BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pemahaman tentang kemampuan Kemampuan adalah sifat yang di bawa sejak lahir/dipelajari yang memungkinkan seseorang menyelesaikan tugasnya (Gibson, 1989 : 54). Kemampuan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan tugas/pekerjaan (Gibson, 1989
: 215). Kemampuan pegawai dalam melaksanakan
tugasnya
merupakan perwujudan dari pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Hal ini
seperti
yang diungkapkan oleh Blanchard
: “Kematangan pekerjaan
(kemampuan) dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan” (Kenneth H. Blanchard, 1986 : 187). Gondokusumo mengemukakan : “Bahwa kemampuan kerja terdiri dari kemampuan fisik dan kemampuan mental. Kemampuan fisik adalah keadaan fisik, keadaan kesehatan, tingkat kekuatan, dan baik buruknya fungsi biologis dari bagian tubuh tertentu, sedangkan kemampuan mental adalah kemampuan mekanik, kemampuan sosial, dan kemampuan intelektual serta menyangkut pula bakat, ketrampilan dan pengetahuan.” (1983: 9-12) Menurut Gondokusumo, pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan pendidikan, sedangkan keterampilan adalah kecakapan yang berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan digunakan oleh seseorang pada
waktu yang tepat (1986 : 12). Berkaitan dengan konsep kemampuan, keterampilan atau keahlian pegawai, Paul Hersey dan Blanchard mengemukakan ada tiga jenis kemampuan dasar yang harus dimiliki, baik sebagai manajer maupun sebagai pelaksana, antara lain : a. Kemampuan Teknis (TechnicalSkill) meliputi kemampuan untuk menggunakan pengetahuan,
metode,
teknis
dan
peralatan
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan pekerjaan tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan training. b. Kemampuan
Sosial
(SocialSkill) meliputi
kemampuan
dalam
bekerja
dengan melalui motivasi orang lain yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif. c. Kemampuan Konseptual (ConceptualSkill) merupakan kemampuan memahami kompleksitas
organisasi
secara
menyeluruh.
Kemampuan
itu
memungkinkan seseorang bertindak sesuai dan selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh daripada hanya atas dasar dengan tujuan dan keutuhan kelompok sendiri (1986: 68). Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijumpai bahwa kemampuan adaalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan (Poerwadarminta, 1984 : 628). Sedangkan
Stephen
Robbins
mengemukakan
bahwa
kemampuan
merupakan kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam pekerjaan. Menurut Robbins. “Ability refers to an individual’s capacity to perform the various tasks in the job. It’s a current assessment of what one can do. An
individual’s overall abilities are essentially made up of two sets of skills : intellectual and physical..” (Robbins, 1995 : 97). Maksudnya, kemampuan individu untuk menjalankan berbagai macam tugas dalam pekerjaan merupakan penilaian sekarang tentang apa yang bisa dikerjakan seseorang. Keseluruhan kemampuan individual pada hakikatnya dibentuk oleh keahlian, yaitu hal-hal yang bersifat intelektual dan fisik. Kemampuan berkaitan dengan karakter individu karena setiap individu pasti memiliki kemampuan tetapi tingkat kemampuannya berbeda, meliputi antara lain : pengetahuan, pengalaman, keterampilan, bakat, kepribadian dan pendidikan. Oleh karena itu, perlu penyesuaian antara kemampuan individu dengan pekerjaan yang diberikan akan meningkatkan kinerja individual sumber daya manusia organisasi publik. Selanjutnya Winardi (2002) menjelaskan : ”kemampuan dilain pihak, berhubungan dengan kompetensi seseorang. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disederhanakan bahwa kemampuan terdiri atas skill (keterampilan) dan knowledge (pengetahuan). Selain itu, Winardi (2002) menambahkan dengan pengalaman kerja (workexperience) sumber daya manusia bersangkutan. Menurut Gordon ( 1994:55) “ keterampilan merupakan kemampuan untuk mengoperasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Pengertian ini biasanya cenderung pada aktivitas psikomotor”. Selain itu pengertian menurut Nadler (1986:74) “ skill merupakan kegiatan yang memerlukan praktek atau dapat diartikan sebagai implikasi dari aktivitas”. Dunete (1976:33), mendefinisikan “skill sebagai kapasitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa tugas yang merupakan pengembangan dari hasil training dan pengalaman yang
didapat”. Jika disimpulkan maka keterampilan (skill) berarti kemampuan untuk mengoperasikan suatu pekerjaan secara mudah dan cermat yang membutuhkan kemampuan dasar ( basic ability). Knowledge ( pengetahuan ) menurut Gordon ( 1994,:57) “ pengetahuan merupakan struktur organisasi pengetahuan yang biasanya merupakan suatu fakta prosedur dimana jika
dilakukan akan memenuhi kinerja yang mungkin”.
Sedangkan menurut Nalder ( 1986,:62).” pengetahuan merupakan proses belajar manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar secara mudahnya mengetahui apa yang harus diketahui untuk dilakukan”. Dalam penelitian ini indikator-indikator kemampuan difokuskan pada teori yang dikemukakan oleh Winardi (2002) yang teridiri dari dimensi-dimensi berikut ini: 1. Keterampilan (Skill) Adalah keterampilan dan kecakapan pegawai sebagai akumulasi dari bakat dan kepribadian yang dimilikinya. Indikator Skill meliputi: mampu menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, kreatif, inovatif, dan memiliki kemampuan untuk menghitung dengan cepat dan mengoperasikan komputer. 2. Pengetahuan (Knowledge) Adalah pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil pendidikan, pengalaman, dan pelatihan di bidang kerjanya. Indikator knowledge meliputi: Berlatar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang kerjanya dan sering mengikuti pelatihan di bidangnya. 3. Pengalaman Kerja (Work Experience)
Adalah pengalaman kerja yang dimiliki pegawai di Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon. Indikator pengalaman kerja meliputi : Menguasai pekerjaan dengan baik, frekuensi kepindahan tempat kerja tinggi. 2.1.2. Pemahaman Tentang Motivasi 2.1.2.1.
Konsep Motivasi Motivasi menurut Stoner, et al. (2003 : 134), “Motivasi adalah
karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang”. Seorang pemimpin memberi
motivasi
kepada
bawahannya itu berarti bahwa pemimpin tersebut melakukan segala upaya yang
diharapkan
dapat
memuaskan
dorongan
dan
keinginan
serta
menyebabkan bawahan tersebut melakukan hal-hal yang diinginkan oleh pemimpin. Motivasi merupakan konsep dasar psikologis, dan bersama-sama dengan persepsi, kepribadian dan pembelajaran serta merupakan fokus penting dalam pendekatan mikro untuk memahami perilaku organisasi. Berbeda dengan Stoner yang memandang motivasi kedalam aspek psikologi seseorang, Robbins, et al. memandang motivasi sebagai suatu bentuk kesediaan melakukan usaha tingkat tinggi guna mencapai sasaran organisasi yang di kondisikan oleh kemampuan usaha tersebut memuaskan kebutuhan sejumlah individu ( 2005 : 92). Siagian (dalam Mintorogo, 1997 : 55) memberikan definisi tentang motivasi sebagai “keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi
tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis”. Lebih lanjut Mintorogo (1997 : 56) menyatakan bahwa “motivasi merupakan timbulnya perilaku yang mengarah pada tujuan tertentu dengan penuh komitmen sampai tercapainya tujuan dimaksud”. Manulang (1995 : 128) mengemukakan bahwa “motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu”. Adapun menurut Stoner, et al. (2005 : 92) ada empat asumsi dasar dalam memahami motivasi yaitu : “1. Motivasi biasanya diasumsikan sebagai hal yang baik. 2. Motivasi adalah satu dari beberapa faktor yang menentukan prestasi kerja seseorang 3. Pasokan otivasi kurang banyak dan perlu penggantian secara periodik 4. Motivasi merupakan peralatan yang dapat dipakai oleh manajer untuk mengatur hubungan pekerjaan dalam organisasi.” Oleh sebab itu motivasi merupakan salah satu faktor kunci dalam menentukan kinerja seorang pegawai, adapun fokus dari motivasi dalam rentang tingkah laku seseorang manusia dapat dilihat pada gambar 2.1.: Gambar 2.1 Motivasi Dalam Rentang Tingkah Laku
Reflek
Dapat Dipengaruhi
Fokus Dari teori motivasi Kebiasaan
Sumber : F.Landy dan W Becker, “ Motivational Theory Reconsidered” dalam Stoner, et al. ( 2003 : 135)
Dari gambar yang di ungkapkan oleh Landy dan Becker jelas terlihat bahwa kedudukan motivasi ada pada posisi diluar dari reflek dan kebiasaan seorang individu sehingga semua manusia dapat diberikan motivasi tanpa merubah kebiasaan dan reflek individu tersebut.
2.1.2.2. Teori Motivasi 2.1.2.2.1. Pandangan Awal Motivasi Dari sekian banyak pandangan tentang motivasi, Stoner membuat dua pandangan tentang kajian motivasi yaitu pandangan awal dan pandangan kontemporer ( 2003:137). Adapun pandangan awal tentang motivasi terdiri dari tiga model yaitu : model tradisional, model hubungan manusia dan model sumberdaya manusia. Lebih lanjut mengenai pandangan awal motivasi dapat dilihat pada tabel 2.1 : Tabel 2.1. Pandangan Awal Mengenai Motivasi MODEL TRADISIONAL
MODEL HUBUNGAN MANUSIA Asumsi
Pekerjaan pasti tidak disukai oleh kebanyakan orang.
Orang ingin merasa berguna dan penting.
Apa yang mereka kerjakan kurang penting dari pada apa yang mereka peroleh untuk mengerjakannya.
Orang ingin menjadi dan dihargai sebagai individu.
Beberapa ingin atau dapat menengani pekerjaan yang memerlukan kreativitas, mengarahkan diri, atau
Kebutuhan lebih penting dari pada yang dalam memotivasi orang untuk bekerja.
MODEL SUMBER DAYA MANUSIA Pekerjaan belum tentu tidak disukai. Orang ingin memberikan kontribusi bagi sasaran yang berarti yang pembentukannya telah mereka bantu. Kebanyakan orang dapat bekerja lebih kreatif, mengarahkan diri, dan mengendalikan diri dari pada yang dituntut oleh pekerjaan mereka saat ini.
MODEL TRADISIONAL
MODEL HUBUNGAN MANUSIA
MODEL SUMBER DAYA MANUSIA
mengendalikan diri. Manajer harus mengawasi secara ketat dan mengendalikan bawahan. Manajer harus membagi pekerjaan menjadi operasi yag sederha, dilakukan berulang-ulang, mudah dipelajari. Manajer harus menetapkan pekerjaan rutin dan prosedur secara rinci, dan memaksanakan dengan lembut tetapi tegas.
Orang dapat tahan terhadap pekerjaan kalau gajinya lumayan dan atasannya adil. Bila tugas cukup sederha dan orang dikendalikan dengan ketat, maka akan menghasilkan produk sesuai dengan standar.
Kebijakan Manajer harus membuat bawahan merasa berguna dan penting. Manajer harus memberi informasi kepada bawahan dan mendengarkan penolakan mereka terhadap rencananya. Manajer harus memberi kesempatan bawahan untuk mengarahkan diri dan mengendalikan diri pada halhal yang rutin. Harapan Berbagi informasi dengan bawahan dan melibatkan mereka dalam keputusan rutin akan memuaskan kebutuhan dasar mereka untuk menjadi dan merasa penting Memuaskan kebutuhan ini akan memperbaiki semangat dan mengurangi penolakan pada wewenang formal, bawahan akan bersedia bekerja sama.
Manajer harus menggunakan sumberdaya manusia yang kurang dimanfaatkan. Manajer harus menciptakan lingkungan tempat semua anggota dapat memberi kontribusi sampai batas kemampuan mereka. Manajer harus mendorong partisipasi penuh dalam halhal yang penting, terus menerus memperluas dalam pengerahan diri dan pengendalian diri. Memperluas pengaruh bawahan, pengerahan diri, dan pengendalian diri akan menyebabkan perbaikan langsung dalam efesiensi operasi. Kepuasan kerja mungkin diperbaiki sebagai “hasil sampingan” dari bawahan menggunakan secara penuh sumber daya mereka.
Sumber : Richard M. Steers dan Lyman W. Porter, eds, “Motivation and work behavior” ( Stoner 2003 : 138)
Dari tabel diatas dapat disimpulkan tiga pandangan berbeda mengenai motivasi, model tradisional biasanya dikaitkan dengan Frederick Taylor yang terkenal dengan manajemen ilmiah. Adapun asumsi dasar dari motivasi model tradisional adalah manajer mengetahui mengenai pekerjaan lebih baik dari pada pegawai, yang pada dasarnya malas dan hanya dapat diberi motivasi dengan uang. Model yang kedua adalah model hubungan manusia dan seringkali dihubungkan dengan elton mayo, dengan asumsi dasar bahwa manajer dapat memberikan motivasi pegawai dengan memberikan kebutuhan sosial serta membuat mereka merasa bermanfaat dan penting. Model terakhir dalam pandangan awal motivasi adalah model sumber daya manusia dan sering dikaitkan dengan Douglas Mc.
Gregor dengan teori x dan y, dimana x lebih memandang pegawai dengan asumsi yang pesimis dan y lebih memandang pegawai dengan asumsi optimis.
2.1.2.2.2. Pandangan Kontemporer Motivasi Landy dan becker dalam Stoner, et al. ( 2003 : 139 ), mengelompokan banyak pendekatan modern pada teori dan praktek motivasi menjadi lima kategori yaitu : teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan dan teori penentuan sasaran. Walaupun teori kontemporer mengenai motivasi tidak terkenal seperti teori pada pandangan awal motivasi, Robbins, et al. (2005 : 97), mengungkapkan bahwa teori-teori motivasi kontemporer cenderung lebih kuat karena didukung oleh hasil riset. 1. Teori Kebutuhan Dalam pandangan teori kebutuhan, seseorang mempunyai motivasi kalau dia belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam kehidupannya. Sehingga kebutuhan yang telah terpuaskan tidak akan lagi menjadi motivator. Adapun logika dasar dari teori kebutuhan dapat dilihat dari gambar 2.2. dibawah ini : Gambar 2.2. Logika Dasar Teori Kebutuhan
Sumber : James Af. Stoner, Freeman, Gilbert, “Manajemen” 2003 hlm 140
Selanjutnya
Abraham
Maslow
(dalam
Stoner
2003
:
139),
mengembangkan teori kebutuhan kedalam suatu bentuk hierarki yang dikenal dengan hierarki kebutuhan maslow, maslow memandang motivasi manusia sebagai hirarki lima macam kebutuhan. Kelima macam kebutuhan itu adalah fisiologi, keamanan, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. KebutuhanFisiologis. Tingkat kebutuhan yang pertama dan paling penting adalah suatu yang sifatnya biologis dan fisiologis yang perlu dijaga keberlangsungannya. Hal itu merupakan perangsang yang paling dasar, mencakup kebutuhan akan makan, istirahat, minum, dan papan. KebutuhanakanPerlindungandanRasaAman. Ketika kebutuhan pada tingkat pertama benar-benar telah terpenuhi, tingkat kebutuhan yang lebih tinggi muncul berperan. Kebutuhan itu antara lain, bebas dari rasa takut, bahaya, ancaman, dan sebagainya. Jika menghadapi kebijakan tertentu yang menimbulkan rasa takut dan tidak pasti, maka kebutuhan – kebutuhan itu mungkin terjadi motivator yang paling dominan. Kebutuhansosial. Ketika tidak lagi merasa takut pada dua tingkat kebutuhan yang terdahulu, kebutuhan sosial akan muncul kepermukaan. Kebutuhan dan keterikatan serta penerimaan kawan sebaya sangat penting, yaitu mau memberi dan menerima bentuk persahabatan. KebutuhanakanPenghargaandanRasaHargaDiri.
Pengakuan
pribadi, kebanyakan pribadi dan rasa harga diri, merupakan tingkatan bersusun yang keempat. Tepuk pada pundak bagian belakang dan prestasi kerja yang
diraihnya atau kata pujian yang diberikan didepan peserta yang hadir lainnya merupakan metode penting untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan ini. Hal itu kadang kala disebut kebutuhan ego atau status. Kebutuhan
akanPemenuhan-Diri.
Puncak
kebutuhan
adalah
pemenuhan diri kebutuhan akan pemenuhan diri ini merupakan kebutuhan yang jarang betul-betul bisa dipenuhi yang merupakan motivator yang konstan. Sebab kebanyakan orang tidak akan pernah betul-betul meraihnya, tetapi perlu “terus mencoba” merangsang untuk terus terpacu meraih tujuan itu. Maslow berpendapat bahwa tiap tingkatan dalam hirarki itu harus secara substansial terpuaskan sebelum hirarki berikutnya menjadi aktif dan setelah kebutuhan itu secara substansial terpenuhi tidak lagi bisa memotivasi prilaku. Selain itu Maslow membedakan kelima kebutuhan itu menjadi tingkat tinggi dan rendah, kebutuhan fisiologi dan keamanan menjadi kebutuhan tingkat rendah serta kebutuhan sosial, harga diri, aktualisasi diri menjadi kebutuhan tingkat tinggi. Sependapat dengan Maslow, Clayton Aldefer ( dalam Stoner 2003:141) bahwa motivasi dapat diukur menurut hirarki kebutuhan. Akan tetapi Aldefer memecah kebutuhan hanya menjadi tiga jenis yaitu : kebutuhan
eksistensi
(existence)atau
kebutuhan
mendasar,
kebutuhan
keterkaitan (relatedness) atau kebutuhan hubungan antar pribadi, dan kebutuhan pertumbuhan (growth)atau kebutuhan akan kreativitas dan produktivitas. Sehingga ketiga kebutuhan yang diungkapkan oleh Aldefer ini dikenal dengan nama ERG. Perbedaan dari Maslow dan Aldefer adalah Maslow memandang manusia akan secara tetap menapaki hirarki kebutuhan
sedangkan aldefer memandang bahwa manusia akan bergerak naik turun dalam hirarki kebutuhan dari waktu ke waktu. Selanjutnya dalam teori kebutuhan John W. Atkinson mengusulkan ada tiga macam dorongan dalam diri orang yang termotivasi yaitu: kebutuhan untuk berprestasi ( need for Achievment ), kebutuhan akan kekuatan ( need for power ), kebutuhan untuk berafiliasi ( need for affiliation ) atau berhubungan dekat dengan orang lain. Teori tiga kebutuhan yang di kemukakan oleh Atkinson, didukung pula oleh hasil riset yang dilakukan oleh David Mc. Clelland. Pada akhir tahun 1950-an Federick Hezberg mengemukakan dua faktor yang menyebabkan ketidakpuasan dan kepuasan dalam bekerja yang dikenal dengan teori dua faktor. Hezberg mengungkapkan bahwa yang disebut dengan faktor ketidakpuasan adalah hygiene yaitu semua konteks yang berhubungan dengan kondisi tempat pekerjaan termasuk gaji, kondisi kerja, dan kebijakan perusahaan. Selanjutnya faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah motivator yaitu semua yang berkaitan dengan isi kerja dan yang berkaitan dengan imbalan prestasi kerja (Stoner 2003 : 144). 2. Teori Keadilan Pada teori keadilan didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama dalam memotivasi adalah evaluasi individu atas keadilan dari penghargaan yang diterima. keadilan dapat didefinisikan sebagai rasio antara input pekerjaan individu dengan output atau imbalan yang diterima.
3. Teori Harapan Menurut Robbins, et al. ( 2005:107) teori pengharapan merupakan penjelasan paling menyeluruh mengenai motivasi yang ada saat ini. Victor H. Vroom mengemukakan bahwa : Motivasi adalah produk tiga faktor, Valence (V) menunjukan seberapa kuat keninginan seseorang untuk memperoleh suatu reward, misalnya jika hal yang paling didambakan oleh seseorang pada suatu saat, promosi, maka hal itu berarti baginya promosi menduduki valensi tertinggi; Expectacy (E), menunjukan kemungkinan keberhasilan kerja (performance probability). Probability itu bergerak dari 0, (nol, tiada harapan) ke 1(satu, penuh harapan). Instrumentality (I), menunjukkan kemungkinan diterimanya reward jika pekerjaan berhasil.
Victor Vroom mengemukakan bahwa teori harapan
mencakup tiga variabel atau hubungan yaitu : 1). Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, adalah kemungkinan yang dirasakan oleh orang tersebut bahwa melakukan sejumlah usaha tertentu akan menghasilkan tingkat kinerja tertentu. 2). Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan yakni tingkat sejauh mana orang tersebut percaya bahwa bekerja pada tingkat tertentu itu menjadikan sarana untuk tercapainya hasil yang diinginkan. 3). Valensi atau daya tarik imbalan yakni bobot yang ditempatkan oleh orang tersebut ke potensi hasil atau imbalan yang dapat dicapai di tempat kerja. Valensi mempertimbangkan sasaran dan juga kebutuhan orang tersebut.
Penjelasan mengenai teori harapan dapat disederhanakan melalui gambar 2.3 yang digambarkan oleh Robbins, et al. ( 2005 : 108) dibawah ini:
Gambar 2.3 Penyederhanaan Teori Harapan
Sumber : Stephen Robbins, et al., “Manajemen” 2005 Jilid II hlm 108
A : keterkaitan upaya-kinerja B : keterkaitan kinerja-imbalan C : Daya Tarik 4. Teori Penentuan Sasaran Terdapat dukungan kuat atas pendapat bahwa sasaran speseifik meningkatkan kinerja dan bahwa sasaran yang sulit, bila diterima menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari pada sasaran yang mudah. Pendapat ini kemudian dikenal dengan teori penentuan sasaran. Dengan sasaran yang sukar maka akan meningkatkan motivasi, kemauan untuk bekerja mencapai sasaran dan umpan baliknya akan muncul dengan sendirinya yang akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. 5. Teori Penguatan Berlawanan
dengan
teori
penentuan
sasaran,
teori
penguatan
mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari akibat. Teori penentuan sasaran menyetakan bahwa maksud individu mengarahkan perilakunya. Sedangkan
teori pengutan mengatakan bahwa perilaku ditimbulkan dari luar. Dan apa yang mengendalikan perilaku tersebut adalah penguat reinforcers. Kunci dari teori penguatan adalah bahwa teori penguatan mengabaikan faktor-faktor seperti sasaran, harapan, dan kebutuhan. Sebagai gantinya teori penguatan memusatkan pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia mengambil tindakan tertentu. Menurut B.F. Skinner dalam Robbins, et al. ( 2005 : 101), teori penguatan dapat dijelaskan sebagai berikut: orang akan sangat cenderung melakukan perilaku yang dikehendaki jika mereka mendapatkan imbalan untuk berbuat begitu. Selanjutnya B.F. Skinner membuat suatu siklus yang dapat menjelaskan teori penguatan yang dapat dinyatakan sebagai berikut: Rangsangan→Respons→Konsekuensi→Respons Masa Depan dan proses tersebut diatas dikenal dengan hukum sebab akibat, menurut teori penguatan seseorang termotivasi kalau dia memberikan respons pada rangsangan dalam pola tingkah laku yang konsistensepanjang waktu. Dalam penelitian ini motivasi difokuskan pada teori harapan dari Victor Vroom yang mencakup tiga variabel hubungan yaitu : Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan, dan Valensi atau daya tarik imbalan.
2.1.3. Kinerja Pegawai Kinerja merupakan catatan hasil (outcome) yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan atau suatu kegiatan tertentu selama suatu periode waktu tertentu untuk menunjukan sejauhmana pegawai dapat memenuhi tuntutan pekerjaan. Menurut Robbins dan De Cenzo kinerja dapat di nilai dari empat dimensi yaitu: 1) kuantitas pekerjaan, 2) kualitas pekerjaan, 3) pengetahuan akan pekerjaan dan 4) ketergantungan pegawai
terhadap
supervisi (Robbins dan De Cenzo, 2007: 328). Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dantanggung jawabnya. Definisi kinerja menurut Bambang Kusriyanto dalam Mangkunegara (2005: 9) adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya per jam). Faustino dalam Mangkunegara, (2005: 9) mengemukakan definisi kinerja sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan denganproduktivitas. Sedangkan Menurut Mangkunegara (2005: 9), kinerja karyawan(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Oleh karena itudapat disimpulkan bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja, atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanyasesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja merupakan aspek penting dalam upaya pencapaian tujuan. Pegawai yang memiliki kinerja baik, tentu lebih dapat diharapkan pencapaian tujuannya berhasil, dibandingkan pegawai yang kinerjanya buruk. Sehubungan dengan hal terebut, Bernardin dan Russel, sebagaimana dikutip oleh Gomes, menyatakan bahwa kinerja adalah catatan outcome yang dihasilkan fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu (Gomes, 2000 : 135). Untuk mengetahui kinerja seseorang harus ditetapkan standar kinerja sebagai tolak ukurnya. Standar kinerja masing-masing orang yang mempunyai pekerjaan sesuai jenis pekerjaan organissi atau profesinya. Standar kinerja merujuk pada tujuan organisasi yang dijabarkan ke dalam tugas-tugas fungsionalnya. Menurut Furtwengler (2002-86), aspek-aspek yang dijadikan ukuran bagi kinerja seseorang adalah : “kecepatan, kualitas pelayanan, nilai, keterampilan interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah, kreativitas, keterampilan berkomunikasi, dan inisiatif”. Kinerja merupakan hasil dari suatu perilaku kerja yang ditampilkan seseorang dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Prawirosentono juga menyatakan bahwa : ”Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”. (Prawirosentono, 2008 : 2).
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerjaatau output(outcome) seseorang yang dicapai sesuai dengan beban dan tanggungjawabnya. Penilaian kinerja merupakan usaha yang dilakukan pimpinan untuk menilai hasil kerja bawahannya. Menurut Leon C. Mengginson dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, (2005: 10),penilaian kinerja (performance appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara(2005: 10), mengemukakan bahwa penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawaidan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitasatau status dari beberapa obyek orang ataupun sesuatu barang.Menurut Handoko (2001: 235), penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah prosesmelalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para pegawai tentang pelaksanaan kerja mereka. Secara spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan Agus Sunyoto dalam Mangkunegara,(2005: 10) adalah:1. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seseorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan
keinginan dan aspirasinya danmeningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap
pekerjaan
yang
diembannya
sekarang.4.
Mendefinisikan
atau
merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan khusus, rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah. Penilaian yang dikemukakan
kinerja
pegawai
Agus Sunyoto
memiliki dalam
beberapa
sasaran
Mangkunegara,
(2005:
seperti 11)
yaitu:1.Membuat analisis kerangka dari waktu yang lalu secara berkesinambungan dan periodik baik kinerjakaryawan maupun kinerja organisasi.2.Membuat evaluasi kebutuhan pelatihan dari para karyawan melalui audit keterampilan danpengetahuan sehingga dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Atas dasar evaluasi kebutuhanpelatihan ini dapat menyelenggarakan program pelatihan dengan tepat.3.Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan memberikan tanggung jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk periode selanjutnya jelas apa yang harus diperbuat oleh karyawan, mutu dan bahan baku yang harus dicapai, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja karyawan.4.Menentukan potensi karyawan yang berhak memperoleh promosi, dan kalau berdasarkan hasil diskusiantara karyawan dengan pimpinan itu untuk menyusun suatu proposal mengenai sistem bijak (meritsystem) dan sistem promosi lainnya, seperti imbalan (yaitu reward system recommendation).
2.1.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Adapun beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik, antara lain : a. Efektifitas Menurut Chester Barnard dalamNurmandi(2010:43-44): ”Efektifitas dari usaha kerjasama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai tujuan dalam sistem, dan hal itu ditentukan dengan suatu pandangan yang dapat memenuhi kebutuhan sistem itu sendiri. Sedangkan dari suatu kerjasama dalam suatu sistem itu sendiri (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masing-masing individu.”
Merujuk pada kutipan di atas dapat
dijelaskan bahwa efektifitas dari suatu kelompok (organisasi) adalah jika tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang telah dikeluarkan dalam upaya dapat mencapai tujuan tersebut. b. Otoritas dan tanggung jawab (Autority and Responsibility) Dalam suatu organisasi yang baik, wewenang dan tanggung jawab telah dilakukan dan dilimpahkan dengan baik pula, sehingga tidak terjadi adanya tumpang tindih tugas atau kewajiban yang harus dilakukan. Masing-masing individu mengetahui apa yang menjadi hak dan tanggung jawabnya dalam rangka organisasi mencapai tujuannya.
c. Disiplin (Discipline) Menurut Robert E. Quin(1990), dalam bukunya yang berjudul Becoming A Master Manager, A Competency Framework, dijelaskan bahwa :
“Disiplin
meliputi ketaatan dan hormat terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan dan karyawan.” Disiplin juga berkaitan erat dengan sanksi yang berlaku kepada atasan (superordinate) maupun bawahan (subordinat) dimana disiplin tersebut akan memberikan corak terhadap kinerja pelayanan suatu organisasi publik.
d. Inisiatif Menurut Robert E. Quin(1990) : ”Inisiatif seseorang (atasan atau bawahan) berkaitan dengan daya fikir, kreatifitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.”
Setiap inisiatif sebaiknya
mendapat perhatian atau tanggapan positif. Apabila seorang atasan menghambat inisiatif, akan menyebabkan organisasi kehilangan energi atau daya dorong untuk mencapai kemajuan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pelayanan suatu organisasi publik Goodman
dan
Pennings
(1977:1-2)
serta
Campbell(1997:14)
menggunakan istilah kinerja organisasi dan efektivitas dalam makna yang sama. Selanjutnya, Mark (1981:73) memasukkan efektivitas dan kinerja ke dalam definisi produktivitas sedangkan Hannan dan Freeman (1977:115) mengatakan bahwa kinerja organisasi selalu berhubungan dengan hasil (output). Sebaliknya,
menurut Quinn (1978:42), “produktivitaslah sebenarnya yang disebut sebagai kinerja organisasi” walaupun Hatry (1978:28) menyatakan bahwa produktivitas tidak hanya efektifitas tetapi juga efisiensi. Singkatnya bahwa ketika berbicara tentang kinerja organisasi orang sering berada pada gelombang yang berbeda. Mereka menggunakan kata effisiensi padahal yang dimaksud adalah efektivitas atau kualitas atau mungkin juga produktivitas. Robbins (2001: 487) mengungkapkan bahwa kriteria umum yang diambil manajemen dalam menilai kinerja adalah: 1. Individual Task Outcome. (ends)
ketimbang
mengevaluasi
task
cara
Jika yang dipentingkan adalah hasil (means),
outcome
maka
manajer
hendaknya
pegawai, dengan faktor-faktor
yang
diukur misalnya: kuantitas, kualitas, efisiensi waktu kerja, ketelitian, maksimalisasi sumberdaya 2. Behaviors.
Penilaian perilaku ini tidak harus selalu dikaitkan
dengan produktivitas individu.
Di sini juga termuat perilaku yang
berkaitan dengan membantu orang lain, membuat
saran untuk
perbaikan, dan kesediaan individu untuk lembur (melakukan tugas tambahan)
secara
sukarela
kelompok dan organisasi.
agar
bisa
meningkatkan
efektivitas
Dapat dikatakan bahwa faktor subjektif
atau kontekstual juga termasuk di sini. Faktor-faktor yang diukur misalnya loyalitas pada instansi, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menyelesaikan tugas,, dan kemampuan mengatasi situasi darurat.
3. Trait.
Walaupun termasuk kriteria yang paling lemah, trait masih
banyak digunakan oleh organisasi.
Dikatakan lemah dibandingkan
dengan task outcome atau behavior karena trait ini tidak selalu menunjukkan prestasi kerja aktual dari pekerjaan itu sendiri, misalnya memiliki
“sikap
yang
baik”,
cerdas, ramah dalam memberikan
pelayanan, kepuasan atas hasil/evaluasi kerja, itu mungkin tidak terlalu berkaitan
dengan
task-outcome
yang
positif.
Walau
begitu,
kenyataan ini tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai salah satu kriteria dalam menilai tingkat kinerja pegawai. Adapun dimensi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh Robin yang menjadi acuan penulis terdiri atastiga macam, yaitu : Individual Task Outcome, Behaviors, dan Trait.
2.1.4. Hubungan Kemampuan dan Motivasi dengan Kinerja Penelitian tentang motivasi kerja serta pengaruhnya terhadap kinerja antara lain pernah dilakukan oleh Tuti Tursinah dengan judul penelitian ”Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia (Studi Kasus pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Jawa Barat) (Tesis Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Kebijakan Publik, Tahun 2002). Metode statistik yang digunakan Tuti Tursinah dalam penelitiannya adalah Path Analysis (Analisis Jalur), dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 42
orang dari jumlah 92 populasi pegawai pada Balitbangda Propinsi Jawa Barat, secara stratified random sampling. Dari hasil penelitian Tuti Tursinah, disimpulkan bahwa variabel motivasi kerja dan kemampuan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai Balitbangda propinsi Jawa Barat. Hal tersebut didasarkan
atas
hasil perhitungan koefisien jalur dan uji signifikansi yang dilakukan. Keadaan tersebut membuktikan bahwa kinerja pegawai Balitbangda Propinsi Jawa Barat dipengaruhi antara lain oleh motivasi dan kemampuan kerja pegawai yang ada. Di samping itu, tingkat keeratan pengaruh motivasi kerja lebih besar dibandingkan dengan tingkat keeratan pengaruh kemampuan kerja. Dari perhitungan koefisien jalur, kemampuan kerja memberikan kontribusi sebesar 18,6% terhadap kinerja pegawai Balitbangda Propinsi Jawa Barat, sedangkan kontribusi motivasi kerja memberikan kontribusi sebesar 30,8%. Kelemahan penelitian Tuti Tursinah, menurut penulis adalah bahwa Tuti Tursinah melakukan penelitian tentang kinerja pegawai pada Balitbangda Propinsi Jawa Barat yang baru dibentuk bulan Desember 2001. Karena melakukan penelitian pada organisasi yang relatif baru berdiri, maka sulit untuk mencari pembanding apakah kinerja pegawai di Balitbangda Propinsi Jawa Barat pada saat penelitian dilakukan (tahun 2002) mengalami peningkatan atau penurunan dari sebelumnya. Di samping itu, kinerja organisasi yang baru berdiri secara umum tentunya tidak akan sebaik kinerja organisasi yang sudah lama berdiri karena masih dalam proses perintisan/pembenahan. Sehingga, bisa jadi rendahnya kinerja pegawai yang ada bisa jadi bukan semata-mata disebabkan oleh kemampuan dan
motivasi kerja pegawai, namun bisa jadi dipengaruhi terutama oleh sarana dan prasarana pendukung yang belum siap/belum memadai. Pada sisi lain, Tuti Tursinah pun dalam penelitiannya mendasarkan ukuran kinerja organisasi Balitbangda Propinsi Jawa Barat semata-mata hanya mempertimbangkan motivasi dan kemampuan pegawai yang ada di Balitbangda Propinsi Jawa Barat. Padahal, kenyataan yang terjadi di lapangan penelitian yang dilakukan atas nama Balitbangda Propinsi Jawa Barat, padahal banyak juga yang dikerjasamakan dengan pihak perguruan tinggi. Tinggi rendahnya kinerja para pegawai dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain: “kemampuan dan kemauan kerja, fasilitas kerja yang digunakan, disamping itu juga tepat tidaknya cara yang dipilih perusahaan/instansi dalam memberikan motivasi kepada pegawai, dengan cara yang tepat dalam memotivasi pegawai untuk bekerja, semakin terlihat peningkatan produktivitas sesuai yang diharapkan oleh perusahaan”. (Sinungan, 2000:3). Pendapat tersebut mengatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi peningkatan kinerja pengawai. Faktor yang diperhitungkan untuk meningkatkan gairah kerja pegawai dimana dan instansi apapun adalah adanya motivasi dan kemampuan kerja yang dimiliki pegawainya. Hal ini cukup beralasan sebab kemampuan dan motivasi kerja merupakan faktor yang mencerminkan sikap dan karakter seseorang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dalam membicarakan kinerja individu banyak faktor yang mempengaruhi. Hal ini karena terdapat fenomena individual dimana setiap individu pada dasarnya
bersifat unik dan faktor penentu kinerja sangat beragam. Walaupun demikian ada dua faktor utama sebagai variabel paling penting dalam menerangkan kinerja seseorang yakni motivasi dan kemampuan. Kinerja tidaklah mungkin mencapai hasil yang maksimal apabila tidak ada motivasi, karena motivasi merupakan suatu kebutuhan di dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Begitu juga berbagai ragam kemampuan pegawai akan sangat berpengaruh terhadap kinerja mengingat pegawai merupakan titik sentral dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Sulistiyani (2003:189) mengatakan bahwa kinerja pegawai akan lebih memberikan penekanan pada dua faktor utama: (a) keinginan atau motivasi dari pegawai untuk bekerja yang kemudian akan menghasilkan usaha-usaha pegawai tersebut, (b) kemampuan dari pegawai untuk bekerja. Hal tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan yaitu P=f (m x a). Maksud dari persamaan ini adalah P= performance (kinerja), M= motivation (motivasi), dan a= ability (kemampuan). Rendahnya motivasi dan kemampuan akan menyebabkan timbulnya kinerja yang rendah secara menyeluruh. Demikian sebaliknya, skor yang tinggi pada keduanya akan menghasilkan kinerja yang tinggi secara keseluruhan. Namun skor yang tinggi pada bidang kemampuan jika motivasinya sangat rendah akan mengakibatkan kinerjanya rendah. Sama halnya jika motivasinya tinggi namun kemampuannya sangat rendah kinerja juga akan rendah. Dalam kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan yang sedang-sedang saja relatif agak rendah namun disertai dengan motivasi yang tinggi, sangat mungkin akan menunjukkan
kinerja yang melebihi kinerja orang lain yang memiliki kemampuan tinggi tetapi dengan motivasi yang rendah. Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis, yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) yang merumuskan bahwa : 1. Human Performance = Ability + Motivation = Knowledge + Skill = Attitude + Situation 2. Motivation
= Attitude + Situation
3. Ability
= Knowledge + Skil
1. Faktor Kemampuan Secara psikologis, kemampuan (Ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + Skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ rata-rata (IQ 110 – 120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai prestasi kerja yang diharapkan, sehingga kinerja kerja pegawai lebih optimal. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man on the right place, the right man on the right job). Kemampuan berkaitan dengan karakter individu karena setiap individu pasti memiliki kemampuan, hanya saja tingkat kemampuannya berbeda, meliputi : pengetahuan, pengalaman, keterampilan, bakat, kepribadian dan pendidikan. Oleh karena itu perlu penyesuaian antara kemampuan individu dengan pekerjaan yang
diberikan akan meningkatkan kinerja individu sumberdaya manusia organisasi publik. 2. Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Sikap mental seorang pegawai harus sikap mental yang siap secara psikofisik (sikap secara mental, fisik, tujuan dan situasi). Artinya seorang pegawai harus siap mental, mampu secara fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai serta mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja. Motivasi merupakan hasrat didalam seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan dan tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja seeorang. Apabila motivasi kerja seseorang bagus maka kinerja dari orang tersebut juga pasti akan bagus begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian McClelland, Edward Murray, Miller dan Gordon W. yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2001
; 104)
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi dengan kinerja. Artinya pegawai yang mempunyai motivasi yang tinggi maka cenderung memiliki kinerja yang tinggi, dan sebaliknya mereka yang kinerjanya rendah dimungkinkan karena motivasinya rendah.
Motivasi merupakan hasrat didalam seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan dan tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja seeorang. Apabila motivasi kerja seseorang bagus maka kinerja dari orang tersebut juga pasti akan bagus begitu juga sebaliknya. .
2.2. Kerangka Pemikiran Dengan lahirnya PP 41 Tahun 2007, tuntutan akan kinerja yang baik menjadi syarat mutlak bagi suatu OPD (Organisasi Perangkat Daerah) termasuk diantaranya adalah Dinas Daerah. Kinerja merupakan output atau yang dihasilkan dari kegiatan manajemen yang dilakukan oleh suatu organisasi. Robbins, et al. (2005 : 226), mengartikan kinerja adalah akumulasi akhir semua proses dan kegiatan kerja organisasi. Ini berarti bahwa kinerja adalah hasil yang menentukan bagaimana pencitraan suatu organisasi. Tentunya kinerja organisasi tidak dapat dengan sendirinya dihasilkan, kinerja organisasi dibangun oleh kinerja individu anggota organisasi tersebut. Jika kinerja organisasi adalah hasil akhir secara simultan yang dicapai oleh suatu organisasi maka kinerja individu adalah hasil akhir yang dicapai oleh tiap-tiap individu anggota organisasi tersebut secara parsial. Adapun Kinerja pegawai yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil kerja secara kualitatif dan kuantitatif yang dicapai setiap pegawai pada Dinas Perindustrian Perdagangan Dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Kota Cirebon..dalam penelitian ini juga lebih ditekankan pada kinerja inidividu yang secara simultan akan menggambarkan kinerja unit kerja bidang tekankan disini
bahwa yang menjadi objek adalah pegawai yang berada di unit Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon. Guna mengimbangi perkembangan dan tuntutan masyarakat dewasa ini, pemerintah berkewajiban untuk mempersiapkan dan menyediakan penyelenggara administrasi (administrator) yang memiliki kemampuan, keahlian, cakap, dalam jumlah yang memadai, dan memiliki kinerja yang baik. Pada era globalisasi sekarang ini dan masa-masa akan datang kompetisi yang terjadi sudah bersifat global dan adanya perubahan-perubahan kondisi ekonomi menyebabkan banyak organisasi dari bermacam-macam ukuran melakukan langkah restrukturisasi. Hal ini mendorong terjadinya perubahan paradigma organisasi dari tradisional menjadi modern. Kondisi ini harus benarbenar disadari dan dipersiapkan secara proporsional. Persiapan ini terutama pada faktor-faktor sumber daya manusia yang bermutu dengan kualifikasi yang sesuai. Oleh karena itu, peningkatan kinerja sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting di dalam usaha memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu diupayakan secara terus menerus dan berkesinambungan dalam menghadapi tuntutan masyarakat. Untuk menentukan hal ini perlu dicari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tersebut. Mangkunegara mengemukakan sebagai berikut, kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance ( prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang ). Jadi, kinerja berarti hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya
sesuai
dengan
tanggung
jawab
yang
diberikan
kepadanya”.
(Mangkunegara, 2000:67). Untuk mengetahui kinerja pegawai dalam melaksanakan tugas – tugas yang menjadi tanggung jawabnya, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja pegawai. Penilaian kinerja bertujuan untuk menilai seberapa baik pegawai telah melaksanakan pekerjaannya dan apa yang harus mereka lakukan untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Ini dilaksanakan dengan merujuk pada isi pekerjaan yang mereka lakukan dan apa yang mereka harapkan untuk mencapai setiap aspek dari pekerjaan mereka. Isi dari suatu pekerjaan merupakan dasar tetap untuk perumusan sasaran yang akan dicapai dari suatu tugas utama yang dapat dirumuskam sebagai target kuantitas, standar kinerja suatu tugas atau proyek tertentu untuk diselesaikan ( Rivai dan Basri, 2005 :77). Menurut (Robbins, 1996:P.24). Kinerja adalah suatu ukuran yang mencakup keefektifan dalam pencapaian tujuan dan efesiensi yang merupakan rasio dari keluaran efektif terhadap masukan yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu Menurut Robbins (2006:56) “kinerja karyawan adalah banyaknya upaya yang dikeluarkan individu dalam mencurahkan tenaga sejumlah tertentu pada pekerjaan. Senada dengan Gibson,Robbins (1996) mengemukakan bahwa kinerja pegawai akan lebih memberikan penekanan pada dua faktor utama: (a) keinginan atau motivasi dari pegawai untuk bekerja yang kemudian akan menghasilkan usaha-usaha pegawai tersebut, (b) kemampuan dari pegawai untuk bekerja. Hal
tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan yaitu P=f (m x a). Maksud dari persamaan ini adalah P= performance (kinerja), M= motivation (motivasi), dan a= ability (kemampuan).Kemampuan disini merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins, 1996). Jadi Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan dimana untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu”. Kesediaan dan ketrampilan seseorang tidak cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tantang apa yang dikerjakan dan bagaima mengerjakannya. Menurut (Robbins, 2006:687) dalam penilaian kinerja terdapat beberapa pilihan dalam penentuan mengenai yang sebaiknya melakukan penilaian tersebut antara lain : a. Atasan langsung, semua hasil evaluasi kinerja pada tingkat bawah dan menengah pada umumnya dilakukan oleh atasan langsumg karyawan tersebut. b. Rekan sekerja, evaluasi ini merupakan salah satu sumber paling handal dari penilaian. Alasan rekan sekerja yang tindakan dimana interaksi sehari-hari memberi pandangan menyeluruh terhadap kinerja dalam pekerjaannya. c. Pengevaluasi diri sendiri, mengevaluasi kinerja mereka sendiri apakah sudah konsisiten dengan nilai-nilai, dengan sukarela dan pemberian kuasa.
d. Bawahan lansung, evaluasi bawahan langsung dapat memberikan informasi yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang manajer, karena lazimnya penilaian yang mempunyai kontak yang sering dinilai. e. Pendekatan menyeluruh, pendekatan ini memberikan umpan balik kinerja dari lingkungan penuh kontas sehari-hari yang mungkin dimiliki karyawan, yang disekitar personal, ruang surat sampai kepelanggan atasan rekan sekerja. Rendahnya motivasi dan kemampuan akan menyebabkan timbulnya kinerja yang rendah secara menyeluruh. Demikian sebaliknya, skor yang tinggi pada keduanya akan menghasilkan kinerja yang tinggi secara keseluruhan. Namun skor yang tinggi pada bidang kemampuan jika motivasinya sangat rendah akan mengakibatkan kinerjanya rendah. Sama halnya jika motivasinya tinggi namun kemampuannya sangat rendah kinerja juga akan rendah. Dalam kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan yang sedang-sedang saja relatif agak rendah namun disertai dengan motivasi yang tinggi, sangat mungkin akan menunjukkan kinerja yang melebihi kinerja orang lain yang memiliki kemampuan tinggi tetapi dengan motivasi yang rendah. Keith Davis (1985::484) pun mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation), Adapun dimensi kinerja yang diambil oleh peneliti adalah sebagaimana yang dikemukakan olehStephen Robbins(2001:232) ada 3 kriteria untuk mengetahui kinerja seseorang, yaitu :
1. Individual task outcomes, if ends count, rather than means, then management should evaluate an employee’s task outcomes. Using task outcomes, a plant manager could be judged on criteria such as quality produced, scrap generated and cost per unit of production. 2. Behaviors, it is difficult to identify spesific outcomes that can be directly attribute to an employee’s action. This is particularly true of personnel in staff position and individuals whose work assignments are intrinsically part of a group effort. 3. Traits, the weakest set of criteria, yet one still widely used by organizations, is individual traits. They are weaker than either task outcomes or behaviors because they are farthest removed from the actual performance of the job itself.
Berdasarkan pendapat Robbin tersebut maka kinerja seorang karyawan dapat dilihat dalam beberapa hal, pertama adalah hasil tugas individu, menilai hasil tugas karyawan dapat dilakukan pada suatu badan usaha yang sudah menetapkan standar kinerja sesuai dengan jenis pekerjaan, yang dinilai berdasarkan periode waktu tertentu, seperti laporan harian, memenuhi tuntutan waktu, hasil kerja. Bila karyawan dapat mencapai standar yang ditentukan berarti hasil tugasnya baik. Kedua adalah perilaku, badan usaha tentunya terdiri dari banyak karyawan baik bawahan maupun atasan, yang mempunyai perilaku sendiri-sendiri seperti cekatan atau tanggap, hadir tepat waktu dan rajin. Dimana setiap individu saling terlibat dan berkomunikasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Jika komunikasi terhambat, maka karyawan tidak dapat mencapai standar kinerja, yang akibatnya tujuan yang diharapkan tidak dapat tercapai. Dalam perspektif model harapan, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan dan motivasi (Gibson et al, 1985:185 ). Apakah yang dimaksud dengan kemampuan seseorang, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Secara sederhana kemampuan seseorang dapat dilihat dari keahlian atau skill yang
dimiliki seseorang. Keahlian tersebut dipengaruhi diantaranya oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman. Kemampuan itu sendiri adalah sifat yang di bawa sejak lahir/dipelajari yang memungkinkan seseorang menyelesaikan tugasnya (Gibson, 1989 : 54). Kemampuan
menunjukkan
potensi
orang
untuk
melaksanakan
tugas/pekerjaan (Gibson, 1989 : 215). Kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugasnya merupakan perwujudan dari pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Blanchard : “Kematangan pekerjaan (kemampuan) dikaitkan dengan kemampuan
untuk
melakukan
sesuatu. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan” (Kenneth H. Blanchard, 1986 : 187). Selanjutnya Winardi (2002) menjelaskan : ”kemampuan dilain pihak, berhubungan dengan kompetensi juga seseorang. Perbedaan atau distinksi antara kedua hal, yakni kemampuan dan motivasi sangat relevan bagi banyak situasi”. (Winardi, 2002 : 63). Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disederhanakan bahwa kemampuan terdiri atas skill (keterampilan) dan knowledge (pengetahuan). Selain itu, Winardi (2002) menambahkan dengan pengalaman kerja (work experience) sumber daya manusia bersangkutan. Dalam penelitian ini variabel kemampuan akan difokuskan pada teori yang dikemukanan Winardi (2002) yang teridiri dari dimensi-dimensi berikut ini: 1) Keterampilan (Skill)
Keterampilan dan kecakapan pegawai yaitu
akumulasi dari bakat dan
kepribadian yang dimilikinya. Indikator Skill meliputi: mampu menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, kreatif, inovatif, kemampuan untuk menghitung secara cepat dan mengoperasionalkan komputer. 2) Pengetahuan (Knowledge) Adalah pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil pendidikan, pengalaman, dan pelatihan di bidang kerjanya. Indikator knowledge meliputi: Berlatar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang kerjanya dan sering mengikuti pelatihan di bidangnya. 3) Pengalaman Kerja (Work Experience) Adalah pengalaman kerja yang dimiliki pegawai di Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon. Faktor yang mempengaruhi kinerja selanjutnya adalah motivasi. Motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, dengan adanya motivasi maka pegawai memiliki kekuatan pendorong untuk bekerja. Adapun dimensi motivasi yang diambil oleh peneliti adalah teori harapan oleh Victor Vroom dimana memiliki tiga dimensi yaitu : Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan dan Valensi atau daya tarik imbalan (dalam Robbins, et al. 2005 : 108). Sedangkan menurut Robbin (2002,166) motivasi didefiniskan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi yan dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu
kebutuhan individu,sementara motivasi umum bersangkutan dengan upaya kearah setiap tujuan yang fokusnya dipersempit terhadap tujuan organisasi, ketika unsur dalam definisi ini adalah upaya, tujuan dan kebutuhan. Winardi(2002) juga mengemukakan bahwa motivasi merupakan sebuah determinan penting dalam kinerja individual, untuk menunjang tujuan-tujuan produksi kesatuan kerjanya dan organisasi dimana tempat dia bekerja, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja, Dengan kondisi seperti ini, maka motivasi kerja perlu ditempatkan sebagai kriteria penting bagi perkembangan individu dan organisasi pada unit-unit kerja di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi UMKM Kota Cirebon. Maka dalam penelitian ini dimensi untuk variabel motivasi mengacu pada Victor Vroom dalam Robbins, et al. 2005 yaitu Pengharapan (kaitan usahakinerja), Instrumentalitas (kaitan kinerja-imbalan)
dan Valensi (daya tarik
imbalan) Seorang pegawai bisa memiliki kinerja yang baik jika pelaksanaan kerja didukung oleh kemampuan yang cukup. Namun kemampuan saja tidaklah lengkap,disinilah peran motivasi sebagai faktor pembeda antara pegawai satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, walaupun seorang pegawai memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan tugas dan pekerjaanya, tetapi apabila tidak ditunjang oleh motivasi yang kuat maka kinerja tidak optimal. Kinerja akan menjadi nol apabila sumber daya manusia yang ada tidak memiliki kemampuan dan motivasi. Kinerja akan meningkat apabila salah satu
dari kedua variabel tersebut, yaitu kemampuan dan motivasi yang meningkat hanya terdapat pada pegawai yang memiliki kemampuan yang tinggi. Terhadap pegawai yang memiliki kemampuan rendah, peningkatan kinerja dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan atau dengan memindahkan ke bagian lain yang sesuai dengan kemampuan dan keterampilan pegawai yang bersangkutan. dimensi variabel kemampuan dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh widanardi (2002) yaitu Keterampilan,Pengetahuan, dan Pengalaman kerja. Berdasarkan uraian terdahulu, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Kemampuan (X1) Keterampilan Pengetahuan Pengalaman kerja Kinerja (Y) Sumber :Winardi, 2002 Individual Task Outcome, Behaviors Trait. Motivasi (X2) Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan Valensi atau daya tarik imbalan Sumber : Victor Vroom dalam Robbins, et al. 2005
Sumber :Robbin, 2001
2.3. Hipotesis Berdasarkan uraian dalam rumusan masalah dan kerangka pemikiran, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : 1. Besarnya pengaruh kemampuan terhadap kinerja pada Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Kota Cirebon dipengaruhi oleh dimensi keterampilan, pengetahuan dan pengalaman kerja. 2. Besarnya pengaruh motivasi terhadap kinerja pada Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Kota Cirebon dipengaruhi
oleh
dimensi
Pengharapan
atau
kaitan
usaha-kinerja,
Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan dan Valensi atau daya tarik imbalan