5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Obesitas Masalah kegemukan bukanlah hal yang baru dalam masyarakat kita, 30 tahun yang lalu kegemukan merupakan kebanggaan dan lambang dari kesuksesan finansial dan sebagai “Boss”. Namun pandangan itu sekarang mulai berubah setelah penelitianpenelitian mendapatkan bahwa kegemukan merupakan faktor utama timbulnya penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan bahkan sekarang dihubungkan dengan kanker (Barker et al, 2005). Ditinjau dari segi psikososial kegemukan merupakan beban bagi yang bersangkutan karena dapat menghambat kegiatan jasmani, sosial, dan psikologis. Selain itu akibat bentuk yang kurang menarik, sering menimbulkan problem psikis dalam pergaulan yang membuat seseorang dapat menjadi rendah diri dan yang terburuk adalah keputusasaan (Dulloo, 2002). Dari berbagai penelitian bahkan diperoleh data adanya hubungan yang bermakna antara kegemukan dan harapan hidup seseorang dalam arti yang negatif (Bray, 2007). Obesitas telah menjadi pandemik global di seluruh dunia dan dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai masalah kesehatan kronis terbesar pada orang dewasa (WHO, 2003). Di Amerika Serikat lebih dari 50 % orang dewasa dan lebih dari 25 % anak-anak menderita berat badan lebih dan obesitas. Presentasi yang sangat tinggi menyebabkan epidemik penyakit kronis. Apabila percepatan penyakit obesitas berlanjut seperti sekarang kemungkinan sebagian besar populasi di Amerika Serikat menderita obesitas (Ogden et al, 2004). Hasil survey nasional tahun 1996/1997 di Ibukota seluruh provinsi di Indonesia 8,1% laki-laki tergolong memiliki berat badan lebih dari 6,8% obesitas, sedangkan 10,5% perempuan tergolong berat badan lebih dari 13,5% obesitas (Wiramihardja, 2004).
6
Himpunan Studi Obesitas Indonesia memeriksa lebih dari 6000 orang dari hampir seluruh provinsi dan didapatkan angka obesitas dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30kg/m2 pada laki-laki sebesar 9,16 % dan pada perempuan 11,02 % (Soegih, 2004). Apabila tren ini berjalan terus seperti sekarang ini, maka pada tahun 2025
tidak
mustahil
penduduk
Indonesia
akan
menyandang
gelar
“Obesitasogenik” terutama di daerah urban (Newman et al, 2004) Faktor-faktor risiko metabolik dan kardiovaskuler terutama penambahan berat badan pada masa dewasa dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Studi Framingham off Spring yang mengikuti perjalanan penyakit pasien selama 16 tahun mendapatkan peningkatan BB berkaitan erat dengan risiko metabolik dan kardiovaskuler serta sangat meningkatkan risiko PJK. (Bray, 2007). Penelitian Soegih dkk (2004) menggunakan ukuran lingkar pinggang (Lpi) sebagai gambaran obesitas abdominal pada laki-laki usia 42-60 tahun dan diikuti perjalanan penyakitnya selama 10 tahun. Hasil menunjukkan laki-laki dengan Lpi ≥ 90 memiliki peningkatan risiko dua kali lipat terhadap penyakit jantung koroner dibanding dengan yang memiliki ukuran Lpi < 83,5 (Hill, 2006). 2.2. Definisi Obesitas Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu obesitas, overweight, dan obesitas sentral. Obesitas adalah peningkatan lemak tubuh (body fat). Cara pengukurannya akan diterangkan kemudian. Overweight adalah peningkatan berat badan relatif apabila dibandingkan terhadap standar. Overweight kemudian menjadi istilah yang mewakili ”obesitas” baik secara klinis ataupun epidemiologis. Sedangkan obesitas sentral adalah peningkatan lemak tubuh yang lokasinya lebih banyak di daerah abdominal daripada di daerah pinggul, paha atau lengan. Penentuan adanya obesitas sentral ini penting karena berhubungan dengan adanya resistensi insulin yang merupakan dasar terjadinya sindroma metabolik (Kennedy, 2001).
7
2.3. Etiopatogenesis Obesitas penyebabnya multifaktorial dan berbagai penemuan terbaru yang berkaitan dengan penyebab obesitas menyebabkan patogenesis obesitas terus berkembang. Terjadinya obesitas secara umum berkaitan dengan keseimbangan energi di dalam tubuh. Keseimbangan energi ditentukan oleh asupan energi yang berasal dari zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, lemak dan protein serta kebutuhan energi yang ditentukan oleh kebutuhan energi basal, aktifitas fisik, dan thermic (Gwartney, 2005).
Energy Intake:
Energy Expenditure:
Carbohydrate Fat Protein
Basal Metabolis Rate Physical Activity Thermic Effect of Food
Energy Balance
Gambar 2.1. Keseimbangan energi
Keseimbangan energi di dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam tubuh yaitu regulasi fisiologis dan metabolisme ataupun dari luar tubuh yang berkaitan dengan gaya hidup (lingkungan) yang akan mempengaruhi kebiasaan makan dan aktivitas fisik. Regulasi fisiologis dan metabolisme dipengaruhi oleh genetik dan juga oleh lingkungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas (peningkatan lemak tubuh) ±70% dipengaruhi oleh lingkungan dan ±30% oleh genetik (Hill, 2006).
8
2.3.1. Faktor Genetika Banyak gen yang berkaitan dengan terjadinya obesitas, namun sangat jarang yang berkaitan dengan gen tunggal. Sebagian besar berkaitan dengan kelainan pada banyak gen. Setiap peptida/neurotransmitter yang merupakan sinyal neural dan humoral yang akan mempengaruhi otak memiliki gen tersendiri yang mengkodenya. Setiap mutasi pada gen-gen tersebut akan menyebabkan kelainan pada produksi neuropeptida/neurotransmitter yang mempengaruhi otak, sehingga juga akan mempengaruhi respon otak baik pada peningkatan asupan makanan ataupun menghambat asupan makanan. Setiap neuropeptida tersebut memiliki reseptor di otak, dan setiap reseptor memiliki gen tersendiri pula. Setiap mutasi pada gen tersebut akan menyebabkan kelainan reseptor yang akan mempengaruhi pula respon otak terhadap asupan makanan (Rankinen et al, 2006). Demikian pula faktor transkripsi yang mempengaruhi pembentukan sel lemak yaitu Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma (PPAR)-γ memiliki gen yang mengkodenya. Kelainan pada gen ini, akan pula menyebabkan kelainan pada nasib zat gizi. Mutasi pada gen PPAR-γ menyebabkan PPAR-γ tidak aktif Pada penyebab gen tunggal, diantaranya yang sudah diketahui adalah adanya mutasi pada gen leptin, reseptor leptin, reseptor melanocortin-4, proopiomelanocortin dan pada gen PPAR-γ. Adanya mutasi pada multigen penyebab obesitas saat ini terus diteliti dan diketahui bahwa individu yang berasal dari keluarga yang obesitas, memiliki kemungkinan obesitas 2-8 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang tidak obesitas. Sangat besar kemungkinan bahwa penyebab obesitas tersebut bukan hanya pada suatu gen tunggal tapi adanya mutasi pada beberapa gen. (Rankinen et al, 2006). 2.3.2. Faktor Hormonal Fungsi hormon dalam tubuh berfungsi mengendalikan berbagai fungsi organ dan kerja faal tubuh. Kemampuan fungsi hormon ini berkaitan dengan usia seseorang. Semakin bertambah usia manusia, tubuh hanya mempu memproduksi hormon sedikit, sehingga kadarnya dalam tubuh pun menurun. Akibatnya berbagai fungsi tubuh pun terganggu. Seperti: gerakan menjadi
9
lambat, massa otot berkurang, lemak tubuh meningkat, daya ingat menurun dan fungsi seksual terganggu (Pangkahila, 2007). Sehingga tidak jarang kita temui di masyarakat, sebagian besar orang tua bertumbuh tambun dengan lemak tubuh yang lebih banyak dibanding kala usia mereka masih muda. Keterkaitan obesitas dengan fungsi hormon yang menurun akibat bertambahnya usia menjadi salah satu penyebab obesitas. 2.3.3. Perilaku dan Lingkungan Faktor perilaku dan lingkungan meliputi makanan dan aktivitas fisik serta faktor-faktor lain seperti obat, racun dan virus (Soegih et al, 2004). 2.3.4. Makanan Terjadinya obesitas merupakan dampak dari terjadinya kelebihan asupan energi (energy intake) dibandingkan dengan yang diperlukan (energy expenditure) oleh tubuh sehingga kelebihan asupan energi tersebut disimpan dalam bentuk lemak. Makanan merupakan sumber dari asupan energi. Di dalam makanan yang akan diubah menjadi energi adalah zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, protein dan lemak (Gee et al, 2008). Apabila asupan karbohidrat, protein dan lemak berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah terbatas dan sisanya lemak, protein akan dibentuk sebagai protein tubuh dan sisanya lemak, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas. Faktor-faktor yang berpengaruh dari asupan makanan terhadap terjadinya obesitas adalah: kuantitas, porsi perkali makan, kepadatan energi dari makanan yang dimakan, kebiasaan makan (contoh kebiasaan makan malam hari), frekuensi makan, dan jenis makanan (Snetselaar, 2008). 2.3.5. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi
(energy expenditure), sehingga apabila aktivitas fisik
rendah maka kemungkinan terjadinya obesitas akan meningkat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lamanya kebiasaan menonton televisi
10
(inaktivitas)
berhubungan
dengan
peningkatan
prevalensi
obesitas.
Sedangkan aktivitas fisik yang sedang hingga tinggi akan mengurangi kemungkinan terjadinya obesitas (Gwartney,2005). 2.3.6. Obat Terdapat
beberapa
obat-obatan
yang
terbukti
meningkatkan
kemungkinan terjadinya obesitas. Tabel 2.1 Obat-obatan yang dapat meningkatkan berat badan (Bray, 2007)
KATEGORI
Neuroleptics
OBAT YANG MENYEBABKAN OBESITAS
Thioridazine, olanzepine quetiapine, resperidone, clozapine, ziprasodone
Antidepressants Tricyclics
Amitriptyline, nortriptyline
Monoamine oxidase inhibitors
Impramine, mitrazapine
Selective serotonin reuptake inhibitors
Paroxetine
Anti-convulsants
Valproate, carbamazepine, gabapentin
Anti-diabetic drugs
Insulin, sulfonylureas, thiazolidinediones
Anti-Serotonin
Pizotifen
Antihistamines
Cyproheptidine
β-adrenergic blokers
Propanolol, terazosin
Steroid hormones
Contraceptives,glucocorticoids, progestational steroids
11
2.4. Penyakit Penyerta Pada Obesitas Prevalensi obesitas (IMT > 30) merupakan masalah kesehatan pada anak, remaja, dan dewasa di Amerika Serikat. Telah dilaporkan dari Survey NHANES bahwa prevalensi obesitas pada pria tahun 2003-2004 adalah 31,1% dan pada tahun 2005-2006 adalah 33,3%. Pada wanita, prevalensi obesitas tahun 2003-2004 adalah 33,2% dan tahun 2005-2006 adalah 35,3%. Pada anak dan remaja umur 2-19 tahun, prevalensi obesitas tahun 2003-2006 adalah 16,3% (Newman, 2004). Obesitas telah dilaporkan berhubungan langsung dengan mortalitas dan penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, dislipidemia, osteoarthritis, beberapa tipe kanker (endometrium, payudara, colon), dan penyakit kandung empedu. Kopelman et. al melaporkan bahwa remaja yang ditemukan memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) tinggi berhubungan dengan kematian pada umur muda dan wanita middle-age. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa individu yang mempunyai massa jaringan adiposa yang tinggi dan aktivitas fisik yang rendah adalah merupakan faktor risiko untuk terjadi kematian pada wanita. Individu yang memiliki IMT > 25 diprediksi
memiliki
risiko
tinggi
untuk
terjadi
kematian,
dengan
mengesampingkan data tingkat aktivitas fisiknya. Dengan kata lain, dengan aktivitas fisik yang tinggi belum tentu dapat mencegah risiko pada overweight (Kopelman et al, 2005). Seseorang yang menderita obesitas tentunya belum tentu memiliki penyakit penyerta, dilaporkan bahwa banyak juga yang memiliki metabolisme yang normal. Secara umum, bagaimanapun juga obesitas dianggap sebagai suatu penyakit dengan gangguan metabolisme. Beberapa penyakit kronik: penyakit jantung koroner, diabetes tipe 2, hipertensi, stroke, penyakit kandung empedu, mendengkur, beberapa tipe kanker, dan osteoarthritis menjadi semakin parah bila dibarengi dengan penyakit obesitas (Ogden et al, 2004). Masalah lain ditemukan adanya hubungan antara obesitasi dan penyakit perlemakan hati non-alkohol. Penyakit ini dapat memburuk menjadi end-stage liver disease. Obesitas juga merupakan faktor risiko bagi infertilitas, terganggunya penyembuhan luka, terganggunya respon antibody terhadap vaksin hepatitis B (WHO, 2005).
12
Obesitas pun dihubungkan dengan masalah ekonomi. Para pakar ekonomi menemukan hal yang mengejutkan bahwa diperlukan biaya yang tinggi untuk menanggulangi obesitas. Para ekonomi melakukan estimasi bahwa biaya untuk penanggulangan overweight dan obesitas adalah sebesar 10% dari total anggaran pengeluaran pemerintah Amerika Serikat yaitu sebesar 92,6 milyar dolar (WHO, 2000). Dengan permasalahan diatas maka beberapa institusi menetapkan rekomendasi penanggulan obesitas dan berbagai permasalahannya.
Kematian Perkiraan terdapat 300.000 kematian per tahun yang berhubungan dengan obesitas. Makin meningkatnya berat badan maka makin tinggi risiko kematian. Walaupun kelebihan berat badan dalam batas sedang (4-9 kg dari berat badan ideal) namun tetap meningkatkan risiko kematian, khususnya pada dewasa umur 30-64 tahun. Seseorang yang menderita obesitas (IMT > 30) memiliki tingkat risiko 50100% lebih tinggi untuk mengalami kematian, bila dibandingkan dengan individu yang sehat. Penyakit Jantung Insidensi penyakit jantung (heart attack, congestive heart failure, sudden cardiac death, angina atau nyeri dada, dan abnormal heart rhythm) akan meningkat pada individu yang menderita overweight maupun obesitas (IMT > 25). Seseorang yang menderita obesitas akan memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami tekanan darah tinggi, bila dibandingkan dengan orang sehat. Obesitas berhubungan dengan meningkatnya trigliserida dan menurunnya HDL. Sindroma Metabolik/Sindroma X Beberapa kelompok pakar telah mengembangkan definisi dan kriteria Sindrom Metabolik (Sindrom metabolik). Definisi dan kriteria yang paling banyak digunakan adalah yang dibuat oleh World Health Organization (WHO), The European Group for The Study of Insulin Resistance (EGIR), The National
13
Cholesterol Education Program – Third Adult Treatment Panel (NCEP ATP III) dan International Diabetes Federation (IDF). Seluruh organisasi tersebut telah sepakat bahwa komponen utama Sindrom metabolik adalah obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, dan hipertensi. Walaupun begitu, panduan yang ada sulit untuk diaplikasikan di klinik akibat hasilnya kadang kontroversi (WHO, 2005).
NCEP ATP III mengidentifikasikan 6 komponen Sindrom metabolik:
Obesitas abdominal
Dislipidemia atherogenik
Peningkatan tekanan darah
Resistensi insulin, intoleransi glukosa
Status proinflamasi
Status protrombotik
Sindroma X (SinX) adalah suatu kumpulan gejala pada seseorang yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 (DM tipe 2) dan penyakit jantung koroner (PJK). SinX juga memiliki hubungan dengan kondisi resistensi insulin. SinX ini terjadi pada 20%-25% orang dewasa di Amerika Serikat. Dr. Reaven adalah orang pertama yang mengungkapkan masalah ini pada tahun 1988, yaitu dengan menjelaskan beberapa faktor risiko: dislipidemia, hipertensi, hiperglikemia. Hal ini baru mendapat perhatian para ahli dan masyarakat 8 tahun kemudian. Setelah itu, SinX mulai dikenal oleh masyarakat luas, tetapi terjadi masalah ketika akan diaplikasikan akibat tidak adanya kriteria yang jelas. SinX kemudian juga dikenal sebagai Sindroma Resistensi Insulin, yang kemudian saat ini berkembang menjadi Sindroma Metabolik. Selain DM tipe 2 dan PJK, orang yang mengalami SinX sangat rentan untuk menderita: sindroma polikistik ovarium, perlemakan hati, batu empedu, asma, gangguan tidur, dan beberapa bentuk keganasan. Sampai saat ini, ada beberapa versi mengenai definisi dan panduan SinX, yaitu berdasarkan versi: World Health Organization (WHO), The American Heart Association (AHA) dan National Heart, Lung, dan Blood Institute (NHLBI). Definisi yang paling sering digunakan dan yang paling mutakhir adalah:
14
Obesitas sentral: Peningkatan deposit lemak pada abdomen (Lingkar pinggul ≥ 40 inchi pada pria dan ≥ 35 inchi pada wanita).
Dislipidemia: Peningkatan kadar trigliserida plasma (> 150mg/dL), HDLkholesterol plasma rendah (< 40mg/ dL pada pria, < 50 mg/ dL pada wanita).
Resistensi insulin: Hiperinsulinemia, hiperglycemia (gula darah puasa > 110 mg/ dL).
Peningkatan tekanan darah: ≥130/85 mmHg.
Faktor-faktor risiko dalam Sindrom metabolik terdiri dari faktor risiko underlying, major, dan emerging. Berdasarkan ATP III faktor risiko untuk PJK adalah: 1. Underlying: obesitas (terutama obesitas abdominal), tidak aktif dalam hal fisik, dan diet yang menimbulkan atherogen. 2. Major: merokok, hipertensi, meningkatnya LDL, menurunnya HDL, riwayat PJK premature pada keluarga, dan penuaan. 3. Emerging: peningkatan trigliserida, partikel LDL yang berukuran kecil, resistensi insulin, intoleransi glukosa, status proinflamatori, dan status protrombotik (WHO, 2005). Berikut adalah penjelasan daripada masing-masing faktor risiko: 1. Obesitas abdominal adalah salah satu bentuk obesitas yang memiliki hubungan yang paling kuat dengan Sindrom metabolik. Obesitas abdominal ini diperoleh melalui pengukuran lingkar pinggang. 2. Dislipidemia atherogenik diidentifikasi melalui peningkatan trigliserida dan penurunan HDL. Analisis yang lebih lengkap: peningkatan lipoprotein remnant, peningkatan apolipoprotein B, partikel LDL yang berukuran kecil, dan partikel HDL yang berukuran kecil. 3. Peningkatan tekanan darah sangat berkaitan erat dengan obesitas dan biasanya timbul pada orang yang mengalami resistensi insulin. 4. Resistensi insulin diderita oleh sebagian besar orang yang mengalami Sindrom metabolik. Resistensi insulin memiliki korelasi yang kuat dengan faktor risiko yang lain, terutama merupakan faktor risiko pada PJK. 5. Status proinflamatori ditandai dengan peningkatan C-reactive Protein (CRP). Berbagai mekanisme akan menimbulkan peningkatan CRP, salah
15
satunya adalah obesitas, akibat kelebihan jaringan adipose akan menghasilkan sitokin yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. 6. Status protrombotik ditandai dengan peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI)-I plasma dan fibrinogen. Fibrinogen merupakan reaktan fase akut seperti CRP, akan meningkatkan pada kondisi sitokin yang tinggi pada tubuh.
Tabel 2.2 Kriteria Metabolic Syndrome berdasarkan IDF
Metabolic Syndrome: IDF Criteria
Mandatory component:
Central obesitasity – waist circ. Ethnicity specific
Europid >= 94 cm men, >= 80 cm women
Asian (not japanese) >= 90 cm men, >= 80 cm women
Japanese >= 85 cm men, >= 90 cm women
Plus two or more of other criteria:
Triglycerides > 1.7 mmol/L or on specific treatment
HDL cholesterol < 1.03 mmol/L in men, < 1.29 in women or on specific treatment
Blood pressure >/= 130/85 or on treatment
FBG >/= 5.6 mmol/L or previously diagnosed T2DM
(Sumber: Boyko, 2000)
Berdasarkan kriteria IDF, seseorang mengalami metabolic sindrom bila mengalami:
Obesitas sentral (Lingkar pinggang ≥ 94 cm untuk pria dan ≥ 80 cm untuk wanita (WHO, 2000). Ditambah dua dari faktor-faktor berikut:
Peningkatan trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang memperoleh pengobatan kadar lipid yang abnormal.
16
Penurunan kadar HDL kolesterol < 40 mg/dL (0,9 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,1 mmol/L) pada wanita atau sedang memperoleh pengobatan kadar lipid yang abnormal.
Peningkatan tekanan darah: sistolik ≥ 130 atau diastolik ≥ 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi.
Peningkatan kadar glukosa puasa plasma ≥ 100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau telah didiagnosa menderita diabetes tipe 2. Jika > 100 mg/dL atau 5,6 mmol/L, sangat dianjurkan untuk dilakukan Oral Glucose Tolerance Test (OGTT).
Tabel 2.3 Identifikasi Sindroma Metabolik secara klinis Berdasarkan ATP III (WHO, 2000) Faktor Risiko
Batasan
Obesitas abdominal, pengukuran lingkar pinggang Pria
> 102 cm (> 40 in)
Wanita
> 88 cm (> 35 in)
Trigliserida
≥ 150 mg/dL HDL Kolesterol
Pria
< 40 mg/dL
Wanita
< 50 mg/dL
Tekanan darah
≥ 130 / ≥ 85 mmHg
Glukosa puasa
≥ 110 mg/dL
Diabetes
Peningkatan berat badan sebanyak 5 – 8 kg akan meningkatkan risiko untuk terjadinya Diabetes mellitus tipe 2, dua kali lebih tinggi bila dibandingkan individu yang tidak mengalami peningkatan berat badan.
80% penderita Diabetes mellitus juga mengalami overweight atau obesitas.
Kanker
Overweight dan obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya beberapa jenis kanker: endometrium, colon, empedu, prostat, ginjal, dan payudara (postmenopausal).
17
Wanita yang mengalami peningkatan berat badan lebih dari 5 kg sejak umur 18 tahun akan memiliki risiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara (postmenopausal), bila dibandingkan dengan wanita yang berat badannya stabil.
Masalah pernafasan
Sleep apnea (terhentinya pernafasan ketika sedang tidur) biasa terjadi pada seseorang yang menderita obesitas.
Obesitas berhubungan dengan terjadinya penyakit asma.
Arthritis
Setiap peningkatan 1 kg berat badan, risiko terjadinya arthritis akan meningkat sebanyak 9 – 13%.
Penurunan berat badan akan dapat mengurangi masalah akan gejala-gejala dari arthritis.
Penyulit pada masalah reproduksi
Penyulit pada kehamilan:
Obesitas pada kehamilan berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian baik untuk ibu dan bayi, serta meningkatkan risiko peningkatan tekanan darah ibu sebanyak 10 kali lipat.
Obesitas pada kehamilan berhubungan dengan terjadinya diabetes yang dapat menimbulkan masalah ketika melahirkan.
Bayi baru lahir, dari wanita yang mengalami obesitas pada kehamilan, memiliki risiko menjadi bayi besar sehingga tingkat operasi caesar akan makin tinggi, serta akan mengalami rendahnya kadar glukosa darah (dapat berhubungan dengan kerusakan otak dan kejang).
Obesitas pada kehamilan berhubungan dengan meningkatnya risiko birth defects, khususnya kelainan neural tube, seperti spina bifida.
Obesitas pada wanita premenopause berhubungan dengan siklus menstruasi yang tidak teratur dan infertilitas.
18
Masalah kesehatan lain
Overweight dan obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit kandung empedu, inkontinensia, prognosis yang lebih buruk pada kasus bedah, dan mengalami masalah kejiwaan seperti depresi.
Obesitas dapat mempengaruhi kualitas hidup akibat keterbatasan pergerakan tubuh dan menurunkan ketahanan fisik (endurans).
Obesitas juga memberikan dampak yang lebih buruk terhadap kualitas hidup akibat masalah sosial, akademik, dan diskriminasi pada sektor pekerjaan.
Masalah pada anak dan remaja
Overweight pada anak dan remaja merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung, seperti tingginya kadar kolesterol dan tingginya tekanan darah, bila dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal.
Angka kejadian Diabetes mellitus tipe 2, dahulu merupakan penyakit orang dewasa, sangat meningkat pada anak dan remaja. Overweight dan obesitas sangat berhubungan dengan Diabetes tipe 2.
Remaja yang menderita overweight memiliki risiko sebanyak 70% untuk mengalami overweight atau obesitas pada saat dewasa. Angka ini akan meningkat sebanyak 80% jika salah satu orang tua menderita overweight atau obesitas.
Konsekuensi yang dapat langsung terjadi pada overweight adalah diskriminasi sosial, sehingga anak atau remaja akan mengalami penurunan kualitas hidup.
2.5. Cara Menilai Obesitas Langkah pertama yang harus dilakukan sebelum memberikan terapi pada pasien obesitas adalah melakukan evaluasi. Komponen dasar yang harus dievaluasi pada pasien overweight dan obesitas adalah pemeriksaan medis dan laboratorium (WHO, 2003). 2.5.1.
Anamnesis Pada
anamnesis,
lakukan
identifikasi
kejadian
tertentu
yang
berhubungan dengan peningkatan berat badan (BB). Apakah BB bertambah dalam waktu singkat atau dalam periode yang lama. Apabila memungkinkan identifikasi faktor etiologi yang menyebabkan obesitas, seperti pola makan, pola
19
aktivitas fisik, penggunaan obat yang menyebabkan BB naik, berhenti merokok, dan lain-lain. Dan juga tanyakan program-program penurunan BB yang telah dilakukan baik yang berhasil ataupun tidak. Kemudian tanyakan apakah anggota keluarga lain ada yang obesitas. Selain itu, tanyakan mengenai komplikasi obesitas yang ada, seperti osteoarthritis dan lain-lain. 2.5.2. Pemeriksaan Fisik dan Antropometri 2.5.2.1. Pengukuran Berat Badan Prosedur pengukuran BB pada orang dewasa berdasarkan WHO tahun 2002:
Dilakukan
setelah
kandung
kemih
dikosongkan
dan
sebelum
mengkonsumsi makanan.
Timbangan yang digunakan adalah Beam balance bila memungkinkan, tapi dapat juga digunakan timbangan digital.
Sebaiknya subyek menggunakan pakaian seringan mungkin, tanpa alas kaki atau kaus kaki.
Timbangan harus diletakkan pada permukaan datar dan keras.
Sebelum penimbangan dilakukan, angka di timbangan menunjukkan angka 0.
Subyek berdiri tanpa bantuan, ditengah-tengah timbangan, berdiri dengan kepala tegak tetapi tetap santai tidak bergerak.
Bila menggunakan Beam balance, geser anak timbangan sehingga timbangan menjadi seimbang.
Pembacaan dilakukan dalam kg dengan ketelitian 1 angka dibelakang koma.
Kemudian dicatat.
2.5.2.2 Pengukuran Tinggi Badan Prosedur pengukuran TB pada orang dewasa
Microtoise digantungkan pada dinding yang tegak lurus dan datar setinggi 2 meter dari lantai yang datar dengan angka 0 tepat di lantai.
Subyek yang akan diperiksa sebaiknya menggunakan pakaian yang ringan dan melepaskan alas kaki atau kaus kaki.
20
Pada saat pengukuran, subyek berdiri tegak, dengan posisi kepala menghadap lurus ke depan, kaki merapat, dan tulang belikat, pinggul, dan bahu menempel ke dinding. Kedua lengan tergantung bebas di samping tubuh.
Bagian yang dapat bergerak dari Microtoise diturunkan dengan hati-hati hingga menyentuh bagian atas kepala, dan diturunkan hingga menekan rambut.
Pengukuran dilakukan saat inspirasi maksimal.
Lakukan pembacaan pada angka di Microtoise.
2.5.2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT) Pengukuran yang paling sering digunakan dan paling sederhana adalah BB dan TB. Pengukuran BB dan TB yang akurat merupakan langkah awal dalam pemeriksaan klinis, karena kedua pengukuran tersebut dibutuhkan untuk menghitung IMT. Metoda yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur tingkat obesitas, yang didapat dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter). Nilai IMT yang didapat tidak tergantung pada umur dan jenis kelamin (WHO, 2003). Sebagai contoh: menghitung IMT seseorang yang memiliki berat 95 kg dan tinggi 180 cm:
IMT =
95 kg (1,8 m x 1,8 m)
=
95 kg
=
29,32 kg/m2
3,24 m2
Jadi IMT orang tersebut adalah : 29 kg/m2 IMT berkorelasi bermakna dengan lemak tubuh, dan relatif tidak dipengaruhi oleh TB. Hubungan IMT dengan risiko penyakit berbentuk kurva linier, beberapa risiko dapat diidentifikasi dengan menggunakan IMT. Cut off yang digunakan untuk menentukan risiko diambil dari data yang dikumpulkan pada ras kaukasian. Tetapi dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan presentase lemak pada orang dengan IMT sama tapi
21
berasal dari etnis yang berbeda. Oleh karena itu, dibuatlah cut off yang berbeda untuk orang Asia (tabel 2.4).
Tabel 2.4 Risiko morbiditas yang berhubungan dengan Indeks Massa Tubuh dan lingkar perut pada orang dewasa Asia. (Despres, 2001) Risiko morbiditas Klasifikasi
2
IMT (kg/m )
Lingkar perut < 90 cm (laki-
≥ 90 cm (laki-
laki)
laki) ≥
< 80 cm (perempuan) Underweight
< 18,5
Rendah
(tapi
80
cm
(perempuan) Rata-rata
risiko klinis lain meningkat) Normal
18,5 – 22,9
Rata-rata
Meningkat
Overweight
≥ 23
Berisiko
23 – 24,9
Meningkat
Sedang
Obesitas I
25 – 29,9
Sedang
Berat
Obesitas II
≥ 30
Berat
Sangat berat
Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat digunakan pada: Anak-anak yang dalam masa pertumbuhan Wanita hamil Orang yang sangat berotot, contohnya atlet dan binaragawan
IMT dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena risiko penyakit tertentu yang disebabkan karena berat badannya. Seseorang dikatakan obesitase dan membutuhkan pengobatan bila mempunyai IMT di atas 30, dengan kata lain orang tersebut memiliki kelebihan BB sebanyak 20%.
22
Tabel 2.5
Klasifikasi IMT Menurut WHO (1998)
Kategori
IMT (kg/m2)
Underweight
< 18.5 kg/m2
Batas Normal Overweight: Pre-obesitase Obesitase I Obesitase II Obesitase III
18.5 - 24.9 kg/m2 > 25 25.0 – 29.9 kg/m2 30.0 - 34.9kg/m2 35.0 - 39.9 kg/m2 > 40.0 kg/m2
Risiko Comorbiditas Rendah (tetapi risiko terhadap masalah-masalah klinis lain meningkat) Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya Sangat Berbahaya
Tabel 2.6
Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan IMT pada Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2000) Kategori
IMT (kg/m2) 2
Underweight
< 18.5 kg/m
Batas Normal Overweight: At Risk Obesitase I Obesitase II
18.5 - 22.9 kg/m2 > 23 23.0 – 24.9 kg/m2 25.0 - 29.9kg/m2 > 30.0 kg/m2
Risiko Comorbiditas Rendah (tetapi risiko terhadap masalah-masalah klinis lain meningkat) Rata rata Meningkat Sedang Berbahaya
2.5.2.4 Pengukuran Lingkar Pinggang Pengukuran lingkar pinggang paling tepat untuk menentukan obesitas sentral. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita plastik atau logam yang tidak elastic, di daerah setinggi umbilicus atau pada titik tengah antara tulang iga paling bawah dengan puncak tulang iliaka. Walaupun pengukuran lemak viseral/sentral yang paling akurat adalah dengan CT scan atau MRI, tetapi mahal dan tidak praktis. Penelitian-penelitian membuktikan lingkar perut adalah pemeriksaan yang baik dan praktis serta tidak sulit (Despres, 2001).
23
Lemak pada daerah abdominal (viseral) berhubungan dengan faktor risiko kardiovaskuler sindrom metabolik, meliputi diabetes tipe 2, gangguan toleransi glukosa, hipertensi, dan dislipidemia. Pengukuran lingkar pinggang juga penting dilakukan pada saat pasien sedang menjalankan program penurunan BB, karena lingkar perut yang mengecil secara bermakna akan menurunkan risiko di atas walaupun BB tidak berubah.
Gambar 2.2. Cara Pengukuran Lingkar Pinggang
24
2.5.3. Penyebaran Lemak Mengetahui jumlah total lemak di dalam tubuh adalah hal utama untuk mengetahui tingkat obesitas dan bahaya kesehatan yang ditimbulkannya, hal lain yang juga tak kalah penting adalah mengetahui distribusi atau lokasi lemak tersebut berada. Lemak yang berada di sekitar perut (abdominal fat) memberikan risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan lemak di daerah paha atau bagian tubuh yang lain (gluteofemoral fat). Suatu metode yang sederhana namun cukup akurat untuk mengetahui hal tersebut adalah mengukur lingkar pinggang. Pengukuran lingkar pinggang adalah sebuah tolak ukur dari massa lemak intra abdominal dan total body fat. Perubahan dalam lingkar pinggang menggambarkan perubahan faktor risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit-penyakit kronik lainnya. (WHO, 2003).
2.5.4. Bentuk Tubuh Cara lain untuk mengetahui distribusi lemak tubuh adalah dengan cara melihat bentuk tubuh. Terdapat 3 macam bentuk tubuh berdasarkan karakteristik distribusi lemak (Boyko, 2000). Antara lain:
Gambar 2.3. Bentuk Tubuh
Gynoid (Bentuk Peer) Lemak disimpan di sekitar pinggul dan bokong Tipe ini cenderung dimiliki wanita. Risiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya kecil, kecuali risiko terhadap penyakit arthritis dan varises vena (varicose veins)
25
Apple Shape (Android) Biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut. Risiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe Gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan penyempitan arteri (hipertensi), diabetes, penyakit kandung empedu, stroke, dan jenis kanker tertentu (payudara dan endometrium). . Ovid (Bentuk Kotak Buah) Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid umumnya terdapat pada orangorang yang gemuk secara genetik
2.5.5. Faktor Risiko Pengukuran lingkar pinggang dipakai sebagai prediktor yang lebih baik terjadinya risiko penyakit daripada indeks massa tubuh dan sebagai indikator general adiposity. (Pischon,et al. 2008).
26
Tabel 2.7 Kombinasi IMT dan Lingkar Pinggang Untuk Menilai Obesitas dan Risiko Diabetes Tipe 2 dan Penyakit Kardiovaskular pada Populasi Dewasa Secara Umum
Klasifikasi
IMT (kg/m2)
Lingkar Pinggang dan Risiko Komorbiditas Laki – Laki 94–102cm Perempuan 80-88cm
Underweight Healthy weight Overweight (or pre-obesitase) Obesitasity
Kurang dari 18.5 18.5–24.9 25–29.9 30 atau lebih
Laki – Laki > 102cm Perempuan > 88cm
– –
– Meningkat
Meningkat
Tinggi
Tinggi
Sangat Tinggi
Sumber: National Institute for Health and Clinical Excellence, 2006
Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa semakin besar nilai indeks massa tubuh dan lingkar pinggang seseorang, maka semakin besar risiko menderita penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular lainnya. 2.6. Terapi Obesitas Tujuan pengelolaan/pengobatan obesitas adalah bagaimana menurunkan berat badan (BB) dengan cara yang “lege artis” dan mempertahankan BB pada tingkat yang wajar sesuai dengan BB seharusnya atau yang dikehendaki pasien, lebih penting adalah mengobati dan menurunkan terjadinya risiko komorbid. Untuk mendapatkan hasil terapi obesitas yang memuaskan pasien perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 2.6.1. Motivasi dari pasien Motivasi pasien untuk menurunkan BB perlu dicari karena dapat dipakai untuk mengetahui kesungguhan pasien berobat. Contoh: pasien datang karena dua bulan lagi akan melangsungkan pernikahan atau seseorang datang dan harus menurunkan BB karena kalau tidak turun harus dilakukan operasi by pass jantung.
27
Pada keadaan pasien tadi mempunyai motivasi yang kuat sehingga ada kesungguhan untuk memenuhi BB. Hal-hal seperti dalam contoh tadi perlu digali dari pasien.
2.6.2. Disiplin diri (self discipline) Disiplin perlu ditanamkan pada pasien karena tanpa disiplin yang kuat sukar untuk mendapatkan hasil yang baik.
2.6.3. Strategi jangka panjang (long term strategy) Program penurunan BB harus merupakan strategi jangka panjang karena overweight dan obesitas merupakan kondisi yang kronis, oleh sebab itu intervensi jangka pendek tidak efektif dengan risiko BB akan kembali lagi dengan cepat begitu pengobatan dihentikan. Program penurunan BB harus diatur untuk jangka panjang/sepanjang hidup (longlife) disertai dengan mekanisme pengukuran untuk mencegah “relapse” dan pengertian bahwa obesitas itu dapat menyebabkan terjadinya berbagai faktor risiko.
2.6.4. Tujuan yang realistis Keberhasilan program penurunan BB sebaiknya didiskusikan dengan pasien dan disetujui berapa berat badan yang ingin diturunkan dan diterapkan sebaiknya bertahap. Keberhasilan dari program hendaknya memperhatikan faktor umur pasien, tingkat kegemukan, dan ada tidaknya faktor risiko.
2.7. Pengelolaan Obesitas Ada beberapa metode dalam pengelolaan/terapi obesitas. Secara kronologis dapat dibagi menjadi:
2.7.1. Terapi Utama “Primary Treatment” Terapi yang harus dilakukan dan sebaiknya dijalankan bersamaan: Diet terapi Latihan fisik/Physical Activity/Exercise Perubahan perilaku/Behaviour modification
28
2.7.2. Terapi Medis (Medical Therapy) Diberikan pada penderita obesitas yang disertai satu atau lebih komorbid, misalnya dengan DM dan PJK.
2.7.3 Terapi Pendampingan (Adjunctive Therapy): adalah terapi tambahan agar terapi utama dapat dijalankan dengan baik.
2.7.4
Farmakoterapi Penggunaan obat-obat anti obesitas ditujukan untuk membantu terapi
utama supaya prinsip-prinsip dalam terapi utama dapat dijalankan dengan taat. Penggunaan sebaiknya tidak terlalu lama karena sering menimbulkan toleransi. WHO menganjurkan obat anti obesitas sebaiknya pada orang dewasa dengan IMT ≥ 27 kg/m2 dengan komorbid atau individu dengan IMT > 30 kg/m2 tetapi untuk di Indonesia hal ini sulit dijalankan karena pasien di Indonesia mempunyai prinsip kalau berobat karena dapat resep obat, oleh sebab itu penggunaan obat anti obesitas sebaiknya tidak terlalu lama dan sering divariasi untuk menghindari toleransi dan “drugs abuse” (WHO, 2003). 2.7.4.1 Jenis Obat Anti Obesitas Obat penekan nafsu makan (anorektik, anoreksan) pada umumnya termasuk dalam golongan obat simpatomimetik dan kebanyakan memiliki efek perangsangan susunan saraf pusat. Peran obat anorektik di dalam usaha menurunkan BB biasanya hanya bersifat ajuvan sementara. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu preparat pun yang bebas dari efek samping, dan efek penekanan nafsu makan umumnya hanya berlangsung sementara karena timbulnya toleransi obat. Penggunaan obat ini terus menerus dapat mengakibatkan terjadinya ketergantungan psikis dan fisik. Serta penghentian obat secara mendadak setelah pemberian dosis terapi yang cukup lama atau dosis besar dalam waktu singkat dapat menimbulkan keluhan rasa lelah (fatique) dan depresi untuk sementara waktu. Karena itu dianjurkan pemakaian obat ini dengan dosis kecil dan jangka waktu pemberian yang singkat.
29
Sebagian besar dari obat anorektik menimbulkan efek samping yang disebabkan terutama akibat rangsangan susunan saraf pusat, yaitu berupa kegelisahan, tremor, insomnia, hilangnya rasa lelah, meningkatnya kewaspadaan serta daya konsentrasi, dan eforia. Taraf selanjutnya rangsangan sentral ini diikuti dengan rasa lelah dan depresi. Selain itu timbul pula efek pada sistem saraf simpatik berupa gangguan kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan peningkatan denyut jantung (takikardi), gangguan saluran cerna, dan lain-lain (Soegih et al, 2004). Penggunaan obat anorektik pada penderita yang rentan sering menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik. Amfetamin, dekstroamfetamin, metampetamin, dan fentermin baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi termasuk golongan anorektik yang sering disalahgunakan. Sedang golongan dietilpropion, fenfluramin, dan fentermin termasuk golongan yang kemungkinan penyalahgunaannya terendah. Gejala putus obat yang dialami oleh seseorang penyalahguna anorektik dapat berupa kelelahan kronis seperti depresi mental, asthenia tremor dan gangguan saluran cerna, yang kadang-kadang diikuti dengan rasa mengantuk yang berat dan tidur yang lama. Pada umumnya gejala keracunan akut obat golongan amfetamin dapat berupa peningkatan dari efek farmakologisnya, dan bila mencapai dosis fatal, maka timbul kejang, koma (hilangnya kesadaran), dan pendarahan otak. Dosis toksik sangat bervariasi, pada keadaan idiosinkrasi dosis sebesar 2 mg sudah dapat menimbulkan efek toksik. Sedang dosis toksik secara umum berkisar antara 100 - 500 mg (Wiramihardja, 2004).
2.7.5. Terapi Bedah Dalam penanganan obesitas, tindakan bedah dapat dibagi menjadi: 1. Tindakan untuk mengkoreksi tubuh. Tindakan ini lebih dikenal sebagai bedah estetik. Misalnya: mengencangkan payudara yang kendor akibat BB yang turun atau perut yang kencor yang dikenal sebagai (tummy tuck). 2. Tindakan untuk menurunkan BB pada penderita obesitas invasif, dimana IMT > 40 kg/m2 Misalnya:
30
Laparoscopic Adjustable Gastric Binding (LAGB)
Vertical Banden Gastroplasty (VBG)
Roux-Cu-Y Gastric By Pass (RYGB)
Gastric Baloon
2.7.6. Terapi Non Bedah 1. Body galvanic 2. Gravatory vibration massage (G5) 3. Body Mecano Therapy 4. Vacuum Suction (VC) 5. Radiasi Infra Merah dan Ultra Violet 6. Electro Therapy 7. Accupuncture 8. Mesotherapy
adalah
merupakan
suatu
pengobatan
kosmetik
untuk
menghancurkan jaringan lemak tanpa bedah dengan melibatkan obat-obat seperti ekstrak tumbuhan, vitamin maupun zat lain yang disuntikkan ke jaringan lemak subkutan (Young, 2003). Zat-zat yang disuntikkan antara lain:
T3-T4 thyroid,
Isoproterenol
Aminophylline
Pentoxifylline
L-carnitine
L-arginine
Hyaluronidase
Collagenase
Yohimbine
Lymphomyosot
Co-enzyme cofactors
Dimethylethanolamine
Gerovital
Glutathione
Tretinoin
Alpha lipoic acid
Vitamin C
31
Procaine
Lidocaine
Ginkgo biloba
Melilotus
C-adenosine monophosphate
Multiple vitamins
Phosphatydilcholine
Trace mineral elements
Carbon dioxide (Rittes, 2006)
Mesoterapi mempunyai beberapa manfaat antara lain :
Menghilangkan selulit
Menurunkan berat badan
Mempunyai efek anti-penuaan
Menghilangkan deposit-deposit lemak (Salles, 2006).
2.7.7.
Phosphatydilcholine Phosphatydilcholine merupakan komponen fosfolipid utama pada
membran
sel
dan
menjadi
precursor
dari
asetilkolin.
phosphatydilcholine terdiri dari kelompok phosphorylcholine,
Molekul gliserol
phosphat, dan dua rantai asam lemak yang bervariasi.
Gambar 2.4. Molekul Phosphatydilcholine
Setelah berada di dalam sel, kolin akan segera difosforilasi oleh kolin kinase menjadi phosphocholine, yang bereaksi dengan sitidin trifosfat (CTP) untuk membentuk cytidine-diphosphocholine. Enzim transferase mengkatalisis
32
reaksi cytidine-diphosphocholine dengan diasilgliserol dengan membentuk phosphatydilcholine.
Gambar 2.5. Biosintesis Phosphatydilcholine
Di pasaran beredar sediaan phosphatydilcholine dalam bentuk oral dan injeksi. Sediaan phosphatydilcholine oral sebagai suplemen makanan dipasarkan di Amerika Serikat sebagai suplemen untuk pasien hiperlipidemia dan fungsi kognitif (Baumann, 2003). Sediaan phosphatydilcholine dalam bentuk injeksi intravena beredar di Eropa dengan nama dagang Lipostabil® (Aventis Pharma, Grup Sanofi-Aventis, Paris, Perancis) untuk pasien yang mengalami gangguan kardiovaskular seperti angina, emboli lemak, dan hiperkolestrolemia dan pasien yang mengalami gangguan hati (Natterman, 1990). Phosphatydilcholine yang digunakan pada formulasi ini dikenal sebagai polyunsaturated atau polyenyl-phosphatydilcholine dalam bentuk tak jenuh yang berasal dari derivate asam lemak kacang kedelai. Baik dalam bentuk oral maupun injeksi, phosphatydilcholine dapat menurunkan serum trigliserida, LDL dan meningkatkan HDL kolestrol dalam darah, menginduksi kolagenase hepatik dan melindungi dari oksidasi mitokondria. Jadi
33
phosphatydilcholine dapat memperbaiki kerusakan sel fosfolipid dan mengurangi fibrosis hati serta akumulasi lemak dalam hati (Lieber, 2004). Efek modulasi lipid dalam darah dan hati inilah yang mencetuskan ide beberapa peneliti dan praktis medis untuk menggunakannya sebagai penghancur lemak subkutan pada tubuh, dengan cara menginjeksikan phosphatydilcholine pada lemak subkutan lokal. Namun mekanisme kerja phosphatydilcholine pada lemak subkutan belum diteliti secara ilmiah, hanya pernah dilakukan secara eksperimental oleh beberapa praktisi medis baik di dalam maupun diluar negeri. Beberapa
laporan
hasil
injeksi
phosphatydilcholine
untuk
menghancurkan lemak lokal antara lain: 1.
Rittes melaporkan hasil injeksi terhadap 30 pasien yang diinjeksi 0,4 mL Lipostabil® (50 mg/mL phosphatydilcholine) pada lemak di bawah mata (infra orbital) setiap 15 hari dalam dua kali injeksi dilaporkan sebagian besar pasien (22 orang) mengalami pengurangan lemak pada bawah mata, dan hasilnya bertahan hingga 2 tahun (Rittes, 2001).
2.
Moy melaporkan hasil injeksi 0,5 mL/cm2 phosphatydilcholine pada perut, paha dan dagu dalam dua kali injeksi dalam sebulan dilaporkan terjadi penurunan ketebalan lemak subkutan sebesar 7,45 mm dalam sebulan (Moy, 2004).
3.
Rittes melaporkan kembali hasil injeksi 5 mL Lipostabil® (50 mg/mL phosphatydilcholine) pada 50 pasien yang diinjeksi secara subkutan pada permukaan tubuh seluas 80 cm2. Dari 50 pasien, sebagian besar di antaranya (35 pasien) menerima empat kali injeksi, dan 15 pasien lainnya menerima dua kali injeksi dalam sebulan. Di laporkan hampir semua pasien mengalami pengurangan lemak subkutan pada area yang diinjeksi (Rittes, 2003).
34
Gambar 2.6. Pasien Yang Diinjeksi Phosphatydilcholine Pada Infraorbital. Foto A (Sebelum) dan Foto B (Sesudah)
Gambar 2.7. Pasien Yang Diinjeksi Phosphatydilcholine Pada Abdomen
Dari beberapa laporan yang dihasilkan membuat banyak praktisi medis di Perancis, Italia dan Brasil mulai menggunakan Lipostabil® (yang diperuntukkan untuk injeksi intravena) sebagai injeksi subkutan untuk menghancurkan
deposit
lemak
lokal.
Walaupun
penggunaan
phosphatydilcholine secara subkutan sudah banyak dilakukan oleh beberapa praktisi medis di beberapa negara termasuk Indonesia, namun penelitian ilmiah manfaat phosphatydilcholine sebagai terapi estetik medis guna menghancurkan lemak lokal sebagai upaya perampingan tubuh, belum pernah dilaporkan sampai saat ini. Penggunaan phosphatydilcholine secara subkutan untuk lipolitik walaupun sudah banyak dilakukan di kalangan praktisi medis di berbagai
35
negara namun belum memiliki ijin medikolegalnya. Pada Januari 2003, Anvisa (Agência National de Vigilância Sanitaria – National Health Survailance Agency Brazil - semacam Badan POM Brasil) mengumumkan bahwa belum diijinkannya penggunaan Lipostabil® untuk terapi estetik. Dari pihak Aventis sebagai produsen dari Lipostabil pun tidak berencana untuk memasarkan produknya sebagai terapi lipolitik subkutan, hal ini dikarenakan belum adanya penelitian ilmiah untuk terapi estetik (Anvisa, 2003). Walaupun sudah banyak laporan yang menyebutkan terjadinya pengurangan lemak subkutan setelah diinjeksi phosphatydilcholine secara subkutan, namun hingga saat ini penelitian baik secara double blind, atau placebo-controlled belum ada. Sehingga
beberapa
hipotesis
mengenai
mekanisme
kerja
phosphatydilcholine terhadap jaringan lemak subkutan berdasarkan hipotesis Petit adalah sebagai berikut: 1. Merusak dinding sel lemak, sehingga sel adiposit mudah diapoptosis. 2. Dengan cara enzimatik mengeluarkan trigliserida dan asam lemak keluar dari sel adiposit, sehingga mengakibatkan sel adiposit menjadi kecil. 3. Menimbulkan reaksi inflamasi, yang mengakibatkan kontraksi pada jaringan lokal sehingga makrofag tertarik menuju ke daerah inflamasi (Petit et al, 2005). Beberapa laporan mengenai efek samping Phosphatydilcholine juga dilaporkan berdasarkan dari beberapa praktisi baik diluar maupun di dalam negeri. Beberapa efek samping yang pernah dilaporkan antara lain : Rasa terbakar yang dapat berlangsung 15-20 menit Nyeri sedikit selama beberapa hari Sedikit pembengkakan yang dapat berlangsung 1-5 hari Sedikit perubahan warna kulit yang dapat hilang sendiri atau dapat menggunakan peeling untuk mempercepat perubahan kembali Risiko kecil terkena infeksi (risiko pada semua injeksi obat) (Bauman, 2003).
36
2.7.8
Hewan Coba Tikus 2.7.8.1 Penggunaan tikus (Rattus Norvegicus) di laboratorium Penggunaan tikus atau rat (Rattus Norvegicus) telah diketahui sifatsifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek (Malole dan Pramono, 1989). Tikus (Rattus Norvegicus) galur wistar lebih besar dari keluarga tikus umumnya dimana tikus betina obes (galur wistar) ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004).