahasa di lingkungan sekitarnya. Menurut Hallahan dan Kauffman (2006) mengatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang berat biasanya kurang dalam kemampuan membaca dasar dan keterampilan matematika, hal itu utamanya disebabkan karena gangguan emosi dan perilaku yang merusak atensi mereka dalam menerima pelajaran padahal atensi merupakan faktor penting dalam proses belajar. Akhirnya adalah anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini selalu mendapat nilai rendah, gagal dalam memahami pelajaran, sering tidak naik kelas, berada pada passing grade nilai atau kelulusan terbawah, dan menghadapi kesulitan dalam penyesuaian hidup saat mereka dewasa (Mahhabati, 2010:57).
2. Tinjauan Perubahan Perilaku a. Pengertian Perubahan Perilaku Kuswana (2014:32) mengatakan bahwa perilaku manusia dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni: perilaku dasar (umum) sebagai makhluk hidup dan perilaku makhluk sosial. Perilaku dalam arti umum memiliki arti berbeda dengan perilaku sosial, perilaku sosial adalah perilaku spesifik yang diarahkan pada orang lain. Penerimaan perilaku sangat tergantung pada norma-norma sosial dan diatur oleh berbagai sarana kontrol sosial. Sementara perilaku dasar merupakan suatu tindakan atau reaksi biologis dalam menanggapi rangsangan eksternal atau internal, yang didorong oleh aktivitas dari sistem organisme,
18
khususnya efek, respon terhadap stimulus. Selain itu perilaku manusia tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti
genetika, intelektual, emosi, sikap, budaya, etika,
wewenang, hubungan, dan persuasi. Sedangkan menurut Berger, 2003 dalam Biopsikologi Pembelajaran Perilaku mengemukakan bahwa “perilaku sosial mewakili kontinum ekstrem, pada sebuah rangkaian yang dapat menjelaskan sebagai perilaku positif dan negatif. Perilaku sosial merupakan suatu tindakan yang memiliki manfaat bagi orang lain, seperti keluarga atau masyarakat. Sebaliknya, perilaku anti sosial mengandung efek yang tidak bermaslahat bagi individu atau orang lain,
berkenaan
dengan
kebahagiaan,
kesejahteraan
dan
lingkungan. Perilaku anti sosial, yaitu kecenderungan yang tidak dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat, sehubungan dengan adanya pelanggaran hak-hak orang lain (Kuswana, 2014:43)”. Setiap manusia memiliki perilaku. Perilaku merupakan cermin dari diri manusia itu sendiri. Perilaku timbul dari motif yang ada di dalam manusia. Menurut Walgito dalam Fauziah (2013:9) dengan demikian bahwa perilaku atau aktifitas-aktifitas itu merupakan manifestasi kehidupan psikis. Sementara
itu
Fauziah
(2013:9)
berpendapat
bahwa“perilaku (behavior) adalah tindakan-tindakan (actions) atau reaksi-reaksi (reactions) dari suatu obyek atau organisme”. Menurut Skiner (1938) yang juga merumuskan bahwa “perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner disebut “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon” (Fauziah, 2013:9).
19
Sedangkan
Makmun
(2001:24)
menunjukkan
bahwa
terdapat beberapa aliran pandangan (paham) yang berkenaan dengan pengertian perilaku, yang dikenal sebagai paham holisme dan behaviorisme. Paham holistik menekankan bahwa perilaku itu bertujuan (purposive), yang berarti aspek intrinsik (niat dan tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu yang penting untuk melahirkan perilaku tertentu meskipun tanpa adanya perangsang yang datang dari lingkungan. Sedangkan pandangan behavioristik menekankan bahwa poa-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan dengan mengkondisikan stimulus dalam lingkungan. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah keadaan dimana seseorang mendapatkan suatu stilumus (perangsang) dari organisme (individu manusia) atau lingkungan yang kemudian melakukan suatu respon (perilaku, aktivitas). Jadi perilaku setiap orang berbeda-beda tergantung dari stimulus yang diberikan oleh seseorang. Adapun beberapa teori perilaku menurut Fauziah (2013:5), antara lain: 1) Teori insting Perilaku itu disebabkan karena insting, insting merupakan perilaku yang innate, perilaku yang bawaan dan perilaku yang mengalami perubahan karena pengalaman. 2) Teori dorongan Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai
dorongan-dorongan
tertentu.
Dorongan
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme mendorong
organisme
ini
berperilaku.
Bila
ini yang
organism
berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan tersebut.
20
3) Teori insentif Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa perilaku organisme itu disebabkan karena adanya insentif. Dengan insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku. Insentif atau juga disebut dengan reinforcement, ada yang positif dan negatif. Reinforcement positif akan mendorong organisme dalam berbuat sedangkan reinforcement yang negatif akan dapat menghambat organisme dalam berperilaku. 4) Teori atribusi Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku orang apakah perilaku itu disebabkan oleh disposisi internal (motif, sikap dsb) atau oleh keadaan eksternal. 5) Teori kognitif Apabila seseorang harus memilik perilaku mana yang harus dilakukan, maka pada umumnya yang bersangkutan akan memilih perilaku mana yang akan dilakukan. Dengan kemampuan memilih ini berarti faktor berpikir berperan dalam menentukan pilihannya. Dengan berpikir seseorang akan dapat melihat
apa
yang
telah
terjadi
dan
menjadi
bahan
pertimbangannya. b. Jenis Perubahan Perilaku Setiap manusia pasti mengalami suatu perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut dapat berbeda-beda, seperti yang dijelaskan oleh Fauziah (2013:9) bahwa perilaku manusia dibedakan menjadi dua, antara lain perilaku yang refleksi dan perilaku non-refleksi. Perilaku refleksi adalah perilaku yang terjadi dengan sendirinya atau terjadi secara otomatis. Stimulus yang diterima individu tidak sampai kepusat susunan syaraf otak sebagai pusat kesadaran, misalnya reaksi kedip mata bila kena sinar, menarik jari bila terkena panas dan sebagainya. Sedangkan
21
perilaku non-refleksi adalah perilaku yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran otak. Perilaku ini merupakan perilaku yang dapat dibentuk dan dikendalikan, karena itu dapat berubah dari waktu ke waktu sebagai hasil proses belajar. Perilaku itu dapat diatur oleh individu yang bersangkutan, perilaku manusia juga merupakan perilaku yang terintegrasi karena keseluruhan keadaan individu
atau
manusia
itu
terlibat
dalam
perilaku
yang
bersangkutan. Sedangkan
Kuswana
(2014:46)
berpendapat
bahwa
perilaku yang dilakukan seorang individu dalam berkomunikasi yang dapat diamati disebut asertif. Perilaku ini ada dua, yaitu perilaku asertif dan perilaku non-asertif. “Perilaku asertif menurut Alberti dalam Kuswana (2014:42) yaitu perilaku komunikasi antar pribadi dimana seseorang berdiri untuk hak-hak yang sah sedemikian rupa, sehingga hak-hak orang lain tidak dilanggar atas tindakannya. Sedangkan perilaku non-asertif yaitu jenis perilaku interpersonal yang memungkinkan hak-hak orang dilanggar oleh orang lain. Hal ini dapat terjadi dalam dua cara, pertama seseorang gagal untuk menegaskan diri sendiri ketika orang lain dengan sengaja mencoba untuk melanggar hak-hak anda. Kedua, orang lain tidak ingin melanggar batas hak-hak kita, tetapi kegagalan untuk mengekspresikan kebutuhan sebagai hasil perasaan dalam pelanggaran yang tidak disengaja”. Pendapat selanjutnya, Kuswana (2014:46) menyatakan bahwa perilaku agresif yaitu perilaku antar pribadi di mana seseorang berdiri untuk hak-hak mereka sendiri sedemikian rupa sehingga hak orang lain dilanggar. Perilaku agresif menghina, mendominasi, atau menempatkan orang lain lebih rendah dari dirinya, dan tidak sekadar mengekspresikan emosi atau pikiran sendiri. Perilaku agresif sering dikesankan bersikap bermusuhan, menunjukkan reaksi berlebihan atau ledakan emosional yang merupakan hasil dari kemarahan terpendam masa lalu.
22
Dalam melakukan perubahan perilaku ada beberapa yang harus dibentuk pada individu tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Walgito dalam Fauziah (2013:10) ada tiga cara pembentukan perilaku yakni : 1) Cara
pembentukan
perilaku
dengan
kondisioning
atau
kebiasaan Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan cara kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuk perilaku tersebut. 2) Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight) Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Misal datang kuliah jangan sampai terlambat karena hal itu dapat mengganggu teman-teman yang lain. 3) Pembentukan perilaku dengan menggunakan model Pembentukan
perilaku
masih
dapat
ditempuh
dengan
menggunakan model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan
yang
dipimpinnya,
hal
tersebut
menunjukkan
pembentukan perilaku dengan menggunakan model (Fauziah, 2013:10).
c. Pengaruh Belajar Terhadap Perubahan Perilaku Seperti yang telah dijelaskan di atas tentang jenis perubahan perilaku manusia, perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh sistem belajar setiap individu. Maka dari itu Makmun (2001:98) mengatakan bahwa dengan menggunakan konsep dasar psikologis, khususnya dalam konteks pandangan behaviorisme, kita dapat menyatakan bahwa praktik pendidikan
itu pada
hakikatnya merupakan usaha conditioning yang diharapkan dapat menghasilkan
pola-pola
perilaku
tertentu.
Prestasi
belajar
23
(achievement) dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap (penghayatan),
dan
indikator-indikator
keterampilan atau
(pengalaman)
manifestasi
dari
merupakan
perubahan
dan
perkembangan perilaku tersebut. Belajar mempunyai hubungan dengan perubahan, yang meliputi keseluruhan tingkah laku yang terjadi pada beberapa aspek kepribadiannya. Perubahan ini dengan sendirinya dialami tiap-tiap manusia, sejak manusia dilahirkan. Perubahan itu dalam arti perkembangan melalui fase-fasenya dan sejak saat itu berlangsunglah proses belajar. Belajar tidak selalu diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya intelektual (yaitu aspek inteligensia, kemampuan, kecakapan). Demikian juga, aspek emosi (kehidupan perasaan) apabila kita pahami, kesukaan itu adalah sesuatu yang diperoleh dari proses belajar. Dengan demikian terdapat hubungan yang bersifat pribadi, mencakup kesempatan, kemauan, dan kemampuan. Sifat pribadi yang berhubungan dengan proses belajar adalah pengindraan. Dalam proses belajar, terdapat berbagai masalah asosiasi (berhubungan) antara suatu rangsangan dan perbuatan. Apabila kita terangsang sesuatu, terjadi hubungan asosiatif antara rangsangan dan apa yang ada di dalam ide (mind, jiwa) kita. Sedangkan Saefullah (2007:204) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut bergantung pada yang dipelajari oleh siswa. Oleh karena itu, apabila siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep, perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa pengetahuan konsep. Tujuan pembelajaran merupakan bentuk harapan yang dikomunikasikan melalui pernyataan dengan cara menggambarkan
24
perubahan yang diinginkan pada diri siswa, yaitu pernyataan tentang apa yang diinginkan pada diri siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajar. Menurut Saefullah (2007:206) yang juga menyebutkan bahwa “hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan”. Kedua faktor ini besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Selain faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Sedangkan Surya dalam Saefullah (2007:198) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu: 1) Perubahan yang disadari dan disengaja (Intensional) Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya. Peserta didik menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuan semakin bertambah
atau
keterampilannya
semakin
meningkat
dibandingkan sebelum mengikuti proses belajar. 2) Perubahan yang berkesinambungan (Kontinu) Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang telah diperoleh itu akan menjadi dasar pengembangannya. 3) Perubahan yang fungsional Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup peserta didik, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.
25
4) Perubahan yang bersifat positif Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menunjukkan ke arah kemajuan siswa. 5) Perubahan yang bersifat aktif Untuk memperoleh perilaku baru, peserta didik aktif berupaya dan berusaha untuk melakukan perubahan. 6) Perubahan yang bersifat permanen Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. 7) Perubahan yang bertujuan dan terarah Peserta didik yang melakukan kegiatan belajar pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. 8) Perubahan perilaku secara keseluruhan Perubahan
perilaku
belajar
bukan
hanya
memperoleh
pengetahuan, melainkan termasuk memperoleh perubahan dalam sikap dan keterampilan. Sementara itu Bloom berpendapat bahwa, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif, dan psikomotor beserta tingkatan aspek-aspeknya (Saefullah, 2007:214). Belajar atau pendidikan dan latihan, menunjukkan kepada perubahan dalam pola-pola sambutan atau perilaku dan aspekaspek kepribadian tertentu sebagai hasil usaha individu atau organisme yang bersangkutan dalam batas-batas waktu setelah tiba masanya. Dengan demikian, dapat dibedakan bahwa perubahanperubahan perilaku dan pribadi sebagai hasil belajar itu berlangsung secara intensional atau dengan sengaja diusahakan oleh individu yang bersangkutan, sedangkan perubahan dalam arti
26
pertumbuhan dan kematangan berlangsung secara alamiah menurut jalannya pertambahan waktu atau usia yang dialami oleh yang bersangkutan.
3. Tinjauan Layanan Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial a. Pengertian Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial Program layanan pengembangan perilaku pribadi dan sosial pada
dasarnya
adalah
upaya
pendidikan/pembinaan
yang
dilaksanakan secara sadar, berenana, terarah dan bertanggung jawab dalam rangka membangun hubungan timbal balik antara individu peserta didik tunalaras dengan lingkungan, serta menumbuhkan kepribadian untuk mengembangkan diri secara optimal (Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Model Silabus Pendidikan Khusus, 2007:1). Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial diharapkan dapat membantu dan membimbing peserta didik tunalaras untuk: 1) Mengetahui dan mengenal kemampuan serta potensi yang ada pada dirinya. 2) Mampu berbuat sebagai satu pribadi yang utuh, yang berbudi pekerti luhur. 3) Mampu mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang utuh dalam satu lingkungan masyarakat, dan berperilaku baik, mentaati peraturan serta norma yang berlaku. Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial merupakan hal yang sangat penting untuk mengantarkan peserta didik tunalaras dalam melakukan pengembangan dirinya. Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial merupakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik dalam usaha perubahan tingkah laku dan sosial, untuk mengetahui pencapaian hasil belajar peserta didik dalam pencapaian hasil program pengembangan perilaku pribadi dan sosial maka peru dilaksanakan penilaian.
27
b. Tujuan Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial Seperti yang tertulis dalam Pedoman Pengembangan Perilaku Pribadi Dan Sosial Bagi Peserta Didik Tunalaras (2014:6) mata pelajaran bina pribadi dan sosial penting diberikan kepada anakanak tunalaras dengan berbagai pertimbangan, yaitu: 1) Bina pribadi dan sosial merupakan materi yang tepat diberikan karena permasalahan anak tunalaras adalah ketidakmampuan mereka mengendalikan diri (emosi dan perilakunya) dalam berinteraksi atau berhubungan dengan individu lain yang ada di sekitarnya. 2) Bina pribadi dan sosial diarahkan pada pembinaan siswa secara simultan sehingga mereka menyadari dan mengenal keberadaan dirinya serta kaitannya dengan orang lain Sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan model silabus pendidikan khusus, maka tujuan dari bina pribadi dan sosial yaitu; 1) Membina siswa tunalaras agar memiliki kepribadian yang mantap dalam membentuk manusia seutuhnya 2) Membina siswa agar dapat hidup mandiri di masyarakat 3) Membantu siswa mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan mampu mengembangkan pribadi dan sosialnya secara utuh 4) Mengembangkan keterampilan dasar sesuai dengan bakat dan minat sehingga siap tejun ke dalam masyarakat Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial yang diberikan kepada peserta didik tunalaras bertujuan untuk (1) membantu peserta didik dapat merubah penyimpangan tingkah laku yang sering dilakukan; (2) membantu peserta didik agar memiliki kepribadian yang utuh untuk membentuk manusia yang
28
berkarakter; (3) membantu peserta didik agar dapat hidup mandiri di masyarakat sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku; (4) membantu peserta didik untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan mampu mengembangkan pribadi dan sosialnya, sehingga dapat hidup selaras dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Prinsip Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial Sebagaimana yang tercantum dalam Pedoman Pengembangan Perilaku Pribadi Dan Sosial Bagi Peserta Didik Tunalaras (2014:14)
menyebutkan
bahwa
pelaksanaan
program
pengembangan perilaku pribadi dan sosial dilaksanakan dengan beberapa prinsip dasar: Prinsip dasar pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan sosial bagi anak tunalaras antara lain: 1) Prinsip assesmen Dalam pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan sosial bagi peserta didik tunalaras harus berdasar kepada assesmen, karena dengan assesmen guru dapat menentukan perlakuan atau treatmen, memilih kemampuan apa yang harus diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki atau mengubah perilaku pribadi dan sosial mereka. 2) Prinsip individual Penyimpangan tingkah laku pribadi dan sosial pada peserta didik tunalaras mempunyai tingkat yang berbeda dari segi kualitas dan tingkat penyimpangan. Oleh karena antara peserta didik satu dengan yang lain mempunyai masalah yang berlainan, sehingga dalam memberikan pelayanan pembinaan yang dilakukan bersifat individual.
29
3) Prinsip partisipasi Pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan sosial memerlukan partisipasi dari berbagai unsur yang kompeten maka guru/ pembina hendaknya dapat memberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah perilaku, pribadi, dan sosial mereka. 4) Prinsip kerahasiaan Pada pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan sosial, guru wajib merahasiakan segala permasalahan anak didik, kecuali kepada kawan sejawat dan seprofesi serta orang tua dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi anak didik. 5) Prinsip menerima Program
pengembangan
perilaku
pribadi
dan
sosial
dilaksanakan dengan sikap menerima sepenuhnya, tentang kondisi dan permasalahan yang dialami peserta didik, oleh karena itu guru wajib menerima secara wajar, ramah, simpati dan memberikan layanan pembinaan yang bertanggung jawab. 6) Prinsip disiplin Disiplin pada peserta didik yang mengalami kelainan emosi dan tingkah laku sangat diperlukan dan wajib ditanamkan. Karena dengan disiplin secara bertahap akan mengubah dan mengarahkan kepada keseimbangan tingkah laku dan emosi. Oleh karena itu, guru harus tegas dan tepat dalam bertindak, selain itu kewibawaan dan ketulusan hati masih sangat diperlukan dalam hal ini. 7) Prinsip kasih sayang Pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan sosial diberikan dengan prinsip kasih sayang. Kasih sayang merupakan sikap utama pelayanan pembinaan bagi peserta didik tunalaras. Oleh karena itu guru harus berusaha memberi
30
layanan pembinaan kepada peserta didik tunalaras dengan kasih sayang. Seperti yang tercantum pada Pedoman Pengembangan Perilaku dan Sosial Bagi Peserta Didik Tunalaras (2014:16) ada
beberapa
rambu-rambu
pelaksanaan
program
pengembangan perilaku pribadi dan sosial bagi peserta didik tunalaras
yang
harus
diperhatikan
dalam
pelaksanaan
pembelajarannya yaitu, adanya pengembangan perilaku pribadi dan sosial dibuat tidak berdasarkan jenjang dan tingkatan kelas; pengembangan perilaku pribadi dan sosial bukan merupakan mata pelajaran; metode, alat pembelajaran, strategi, dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan memperhatikan tingkat ketunalarasan serta kebutuhan peserta didik; proses pelayanan dilaksanakan dengan mengutamakan aspek sikap, motorik dan psikomotor, serta pengetahuan; penguasaan kemampuan dan indikator tidak harus dilakukan secara berurutan, tetapi guru diberi wewenang untuk memilih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik.
d. Jenis-jenis Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial Seperti yang tertulis dalam Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Model Silabus
Pendidikan Khusus (2007:3) layanan
pendidikan bina pribadi dan sosial yang diberikan kepada anak tunalaras mengajarkan tentang beberapa hal antara lain: 1) Melakukan cara
perawatan diri, dalam pembelajaran ini
dilakukan beberapa kegiatan yaitu mengenal cara perawatan diri yang berkaitan dengan kebersihan pribadi, mengenal dan merawat diri yang berkaitan dengan kesehatan, mengenal dan melaksanakan cara berpakaian yang benar sesuai dengan situasi dan kondisi, mengenal dan melaksanakan cara berhias yang sesuai dengan kebutuhan.
31
2) Menerapkan sikap atau kesadaran bersopan santun, pada pembelajaran ini diajarkan tentang mengenal sopan santun yang berlaku di dalam keluarga, mengenal sopan santun yang berlaku disekolah, mengenal sopan santun yang berlaku di masyarakat, mengenal sopan santun dalam mengemukakan pendapat, dan mengenal sopan santun berlalu lintas. 3) Memahami diajarkan
arti
tanggungjawab, pada pembelajaran ini
tentang
melakukan
tanggungjawab
terhadap
perbuatan sendiri, melakukan tanggungjawab di lingkungan keluarga, melakukan tanggungjawab terhadap lingkungan sekolah, dan melakukan tanggungjawab terhadap lingkungan masyarakat. 4) Memahami kesadaran berdisiplin, dalam pembelajaran ini diajarkan mengenai pelaksanaan disiplin dalam pemanfaatan waktu, melaksanakan disiplin dalam kewajiban beribadah, dan melaksanakan disiplin dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan. 5) Memahami
kesadaran
dalam
penguasaan
diri,
pada
pembelajaran ini siswa diajarkan tentang kemampuan untuk mengendalikan diri dalam tindakan, melakukan tindakan dengan mempertimbangakn akibatnya (untung atau rugi), dan melakukan tindakan yang tidak merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain. 6) Memahami sikap/rasa percaya diri, pada pembelajaran ini siswa akan diajarkan tentang memilki keberanian untuk tampil di depan umum, memiliki keberanian untuk berbicara di depan banyak orang, memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat, keputusan.
dan
memiliki
keberanian
untuk
mengambil
32
7) Melakukan kerja sama dengan orang lain, dalam pembelajaran ini akan diajarkan tentang melaksanakan kerja sama dengan individu, dan melaksanakan kerja sama dengan kelompok. 8) Mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, pada pembelajaran ini akan diajarkan tentang mengamalkan nilainilai atau norma yang berlaku di masyarakat, membawa diri dan bertingkah laku yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. 9) Mengenal tata cara hidup bermasyarakat, pada pembelajaran ini siswa akan diajarkan tentang menggunakan fasilitas umum dengan
memperhatikan
kepentingan
orang
lain
dan
menggunakan fasilitas pribadi dengan tidak merugikan orang lain. 10) Memahami penyalahgunaan zat aditif, pada pembelajaran ini siswa akan diajarkan tentang mengenal benda-benda yang mengandung zat aditif, mengenal akibat-akibat penyalahgunaan zat aditif, dan melakukan tindakan untuk menghindar dari pengaruh zat aditif.
4. Tinjauan Kepuasan Orang Tua a. Pengertian Kepuasan Orang Tua Pengertian mengenai kepuasan menurut Kusumawati (2011:77) yaitu, kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kerja dan harapan. Jika kinerja dibawah harapan, konsumen tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, konsumen puas. Dan jika kinerja melebihi harapan, konsumen amat puas atau senang. Sedangkan Howard dan Sheth dalam Tjiptono (2005) menjelaskan bahwa, kepuasan pelanggan adalah situasi kognitif pembeli berkenaan dengan kesepadanan atau ketidak sepadanan antara hasil yang didapatkan dengan pengorbanan yang dilakukan (Harmistayadi, 2013:24).
33
Selain itu Supranto (2006:233) menyebutkan bahwa “kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Jadi, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. Untuk menciptakan kepuasan pelanggan, perusahaan harus menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pelanggannya”. Terdapat dua model kepuasan konsumen menurut Tjiptono (2005:134) yaitu: 1) Model kognitif Pada model ini penilaian konsumen didasarkan pada perbedaan antara suatu kumpulan dari kombinasi yang dipandang ideal untuk individu dan persepsinya tentang kombinasi dan atribut yang sebenarnya. Dengan kata lain penilaian tersebut didasarkan pada selisih atau perbedaan antara yang ideal dan yang aktual. 2) Model afektif Model ini menyatakan bahwa penilaian konsumen individual terhadap suatu produk atau jasa tidak semata-mata berdasarkan perhitungan rasional, namun juga berdasarkan kebutuhan subyektif. Secara umum, kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka (Kotler dan Keller, 2009:221). Jika kinerja gagal memenuhi
34
ekspektasi maka pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan ekspektasi maka pelanggan akan puas. Kepuasan pelanggan merupakan hal yang sangat penting, karena puas tidaknya pelanggan sangat mempengaruhi maju mundurnya suatu usaha yang berorientasi pada pelanggan. Menurut manajemen perusahaan Bean, Freeport, Maine dalam Gaspersz (2005:62) memberikan definisi tentang pelanggan, 1) Pelanggan adalah orang yang tidak bergantung pada kita, tetapi kita yang bergantung padanya. 2) Pelanggan
adalah
orang
yang
membawa
kita
pada
keinginannya. 3) Tidak ada seorangpun yang menang beradu argumentasi dengan pelanggan. 4) Pelanggan adalah orang yang teramat penting yang harus dipuaskan. Dari beberapa definisi tentang pelanggan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggan merupakan orang yang membawa produsen kepada keinginannya dan sangat penting untuk dapat memuaskannya. Dalam lembaga Sekolah Luar Biasa Bagian E (SLB E), pihak yang menjadi pelanggan merupakan orang tua atau wali murid. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui tingkat kepuasan orang tua sebagai pelanggan di lembaga sekolah luar biasa bagian E. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan (orang tua) merupakan tinggi rendah perasaan senang atau kecewa pelanggan atau orang tua yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk jasa atau dalam hal ini adalah pendidikan disuatu lembaga pendidikan atau sekolah luar biasa terhadap ekspektasi mereka. Sedangkan menurut Fornell dalam Hamdani dan Lupiyoadi (2006:16), banyak manfaat yang diterima oleh perusahaan dengan tercapainya tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi. Tingkat
35
kepuasan pelanggan yang tinggi dapat meningkatkan loyalitas pelanggan dan mencegah perputaran pelanggan, mengurangi sensitivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasi yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis. Dari beberapa manfaat tersebut, maka salah satu manfaat yang terpenting dari kepuasan pelanggan adalah meningkatnya loyalitas pelanggan terhadap produk atau jasa yang dibelinya. Pelanggan yang loyal adalah orang yang melakukan pembelian berulang secara teratur, membeli antarlini produk dan jasa, mereferensikan kepada orang lain, menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing. Dalam dunia pendidikan, pelanggan yang dimaksud adalah konsumen pendidikan atau orang tua, sedangkan produk jasa dalam dunia pendidikan terbagi atas jasa pendidikan dan lulusan (Mukminin, 2009:76). Jasa kependidikan terdiri atas jasa kurikuler, penelitian,
pengembangan
kehidupan
bermasyarakat,
ekstrakurikuler dan administrasi. Bentuk produk-produk tersebut hendaknya sejalan dengan permintaan pasar yang diikuti oleh kemampuan dan kesediaan konsumen dalam membeli jasa kependidikan. Lembaga pendidikan sekolah luar biasa hendaknya lebih dapat berorientasi kepada kepuasan pelanggan, sehingga dapat tercipta perilaku loyal dari para konsumen pendidikan. Pelanggan yang loyal pada suatu lembaga pendidikan sekolah luar biasa akan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar pada kualitas lembaga pendidikan tersebut. Kepuasan konsumen lembaga sekolah luar biasa terhadap kinerja sekolah juga menjadi keniscayaan untuk menjadi telaah evaluasi. Over promise and under delivery adalah kesalahan pemasaran. Ketidaksesuaian ekspektasi konsumen dan realitas yang ada akan membentuk citra buruk sekolah. Oleh karena itu, lembaga pendidikan sekolah luar
36
biasa hendaknya lebih dapat berorientasi pada kepuasan pelanggan, sehingga dapat tercipta perilaku loyal dari para konsumen pendidikan. Berkaitan dengah hal di atas dalam penelitian yang ditulis Saputri yang berjudul Pengaruh Kualitas Layanan Pendidikan Lembaga PAUD Terhadap Tingkat Kepuasan Orang Tua Di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang (2013:8) menyatakan bahwa kualitas pendidikan PAUD sangat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan orang tua dalam menentukan dan memilih layanan pendidikan bagi anaknya.
b. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Orang Tua Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan seorang pelanggan. Menurut Gaspersz (2005:55), menyebutkan bahwa pada dasarnya kepuasan pelanggan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu keadaan dimana kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk yang
dikonsumsinya.
Dengan
demikian
apabila
kepuasan
pelanggan boleh dinyatakan sebagai suatu rasio atau perbandingan, maka kita dapat merumuskan persamaan kepuasan pelanggan sebagai berikut: Z = X / Y, dimana Z adalah kepuasan pelanggan, V = X adalah kualitas yang dirasakan oleh pelanggan, dan Y adalah kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan. Selain itu Gaspersz (2005:70) juga berpendapat
bahwa faktor
yang
mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan adalah: 1) Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika ia sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen / pemasok produk (perusahaan). Jika saat itu kebutuhan dan keinginannya besar,
harapan dan
ekspektasi pelanggan akan tinggi, demikian pula sebaliknya.
37
2) Pengalaman masa lalu (terdahulu) ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya. 3) Pengalaman
dari
teman-teman,
dimana
mereka
akan
menceritakan kualitas produk yang dibeli oleh pelanggan itu. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi pelanggan terutama pada produk-produk yang dirasakan berasio tinggi. 4) Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi persepsi pelanggan. Orang dibagian penjualan dan periklanan seyogyanya tidak membuat kampanye yang berlebihan melewati tingkat ekspektasi pelanggan. Kampanye yang berlebihan dan secara aktual tidak mampu memenuhi ekspektasi pelanggan akan mengakibatkan dampak negatif terhadap pelanggan tentang produk itu. Sedangkan menurut Hawkins dan Lonney dalam Tjiptono (2005:140), ada atribut-atribut pembentukan kepuasan yang perlu dipertimbangkan antara lain: 1) Kesesuaian harapan Merupakan gabungan dari kemampuan suatu produk atau jasa dan produsen yang diandalkan, sehingga suatu produk yang dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikan produsen. 2) Kemudahan dalam memperoleh Produk atau jasa yang ditawarkan oleh produsen mudah dimanfaatkan oleh calon pembeli. 3) Ketersediaan untuk merekomendasi Dalam kasus produk yang pembelian ulangnya relatif lama, kesediaan pelanggan untuk merekomendasi produk terhadap teman atau keluarganya menjadi ukuran yang penting. Selain itu Irawan dalam Saputri (2013:43) menjelaskan bahwa terdapat lima pendorong utama kepuasan pelanggan, seperti:
38
1) Mutu produk Pelanggan akan puas jika setelah membeli dan menggunakan produk tersebut, mendapatkan mutu produk yang baik. 2) Harga Bagi pelanggan yang sensitif, harga yang murah merupakan sumber kepuasan yang penting karena mereka akan mendapat value formoney yang tinggi. 3) Service Quality Karena mutu produk dan harga seringkali tidak mampu menciptakan keunggulan bersaing dalam hal kepuasan dan keduanya
relatif
mudah
ditiru,
perusahaan
cenderung
menggunakan pendorong ini. 4) Emotional Factor Pendorong ini biasanya berhubungan dengan gaya hidup seperti mobil, pakaian, kosmetik dan sebagainya. Pelanggan akan merasakan bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum bila seseorang menggunakan produk yang bermerk cenderung mempunyai kepuasan yang lebih tinggi. 5) Kemudahan Kemudahan yang didukung dengan kenyamanan dan efisiensi dalam mendapatkan produk fisik atau jasa akan mendorong kepusan pelanggan.
c. Pengukuran Tingkat Kepuasan Orang Tua Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan setiap perusahaan pelanggannya
untuk
mengukur
dan
pelanggan
dan
memantau
pesaing.
Kotler
kepuasan (2009:233)
mengidentifikasi empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan,
39
1) Sistem keluhan dan saran Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan, mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang ditempatkan dilokasi-lokasi strategis, kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, website dan sebagainya. 2) Ghost Shopping Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghostshoppers untuk berpura-pura atau berperan sebagai pelanggan potensial produk dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan produk atau jasa perusahaan. 3) Lost Costumer Analysis Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti atau telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan sedapat mungkin mengambil
kebijakan
perbaikan
atau
penyempurnaan
selanjutnya. 4) Survei Kepuasan Pelanggan Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan metode survei, baik melalui telpon, pos, e-mail, website maupun wawancara langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan bailkan secara langsung dari pelanggan serta memberikan kesan positif bahwa perusahaan memberi perhatian pada pelanggannya. Sedangkan menurut Tjiptono (2005:18), pengukuran kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
40
1) Directly Reported Satisfaction Pengukuran dilakukan secara langsung, melalui pertanyaan dan skala berikut; sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat puas. 2) Derived Dissatisfaction Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya yang mereka rasakan. 3) Problem Analysis Pelanggan yang dijadikan responden diminta mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saransaran untuk melakukan perbaikan. 4) Importance-Performance Analysis Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu, responden juga diminta untuk merangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam elemen-elemen atau atribut tersebut. Beberapa metode pengukuran diatas juga sangat penting untuk diterapkan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan sekolah luar biasa. Metode yang dapat digunakan adalah metode directly reported satisfaction. Selain itu, ada alat atau instrumen yang dapat membantu kita untuk dapat memahami dan meramalkan dunia kita secara lebih baik. Perlu adanya suatu ukuran yang secara akurat menilai sikap para pelanggan. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan ialah daftar pertanyaan (questioner) (Supranto, 2006:24). Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner dengan menggunakan angket. Dengan angket, data yang diperoleh berupa jawaban dari para pelanggan terhadap pertanyaan yang diajukan seperti, sangat puas (3), puas (2), atau tidak puas (1)
41
terhadap layanan pendidikan bina pribadi dan sosial berhubungan dengan perubahan perilaku anak di SLB E. Pembentukan daftar pertanyaan kepuasan pelanggan ditempuh dengan empat tahap, yaitu: 1) Menentukan pertanyaan (butir) yang akan dipergunakan dalam daftar pertanyaan. 2) Memilih bentuk jawaban (respon format). 3) Menulis introduksi/pengenalan pada daftar pertanyaan. 4) Menentukan isi akhir (final) daftar pertanyaan (memilih beberapa butir yang pokok diantara sekian banyak butir kepuasan yang akan dijadikan ukuran tingkat kepuasan). Di era globalisasi sekarang ini, orang tua sebagai pelanggan atau konsumen sekolah luar biasa cukup cermat dan mengerti cara memilih lembaga pendidikan yang sesuai untuk anaknya yang mengalami gangguan. Perilaku konsumen lembaga pendidikan sekolah luar biasa relatif menginginkan perubahan yang baik terhadap anaknya yang mengalami gangguan emosi. Sekolah dituntut untuk memberikan layanan pendidikan yang baik demi merubah perilaku anak tunalaras menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu adanya quality assurance dari sekolah untuk siswa dan calon siswa yang potensial terhadap produk yang ditawarkan oleh sekolah tersebut, serta perlu adanya pengukuran terhadap kepuasan orang tua sebagai konsumen lembaga pendidikan sekolah luar biasa, sehingga proses penyelenggaraan dan jasa pendidikan yang ditawarkan dapat sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan begitu akan menimbulkan kepuasan, kepercayaan maupun loyalitas dalam diri konsumen pendidikan. Sementara itu Gerson dalam Saputri (2013:52), mengemukakan tentang beberapa manfaat dari pengukuran kepuasan pelanggan, antara lain:
42
1) Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan prima kepada pelanggan. 2) Pengukuran memberitahukan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana harus melakukannya. 3) Pengukuran
memberikan
umpan
balik
segera
kepada
pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja
pelaksana
atau
perusahaan
yang
memberikan
pelayanan. 4) Pengukuran bisa dijadikan dasar penentuan standar kinerja dan prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan menuju peningkatan mutu dan kepuasan pelanggan. 5) Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
B. Kerangka Berpikir Untuk memudahkan dalam menganalisis masalah yang dihadapi dalam penelitian ini maka disusun suatu kerangka berpikir yang menjadi pedoman dalam proses penelitian dan memberikan gambaran tahap-tahap penelitian untuk mendapatkan kesimpulan. Kerangka berpikir merupakan kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin dicermati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang dilakukan. Dalam lembaga pendidikan sekolah luar biasa khususnya bagian E yang khusus menangani anak-anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku (anak tunalaras) terdapat program khusus yaitu dengan memberikan layanan pendidikan bina pribadi dan sosial kepada setiap anak yang bersekolah di sekolah luar biasa bagian E agar dapat membentuk perilaku anak tunalaras menjadi lebih baik. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh program pendidikan bina pribadi dan sosial terhadap perubahan perilaku anak tunalaras, maka perlu diadakan riset kepada orang tua siswa
43
yang memiliki anak tunalaras mengenai perubahan perilaku anak tersebut setelah mendapatkan program pendidikan bina pribadi dan sosial. Kerangka berpikir yang berupa skema sederhana ini menggambarkan secara singkat proses pemecahan masalah yang dikemukakan dalam penelitian. Skema kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut: Program Khusus Bina
Pemberian Layanan
Pribadi dan Sosial Anak
Program Khusus
Tunalaras SLB E Bhina Putera Surakarta
Tingkat Kepuasan Orang
Perubahan Perilaku
Tua
Anak Tunalaras
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Hipotesis penelitian menurut Suryabrata (2014:21) adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Sedangkan menurut Arikunto (2013:110) hipotesis diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dirumuskan di atas, dapat dirumuskan suatu hipotesis bahwa orang tua siswa SLB E Bhina Putera Surakarta memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap layanan pendidikan bina pribadi dan sosial terkait perubahan perilaku anak di SLB E Bhina Putera Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.