BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi Teori
2.1.1 Matematika Menurut Johnson dan Rising (Suherman, 2001: 19) “matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.” Dari pengertian tersebut, Johnson dan Rising memandang matematika sebagai suatu pola yang dimulai dari tahapan berpikir kemudian mengorganisasikan dan akhirnya menuntut pembuktian yang logis. Penggunaan istilah dalam matematika dijabarkan secara cermat, jelas serta akurat, dan istilah-istilah tersebut disajikan dalam bentuk simbol-simbol. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Soedjadi (2000: 11) yang menyajikan beberapa definisi matematika berdasarkan sudut pandangnya. Beberapa definisi matematika tersebut antara lain: a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematis. b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logika dan berhubungan dengan bilangan. d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kualitatif dan masalah ruang dan bentuk. e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Soejadi membahas matematika secara lebih detail. Matematika merupakan cabang ilmu eksak yang terorganisir secara sistematis, jika dipelajari alurnya akan pasti. Objek belajar dari matematika adalah bilangan, kalkulasi, logika serta masalah bentuk dan ruang. Karena matematika merupakan ilmu pasti, di dalamnya memuat aturan-aturan yang ketat, yang tidak memungkinkan matematika dapat berubahubah setiap saat.
7
8
Dari pendapat-pendapat tersebut, matematika dinilai sebagai pengetahuan yang menuntut pemikiran logis serta penalaran yang sistematis dalam mempelajarinya. Sebagai ilmu pasti, objek belajar matematika adalah suatu kepastian akan kebenarannya. Matematika juga merupakan pengetahuan penting yang banyak kaitannya dengan permasalahan dalam kehidupan manusia seharihari. Sehingga matematika menjadi suatu mata pelajaran yang sangat penting dan diberikan pada semua jenjang pendidikan. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah (matematika sekolah) memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten. Namun, sebelum pengetahuan matematika siswa sampai kepada tingkat abstrak, matematika harus dipelajari melalui tingkat konkret, khususnya bagi siswa yang tingkat perkembangan mentalnya masih ada pada tahapan konkret dan semikonkret. Hal ini menunjukkan bahwa matematika merupakan pengetahuan eksak dan terorganisir secara matematis. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut penulis menyimpulkan, matematika adalah pengetahuan eksak yang mempelajari tentang bilangan (aritmatika) dan bentuk maupun ruang (geometri), yang menuntut subjek belajarnya untuk dapat menjabarkan konsep secara logika sehingga ilmu tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.2 Pembelajaran Matematika Menurut Susanto (2012: 19) “pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.” Secara sengaja guru menciptakan suasana atau kondisi agar siswa dapat belajar dengan baik. Belajar dengan baik dalam hal ini dimaksudkan agar tujuan dari proses belajar tersebut tercapai dengan maksimal. Sedangkan Corey (Susanto, 2012: 20) mendefinisikan “pembelajaran sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus untuk menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.” Pembelajaran menurut Corey juga diartikan sebagai
9
lingkungan yang sengaja dikelola. Pengelolaan tersebut dimaksudkan agar seseorang memberikan respon terhadap kondisi tertentu. Pembelajaran menurut
dua pendapat tersebut diartikan sebagai suatu
kondisi yang sengaja diciptakan. Kondisi tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan kemudahan bagi siswa dalam belajar. Belajar yang disertai proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik, dari pada hanya belajar sendiri. Belajar dengan proses pembelajaran meliputi peran guru, bahan ajar, dan lingkungan yang kondusif yang sengaja diciptakan. Sehingga dalam hal ini kemampuan guru untuk mengorganisir komponen-komponen yang ada dalam pembelajaran sangat diperlukan agar antara komponen-komponen tersebut dapat berinteraksi secara optimal sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Susanto (2013: 186) menyatakan “pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika.” Dalam proses pembelajaran matematika, baik guru maupun siswa bersama-sama menjadi pelaku pembelajaran. Tidak hanya guru yang berperan sebagai pemberi informasi, tetapi siswa juga harus aktif dalam menerima informasi tersebut, sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian, materi matematika yang diperoleh oleh siswa dapat dikuasai dengan baik. Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan pembelajaran matematika merupakan proses perencanaan guru yang apabila dilaksanakan dapat berakibat pada perubahan tingkah laku siswa dalam pola berpikir, pola mengorganisasikan, memahami konsep-konsep yang abstrak serta dapat menjabarkan konsep secara logika sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika di sekolah dimaksudkan agar siswa tidak hanya terampil menggunakan matematika, tetapi dapat memberikan bekal kepada siswa untuk dapat bernalar menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan umum pembelajaran matematika sekolah seperti yang diungkap dalam
10
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 untuk SD agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 2) Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur-unsur dan sifat-sifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 3) Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 4) Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan seharihari. 5) Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), mengurutkan data, rentangan data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. 6) Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan. 7) Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif. Tujuan pembelajaran mata pelajaran matematika tersebut tidak dapat tercapai jika hanya menggunakan model pembelajaran yang konvensional tanpa melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang menekankan kepada siswa pada latihan pengerjaan soal saja, bila nanti menghadapi soal dengan model yang berbeda siswa akan mengalami kesulitan. Dan pembelajaran matematika konvensional tidak mengedepankan aspek berpikir atau analisis yang mandiri, melainkan hanya penanaman konsep secara terus menerus. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru hendaknya dapat menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan
dan
mengembangkan pengetahuannya. Kemudian siswa dapat membentuk makna tersendiri dari apa yang dipelajarinya. Membangun pemahaman pada setiap kegiatan belajar matematika akan memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan tentang pemahaman konsep matematika yang dimiliki, akan semakin bermanfaat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika dirumuskan dalam Standar Kompetensi (SK) dan dirinci dalam Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi
11
Dasar merupakan standar minimum yang harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun kemampuan, kerja ilmiah dan pengetahuannya sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci SK dan KD untuk mata pelajaran matematika kelas V semester genap terdapat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika Kelas V Sekolah Dasar Semester II Standar Kompetensi Bilangan 5. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah
Kompetensi dasar 5.1 5.2 5.3 5.4
Geometri dan Pengukuran 6. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun
6.1 6.2 6.3 6.4 6.5
Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta sebaliknya Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan Menggunakan pemecahan dalam masalah perbandingan dan skala Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar Mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana Menyelidiki sifat-sifat kesebangunan dan simetri Menyelesaikan maslah yang berkaitan dengan bangun datar dan bangun ruang sederhana
Penelitian ini menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah pada dua Kompetensi Dasar, yaitu mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dan mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang. Berdasarkan KD tersebut penelitian ini membahas materi tentang geometri khususnya sifat-sifat bangun datar dan sifatsifat bangun ruang. Untuk mencapai kompetensi tersebut perlu direncanakan langkah pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan masalah yang ada di sekitar siswa.
12
2.1.3 Pembelajaran Berdasarkan Masalah Menurut Arends (Trianto, 2009: 92), “pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri.” Jika dilihat dari teori Arends pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau sebagai sebuah model pembelajaran. Dari teori tersebut dapat diambil tiga hal penting dari pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu adanya masalah yang autentik, penyusunan pengetahuan sendiri oleh siswa dan pengembangan keterampilan berpikir siswa. Dalam pembelajaran berdasarkan masalah, kemandirian siswa dalam belajar merupakan suatu tuntutan. Jadi, dengan pembelajaran berdasarkan masalah ini dapat membekali diri siswa dengan kemandirian dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi, khususnya dalam pengaplikasian pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari. Pada model pembelajaran berdasarkan masalah, guru secara sengaja mendesain suatu masalah yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Dengan hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat menemukan cara-cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Sehingga pada akhirnya siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui cara-cara yang ditemukannya. Dari hal tersebut diharapkan siswa dapat mengembangkan kemandiriannya serta keterampilan berpikir yang tidak berhenti pada penguasaan konsep saja. Selain menyiapkan suatu masalah, peran guru dalam model pembelajaran ini adalah sebagai fasilitator bagi siswa agar dapat menemukan cara penyelesaian masalah yang dihadapinya. Dewey yang dikutip oleh Trianto (2009: 91) mengungkapkan “problem based learning adalah interaksi antar stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan.” Stimulus yang dimaksud adalah masalah yang nantinya akan diterima siswa dan cara pemecahan masalah yang dipikirkan oleh siswa merupakan respon. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan saraf otak siswa berfungsi
13
menafsirkan bantuan yang diberikan secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Sebelum memulai proses pembelajaran di kelas, siswa terlebih dahulu mengamati suatu permasalahan. Dalam hal ini guru merangsang siswa untuk berpikir kritis menyelesaikan masalah yang ada serta mengarahkan siswa bertanya, mengajukan pendapat, belajar menyelesaikan suatu permasalahan dan menguasai konsep yang dipelajari. Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, penyelesaian masalah, dan menjadi pembelajar yang mandiri. Seperti yang dikatakan oleh Bruner (Trianto, 2009: 91), bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan menguatkan pengetahuan yang didapatkannya. Selain itu juga memberikan suatu pengalaman konkret yang bermakna, dengan pengalaman tersebut diharapkan dapat digunakan pula untuk memecahkan masalah-masalah serupa yang akan dihadapinya dikemudian hari. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah adalah pembelajaran yang didesain dengan memunculkan masalah-masalah yang autentik dengan pokok bahasan, yang memungkinkan siswa untuk menyelidiki dan kemudian dapat menemukan cara pemecahan masalahnya, sehingga pada akhirnya siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Arends (Trianto, 2009: 68), karakteristik
pembelajaran
berdasarkan masalah adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Pengajuan pertanyaan atau masalah. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Penyelidikan autentik. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Kolaborasi
Pembelajaran berdasarkan masalah mempunyai karakteristik utama yaitu adanya bahan ajar yang berupa masalah. Masalah yang dihadirkan adalah masalah
14
yang ada dalam kehidupan nyata dan autentik dengan pokok bahasan. Masalah tersebut memungkinkan adanya berbagai macam solusi atau cara pemecahan. Selain itu, masalah disiapkan untuk memicu dan memacu terjadinya interaksi baik guru dengan siswa, siswa dengan siswa, serta siswa dengan lingkungan. Dengan interaksi tersebut sehingga tercipta iklim belajar mengajar yang kondusif. Meskipun model pembelajaran berdasarkan masalah dapat berpusat pada mata pelajaran tertentu, tetapi juga memungkinkan siswa untuk meninjau masalah yang disajikan dari berbagai sudut mata pelajaran. Sehingga masalah yang akan disajikan merupakan masalah yang benar-benar nyata dalam kehidupan siswa. Untuk mencari penyelesaian masalah, siswa diharuskan untuk melakukan penyelidikan autentik. Penyelidikan tersebut meliputi kegiatan memahami masalah, mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah, menemukan pemecahan masalah dan membuat simpulan. Metode yang digunakan dalam penyelidikan tentunya bergantung dengan masalah yang sedang dipelajari. Setelah melakukan penyelidikan, siswa diharapkan dapat menghasilkan produk dan memamerkannya. Produk yang dimaksudkan adalah suatu cara pemecahan masalah yang ditemukan oleh siswa sebagai produk baru. Produk tersebut dapat berupa produk kongkrit seperti makalah, laporan tertulis maupun produk kongkrit lainnya. Namun, dapat juga berupa produk yang tidak kongkrit, misalnya cara-cara penyelesaian berupa prosedur. Meskipun demikian, produkproduk tersebut harus dapat dipresentasikan atau dijelaskan kembali kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka dapatkan. Karakteristik yang selanjutnya dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah kolaborasi. Kolaborasi ini maksudnya adalah model kerja sama siswa satu dengan yang lainnya, bisa berpasangan atau dalam kelompok kecil. Hal ini memungkinkan siswa untuk saling berbagi dan berusaha bersama untuk menemukan pemecahan masalah. Dengan kerja sama tersebut juga untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Menurut Trianto (2009: 96-97) pembelajaran berdasarkan masalah mempunyai kelebihan dan kelemahan sebagai suatu model pembelajaran.
15
“Kelebihannya adalah: (1) realistik dalam kehidupan siswa; (2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa; (3) memupuk sifat inquiri siswa; (4) retensi konsep jadi kuat; dan (5) memupuk kemampuan problem solving. Kelemahan problem based learning antara lain: (1) persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks; (2) sulitnya mencari problem yang relevan; (3) sering terjadi misskonsepsi; dan (4) konsumsi waktu yang cukup dalam proses penyelidikan.” Dari kelebihan-kelebihan yang ada pada pembelajaran berdasarkan masalah ini, semakin memberikan optimisme untuk keberhasilan penelitian ini. Dengan disajikan masalah yang ada di sekitar siswa, siswa akan mudah untuk mendefinisikan hingga nanti mampu menemukan pemecahannya. Meminimalkan perilaku guru yang terlalu menekankan penguasaan konsep belaka kepada siswanya, karena dalam model ini konsep hanya diberikan sesuai dengan kebutuhan. Bukan tentang banyaknya konsep yang dapat diterima oleh siswa, tetapi seberapa tingkat pemahaman siswa mengenai konsep tersebut. Dengan tujuan utama dapat menemukan pemecahan masalah, tentu model ini mampu meningkatkan
kemampuan
siswa
untuk
memecahkan
masalah
dengan
pengetahuan yang dimilikinya. Persiapan pembelajaran yang kompleks menjadi kelemahan dari model pembelajaran ini, baik persiapan alat maupun masalah yang relevan. Selain itu juga sulit mencari masalah yang relevan dengan materi pembelajaran yang akan diajarkan. Pembelajaran dengan model ini juga membutuhkan waktu yang cukup lama, karena kemampuan siswa yang berbedabeda dalam menemukan pemecahan masalah. Suatu model pembelajaran memiliki sintaks yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam suatu kegiatan pembelajaran. Tabel berikut adalah sintaks pembelajaran berdasarkan masalah menurut Arends (Trianto 2009: 98).
16
Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah Fase Fase 1 Mengorientasikan siswa pada masalah
Fase 2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Fase 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Fase 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Aktivitas Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisaikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.
Menurut Supinah (2008: 42) pembelajaran berdasarkan masalah sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika karena pembelajaran berdasarkan masalah melatih keterampilan berfikir tingkat tinggi dan juga melatih siswa agar menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom, demikian juga belajar matematika adalah hal-hal yang terkait dengan berfikir tingkat tinggi dan sesuai dengan yang tercantum dalam salah satu tujuan pembelajaran matematika pada UU No. 22 Tahun 2006. Uraian tersebut menunjukkan bahwa model pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Dengan demikian dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya memulai pembelajaran dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
17
nyata atau masalah kontekstual. Dengan mengajukan masalah kontekstual ini, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah dalam pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang menghadapkan siswa pada permasalahan matematika yang nyata sesuai dengan kehidupan sehari-hari, yang memungkinkan siswa untuk dapat menemukan cara-cara pemecahan masalah dengan konsep matematika yang dimilikinya sehingga dapat membangun pengetahuannya sendiri melalui pengalaman belajarnya. Penerapan
pembelajaran
berdasarkan
masalah
dalam
pembelajaran
matematika terdiri dari 5 langkah, yaitu: 1. Mengorientasikan siswa pada masalah. Dalam langkah ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, mengadakan apersepsi dan memberi motivasi siswa berupa masalah awal yang digunakan untuk membangkitkan keterlibatan siswa dalam menyelesaikan masalah. Penyampaian situasi masalah harus disampaikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Dalam hal ini yang penting diperhatikan guru adalah bahwa kegiatan orientasi pada situasi masalah akan menentukan pada tahap penyelidikan berikutnya, sehingga presentasinya harus menarik minat siswa dan menghasilkan rasa ingin tahu. 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada langkah selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil secara heterogen ataupun berpasangan. Kegiatan penyelidikan perlu dilakukan secara bersama karena untuk mengembangkan keterampilan kolaborasi antar siswa. 3. Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Guru membimbing siswa untuk melakukan kegiatan penyelidikan. Kegiatan penyelidikan meliputi mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan, menyusun hipotesis, dan akhirnya menemukan pemecahan masalah tersebut. Siswa mengumpulkan informasi dengan tujuan agar dapat menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Untuk mencapai hal tersebut guru harus dapat membantu siswa dalam
18
mengumpulkan informasi dari berbagai sumnber dan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dapat membuat siswa memikirkan masalah tersebut. 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Setelah siswa menemukan pemecahan masalah, siswa diharapkan dapat merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan. Dan selanjutnya karya tersebut dbagikan kepada temannya, seperti dipresentasikan di depan kelas. 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyeledikan mereka dalam proses-proses yang mereka gunakan. Guru meminta siswa untuk memikirkan kembali aktivitas mereka selama tahap-tahap pelajaran yang telah dilewatinya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka merasa yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka memilih pemecahan tersebut? Apakah mereka akan melakukan hal berbeda di waktu yang akan datang?
Dari 5 langkah yang dijabarkan dalam pembelajaran berdasarkan masalah matematika tersebut, kemudian disusun menjadi langkah-langkah pembelajaran berdasarkan Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Pengaplikasian langkah-langkah pembelajaran berdasarkan masalah ke dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses disajikan pada tabel 2.3. Langkah-langkah tersebut disusun dengan menkondisikan situasi belajar yang alamiah, yaitu siswa belajar dengan cara mengalami dan menemukan sendiri pengalaman belajarnya. Sehingga diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran tersebut.
19
Tabel 2.3 Langkah-Langkah Pembelajaran Berdasarkan Masalah Sesuai dengan Standar Proses KEGIATAN GURU DAN SISWA Pendahulu- − Guru mengkomunikasikan tujuan belajar, yaitu siswa dapat mendiskusikan masalah dan alternatif pemecahannya dan hasil an belajar yang diharapkan akan dicapai oleh tiap siswa. − Guru menginformasikan cara belajar yang akan ditempuh yaitu mendiskusikan masalah dan alternatif pemecahannya dan presentasi laporan hasil pelaksanaan tugas. − Guru memberikan motivasi, dengan menyampaikan semenarik mungkin tentang masalah yang akan dipecahkan oleh siswa. − Guru meminta siswa untuk berpasangan dengan teman sebelahnya. Inti Eksplorasi − Secara berpasangan, siswa menyelesaikan masalah dengan teknik penyelidikan mencakup: pengumpulan data apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan bagaimana langkah pemecahannya. Selain dengan mengumpulkan informasi dari beberapa sumber, tahap ini dapat dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. − Siswa diberikan kesempatan luas untuk berfikir dan bertindak menurut cara masing-masing dan guru berperan sebagai fasilitator. − Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi dan memfasilitasi serta membantu siswa yang memerlukan. Elaborasi − Siswa melakukan penyelidikan untuk menemukan cara-cara baru penyelesaian masalah yang sedang dibahas. − Secara berpasangan siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah yang ditemukannya di depan kelas. − Pasangan lain menanggapi atau mengomentari hasil dari pasangan yang presentasi didepan kelas. Konfirmasi − Guru memberikan umpan balik dan penguatan terhadap kerja siswa. − Guru memberikan konfirmasi mengenai kegiatan yang sudah dilakukan siswa, mulai dari pemahaman masalah, penyelidikan dan penemuan pemecahan masalah. − Dengan bimbingan guru, siswa mengkomunikasikan pengalamannya dalam melaksanakan tugas dan mengevaluasi kinerja masing-masing, sebagai refleksi selama mengikuti pembelajaran. Penutup − Guru dan siswa membuat penegasan atau kesimpulan pembelajaran dengan mengacu pada hasil pemecahan siswa. − Siswa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru sebagai proses penilaian pembelajaran. − Melakukan kegiatan tindak lanjut. TAHAP
20
2.1.4 Hasil Belajar Belajar merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan hidup manusia. “Belajar didefinisikan sebagai suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik dalam berpikir, bersikap dan berbuat” (Gulo, 2004: 8). Dari definisi tersebut, Gulo mengungkapkan bahwa belajar merupakan suatu proses untuk mengubah tingkah laku seseorang. Jadi, jika seseorang belajar pada akhirnya orang tersebut akan mengalami perubahan baik dalam berpikir, bersikap ataupun berbuat. Sedangkan menurut Purwanto (2002: 84) “belajar merupakan perubahan dalam tingkah laku yang mengarah pada tingkah laku yang lebih baik atau malah sebaliknya tingkah laku yang lebih buruk.” Belajar menurut Purwanto sejalan dengan yang diungkapkan oleh Gulo, bahwa belajar adalah sebuah perubahan tingkah laku. Hanya saja dalam definisi kali ini menekankan pada perubahan perilaku baik ke arah yang lebih baik maupun arah yang lebih buruk. Menurut Purwanto, seseorang yang belajar belum tentu akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, bisa jadi perubahan tersebut ke arah yang lebih buruk. Pengertian belajar menurut Slameto (2010: 2), “belajar ialah suatu proses usaha perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.” Definisi ini juga menyebutkan belajar adalah proses perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut adalah perubahan secara keseluruhan yang merupakan hasil pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan. Jadi seseorang dikatakan belajar apabila ia berinteraksi dengan lingkungan dan memperoleh suatu pengalaman. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan belajar merupakan suatu proses usaha yang secara sadar dilakukan individu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku yang berbentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan. Proses pembelajaran merupakan sebuah aktivitas sadar untuk membuat siswa belajar, yang berarti pembelajaran merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan porolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan tujuan
21
pembelajaran. Keberhasilan suatu pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar siswa. Bila hasil belajar tinggi pembelajaran tersebut dikatakan berhasil, tetapi jika hasil belajar rendah pembelajaran tersebut dikatakan tidak berhasil. Menurut Gagne & Briggs (Suprihatiningrum, 2012: 37), “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa.” Jadi menurut Gagne dan Briggs, setelah siswa melalui proses belajar, siswa akan memperoleh kemampuankemampuan. Kemampuan tersebut tentunya kemampuan yang baru didapat setelah mengikuti proses belajar. Selain itu, menurut Gagne kemampuan tersebut dapat dilihat atau diamati dari siswa tersebut. Hal tersebut yang menjadikan hasil belajar dapat diukur. Winkel (Purwanto, 2008: 45) berpendapat, “hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya, perubahan itu mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.” Sepaham dengan Winkel, Purwanto (2008: 46) mengungkapkan “hasil belajar adalah perubahan perilaku manusia akibat belajar, dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.” Winkel menekankan bahwa hasil belajar merupakan perubahan mengenai sikap dan tingkah lakunya. Sedangkan Purwanto hanya menyebutkan perubahan perilaku manusia setelah belajar. Meskipun demikian, mereka mempunyai kesepahaman bahwa perubahan akibat belajar tersebut berupa 3 aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Perubahan perilaku tersebut disebabkan karena telah mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Perubahan akibat pengalaman belajar, tidak semata-mata hanya pada perubahan secara kognitif (pengetahuan) saja, tetapi siswa juga dapat mengalami perubahan secara afektif (sikap) serta mampu melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan performanya (psikomotorik). Ketiga kemampuan yang harus dimiliki siswa tersebut merupakan domain dari hasil belajar menurut taksonomi Bloom. Berikut adalah klasifikasi domain/ranah hasil belajar menurut taksonomi Bloom (Purwanto 2008: 50-53):
22
1. Ranah kognitif Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu: pengetahuan (knowledge), pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 2. Ranah Afektif Berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi atau karakteristik nilai. 3. Ranah Psikomotoris Berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, kemampuan di bidang fisik, gerakan-gerakan skill, gerakan ekspresif dan interpretatif. Hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek kompetensi kemanusiaan saja. Hasil belajar yang diharapkan dicapai siswa pada ranah kognitif yaitu siswa dapat mengetahui atau menyebutkan konsep, misalnya dari menghitung luas dan menggunakannya dalam masalah yang berkaitan dengan luas. Pada ranah afektif yaitu siswa dapat mengembangkan karakter yang diharapkan (tekun, kerjasama, dan tanggung jawab), siswa juga dapat berpikir kreatif dan berlatih berkomunikasi. Pada ranah psikomotor yaitu siswa mampu menggunakan alat peraga dan memecahkan aktivitas pemecahan masalah menggunakan alat peraga. Jadi ketiga ranah menurut taksonomi Bloom tersebut, kesemuanya harus dapat dicapai oleh siswa setelah mendapatkan pembelajaran. Jika ketiga ranah tersebut telah tercapai, dapat dikatakan bahwa siswa telah berhasil dalam belajarnya. Hasil belajar siswa merupakan hasil dari suatu proses yang di dalamnya terlibat sejumlah faktor yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat berasal dari dalam diri seseorang (internal) dan dari luar diri seseorang (eksternal). Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Susanto (2012: 15): a. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal meliputi kecerdasan anak, kesiapan anak, bakat anak, kemauan belajar dan minat anak.
23
b. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar meliputi model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru dan kodisi masyarakat. Faktor internal pertama yang mempengaruhi hasil belajar adalah kecerdasan atau intelegensi. Intelegensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya hasil belajar. Secara logika, semakin tinggi tingkat intelegensi, makin tinggi pula kemungkinan tingkat hasil belajar yang dapat dicapai. Begitu juga sebaliknya, jika intelegensinya rendah maka kecenderungan hasil yang dicapainyapun rendah. Faktor kedua yaitu kesiapan atau kematangan, belajar akan lebih berhasil jika dilakukan berlandaskaan tingkat kematangan individu. Ketiga yaitu bakat, bakat merupakan kemampuan potensial yang dimiliki oleh individu. Jadi setiap individu sebetulnya mempunyai bakat dan berpotensi untuk mencapai prestasi sampai tingkat tertentu. Faktor selanjutnya adalah kemauan belajar, kemauan belajar yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap hasil belajar yang diraih seseorang. Faktor internal yang terakhir adalah minat, minat merupakan kecenderungan, kegairahan menginginkan sesuatu. Siswa yang mempunyai minat besar terhadap pelajaran akan memusatkan perhatian pada pelajaran secara intensif, hal ini memungkinkan tingkat hasil belajar yang dicapai akan lebih tinggi. Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah model penyajian materi. Keberhasilan siswa dalam belajar tergantung pula ada model penyajian materi. Model penyajian materi yang menyenangkan, menarik dan mudah dimengerti oleh para siswa tentunya berpengaruh positif terhadap keberhasilan belajar. Faktor eksternal selanjutnya yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar ialah peranan faktor guru atau fasilitator. Dalam sistem pendidikan dan khususnya dalam pelajaran yang berlaku, peranan guru dan keterlibatannya masih menempati posisi yang penting. Karena bagaimanapun juga guru akan menjadi sutradara serta sumber dalam pembelajaran, meskipun bukan satu-satunya sumber. Kepribadaian dan sikap guru yang kreatif dan penuh inovatif dalam perilakunya akan ditiru oleh siswanya. Begitu pula dengan sikap guru terhadap siswa pada saat mengajar dan membimbing siswa. Yang ketiga adalah suasana
24
pembelajaran, suasana pembelajaran yang tenang dan menantang serta melibatkan siswa secara aktif dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Faktor eksternal yang terakhir adalah masyarakat. Lingkungan masyarakat sekitar juga mempengaruhi belajar siswa. Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa hasil belajar adalah polapola perbuatan atau kemampuan siswa berupa kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang dimiliki setelah menerima pengalaman belajar. Hasil belajar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang merupakan faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, yang meliputi kecerdasan anak, kesiapan dan kematangan, bakat anak, kemauan belajar dan minat. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah model penyajian materi belajar, pribadi dan sikap guru, suasana pembelajaran, kompetensi guru dan masyarakat. Untuk memperoleh hasil belajar siswa, maka dilaksanakan evaluasi atau penilaian untuk mengukur sejauh mana siswa memahami atau menguasai materi. Sedangkan untuk melaksanakan evaluasi atau penilaian tidak hanya menilai konsep atau materi tetapi dampak sikap yang ditimbulkan dan keterampilan motorik juga harus dinilai. Model evaluasi yang sesuai adalah model kesesuaian oleh Ralph W. Tyler, John B. Carol dan Lee J. Cronbach (Purwanto, 2008: 27). Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana tujuan pendidikan yang diberikan dalam pengalaman belajar telah dapat dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar. Objek evaluasi adalah tingkah laku siswa yang mengalami perubahan pada akhir kegiatan pembelajaran. Perubahan perilaku yang dievaluasi bukan hanya pada aspek kognitif saja tetapi juga afektif dan psikomotorik. Untuk aspek kognitif evaluasi dilakukan dengan teknik tes menggunakan instrumen tes yang dilakukan pada akhir pembelajaran. Sedangkan untuk aspek psikomotorik dan aspek sikap diukur menggunakan teknik non tes observasi dengan rubrik penilaian proses yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung.
25
2.1.5. Keterkaitan Pembelajaran Berdasarkan Masalah dan Hasil Belajar Matematika Hasil belajar matematika siswa merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran merupakan bukti dari keberhasilan ketercapaian SK dan KD yang diajarkan dalam pembelajaran. Berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, cakupan SK dan KD yang ada dalam pembelajaran matematika SD merupakan penjabaran dari tujuan mata pelajaran, sehingga SK dan KD tersebut dijadikan standart dalam pencapaian tujuan. Tujuan mata pelajaran matematika seperti yang telah disebutkan dalam Standar Isi bahwa setiap konsep matematika yang akan dipelajari siswa harus dapat digunakannya dalam pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian untuk mencapai keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran tidak tepat jika pembelajaran
dilaksanakan
hanya
dengan
penanaman
konsep
belaka.
Pembelajaran yang menekankan siswa pada penanaman konsep saja, belum tentu siswa akan dapat mengaplikasikan konsep tersebut dalam memecahkan masalah sehari-hari. Untuk keberhasilan belajar siswa dalam pembelajaran matematika tersebut, model pembelajaran yang sesuai untuk diteraapkan adalah model pembelajaran berdasarkan masalah. Langkah-langkah dan karakteristik dalam model ini, memungkinkan untuk keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.
2.2
Penelitian yang Relevan Optimisme dalam penelitian ini didukung dengan penelitian-penelitian yang
relevan. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sukarman dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas IV Semester 2 SDN Batiombo 02 Kecamatan Bandar Kabupaten Batang Tahun Pelajaran 2011/2012.” Dan juga penelitian
26
tindakan yang dilakukan oleh Agus Ismi Wibowo dalam skripsinya yang berjudul “Upaya meningkatkan keaktifan dan hasil belajar melalui metode pemecahan masalah tentang soal cerita pada pengerjaan operasi hitung campuran pada siswa kelas III SDN Kapencar Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo Tahun Pelajaran 2011/2012”. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sukarman penggunaan model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBM) menyebutkan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Sebelum diterapakan pembelajaran berdasarkan masalah ketuntasan hasil belajar hanya 42.85% dengan rata-rata kelas 55. Setelah dilakukan tindakan pada siklus1 ketuntasan hasil belajar siswa menjadi 71,42% dengan nilai rata-rata 61,45. Pada siklus 2 ketuntasan belajar siswa menjadi 85,71% dengan nilai rata-rata kelas 70,47. Pada penelitian tersebut, mengalami peningkatan hasil belajar yang bertahap. Hal ini ditunjukkan dengan presentase ketuntasan dan nilai rata-rata kelas dari sebelum penelitian dan setelah siklus 1 serta siklus 2. Dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah secara tepat dan sesuai standar proses, sehingga keberhasilan tersebut tercapai. Selain itu, penelitian tindakan yang dilakukan oleh Agus Ismi Wibowo juga menunjukkan peningkatan pada keaktifan dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut rata-rata tes matematika siklus I sebesar 54 dengan ketuntasan belajar 50%. Dan pada siklus II rata-rata 79 dengan ketuntasan belajar 97%. Nilai rata-rata kelas dan ketuntasan hasil belajar mengalami kenaikan yang signifikan dari siklus I ke siklus II, yaitu peningkatan nilai sebesar 18 atau sebesar 47%. Simpulan dari penelitian tersebut adalah pembelajaran matematika soal cerita menggunakan metode pemecahan masalah dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas III SDN 1 Kapencar tahun ajaran 2011/2012. Berdasarkan analisis dari penelitian yang dilakukan oleh Sukarman dan Agus Ismi Wibowo telah menunjukkan keberhasilannya dalam penggunaan model pembelajaran berdasarkan masalah. Penulis memilih dua penelitian tersebut karena sangat relevan untuk penelitian berikutnya di lingungan yang berbeda. Oleh karena itu, penulis juga optimis dan yakin bahwa pada penelitian ini juga akan berhasil meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V SDN Asinan
27
02 melalui pembelajaran berdasarkan masalah pada semester 2 tahun pelajaran 2013/2014.
2.3
Kerangka Berpikir Salah satu tujuan pembelajaran matematika SD yang tercantum dalam
permen nomor 22 tahun 2006 adalah menuntut agar setiap siswa dapat menggunakan konsep matematika yang didapatkannya dan menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan hafalan konsep, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran dengan model ceramah. Pembelajaran yang kurang melibatkan siswa secara aktif dalam belajar, dapat menghambat kemampuan belajar matematika siswa dalam pemecahan masalah, sehingga perlu dipilih dan diterapkan suatu model pembelajaran untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah pembelajaran berdasarkan masalah. Model yang menkondisikan situasi belajar yang alamiah, yaitu siswa belajar dengan cara mengalami dan menemukan sendiri pengalaman belajarnya. Ketika siswa belajar matematika, maka yang dipelajari adalah penerapan matematika yang dekat dengan kehidupan siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah dilaksanakan dengan langkah-langkah: mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah, siswa akan lebih tertarik mengikuti pelajaran karena siswa dihadapkan pada masalah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga mereka tertarik untuk menyelesaikannya. Dengan model ini siswa dituntut untuk menyelidiki dan menemukan sendiri pemecahan masalah dalam pembelajaran, sehingga siswa akan terlibat secara aktif dan nantinya daya serap akan lebih baik. Dalam pembelajaran berdasarkan masalah siswa menjadi sentral dari proses pembelajaran yang sedang berlangsung, sedangkan guru hanya sebagai mediator ataupun fasilitator yang bertugas untuk
28
menyediakan dan memenuhi kebutuhan siswa saat proses pembelajaran. Sehingga diharapkan pembelajaran berdasarkan masalah dapat digunakan sebagai usaha perbaikan atau sebuah tindakan untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika.
2.4
Hipotesis Tindakan Menurut KBBI “hipotesis adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan
atau pengutaraan pendapat (teori, preposisi, dsb) meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan.” Oleh karena itu agar rumusan jawaban dipecahkan, maka seorang penulis memerlukan suatu pedoman yang digunakan sebagai tuntunan. Pedoman itu berupa jawaban sementara atau hipotesis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: a. Melalui penerapan model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
dalam
pembelajaran matematika kelas V SD Negeri Asinan 02 dapat meningkatkan hasil belajar siswa. b. Pembelajaran Berdasarkan Masalah dalam pembelajaran matematika kelas V SD Negeri Asinan 02 dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dikarenakan Pembelajaran Berdasarkan Masalah dilaksanakan dengan langkahlangkah: mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah siswa akan lebih tertarik mengikuti pelajaran. Dengan mengalami dan menemukan sendiri dalam pembelajaran siswa akan terlibat secara aktif dan nantinya daya serap akan lebih baik. Hal tersebut juga didukung dengan penerapan matematika yang dekat dengan kehidupan siswa. Selain itu, siswa dapat terampil menggunakan langkah penyelesaian masalah yang tepat sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dalam pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran berdasarkan masalah siswa menjadi sentral dari proses pembelajaran yang sedang berlangsung, sedangkan guru hanya sebagai
29
mediator ataupun fasilitator yang bertugas untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan siswa saat proses pembelajaran. Model ini membutuhkan peningkatan peran guru untuk lebih memotivasi siswa sehingga diharapkan pembelajaran berdasarkan masalah dapat digunakan sebagai usaha perbaikan atau sebuah tindakan untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika.