BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Pembelajaran Matematika 1. Hakikat Matematika Penggunaan kalimat-kalimat matematika secara sadar maupun tidak telah sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menunjukkan bahwa matematika merupakan bahasa yang dapat dipakai secara universal, dan matematika adalah suatu ilmu terapan yang dapat membantu manusia untuk berkomunikasi menyelesaikan masalahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kline (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010, hlm. 4) yang mengatakan bahwa „Matematika itu bukan pengetahuan yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam‟. Matematika selain dapat membantu menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan suatu ilmu yang di dalamnya terdapat konsep-konsep yang tersusun berdasarkan pola, hingga karena pola tersebut menjadikan matematika ialah suatu seni, hal ini diungkapkan oleh Reys (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010, hlm. 4) bahwa „Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat‟. Matematika disebut sebagai ilmu tentang pola karena di dalam matematika sering dicari keseragaman seperti keterkaitan pola dari sekumpulan konsepkonsep tertentu untuk dibuat generalisasinya, sedangkan matematika disebut sebagai hubungan karena konsep-konsep dalam matematika saling memiliki hubungan. Matematika disebut sebagai suatu pola berpikir karena dilihat dari asal katanya yaitu mathematike yang juga berhubungan dengan kata yang hampir sama yaitu mathein atau mathenein yang berarti belajar (berpikir), menunjukkan bahwa pemecahan masalah dalam matematika didapat dari hasil proses berpikir. Menurut Courant & Robbin (dalam Wira, 2012) untuk dapat mengetahui apa matematika itu sebenarnya, seseorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika tersebut.
13
14
Matematika dapat dipelajari dengan baik bila disertai dengan proses berlatih mengerjakannya. Dalam proses belajar tersebut diperlukan keterlibatan berpikir, terlebih ketika mengerjakan soal matematika yang seringkali memiliki beragam penyelesaian. Semakin sering seseorang berlatih mengerjakan soal matematika, maka melatih orang tersebut juga untuk berpikir kritis, kreatif, dan berpikir tingkat tinggi lainnya. Pada pembahasan di atas, dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu tentang pola dan hubungan. Adanya pola keteraturan tersebut menghasilkan keindahan, seperti halnya pola angka pada sebuah bentuk. Hal itulah yang menjadikan matematika juga disebut sebagai seni. Berikut salahsatu contoh keindahan matematika berdasarkan pola yang dituangkan dalam angka: 1x8+1=9 12 x 8 + 2 = 98 123 x 8 + 3 = 987 1234 x 8 + 4 = 9876 12345 x 8 + 5 = 98765 123456 x 8 + 6 = 987654 1234567 x 8 + 7 = 9876543 12345678 x 8 + 8 = 98765432 123456789 x 8 + 9 = 987654321 Matematika disebut sebagai suatu bahasa dan suatu alat, karena notasi-notasi dalam matematika seperti penjumlahan (+), pengurangan (-), dan lain sebagainya seringkali dijadikan sebagai suatu bahasa lisan di masyarakat. Seluruh manusia mengerti notasi-notasi tersebut meskipun tidak semua orang mempelajari secara dalam matematika. Simbol-simbol dalam matematika juga sering diucapkan sebagai bahasa komunikasi yang berarti semua orang pun mengerti, oleh karenanya matematika dapat dikatakan sebagai bahasa yang universal karena dapat diterima secara umum dan sebagai alat komunikasi dalam penyelesaian masalah. Beragam pendapat di atas menggambarkan bahwa matematika tidak hanya suatu disiplin ilmu yang berisi simbol-simbol, namun juga memiliki pola yang indah dan peranan yang besar terhadap disiplin ilmu lainnya. Hal tersebut terbukti
15
dari kegunaannya yang dapat diterapkan pada pemecahan masalah dalam disiplin ilmu lain. 2. Hakikat Pembelajaran Matematika di SD a. Pembelajaran Matematika di SD Matematika merupakan matapelajaran yang juga diajarkan di sekolah dasar (SD). Cakupan materi dalam matematika merupakan hal yang abstrak, karena berisi simbol-simbol yang tidak ada dalam bentuk nyatanya. Sementara Piaget (dalam Pitajeng, 2006) pernah berpendapat bahwa tahapan umur pada peserta didik sekolah dasar (sekitar 6/7 - 11/12 tahun) berada pada periode operasi konkret, artinya peserta didik tidak akan dapat memahami matematika yang memiliki isi yang abstrak tanpa dibantu oleh benda-benda konkret karena peserta didik yang masih duduk di bangku SD belum dapat berpikir formal. Pendapat tersebutlah yang menjadi alasan, agar dalam mengajarkan matematika yang memiliki kajian materi yang abstrak di SD harus dengan media pembelajaran agar konsep matematika dapat dengan mudah dipahami oleh peserta didik. Suwangsih
&
Tiurlina
(2006)
berpendapat
mengenai
karakteristik
pembelajaran matematika di SD, yaitu sebagai berikut. 1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode spiral merupakan pembelajaran dengan mengaitkan konsep yang sedang dipelajari dengan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya. Konsep yang sedang dipelajari merupakan perluasan konsep sebelumnya sekaligus pematangan konsep yang ada di struktur kognitif peserta didik. Pembelajaran dimulai dari penggunaan benda konkret lalu dilanjutkan dengan pemahaman yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi matematika yang lebih umum. 2) Pembelajaran matematika bertahap Pembelajaran yang bertahap maksudnya pembelajaran dimulai dari hal yang paling sederhana menuju hal yang kompleks, atau dimulai dari sesuatu yang konkret ke semi konkret barulah dilanjutkan pada hal yang abstrak. Sebagai contoh, jika seorang guru ingin mengajarkan konsep perkalian pada peserta didik dapat dimulai dengan cara menjumlahkan secara berulang dulu dengan
16
menggunakan sebuah media, barulah konsep penjumlahan tersebut diubah menjadi konsep perkalian dengan tidak lagi menggunakan media. 3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif Metode induktif ialah metode yang dimulai dari suatu contoh-contoh kecil barulah kemudian ditarik menjadi sebuah generalisasi. Penggunaan metode induktif di SD dikarenakan pembelajaran harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental peserta didik di SD. Contoh: Pembelajaran bangun ruang tidak dimulai dari definisi, tetapi dimulai dengan cara memperlihatkan contoh-contoh dari bangun tersebut, mengenal namanya dan menentukan sifat-sifat yang terdapat dalam bangun ruang tersebut sampai kepada pemahaman konsep bangun-bangun ruang. Akan tetapi, setelah peserta didik sudah duduk pada sekolah menengah pertama dan atas, pembuktian dalam matematika dilakukan dengan metode deduktif. 4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi Kebenaran dalam matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada pertentangan antara satu kebenaran dengan kebenaran lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar jika telah didasarkan kepada pernyataan-pernyataan sebelumnya. 5) Pembelajaran matematika hendaknya bermakna Konsep pembelajaran bermakna yakni pembelajaran yang didasarkan kepada pengertian dan kegiatan penemuan sendiri jadi bukan didasarkan pada hapalan. Dalam pembelajaran matematika di SD, aturan-aturan, sifat-sifat, dan dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, melainkan peserta didik dibimbing untuk menemukan sendiri melalui contoh-contoh secara induktif agar lebih diingat oleh peserta didik. Proses pembelajaran dengan peserta didik yang mengkonstruksi ilmu pengetahuannya itulah yang menjadikan pembelajaran bermakna. b. Tujuan Pembelajaran Matematika di SD Matematika selalu digunakan dalam berbagai bidang kehidupan karena segala hal dalam kehidupan ini memerlukan keterampilan matematika seperti berhitung, membaca grafik, berjualan, dan sebagainya. Oleh karenanya matematika menjadi
17
subjek pelajaran yang penting sejak di SD, karena peserta didik harus terbiasa dilatih pembelajaran matematika dengan soal-soal yang beragam. Adapun tujuan pembelajaran matematika di SD tersebut dapat dilihat di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BSNP, 2006, hlm. 30) yaitu sebagai berikut. 1.
2.
3.
4. 5.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algortima, secara luwes, akurat, efesien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirikan solusi yang diperoleh. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika sifat-sifat ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum di atas terangkum dalam Maulana (2011) mengenai kemampuan matematika tingkat tinggi. c. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di SD Ruang lingkup mata pelajaran matematika menurut Adjie & Maulana (2006) yaitu sebagai berikut ini. 1) Bilangan. Materi ini mencakup melakukan dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah dan menaksir operasi hitung. 2) Pengukuran dan Geometri. Materi ini mencakup mengidentifikasi bangun datar dan bangun ruang menurut sifat, unsur, atau kesebangunannya; melakukan operasi hitung yang melibatkan keliling, luas, volume, dan satuan pengukuran, menaksir ukuran (misalnya panjang, luas, volume) dari benda atau bangun geometri; menentukan dan menggambarkan letak titik atau benda dalam sistem kordinat. 3) Pengelolaan Data. Materi ini mencakup mengumpulkan, menyajikan, dan menafsirkan data (ukuran pemusatan data).
18
Materi dalam penelitian ini termasuk kepada bidang kajian geometri. Lebih tepatnya, pada subpokok bahasan bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. Materi yang tercakup dalam subpokok bahasan ini adalah bangun kubus dan balok beserta jaring-jaringnya. Adapun materi tersebut terdapat pada standar kompetensi nomor 8 yakni memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun datar. Kompetensi dasar yang akan diteliti yaitu 8.1 yakni menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana dan 8.2 yakni menentukan jaring-jaring balok dan kubus. Berikut ini merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar matapelajaran matematika untuk kelas IV semester 2 yang tercantum di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Badan Nasional Satuan Pendidikan (BNSP), 2006, hlm. 33-34) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk Materi Geometri Bangun Ruang dan Jaring-jaringnya Kelas IV Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Geometri dan Pengukuran 8. Memahami sifat bangun ruang 8.1Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana sederhana dan hubungan antar bangun 8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus datar Sumber: Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MI, BSNP Tahun 2006.
B. Kemampuan Pemahaman Matematis Maulana
(2011)
mengatakan
bahwa
kemampuan
matematika
yang
ditargetkan dalam kurikulum ialah pemahaman matematis, pemecahan masalah matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, dan komunikasi matematis. Penelitian ini membahas mengenai kemampuan pemahaman matematis peserta didik pada materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. Adapun pemfokusan terhadap bangun ruang sederhana didasarkan kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Soejadi (dalam Nur‟aeni, 2008, hlm. 2) yang menyebutkan antara lain. 1. Peserta didik sukar mengenali dan memahami bangun-bangun geometri terutama bangun ruang serta unsur-unsurnya, 2. Peserta didik sulit menyebutkan unsur-unsur bangun ruang, misal peserta didik menyatakan bahwa pengertian rusuk bangun ruang sama dengan sisi bangun datar. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik akan materi bangun ruang masih rendah. Peserta didik hanya mengenal bentuk dari
19
bangun ruang, tidak memahami mendalam sifat-sifat yang dimiliki dari bangun ruang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada proses pembelajarannya, guru kurang memberikan pembelajaran yang bermakna pada peserta didik dan pusat pembelajaran ialah guru (teacher centered). Sebenarnya pembelajaran dengan menerapkan teacher centered tidak terlalu buruk, hanya pada peserta didik yang tidak memiliki kemampuan mendengar dan menyimak yang baik akan kesulitan untuk mengikuti pembelajaran, terlebih ketika karakteristik peserta didik yang diajar tersebut cepat bosan dengan sistem pembelajaran yang berpusat pada guru. Menurut Sanjaya (dalam Mediaharja, 2012) pemahaman adalah kemampuan peserta didik yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, yang tidak hanya sekedar mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Adapun kemampuan pemahaman matematis ialah kemampuan yang dimiliki seseorang ketika ia dapat menjelaskan kembali maksud dari suatu informasi yang berhubungan dengan matematika dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti, serta mampu memikirkan strategi penyelesaian masalah yang berhubungan dengan matematika. Pada saat pembelajaran, peserta didik harus diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri materi yang sedang dipelajari dengan menggunakan benda-benda konkret. Dengan begitu pembelajaran akan lebih bermakna. Kemampuan pemahaman matematis memiliki beragam jenis menurut para ahli, jenis-jenis tersebut dapat dikembangkan menjadi indikator. Polya (dalam Maulana, 2011, hlm. 53-54) mengatakan bahwa kemampuan pemahaman matematik terdiri dari empat tahap, yaitu: 1. Pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh kemampuan mengingat dan menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana. 2. Pemahaman induktif, yaitu dapat menerapkan rumus atau konsep dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa. 3. Pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran suatu rumus atau teorema. 4. Pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran tanpa raguragu sebelum menganalisis lebih lanjut.
20
Kemampuan
pemahaman
menurut
Pollatsek
yakni
pemahaman
komputasional dan pemahaman fungsional telah dijelaskan pada Bab I. Sementara Skemp (dalam Maulana, 2011, hlm. 54) mengklasifikasikan pemahaman ke dalam dua jenis, yaitu. 1. Pemahaman instrumental, dengan ciri hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan melakukan pengerjaan hitung secara algoritmik. 2. Pemahaman relasional, yakni mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya, atau suatu prinsip dengan prinsip lainnya. Beragam jenis pemahaman matematis menurut para ahli di atas tidak akan diteliti seluruhnya, namun penelitian ini membatasi jenis pemahaman matematis menurut Pollatsek. C. Teori
yang
Mendukung
Pendekatan
Generatif,
Kemampuan
Pemahaman Matematis dan Pengajaran Geometri di SD Menurut Orton (dalam Pitajeng, 2006, hlm. 27) „Untuk mengajar matematika diperlukan teori, yang digunakan antara lain untuk membuat keputusan di kelas‟. Selain itu, teori belajar juga diperlukan untuk mengobservasi tingkah laku peserta didik dalam pembelajaran. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang guru dalam menentukan suatu pendekatan yang tepat digunakan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, selain tentunya bermakna. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa seorang guru harus memahami teori belajar yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan peserta didik. Penelitian ini membahas mengenai salahsatu pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika yakni pendekatan generatif, dan pengaruhnya terhadap kemampuan pemahaman matematis dalam materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. Berikut beberapa teori belajar yang melandasi ketiganya. 1. Teori Belajar Jean Piaget Piaget (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010) terkenal dengan teori perkembangan mentalnya, bahwa perkembangan mental setiap orang melewati empat tahap. Adapun tahapan-tahapannya dipaparkan di halaman selanjutnya.
21
a.
Tahap sensori motor Tahap sensori motor dimulai dari anak lahir sampai sekitar umur 2 tahun.
Adapun ciri dari tahap sensori motor menurut pendapat Maulana (2011, hlm. 70) ialah sebagai berikut. 1) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya. 2) Anak berpikir/belajar melalui perbuatan dan gerak. 3) Anak belajar mengaitkan simbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih sukar. Misal: mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan. 4) Mulai mengotak-atik benda. b. Tahap pra operasional Tahap ini berada pada rentang umur 2-7 tahun. Perkembangan kemampuan pada tahap ini
yaitu
anak
dapat
menggunakan simbol-simbol untuk
menggambarkan objek yang ada di sekitarnya, menggunakan bahasa untuk menyatakan ide yang ada dalam pikirannya melalui kalimat pendek yang mereka ucapkan, selain itu anak sudah dapat melakukan peniruan. c. Tahap operasional konkret Tahap ini berada pada rentang umur 7-11 tahun. Menurut Maulana (2011, hlm. 73), “Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak”. Penggunaan benda-benda konkret sangat diperlukan untuk membuat anak paham mengenai sesuatu hal. Selain itu, anak yang ada dalam tahap operasional konkret sudah mampu melihat sudut pandang orang lain dan mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai senang untuk membuat benda bentukan. d. Tahap operasional formal Tahap ini ada pada umur 11-dewasa. Anak sudah dapat berpikir secara abstrak, tidak lagi memerlukan bantuan media konkret dalam upaya membuat dirinya paham akan sesuatu hal, dapat menganalisis masalah secara ilmiah dan kemudian menyelesaikan masalah. Lebih lanjut, Piaget (dalam Pitajeng, 2006, hlm. 28) juga menyebutkan bahwa „Perkembangan belajar matematika anak melalui empat tahap yaitu tahap konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak‟. Pada tahap konkret peserta didik usia SD harus mendapatkan suatu pengalaman belajar secara langsung, mereka harus
22
mencoba sendiri apa yang sedang mereka pelajari atau guru memanipulasi objekobjek konkret untuk peserta didik. Pada tahap semi konkret, peserta didik sudah tidak memerlukan suatu manipulasi objek tetapi hanya diberikan gambaran materi yang sedang dipelajari. Pada tahap semi abstrak, peserta didik akan masuk ke dalam pemanipulasian simbol atau notasi matematika pada objek-objek konkret tersebut sebagai langkah awal mereka untuk mampu berpikir abstrak, sedangkan pada tahap abstrak, peserta didik sudah dapat membaca notasi matematika dan sudah tidak memerlukan pemanipulasian objek. Pendekatan generatif
juga memperhatikan perkembangan mental peserta
didik. Adanya tahap pengungkapan ide yang dibantu dengan penggunaan media pembelajaran yang dibuat konkret bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik yang masih dalam tahap operasional konkret. Tahapan-tahapan pembelajaran dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan generatif juga memfasilitasi peserta didik untuk mengotak-atik media pembelajaran guna menemukan sendiri konsep materi yang sedang dipelajari. 2. Teori Belajar David Ausubel Sejalan dengan teori belajar Piaget, teori belajar Ausubel juga terkenal dengan konsep belajar bermaknanya. Ausubel (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010) berpendapat mengenai bahan pelajaran yang diberikan untuk peserta didik haruslah yang bermakna, artinya bahan yang dipelajari itu harus sesuai dengan kemampuan peserta didik dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Oleh karenanya dalam melakukan pengajaran, seorang guru haruslah mengaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki oleh struktur kognitif peserta didik, sehingga konsep-konsep baru yang dipelajari benar-benar terserap dalam otaknya dan tersimpan dalam memori jangka panjang. Menurut Ausubel (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010) antara belajar menemukan dengan menerima itu berbeda. Pada belajar menemukan, peserta didik sendiri yang menemukan konsep yang sedang dipelajari, sedangkan belajar menerima, peserta didik tidak menemukan secara langsung konsep yang sedang dipelajari
melainkan
diberikan
oleh
guru
dan
peserta
didik
tinggal
menghapalkannya. Belajar menemukan akan membuat pembelajaran menjadi
23
bermakna karena materi yang telah diperolehnya akan dikembangkan kembali oleh mereka sendiri dalam situasi lain sehingga mereka lebih bisa mengerti. Kaitan antara pendekatan generatif dengan teori Ausubel ialah pada proses kebermaknaan belajar. Keduanya sama-sama mewujudkan proses kebermaknaan belajar dengan cara mengaitkan konsep materi yang akan dipelajari dengan konsep pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Selain itu, proses pembelajaran yang membimbing dan mengarahkan agar peserta didik menemukan konsep materi juga yang membuat pendekatan generatif memiliki kaitan erat dengan teori Ausubel. Keterkaitan-keterkaitan tersebutlah yang menjadikan alasan bahwa teori Ausubel salahsatu teori yang melandasi pendekatan generatif. 3. Teori belajar Jerome Bruner Bruner (dalam Ruseffendi, 1992, hlm. 109) menjelaskan bahwa „Belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsepkonsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur‟. Teori Bruner sejalan dengan Teori Ausubel bahwa dalam pembelajaran hendaknya menerapkan
konstruktivisme
pada
peserta
didik.
Dalam
pandangan
konstruktivisme, cara memperoleh akan lebih sering diingat daripada cara menghapal, meskipun hapalan juga penting untuk diterapkan. Pendapat Bruner (dalam Amelia, 2010, hlm. 36) mengenai teorema konstruktivisme tersebut yakni „Dalam teori konstruksi cara berpikir terbaik bagi seorang anak untuk belajar konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksikan konsep dan prinsip itu‟. Selain itu, Bruner (dalam Ruseffendi dkk, 1992) juga menyatakan bahwa peserta didik melewati 3 tahap pada proses belajarnya, yaitu: a. Tahap Enaktif Dalam tahap ini peserta didik dilibatkan dalam pemanipulasian objek dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengalaman belajar dengan benda-benda konkret dan dapat lebih memahami konsep dari materi yang diajarkan. b. Tahap Ikonik Pada tahap ini, peserta didik sudah mulai bisa untuk membayangkan objekobjek berkat pemanipulasian yang telah ia mainkan. Misalnya, cukup hanya
24
menunjukkan sebuah gambar atau sajian grafik dan penjelasan singkat, maka peserta didik sudah mampu menggambarkan grafik tersebut. c. Tahap Simbolik Dalam tahap ini peserta didik sudah mulai dapat menuliskan simbol atau notasi matematika pada objek-objek tertentu tanpa ketergantungan terhadap objek real/konkret. Sama halnya dengan kaitan teori Ausubel, kaitan antara pendekatan generatif dengan teori Bruner ialah bagaimana pengetahuan harus dikonstruks sendiri oleh peserta didik dengan mengaitkan informasi baru itu dengan informasi pengetahuan yang sudah ada sebelumnya di otak. Teori Bruner dan pendekatan generatif juga mementingkan pemberian konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan. Pada tahap awal pendekatan generatif, yaitu tahap orientasi dan pengungkapan ide, pembelajaran akan difokuskan untuk membimbing peserta didik menemukan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan. Pembelajaran dalam penelitian ini juga memperhatikan tiga tahap proses belajar yang mana peserta didik masuk ke dalam tahap enaktif yang masih membutuhkan pemanipulasian benda-benda konkret dalam belajar. Adanya media pembelajaran yang digunakan mengacu kepada tahap enaktif pada teori Bruner, dan tahap operasional konkret pada teori Piaget. 4. Teori belajar Van Hiele Teori belajar Van Hiele ialah teori belajar yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental peserta didik dalam mempelajari geometri. Van Hiele (dalam Pitajeng, 2006) mengatakan bahwa terdapat lima tahapan belajar peserta didik dalam mempelajari geometri, yaitu sebagai berikut. a.
Tahap pengenalan Tahap ini ialah ketika peserta didik sudah mengenal bentuk bangun ruang,
seperti bangun ruang kubus, balok dan sebagainya. Namun, tahap pengenalan pada peserta didik hanya sampai melakukan pengamatan terhadap bentuk bangun ruang saja. b.
Tahap analisis Pada tahap ini, peserta didik sudah mulai mempelajari sifat-sifat dari bangun
ruang. Penganalisisan yang dilakukan peserta didik bisa dilakukan melalui
25
pengamatan, pada tahap analisis peserta didik sudah mampu menganalisis sifatsifat bangun kubus seperti memiliki 6 sisi yang besarnya sama, 12 rusuknya sama panjang dan sudah dapat membedakan bangun kubus dengan balok berdasarkan ciri-ciri sifatnya. c.
Tahap pengurutan Tahap ini ialah ketika peserta didik sudah mampu menarik kesimpulan, atau
kata lainnya ialah sudah bisa berpikir deduktif, meskipun kemampuan ini belum sepenuhnya berkembang. Pada tahap ini peserta didik telah dapat mengklasifikasi dan menggeneralisasi sifat-sifat, sudah mengenal bentuk-bentuk geometri, memahami sifat-sifatnya, dan juga sudah mampu untuk mengurutkan bentukbentuk geometri yang satu sama lain saling berhubungan. d.
Tahap deduksi Dalam tahap ini peserta didik sudah dapat menarik kesimpulan secara
deduktif. Ia telah mengerti unsur tak terdefinisi seperti titik dan garis memiliki peranan yang penting di samping unsur yang terdefinisikan. e.
Tahap akurasi Tahap ini peserta didik sudah mulai menyadari pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karenanya tidak heran jika terdapat peserta didik yang masih belum sampai pada tahapan ini. Penelitian ini berfokus kepada materi bangun ruang dan jaring-jaringnya, karena itulah pembelajaran dalam penelitian ini juga dilandaskan pada teori Van Hiele. Tahapan-tahapan generatif yang akan diterapkan dalam pembelajaran juga mengacu kepada tahapan-tahapan dalam Teori Van Hiele. D. Bangun Ruang Sederhana dan Jaring-jaringnya Bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya ialah materi matematika yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Alasan memilih materi bangun ruang dan jaring-jaringnya ialah karena materi matematika ini mudah untuk dibuatkan media konkret untuk membantu peserta didik mencapai pemahaman matematis. Selain itu, terdapat banyaknya bentuk-bentuk bangun ruang yang ada di sekitar peserta didik, makin memudahkan guru dalam proses pembelajaran.
26
Bangun ruang disebut juga bangun tiga dimensi. Bangun ruang merupakan sebuah bangun yang memiliki ruang yang dibatasi oleh beberapa sisi, sedangkan jaring-jaring ialah susunan bangun datar yang membentuk bangun ruang. Dalam penelitian ini sifat-sifat dari bangun ruang difokuskan pada panjang rusuk, bentuk daerah sisi, dan titik sudut. Sisi adalah bidang-bidang yang membatasi kubus. Rusuk ialah garis-garis yang merupakan pertemuan dua sisi. Titik sudut adalah titik pertemuan dari tiga buah rusuk pada bangun ruang. 1. Kubus H
G
E F D C B
A
Gambar 2.1 Bangun Kubus Nama bangun ruang di atas ialah kubus ABCD.EFGH. Kubus ialah sebuah bangun ruang yang dibatasi oleh enam persegi yang berukuran sama. Kubus memiliki sifat-sifat sebagai berikut. a. Memiliki 8 titik sudut yaitu A, B, C, D, E, F, G, dan H b. Memiliki 12 rusuk yang sama panjang, rusuk AB = rusuk BC = rusuk CD = rusuk AD = rusuk BF = rusuk AE = rusuk CG = rusuk DH= rusuk GH = rusuk GF = rusuk FE = rusuk HE c. Memiliki 6 buah sisi berbentuk persegi yang saling kongruen yaitu ABCD, EFGH, ABFE, DCGH, BCGF, dan ADHE 2. Balok Balok adalah bangun ruang tiga dimensi yang dibentuk oleh tiga pasang persegi atau persegipanjang, dengan terdapat minimal satu pasang di antaranya berukuran berbeda. Bentuk balok dapat dengan mudah ditemukan di lingkungan
27
sekitar, seperti kardus-kardus pembungkus barang. Berikut contoh gambar bangun balok. H
G
E F
D
C A
B Gambar 2.2 Bangun Balok
Balok memiliki sifat-sifat sebagai berikut. a.
Memiliki 8 titik sudut A, B, C, D, E, F, G, dan H.
b.
Memiliki 12 rusuk, rusuk yang sejajar memiliki panjang yang sama, sehingga, Rusuk AB = rusuk EF = rusuk HG = rusuk DC Rusuk BC = rusuk FG = rusuk EH = rusuk AD Rusuk AE = rusuk BF = rusuk CG = rusuk DH
c.
Memiliki 6 buah sisi berbentuk persegipanjang, dengan sisi yang berhadapan sama besar, sehingga, sisi ABCD = sisi EFGH sisi ABFE = sisi CDGH sisi BCGF = sisi ADHE
3.
Persamaan sifat-sifat bangun kubus dan balok
a.
Memiliki jumlah sisi yang sama yaitu 6 buah.
b.
Memiliki jumlah rusuk yang sama yaitu 12 rusuk.
c.
Memiliki jumlah titik sudut yang sama yaitu 8 buah.
4.
Perbedaan sifat-sifat bangun kubus dan balok Tabel 2.2 Perbedaan Sifat-sifat Bangun Kubus dan Balok Kubus Setiap rusuk memiliki ukuran panjang yang sama Setiap sisi memiliki ukuran luas yang sama. Semua sisi berbetuk persegi
Balok Ukuran panjang rusuknya berbeda. Pasangan sisi yang saling berhadapan sama luasnya Bentuk sisi persegipanjang, namun ada yang sebagian persegi
28
5. Jaring-jaring kubus Jaring-jaring kubus ialah susunan bangun datar persegi yang jika dilipat menurut ruas-ruas garis pada dua persegi yang berdekatan akan membentuk bangun kubus. Jaring-jaring bangun kubus terdiri atas enam buah persegi. Pembelajaran jaring-jaring dalam penelitian ini dengan cara membuka sisisisinya. Guru menyiapkan kubus satuan yang terbuat dari karton, kemudian guru meminta peserta didik untuk memotong sepanjang garis tepi kotak, namun dengan syarat tidak boleh ada bagian yang terputus. Seperti pada gambar di halaman selanjutnya.
Gambar 2.3 Ilustrasi Pemotongan Bangun Kubus Setelahnya, peserta didik diminta untuk menggambarkan hasil pemotongan tersebuh dan menunjukkannya kepada peserta didik lainnya agar yang lain mengetahui bahwa kubus memiliki lebih dari satu jaring-jaring. Berikut ini adalah beberapa model-model jaring-jaring kubus.
Gambar 2.4 Jaring-jaring Kubus
29
6. Jaring-jaring balok Jaring-jaring balok ialah gabungan dari beberapa persegipanjang dan persegi yang membentuk balok. Balok memiliki 54 model jaring-jaring yang merupakan hasil pengembangan dari jaring-jaring kubus. Sama hal nya dengan pembelajaran kubus, pembelajaran jaring-jaring balok juga dilakukan dengan cara membuka sisi-sisi tiap bangun balok. Di bawah ini dapat dilihat ilustrasi pemotongan bangun ruang balok.
Gambar 2.5 Ilustrasi Pemotongan Bangun Balok Di bawah ini adalah beberapa contoh jaring-jaring balok tersebut.
Gambar 2.6 Jaring-jaring Balok E. Pendekatan Pembelajaran Konvensional Ekspositori 1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Konvensional Ekspositori Selain menggunakan pendekatan generatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konvensional di kelas yang berbeda yaitu di kelas kontrol. Hasil dari
30
penerapan pendekatan di dua kelas tersebut, nantinya akan dibandingkan. Pendekatan konvensional dalam penelitian ini ialah pendekatan yang biasa dilakukan guru pada saat mengajar, yakni pendekatan konvensional dengan metode ekspositori. Menurut Sanjaya (2006) metode pembelajaran ekspositori ialah metode pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada kelompok peserta didik dengan maksud agar peserta didik dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Jadi metode ekspositori lebih menekankan kepada proses menjelaskan materi secara ceramah, bertanya jawab dan kemudian pemberian latihan soal yang dapat dilakukan secara individu ataupun kelompok. 2. Langkah-langkah Pembelajaran Konvensional Ekspositori Pada pelaksanaannya, pendekatan konvensional ekspositori memiliki tahapan-tahapan. Sanjaya (2006) berpendapat bahwa secara garis besar tahapantahapan pendekatan konvensional ekspositori terdiri dari tahap persiapan, tahap penyajian, tahap korelasi, tahap menyimpulkan, dan tahap pengaplikasian. Adapun penjelasan mengenai tahapannya ialah sebagai berikut. a. Tahap persiapan Tahap ini ialah tahap untuk mempersiapkan peserta didik untuk belajar. Pemberian motivasi diberikan pada tahap ini bertujuan agar peserta didik memiliki minat untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu, dan pada tahap ini pula guru harus menciptakan suasana pembelajaran yang terbuka dan menyenangkan untuk menarik minat peserta didik agar semangat belajar. b. Tahap penyajian Penyajian materi dilakukan oleh guru dengan cara menjelaskan konsep kepada peserta didik yang dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Jika dilakukan secara lisan, maka yang perlu diperhatikan ialah intonasi suara dan penggunaan bahasa serta tak lupa gaya penyampaian guru yang menyenangkan agar terhindar dari kebosanan dan mengantuk. c. Tahap menghubungkan Tahap menghubungkan ialah tahap yang dilakukan guru melalui tanya jawab dengan peserta didik. Hal itu dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman
31
peserta didik terhadap suatu materi dengan pemahaman yang seharusnya mereka mengerti. Pada tahap ini juga terdapat pengaitan materi yang sedang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari dan materi yang sudah peserta didik pelajari sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas kemampuan pemahaman peserta didik terhadap materi. d. Tahap menyimpulkan Tahap ini dilakukan dengan mengulang inti-inti materi pelajaran dan melakukan tanya jawab terhadap materi. Tahap menyimpulkan dalam peneltian ini terdapat
sebelum peserta didik diberikan latihan-latihan soal. Biasanya
dilakukan oleh guru dengan membimbing peserta didik untuk mengulang materi yang sudah tersampaikan. Pengulangan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman tentang materi yang diajarkan, dan agar peserta didik tetap fokus pada materi yang sedang dipelajari hari itu. e. Tahap pengaplikasian Tahap pengaplikasian ialah tahap pemberian latihan soal kepada peserta didik yang dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman peserta didik pada waktu menyimak konsep pelajaran yang diberikan oleh guru. 3. Keunggulan Pendekatan Konvensional Ekspositori Pendekatan konvensional tidak selamanya buruk untuk diterapkan, asalkan guru mampu mengomptimalkan kinerja selama mengajar dengan pendekatan ini. Pendekatan konvensional dengan metode ekspositori juga memiliki keunggulan dan kelemahan. Menurut Sakdiah (2012) keunggulan dari pendekatan ini adalah guru dapat mengontrol urutan dan keluasan materi yang akan diajarkan, waktu yang dimiliki dapat disesuaikan sehingga biasanya guru yang menggunakan pendekatan konvensional ekspositori tidak akan terlalu bermasalah dengan waktu mengajar, dapat diterapkan dalam kelas dengan jumlah peserta didik yang besar, dan peserta didik dapat mendengar langsung penjelasan materi dari guru. 4. Kelemahan Pendekatan Konvensional Ekspositori Adapun kelemahan pendekatan konvensional ekspositori masih menurut Sakdiah (2012) ialah hanya dapat dilakukan pada peserta didik yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak yang baik, sulit mengembangkan
32
kemampuan dan bakat peserta didik, gaya komunikasi hanya terjadi satu arah yang didominasi oleh guru, sehingga beresiko menimbulkan kebosanan bahkan mengantuk pada peserta didik. Adapun sintaks tahapan pendekatan konvensional ekspositori terhadap materi bangun ruang sederhana dapat dilihat pada Tabel 2.3 yang ada di halaman selanjutnya. Tabel 2.3 Sintaks Pembelajaran Bangun Ruang dengan Pendekatan Konvensional Ekspositori Kegiatan Pembelajaran Kegiatan Awal
Tahapan Pendekatan Konvensional Ekspositori Tahap Persiapan
Kegiatan Inti
Tahap penyajian Tahap menyambungkan
Tahap menyimpulkan
Tahap Aplikasi
Kegiatan Akhir
Kegiatan yang Dilakukan 1.
Guru melakukan apersepsi materi pelajaran melalui tanya jawab bangun ruang yang sering peserta didik temui di lingkungan sekitar mereka. 2. Guru mengingatkan peserta didik terhadap materi bangun datar sebagai bangun yang membentuk bangun ruang. 3. Guru menjelaskan tujuan dan langkah pembelajaran. 4. Guru menyampaikan materi bangun ruang dengan cara ceramah. 5. Guru melakukan tanya jawab terhadap materi bangun ruang yang sudah diberikan guru dan meminta contoh dari materi dalam kehidupan seharihari, agar pemahaman peserta didik semakin meningkat. 6. Guru mengulang inti-inti materi pelajaran tentang bangun ruang bersama dengan peserta didik. 7. Guru memberikan latihan soal kepada peserta didik untuk dikerjakan kelompok. 8. Guru dan peserta didik membahas latihan soal tersebut. 9. Guru melakukan refleksi pembelajaran dan mengambil manfaat pembelajaran. 10. Guru menutup pembelajaran hari ini.
F. Pendekatan Pembelajaran Generatif 1. Pengertian dan Konsep Dasar Pendekatan Pembelajaran Generatif Pendekatan generatif dipilih karena pendekatan ini sesuai dengan materi yang akan diajarkan dan juga sesuai dengan kemampuan pemahaman matematis.
33
Menurut Hassard (dalam Lusiana, dkk. 2009, hlm. 30) „The generative learning model is a teaching sequence based on the view that knowledge is contructed by the learner‟, maksudnya pendekatan generatif adalah suatu pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pengetahuan itu dikonstruksi oleh peserta didik sendiri atau yang disebut dengan pandangan kontrukstivisme. Pendekatan generatif yang dilakukan secara benar oleh guru, dapat mengembangkan minat peserta didik terhadap pelajaran sehingga mereka aktif. Menurut Waluya (2009, hlm. 22) “Intisari dari pendekatan generatif bahwa otak tidak
menerima
informasi
dengan
pasif
melainkan
justru
juga
aktif
mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut kemudian membuat kesimpulan”. Proses konstruksi ini dilakukan dengan cara mengaitkan antara konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik dengan konsep yang akan mereka pelajari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wittrock (dalam Amelia, 2010, hlm. 37) bahwa “Model generatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa membangun pengetahuan (memperoleh pemahaman) dengan menghubungkan pengetahuan (pengalaman) yang telah ada sebelumnya dengan informasi yang baru”. Salahsatu kelebihan dengan adanya pengkonstruksian pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik, dapat membuat pembelajaran menjadi lebih efektif, karena peserta didik lah yang mencari, mempelajari langsung, dan menjelaskan konsep materi yang sedang dipelajari sedangkan guru sebagai fasilitator. Hal itu sejalan dengan pendapat Eugen dan Kauchak (dalam Yulianus, 2013) bahwa pembelajaran akan efektif jika peserta didik secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan). Pendekatan generatif bertujuan untuk memperkenalkan konsep materi baru namun juga dapat memahami konsep materi baru tersebut terhadap apa yang telah mereka ketahui sebelumnya. Adapun karakteristik pendekatan generatif menurut Holil (2008) yaitu berpusat pada peserta didik, berlandasan teori konstruktivisme, peserta didik secara aktif membangun makna dari pembelajaran, pengajaran dimulai
dari
masalah-masalah
kompleks
untuk
dipecahkan,
adanya
pengelompokkan peserta didik saat pembelajaran, dan didasarkan kepada pengalaman peserta didik
34
2. Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Generatif Menurut Osborne dan Wittrock (dalam Lusiana, dkk. 2009, hlm. 30) „Model pembelajaran generatif mempunyai empat tahapan, yaitu: (1) the preliminary step (tahap persiapan), (2) the focus step (tahap menfokuskan), (3) the challenge step (tahap tantangan), dan (4) the application step (tahap aplikasi)‟. Mengacu dari empat tahapan Osborne dan Wittrock yang dikutip oleh Lusiana, dkk., Waluya (2009) juga mengemukakan tahapan pembelajaran generatif menurut Osborne dan Wittrock, yaitu (1) tahap orientasi, (2) tahap pengungkapan ide, (3) tahap tantangan dan restrukturisasi, (4) tahap penerapan, dan (5) tahap melihat kembali. Selanjutnya, terdapat peneliti lain yang mengembangkan tahapan pendekatan generatif menurut Osborne dan Wittrock yaitu tahapan pendekatan generatif menurut Khalidin (dalam Hutapea, 2012) yang menyatakan bahwa langkahlangkah pendekatan generatif terdiri dari enam tahap, yakni tahap orientasi, tahap pengungkapan ide, tahap tantangan dan restrukturisasi, tahap penerapan, tahap melihat kembali, dan tahap generalisasi. Berdasarkan beberapa penjelasan tahapan generatif di atas, tahapan pendekatan generatif dalam penelitian ini menggunakan tahapan
yang
dikembangkan oleh Khalidin, sebab tahapan pendekatannya tertulis secara rinci namun tetap mengacu kepada empat tahapan menurut Osborn dan Wittrock. Tahap orientasi, dalam tahap ini peserta didik akan dijelaskan mengenai serangkaian kegiatan serta tujuan yang akan mereka laksanakan dalam pembelajaran. Guru melakukan tanya jawaba dengan peserta didik untuk akan mengetahui pengetahuan awal mereka mengenai materi yang akan dipelajari. Pengetahuan awal tersebut akan menjadi titik tolak pembelajaran yang akan dilakukan. Tahap ini juga tahap pemberian motivasi yang diberikan guru. Tahap pengungkapan ide yaitu tahap ketika guru memperkenalkan suatu materi kepada peserta didik dan melakukan tanya jawab mengenai materi tersebut. Dalam tahap ini guru bertugas membangkitkan motivasi peserta didik agar aktif merespon dan mengungkapkan ide mereka mengenai materi. Pada tahap tantangan dan restrukturisasi, peserta didik akan diberikan suatu tantangan. Untuk menemukan penyelesaian konteks masalah, guru membagi peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk memudahkan peserta
35
didik dalam menyelesaikan soal-soal tantangan dari guru. Hal ini didasarkan pada pendapat menurut Slavin (Yulianus, 2013) yakni dalam proses pembelajaran peserta didik akan lebih mudah dalam memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikannya bersama dengan teman-temannya. Pada tahap penerapan, peserta didik sudah menemukan cara penyelesaian masalah yang diberikan guru, lalu cara tersebut diterapkan untuk menyelesaikan masalah dengan kondisi soal yang lain. Tahap penerapan bisa juga dijadikan tahapan evaluasi dalam pembelajaran. Tahap melihat kembali, yaitu tahap ketika peserta didik sudah menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru, kemudian dilajutkan untuk saling memberikan koreksi mengenai pengerjaan mereka sendiri, sehingga mereka secara mandiri dapat mengetahui dimana kesalahan mereka. Tahap generalisasi, yaitu tahap ketika guru membimbing peserta didik untuk menarik generalisasi dari materi yang sudah dipelajari sekaligus membimbing peserta didik merangkum serta mengelaborasi pemahaman dan penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah diperoleh. 3. Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Generatif Menurut Imam (dalam Dika, 2013) kelebihan pembelajaran generatif antara lain (1) pembelajaran generatif memberikan peluang kepada peserta didik untuk belajar secara kooperatif, (2) merangsang rasa ingin tahu peserta didik, (3) meningkatkan keterampilan proses, (4) meningkatkan aktivitas belajar peserta didik, di antaranya dengan bertukar pikiran dengan peserta didik lainnya, menjawab pertanyaan dari guru melalui tahap pengungkapan ide, berani tampil untuk mempresentasikan hasil pengerjaannya bersama dengan teman sekelompok. Selain itu, menurut Hutapea (2012, hlm. 46) Langkah-langkah yang dikemukakan dalam pendekatan generatif sangat menguntungkan guru memahami cara berpikir siswa dan membantu memodifikasi jawaban siswa. Selain itu juga guru dapat mengetahui darimana dan bagaimana siswa memperoleh jawaban itu. Kesulitan siswa dalam memahami, mengkomunikasikan ide-ide matematis dan memecahkan masalah dapat dibantu/difasilitasi oleh guru.
36
Selain itu, pendekatan pembelajaran generatif juga dapat melatih tanggung jawab pada diri peserta didik untuk bekerjasama dan membantu teman satu kelompoknya yang mengalami kesulitan. 4. Kekurangan Pendekatan Generatif Menurut Imam (dalam Dika, 2013) kekurangan yang terdapat dalam pendekatan generatif ialah memerlukan waktu yang relatif lama. Hal itu disebabkan pendekatan generatif mengharuskan peserta didik untuk membangun sendiri pengetahuan mereka, sehingga jika guru tidak membimbingnya ditakutkan adanya kesalahan konsep pada peserta didik. Oleh karenanya, jika ingin kekurangan ini dihindari, guru harus banyak berlatih menerapkan pendekatan generatif di kelas sehingga dapat belajar untuk menyesuaikan alokasi waktu yang tersedia dengan materi yang hendak diajarkan dan juga saling bertukar pikiran dengan sesama ahli pendidikan yang lebih memahami pendekatan pembelajaran generatif. Selain itu, guru dapat membimbing peserta didik dalam mengaitkan hubungan materi yang sedang dipelajari dengan materi sebelumnya yang ada pada tahap tantangan dan tahap pengungkapan ide agar tidak memakan waktu yang terlalu lama bagi peserta didik dalam menyelesaikan tugas-tugas dari guru. 5. Sintaks Pembelajaran dengan Pendekatan Generatif Tahapan pembelajaran yang menjadi sintaks pendekatan generatif pada penelitian ini ialah tahapan-tahapan pendekatan generatif menurut Osborn dan Wittrock yang dikembangkan oleh Khalidin yakni, tahap orientasi, tahap pengungkapan ide, tahap tantangan dan restrukturisasi, tahap penerapan, tahap melihat kembali, dan tahap generalisasi. Ketujuh tahap itu diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis peserta didik pada materi bangun ruang sederhana dan jaringjaringnya. Adapun dalam penelitian ini, tahap orientasi dan pengungkapan ide terdapat di kegiatan awal. Pada kegiatan inti, tahapan pembelajaran yang dilakukan ialah tahap tantangan & restrukturisasi, tahap penerapan, dan tahap melihat kembali, sedangkan pada kegiatan akhir ialah tahap generalisasi atau
37
menaruk kesimpulan. Penggambaran sintaks pembelajaran bangun ruang menggunakan pendekatan generatif dapat dilihat di bawah ini. Tabel 2.4 Sintaks Pembelajaran Bangun Ruang dengan Pendekatan Generatif Tahapan Pembelajaran Kegiatan Awal
Tahapan Pendekatan Generatif Tahap Orientasi
Kegiatan yang dilakukan 1.
2.
Tahap Pengungkapan Ide 3.
Kegiatan Inti
Tahap Tantangan dan Restruksturisasi
1. 2.
3.
4. 5.
Kegiatan Akhir
Tahapan Penerapan
6.
Tahapan Melihat Kembali
7.
Tahapan Generalisasi
1.
Guru melakukan apersepsi dengan menanyakan bentuk bangun ruang yang sering mereka temukan di lingkungan sekitar. Guru mengaitkan konsep materi yang akan dipelajari peserta didik dengan konsep dalam matematika yang sudah peserta didik pelajari sebelumnya. Guru melakukan tanya jawab secara mendalam mengenai konsep materi yang sudah peerta didik terima agar guru mampu mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan awal peserta didik melalui pengungkapan ide mereka, serta mengaitkannya dengan konsep yang akan mereka pelajari. Peserta didik dibagi dalam kelompok. Guru memberikan tantangan permasalahan yang akan dipecahkan oleh masing-masing kelompok. Tantangan yang diberikan ialah menganalisis sendiri sifat-sifat bangun ruang. Guru berkeliling, membimbing sekaligus mengawasi setiap kelompok untuk melakukan inquiry. Setelah waktu habis, siswa akan maju untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Guru mengarahkan peserta didik untuk aktif bertanya, memberikan pendapat, berkomentar dalam diskusi kelas. Peserta didik dibagikan lembar soal mengenai materi hari ini untuk dikerjakan secara mandiri untuk menerapkan pemahaman mereka pada soal-soal. Hasil pengerjaan lembar soal dibahas secara bersama-sama oleh guru, sehingga peserta didik dapat melihat kembali penjelasan jawaban yang benar, sehingga mereka dapat mempelajari kembali jawaban mereka dan jawaban yang benar. Mengarahkan peserta didik untuk menarik kesimpulan pembelajaran dan membuat intisari kesimpulan berdasarkan pada solusi peserta didik setelah diskusi kelas.
38
G. Hubungan Pendekatan Generatif dengan Kemampuan Pemahaman Matematis Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendekatan generatif cocok untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian menurut Waluya (2009) bahwa pendekatan generatif ialah pendekatan yang menjelaskan bahwa otak tidak menerima informasi dengan pasif melainkan justru juga aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi dan kemudian membuat kesimpulan dengan cara pengaitan antara pengetahuan yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik dengan pengetahuan yang sedang mereka pelajari. Pengaitan tersebut, dilakukan tentu saja untuk membimbing peserta didik agar memahami secara mendalam tentang konsep suatu materi dalam jangka panjang. Hal itulah yang menjadikan pendekatan generatif cocok untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada Bab I (hlm. 7) bahwa jenis pemahaman matematis yang akan digunakan ialah pemahaman menurut Pollatsek, yakni pemahaman komputasional dan pemahaman fungsional. Pemahaman komputasional erat kaitannya dengan kemampuan peserta didik dalam mengingat materi dan mengaplikasikan konsep dalam penyelesaian masalah, sedangkan pemahaman fungsional erat kaitannya dengan pengaitan antar konsep pengetahuan. Kedua jenis kemampuan pemahaman ini kemudian dikembangkan menjadi indikator untuk menjadi petunjuk pencapaian pemahaman peserta didik terhadap materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. H. Perbedaan Pendekatan Generatif dengan Pendekatan Konvensional Ekspositori Pendekatan generatif dan pendekatan konvensional ekspositori ialah pendekatan yang dapat diterapkan dalam melakukan pembelajaran dan merupakan dua pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini. Pada pendekatan generatif, karena pusat pembelajaran yaitu peserta didik, maka penyampaian materi dikonstruksi sendiri oleh peserta didik. Guru hanya bertugas sebagai moderator, fasilitator, motivator, manajer, dan evaluator. Berbeda dengan pendekatan konvensional yang menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran. Materi dipelajari oleh peserta didik dengan cara diberikan langsung oleh guru
39
dengan
cara
ceramah.
Peserta
didik
tidak
mengembangkan
sendiri
kemampuannya, sumber belajar hanya guru. Meskipun kelima tugas guru tersebut tetap ada dalam pendekatan konvensional ekspositori namun, penerapannya tidak begitu optimal. Adapun dalam penelitian ini, perbedaan penjelasan mengenai tahap-tahap pembelajaran antara pendekatan generatif dengan pendekatan konvensional ekspositori dapat dilihat pada Tabel 2.5 di bawah ini. Tabel 2.5 Perbedaan Tahapan Pembelajaran Pendekatan Generatif dengan Pendekatan Konvensional
Tahapan Pendekatan Generatif 1. Tahap Orientasi
2.
Tahap pengungkapan ide
3.
Tahap Tantangan dan restrukturisasi
4.
Tahap Penerapan
5.
Tahap Melihat Kembali
6.
Tahap Generalisasi
Kegiatan Awal Kegiatan Pembelajaran
Guru melakukan apersepsi dan menyampaikan tujuan pembelajaran serta langkah-langkah pembelajaran. Guru mengaitkan konsep materi pelajaran dengan konsep terdahulu yang sudah peserta didik terima. Kegiatan Inti Guru membagi peserta didik ke dalam kelompok dan memberikan tantangan kepada tiap kelompok untuk menemukan konsep pelajaran yang sedang dipelajari. Guru memberikan latihan soal sebagai bentuk penerapan dan penguatan pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran. Tahap penerapan ini dilakukan peserta didik secara individu. Guru melakukan koreksi bersama dengan peserta didik terhadap hasil pengerjaan latihan, sehingga masing-masing peserta didik dapat melihat kesalahan jawaban mereka
Kegiatan Akhir Guru membimbing peserta didik untuk menyimpulkan pembelajaran hari ini dan bertanya mengenai manfaat pembelajaran
1.
Tahapan Konvensional Ekspositori Tahap Persiapan
2.
Tahap Penyajian
3.
Tahap Menyambungkan.
4.
Tahap menyimpulkan
5.
Tahap aplikasi
Kegiatan Pembelajaran Guru melakukan apersepsi dan menyampaikan tujuan pembelajaran serta langkahlangkah pembelajaran Guru menjelaskan informasi materi secara lisan atau tulisan kepada peserta didik Guru melakukan tanya jawab dengan peserta didik mengenai materi pelajaran Guru mengulang inti-inti materi pelajaran untuk memastikan peserta didik benar-benar paham. Guru memberikan latihan soal mengenai materi pelajaran.
40
I. Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian Lusiana dkk, dkk. (2009) yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika di Kelas X SMA Negeri 8 Palembang yang telah dianalisis, didapat temuan-temuan sebagai berikut. 1. Pada tahap persiapan yang terdapat pada awal kegiatan inti, terlihat peserta didik memiliki banyak ide melalui serangkaian pertanyaan dari guru. Semakin banyak pertanyaan yang diajukan, semakin banyak pula ide-ide yang diajukan oleh peserta didik. 2. Pada tahap pemfokusan, motivasi belajar peserta didik terlihat ketika mengkonstruksi pengetahuannya melalui fasilitas belajar yang sudah guru siapkan seperti LKS. 3. Pada tahap tantangan, terdapat sharing idea yaitu saat guru memberikan waktu untuk peserta didik saling berdiskusi. 4. Pada tahap aplikasi, peserta didik jadi lebih mudah menggunakan konsep yang baru setelah mereka dapat mengaitkan sendiri hubungan antara konsep yang telah mereka pelajari dengan yang sedang dipelajari. 51 Hasil yang diperoleh penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran generatif untuk pelajaran matematika di kelas X dapat meningkatkan ketuntasan belajar dari sebelumnya. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian pada kelas eksperimen yaitu kemampuan prasyarat rata-rata 56,2 dengan standar deviasi 21,2 setelah dilakukan penerapan model pembelajaran generatif menghasilkan rata-rata hasil belajar 76,3 dengan standar deviasi 15,2. Dilihat dari hasil belajar tersebut, berarti penerapan model pembelajaran generatif dikatakan berhasil. Hasil penelitian Chujaemah, dkk (2012) yang berjudul “Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme dalam Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV Materi Bangun Ruang” didapat gambaran bahwa penggunaan pendekatan kontruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi bangun ruang di setiap siklusnya. Metode yang dilakukan ialah penelitian tindakan kelas pada peserta didik kelas IV. Peningkatan hasil yang disebutkan di atas dapat dilihat dari hasil pengerjaan soal-soal dalam bentuk tes tertulis di tiap
41
siklusnya. Pada nilai awal diperoleh nilai rata-rata kelas yaitu 52. Setelah dilakukan tindakan siklus I terjadi peningkatan menjadi 63,2 dan dengan tindakan siklus II terjadi peningkatan kembali menjadi 80, sedangkan pada siklus III terjadi peningkatan kembali menjadi 90. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik terhadap materi bangun ruang di kelas IV. Meningkatnya hasil belajar peserta didik menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik pada materi bangun ruang makin bertambah. Pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran konstruktivisme itu sejalan dengan pembelajaran menggunakan pendekatan generatif karena pendekatan generatif dilandasi oleh teori konstruktivisme. Oleh karenanya pendekatan generatif diharapkan dapat juga meningkatkan kemampuan pemahaman. Pada penelitian yang dilakukan Amelia (2010) dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Generatif terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa didapatkan hasil bahwa rata-rata kemampuan koneksi matematis peserta didik pada kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan generatif lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan koneksi matematis peserta didik yang menggunakan pendekatan konvensional. Metode yang digunakan ialah kuasi eksperimen pada di kelas X SMAN I Tirtayasa Serang. Pertemuan pertama pada kelas eksperimen, peserta didik yang pintar cenderung untuk mengerjakan latihan dari guru sendirian, sedangkan pada waktu untuk menjelaskan di depan teman-temannya, mereka tidak mau karena malu. Namun, pada pertemuan kedua dan ketiga sedikit demi sedikit perubahan terlihat, peserta didik sudah mau menyelesaikan latihan soal secara bersama-sama, sudah tidak malu lagi untuk tampil di depan kelas, sudah tidak malu lagi untuk bertanya atau mengajukan pendapat. Pembelajaran seperti ini berbeda dengan kelas yang memakai pendekatan konvensional, yang mana pada pertemuan satu sampai pertemuan tiga hanya didominasi oleh ceramah guru, akibatnya pembelajaran menjadi kurang efektif. Berdasarkan hasil tes kemampuan koneksi matematis peserta didik dapat diketahui bahwa pembelajaran yang menggunakan pendekatan generatif memiliki rata-rata kemampuan koneksi matematika sebesar 48,94, sedangkan hasil tes kemampuan koneksi matematis peserta didik pada kelas kontrol yang memakai pendekatan konvensional memiliki rata-rata 33,59.
42
Diharapkan hasil peningkatan dengan menerapkan pendekatan generatif pada materi yang berbeda dapat juga meningkatkan pemahaman dan hasil rata-rata belajar peserta didik. J. Hipotesis Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pembelajaran konvensional ekspositori dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis peserta didik pada materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. 2. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan generatif dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis peserta didik pada materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaringnya. 3. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis peserta didik yang mengikuti pembelajaran generatif lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran konvensional ekspositori pada materi bangun ruang sederhana dan jaring-jaring bangun ruang sederhana.