BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Definsi Kebijakan Publik Sebelum membahas implementasi kebijakan, terlebih
dahulu
sebenarnya
kita
kebijakan
perlu itu.
mengetahui Menurut
apa
Harold
Laswell dan Abraham Kaplan (Tilaar & Nugroho, 2008), kebijakan didefinisikan sebagai suatu program
yang
diproyeksikan
dengan
tujuan-
tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a project of goals, values, and practice). Sedangkan menurut James E. Anderson yang dikutip oleh Wahab (2002) merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) berkenaan dengan adanya masalah atau
persoalan
tertentu
yang
dihadapi.
Sementara itu, David Easton dalam Tilaar dan Nugroho (2008) mendefinisikan kebijakan sebagai akibat dari aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why they do
it, and what difference it makes). George C. Edwards III & Ira Sharkansky (Amtu, 2011) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Menurut Aminuddin Bakry (2010), setiap perundang-undangan dan peraturan adalah kebijakan, akan tetapi tidak setiap
kebijakan
diwujudkan
dalam
bentuk
perundang-undangan atau peraturan. Bridgeman dan
Davis
yang
dikutip
oleh
Bakry
(2010)
menjelaskan bahwa dalam konteks pengertian kebijakan publik seperti tersebut, teridentifikasi dimensi-dimensi yang saling bertautan antara kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal secara hukum, kebijakan publik sebagai hipotesis dan kebijakan publik sebagai tujuan. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang
legal
karena
dibuat
oleh
orang
yang
memiliki otoritas dan legitimasi dalam sistem pemerintahan. mengikat
aparatus
bertindak
dalam
Keputusan-keputusannya pemerintahan menyiapkan
untuk
rancangan
perundang-undangan dan peraturan pemerintah untuk
dipertimbangkan
mengalokasikan
oleh
parlemen
anggaran
atau guna
mengimplementasikan program tertentu. Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu dan masalah publik. Setiap pemerintahan biasanya
bekerja
berdasarkan
kebiasaan
warisan
pemerintahan
kebiasaan-
terdahulu.
Rutinitas
birokrasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini, penting dikembangkan proses kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil yang baik. Kebijakan publik sebagai hipotesis artinya kebijakan dibuat berdasarkan teori dan proposisiproposisi
sebab
akibat.
Oleh
karena
itu,
kebijakan hendaknya bersandar pada asumsiasumsi mengenai perilaku. Hal ini penting agar kebijakan
selalu
mendorong
orang
untuk
melakukan sesuatu, serta mampu memprediksi keadaan dan menyatukan perkiraan-perkiraan mengenai keberhasilan yang akan dicapai dengan mekanisme mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi. Berkaitan dengan kebijakan publik sebagai tujuan
dimaksudkan
untuk
mencapai
kebijakan
sebuah
menjadi
tujuan.
alat
Artinya,
kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasilhasil tertentu yang diharapkan oleh publik. Pembuat kebijakan harus mampu merumuskan tujuan yang ingin dicapai, karena kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan masalah baru.
Dengan demikian, kebijakan yang baik akan dapat merumuskan secara eksplisit pernyataan resmi mengenai pilihan tindakan yang akan dilakukan, dan teori, proposisi dan model sebabakibat yang mendasari kebijakan, serta hasilhasil yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Artinya,
dalam
sebuah
lingkaran
perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal dibuat berdasarkan hipotesis dari proposisi-proposisi berbagai teori guna mencapai tujuan-tujuan Rumusan
kebijakan
yang
yang
sederhana
ini
ditetapkan. menunjukkan
hubungan antara ketiga dimensi kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal, sebagai hipĆ³tesis dan sebagai tujuan merupakan tiga serangkai yang saling berkaitan satu sama lain sehingga ketiganya merupakan prasyarat sekaligus tantangan bagi kebijakan publik yang efektif. Menurut William N. Dunn (Nugroho, 2009) tindakan kebijakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu kebijakan regulatif dan kebijakan alokatif. Kebijakan regulatif yaitu tindakan kebijakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standar kebijakan
atau
prosedur alokatif
mengalokasikan
sumber
tertentu. adalah daya
Sedangkan tindakan
tertentu
pada
sasaran kebijakan. Kebijakan regulatif maupun kebijakan alokatif dapat memberikan akibat yang bersifat distributif ataupun redistributif. Bersifat distributif berisi ketentuan tentang pembagian
sesuatu
yang
masyarakat.
relatif
merata
Sedangkan
kepada
warga
redistributif
berisi
peraturan tingkah laku masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka kebijakan publik adalah suatu program yang
dikerjakan
oleh
sejumlah
aktor
yang
dilatarbelakangi oleh alasan-alasan tertentu dan dilaksanakan dengan tujuan dan dalam cara-cara tertentu yang kemudian berdampak pada suatu kehidupan bersama yang berbeda. 2.1.2. Siklus Kebijakan Publik Dalam penyusunan suatu kebijakan, ada beberapa tahapan yang perlu dilalui.
Menurut
William N. Dunn (2000) ada lima tahap proses pembuatan suatu kebijakan, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Penyusunan Agenda Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Implementasi Kebijakan Penilaian/Evaluasi Kebijakan Gambar 2.1. Lima Tahap Kebijakan menurut William N. Dunn (2000)
Pada
tahap
penyusunan
agenda,
para
pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Selanjutnya dalam formulasi kebijakan, para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan
legislatif.
kebijakan
diadopsi
Setelah dengan
itu,
alternatif
dukungan
dari
mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga,
atau
keputusan
peradilan.
Dalam
implementasi kebijakan, kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Penilaian/evaluasi kebijakan sebagai tahapan terakhir menurut Dunn terjadi ketika unit-unit
pemeriksaan
dan
akutansi
dalam
pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif,
dan peradilan memenuhi
persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
2.2. Komponen Biaya Pendidikan Biaya
pendidikan
merupakan
salah
satu
komponen masukan instrumental (instrumental input) yang
sangat
penting
dalam
penyelenggaraan
pendidikan (di sekolah). Supriadi (2006) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan pendidikan, biaya (cost) adalah dengan
semua
jenis
pengeluaran
penyelenggaraan
yang
pendidikan,
berkenaan
baik
dalam
bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Sementara itu menurut Rahmad
(www.birohukum.jogjaprov.go.id),
biaya
pendidikan adalah nilai besar dana yang diprakirakan perlu disediakan untuk mendanai berbagai kegiatan pendidikan. Terkait dengan dana pendidikan, Rahmad menjelaskan bahwa dana pendidikan adalah sumber daya
keuangan
yang
menyelenggarakan
dan
disediakan mengelola
untuk
pendidikan.
Sedangkan pendanaan pendidikan menurut Rahmad adalah
penyediaan
sumberdaya
keuangan
yang
diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Menurut Supriadi (2006) biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah segala pengeluaran
yang
secara
langsung
menunjang
penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri (Fattah, 2002). Lebih lanjut Supriadi (2006) menjelaskan bahwa biaya tidak langsung
adalah
pengeluaran
yang
secara
tidak
langsung menunjang proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, misalnya biaya hidup, biaya transportasi, dan biaya kesehatan.
Sebagaimana Pemerintah
tertuang
Nomor
48
tahun
pada
Peraturan
2008,
pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Dalam
pemerintah
pernyataan
daerah,
peraturan
dan
masyarakat.
tersebut,
biaya
pendidikan meliputi biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan dan biaya pribadi peserta didik.
pendidikan;
Karding (2008) menjelaskan bahwa Biaya Satuan Pendidikan
(BSP)
adalah
besarnya
biaya
yang
diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun, sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal tersebut, Fattah (2002) menjelaskan biaya satuan per murid merupakan ukuran yang menggambarkan
seberapa
besar
uang
yang
dialokasikan ke sekolah-sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam menempuh pendidikan. Pada pernyataan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008, biaya satuan pendidikan terdiri dari biaya investasi, biaya operasi, bantuan biaya pendidikan, dan beasiswa. Berdasarkan buku panduan BOS tahun 2009, biaya investasi adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya investasi meliput biaya investasi lahan pendidikan dan biaya investasi selain lahan
pendidikan.
Menurut
Karding
(2008),
BSP
investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumberdaya yang
tidak habis pakai dalam waktu lebih dari satu tahun, seperti pengadaan tanah, bangunan, buku, alat peraga, media, perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP Operasional sebagaimana dikutip dalam Karding (2008) adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumber daya pendidikan yang habis pakai dalam satu tahun atau kurang. Biaya operasional terdiri atas biaya personalia dan biaya nonpersonalia. Biaya personalia terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji. Biaya nonpersonalia
adalah
biaya
untuk
bahan
atau
peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung
berupa
daya,
air,
jasa
telekomunikasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain-lain. Sementara itu, bantuan biaya pendidikan yaitu dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya. Sedangkan beasiswa adalah bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi. Biaya
penyelenggaraan
dan/atau
pengelolaan
pendidikan adalah biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah
penyelenggara/satuan
kabupaten/kota, pendidikan
yang
atau didirikan
masyarakat. Sedangkan biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan
yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Berdasarkan sejumlah pendapat tersebut di atas, maka biaya pendidikan adalah sejumlah dana yang dibutuhkan dan dikeluarkan bagi terselenggaranya pendidikan dimana biaya pendidikan terbagi dalam beberapa kelompok, yakni biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; serta biaya pribadi peserta didik.
2.3. Implementasi Kebijakan 2.3.1. Konsep Implementasi Kebijakan Proses
implementasi
sendiri
baru
akan
terlaksana apabila tujuan dan sasaran kebijakan atau program telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran. Lane dalam Akib (2010) mengemukakan bahwa implementasi merupakan persamaan
fungsi
dari
maksud,
output,
dan
outcome. Hal itu berarti formula implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk, dan hasil dari akibat. Menurut Lester dan Stewart (Winarno, 2012), secara
luas
pelaksanaan
implementasi undang-undang
dipandang
sebagai
dimana
berbagai
aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam
upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.
Ripley
dan
Franklin
dalam
Winarno (2012) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran
yang
nyata
(tangible
output).
Istilah
implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuantujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh
para
pejabat
pemerintah.
Sebagaimana
implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah, van Meter dan
van Horn
(dalam Akib, 2010) juga mengemukakan bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang
memungkinkan
tujuan
kebijakan
publik
direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan pihak yang berkepentingan. Berdasarkan sejumlah pendapat yang ada, maka implementasi kebijakan merupakan suatu tindakan atau proses realisasi kegiatan setelah kebijakan
dibuat,
yang
pelaksana
kebijakan
dilakukan
untuk
oleh
mencapai
para tujuan
kebijakan yang telah dirancang sebelumnya dan berdampak pada suatu kehidupan bersama yang diharapkan sesuai tujuan kebijakan.
2.3.2. Model Implementasi Kebijakan George C. Edwards Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya (Winarno, 2012). Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka
kebijakan
itu
mungkin
akan
mengalami
kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga
akan
mengalami
kegagalan,
jika
kebijakan
tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Implementasi
kebijakan
merupakan
suatu
kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards dalam Winarno (2012) mengajukan dua pertanyaan, yakni : 1. Prakondisi-prakondisi
mulai
apa
dengan
yang
diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? 2. Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel
penting
dalam
implementasi
kebijakan,
yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. a. Komunikasi Secara umum Edwards membahas tiga hal
penting
dalam
proses
komunikasi
kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan.
Menurut
Edwards,
persyaratan
pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah
bahwa
mereka
yang
melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusankeputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintahperintah
itu
dapat
diikuti.
komunikasi-komunikasi
Tentu
harus
saja,
akurat
dan
harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Untuk
proses
komunikasi,
Edwards
transmisi
dalam
menjelaskan
bahwa
sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu
keputusan
perintah
untuk
dikeluarkan.
Hal
telah
dibuat
dan suatu
pelaksanaannya tersebut
tidak
telah selalu
merupakan proses yang langsung sebagaimana nampaknya.
Banyak
sekali
ditemukan
keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau
jika
tidak
demikian,
seringkali
kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikeluarkan.
terjadi
keputusan-
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam
mentransmisikan
implementasi
perintah-perintah
(Winarno,
2012).
Pertama,
pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan
perintah
pengambil melewati
yang
kebijakan. berlapis-lapis
dikeluarkan
oleh
Kedua,
informasi
hierarki
birokrasi.
Ketiga, penangkapan komunikasi-komunikasi mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif dan
ketidakmauan
mengetahui
para
pelaksana
untuk
persyaratan-persyaratan
suatu
kebijakan Faktor kedua dalam proses komunikasi kebijakan, menurut Edwards adalah kejelasan. Jika
kebijakan-kebijakan
diimplementasikan
ingin
sebagaimana
mestinya,
maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima dan dipahami oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan
tersebut
instruksi-instruksi
harus yang
pelaksana-pelaksana menetapkan
kapan
jelas.
diteruskan
kabur dan
Seringkali
dan
bagaimana
kepada tidak suatu
program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi dengan
yang
disampaikan
implementasi
berkenaan
kebijakan
akan
mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Edwards mengidentifikasi enam faktor yang
mendorong
terjadinya
ketidakjelasan
komunikasi kebijakan (dalam Winarno, 2012). Faktor-faktor kebijakan
tersebut
publik,
adalah
keinginan
kompleksitas untuk
tidak
mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu
kebijakan
baru,
menghindari
pertanggungjawaban kebijakan, dan pembentukan kebijakan pengadilan.
sifat
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi
kebijakan
ingin
berlangsung
efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintahperintah
yang
disampaikan
pelaksana
kebijakan
kejelasan,
tetapi
kepada
mempunyai
bila
perintah
para unsur
tersebut
bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi yang
lain,
kebijakan mendorong tindakan
perintah-perintah yang para yang
tidak
konsisten
pelaksana sanggat
implementasi akan
mengambil
longgar
dalam
menafsirkan
dan
mengimplementasikan
kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada ketidakefektifan implementasi kebijakan longgar
karena besar
tindakan
kemungkinan
yang
sanggat
tidak
dapat
digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan. b. Sumber Daya Menurut
Edwards
(Winarno,
2012),
sumber daya merupakan faktor penting dalam melaksanakan sumber
daya
kebijakan tersebut
publik.
meliputi
Adapun staf
yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan
wewenang
dan
tugas-tugas
mereka,
fasilitas-fasilitas
yang
diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayananpelayanan publik. 1. Staf. Sumber yang paling penting dan terutama
dalam
melaksanakan
suatu
kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering
terjadi
dalam
implementasi
kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi,
ataupun
tidak
kompeten
dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan
persoalan
implementasi
kebijakan,
tetapi
kecukupan
staf
diperlukan dengan
sebuah
keahlian
dan
kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan. 2. Informasi. Informasi penting
merupakan
kedua
kebijakan.
dalam
Ada
dua
sumber
implementasi
bentuk
informasi
dalam implementasi kebijakan (Winarno, 2012) yaitu pertama, infomasi mengenai bagaimana
melaksanakan
suatu
kebijakan.
Pelaksana-pelaksana
perlu
mengetahui
apa
yang
dilakukan
dan
bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah data tentang
ketaatan
personil-personil
terhadap
lain
peraturan-peraturan
pemerintah. Dalam bentuk yang kedua ini,
para
pelaksana
kebijakan
harus
mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat
dalam
pelaksanaan
kebijakan
mentaati undang-undang ataukah tidak. 3. Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat
formal
agar
perintah
dapat
dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana
dalam
melaksanakan
kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang
tidak
ada,
maka
kekuatan
para
implementor
di
mata
publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi
kebijakan
publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas
akan
menyurut
wewenang
diselewengkan
manakala oleh
para
pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya. 4. Fasilitas. Fasilitas
fisik
merupakan
faktor
penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana
dan
implementasi
prasarana)
kebijakan
maka
tersebut
tidak
akan berhasil. c. Disposisi Disposisi atau kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang
mempunyai
penting
bagi
konsekuensi-konsekuensi
implementasi
kebijakan
yang
efektif. Disposisi berkenaan dengan kesediaan dari
para
implementor
untuk
carry
out
kebijakan publik tersebut (Nugroho, 2009).
Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah lakutingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana
berbeda
dengan
cara
pembuat
keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit (Winarno, 2012). d. Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan badan pelaksana kebijakan. Birokrasi secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan
kolektif,
dalam
rangka
memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan
modern.
berkenaan
dengan
birokrasi
yang
Struktur
birokrasi
kesesuaian
organisasi
menjadi
penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Di Indonesia, implementasi kebijakan sering tidak efektif karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan (Nugroho, 2009). Ripley dan Franklin (Winarno, 2012) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni :
1. Birokrasi sebagai
dimanapun
berada,
dipilih
instrumen
sosial
yang
ditujukan untuk menangani masalahmasalah
yang
didefinisikan
sebagai
urusan publik. 2. Birokrasi
merupakan
institusi
yang
dominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda
untuk
masing-masing
tahap. 3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4. Fungsi
birokrasi
berada
dalam
lingkungan yang luas dan kompleks. 5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan
hidup
tidak
perlu
dipertanyakan lagi. 6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang
netral
dalam
pilihan-pilihan
kebijakan mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatankekuatan yang berasal di luar dirinya. Pada kebijakan
dasarnya, mungkin
para
pelaksana
mengetahui
apa
yang
dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam pelaksanaannya mungkin mereka masih
dihambat
organisasi
di
oleh
mana
struktur-struktur
mereka
menjalankan
kegiatan tersebut. Menurut Edwards (Winarno,
2012),
ada dua karakteristik utama dari
birokrasi,
yakni
ukuran-ukuran
prosedur-prosedur
dasar
atau
kerja
sering
disebut
sebagai Standard Operationg Procedures (SOP) dan fragmentasi. Prosedur-prosedur kerja ukuran dasar (Standard
Operating
Procedures,
SOP)
merupakan salah satu aspek struktural paling dasar
dari
suatu
menggunakan
SOP,
organisasi. para
Dengan
pelaksana
dapat
memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya
dapat
menimbulkan
fleksibilitas
yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan
peraturan-peraturan
(Winarno,
2012). Lebih lanjut Edwards dalam Winarno (2012) menjelaskan bahwa sifat kedua dari stuktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan
kebijakan
adalah
fragmentasi
organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan
tersebar
di
antara
beberapa
organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna
mencapai
Konsekuensi
tujuan-tujuan
yang
paling
kebijakan.
buruk
dari
fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk
menghambat mengakibatkan
koordinasi.
Fragmentasi
pandangan-pandangan
yang
sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi. Pertama, tidak ada ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung-jawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah.
Di
samping
itu,
karena
masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugastugas yang penting mungkin akan terdampar antara retak-retak struktur organisasi. Kedua, pandangan-pandangan
yang
sempit
dari
badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan. Komunikasi Sumber Daya
Implementasi Kebijakan
Disposisi Struktur Birokrasi
Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan George C. Edwards (Winarno, 2012)
2.4. Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Marzuki (2011) tentang Kebijakan Program Sekolah Gratis dan Dampaknya terhadap Akses Layanan Memperoleh Pendidikan di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program Sekolah Gratis yang dibiayai dari sumber dana BOS di Provinsi Sumatera Selatan yang dimulai tahun 2009 telah dapat meningkatkan perluasan akses memperoleh layanan pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan APK dan APM, serta penurunan angka DO. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Aspansius (2010) tentang implementasi kebijakan Bantuan Operasional Sekolah pada sekolah menengah pertama negeri di Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak menunjukkan adanya peningkatan APK pada tahun 2008 yakni 94 % jika dibandingkan dengan tahun 1995-2005 sebelum adanya program BOS dimana Angka Partisipasi Sekolah (APS) hanya menunjukkan kisaran 50 % hingga 60 %. 3. Pendidikan gratis juga telah dilakukan di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam penelitiannya, Alfani (2010) menjelaskan bahwa program pendidikan gratis di daerah Sumsel diberlakukan dari jenjang SD-SMA/SMK. Pemerintah propinsi dan daerah kabupaten/kota juga turut berpartisipasi mendukung program pendidikan gratis, yakni dalam bentuk topangan dana pendidikan. Dengan adanya pendidikan gratis di daerah setempat membuka kesempatan bagi anak-anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi dalam implementasinya, terjadi penyelewengan dana BOS yang menghambat terlaksananya program pendidikan gratis. Bahkan dana BOS yang diberikan tidak digunakan sesuai dengan juklak maupun juknis.
Temuan di daerah menunjukkan ada 47 sekolah dasar (SD) dan 123 sekolah menengah pertama (SMP) di 15 kabupaten atau kota yang belum membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu. 4. Dalam studi kasus di kota Jayapura-Papua, kebijakan biaya sekolah gratis juga telah diterapkan di sekolah-sekolah pada tingkat pendidikan dasar se-Jayapura (Hartopo, 2011). Pelaksanaan sekolah gratis di kota Jayapura telah dilaksanakan sejak tahun 2005. Sumber dana yang digunakan untuk penyelenggaraan sekolah gratis ialah berasal dari dana BOS (APBN), APBD kota Jayapura, dan BOS Provinsi. Penyelenggaraan sekolah gratis di kota Jayapura sebagai upaya untuk membantu meringankan biaya pendidikan yang ditanggung para orang tua siswa. Setelah diberlakukan sekolah gratis, di dalam penyelenggaraan pendidikan sudah tidak ada lagi pungutan dari sekolah. Meskipun demikian, dari hasil penelitian Hartopo menyatakan 87% orang tua siswa mengaku masih ada pungutan yang harus dibayar di sekolah, sedangkan 13% menyatakan tidak ada pungutan. Pungutan masih dibenarkan dengan persetujuan Komite Sekolah sebagai representatif orang tua yang menjadi forum untuk membantu penyelenggaraan pendidikan di sekolah.