7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Epidemiologi Stroke World Stroke Organization pada tahun 2014 merilis angka kejadian stroke di dunia adalah 1 diantara 5 untuk wanita dan 1 diantara 6 untuk pria. Berdasarkan data dari seluruh dunia didapatkankan 15 juta orang terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganya akan meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan kecacatan, dan sepertiga sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Prevalensi stroke di asia rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit jantung koroner dan jumlah yang meninggal dikarenakan stroke adalah lebih dari tiga dibandingkan dengan penyakit jantung koroner. Kematian akibat stroke dari jenis kelamin adalah 44 sampai 102.6/100.000 adalah pria Asia. Pada awal tahun 1980 rata-rata prevalensi dari stroke sekitar 500-700 per 100,000 di Negara-negara barat dan 900 per 100,000 di Asia (Banerjee, 2006). Prevalensi stroke di Indonesia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2007 jumlah penderita stroke 8,3 per 1000 penduduk. Kemudian di tahun 2013 melonjak menjadi 12,1 per 1000 penduduk. Beberapa faktor resiko stroke adalah genetik salah satu faktor yang sulit diubah seperti umur dan jenis kelamin dan hipertensi. Sebuah analisis dari
7
8
beberapa dunia memiliki faktor resiko stroke genetik juga dipengaruhi oleh letak geografi, kebiasaan hidup dan terapi medis. Faktor resiko yang mempengaruhi stroke yaitu: Hipertensi, Diabetes Mellitus, Penyakit Jantung dan Completed Stroke, Obesitas, Konsumsi Alkohol, Merokok, Peningkatan Blood Lipid level, Infeksi, Genetik. Sebuah penelitian di Pakistan terhadap faktor resiko dari stroke, faktor resiko tertinggi yang menyebabkan terjadinya stroke adalah hipertensi dengan persentasi 78%, dan yang kedua Diabetes Mellitus (40,3%), Rokok (21%) (Taj, 2010). 2.1.2 Patologi Stroke Stroke terdiri dari 2 jenis yaitu stroke iskemi dan stroke hemoragi. Stroke iskemi terjadi ketika aliran darah ke otak terhambat oleh trombus ataupun emboli, akan merusak fungsi tubuh secara langsung dengan merusak area di otak. Kira-kira 80% dari stroke adalah iskemik dan sekitar 20% adalah hemoragi. Stroke iskemik dapat diklasifikasikan sebagai akibat dari trombus maupun emboli. Terjadinya trombus yang pada umumnya akibatnya 75% menjadi stroke iskemik adalah hasil dari proses patofisiologi yang terjadi secara bertahap dengan penyakit arterosklerosis (Schretzman, 2001; Hinkle, 2007). Akumulasi aliran menjadi lambat pada arteri cerebral, memfasilitasi untuk membentuk terjadinya trombus. Trombus ini sebagai penghubung dengan tanda arterosklerosis, yang dapat menyebabkan penyempitan dan terhambatnya pembuluh darah arteri. Hasil dari kerusakan terhadap aliran
9
darah yang menuju pada tanda dan gejala iskemik, termasuk penurunan neurologik fokal (Schretzman, 2001). Stroke hemoragi pada umumnya terjadi pada umur 55 sampai 75 tahun. Stroke hemoragi dibagi menjadi 2 yaitu Intracerebral hemorage sebesar 10% dari kasus stroke yang disertai dengan gejala sakit kepala dan Subarachnoid hemorage sebesar 7% dari kasus stroke, yang juga dapat disebabkan sakit kepala yang berat, serangan, dan kehilangan kesadaran (Schretzman,
2001).
Faktor
resiko
dari
Intracereberal
hemorage
dipengaruhi oleh usia, ras, jenis kelamin (laki-laki), tekanan darah tinggi, konsumsi alkhohol. Subarachnoid hemorage sering terjadi sobek atau ruptur dari kongenital aneurysm atau vascular malformation yang berada di dalam permukaan (subarachnoid), tekanan darah tinggi (hipertensi) dan merokok (Schretzman, 2001). 2.1.3 Problematik Pasca Stroke Menegakkan diagnosa pada pasien pasca stroke menggunakan konsep ICF yang telah direkomendasikan oleh WHO. Problematik fisioterapi pada pasien pasca stroke menimbulkan tingkat gangguan. 1)
Structure and Body Function Structure and Body Function yaitu gangguan tonus otot, kelemahan
otot,
instabilitas,
gangguan
sensorik,
spastisitas,
keseimbangan, koordinasi, keterbatasan gerak. Hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan gerak normal dan menimbulkan gerakkan
10
kompensasi. Kombinasi antara gangguan gerak dan kompensasi tersebut akan membuat otot postural bekerja berlebihan, hal tersebut dapat menurunkan postural stability dalam beraktivitas (Stein, 2009). 2)
Activity Limitation Activity Limitation yang timbul adalah terjadi penurunan kemampuan motorik fungsional. Penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas dari tidur terlentang seperti mampu melakukan gerakan tangan dan kaki secara aktif saat miring, terlentang duduk disamping bed seperti mampu melakukan gerakan menggangkat kepala namun saat menurunkan kaki butuh bantuan orang lain agar mampu duduk disamping bed, keseimbangan duduk seperti kurang mampu mempertahankan keseimbangan duduk, dari duduk ke berdiri seperti masih membutuhkan bantuan orang lain, berjalan seperti masih membutuhkan bantuan dari orang lain, fungsi anggota gerak atas seperti gerakan mempertahankan posisi lengan ke segala arah dan pergerakkan tangan yang terampil seperti mengambil benda dan memindahkan dari satu tempat ke tempat lain (Stein, 2009).
3)
Participation and Retriction Participation and Retriction adalah terjadi ketidakmampuan melakukan aktivitas sosial dan berinteraksi dengan lingkungan. Seperti gangguan dalam melakukan aktivitas bekerja karena gangguan psikis dan fisik seperti kurang percaya diri, kualitas hidup menurun dan depresi (Stein, 2009).
11
2. 2 Postural Stability 2.2.1 Definisi dan Mekanisme Postural Stability Postural stability adalah sebuah mekanisme mempertahankan sikap stabil tubuh dalam berbagai posisi dan aktivitas. Postural stability merupakan sebuah hasil pengolahan berbagai input sensori yang diterima dan kemudian direspon dalam bentuk posisi atau aktivitas melalui descending control pada susunan saraf pusat. Postural stability merupakan respon sikap tubuh terhadap perubahan posisi dan perubahan gerak, yang dikenal juga dengan feedback control (Raine, 2009).
Gambar 2.1. Skema Organisasi Postural Kontrol Sumber : Raine, 2009
12
Postural stability merupakan salah satu bentuk Anticipatory Postural Adjustments (APA) sebelum bergerak dan selama bergerak dengan mengadaptasi berbagai gaya dan informasi sensori. Kontrol pada APA merupakan kontrol yang komplek pada otot – otot trunk selama ekstrimitas atas bergerak, proses ini harus dipahami dengan baik untuk memperoleh hasil treatment yang efektif (Raine, 2009). Motor planning terjadi pada level yang lebih tinggi pada susunan saraf pusat yang meliputi cerebellum, basal ganglia dan kortek serebral membentuk mekanisme feed forward untuk merespon dan beradaptasi dengan sistem motorik dan sensorik. Meskipun kontrol postural dan aktivitas keseimbangan dapat dipengaruhi oleh kortek, tetapi regulasinya tetap pada brainstem. Respon otomatis selalu mengikuti dan menyesuaikan informasi dari visual, vestibular dan somatosensory. Rekrutmen otot postural dan strategi anti gravitasi dilakukan oleh medial descending system yaitu vestibulospinal dan pontine reticulospinal, sistem ini bekerja pada aksial dan dan otot-otot proksimal untuk menjaga posisi tegak dan integrasi antara trunk dan anggota gerak. Lateral descending system termasuk corticospinal dan rubrospinal bertangungjawab atas rekrutmen otot distal yang merupakan support postural control dengan produksi selective movement (Reine, 2009; Shumway-Cook et al., 2011).
13
2.2.2. Stabilitas dan Mobilitas Posisi berdiri merupakan aktivitas menumpu pada kedua kaki dengan jarak tertentu sehingga didapatkan posisi tertentu dalam berdiri tegak, area tumpuan pada kedua telapak kaki tersebut dikenal dengan base of support. Kualitas dan distribusi tumpuan pada base of support menentukan kestabilan tubuh dan kemampuan bergerak yang efektif dalam aktivitas sehari – hari. Faktor yang mempengaruhi postural stability menurut Kisner dan Colby (2002) adalah: 1) Central of Mass Central of Mass (CoM) adalah titik yang sesuai dengan pusat dari total massa tubuh dan adalah titik tubuh yang berada dalam keseimbangan optimal, hal ini ditentukan dengan mencari rata-rata dari berat/beban dari CoM pada setiap segmen tubuh. 2) Center of Gravity Center of Gravity (CoG) terdapat pada semua benda, yang terletak tepat di tengah benda tersebut. CoG adalah titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh akan seimbang. Pada manusia, CoG berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. CoG manusia ketika duduk tegak adalah tepat di bawah sternum di atas diafragma.
14
Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: ketinggian dari CoG dengan BoS, ukuran BoS, lokasi LoG dengan BoS, serta berat badan. 3) Line of Gravity Line of Gravity (LoG) merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui CoG. Hubungan antara LoG, CoG dengan BoS akan menentukan derajat stabilitas tubuh. 4) Base of Support Base of Support (BoS) merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika LoG tepat berada di bidang tumpu, tubuh akan
seimbang. Semakin dekat BoS dengan
CoG, maka stabilitas tubuh makin tinggi. 5) Stability Limit Stability limit adalah batasan area dimana tubuh bisa mempertahankan posisi tanpa merubah base of support. Batas tersebut selalu berubah tergantung pada tugas, biomekanik individu, dan aspek lingkungan. 6) Ground Reaction Force Ground Reaction Force (GRF) merupakan gaya reaksi yang diberikan secara khusus oleh permukaan saat terjadi interaksi tubuh dengan tanah karena adanya pengaruh gravitasi. Pada saat duduk terjadi reaksi dari bidang tumpu yang sama besarnya dan berlawanan denga arah kekuatan tekanan tubuh pada permukaan melalui kaki.
15
2.2.3 Hubungan antara Center of Pressure dalam Postural Stability Central of Pressure (CoP) menggambarkan postural stability, tumpuan yang seimbang menggambarkan bahwa seseorang dalam posisi yang stabil, semakain seimbang tumpuan pada posisi yang optimal semakin stabil dan seimbang. CoP yang seimbang mempunyai peranan penting
sebagai
persiapan
untuk
melakukan
aktifitas
fungsional
berikutnya. Tumpuan yang seimbang saat berdiri akan memudahkan aktifitas fungsional selanjutnya seperti; berjalan, meraih, duduk ke berdiri. CoP berkaitan BoS dengan CoG dalam postural stability, menurut Anne Shumway Cook (2007) adalah: a. Besarnya Base of Support. Secara umum semakin besar Base of Support (BoS) akan semakin meningkat pula stabilitas, untuk merespon sebuah benturan atau gaya yang datang pada tubuh kita, kita cenderung akan melebarkan jarak tumpuan kedua kaki. Pada kondisi tertentu memperlebar BoS belum cukup untuk meningkatkan stabilitas perlu arah gaya tubuh yang tepat untuk dapat meningkatkan stabilitas. Faktor yang dapat digunakan sebagai acuan adalah ground contact poin yang merupakan refleksi kestabilan dalam posisi berdiri dengan tumpuan kedua kaki.
16
Gambar. 2.1 Base of Support Sumber : Kirby, 2014 b. Ketinggian center of gravity (CoG) di atas base of support (CoG) Semakin rendah CoG akan meningkatkan stabilitas dan semakin dekat jarak CoG dan BoS maka postural stabilityakan meningkat, Saat kita dalam posisi squat atau jongkok maka tubuh menjadi lebih stabil, saat kita berdiri tegak dan meraih sesuatu di atas tubuh menjadi lebih tidak stabil.
Gambar. 2.3 Center of Gravity Sumber: College Physics, 2015
17
c. Proyeksi center of gravity pada base of support. Letak proyeksi center of gravity (CoG) pada base of support (BoS) merupakan salah satu komponen pada stabilitas, semakin central letak proyeksi terhadap BoS maka posisi akan semakin stabil. Apabila proyeksi CoG di luar BoS maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kestabilan rendah.
Gambar. 2.4 Proyeksi center of gravity pada base of support Sumber : Gagliardi, 2013
d. Berat tubuh atau Berat Badan. Berat tubuh akan mempengaruhi postural stability, secara sederhana semakin berat tubuh maka semakin besar energi dan gaya yang dibutuhkan untuk bergerak.
18
e. Gaya Gesekan Kontak antara telapak kaki dan permukaan lantai akan menimbulkan tahanan, permukaan yang licin membuat kestabilan menjadi lebih rendah. Identifikasi postural stability menjadi penting dalam hal mewujudkan gerak yang efisien. Postural stability menjadi fondasi dasar dalam bergerak pada aktivitas fungsional (Raine, 2009), hal ini berkaitan dengan: a. Strategi keseimbangan b. Pola gerakkan c. Kecepatan dan akurasi d. Kekuatan dan daya tahan
Gambar.2.5 Hubungan Postur dengan Aktivitas Sumber: Raine, 2009
19
2.2.4 Central of Pressure a. Pengertian Center of Pressure Center of pressure (CoP) adalah lokasi proyeksi vertikal dari reaksi penekanan pada tanah. Jika satu kaki di tanah, CoP terletak dalam kaki itu. Ketika kedua kaki berada di tanah, CoP terletak diantara dua kaki, tergantung pada bagaimana banyak berat badan yang diambil oleh masing-masing kaki. Untuk menjaga stabilitas, seseorang memproduksi kekuatan otot untuk terus mengontrol posisi CoG, yang pada gilirannya mengubah lokasi CoP. Jadi CoP adalah refleksi dari respon neuromuskuler tubuh ketidakseimbangan dari CoG (Kirby, 2002).
Gambar 2.6. CoP saat berdiri Sumber : Chapman, 2008
Saat mengalami gangguan pada tubuh, pasti akan merubah center of pressure. Seperti pada kasus osteoarthritis medial pada penelitian Lidtke (2010), dkk mengatakan: “The plantar pressure patterns of patients with medial knee osteoarthritis demonstrated greater loading of the lateral aspect of the
20
foot during the contact and midstance phases of gait but not during propulsion compared with those of controls, suggesting that loading patterns in the feet are related to osteoarthritis in the knee”. Sehingga dengan demikian center of pressure sangat berpengaruh dalam masalah yang ada pada tubuh (Lidtke, 2010) b. Fisiologi Center of Pressure Kemampuan tubuh untuk mempertahankan postural stability oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Pusat keseimbangan terletak di dekat telinga, sensasi kinestetik dan mata yang berfungsi
untuk
menjaga
keseimbangan.
Tujuan
dari
tubuh
mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan center of grafity agar seimbang dengan center of pressure, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Chapman, 2008). Center of pressure ( CoP ) terjadi di mana ground reaction force (GRF) bekerja pada kaki . Perubahan CoP selama fase berdiri ke berjalan, bergerak dari tumit kaki untuk pertama dengan dua metatarsal. Lokasi CoP adalah ukuran penting dari posisi berdiri, melangkah dan keseimbangan, tingkat kerusakan gangguan pada ekstremitas bawah dan ukuran pengobatan pada ekstremitas bawah. Saat berdiri stabil CoP akan tetap disatu prosisi saja tetapi apa bila ada pergerakan sedikit saja yang
21
terjadi pada tubuh CoP pun akan berubah. CoP akan seimbang apa bila tubuh seimbang dan stabil (Kisner et al., 2002). c. Faktor Pengontrol Center of Pressure Postural stability memiliki tugas yang komplek melibatkan motor control deteksi dan integrasi informasi sensorik untuk menilai itu posisi dan gerakan tubuh dalam ruang dan eksekusi respon muskuloskeletal yang tepat untuk kontrol posisi tubuh dalam lingkungan dan melakukan tugas (Chapman, 2008). Pengontrol postural stability menurut Sue Raine (2009) terdiri dari: 1). Sistem sensori a). Visual Input mengkontrol
visual
merupakan
keseimbangan
yaitu
hal
penting
dengan
dalam
menyediakan
informasi tentang lingkungan tempat kita berada dan untuk memprediksi gangguan-gangguan yang akan datang. Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris dan untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima informasi yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang (Abernethy et al., 2013). Informasi visual membuat tubuh menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot yang sinergis untuk
22
mempertahankan keseimbangan tubuh. Apabila impuls pada afferent untuk visual ditiadakan misalnya saat mata tertutup maka akan tampak ayunan tubuh (postural sway) yang berlebihan untuk mempertahankan postural stability tubuh (Abernethy et al., 2013). b) Sistem vestibular Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan system labyrinthine. Sistem labyrinthine
mendeteksi
perubahan
posisi
kepala
dan
percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulooccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formation retikularis, thalamus dan korteks serebri (Raine, 2009). Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron
23
melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Baker, 2011). c) Sistem somatosensoris Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi dan gerak tubuh dan bagian tubuh yang relatif terhadap yang satu sama lain dan permukaan support atau tumpuan. Memberikan Informasi dari otot proprioceptors termasuk muscle spindles and golgi tendon organs (sensitif terhadap panjang otot dan tegangan), reseptor sendi (sensitif terhadap posisi sendi , gerakan, dan stres) , dan mechanoreceptors kulit (sensitif terhadap getaran, sentuhan ringan, tekanan yang dalam, kulit peregangan) merupakan hal yang dominan untuk menjaga keseimbangan ketika permukaan yang lentur, datar, dan tetap (Shumway-Cook et al., 2011). 2) Muskuloskeletal a) Otot yang Sinergis Postural stability dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara
24
sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Raine, 2013). Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan suatu fungsi dari gerak tertentu. Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari
aktivitas
kelompok
otot
yang
diperlukan
untuk
mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur tubuh dalam berbagai gerakan (Shumway Cook et al., 2007). Postural stability merupakan respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu (Raine, 2013). b) Kekuatan Otot (Muscle Strength) Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal maupun beban
25
internal.
Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem
neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Seeley, 2008). Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan postural stability saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh (Raine, 2013). Otot ini sangat penting untuk dilatih atau diperkuat agar dapat membantu pasien tetap dalam keadaan seimbang walaupun mengalami kelemahan pada salah satu sisi tubuhnya (Raine, 2009). Otot-otot tersebut yaitu : (1) Otot-otot abdomen Semua otot di dinding anterior abdomen berfungsi melindungi viscera dengan kontraksi, menyebabkan gerakan dan
meningkatkan
tekanan
intra-abdominal,
untuk
mendapatkan postur tubuh yang optimal. Otot ini dipersarafi oleh enam n.Torakalis terbawah dan n.lumbalis pertama (Snell, 2008).
26
a) M. External Oblique Abdominis
Gambar 2.7 M. External oblique Sumber: Marieb, 2011 M. External oblique merupakan lapisan sebelah luar sekali dari abdomen terletak di bagian lateral dan anterior abdomen. Berorigo di costa 5-12, external surfaces. Serabut ototnya yang sebelah belakang menuju ke tepi tulang panggul (krista iliaka). Serabut yang depan menuju linea alba. Dengan fungsi fleksi columna vertebralis, lateral fleksi, serta rotasi batang tubuh (Snell, 2008).
27
b) M. Obliqus internus abdominis
Gambar 2.8. M. Oblique internus abdominis Sumber : Marieb, 2011
Lapisan kedua di bawah otot dibentuk oleh otot perut dalam (M. obliqus internus abdominis). Berorigo di Thoracolumbar aponeurosis, iliac crest, and lateral inguinal ligament. Berinsersio di Ribs 10-12, internal surfaces, medial pectineal line of pubis, and linea alba, berfungsi sebagai fleksor colum vertebra, lateral fleksi, dan rotasi batang tubuh (Snell, 2008)
28
c) M. Transversus abdominis
Gambar 2.9 M. Transversus abdominis Sumber : Marieb, 2011
M. Transversus abdominis, berorigo di Ribs 7-12, costal cartilages, thoracolumbar fascia, internal iliac crest, and lateral inguinal ligament, insersio linea alba and crest and pectineal line of pubis. M. Transversus abdominis berfungsi dalam menarik dan meratakan dinding abdomen (Snell, 2008).
29
d) M. Rectus Abdominis
Gambar 2.10 M. Rectus Abdominis Sumber : Marieb, 2011
M. Rectus abdominis berorigo pada pubis, crest, and symphysis, berinsersio pada ribs 5-7, costal cartilage, and xiphoid process of sternum. Fungsi otot ini dilapisi oleh vagina rekti. Merupakan fleksor kuat untuk batang tubuh, juga bisa mencondongkan pelvis ke belakang. M. Rectus abdominis berfungsi fleksi kolom vertebral, lateral fleksi kolom vertebral (Snell, 2008).
30
(2) Otot-otot punggung a) M. Quadratus Lumborum
Gambar 2.11 M. Quadratus Lumborum Sumber : Marieb, 2011 Otot quadratus lumborum, berorigo pada Iliac crest, posterior and iliolumbar ligament dan insersio pada L1-L4, transverse processes and inferior border of 12t h rib dan di samping itu juga berfungsi ekstensi kolom vertebral, lateral fleksi vertebral (Snell, 2008).
31
e) M. Seratus Posterior
Gambar 2.12 M. Seratus Anterior Sumber : Seeley, 2008
M. seratus posterior berorigo T1 1-L3, spinous processes dan ber insersio di Ribs 9-12, posterior surfaces, M. seratus anterior berfungsi untuk menarik costa bawah pada waktu bernapas (McAtee, 2014). M. seratus posterior superior, berorigo C7-Th3, spinous processes and ligamentum nuchae dan berinsersio di ribs 2-5, posterior surfaces. M. seratus posterior superior berfungsi untuk menarik costa ke atas waktu inspirasi (Snell, 2008).
32
f) M. Multifidus
Gambar 2.13 M. Multifidus Sumber: Seeley, 2008
M. Multifidus berorigo di Facies dorsalis (os sacrum). Ligamentum sacroiliacum posterius, krista iliaca (bagian dorsal), procesus transversi (vertebra thorac), procesus articularis inferior (C7–Th4), serabut otot melompati vertebra ke-2 sampai ke 4 dan insertion di procesus spinosus L5–S1, Th12– L1, C7–Th2. M. Multifidus berfungsi aktif pada satu sisi flexi lateral segmental dan rotasi, apabila
M. Multifidus aktif
berkontraksi pada
kedua sisi maka terjadi gerakkan ekstensi (Snell, 2008).
33
(3) Otot-otot Pelvic Floor
Gambar 2.14 Pelvic Floor Muscle Sumber : Marieb, 2014
Otot lapisan dalam tersebut muscle of the perineum sangat berperan
dalam
mempertahankan
fungsi
vagina
sewaktu
berkontraksi saat aktivitas seksual. Otot ini terdiri dari : a)
Otot ischio cavernous.
b)
Bulbocavernous.
c)
Deep perineal muscle (urogenital diaphragm)
d)
Sphincter ani eksternal. Otot lapisan luar disebut levator ani otot dasar panggul
dapat menjadi lemah (Marieb, 2011).
34
(4) Otot Tungkai a) Gluteal Muscle
Gambar 2.15 Gluteal Muscle Sumber: Marieb, 2011
M. Gluteal Maximus berorigo di facies gluteal alae ossis illium (dorsal line glutea posterior), facies posterior assis sacrum, fascia thoracolumbal, ligament sacrotubale. Otot ini berinsertio di tuberositas glutea, septum intermusculare femoris laterale dan berfungsi untuk ekstensi dan adduksi hip (Snell, 2008).
35
b) M. Quadriceps
Gambar 2.16 M. Quadriceps Sumber : Marieb, 2011
Otot quadriceps adalah otot terbesar dan utama sebagai stabilitas lutut merupakan kumpulan 4 otot yaitu m. vastus medialis, m. vastus intermedialis, m. vastus lateralis, dan m. rectus femoris. Rectus femoris adalah otot yang terletak diantara ketiga otot lainnya dan berfungsi membantu gerakan fleksi hip dan ekstensi knee. Yang berorigo di ilium, anterior inferior iliac spine (AIIS) and upper rim of acetabulum dan berinsersio di Tibia, Tibial tuberosity via patellar tendon (Snell,2008). M. Vastus medialis merupan bagian dari otot quadriceps
bagian
dalam
yang
berorigo
di
Femur,
intertrochanteric linea dan medial lip of linea aspera, dan ber inseryio di tibia, tibia tuberosity via patellar tendon (Snell,
36
2008).
M. Vastus lateralis merupan bagian dari otot
quadriceps bagian luar yang berorigo Femur, greater throcanter, gluteal tuberosity dan proksimal, lateral hip dari linea aspera dan berinsersio pada tibia tuberosity via patellar tendon (Snell, 2008). M. vastus intermedianus terletak dibagian tengah dibawah rectus femoris yang berorigo Femur, 2/3 proksimal di anterior shaft dan distal, lateral hip dari linea aspera dan ber insersio pada tibia tuberosity via patellar tendon (Snell, 2008). c) M. Hamstring
Gambar 2.17 M. Hamstring Sumber: Marieb, 2011
37
Otot Hamstring yang merupakan gabungan dari 3 otot semi tendinosus, semimembranosus, dan biceps femoris. Yang memiliki fungsi sebagai fleksi lutut dan ekstensi hip dan merupakan otot yang membangtu stabisasi lutut. M. semi tendinosus ber origo pada ischium, iscihial tuberosity dan berinsersio pada tibia medial shaft via the pes anserinus tendon yang memiliki fungsi sebagai ekstensor hip, internal rotasi hip, fleksi knee, dan internal rotasi pada fleksi knee. M semimembranosus berorigo pada ischium, iscihial tuberosity dan berinsersio pada tibia, posteromedial portion of medial condyle yang memiliki fungsi sebagai fleksi hp, internal rotasi hip, fleksi knee, dan internal rotasi pada fleksi knee. M . biceps femoris otot ini memiliki 2 origo yaitu long head pada ischial tuberosity dan short head pada lateral of linea aspera, dan ber insersio pada fibula, head dan lateral condyle of tibia, otot ini memiliki fungsi sebagai ekstensor hip, eksternal rotasi hip, fleksi knee, dan eksternal rotasi dengan fleksi knee (Snell, 2008).
38
d) M. Gastrocnemius
Gambar 2.18 M. Gastronimeus Sumber: Marieb, 2011 Otot gastrocnemius merupakan otot yang melewati dua sendi yakni lutut dan pergelangan kaki. Sehingga otot ini berkoordinasi dengan otot-otot lain untuk bergerak pada masing-masing sendi tersebut. Otot ini memiliki dua origo yaitu medial head pada femur, posterior medial condyle dan lateral head pada
femur, posterior lateral condyle dan
berinsersio pada Calcaneus, posterior surface via achiles tendon, yang memiliki fungsi sebagai fleksi knee dan plantar fleksi (Snell, 2008).
39
e) M. Tibialis Anterior
Gambar 2.19 M. tibialis anterior Sumber: Marieb, 2011
Berorigo di proximal tibia, facies lateralis tibia dan insertion di basis metatarsalis I. fungsi tibialis anterior adalah untuk dorso fleksi pergelangan kaki.
3) Joint Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan
yang
tinggi.
Saat
melakukan
gerakan
dengan
membutuhkan keseimbangan yang tinggi dibutuhkan sendi yang stabil yang menjaga pada setiap gerakan, seperti gerakan saat center of grafity berpindah ke depan yang mengakibatkat center of pressure pun
40
berpindah, kerja stabilitas sendi untuk menjaga postur agar tidak jatuh. Saat berdiri statis sendi harus stabil karena apabila sendi tidak stabil pastiakan merubah keseimbangan center of pressure (Chapman, 2008).
4). Adaptive system Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan. Adaptive sistem dapat terbentuk dengan baik jika latihan dilakukan secara berulang-ulang untuk meningkatkan koordinasi antara sistem muskuloskeletal dengan reseptor agar dapat menerima impuls dari lingkungan semakin baik (Raine, 2009). Pengulangan yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan otak untuk merekam perubahan – perubahan yang ada sehingga tercipta respon sensorimotor yang lebih efisien untuk dikirim ke efektor. Jika kekuatan dan fleksibilitas otot, sendi dan ligamen baik maka dapat dihasilkan respon motorik yang tepat dan benar (Shumway-Cook et al., 2007). 2.3 Metode Bobath 2.3.1 Konsep Bobath Terkini Konsep Bobath dekade terakhir ini mengalami peningkatan evidance di bidang neuroscience, biomechanics dan motor learning . Perkembangan ini memperdalam pemahaman tentang human movement
41
dan efek dari patologi, membantu untuk membimbing para terapis dalam melakukan intervensi klinis mereka untuk memaksimalkan fungsional outcome pasien. Terdapat evidance yang kuat efek dari rehabilitasi dalam hal peningkatan kemandirian fungsional dan mengurangi kematian (Royal College of Physicians, 2004). Konsep Bobath terkini adalah suatu problem solving approach untuk melakukan suatu assessment dan treatment kepada individu dengan gangguan fungsi, gerak dan postural control karena adanya suatu lesi pada sistem saraf pusat (SSP) dan dapat diterapkan pada individu-individu dari segala usia dan semua derajat cacat fisik dan fungsional (Raine, 2006; IBITA, 2008). Systems approach untuk motor control memberikan fondasi pada dasar teoritis dari Bobath Concept. Bobath Concept menekankan pada fasilitasi postural kontrol dan gerak selektif, sehingga terbentuk gerakkan yang lebih efisien dalam bergerak dan beraktifitas (Raine, 2006). Shumway-Cook dan Woollacott (2007), systems approach, menegaskan bahwa human motor behaviour didasarkan pada interaksi yang terus menerus antara individu, tugas dan lingkungan. Mereka menggambarkan gerakan sebagai akibat dari interaksi yang dinamis antara sistem persepsi, kognisi dan tindakan dan menyoroti kemampuan susunan saraf pusat yang untuk menerima, mengintegrasikan dan merespon lingkungan untuk mencapai suatu motor goal.
42
TASK INDIVIDUAL
ENVIRONMENT
Gambar 2.20 Motor Control Sumber: Raine,2007
Systems approach teori motor control adalah dasar yang mendasari prinsip-prinsip dari assesment dan treatment yang terdapat dalam konsep Bobath terkini. Konsep ini menganggap motor control adalah dasar dari bekerjanya sistem saraf baik secara hierarchical dan distribusi paralel, multi level processing di antara banyak sistem dan subsistem melibatkan beberapa input, dan dengan modulasi pada level tertentu dalam suatu proses. Sehingga memungkinkan terjadinya potensi plastisitas sebagai dasar pembangunan, belajar dan pemulihan dalam sistem saraf dan sistem otot (Raine, 2007). Plastisitas merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan untuk melakukan suatu perubahan. Kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang mengalami cidera atau kerusakan disebut neuroplastisitas.
43
Neuroplastisitas merupakan suatu perubahan yang terjadi pada lokasi pengorganisasian sistem saraf terutama perubahan yang terjadi pada lokasi tempat fungsi processing informasi sebagai akibat pembelajaran dan pengalaman (Shumway-Cook et al., 2007). Neuroplastisitas ini sendiri adalah merupakan perubahan dalam prilaku,
indera
dan
pengalaman
kognitif.
Dalam
penelitian
neuroscience, terdapat 2 kategori penting dalam pendekatan untuk memperbaiki fungsi otak setelah mengalami cidera, yaitu : 1) Usaha untuk membatasi tingkat keparahan cidera awal untuk meminimalkan hilangnya fungsi. 2) Usaha untuk pengorganisasian kembali otak untuk mengembalikan fungsi yang telah hilang. Pendekatan yang pertama merupakan hal yang sangat penting, karena perawatan pada saat awal cidera akan berpengaruh terhadap tingkat keparahan kecacatan jangka panjang. Ini merupakan suatu hal yang harus dipahami bagaimana struktur otak dan fungsi dapat berubah dari hari-kehari, bulan dan tahun setelah adanya kerusakan otak (Chalupa et al., 2011). Perubahan plastisitas berdasarkan atau berlandaskan dari pembelajaran, memori, dan pemulihan dari saraf yang rusak pada dan dibawah dari tingkat kerusakan. Pembelajaran mengorganisasi ulang otak yang cidera walaupun tanpa adanya rehabilitasi. Konsekuensi behaviour kerusakan otak yang kehilangan fungsi adalah perkembangan
44
pengganti strategi behaviour setiap individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Otak yang cidera merubah cara otak dalam merespon pembelajaran. Pembelajaran ini meliputi perubahan dalam gen, sinaps dan jaringan saraf sesuai dengan daerah otaknya (Chalupa et al., 2011).
2.3.3. Pelatihan Metode Bobath a.
Tujuan Pelatihan Metode Bobath. 1)
Melakukan
identifikasi
pada
area-area
spesifik
otot-otot
antigravitasi yang mengalami penurunan tonus. 2)
Meningkatkan kemampuan input proprioseptif.
3)
Melakukan identifikasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “normal”
4)
Fasilitasi specific motor activity.
5)
Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak.
6)
Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif (Irfan, 2010).
b.
Indikasi Metode Bobath 1) Adanya cidera atau injury Sistem Saraf Pusat. 2) Adanya gangguan proprioseptif. 3) Adanya masalah motor control. 4) Adanya masalah human motor behavior.
45
2.3.4. Metode Bobath Terhadap Peningkatan Postural Stability Metode Bobath menekankan pada dua aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain yaitu integrasi dari postural control dan task performance serta control of selective movement untuk memproduksi coordinated sequences dari gerakan (IBITA, 2008). Faktor-faktor itulah yang mempengaruhi peningkatan keseimbangan pada pasien stroke. Selain itu terdapat kontribusi dari sensory input untuk motor control dan motor learning merupakan fokus dari metode Bobath (Gjelsvik, 2008). Metode Bobath dapat meningkatkan postural stability pada pasien stroke adalah dengan latihan postural control dan task performance dimana latihan postural control yang diberikan kapada pasien stroke akan memberikan informasi tentang internal representation of body posture (body geometry, body dynamics, dan orientation of the body dengan posisi tegak), Sedangkan vestibular dan visual akan memberikan informasi tentang “vertical”. Selain itu, visual juga akan memberikan informasi tentang posisi dan visualisasi lingkungan disekitar. Cutaneous, sendi, dan muscle receptors memberikan informasi tentang orientasi tubuh pada posisi tengah (Raine, 2009). Integrasi informasi berupa internal representation, informasi “vertical”, posisi, lingkungan, dan orientasi tubuh pada posisi tengah disebut postural body schema. Latihan postural control akan memberikan Integrasi antara postur dan gerak dari alignment segmen tubuh sehingga akan terjadi anticipatory dan reactive postural control mechanisms. Latihan postural control dan task performance
46
berprinsipkan stabilisasi dan mobilisasi yang saling mempengaruhi satu sama lain, dimana muscle activation patterns tidak hanya ditentukan oleh postural alignment yang dipengaruhi oleh base of support dan gravity tetapi juga dipengaruhi oleh stabilisasi dan mobilisasi. Tingkat kompleksitas dan gerak selektif pada suatu task-oriented movements akan membentuk rangkaian gerakan (Aruin, 2006). Meningkatnya postural control dan selective movement pada pasien pasca stroke akan meningkatkan keseimbangan, pola gerakan, koordinasi gerak pada pasien pasca stroke (Raine, 2009).
2.4 Metode Feldenkrais Metode
Feldenkrais
pertama
kali
dikembangkan
oleh
moshe
Feldenkrais antara tahun 1984-1904. Moshe Feldenkrais adalah seorang insinyur, fisikawan, penemu, seniman bela diri dan mahasiswa pembangunan manusia. Metode Feldenkrais adalah suatu bentuk pendidikan somatik yang menggunakan
gerakan
lembut
dan
mengarahkan
perhatian
untuk
meningkatkan gerakan dan meningkatkan fungsi tubuh. Metode ini dapat meningkatkan
fleksibilitas
dan
koordinasi,
meningkatkan
ROM,
meningkatkan keseimbangan serta memberikan kemudahan dan memberikan efisiensi dalam bergerak (Connors et al., 2009). Metode Feldenkrais ini didasarkan pada prinsip-prinsip fisika, biomekanik dan pemahaman empiris pembelajaran dan perkembangan manusia. Dengan memperluas citra diri melalui urutan gerakan yang halus
47
dan lembut membawa perhatian ke bagian diri yang di luar kesadaran. Dengan metode ini kita menjadi lebih sadar pola kebiasaan dalam bergerak, kekakuan yang tanpa kita sadari muncul dalam bergerak serta memperluas pilihan cara-cara baru dalam bergerak. Dengan meningkatkan sensitivitas, metode Feldenkrais ini membantu untuk menjalani hidup lebih lengkap, efisien dan nyaman (Connors et al., 2009). 2.4.1 Metode Feldenkrais Terhadap Peningkatan Postural Stability Metode Feldenkrais meningkatkan kesadaran akan tubuh baik saat diam dan begerak sehingga dapat meningkatkan baik ROM, flexibilitas, koordinasi dan mempermudah serta membuat efisiensi dalam bergerak sehingga keseimbangan pada pasien stroke dapat meningkat (Feldenkrais, 2009). Metode Feldenkrais terdiri dari dua komponen yaitu Awarness Through Movement (ATM) dan Functional Integration (FI). ATM merupakan pelatihan gerak berdasarkan pola tumbuh kembang yang dimulai dari posisi lying, gerakkan dilakukan dengan perlahan, lembut, novel dan pada keseluruhan anggota gerak. FI bertujuan untuk meningkatkan awareness dan pemahaman bagaimana bergerak dengan efisien (Connors et al., 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Batson, G (2005) pelatihan metode Feldenkrais yang dilakukan selama 6 minggu menghasilkan peningkatan sebesar 56,4% DGI (Dymanic Gait Index),
48
peningkatan balance dengan parameter BBS sebesar 11,8%, serta terjadi peningkatan sebesar 35% pada SIS (Stroke Impact Scale). Metode Feldenkrais memfasilitasi strategi, organisasi dan koordinasi gerak tubuh dengan meningkatkan kinesthetic awareness pada hubungan setiap segmen anggota gerak. Peningkatan body awareness melalui reseptor sensorik taktil, propioseption, vestibular stimulation dan vision akan meningkatkan kontrol gerak termasuk kontrol pada postur, peningkatan kontrol postural tersebut akan meningkatkan postural stability dalam berbagai posisi, baik pada posisi statik dan posisi pada saat beraktivitas (Batson, 2005). 2.5 Myopressure noraxon Myopressure noraxon merupakan sebuah alat ukur yang dikoneksikan dengan sistem komputer yang berfungsi untuk mengukur foot pressure, roll of analysis, posture balance test, dan center of pressure.
Gambar 2.21. Myopressure noraxon Sumber: Noraxon, 2015
49
Untuk mengukur center of pressure mengunakan tipe floor gait and balance plate. Alat ini menggunakan sensor yang sangat kuat sehingga data akan lebih akurat. Saat melakukan pengukuran akan mendapatkan containing pressure prints, COP analysis, gait parameter table and averaged force.
Gambar 2.22. Hasil pengukuran myopressure noraxon Sumber: Noraxon, 2015
2.6 Pemeriksaan National Institutes of Health Stroke Scale. Pemeriksaan National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan pemeriksaan neurologis untuk kondisi pasca stroke, untuk menentukan derajat berat ringannya serangan stroke. NIHSS merupakan standar pemeriksaan derajat stroke yang menjadi acuan international (Geyer & Camilo, 2009). Pemeriksaan NIHSS meliputi: a. Level kesadaran b. Menjawab pertanyaan (level kesadaran)
50
c. Mengikuti perintah (level kesadaran) d. Pandangan e. Pengelihatan f. Kelumpuhan sisi wajah g. Motorik lengan kiri h. Motorik lengan kanan i. Motorik tungkai kiri j. Motorik tungkai knan k. Ataxia l. Sensoris m. Neglect n. Dysarthria o. Bahasa
Nilai hasil pemeriksaan NIHSS mempunyai intepretasi sebagai berikut: a.
Nilai NIHSS 0
: Tidak tanda stroke
b. Nilai NIHSS 1 – 4 : Stroke Ringan c. Nilai NIHSS 5 – 15 : Stroke Sedang d. Nilai NIHSS 16 -20 : Stroke Sedang ke Berat e. Nilai NIHSS 21 – 42 : Stroke Berat
51
2.7 Pemeriksaan The Mini Mental State Examination. Pemeriksaan The Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan pemeriksaan standar dalam pemeriksaan konitif yang sederhana dan praktis. Komponen yang dapat dinilai melalui MMSE antara lain: orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memory recall, dan fungsi bahasa. MMSE merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang digunakan sebagai skrining untuk mengetahui adanya gangguan kognitif pada pasien pasca stroke (Herndon, 2006). MMSE menggunakan instrumen pertanyaan, dengan komponen penilaian sebagai berikut: a.
Penilaian Orientasi (10 poin)
b.
Penilaian Registrasi (3 poin)
c.
Penilaian Registrasi (3 poin)
d.
Perhatian dan Kakulasi (5 poin)
e.
Ingatan (3 poin)
f.
Bahasa dan Praktek (9 poin) Interpetasi dari nilai MMSE adalah sebagai berikut:
a. Nilai MMSE 24 – 30 : Tidak ada kelainan kognitif. b. Nilai MMSE 18 – 23 : Gangguan kognitif ringan. c. Nilai MMSE 0 - 17 : Gangguan kognitif berat.