BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran 1. Hakikat Belajar Apakah yang dimaksud dengan belajar dan mengajar dan bagaimana mereka berinteraksi? Brown (2000: 7) menyarankan untuk mempertimbangkan kembali beberapa definisi tradisional. Kamus ‘masa kini’ mengungkapkan bahwa belajar adalah pemerolehan pengetahuan, (acquiring or getting of knowledge of a subject or a skill by study, experience, or instruction). Menurut Kimble dan Garmezy (Brown, 2000: 7) , “Learning is a relatively permanent change in a behavioral tendency and is the result of reinforced practice”. Demikian pula, mengajar, yang dinyatakan secara tidak langsung dalam definisi belajar pertama, dapat didefinisikan sebagai “showing or helping someone to learn how to do something, giving instructions, guiding in the study of something, providing with knowledge, causing to know or understand” (Brown, 2000: 7). Ahli kamus profesionalpun tidak dapat melambangkan definisi ilmiah lebih tepat. Definisi mencerminkan kesulitan untuk mendefinisikan konsep yang lain yang lebih kompleks seperti pembelajaran. Pengajaran bahasa Inggris tidak terlepas dari teori-teori belajar yang ada. Teori belajar itu sendiri tidak statis, tetapi selalu berkembang. Perkembanganperkembangan inilah yang harus selalu disimak oleh guru bahasa Inggris, agar ia
14
dapat memperbaiki cara-cara mengajarnya, bila cara yang digunakannya ternyata tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan tujuan pengajaran bahasa Inggris. Dengan merinci komponen definisi belajar, peneliti
dapat memperoleh
definisi seperti yang dilakukan dengan bahasa, ranah penelitian dan penyelidikan (Brown, 2000: 7): a) learning is acquisition or “getting”; b) learning is retention of information or skill; c) retention implies storage systems, memory, and cognitive organization; d)learning involves active, conscious focus on and acting upon event outside or inside the organism; e) learning is relatively permanent but subject to forgetting; f) learning involves some form of practice, perhaps reinforced practice; g) learning is a change in behavior. Konsep ini juga dapat memberikan jalan untuk sejumlah sub bidang di dalam disiplin psikologi: proses pemerolehan, persepsi, sistem memori (penyimpanan), mengingat, gaya dan strategi belajar yang disadari dan yang tidak disadari, theories of forgetting, penambahan, peranan latihan. Setiap bagian kecil konsep belajar dengan sangat cepat menjadi sama rumitnya dengan konsep bahasa. Sebelumnya pembelajar bahasa Inggris membawa semua ini dan lebih bervariasi menjadi bermain dalam belajar bahasa Inggris. Mengajar tidak dapat didefinisikan terpisah dari belajar. Gage (Brown, 1987: 7) mencatat “to satisfy the practical demands of education, theories of learning must be ‘stood on their head’ so as to yield theories of teaching.” Belajar adalah membimbing dan memfasilitasi belajar, membuat pembelajar mampu belajar, membuat kondisi untuk belajar. Pengertian tentang bagaimana pembelajar belajar akan menentukan filosofi pendidikan, gaya mengajar, pendekatan, metode, dan
15
teknik kelas. Bila belajar diamati seperti suatu proses opera yang dikondisikan melalui program tambahan yang dihadapi secara hati-hati, pengajaran akan sesuai dengan yang diharapkan. Bila belajar bahasa Inggris ditinjau secara mendasar sebagai suatu proses deduktif lebih dari proses induktif, mungkin penyajian akan dipilih banyak sekali peraturan dan paradigma terhadap siswa daripada membiarkan mereka “menemukan” peraturan-peraturan itu secara induktif. Satu definisi atau teori mengajar yang diperluas akan membaca kata demi kata prinsipprinsip yang berperan untuk memilih metode dan teknik tertentu. Satu teori mengajar, dalam keharmonisan dengan pengertian terpadu tentang pembelajar dan masalah pelajaran untuk dipelajari, akan mengarahkan jalan menuju prosedur yang sukses pada suatu hari yang diberikan untuk pembelajar pada berbagai kendala dari konteks belajar khusus. Bruner (Brown, 1987: 7) mengemukakan bahwa teori mengajar seharusnya memiliki ciri-ciri berikut ini: a) the experiences which most effectively implant in the individual a predisposition toward learning; b) the ways in which a body of knowledge should be structured so that it can be most readily grasped by the learner; c) the most effective sequences in which to present the materials to be learned; and d) the nature and pacing of rewards and punishments in the process of learning and teaching. Paling tidak tiga dari ciri-ciri tersebut cukup memberikan petunjuk untuk masalah pelajaran itu sendiri dan teori belajar sebelum teori mengajar dapat dibentuk. Tujuannya adalah untuk memfokuskan pada masalah pelajaran secara umum,
16
bahasa, dan proses belajar sebagai batu fondasi penting untuk membangun teori mengajar. Perkembangan juga menyebabkan adanya polarisasi dalam teori. Pengkajian terhadap teori belajar akan memberikan alternatif kepada guru, langkah yang bagaimana yang harus mereka ambil, yang dirasakan paling cocok bagi para siswanya maupun bagi dirinya. Perbedaan pendapat atau polarisasi di atas memberikan wawasan-wawasan baru kepada guru mengenai hal-hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Ide-ide yang bertentangan dalam teori belajar dipelajari tidak untuk memihak pada salah satu, tetapi untuk dapat diambil kebenaran-kebenarannya dalam usaha memperbaiki teknik pengajaran bahasa pada umumnya, dan pengajaran bahasa Inggris khususnya. Perbedaan pendapat ini juga telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi selama proses belajar bahasa Inggris berlangsung. 2. Pembelajaran Pembelajaran diarahkan ke pencapaian kompetensi yang dapat dilihat dalam kepiawaian siswa melakukan langkah-langkah komunikasi. Sebagai contoh, pengajaran berbicara diarahkan ke keterampilan melakukan dan merealisasikan tindak tutur yang sering disebut speech act, speech function atau language function. Ini dimaksudkan agar fokus pembelajaran berbicara tidak hanya diarahkan ke tema yang biasa dimaknai dengan ‘berbicara tentang tema tertentu’. Dalam mengembangkan kompetensi, pengembangan pembelajarannya diarahkan
17
ke keterampilan siswa melakukan tindak tutur seperti membuka percakapan, mempertahankannya, menutup percakapan, minta tolong dan sebagainya yang semuanya harus direalisasikan ke dalam lexico-grammar atau tata bahasa dan kosakata. Dengan demikian tema yang berkonotasi dengan kosakata dan tata bahasa dipertimbangkan untuk tujuan tercapai kompetensi yang ditargetkan. Singkatnya, pendekatan yang biasanya bermakna ‘let’s talk about something’ dalam pelajaran conversation diubah menjadi ‘let’s do something with language’ (Depdiknas, 2003: 18). Belajar berbicara berarti belajar bagaimana menyapa, mengeluh, mengungkapkan kegembiraan dan lain sebagainya. Belajar dilakukan dalam konteks situasi tertentu. Konteks inilah yang berperan terhadap terpilihnya tema yang melibatkan kosakata dan tata bahasa. Di dalam pembelajaran menulis, langkah-langkah komunikasi, seperti mengelaborasi, menambah, mempertajam fokus, menyatakan gagasan utama, menyimpulkan, disebut sebagai langkah-langkah atau pengembangan retorika atau ‘speech act’ dalam bentuk tertulis. Tampak jelas di sini bahwa tindak tutur atau retorika hanyalah salah satu aspek dari kompetensi berbahasa yang diharapkan untuk memperoleh kompetensi wacana.
Kompetensi berbahasa Inggris mengandung arti mengerti kaidah-kaidah dan makna kata-kata yang dipakai. Tetapi, di samping aspek kompetensi kaidah-kaidah bahasa masih ada unsur-unsur nonbahasa seperti konteks serta situasi yang menyertai kompetensi bahasa. Pelaksanaan kompetensi bahasa beserta unsur-unsur
18
nonbahasa di dalam konteks komunikasi secara baik dan benar disebut performansi komunikasi. Kompetensi bahasa dan performansi komunikasi merupakan tujuan pokok pengajaran bahasa. Selanjutnya, efektivitas komunikasi siswa dapat ditingkatkan dengan pemahaman mendalam tentang unsur nonbahasa yang membentuk kompetensi bahasa dalam performansi interaksi komunikasi siswa.
Pendekatan komunikatif sangat menekankan kebutuhan siswa belajar bahasa. Oleh sebab itu, pengajaran bahasa Inggris secara komunikatif perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dapat mempengaruhi pengajaran bahasa Inggris, yaitu: (1) lingkungan bahasa yang ada di masyarakat, (2) karakteristik siswa, dan (3) kualitas guru pengajarnya (Depdiknas, 2003: 20). Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh pada pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris secara komunikatif. Guru perlu memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat melakukan analisis terhadap performansi siswa. Ia harus dapat meneliti pengaruh dari bahasa di masyarakat terhadap pengajaran bahasa Inggris. Ia harus dapat melakukan studi terhadap kompetensi siswa di dalam belajar bahasa Inggris berdasarkan performansi linguistik dan karakteristik siswa secara keseluruhan dan bukan hanya berdasarkan kesalahan-kesalahan siswa di dalam performansi komunikasinya.
19
Memang, kompetensi komunikatiflah yang membedakan pendekatan baru ini dari pendekatan terdahulu yang menekankan kompetensi struktural bahasa. Pengajaran baru ini memungkinkan orang lebih sering menyaksikan performansi komunikasi. Hal itu hanya mungkin terjadi apabila siswa termotivasi untuk menyatakan perasaan, gagasan, atau emosinya. Suasana belajar seperti itu hanya muncul apabila siswa merasa aman dan sebagai individu memiliki nilai (Littlewood, 1984: 93). Suasana belajar yang kondusif itu mengandalkan prinsipprinsip ilmu psikologi. Davis & Brumfit (Suwarsih Madya, 1991: 7) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran sebagai berikut.
(a) Pengajaran akan memberikan hasil apabila isi suatu unit aktivitas dikaitkan dengan kebutuhan dan pengalaman siswa; (b) apabila pelajaran dan latihan tentang unsur-unsur bahasa dibuat bermakna karena dapat bermanfaat di dalam kehidupan sehari-hari (atau bahkan disimulasikan); (c) Siswa harus diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi secara aktif di dalam proses belajar; (d) Siswa harus dibantu untuk dapat mengamati dan memahami hubungan antara unsur-unsur bahasa, situasi komunikasi, dan budaya lewat diagram, grafik dan visualisasi yang beragam dan sederhana, sehingga mudah difahami; (f) Aktivitas di kelas harus mempertimbangkan kenyataan bahwa setiap individu memiliki gaya belajar dan laju kecepatan belajar yang berbeda-beda; dan (g) Transfer belajar tidak selalu otomatis. Selain prinsip ilmu psikologi, beberapa prinsip ilmu pendidikan juga diterapkan dalam pengajaran bahasa secara komunikatif. Prinsip-prinsip tersebut menurut Finochiarro dan Brumfit (Suwarsih Madya, 1991: 8) adalah:
(a) Karena transfer belajar tidak selalu otomatis, usaha harus dilakukan untuk menanamkan kemampuan potensial kepada siswa agar ia termotivasi untuk dapat menggeneralisasi ungkapan komunikatif kaidah tata bahasa atau narasi yang dipelajarinya, dari satu situasi sosio-budaya ke situasi sosio-budaya lain yang
20
setara; (b) Pendekatan spiral atau siklus sangat dianjurkan; (c) Titik permulaan penyusunan kurikulum sampai ke unit pelajaran seyogyanya berupa fungsifungsi komunikasi dan sosial bahasa yang diperlukan siswa; dan (d) Pendekatan spiral digunakan di dalam menyajikan fungsi bahasa yang sama di dalam situasi sosio-budaya yang berbeda-beda. Hasil pengajaran bahasa Inggris secara komunikatif juga sangat tergantung pada kualitas guru, pengajar. Sejauhmana guru dapat menanamkan kemahiran fungsional berbahasa di dalam diri siswa? Kemahiran fungsional tersebut akan tampak dari tiga kompetensi pokok yang diperlihatkan siswa di dalam komunikasi menurut Tinukoff & Richards (Tarigan, 1989: 31-32), yaitu:
(a) Kompetensi partisipatif, yaitu kemampuan untuk memberikan respon yang memadai terhadap tugas-tugas di kelas dan terhadap kaidah-kaidah prosedural; (b) Kompetensi interaksional, yaitu kemampuan untuk berinteraksi secara memadai dengan teman-teman sebaya maupun dengan orang lain dan mampu memberikan respon secara memadai terhadap kaidah-kaidah wacana sosial; dan (c) Kompetensi akademik yaitu kemampuan untuk memperoleh informasi baru, mengasimilasikan atau memahami informasi baru, dan membentuk konsepkonsep baru dari. Guru perlu menyeleksi manakah dari ketiga jenis kompetensi itu yang ingin dicapainya secara baik. Ia harus jeli, teliti dan seksama di dalam analisisnya, sehingga di dalam pengajarannya tidak terbentur kesulitan.
Selanjutnya, Blum (Richards & Renandya, 2002: 21) mengemukan dua belas karakteristik pengajaran yang efektif:
(a) Pengajaran dibimbing oleh suatu kurikulum yang direncanakan ulang; (b) Ada harapan yang tinggi untuk siswa belajar; (c) Siswa dengan hati-hati menyesuaikan diri dengan pelajaran; (d) Pengajaran jelas dan terfokus; (e) Kemajuan belajar dimonitor dengan teliti; (f) Ketika siswa tidak paham, mereka
21
diajari ulang; (g) Waktu kelas digunakan untuk belajar; (h) Ada kelancaran dan kegiatan rutin kelas yang efektif; (i) Kelompok pengajaran dibentuk di dalam kelas menyesuaikan dengan kebutuhan pengajaran; (j) Standar perilaku kelas tinggi; (k) Interaksi pribadi antara guru dan siswa positif; dan (l) Dorongan dan penghargaan terhadap siswa digunakan terhadap meningkatkan keunggulan.
3. Perkembangan Bahasa Secara sosiologis, Bahasa mempunyai kedudukan yang sentral dalam kehidupan manusia. Menurut Bloom & Lahey (Owens, 1992:14), bahasa adalah sistem yang sangat kompleks yang dapat dipahami dengan baik dengan merincinya menjadi elemen maupun komponen fungsinya. Sebagai bahasa Internasional, bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama yang harus diajarkan di sekolah. Dalam kedudukan seperti itu, pengajaran bahasa Inggris di sekolah menengah merupakan bekal yang akan menghubungkan mereka dengan ilmu pengetahuan baik mereka yang sedang belajar maupun setelah mereka tamat sekolah. Keberhasilan pengajaran menjadi sangat penting, karena pengajaran tanpa keberhasilan berarti tidak memberi kesempatan kepada siswa dan para lulusan untuk ikut menikmati manfaat yang diberikan oleh perkembangan ilmu pegetahuan. Sejarah perkembangan pengajaran bahasa Inggris menunjukan bahwa metode pengajaran tidak pernah tetap. Ia berkembang sejalan dengan perkembangan di bidang lain. Sebelum ilmu-ilmu lain berkembang, pengajaran bahasa Inggris sangat statis, meskipun perubahan terjadi juga. Dengan berkembangnya ilmu lain, pengajaran bahasa asing ikut berkembang juga. Metode
22
pengajaran yang satu dianggap tidak memadai lagi; pilihan atas metode yang lebih cocok bagi suatu tujuan pengajaran dan kebutuhan siswa, makin lama makin luas. Guru bahasa Inggris harus lebih tanggap akan perkembangan pengajaran bahasa Inggris, agar ia dapat lebih memberi manfaat kepada siswanya. 4. Pembelajaran Bahasa Konteks pembelajaran bahasa dapat dipandang sebagai seperangkat faktor yang sepertinya melatih suatu pengaruh yang kuat pada belajar bahasa, dan hal ini penting untuk mencatat faktor-faktor konbuku pelajaran dalam menganalisis suatu situasi pengajaran bahasa yang diberikan (Stern, 1983: 269). Stern juga menginterpretasikan pengajaran bahasa dengan luas sehingga ketika memasukkan semua kegiatan yang diinginkan menyebabkan pembelajar belajar bahasa. Setelah jelas, hal ini selalu dibicarakan ‘pembelajaran’. Karena itu, bila berikunya hanya disebutkan yang satunya, hal ini berguna untuk mengingat bahwa pada konteks yang benar dipahami oleh yang lainnya. Demikian pula Richards & Renandya (2002: 22) mengemukakan bahwa pengajaran bahasa komunikatif adalah suatu percobaan untuk mengoprasikan konsep kompetensi komunikatif dan menerapkannya di semua level desain program bahasa, dari teori, desain silabus, sampai dengan tehnik pengajaran. Selain itu Celce-Murcia (2001: 13) juga mengemukakan bahwa dalam seperempat abat yang lalu, pengajaran bahasa komunikatif (communicative language teaching) sudah diletakkan pada urutan ke empat di seluruh dunia sama dengan cara baru atau inovatif untuk mengajar bahasa Inggris dengan bahasa kedua atau bahasa
23
asing. Materi pengajaran, diskripsi pelajaran, dan petunjuk kurikulum menyatakan suatu tujuan kompetensi komunikatif. Jadi seseorang dikatakan telah belajar bila orang tersebut mendapatkan kecakapan baru akibat perbuatan yang disengaja. Secara singkat belajar adalah perubahan tingkah laku dari hasil latihan yang teratur dengan usaha untuk mencapai tujuan. Perubahan tingkah laku baru yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian baru, perubahan sikap, kebiasaan, keterampilan, sikap menghargai maupun perubahan jasmani Hamalik (Prihartono, Nurudin, & Sudaryanto, 2005:120). a. Pembelajaran Bahasa-Komunikatif 1) Pembelajaran Komunikatif Apakah ada pendekatan yang dikenal baru-baru ini yang diterima norma secara umum di lapangan? Jawabannya adalah “ya”. Jawaban “ya” dapat ditangkap dengan istilah communicative language-teaching (CLT), dan kualifikasi terhadap jawaban itu terletak pada sejumlah cara definisi CLT yang mungkin dan sejumlah interprestasi dan aplikasi di dalam kelas (Brown, 2001: 42). Sekarang ini guru melanjutkan perjalanan profesinya melalui sejarah. Dibalik unsur grammar dan wacana dalam komunikasi, guru akan memeriksa alam sosial, budaya, dan ciri bahasa praktis. Guru akan meneliti cara mengajar untuk komunikasi “pada kehidupan nyata” di dalam kelas. Guru akan mencoba menyuruh pembelajar untuk mengembangkan linguistic
24
fluency, bukan hanya ketepatan yang menghabiskan perjalanan sejarah. Siswa dilengkapi dengan peralatan untuk generating kinerja bahasa tanpa diadakan latihan terlebih dahulu ketika mereka meninggalkan ruangan kelas. Guru terlibat dengan bagaimana memfasilitasi belajar bahasa sepanjang hayat siswanya, bukan dengan pekerjaan di ruangan kelas seketika saja. Guru memperhatikan pembelajar sebagai partner dalam bekerjasama. Dalam latihan-latihan di ruangan kelas, guru berusaha menggunakan apa saja pada hakikatnya membangkitkan pembelajar untuk mencapai potensi paling lengkap mereka (Brown, 2001: 42-43). 2) Bahasa Komunikatif Semua ketertarikan teori ini mendasari apa yang digambarkan sebagai CLT. CTL didefinisikan seperangakat ajaran tentang alam bahasa dan pembelajaran bahasa yang mendasar menyatukan tetapi meluas, secara teori diinformasikan dengan baik. Dari pekerjaan paling awal dalam CLT, Breen & Savignon (Brown, 2001: 43) sampai pada buku pelajaran pendidikan guru, Brown, Lee, & Nunan (Brown, 2001: 43) menyebutkan bahwa banyaknya definisi yang tersedia membuat peneliti berjalan terhuyung-huyung. Untuk aspek kesederhanaan dan ketepatan, Brown menawarkan enam karakteristik yang saling berhubungan sebagai suatu gambaran CLT: (a) Tujuan kelas terfokus pada semua komponen (grammar, discourse, function, sociolinguistics, and strategy) kompetensi komunikatif. Oleh karena itu, tujuan harus merangkai aspek bahasa dalam organisasi dengan pragmatics; (b) Teknik bahasa dirancang untuk mengikat pembelajar dalam pragmatics, dapat dipercaya, kegunaan bahasa yang fungsional untuk tujuan kebermaknaan. Bentuk bahasa
25
organisasi bukanlah fokus sentral, tetapi lebih tepatnya aspek bahasa yang membuat pembelajar mampu mencapai tujuan itu; (c) Kelancaran dan ketepatan dilihat sebagai prinsip yang saling melengkapi mendasari teknik komunikatif. Pada kelancaran berulang-ulang seharusnya diperhitungkan lebih penting daripada ketepatan agar menjaga pembelajar menjalin penggunaan bahasa secara bermakna; (d) Siswa di dalam suatu kelas komunikasi akhirnya harus menggunakan bahasa, dengan produktif dan reseptif, dalam konteks tidak terlatih di luar kelas. Tugas kelas harus dilengkapi dengan mengutamakan keahlian untuk komunikasi dalam konteks itu; (e) Siswa diberi kesempatan untuk terfokus pada proses belajar mereka sendiri melalui suatu pengertian gaya bahasa mereka sendiri dan perkembangan strategi yang sesuai untuk belajar tanpa terikat; (f) Peranan guru adalah sebagai fasilitator dan pembimbing, bukan seorang yang mengetahui semua ilmu pengetahuan. Siswa hingga saat itu diberi semangat untuk mengonstruk makna melalui interaksi ilmu bahasa murni dengan penegetahuan lainnya. b. Komponen Fungsi Bahasa Menurut Bloom & Lahey (Owen, 1992:14), bahasa adalah sistem yang sangat kompleks yang dapat dipahami dengan baik dengan merincinya menjadi elemen atau komponen fungsinya. Bahasa dapat dibagi tiga pokok, walaupun tidak sama penting, komponen: pola, isi, dan kegunaan. Pola termasuk syntax, morphology, dan phonology, komponen yang berhubungan dengan bunyi atau simbul-simbul dengan makna. Secara tradisional, belajar bahasa telah dianggap sama dengan belajar pola bahasa. Isi meliputi makna atau semantics, dan kegunaan termasuk pragmatics. Lima komponen ini―syntax, morphology, phonology, semantics, dan pragmatics―adalah sistem aturan dasar yang ditemukan dalam bahasa. Ketika orang menggunakan bahasa, ia mengkode ide-ide (semantics); yaitu,
ia
menggunakan
suatu
simbul―bunyi,
kata,
dan
sebagainya―melambangkan suatu kejadian aktual, objek, atau hubungan.
26
Untuk mengomunikasikan ide-ide ini pada yang lain, orang menggunakan pola tertentu, yang termasuk seperti bagian penting sama dengan perangkat bunyi yang sesuai (phonology), urutan kata yang sesuai (syntax), dan awalan dan akhiran kata yang sesuai (morphology) untuk mengklarifikasi lebih spesifik. Penutur menggunakan komponen untuk menerima tujuan komunikasi tertentu, seperti mencari informasi, mendapatkan informasi atau mendapatkan tanggapan (pragmatics). Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat gambar berikut ini.
Catatan: A = Syntax B = Morphology C = Phonology D = Semantics E = Pragmatics
Gambar 1: Komponen Fungsi Bahasa Sumber: Owen (1992:15)
5. Pembelajaran Bahasa Inggris Tujuan pembelajaran bahasa Inggris adalah agar siswa dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara lisan maupun tulisan secara lancar dan sesuai dengan konteks sosialnya (Depdiknas, 2003: 15). Kompetensi bahasa Inggris siswa mencakup
keterampilan:
mendengar,
membaca,
berbicara,
dan
menulis.
Mendengar berarti memahami berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat,
27
buku pelajaran) berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Berbicara berarti mengungkapkan berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) melalui berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Membaca berarti memahami berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks tulis yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Menulis berarti mengungkap berbagai makna (antarperseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks tulis yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Berkomunikasi secara lisan dan tulisan dengan menggunakan ragam bahasa secara lancar dan akurat merupakan target pembelajaran bahasa Inggris (Depdiknas, 2003: 16). Keterampilan berbahasa merupakan kewajiban yang harus dimiliki oleh siswa setelah belajar bahasa Inggris. Mendengar berarti memahami berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks lisan interaksional dan monolog terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, mencertiakan kegiatan, prosedur, laporan, pokok berita, anekdot, eksposisi, penjelasan, diskusi, komentar, dan tinjauan. Berbicara berarti mengungkap berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks lisan interaksional dan monolog terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, mencertiakan kegiatan, prosedur, laporan, pokok berita, anekdot, eksposisi, penjelasan, diskusi, komentar, dan tinjauan. Membaca berarti memahami berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks lisan
28
interaksional dan monolog terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, mencertiakan kegiatan, prosedur, laporan, pokok berita, anekdot, eksposisi, penjelasan, diskusi, komentar, dan tinjauan. Menulis berarti mengungkap berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks lisan interaksional dan monolog terutama yang berbentuk deskriptif, naratif, mencertiakan kegiatan, prosedur, laporan, pokok berita, anekdot, eksposisi, penjelasan, diskusi, komentar, dan tinjauan. 6. Komponen Pembelajaran Bahasa Inggris Komponen besar dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah proses pembelajaran dan output pembelajaran serta kompetensi bahasa Inggris siswa. Komponen proses pembelajaran bahasa Inggris yang paling dominan adalah kinerja guru bahasa Inggris, kepribadian guru bahasa Inggris, perilaku siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris, dan fasilitas yang mendukung pembelajaran bahasa Inggris. Output pembelajaran, kompetensi bahasa Inggris siswa, yaitu siswa dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara lisan maupun secara tulisan. a. Proses Pembelajaran Bahasa Inggris Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi
berlangsungnya
proses
pembelajaran.
29
Interaksi
dalam
pristiwa
pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas, tidak hanya hubungan antara guru dan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar. Menurut Joyce & Weil (1996: 120), di dalam melaksanakan peranannya, guru atau siswa dapat menggunakan empat pola argumen berikut ini: (1) Menyuruh siswa untuk mengidentifikasi hal-hal pada nilai yang melanggar; (2) Mengklarifikasi nilai konflik melalui analogi; (3) Menyuruh siswa untuk membuktikan konsekuensi suatu posisi yang diinginkan atau yang tidak diinginkan; dan (4) Menyuruh siswa untuk menyusun prioritas nilai: menyatakan satu nilai diatas yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangan pelanggaran nilai kedua yang kasar. Proses pembelajaran mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mangajar. Dalam proses pembelajaran tersirat adanya suatu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Antara kedua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang. Tujuan pembelajaran berbasis kompetensi menurut Depdiknas (2003: 19) adalah pencapaian kompetensi itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan, metode, serta teknik-teknik pengajarannya diserahkan pada pengelola pengajaran sesuai dengan kapasitas dan sumber-sumber yang ada dengan syarat kompetensi yang ditetapkan dapat dicapai. Cara mengukurnya adalah dengan memeriksa apakah semua indikator yang ditetapkan telah tampak. Meskipun pendekatan, metode, dan teknik-teknik pengajaran diharapkan fleksibel, perlu ditekankan bahwa dalam implementasinya pengajar diharapkan
30
memperhatikan proses atau tahapan-tahapan yang dirancang dengan matang sehingga semua kegiatan yang terjadi di dalam kelas mengarah kepada satu tujuan yakni pemerolehan kompetensi wacana atau kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam komunikasi. Ini melibatkan proses yang tidak sederhana sehingga kata kunci keberhasilannya terletak pada kematangan perencanaan seluruh proses-proses yang terpadu dan komprehensif. Sebagai contoh, untuk membuat siswa memproduksi sebuah teks tertulis naratif sederhana diperlukan tahapan-tahapan produksi yang dimulai dengan brain storming yang melibatkan guru dan teman, diikuti oleh penataan pesanpesan yang akan disampaikan, diteruskan dengan penulisan draft pertama, kemudian dilakukan koreksi oleh guru atau teman, dilanjutkan dengan penulisan draft kedua dan pengembangan, diikuti dengan penyuntingan, dan akhirnya siswa sampai ke draft terakhir. Setelah tulisan tampak sempurna pada tingkat yang dikehendaki, siswa mengekspos (memamerkan) tulisannya di ruang kelas agar dapat dibaca oleh teman-temannya. Perlu diperhatikan bahwa semua tahapan menulis di atas dapat berlangsung jika siswa telah memiliki pengalaman membaca teks naratif, pernah membahasnya, pernah menganalisisnya sehingga teks naratif bukan lagi barang baru. Kegiatan membaca dan membahas dalam bahasa Inggris otomatis juga mengaktifkan kegiatan mendengar dan berbicara karena siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat atau hasil refleksinya terhadap teks. Dengan demikian semua keterampilan berbahasa dapat berkembang secara
31
terpadu. Kegiatan pembelajaran bahasa menjadi kegiatan yang mengembangkan literacy. Sepanjang proses ini, guru dapat mengamati banyak hal mulai dari pengetahuan siswa, kegigihannya menyelesaikan tugas dan hasil akhir yang diharapkan mencapai target yang telah ditetapkan. Guru mengumpulkan semua ini secara bertahap, longatudinal, sehingga nilai akhir yang diperoleh bukan nilai sesaat. Jadi menuntut siswa menulis berarti membimbing siswa tahap demi tahap dan bukan hanya memberi tugas menulis tentang sesuatu untuk kemudian dikumpulkan setelah sekian menit. Singkatnya, guru memberi terlebih dahulu sebelum menuntut hasil karya. Sebuah tulisan bisa memakan waktu tiga hingga empat minggu; waktu yang cukup untuk mengembangkan kreativitas. Stern (1983: 32) mengemukakan bahwa pengembangan teori yang bagus adalah suatu proses sambil berjalan. Hal ini bukanlah sesuatu yang dapat dikerjakan sekali untuk semuanya. Semua kita bisa berharap bahwa Kriteria yang dibahas melengkapi petunjuk pencerahan dan berpikir lebih produktip. Model pengajaran yang berbeda membuat asumsi yang berbeda pula tentang alam bahasa dan belajar bahasa, peranan guru, pembelajar, dan materi pengajaran, dan asumsi yang berbeda tentang proses pembelajaran bahasa. Di dalam program pengajaran bahasa, model mengajar sering berdasarkan metode atau pendekatan khusus. Richards (2006: 215) memberikan contoh metode atau pendekatan mengajar berikut ini.
32
1) Pendekatan komunikatif: Fokus mengajar adalah komunikasi yang dapat dipercaya; penggunaan yang luas terbentuk dari aktivitas pasangan dan kelompok yang termasuk negosiasi makna dan berbagi informasi. Kelancaran adalah prioritas. 2) Model belajar kooperatif: Siswa bekerja dalam situasi belajar kerja sama dan diberi semangat untuk bekerja sama pada tugas-tugas umum dan mengkoordonasi upaya-upaya mereka untuk melengkapi tugas-tugas. Sistem penghargaan lebih berorientasi kelompok daripada individu. 3) Pendekatan proses: Di dalam kelas menulis, siswa mengambil bagian dalam aktivitas yang mengembangkan pengertian menulis mereka sebagai proses. Tingkat yang berbeda di dalam proses menulis (merencanakan, melahirkan ide-ide, draf, peninjauan, perbaikan, edit) membentuk fokus mengajar. 4) Pendekatan
bahasa
secara
keseluruhan:
Bahasa
diajarkan
sebagai
keseluruhan dan tidak diajarkan komponen-komponennya secara terpisah. Siswa diajarkan membaca dan menulis secara alami, dengan suatu fokus pada komunikasi nyata, teks yang dapat dipercaya, dan bacaan dan tulisan untuk kesenangan. Berdasarkan keterangan di atas, seorang guru bahasa Inggris bebas memilih pendekatan mengajar yang lebih cocok dengan materi, situasi, dan pembelajaran di dalam proses pembelajaran yang sedang dikelolanya. Guru bahasa Inggris tidak menggunakan pendekatan mengajar yang sama pada materi, situasi, dan pembelajar yang berbeda. Seorang guru bahasa Inggris
33
harus dapat membuat pembelajar belajar, memfasilitasi proses pembelajaran, dan menciptakan situasi belajar. 1). Kinerja Guru Bahasa Inggris Kinerja Guru Bahasa Inggris adalah kemampuan yang dimiliki oleh guru bahasa Inggris yang peranannya sangat penting di dalam pelaksanaan proses pembelajaran bahasa Inggris. Kinerja guru bahasa Inggris yang paling pokok adalah pengelolahan proses pembelajaran bahasa Inggris. Kinerja guru bahasa Inggris dalam pengelolaan proses pembelajaran bahasa Inggris ini merupakan kunci keberhasilan yang paling dasar untuk membuat siswa belajar bahasa Inggris lebih optimal. Selain itu kinerja guru dalam menggunakan metode mengajar dan pengelolaan kelas (classroom management) juga sangat mendukung dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Guru bahasa Inggris harus memilki kemampuan dalam mengelola proses pembelajaran bahasa Inggris. Kemampuan guru bahasa Inggris dalam mengelola proses pembelajaran bahasa Inggris ini dapat diartikan suatu penegetahuan yang dimiliki oleh guru bahasa Inggris atau cara guru bahasa Inggris untuk menyampaikan informasi didalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Inggris sehingga belajar bahasa Inggris dapat berlangsung walaupun tanpa didampingi guru. Suriasumantri (1998: 364) menyatakan bahwa orang mempelajari berbagai pengetahuan ilmiah bukanlah sebagai teori
yang mempunyai
kegunaan praktis melainkan sekedar upaya untuk memperkaya jiwa.
34
Kemudian ilmu juga merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia. Pengetahuan dapat menggambarkan apa yang tertanam dalam pikiran manusia bila ia memiliki kesadaran dan perhatian terhadap suatu objek. Selanjutnya Richards & Renandya (2002: 394-395) menyebutkan bahwa prinsip, pengetahuan, dan keterampilan secara mendasar tergabung pada berkompetensi guru yang profesional. Ia juga menyebutkan bahwa pengembangan kompetensi mengajar merupakan kewajiban seorang guru.
Sementara itu para pakar pendidikan berpendapat bahwa kompetensi guru adalah kemampuan guru untuk mendemonstrasikan berbagai keterampilan dan kompetensi yang dimilikinya (Depdiknas, 2004 b: 11). Oleh karena itu esensi dari kinerja guru tidak lain merupakan kemampuan guru dalam menunjukkan keterampilan atau keahlian yang dimilikinya dalam dunia kerja yang sebenarnya. Merujuk pada (pasal 28 ayat 3 PP Nomor 19 tahun 2005) tentang Standar Nasional Pendidikan dan (pasal 10 ayat 1 UU Nomor 14 tahun 2005) tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa kompetensi guru terdiri dari: a). kompetensi pedagogis, b). kompetensi kepribadian, c). kompetensi profesional, dan d). kompetensi sosial. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
35
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Demikian pula menurut (peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005) tentang standar pendidikan nasional bahwa
pendidik pada SMA/MA, atau
berbentuk lain yang sederajat memiliki: kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan sertifikat profesi guru untuk SMA/MA.
Menurut Samana (1994:123), profil kemampuan dasar seorang guru bahasa Inggris dapat dilihat dari sepuluh kemampuan yang dimilikinya. Kesepuluh kemampuan tersebut adalah sebagai berikut. Guru bahasa Inggris seharusnya: (a) Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah: menguasai bahan pendalaman/aplikasi bahasa Inggris, listening, speaking, reading, dan writing; (b) Mengelola program belajar-mengajar: merumuskan tujuan instruksional,
36
mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar, memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat, melaksanakan progaram belajar-mengajar, mengenal kemampuan anak didik, dan merencanakan dan melaksanakan pengajaran remedial bahasa Inggris; (c) Mengelola kelas: mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran, menciptakan iklim belajar mengajar yang serasih; (d) Menggunakan media/sumber: mengenal, memilih, dan menggunakan media; (e) Membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana; Menggunakan dan mengelola laboratorium bahasa dalam rangkaian proses belajar mengajar; (f) Mengembangkan laboratorium bahasa; (g) Menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar; (h) Menggunakan micro teaching unit dalam program pengalaman lapangan; (i) Menguasai landasan-landasan kependidikan; (j) Mengelola interaksi belajar mengajar; (k) Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran; (l) Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan: mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah, menyelenggarakan program layanan bimbingan di sekolah; (m) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (n) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Dalam uraian di atas dimaksudkan bahwa jabatan guru adalah suatu profesi. Yang dimaksud dengan “guru” dalam uraian ini adalah guru yang melakukan fungsinya di sekolah. Dalam pengertian tersebut telah terkandung suatu konsep bahwa guru profesional yang bekerja melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah harus memiliki kompetensi-kompetensi yang dituntut agar guru mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tanpa mengabaikan
kemungkinan
adanya
perbedaan
tuntutan
kompetensi
profesional yang disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan sosial dan kultural dari setiap institusi sekolah sebagai indikator, maka guru yang dinilai kompeten secara profesional menurut Hamalik (1991: 43), apabila: (a) Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaikbaiknya; (b) Guru tersebut mampu melaksanakan peranan-peranannya secara berhasil; (c) Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan
37
pendidikan (tujuan instruksional) sekolah; dan (d) Guru tersbut mampu melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan belajar dalam kelas. Karakteristik tersebut di atas akan ditinjau dari berbagai segi tanggung jawab guru, fungsi dan peranan guru, tujuan pendidikan sekolah dan peranan guru dalam proses belajar-mengajar. a) Standar Guru Bahasa Inggris Pergeseran untuk menghasilkan standar belajar, suatu pergeseran yang sama kuat sudah muncul untuk mendesain standar mengajar. Claoud (Brown 2004: 109) mencatat bahwa unjuk kerja siswa [pada satu penilaian] tergantung pada program pengajaran yang disediakan, yang tergantung pada kualitas perkembangan profesional. Kuhlman (Brown, 2004: 109) menekankan pentingnya standar guru dalam tiga ranah: “(1) Ilmu dan perkembangan bahasa; (2) Budaya dan hubungan timbal balik antara bahasa dan budaya; dan (3) Perencanaan dan pengelolaan pengajaran”. Standar mengajar profesional juga telah terfokus pada beberapa komite dalam persatuan guru bahasa Inggris internasional bagi penutur bahasa lain, Teachers of English to Speakers of Other Languages (TESOL) (Brown, 2004: 109). Bagaimana menilai apakah guru sudah memenuhi standar meninggalkan suatu permasalahan yang kompleks. Dapatkah keahlian ilmu mengajar dinilai melalui suatu tes standar tradisional? Dalam ranah Kuhlman pertama-ilmu dan perkembangan
38
bahasa-pengetahuan mungkin dapat dievaluasi, tetapi budaya dan karakteristik mengajar efektif yang interaktif kurang mampu dinilai dengan tes. Komite standar TESOL mendukung kinerja-berdasarkan penilaian guru dengan alasan berikut ini: (1) Guru dapat mendemonstrasikan standar mengajar mereka; (2) Mengajar dapat dinilai melalui apa yang dilakukan guru dengan pembelajarnya di dalam kelas mereka atau di dalam kelas nyata (kinerja mereka); (3) Kinerja ini dapat dirinci yang disebut “indikator”: contoh bukti bahwa guru dapat memenuhi sebagian dari standar; (4) proses biasa menilai kebutuhan guru untuk menggambarkan bukti kinerja yang kompleks. Dengan kata lain, indikator lebih dari pernyataan “how to” yang sederhana; (5) Kinerja-berdasarkan penilaian standar adalah suatu sistem terpadu. Hal ini bukanlah suatu checklist maupun suatu serangkaian penilaian terpisah; (6) masing-masing penilaian di dalam sistem kriteria kinerja berlawanan dengan kinerja yang dapat diukur; (7) Kriteria kinerja mengedentifikasi guru tingkat apa yang memenuhi standar; dan (8) Belajar siswa merupakan bagian terpenting dari kinerja guru. Standar
berdasarkan
pendekatan
mengajar
dan
pengukuran
mengemukakan profesi dengan bayak tantangan. Bagaimanapun juga sulitnya permasalahan itu adalah, kepentingan mekanisme sosial tidak dapat diabaikan, khususnya dalam istilah penilaian siswa. Banyak hal dapat dilakukan untuk menciptakan suatu konteks bagi pengajaran yang baik, tetapi guru sendiri yang akhirnya menentukan keberhasilan program. Guru yang baik sering dapat menggantikan atas kekurangan kurikulum, materi, atau sumber yang mereka gunakan untuk pengajaran mereka. Bagian penting pengetahuan guru (Richards 2006: 209-210) mecakup berikut ini:
39
(1) Pengetahuan praktis: sandiwara guru tentang teknik dan strategi kelas; (2) Pengetahuan isi: pengertian guru tentang pelajaran bahasa Inggris, misalnya, ilmu mengajarkan grammar, phonologi, teori mengajar, pemerolehan bahasa Inggris, sama baiknya dengan wacana dan terminologi pengajaran bahasa secara khusus; (3) Pengetahuan konbuku pelajaran: tidak asing dengan sekolah atau konteks institusi, norma sekolah, dan pengetahuan tentang pembelajar, termasuk budaya dan informasi relevan lainnya; (4) Pengetahuan ilmu pengajaran: kemampuan menyusun kembali pengetahuan isi untuk tujuan pengajaran, dan merencanakan, beradaptasi, dan menciptakan dan mempertunjukkan sesuatu tanpa persiapan terlebih dahulu; (5) Pengetahuan pribadi: kepercayaan pribadi guru dan prinsip dan pendekatan individunya untuk mengajar; dan (6) Pengetahuan reflektif: kemampuan guru untuk merefleksikan dan menilai praktiknya sendiri. Dalam
menggambarkan
keterampilan
guru
bahasa
Inggris,
memungkinkan untuk membandingkan guru apakah mereka terlatih atau tidak
terlatih
dan
apakah
mereka
belum
berpengalaman
atau
berpengalaman. Dimensi latihan mengacu pada kepemilikan kualifikasi profesional dalam pengajaran bahasa inggris; deminsi pengalaman merujuk pada pengalaman kelas. Pelatihan guru yang pertama merupakan ciri pokok bermaksud memberikan guru apa yang disebut “kompetensi teknik dasar.” Schmitt & McCarthy (2000: 237) mengemukakan, “with shift in emphasis, the classroom teacher is faced with the challange of how best to help students store and retrieve words in the target language.” b) Guru Bahasa Inggris yang “Baik” Satu cara untuk memulai menyusun tujuan dan prioritas guru bahasa Inggris yang baik adalah mempertimbangkan kualitas guru bahasa
40
yang berhasil. Sejumlah “ahli” telah membuat daftar kelengkapan Kriteria guru yang baik, dan mereka semua berbeda dalam berbagai cara penyajiannya. Allen (Brown, 2001: 429) menawarkan karakteristik guru bahasa Inggris yang baik sebagai berikut. (1) Mampu mempersiapkan untuk menuju suatu derajat dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing; (2) Mencintai bahasa Inggris; (3) Berpikir kritis; (4) Memiliki dorongan yang gigih untuk meningkatkan dirinya sendiri; (5) Membawahi diri sendiri; (6) Memiliki kesiapan untuk menempuh perjalanan ke depan; (7) Memilki penyesuaian budaya; (8) Berkewarganegaraan yang profesional; dan (9) Merasa senang dengan pekerjaan seseorang. Sembilan butir tersebut berisi suatu bibit untuk proses pengolahan secara profesional.
Bagaimana anda mempercepat
dirimu sendiri pada
kesembilan butir tersebut. Brown (2001: 429-430) menawarkan daftar karakteristik pengajaran bahasa yang baik sebagai gabungan beberapa sumber yang tidak dipublikasikan. Daftar di bawah ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengecekkan
diri
sendiri
untuk
menentukan
beberapa
posisi
perkembangan profesional selanjutnya, untuk memperioritaskan posisi tersebut, dan menyatakan tujuan khusus yang ingin dicapai. Untuk mengecek posisi perkembangan profesional diri sendiri, sekala 1= kurang (Poor) sampai dengan 5= paling baik (excellent) dapat digunakan. Daftar karakteristik pengajaran bahasa yang baik mencakup pengetahuan teaknik, keahlian pedagogis, keahlian pribadi, dan kualitas pribadi seperti yang diuraikan berikut ini.
41
(1) Pengetahuan Teknik Pengetahuan teknik yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah sebagai berikut. a)
memahami
sistem
bahasa dari ponologi, grammar, dan wacana bahasa Inggris, b)
memegang
prinsip
dasar pembelajaran bahasa Inggris secara komprehensif, c)
memiliki kompetensi dalam berbicara, menulis, mendengar, dan membaca bahasa Inggris dengan lancar,
d)
mengetahui
belajar
bahasa Inggris melalui pengalaman, e)
memahami hubungan erat antara bahasa dan budaya, dan
f)
mengikuti perkembangan melalui membaca secara teratur dan menghadiri pertemuan/workshop.
(2) Keahlian Pedagogis Keahlian pedagogis yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah sebagai berikut. a) memiliki gagasan baik, pendekatan yang informatif terhadap pengajaran bahasa,
42
b) memahami dan menggunakan berbagai teknik secara luas, c) merancang dan melaksanakan rencana pelajaran secara efisien, d) memonitor pelajaran ketika dibuka dan membuat pelajaran tengahan yang efektif, e) menangkap kebutuhan kebahasaan siswa secara efektif, f) memberi feedback secara maksimal pada siswa, g) membangkitkan interaksi, kerja sama, dan kerja tim di dalam kelas, h) menggunakan prinsip-prinsip yang cocok dari pengelolaan kelas, i) menggunakan keahlian penyajian yang efektif, jelas, j) menyesuaikan materi buku, audio visual, dan alat mekanik lainnya secara kreatif, k) mengkreasi materi jenis baru secara inovatif bila diperlukan, dan l) menggunakan teknik motivasi, secara murni, interaktif terhadap tes yang efektif. (3) Keahlian Pribadi Keahlian pribadi yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah sebagai berikut. a) mengetahui perbedaan lintas budya dan sensitif terhadap tradisi budaya siswa, b) menyenangi orang banyak, memperlihatkan antusias, kehangatan, laporan, dan humor yang sesuai,
43
c) menghargai pendapat dan kemampuan siswa, d) sabar dalam bekerja dengan siswa yang memiliki kemapuan kurang, e) menawarkan kesempatan terhadap siswa dengan kemampuan tinggi yang diharapkan, f) bekerja sama secara harmonis dan bebas dengan teman sejawat (fellow teacher), dan g) mencari kesempatan untuk berbagi pendapat, ide, dan teknik dengan teman sejawat. (4) Kualitas Pribadi Kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang guru bahasa Inggris adalah sebagai berikut. a) mengatur dengan baik, teliti dalam janjian pertemuan, dan ketergantungan, b) mudah disesuaikan ketika sesuatu serba salah, c) menciptakan suatu pemikiran ingin tahu dalam mencoba cara mengajar yang baru, d) menyusun tujuan jangka pendek dan jangka panjang untuk perkembangan profesional selanjutnya, dan e) menciptakan dan menunjukkan standar etika dan moral yang tinggi.
44
Selain poin-poin di atas, Muijs & Reynold (Jones, Jenkin, & Lord, 2006: 5) menyimpulkan bahwa guru yang efektif adalah guru yang: (a) Memiliki sikap positif; (b) Mengembangkan suatu sosial/iklim psikologi yang menyenangkan di dalam kelas; (c) Memiliki harapan tinggi dari apa yang dapat diterima siswa; (d) Mengkomunikasikan kejelasan pelajaran; (e) Melatih pengaturan waktu yang efektif; (f) Menggunakan susnan pelajaran yang kuat; (g) Menggunakan berbagai metode mengajar; (h) Menggunakan ide-ide siswa dan tidak menghukumnya; dan (i) Menggunakan pertanyaan yang cocok dan bervariasi. 2). Kepribadian Guru Bahasa Inggris Selain menguasai kompetensi akademik, seorang guru bahasa Inggris seharusnya memiliki kepribadian, karakter yang baik. Merujuk pada (pasal 28 ayat 3 PP Nomor 19 tahun 2005) tentang Standar Pendidikan Nasional dan (pasal 10 ayat 1 UU Nomor 14 tahun 2005) tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kriteria-Kriteria yang disebutkan oleh Nasution (Samana, 1994: 58) menunjukkan ciri guru yang disenangi oleh siswanya. Ada sepuluh ciri atau kriteria utama yang diajukannya, yaitu: (a) Guru senang membantu siswanya dalam pekerjaan sekolah dan mampu menjelaskan isi pengajarannya secara mendalam dengan menggunakan bahasa yang efektif, disertai contoh-contoh yang konkrit; (b) Guru berperangai riang, berperasaan humor, dan rela menerima lelocon atas dirinya; (c) Guru bersikap bersahabat, merasa seorang anggota dari kelompok kelas atau sekolahnya; (d) Penuh perhatian kepada setiap siswanya, tanpa membedakannaya satu dengan yang lain, berusaha memahami keadaan siswanya, dan menghargainya; (e) Bersikap korektif dalam tindak keguruannya dan mampu membangkitkan
45
semangat serta keuletan belajar siswanya; (f) Bertindak tegas, sanggup menguasai kelas, dan dapat membangkitkan rasa hormat dari siswa kepada gurunya; (g) Guru tidak pilih kasih dalam pergaulan dengan siswanya dan dalam tindak keguruannya; (h) Guru tidak senang mencela, menghina siswa, dan bertindak sarkastis; (i) Siswa merasa dan mengakui belajar sesuatu yang bermakna dari gurunya; dan (j) Secara keseluruahan, guru hendaknya berkepribadian yang menyenangakan siswa dan pantas menjadi panutan para siswa. Selain sepuluh butir di atas, Hamalik (1991: 41) mengemukakan kepribadian guru sebagai berikut. Seorang guru harus: (a) Berkepribadian/berjiwa Pancasila;(b) Mampu menghayati GBHN; (c) Mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih sayang kepada anak didik; (d) Berbudi pekerti yang luhur; (e) Berjiwa kreatif, dapat memanfaatkan rasa pendidikan yang ada secara maksimal; (f) Mampu menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tengang rasa; (g) Mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab yang besar akan tugasnya; (h) Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi; (i) Bersifat terbuka, peka dan inovatif; (j) Menunjukkan rasa cinta kepada profesionalnya; (k) Mematuhi disiplin; dan (l) Memiliki sense of humor. 3). Perilaku Siswa Perilaku siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris diklasifikasi menjadi empat seperti berikut ini (Depdiknas, 2003: 53). a) Memiliki rasa percaya diri dan keinginan untuk meningkatkan kemampuannya memahami berbagai jenis teks lisan yang dipelajari dengan cara: (1) Berinisiatif untuk berlatih dengan temannya, dengan saling membacakan atau memperdengarkan berbagai teks; (2) Meminta guru atau teman untuk membacakan atau memperdengarkan teks yang akan dipakai tugas membaca; dan (3) Menjawab/menanggapi pernyataan/pertanyaan dalam bahasa Inggris dalam interaksi dengan guru dan teman dan tidak takut membuat kesalahan. b) Siswa melakukan berbagai hal untuk mengungkapkan gagasan dan cerita serta secara aktif dan mandiri dan menyiapkan diri untuk dapat
46
mempresentasikannya dalam bahasa Inggris dengan baik dan benar misalnya dengan: (1) Melakukan presentasi apa saja yang telah dibacanya termasuk cerita pendek, buku, komik dsb; (2) Mengemukakan pendapat pribadi tentang apa yang dibacanya; (3) Sering memberikan penjelasan tentang fakta yang diketahuinya;sering bercerita dan berdiskusi; (4) Menunjukan keterlibatan dalam kegiatan ekstra bahasa Inggris; (6) Membuat persiapan menyeluruh untuk presentasi yang melibatkan alat bantu audiovisual, gambar, poster dll; (7) Berusaha melakukan presentasi teks lisan dalam bentuk atau tentang bentuk yang sedang dipelajari; dan (8) Tampil berbahasa Inggris di depan publik untuk mengemukakan pendapatnya secara kritis. c) Siswa memiliki rasa percaya diri dan antusias membaca secara nyaring maupun membaca untuk pemahaman berbagai jenis teks yang sedang dipelajari dengan: (1) Melaksanakan tugas membaca yang diberikan guru; (2) Berinisiatif mencari dan mempelajari teks-teks sejenis, termasuk yang otentik, meskipun tidak ditugaskan; dan (3) Berpartisipasi aktif dalam kegiatan membahas setiap teks atau tugas dengan guru dan teman. d) Siswa memiliki rasa percaya diri dan antusias mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dan juga berinisiatif menghasilkan jenis-jenis teks tertulis yang sedang dipelajari, yang tercermin dalam: “(1) Penyelesaian setiap tugas yang diberikan; (2) Partisipasi aktif pada kegitan membahas setiap tugas di kelas; dan (3) Inisiatif menulis teks dalam berbagai jenis yang sedang dipelajari”. Penilaian sikap siswa dilakukan oleh guru, menggunakan angket inventori sikap dengan skala Likert. 4) Fasilitas Pembelajaran
47
Sarana dan prasarana (fasilitas) sangat penting dalam pembelajaran bahasa Inggris karena fasilitas sangat mendukung proses pembelajaran. Fasilitas yang mendukung pembelajaran akan menghasilkan upaya maksimal untuk mencapai hasil yang diharapkan. Fasilitas yang memadai dimiliki oleh sekolah-sekolah yang berlokasi di tengah kota sedangkan sekolah yang berada di pinggiran kota tentu berbeda fasilitas yang dimilikinya. Fasilitas Pembelajaran sangat perlu dipertimbangkan oleh guru bahasa Inggris dan pemimpin sekolah untuk mencapai hasil maksimal yang diharapkan oleh semua pihak. Dengan memperhatikan pertanyaanpertanyaan berikut ini: Dimanakah pengajaran dilaksanakan dan bagaimana kesesuaian fasilitas mengajar? Sebagai tambahan terhadap ruangan kelas, adakah labor multimedia atau labor komputer, labor bahasa, pusat penilaian diri sendiri, dan ruangan membaca siswa? Apa yang dipengaruhi oleh fasilitas ini terhadap fasilitas program tersebut? Sekolah akan memenuhi persyaratan yang lebih lengkap untuk mendukung proses pembelajaran bahasa Inggris. Sekolah-sekolah sangat besar jumlahnya, modal telah ditanamkan berupa peralatan dan teknologi. Beberapa sekolah membuat investasi besar pengaruhnya seperti barang-barang berupa komputer, kaset dan CD player, rekaman video, mesin overhead projector (OHP), dan mesin photo copy, mengetahui bahwa barang-barang ini merupakan peratalatan penting bagi guru dan memiliki suatu pengaruh positif pada pengajaran, muatan kerja
48
staf, dan keyakinan. Kalau investasi seperti itu kurang, mungkin berpengaruh negatif pada muatan kerja guru (Richards, 2006: 207). Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat
dirumuskan
indikator
fasilitas
pembelajaran yang mendukung terwujudnya proses pembelajaran bahasa Inggris, yaitu: ”(a) Ketenangan ruang pembelajaran; (b) Kenyamanan ruang pembelajaran; (c) Ketersediaan sumber-sumber belajar; (d) Ketersedia media pembelajaran bahasa Inggris; dan (e) Keberfungsian media dan teknologi pembelajaran bahasa Inggris”. b. Output Pembelajaran Bahasa Inggris Output Pembelajaran bahasa Inggris adalah kompetensi bahasa Inggris siswa. Kompetensi bahasa Inggris siswa merupakan kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam berkomunikasi bahasa Inggris baik secara tertulis maupun secara lisan. Kompetensi bahasa Inggris siswa merupakan output dari proses pembelajaran bahasa Inggris di dalam konteks pembelajaran. Dari output ini terlihat ketercapaian standar kompetensi bahasa Inggris siswa. Brown (2004: 117) memberikan saran untuk memikirkan dua konsep interaksi kinerja dan observasi. Semua pengguna bahasa menampilkan aksi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Mereka tentu percaya pada kompetensi utama mereka agar mencapai kinerja ini. Ketika kemampuan seseorang direncanakan untuk dinilai dalam satu atau keterpaduan empat keterampilan, kompetensi seseorang dinilai, tetapi kinerja seseorang diamati. Kadang-kadang kinerja tidak menunjukkan kompetensi yang benar: istirahat
49
malam yang kurang baik, sakit, gangguan emosi, kecemasan tes, penghalang ingatan, atau faktor reliabilitas yang berhubungan dengan siswa lainnya dapat mempengaruhi kinerja, dengan demikian melengkapi suatu pengukuran kompetensi yang sesungguhnya yang tidak reliabel. Ada empat keterampilan bahasa yang harus dimiliki oleh siswa sebagai hasil yang didapat dari proses pembelajaran bahasa Inggris khususnya di tingkat SMA di kota Palembang. Empat keterampilan berbahasa tersebut adalah: listening, speaking, reading, dan writing. Berhasil atau tidak pembelajaran bahasa Inggris dapat dilihat dari kompetensi siswa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara tertulis maupun secara lisan. Listening merupakan keterampilan yang paling sulit bagi siswa. Keterampilan ini sangat memerlukan waktu khusus dan fasiltas yang mendukung untuk latihan mendengar bahasa Inggris. Listening adalah salah satu bagian kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa walau selama ini keterampilan ini jarang dilatih di dalam kelas pembelajaran bahasa Inggris. Di Sekolah atau di dalam kelas siswa hampir tidak pernah berkomunikasi dalam bahasa Inggris pada umumnya. Karena itu keterampilan ini dianggap yang paling sulit dari tiga keterampilan berbahasa yang lainya. Speaking mengungkapkan
berbagai
makna
(antar-perseorangan,
pendapat,
berarti buku
pelajaran) melalui berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Reading berarti memahami berbagai
50
makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks tulis yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Writing berarti mengungkap berbagai makna (antar-perseorangan, pendapat, buku pelajaran) dalam berbagai teks tulis yang memiliki tujuan komunikatif, struktur teks, dan linguistik tertentu. Tabel 1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bahasa Inggris Siswa SMA Kelas XII Standar Kompetensi Berkomunikasi lisan dan tertulis menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan lancar dan akurat dalam wacana interaksional dan/atau monolog, terutama dalam wacana berbentuk naratif, explanation, discussion, commentary, dan review dengan penekanan pada makna antar-perseorangan yang kompleks dan makna buku pelajaran yang variatif. (Tema disesuaikan dengan jenis teks yang sedang dibahas dan tingkat kemampuan linguistik siswa.)
Kompetensi Dasar 1. Mendengar Memahami wacana yang menekankan pertukaran makna antar-perseorangan yang kompleks (mis. Debat, argumen, pertikaian, emosi) dalam interaksi/monolog lisan terutama dalam wacana berbentuk naratif, explanation, discussion, commentary, dan review. 2. Berbicara Mengungkapkan makna dengan penekanan pada makna antar-perseorangan yang kompleks dalam wacana interaksional dan/atau monolog lisan terutama dalam wacana yang berbentuk naratif, explanation, discussion, commentary, dan review. 3. Membaca Memahami nuansa makna dan langkah-langkah pengembangan retorika di dalam teks tertulis terutama berbentuk naratif, explanation, discussion, commentary, dan review yang menggunakan noun phrases dengan berbagai structures of modification. 4. Menulis Mengungkapkan nuansa makna dengan langkahlangkah pengembangan retorika yang benar di dalam
51
teks tertulis berbentuk narasi, explanation, discussion, commentary, dan review yang menggunakan noun phrases dengan variasi structures of modification.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa antara lain adalah karakter siswa, kondisi dimana siswa tinggal, kondisi sekolah, beberapa kondisi di bawah pengawasan sekolah tersebut, kondisi sekolah lain secara tidak normal di bawah pengawasan sekolah tersebut, beberapa kondisi sekolah boleh atau tidak boleh di bawah pengawasan sekolah tersebut (Kellaghan & Greaney, 2001: 77). Faktor-faktor tersebut sangat besar pengaruhnya pada kompetensi lulusan siswa di jenjang SMA. Menurut peraturan
pemerintah Republik Indonesia nomor 19 (tahun 2005) tentang
standar pendidikan nasional bab V tentang standar kompetensi lulusan, pasal 25 ayat 3 bahwa kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. Berdasarkan Depdiknas (2003: 38), standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Inggris
untuk SMA dapat dilihat
seperti Tabel 1. Menurut salinan lampiran peraturan menteri pendidikan nasional nomor 23 tahun 2006 tanggal 23 Mei (2006: 321-325), Standar Kompetensi Lulusan Bahasa Inggris untuk Program IPA, IPS & Bahasa yang lebih rinci adalah sebagai berikut.
52
Tabel 2 Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Kelas XII, Semester 1 Standar Kompetensi Mendengarkan 1. Memahami makna dalam teks percakapan transaksional dan antar-perseorangan resmi dan berlanjut dalam konteks kehidupan sehari-hari
2. Memahami makna dalam teks fungsional pendek dan monolog berbentuk narrative, explanation dan discussion dalam konteks kehidupan sehari-hari
Kompetensi Dasar 1.1 Merespon makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan melibatkan tindak tutur: mengusulkan, memohon, mengeluh, membahas kemungkinan atau untuk melakukan sesuatu, dan memerintah 1.2 Merespon makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan melibatkan tindak tutur: mengakui kesalahan, berjanji, menyalahkan, menuduh, mengungkapkan keingintahuan dan hasrat, dan menyatakan berbagai sikap 2.1 Merespon makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari 2.2 Merespon makna dalam teks monolog yang menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk: narrative, explanation, dan discussion
53
Berbicara 3. Mengungkapkan makna dalam teks percakapan transaksional dan antarperseorangan resmi dan berlanjut dalam konteks kehidupan sehari-hari
4. Mengungkapkan makna dalam teks fungsional pendek dan monolog berbentuk narrative, explanation dan discussion dalam konteks kehidupan sehari-hari
Membaca 5. Memahami makna teks fungsional pendek dan teks tulis esei berbentuk narrative, explanation dan discussion dalam konteks kehidupan sehari-hari dan untuk mengakses ilmu pengetahuan
3.1 Mengungkapkan makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan melibatkan tindak tutur: mengusulkan, memohon, mengeluh, membahas kemungkinan atau untuk melakukan sesuatu, dan memerintah 3.2 Mengungkapkan makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan melibatkan tindak tutur: mengakui kesalahan, berjanji, menyalahkan, menuduh, mengungkapkan keingintahuan dan hasrat , dan menyatakan berbagai sikap 4.1 Mengungkapkan makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi dengan menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari 4.2 Mengungkapkan makna dalam teks monolog dengan menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk: narrative, explanation, dan discussion 5.1 Merespon makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan untuk mengakses ilmu pengetahuan. 5.2 Merespon makna dan langkah retorika dalam esei yang menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan untuk
54
6. Mengungkapkan makna dalam teks tulis monolog yang berbentuk narrative, explanation dan discussion secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari
Kelas XII, Semester 2 Standar Kompetensi Mendengarkan 7. Memahami makna dalam teks percakapan transaksional dan antar-perseorangan resmi dan berlanjut (sustained) dalam konteks kehidupan sehari-hari
8. Memahami makna dalam teks fungsional pendek dan monolog yang berbentuk arrative dan review dalam konteks kehidupan sehari-hari
mengakses ilmu pengetahuan dalam teks berbentuk: narrative, explanation, dan discussion 6.1 Mengungkapkan makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi dengan menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari 6.2 Mengungkapkan makna dan langkah retorika dalam teks monolog dengan menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk: narrative, explanation, dan discussion Kompetensi Dasar 7.1 Merespon makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima yang menggunakan ragam bahasa lisan dan melibatkan tindak tutur: membujuk, mendorong semangat, mengkritik, mengungkapkan harapan, dan mencegah 7.2 Merespon makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima yang menggunakan ragam bahasa lisan dan melibatkan tindak tutur: menyesali, mengungkapkan/menanyakan rencana, tujuan, maksud, memprediksi, berspekulasi, dan memberikan penilaian 8.1 Merespon makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari 8.2 Memahami dan merespon makna dalam teks
55
9. Mengungkapkan makna dalam teks interaksional, dengan penekanan pada percakapan transaksional resmi dan berlanjut dalam konteks kehidupan sehari-hari
10. Mengungkapkan makna dalam teks fungsional pendek dan monolog yang berbentuk narrative dan review secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari
Membaca 11. Memahami makna teks tulis monolog yang berbentuk narrative dan review secara akurat, lancar dan berterima
monolog yang menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk: narrative dan review 9.1 Mengungkapkan makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima dengan menggunakan ragam bahasa lisan dalam konteks kehidupan sehari-hari dan melibatkan tindak tutur: membujuk, mendorong semangat, mengkritik , mengungkapkan harapan, dan mencegah
9.2 Merespon makna dalam percakapan transaksional (to get things done) dan antar-perseorangan (bersosialisasi) resmi dan berlanjut (sustained) secara akurat, lancar dan berterima dengan menggunakan ragam bahasa lisan dalam konteks kehidupan sehari-hari dan melibatkan tindak tutur: menyesali, mengungkapkan/menanyakan rencana, tujuan, maksud, memprediksi, berspekulasi, dan memberikan penilaian 10.1 Merespon makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari 10.2 Mengungkapkan makna dalam teks monolog dengan menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk: narrative dan review 11.1 Merespon makna dalam teks fungsional pendek resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan untuk mengakses ilmu pengetahuan
56
dalam konteks kehidupan sehari-hari dan untuk mengakses ilmu pengetahuan
Menulis 12. Mengungkapkan makna dalam teks tulis monolog/esei berbentuk narrative dan review dalam konteks kehidupan sehari-hari
11.2 Merespon makna dan langkah retorika dalam teks monolog yang menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan untuk mengakses ilmu pengetahuan dalam teks berbentuk: narrative dan review 12.1 Mengungkapkan makna dan langkah retorika dalam esei dengan menggunakan ragam tulis secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk: narrative dan review
Jadi kompetensi bahasa Inggris siswa adalah kemampuan siswa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara lisan maupun secara tulisan yang mencakup: listening; reading; speaking; dan writing.
B. Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi Tujuan umum untuk mengevaluasi haruslah jelas. Untuk menentukan strategi evaluasi yang cocok, seorang peneliti harus mengetahui mengapa evaluasi dilaksanakan (Brinkerhoff, 1983:16). Apakah evaluasi akan digunakan untuk menemukan permasalahan, memecahkan permasalahan, menyediakan informasi yang sedang berlangsung, atau memutuskan keberhasilan program? Alasan umum untuk mengevaluasi akan membantu evaluator menentukan strategi untuk melahirkan pertanyaan-pertanyaan evaluasi secara khusus. “The first step in the
57
utilization-focused approach to evaluation is identification and organization of relevant decision makers for information users of the evaluation” (Patton, 1978: 61). Untuk memutuskan tujuan suatu evaluasi, seorang evaluator membuat keputusan mengenai evaluasi tersebut. “Most evaluation studies arise from the interest in oversight” (Levine, 1981:134). Sementara ada tujuan yang dikesampingkan atau terpusat secara umum untuk dimanfaatkan dengan evaluasi, evaluator akan menemukan bahwa audience yang berbeda akan memiliki alasan berbeda pula untuk menginginkan evaluasi yang sama. Maka dari itu, audience bermaksud akan menggunakan hasil tersebut dengan berbeda pula (Brinkerhoff, 1983: 16). Stufflebeam (1985: 3) menyatakan ‘’The standard definition of evaluation is as follows: Evaluation is the systematic assessment of the worth or merit of some object ’’. Stufflebeam (1985: 174) juga menyatakan, “a process evaluation is an ongoing check on the implementation of a plan”. Demikian pula Gronlund (1971: 6) mengemukakan definisi tentang evaluasi sebagai berikut. Evaluasi dapat dikemukakan sebagai suatu proses sistematis dari menentukan tingkat capaian tujuan bahan pelajaran yang diterima oleh siswa. Gronlund (1981: 36) juga mengemukan kembali bahwa evaluasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang sistematis untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi tentang pencapaian pemebelajaran guna menentukan nilai. Selanjutnya Lynch (1996: 2) mendefinisikan “evaluation is defined here as the systematic attempt to gather
58
information in order to make judgements or decisions”. Nunan (1992: 13) membandingkan bahwa evaluasi lebih luas dalam konsep daripada penilaian. Demikian pula Baumgartner & Jackson (1995: 154) mengemukakan, “Evaluation often follows measurement, taking the form of judgement about the quality of a performance”. Ghani, Hari, & Suyanto (2006: 70) mengemukakan bahwa istilah ‘evaluasi’ sering membingungkan penggunaannya terutama dalam pembelajaran. Kadang-kadang ‘evaluasi’ disamakan dengan ‘pengukuran’ atau juga digunakan untuk menggantikan istilah ‘pengujian.” Ketika guru menyelenggarakan tes hasil belajar, mereka mungkin mengatakan: ‘menguji prestasi’, ‘mengukur prestasi’, atau mengevaluasi prestasi.’ Selanjutnya, dalam kasus lain istilah evaluasi juga diartikan sebagai metode penelitian yang tidak tergantung pada pengukuran. Sebenarnya, istilah evaluasi mengandung dua pengertian, yakni evaluasi sebagai deskripsi kualitatif dari perilaku siswa dan sebagai deskripsi kuantitatif dari hasil pengukuran (misalnya: skor tes). Untuk jelasnya arti istilah tes, pengukuran, dan evaluasi dapat diperbandingkan sebagai berikut: (a) Tes adalah suatu instrumen atau prosedur sistematis untuk mengukur contoh perilaku siswa; (b) Pengukuran adalah suatu proses perolehan deskripsi numerik dari ciri khusus penguasaan siswa; dan (c) Evaluasi adalah proses sistematis dari pengumpulan, analisis, dan penafsiran informasi guna menentukan sejauh mana siswa mencapai tujuan pembelajaran. Jadi evaluasi lebih komprehensif dan mencakup pengukuran, sedangkan pengujian hanyalah merupakan salah satu bagian dari pengukuran. Istilah pengukuran hanya terbatas pada deskripsi kuantitatif dari perilaku siswa. Hasil
59
pengukuran hanya selalu berbentuk angka (misalnya: siswa A menjawab benar 30 butir dari 50 butir pertanyaan), dan tidak mencakup deskripsi kualitatif (misalnya: siswa B mendapat nilai paling jelek). Disisi lain, evaluasi dapat mencakup deskripsi kuantitatif (pengukuran) dan deskripsi kualitatif (bukan pengukuran) dari perilaku siswa. Selanjutnya, evaluasi selalu mencakup pertimbangan nilai (value judgement) atas hasil yang diperoleh (misalnya: siswa C mencapai kemajuan yang berarti dalam pelajaran tertentu). Selanjutnya Anderson & Ball (Ghani, Hari, & Suyanto, 2006:71) mengemukakan bahwa evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Menurut Cronbach (Ghani, Hari, & Suyanto, 2006: 71) evaluasi adalah menyediakan informasi untuk pembuatan keputusan. Sehubungan dengan pembelajaran, evaluasi yang dimaksud adalah suatu proses pengumpulan data untuk menentukan manfaat, nilai, kekuatan, dan kelemahan pembelajaran yang ditujukan untuk merevisi pembelajaran guna meningkatkan daya tarik dan efektifitasnya. Dalam proses pembelajaran dikenal adanya evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilaksanakan selama berlangsungnya suatu program pembelajaran yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan program, sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakan pada akhir pelaksanaan suatu program pembelajaran yang bertujuan untuk pengambilan
keputusan
akhir
(biasanya
pembelajaran suatu materi tertentu).
60
dilakukan
setelah
berakhirnya
Philips (1991: 62) juga mengemukan,”evaluation is a sytematic process with several important parts”. Demikian pula Worthen & Sanders (2002:129) mengemukakan “Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives”. Hubungan antara pengukuran dan evaluasi dapat dilihat dari penjelasan Gronlund (1971: 6) sebagai berikut: Evaluasi = Deskripsi kuantitatif dari siswa (pengukuran) + Penetapan nilai (value Judgement), Evaluasi = Deskripsi kualitatif dari siswa (bukan pengukuran) + Penetapan nilai (value Judgement). Weiss (1972: 6) mengungkapkan bahwa evaluasi adalah pembandingan “what is” dengan “what should be”. Walaupun peneliti sendiri tetap tidak bias dan objektif, peneliti terfokus pada fenomena yang mendemonstrasikan apakah program tersebut menerima tujuan yang diinginkannya. Secara sederhana Azwar (2004: 7) mengemukakan karakteristik evaluasi adalah: “(1) Merupakan perbandingan anatara hasil ukur dengan suatu norma atau suatu kriteria; (2) Hasilnya bersifat kualitatif; dan (3) Hasilnya dinyatakan secara evaluatif”. Para evaluator memerlukan berbagai keahlian supaya lebih efektif dalam mengevaluasi. Selain itu mereka seharusnya menjadi ahli analisis yang baik sehingga tidak salah tafsir makna yang terkandung di dalam penomena yang menjadi data. Mereka seharusnya juga memiliki keahlian pemasaran. Mereka harus mengkomunikasikan nilai evaluasi kepada pengambil kebijakan dan para manager yang mungkin tidak menyadari keuntungan dari bantuan evaluasi yang sistematis. Dengan demikian para pengambil kebijakan dan manager akan
61
mendapatkan manfaat dari evaluasi sehingga mereka akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wholey, Harty, & Newcomer (1994: 591) sebagai berikut. Evaluators need a variety of skills to be effective. They should be good analysts. They should be gifted at listening. Evaluators should also possess marketing skills. They must communicate the value of evaluation to policy-makers and managers who may not appriciate the benefits to be derived from systematic evaluation efforts. Jadi komponen yang perlu dipertimbangkan dalam sistem evaluasi menurut Stronge (2006: 82) adalah: (a) Pernyataan tujuan; (b) Kriteria kinerja; (c) Rating scale yang mendefinisikan standar kinerja; (d) Deskripsi prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi pada kinerja; dan (e) Alat meringkas informasi yang formal pada kinerja, seperti suatu ringkasan evaluasi. Sebagai contoh komponen proses pembelajaran yang perlu dievaluasi dikemukakan oleh Ghani, Hari, & Suyanto (2006: 74) adalah: (a) Apakah strategi yang digunakan telah terbukti efektif?; (b) Apakah media pembelajaran yang ada telah dimanfaatkan secara optimal?; (c) Apakah cara mengajar telah berhasil membantu mengajar secara optimal? ; dan (d) Apakah cara belajarnya efektif? Contoh komponen output yang perlu dievaluasi adalah bagaimana prestasi peserta didik? Evaluasi ini sebaiknya terpisah dari objek evaluasi lainya. Evaluasi terhadap output pembelajaran adalah evaluasi hasil belajar siswa. 2. Evaluasi Program Evaluasi program adalah proses menentukan kualitas suatu program secara sistematis dan bagaimana program tersebut dapat ditingkatkan (Sanders & Sullins, 2006: 1). Racangan untuk suatu evaluasi didukung oleh (1) seperangkat
62
pengukuran kinerja program secara kuantitatif atau kualitatif
(2) seperangkat
analisis yang digunakan pengukuran untuk menjawab pertanyaan kunci tentang kinerja program. Evaluasi dirancang termasuk cara untuk menggambarkan sumber program, aktivitas program, dan outcomes program sebanding dengan metode untuk mengestimasi pengaruh aktivitas program, yaitu, perbedaan antara outcomes program dan outcomes yang telah terjadi tanpa program (Wholey, Harty, Newcomer, 1994: 11). Evaluasi program termasuklah pengukuran kinerja program—sumber biaya, aktivitas program, dan outcomes program—dan pengujian asumsi sementara yang berhubungan dengan tiga elemen ini. Satu kontribusi potensial penting dari evaluasi program adalah kegunaanya oleh pengambil kebijakan, manager, dan staf untuk mengubah sumber, aktivitas, atau tujuan program untuk meningkatkan kinerja program. Bagaimanapun juga, evaluasi mengandung lebih banyak seni daripada ilmu pengetahuan. Rencana setiap dukungan evaluasi membutuhkan keputusan pekerjaan yang sulit sebagai evaluator mencoba untuk mengidentifikasi
pertanyaan-pertanyaan
untuk
dijawab.
Evaluator
harus
mengimbangi yang dapat dilakukan dan biaya desain dengan keuntungan hasil evaluasi dalam meningkatkan kinerja program atau mengkomunikasikan nilai aktivitas program kepada pengambil kebijakan atau masyarakat umum (Wholey, Harty, & Newcomer, 1994: 15). Para ahli evaluasi seperti Alex Astin & Bob Panos (Madaus, Scriven & Stufflebeam, 1986: 293) mengatakan bahwa tujuan prinsip evaluasi adalah untuk
63
menghasilkan informasi yang dapat memandu keputusan mengenai adopsi atau modifikasi program pendidikan. Evaluasi diharapkan untuk menyelesaikan berbagai tujuan: (a) Mendokumentasikan kejadian; (b) Mencatat perubahan siswa; (c) Mendeteksi daya kelembagaan; (d) Menempatkan kesalahan bagi permasalahan; (e) Membantu membuat keputusan administratif; (f) Memfasilitasi aksi perbaikan; dan (g) Meningkatkan pemehaman kita terhadap pembelajaran. Masing-masing tujuan ini berhubungan secara langsung atau tidak pada nilai suatu program dan mungkin suatu tujuan legitimasi untuk studi evaluasi tertentu. Hal ini sangatlah penting untuk disadari bahwa masing-masing tujuan membutuhkan data yang terpisah: semua tujuan tidak dapat disajikan dengan pengumpulan data tunggal. Perencanaan untuk melaksanakan evaluasi program secara individu dan perencanaan terorganisasi bagi produksi dan kegunaan adalah dua hal yang berbeda. Pertama termasuk proses penemuan fakta yang terkenal, bagi pertanyaan bijak yang diberikan, kesesuaian metode untuk jawabannya. Hal ini termasuklah keahlian
merancang
studi,
membangun
perbandingan,
mengembangkan
pengukuran pada data yang akan dikumpulkan, menyelidiki sumber data potensial, dan menggambarkan teknik analisis yang digunakan. Suatu proses perencanaan biasanya diikuti jalur penelitian tradisional dan terfokus pada aspek teknik (yaitu, metodologi dan statistik) bukti kelengkapan pada pandangan kebijakan. Perencanaan untuk keberhasilan unit evaluasi program, bagaimanapun juga—termasuk perjalanan singkat menjadi wilayah sedikit terkenal dan dipikirkan
64
suatu aktivitas politik yang penting yang hanya teknik terpisah secara alami. Seperti semua perencanaan, perencanaan memiliki suatu tujuan: membuat perbedaan kualitas kebijakan pemerintah dan program pemerintah dengan mengimformasikan keputusan pengambil kebijakan melalui temuan evaluasi program. Walaupun tujuan ini adalah tanpa kesalahan dan dikenal, tujuan ini juga tidak cukup jelas. Perencana memerlukan tujuan yang lebih khusus untuk menyentuh kenyataan lebih mendalam. a. Definisi Program Sebuah program didefinisikan sebagai seperangkat sumber dan aktivitas yang menuju satu tujuan umum atau lebih. Termasuklah kedua sumber dan aktivitas dalam definisi ini terfokus pada perhatian perilaku yang diinginkan dari program staf dan pada sumber lainnya perlu untuk memberikan layanan program. Dalam praktiknya, “program” adalah dua tipe yang cukup berbeda, dengan implikasi yang berbeda bagi proses evaluasi: sejumlah program dan program yang ditargetkan secara khusus dengan baik. Sejumlah program sering terjadi di dalam sistem pemerintahan dan bagian sistem pemerintahan ketika istilah “program” adalah sutu klasifikasi pendanaan untuk aktivitas yang diorientasikan sekitar suatu tujuan global. Aktivitas khusus dilakukan dengan lokal cenderung secara terpisah dari yang lain. Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program (Arikunto, 1999: 290). Evaluasi program untuk sejumlah program sering terfokus pada peserta monitoring dan aktivitas, kemudian
65
pengukuran outcomes, dengan sedikit tekanan pada metode untuk mencapai kesepakatan dari kenyataan apakah program tersebut menyebabkan outcomes (Wholey, Harty, & Newcomer, 1994: 41). Pada dasarnya evaluasi terhadap suatu program dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pengelola program, atau dilaksanakan oleh pihak luar. Evaluasi yang dilakukan secara mandiri oleh pengelola program atau sering dikenal dengan evaluasi internal, lebih berfungsi sebagai pembinaan dan untuk evaluasi
diri.
Desentralisasi
pendidikan
berdasarkan
atas
kerelaan
pengembangan dan administrasi pusat untuk mengizinkan sekolah untuk membuat keputusan sendiri. Sekolah berbasis manajeman telah menjadi administratif
(Brown,
1990:
129).
Caldwell
&
Spinks
(1992:
4)
mengemukakan, “a self-managing school is a school in a system of education where there has been significant and consistent decentralisation to the school level of authority to make decisions related to the allocation of resorces”. Karena itu sekolah penting untuk mengevaluasi dirinya sendiri sebagai pembinaan. Evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar lebih berfungsi sebagai pengawasan dan menjamin akuntabilitas program yang dilaksanakan oleh sekolah tersebut (Depdiknas, 2005: 5-7). Evaluasi internal dan eksternal dapat diuraikan berikut ini. 1) Evaluasi Internal Sanders & Sullins (2006: 9) mengemukakan bahwa suatu evaluasi internal, yang diadakan secara internal oleh staf yang bekerja pada program
66
tersebut, biasanya berkembang secara mengumpulkan feedback pada
aspek
alami. Tujuannya adalah untuk program
yang tinjauan
dan
kemungkinan revisi sedang berlangsung. Apa yang berjalan dengan baik dan apa yang tidak? Apakah perlu perbaikan?
Apakah perlu perbaikan di
pertengahan keberlangsungan program tersebut? Evaluasi pada umumnya tidak dimaksudkan untuk pihak luar; bagaimanapun, evaluasi dapat berbagi dengan pihak luar sebagai cara demonstrasi bahwa staf sekolah menerapkan peraturan aktif dalam mengevaluasi dan meningkatkan sekolah mereka sendiri. Sebagaimana evaluasi juga disarankan untuk memiliki seorang peninjau evaluasi program formatif dari luar, disebut meta evaluasi, dengan evaluator eksternal yang independen untuk memperhatikan penyimpangan evaluator internal. Evaluasi internal dilaksanakan sendiri oleh pelaksana program di berbagai tingkatan sebagai berikut: (a) Di tingkat pusat; (b) Penanggungjawab evaluasi adalah Satker pusat, yang dalam pelaksanannya dibantu oleh seksi evaluasi dan penyelesaian masalah tingkat pusat; (c) Di tingkat propinsi; (d) Penanggung jawab evaluasi adalah Satker pusat, yang dalam pelaksanannya dibantu oleh Seksi evaluasi dan penyelesaian masalah tingkat propinsi; dan (e) Di tingkat kabupaten/kota. Penanggung jawab evaluasi adalah Satker pusat, yang dalam pelaksanannya dibantu
oleh
Seksi
evaluasi
dan
penyelesaian
masalah
tingkat
Kabupaten/Kota. Walaupun dalam pelaksanaannya pengelola program dapat bekerja sama dengan pihak luar dalam proses pengumpulan datanya, namun segala
67
tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan hasil evaluasi sepenuhnya ada pada pengelola program di setiap tingkatan. Pelaksanaan kerjasama ini dapat dilakukan dalam hal: (a) Melakukan seleksi indikator dan penetapan fokus evaluasi; (b) Mengumpulkan dan mengelola data; (c) Menjadi tim evaluasi atau personel site visit;(d) Menggunakan data yang telah dikumpulkan oleh lembaga lain (Badan Pengawas Sekolah atau sumber yang lain); dan (e)Melakukan evaluasi dan memberikan evaluasi. Fungsi evaluasi diri, pengelola program dapat melakukan evaluasi pada akhir program ini untuk melengkapi informasi yang akan digunakan sebagai bahan analisis dan penyususnan laporan akhir program. Di dalam bahasa
Inggris,
Ria-Dickins
&
Germaine
(1998:
82)
menyatakan,”Investigations by teachers, whether as classroom evaluation or action research, cannot contribute to the profession and discipline of applied linguistics while living by another, less rigorous set of principles.” 2) Evaluasi Eksternal Tipe evaluasi lainnya, evaluasi eksternal, diselenggarakan oleh staf yang di luar pelaksana program (Sanders & Sullins, 2006: 9). Evaluasi biasanya dimotivasi oleh pertanyaan-pertanyaan dari luar dan memerlukan respon yang akurat terhadap pertanyaan yang diajukan pihak luar. Evaluasi eksternal adalah sumatif: keputusan tentang penggantian, pemeriksaan, penghargaan, atau keputusan akuntabilitas adalah hasil akhir. Karena tekanan pada akuntabilitas dalam evaluasi program sumatif, evaluator eksternal lebih efektif karena independen dan kemampuan mereka
68
untuk melangkah kembali mengambil pandangan objektif pada gambaran besar, yang mungkin termasuk lebih dari memperhatikan sekolah atau wilayah sekolah. Komunitas, daerah bagian, dan persoalan pemerintah menjadi berperan dalam evaluasi sumatif. Evaluator eksternal sering berperan sebgai pembina evaluasi yang profesional. Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan juga dengan pihak lain. Hal tersebut penting dilakukan agar transparansi, objektivitas, dan akuntabilitas dapat benar-benar terjaga. Evaluasi eksternal ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak seperti: (a) Tim evaluasi independen: perguruan tinggi, DPRD, Bapeda, dan BIN pendidikan atau tim independen khusus yang ditunjuk oleh pemerintah; (b) Unsur masyarakat dari unsur dewan pendidikan, LSM, BMPS, maupun organisasi masyarakat/kependidikan lainnya; (c) Instansi pengawasan: BPK, BPKP, inspektorat jendral, dan Bawasda propinsi dan kabupaten/kota; dan (d) Unit-unit pengaduan masyarakat yang terdapat di sekolah, kabupaten/kota, propinsi dan pusat. 3. Evaluasi Pembelajaran Secara umum, ada dua macam evaluasi yang kita kenal, yakni evaluasi hasil belajar dan evaluasi proses pembelajaran (Ghani, Hari, & Suyanto, 2006: 72). Evaluasi hasil pembelajaran disebut juga evaluasi substantif, atau populer dengan sebutan tes dan pengukuran hasil belajar. Sedang evaluasi proses pembelajaran, yang oleh beberapa ahli, ada pula yang menyebutnya sebagai evaluasi diagnostik atau juga evaluasi menajerial. Ada tiga menfaat evaluasi proses pembelajaran menurut Ghani, Hari, & Suyanto (2006: 72) yaitu memahami sesuatu, membuat keputusan, dan
69
meningkatkan kualitas pembelajaran. Seorang pendidik membutuhkan berbagai informasi tentang sesuatu agar proses pembelajaran yang akan dilakukan berjalan optimal. Contoh: Seorang pendidik membutuhkan informasi tentang calon anak didik yang akan diajarnya, agar ia mampu menentukan entry behavior yang dimiliki peserta didik atau hal-hal lain secara tepat. Pertanyaan-pertanyaan evaluasi yang relevan diajukan, antara lain apakah peserta didik sudah cukup menguasai beberapa pelajaran atau pokok bahasan yang menjadi persyaratan pelajaran yang saya ajarkan ini?; Berapa banyak peserta didik yang memiliki cukup fasilitas yang disyaratkan oleh pelajaran ini?; Bagaimana tingkat motivasi peserta didik dalam mengikuti pelajaran?; Mengapa mereka mengambil pelajaran ini, dan bukan yang lain?; dll. Tidak hanya itu, pendidik perlu juga melakukan evaluasi terhadap keberadaan saranah dan prasaranah yang dibutuhkan. Contoh pertanyaan evaluasi yang diajukan antara lain, apakah bahan-bahan yang akan dipakai dalam paraktik laboraturium telah tersedia dalam jumlah yang cukup?; apakah ukuran ruang kelas sebanding dengan jumlah peserta didik yang mengambil pelajaran tersebut? Apakah pendidik akan bertahan dengan kondisi pembelajaran yang acak-acakan dan tidak terkontrol sampai dengan akhir pelajaran?; dll. Yang penting diperhatikan adalah pendidik hendaknya memahami dirinya sendiri. Misalnya, apakah ada hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan diri pendidik?; Apakah proses pembelajaran berikutnya akan sama dengan pembelajaran yang sudah dilakukan selama beberapa tahun terakhir? Apakah persiapan pembelajaran sudah cukup memadai?; dan lain-lain.
70
Yang sering terjadi, seorang pendidik melakukan evaluasi proses pembelajaran hanya setelah proses secara keseluruhan itu selesai. Namun, yang perlu diperhatikan adalah, dalam mengevaluasi proses pembelajaran, maksudnya adalah untuk memperbaiki proses pembelajaran itu sendiri, agar selanjutnya menjadi lebih baik. Seyogyanya evaluasi jenis ini dilakukan dalam kurun waktu 1/3 dari waktu tatap muka dan 2/3 waktu pelaksanaan pembelajaran, misalnya 1/3 dari 16 tatap muka dan 2/3 dari 16 tatap muka. Namun jika dilakukan pada akhir pelajaran, hal ini tidak ada salahnya dan bahkan dianjurkan dilakukan untuk kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran di masa berikutnya. Contoh pertanyaan yang bisa diajukan pendidik adalah: bagaimana pendapat peserta didik terhadap pembelajaran selama satu periode tertentu? Apakah pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah dibuat di awal pembelajaran? Jika ada perubahan, apakah bentuk perubahan itu dan mengapa berubah?; Apakah pendidik atau tim dalam proses pembelajaran ini telah bekerja dengan baik dan kompak? Semua jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat keputusan misalnya, apakah pendidik dan timnya yang sekarang ini perlu diperbaiki formasinya?; apakah strategi pembelajaran yang selama ini dipakai perlu diganti dengan yang lain?; apakah cara pendidik mengajar perlu diubah? Dan lain-lain. Sebagian atau seluruh hasil evaluasi proses pembelajaran tersebut, biasanya digunakan sebagai bahan renungan evaluasi untuk memperbaiki pembelajaran. Pertanyaan yang perlu dipertimbangkan misalnya, mengapa hanya ada 25%
71
peserta didik yang tidak lulus? Apa penyebabnya?; sebagian besar peserta didik mengatakan bahwa saya sangat menguasai materi. Tetapi, sebagian besar dari mereka juga mengatakan bahwa cara mengajar saya kurang sistematik. Benarkah kesimpulan ini? Jika benar, bagian mana yang tidak sistematik?; ada peserta didik yang mengatakan bahwa saya tidak menggunakan media pembelajaran dengan baik. Apa yang perlu saya lakukan untuk memperbaiki keadaan ini? Dan lain-lain. Menurut Ghani, Hari, & Suyanto (2006: 74) proses pembelajaran mencakup 3 komponen, yaitu input, proses, dan output. Contoh komponen input yang perlu dievaluasi adalah bagaimana entry behavior yang dimiliki peserta didik?; apakah bahan pelajaran cukup relevan dan up-to-date?; apakah ruang kelas cukup memadai?; Apakah bahan-bahan, alat-alat, media pengajaran telah tersedia?; Apakah semua anggota guru telah memehami tugas dan kewajiban mereka?; apakah GBPP perlu direvisi? Strategi yang manakah yang paling cocok?; dan lain-lain. Contoh komponen proses yang perlu dievaluasi adalah apakah strategi yang digunakan telah terbukti efektif?; Apakah media pembelajaran yang ada telah dimanfaatkan secara optimal?; Apakah cara mengajar telah berhasil membantu mengajar secara optimal?; Apakah cara belajarnya efektif?; dan lain-lain. Contoh komponen output yang perlu dievaluasi adalah bagaimana prestasi peserta didik? Evaluasi ini sebaiknya terpisah dari objek evaluasi lainya. Evaluasi terhadap output pembelajaran adalah evaluasi hasil belajar siswa.
72
Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses pengumpulan data untuk menentukan manfaat, nilai, kekuatan, dan kelemahan pembelajaran yang ditujukan untuk merevisi pembelajaran guna meningkatkan daya tarik dan efektivitasnya. Dalam proses pembelajaran dikenal adanya evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi
formatif
dilaksanakan
selama
berlangsungnya
suatu
program
pembelajaran yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan program, sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakan pada akhir pelaksanaan suatu program pembelajaran yang bertujuan untuk pengambilan keputusan.
C. Penilaian Pembelajaran, penilaian, dan evaluasi mempunyai hubungan sangat erat satu sama lain. Siswa dapat diukur kemampuannya melalui tes yang sesuai dengan jenjang atau tingkat kemampuan serta perkembangan dari proses pembelajaran yang telah dialami siswa tersebut. Setelah kemampuan siswa diukur dan dinilai, mereka dapat dievaluasi berdasarkan data-data dari pengukuran dan penilaian tersebut. Penilaian dapat dilakukan baik secara formal maupun secara informal. Penelitian ini mengukur dan menilai kemampuan bahasa Inggris siswa SMA negeri kelas XII di Palembang secara formal. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Brown (2004: 6) bahwa semua tes adalah penilaian formal, tetapi tidak semua penilaian formal merupakan tes. Johnson & Johnson (2002: 2) mengemukakan, “You can have assessment without evaluation, but you cannot have evaluation without assessment”.
73
Penilaian berarti pengumpulan informasi tentang kualitas atau kuantitas suatu perubahan siswa. Penilaian kemampuan siswa memiliki tujuan: 1) Menentukan tingkat pengetahuan dan keterampilan siswa, 2) Menangkap kemajuan kedepan tujuan belajar untuk membantu membuat program pengajaran, dan 3) Menyediakan data untuk mempertimbangkan tingkat akhir belajar siswa (Johnson & Johnson, 2002: 6). Seorang guru bahasa Inggris haruslah sungguh-sungguh memberikan penilaian terhadap siswa. Demikian pula seorang peneliti harus sungguh-sungguh melaksanakan penelitiannya. Untuk mencapai hasil yang maksimal, seorang guru atau peneliti harus memiliki tujuan, pendekatan dan komentar dalam melakukan penilaian. O’Malley (1996: 20) mengemukakan tentang kualitas tehnik kesungguhan penilaian pemebelajar bahasa Inggris sebagai berikut. Tujuan penilaian: untuk memperoleh tanggapan siswa dari kesungguhan penilaian. Dengan pendekatan: bekerja sama pada sekelompok tim penilai dengan guru-guru lainnya pada tingkatan kelas yang sama. Mengelola tes pilihan ganda yang meliputi informasi di dalam kelas dan mencatat hasil, memberikan hasil dalam bentuk angka dan kebenaran dalam bentuk persentase. Gunakan akhir kesatuan tes, jika tersedia. Kemudian kenali suatu kesungguhan penilaian untuk digunakan dengan siswa, seperti penulisan cepat dan penyusunan rubrik. Ketepatan haruslah mewakili topik yang tercakup di dalam kelas. Buatlah sebuah daftar kontrol yang mudah dipahami dari rubrik yang siswa dapat menggunakannya sebagai tanda mata ketika mereka memperbaiki tugas-tugas mereka sendiri. Ajak masing masing guru pada tim untuk
74
menggunakan ketepatan dan rubrik dalam penulisan penilaian dengan tahap-tahap berikut: (1) Kenalkan dan diskusikan rubrik penilaian dengan siswa. Jaminan bahwa siswa memahami rubrik tersebut akan digunakan untuk menilai pekerjaan tertulis mereka; (2) Mengelola penilaian tertulis, menyebutkan kembali bahwa rubrik akan digunakan untuk menilai tugas-tugas mereka; (3) Berilah siswa kesempatan untuk memperbaiki dan meninjau kembali tugas-tugas mereka yang digunakan dalam rubrik; (4) Mengumpulkan tugas-tugas mereka, menilai tugas-tugas tersebut, dan memberi umpan balik kepda siswa; (5) Kalau satu pilihan, suruh siswa untuk menggunakan rubrik tersebut untuk menilai tugas-tugas siswa lainnya; dan (6) Kemudian diskusikan tugas dan jawaban dari pertanyaan apa saja tentang rubrik tersebut. Tanyakan pada siswa tentang pendapat mereka seperti pertanyaan sebagai berikut: “(1) Bagaimana perbedaannya dengan tes yang pernah diikuti?; (2) Apakah tugas ini menilai hal-hal yang dipelajari di sekolah?; (3) Apakah tes seperti ini disukai?; (4) Saran apa untuk siswa lainnya?; (5) dan Persiapkanlah untuk tes seperti ini!”. Setelah tugas-tugas dinilai, peneliti juga bisa menanyakan beberapa pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana informasi yang anda dapatkan kembali dari tipe penilaian ini berbeda dengan apa yang anda dapatkan pada tes pilihan ganda?; (2) Dapatkah anda menggunakan hasil tes tersebut dari tipe penilaian kelas?; (3) dan Bagaimana hasil tersebut dapat dibicarakan dengan baik kepada orang tuamu? Catatan tentang komentar siswa dibuat sehingga anda dapat berbagi rasa dengan mereka dan anggota tim penilai anda yang lainnya. Siswa seharusnya melihat perbedaan penting antara umpan balik yang mereka terima dari ketepatan penilaian dan dari kebenaran prosentase pada tes pilihan ganda. Mereka mungkin memiliki ideide kreatif tentang bagaimana menggunakan informasi penilaian untuk belajar dan peningkatan mereka sendiri. Selanjutnya, komentar: tanggapan-tanggapan siswa
75
menceritakan informasi yang berharga kepada guru-guru yang lainnya di sekolah anda yang mungkin ingin mengetahui tentang pengaruh penilaian tipe ini terhadap siswa dan bagaimana penilaian tersebut digunakan untuk merencanakan pengajaran. Pembuatan tes dan memeriksa dan melaporkan tes akan memakan waktu berjam-jam bagi guru. Tes yang dikembangkan dengan baik, dilaksanakan pada suatu lingkungan yang santai dan tenang, dihargai oleh siswa. Tes yang dikembangkan dengan baik juga merupakan suatu alat penting dalam peningkatan siswa. Ada banyak jenis model tes yang tersedia pada setiap bidang studi. Siswa diberikan informasi yang luas tentang kemajuan mereka dengan menggunakan berbagai prosedur tes. Tes juga memberikan guru informasi yang berharga tentang tempat-tempat kekuatan dan kelemahan mengajar. Pengukuran yang cocok memberikan teori berdasarkan metode bagi individu untuk tantangan validitas sekor tes sama dengan metode bagi organisasi pembuat tes untuk menjamin kwalitas kontrol individu dari produk mereka (Hulin, Drasgrow, & Parsons,1983: 150).
Gambar 2: Hubungan antara pengukuran, test, dan evaluasi Gambar ini diambil dari Bachman (1990: 23)
76
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian dalam ilmu sosial adalah proses mengukur karakter seseorang menurut prosedur dan aturan secara eksplisit. Sedangkan tes adalah suatu alat ukur yang dirancang untuk menimbulkan suatu contoh khusus dari tingkah laku individu. Evaluasi dapat didefinisikan sebagai pengumpulan data secara sistematis untuk tujuan membuat keputusan Weiss (Bachman, 1990: 23). Hubungan antara penilaian, test, dan evaluasi dapat dilihat pada gambar berikut. Tabel 3 Definisi Tes, Pengukuran, dan Evaluasi Sumber: Gronlund (1990: 5) Tes : Suatu instrumen atau prosedur sistematis untuk mengukur contoh perilaku. (Jawab pertanyaan “Seberapa baik individu tampil—baik dibandingkan dengan yang lainnya maupun dibandingkan dengan suatu ranah kinerja tugas?”) Pengukuran : Proses menentukan suatu deskripsi derajat angka terhadap individu yang memiliki karakter khusus. (Jawab pertanyaan “Berapa banyak?”) Evaluasi : Proses sistematis dari pengumpulan, analisis, dan (kelas) penafsiran informasi untuk menentukan tingkat pencapaian siswa pada tujuan pengajaran. (Jawab pertanyaan “seberapa bagus?”)
Istilah tes, pengukuran, dan evaluasi mudah membingungkan karena semua mungkin termasuk dalam satu proses. Jika siswa ditanya untuk menjawab serangkain pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan, menghasilkan skor mereka dengan menghitung jawaban yang benar, dan termasuklah bahwa siswa mencapai kemajuan belajar yang baik.
77
Ketiga konsep dapat diuraikan sebagai berikut. Tes adalah seperangkat pertanyaan, pengukuran adalah penandaan angka terhadap hasil tes menurut aturan khusus (menghitung jawaban yang benar), dan evaluasi menambahkan penetapan nilai (good learning progress). Pengertian khusus masing-masing istilah, ketika diterapkan pada evaluasi kelas, disimpulkan oleh Gronlund (1990: 5) pada Tabel 3 (Tabel tiga). 1. Penilaian Alternatif Penilaian adalah suatu istilah yang meluas meliputi berbagai usaha yang disadari oleh sebagian guru atau siswa untuk menggambarkan beberapa kesimpulan
kinerja. Demikian pula tes merupakan himpunan bagian dari
serangkaian penilaian. Tentu saja tes dapat menyusun suatu penilaian tetapi tidak semua penilaian berisi tes. Akhir-akhir ini, guru bahasa Inggris telah melangkah dan berusaha untuk mengembangkan pilihan penilaian tanpa-tes. Walaupun demikian penilaian dirancang dengan hati-hati dan mentaati kriteria penilaian yang sesuai. Kadangkadang perubahan dapat diketahui dengan penilaian alternatif, misalnya guru dapat membedakan kemamapuan siswa dengan tes formal yang tradisional. Salah satu pilihan penilaian alternatif akan dibahas berikut ini. Penilaian bahasa dapat mempertimbangkan penilaian diri sendiri dan pembandingnya. Kemudian, bagaimana pembelajar yang masih dalam proses pemerolehan, khususnya proses awal, mampu melakukan penilaian kinerja mereka sendiri dengan tepat? Walaupun demikian, penilaian pemerolehan keterampilan
78
bahasa menyingkap makna penilaian diri sendiri dan keuntungan penilaian pembandingnya. Apakah pembelajar yang berhasil belum mengembangkan kemampuan untuk memonitor kinerjanya sendiri dan menggunakan data yang terkumpul untuk penyesuaian dan koreksi diri? Kebanyakan pembelajar yang berhasil memperdalam proses pembelajarannya dirumah dengan baik melebihi proses pembelajaran di dalam kelas. Demikian pula guru atau tutor seharusnya menguasai seni penilaian diri sendiri dengan bebas. Pembanding atau kriteria harus tersedia untuk melakukan penilaian. Dengan adanya input tambahan, guru atau tutor dapat melakukan dan memahami penilaian dengan mudah (Brown, 2004: 270). 2. Pengamatan dan Penilaian Selama proses pembelajaran berlangsung guru dapat mulai memonitor partisipasi siswa secara terus menerus hingga ke tahap akhir. Untuk memeriksa apakah seseorang telah mampu berkomunikasi secara tertulis maupun lisan, guru dapat menggunakan check list berisi seperangkat indikator yang digunakan sebagai instrumen pengamatan untuk digunakan dalam penilaian berjangka panjang. Sejalan dengan pembuktian lewat daftar indikator, guru disarankan melakukan pemantauan dan penilaian berdasarkan portofolio atau catatan pencapaian pribadi setiap siswa yang dikumpulkan dalam satu map khusus. Dengan catatan ini akan terlihat adanya siswa yang sangat cepat maupun yang lambat akan mencapai kompetensi yang ditargetkan. Implikasinya, siswa yang
79
cepat dapat maju ke tahap berikutnya jika kondisi sekolah mengijinkan, sedangkan siswa yang lambat harus mendapat perlakuan khusus (remedial).
D. Tes Bahasa Inggris Test merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respons seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan (Djemari Mardapi, 1999: 2). Tugas pertama yang akan dihadapi dalam merancang suatu tes untuk siswa adalah menentukan tujuan tes. Mendefinisikan tes akan membantu untuk memilih jenis tes yang baik, dan hal ini membantu untuk memfokuskan tujuan khusus dari tes tersebut. Ada dua tipe tes, pertama yang mungkin tidak biasa dibuat oleh seorang guru ― tes bakat bahasa dan tes kecakapan bahasa―dan tiga tipe tes yang hampir betul-betul membutuhkan kreasi―tes penempatan, tes penentuan, dan tes kemajuan belajar (Brown, 2004: 43). Kemudian Gronlund (1981: 38) juga mengemukakan prosedur pembuatan tes standar akan sangat sedikit dengan kelaziman tes, tahapan berikut adalah ciri khas bagi pembuatan tes pengukuran: “ (1) Perencanaan tes; (2) Persiapan tes item; (3) Uji coba dan revisi; dan (4) Pengelolaan cetakan standarisasi”. Adapun jenis hasil pengetahuan siswa dalam belajar bahasa Inggris adalah sebagai berikut. Hasil Pengetahuan dapat diukur dengan menanyakan: “ (1) What is the name of …? (2) What is the location of …? (3) What are the characteristics of …? (4) What is the
80
function of …? Hasil pemahaman siswa dapat diukur dengan menanyakan:”(1) What is the reason for…? (2) What is the relationship between …? (3) Which of the following is an example of …? (4) Which of the following best summarizes …?” Hasil penerapan juga dapat diukur dengan menanyakan: “(1) What method would be best for …? (2) What steps should be followed to construct …? (3) Which of the following indicates correct application of …? (4) Which of the following solution is correct for …?” Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat kegunaan masing-masing tipe tes tersebut di atas. Tes bakat bahasa, suatu tipe tes―walaupun dengan jelas bukan tipe tes umum―memprediksi suatu keberhasilan seseorang sebelum penyingkapan bahasa kedua (bahasa Inggris). Tes bakat bahasa dirancang untuk mengukur kapasitas atau kemampuan umum terhadap mempelajari suatu bahasa asing dan keberhasilan terakhir yang dipertanggungjawabkan. Jika tujuan anda untuk mengetes kompetensi global dalam suatu bahasa, kemudian anda dalam istilah umum sedang menguji kecakapan bahasa. Suatu tes kecakapan bahasa tidak terbatas pada suatu mata pelajaran, kurikulum, atau keahlian tunggal dalam suatu bahasa; kecenderungan, tes ini menguji seluruh kemampuan. Tes kecakapan berbahasa secara tradisional sudah terdiri dari butir-butir pilihan ganda tersatandar tentang tata bahasa, kosa kata, pemehaman bacaan, dan pemahaman pendengaran. Kadang-kadang suatu sampel tulisan ditambahkan, dan baru-baru ini juga termasuk tampilan hasil ucapan. Tes kecakapan berbahasa dapat berperan dalam tes penempatan, tujuannya adalah untuk menempatkan siswa ke dalam level tertentu atau bagian suatu kurikulum
81
bahasa atau sekolah. Suatu tes penempatan biasanya, tapi tidak selalu, termasuk contoh materi ditutupi dalam berbagai pelajaran dalam kurikulum; kinerja siswa pada tes seharusnya menunjukkan poin materi yang tidak ditemukan siswa baik terlalu mudah maupun terlalu sulit tetapi tantangan yang cocok. Suatu tes penentuan dirancang untuk menentukan aspek bahasa tertentu. Suatu tes dalam pengucapan, contonya, mungkin menentukan gambaran bunyi bahasa Inggris yang sulit bagi pembelajar dan karena itu menjadi bagian dari kurikulum. Tes kemajuan belajar berhubungan langsung dengan pelajaran kelas, unit atau suatu keseluruhan kurikulum. Tes kemajuan belajar seharusnya terbatas pada materi tertentu ditujukan dalam kurikulum pada kerangka waktu tertentu dan ditawarkan setelah suatu mata pelajaran sudah difokuskan pada tujuan dalam kajian. Tes merupakan bagian dari penilaian dalam pembelajaran bahasa Inggris. Mehrens & Lehmann (1973: 6) menyatakan “test often connotes the presentation of a standard set of question to be answered”. Suatu cara mengukur seluruh kemampuan adalah membuat tes dengan sejumlah komponen: contoh, membaca, mendengar, tata bahasa dan kosakata. Rincian ditulis untuk komponen individu dan hal ini tergabung dalam rincian pada keseluruhan tes, dengan suatu indikasi bobot setiap komponen diberikan. Sekor komponen tes yang berbeda ditambah bersamaan dengan memberikan kemampuan seluruhnya. Inilah yang terjadi pada tes kecakapan (kemampuan). Sekalipun sekor pada komponen individu diberikan, mereka diabaikan oleh orang yang menggunakan sekor tes tersebut (Hughes, 2003: 186).
82
Brown (2004: 9) menyatakan bahwa kemampuan untuk menyediakan katakata yang cocok pada tempat yang kosong membutuhkan sejumlah kemampuan yang terletak pada pusat kemampuan dalam suatu bahasa: pengetahuan kosakata, struktur tata bahasa, struktur wacana, keterampilan dan strategi membaca, dan suatu tata bahasa yang diharapkan membuat seseorang dapat memprediksi suatu soal yang akan mengikutinya secara teratur. Brown (2004: 50) juga menyatakan bahwa tujuan mata pelajaran terseleksi untuk kesatuan keterampilan terpadu (integrated skill) tingkat SMA adalah sebagai berikut. 1. Membentuk tujuan terfokus (listening dan speaking). Siswa akan: (a) Mengenal dan memproduksi pertanyaan penegas dengan bentuk grammar dan pola intonasi akhir yang benar, dalam percakapan-percakapan sosial sederhana, dan (b) Mengenal dan memproduksi pertanyaan informasi yang menggunakan kata tanya dengan pola intonasi akhir yang benar. 2. Keterampilan berkomunikasi (speaking). Siswa akan: (a) Menyatakan aksi lengkap dan kejadian-kejadian dalam sesuatu percakapan sosial; (b) Menanyakan untuk komfermasi dalam suatu percakapan sosial; (c) Memberikan pendapat tentang suatu kejadian dalam suatu percakapan sosial; dan (d) Memproduksi bahasa dengan intonasi, tekanan, dan irama yang cocok secara konbuku pelajaran. 3. Keterampilan membaca (uraian atau cerita yang sederhana) Siswa akan: “Mengetahui (perubahan waktu lampau yang tidak beraturan dari seleksi kata kerja dalam suatu cerita atau uraian)”. 4. Keterampilan menulis (uraian atau cerita sederhana) Siswa akan: “(a) Menulis cerita satu paragraf tentang suatu kejadian sederhana pada masa yang lampau dan (b) Menggunakan kata-kata penghubung so dan because dalam suatu pernyataan pendapat”. Kemudian apapun sistem tes yang dibuat seharusnya:
83
(a)Secara terus menerus tetap mengukur kemampuan secara akurat, tepat yang mana kita inginkan; (2) Memiliki pengaruh yang menguntungkan pada pengajaran (dalam hal ini di mana tes sepertinya mempengaruhi pengajaran); dan (3) Hemat waktu dan uang. Selanjutnya Hughes (2003: 8) mengemukakan bahwa tujuan tes bahasa Inggris dapat di simpulkan sebagai berikut: (1) Untuk mengukur kecakapan berbahasa; (2) Untuk menemukan bagaimana keberhasilan siswa yang telah menerima sasaran rangkaian pembelajaran; dan (3) Untuk membantu penempatan siswa dengan mengenal tahapan program pengajaran yang cocok terhadap kemampuan mereka. Salah satu fungsi tes bahasa Inggris, dapat kita cermati dalam pernyataan seorang pakar pengukuran berikut. Buck (2001: 61) mengemukakan bahwa tugas dasar pembuatan pengukuran adalah untuk mengambil gagasan teori tentang suatu konsep dan untuk melaksanakan pengukuran tersebut, yaitu untuk mengubah mereka menjadi latihan sebenarnya, dalam seperangkat butir-butir tes. Dengan kata lain, seperangakat tes bahasa inggris merupakan latihan yang sebenarnya disamping merupakan alat ukur kemampuan pembelajar bahasa Inggris khususnya. Selain itu fungsi tes bahasa Inggris juga adalah untuk menempatkan tingkatan kemampuan pembelajar bahasa Inggris. Tes ini dapat dilakukan pada awal pembelajaran bahasa Inggris ketika seorang pembelajar bahasa Inggris mulai belajar. Mereka akan ditempatkan pada level yang sama agar mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam belajar bahasa Inggris. Dengan kata lain tes ini sering disebut tes penempatan (placement test). Clapham (1996: 87) mengemukakan bahwa cukup banyak contoh siswa pada tingkatan kecakapan bahasa yang berbeda bagi suatu
84
penelitian untuk dilaksanakan menjadi pengaruh pertemuan antara tingkatan bahasa dan sasaran utama pada pelaksanaan tes siswa. Karena itu semuanya kelihatan tes kecakapan bahasa adalah sama sehingga mereka dapat ditempatkan pada suatu tempat sekala kemampuan umum. Upaya penilaian sekarang ini tampak kurang memanfaatkan hasil pengukuran yang efektif, khususnya penilaian reaksi siswa dan kepuasan dengan pengalamannya (Astin, 1993: 38). 1. Ciri-ciri Tes yang Baik Sebuah tes dapat dikatakan memenuhi persyaratan kalau tes tersebut memiliki kesahihan, keandalan, dan keobyektifan. Selain dari itu tes harus memiliki sifat praktis dan ekonomis. Untuk menunjukan bahwa tes tersebut telah memenuhi persyaratan dapat dilihat dari hasil tes yang diperoleh. Kemudian ketepatan waktu, dan tidak ada faktor yang mempengaruhi. Lebih lanjut, kita dapat melihat definisi-definisi dan keterangannya berikut ini. Arikunto (1999: 64) mengemukakan definisi-definisi yang menjadi pedoman bagi setiap pembuat tes. a. Sahih (Valid) Sebuah tes dapat disebut sahih apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. Jika data yang dihasilkan dari sebuah instrumen sahih, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut sahih, karena dapat memberikan gambaran tentang data secara benar sesuai dengan kenyataan atau keadaan sesungguhnya. Dengan kata lain, jika data yang dihasilkan oleh instrumen benar dan sahih, sesuai kenyataan, maka instrumen yang digunakan tersebut juga sahih.
85
b. Andal (Reliable) Sebuah tes dapat dikatakan andal apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukan ketepatan. Dengan kata lain, jika kepada para siwa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan (rank) yang sama dalam kelompoknya. Walaupun tampaknya hasil tes pada pengetesan kedua lebih baik akan tetapi karena kenaikannya dialami oleh semua siswa, maka tes yang digunakan dapat dikatakan memiliki keandalan yang tinggi. Kenaikan tes kedua yang tinggi mungkin disebabkan oleh adanya ‘’pengalaman’’ yang diperoleh pada waktu mengerjakan tes pertama. c. Objektif (Objektive) Sebuah
tes
memiliki
keobjektifan
(objectivity)
apabila
dalam
melaksanakan tes itu ada faktor subjektivitas, apabila dalam melaksanakan tes tidak ada faktor subjektip yang mempengaruhi. McDonal (1999: 17) mengemukakan bahwa pernyataan dari apa yang dimaksud dengan tes objektif, tes tersebut adalah cukup untuk mengatakan bahwa tes tersebut objektif apabila butir-butirnya tidak keluar dari ruang penilaian dalam menilai jawaban siswa. Apabila dikaitkan dengan keandalan maka keobyektifan menekankan ketepatan (consistency) pada sistem skoring, sedangkan kendalan menekankan ketepatan dalam hasil tes. d. Praktis (practical)
86
Sebuah tes dikatakan memiliki kepraktisan (practicality) yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes yang praktis adalah tes yang: (1) Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa; (2) Mudah memeriksannya, artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk obyektif, pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban; dan (3) Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diwakili oleh orang lain. e. Ekonomis (Economical) Yang dimaksud dengan ekonomis di sini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos/biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama. Grambs & Carr (1979: 350) menyatakan bahwa satu butir soal pilihan ganda yang disusun baik seharusnya memerlukan paling sedikit satu menit untuk mempertimbangkan jawabannya, diasumsikan rata-rata siswa atau lebih baik daripada rata-rata pembaca soal. Siswa SMA khususnya masih diberi tes dengan waktu empat puluh lima sampai dengan lima puluh lima menit untuk mengerjakan seluruh soal yang berjumlah 45 sampai denga 50 soal. Dengan memperhitungkan waktu yang tepat, siswa tidak akan merasa bosan ketika mereka mengerjakan tes. 2. Tes Standar Tes standar didefinisikan sebagai alat pengukuran yang dikelola, dinilai, dan ditafsirkan dalam suatu sikap yang standar. Tes standar biasanya menilai prestasi dan ketangkasan siswa. Tes standar dari prestasi siswa dikembangkan oleh
87
perusahaan tes yang besar sama dengan departemen pendidikan negeri (biasanya untuk memenuhi suatu rekrut yang dipertanggungjawabkan pendidkan) ditentukan secara perwakilan. Tes standar dari ketangkasan siswa dikembangkan oleh pengelola tes nasional, misalnya Ujian Nasional (UN). Walaupun kebanyakan tes standar mengutamakan penggunaan butir soal responsif terseleksi, banyak pengembang tes standar mencoba untuk memasukkan peningkatan jumlah butir responsif yang disusun dalam perangkat pengukuran mereka. Untuk menggambarkan sebaran sekor tes, dua indikasi dari pusat kecenderungan nilai rata-rata dan nilai tengah-digambarkan sama dengan dua indikasi dari peubah jajaran dan simpangan baku. Irvine (2002: 289) menyatakan bahwa suatu teori dapat menurunkan hal-hal yang menghasilkan fakta-fakta yang dapat diterima tentang suatu sifat mental khusus. Hal ini menyarankan bahwa peneliti benar-benar memulai sesuatu untuk memahami sifatnya agar dapat memaknai penomena yang terkandung di dalamnya. Ada tiga cara menafsirkan hasil tes standar: bagian per seratus, angka-skor ekwivalen, dan sekala skor. Sifat dasar masing-masing penapsiran prosedur ini digambarkan sama dengan kekuatan dan kelemahan dari tiga prosedur penafsiran tersebut (Popham, 1995: 226).
E. Kajian Penelitian yang Relevan 1. Bolt, Cohen, & Wollack (2001) dalam penelitiannya mengilustrasikan bagaimana model dapat dikembangkan untuk membedakan peserta tes yang tidak sebanding
88
tertarik dengan tipe pengecoh yang berbeda dalam suatu tes bahasa Inggris yang digunakan. Suatu studi simulasi mengevaluasi penemuan parameter butir dan ketepatan pengelompokan dalam suatu tes pilihan ganda secara hipotesis didesain untuk melihat gejala-gejala yang dapat ditangkap melalui model tes respon butir campuran.
2.
Berdasarkan temuan penelitiannya, Holman & Berger (2001: 1) menyatakan
bahwa butir dianalisis dengan menggunakan sejumlah model teori respons butir, item response theory (IRT), yang mana anggota dari “divided by total”, model Rasch lebih dari dua ukuran dan model peluang terpisah, kedua tes tunggal dan tes lebih dari satu. Akhirnya, penulis mengamati seperangkat butir, yang telah dianalisis dengan menggunakan sejumlah model yang berbeda. Penentuan rancangan optimal-D di suatu tempat tertentu dirancang untuk masing-masing analisis dan dihitung dengan menggunakan angka-angka pasti dan suatu prosedur berikutnya. Hasil tersebut didiskusikan baik secara umum maupun hubungan masing-masing.
3.
Berdasarkan
penelitiannya,
Cahyono
(1996:
1)
menyimpulkan
bahwa
penghitungan skor hasil ringkasan mahasiswa dengan rataan skor 11,37. Berdasarkan Kriteria yang dibuat untuk memeriksa makna, skor rataan jatuh di bawah kategori cukup. Selanjutnya, penelitian disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa membuat ringkasan dapat dipertimbangkan “baik”. Sebagai tambahan, keberhasilan mahasiswa
89
membuat ringkasan mengikuti prosedur CBST, content-based summarizing technique adalah suatu indikasi penerapan teknik meringkas. Simpulan berikutnya adalah jika mahasiswa telah menguasai keterampilan membaca, mereka seharusnya menggunakan keterampilan mereka untuk belajar. Dengan kata lain, penekanan pembelajaran reading seharusnya menjadi alat memperoleh, mengukur rataan dan mempertahankan ide-ide pokok penting yang terdapat dalam bahan bacaan. Sebagai tambahan, CBST seharusnya tidak hanya diberikan pada mahasiswa tingkat atas di level pengetahuan linguistik tetapi juga diberikan pada mahasiswa tingkat bawah. Hal ini disebabkan penekanan CBST pada isi bagian bacaan. Sementara mereka tidak dapat meringkas isi ungkapan yang tertulis, tidak ada alasan mengapa mereka tidak dapat meringkas ide-ide penting dalam bacaan.
4. Berdasarkan penelitiannya, Saukah (2000: 1) menyimpulkan bahwa kebanyakan peserta didik pendidikan dan pelatihan guru tidak siap meneruskan studi mereka ke jenjang pascasarjana karena kemampuan bahasa Inggris mereka masih dibawah persyaratan. Kemampuan bahasa Inggris peserta didik perdana rata-rata jauh di bawah kemampuan mahasiswa internasional. Peserta didik pemula cenderung memiliki potensi lebih baik untuk ditingkatkan secara akademik karena kemampuan bahasa inggris mereka cenderung lebih baik daripada sebelumnya. Dengan istilah di bawah kemampuan peserta didik bahasa Inggris, institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) yang berlokasi lebih dekat dengan pusat pemerintahan (Jakarta)
90
tidak selalu berarti bahwa mereka lebih baik daripada peserta didik yang lebih jauh dari pusat pemerintahan. Di antara peserta didik pemula, penguasaan bahasa Inggris masih dibawah komponen penguasaan bahasa, yang berarti bahwa mereka cenderung kurang terampil untuk berkomunikasi pada globalisasi. Ringkasnya, jawaban pertanyaan yang muncul pada judul artikel ini adalah “tidak” jika kemampuan bahasa Inggris peserta didik digunakan sebagai indikator untuk pengaruh jangka waktu lama dari pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
5. Menurut studi yang dilakukan oleh Artini (1998: 1), bahasa lisan yang menggunakan keadaan yang mudah berubah betul-betul sama kompleksnya dengan bahasa tulis. Sementara bahasa tulis termasuk bagian yang istimewa dari studi tentang faktor yang berhubungan dengan bahasa dan ilmu persanjakan. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan masing-masing lebih unggul dibandingkan yang lain, atau yang satu lebih mudah daripada yang lain. masing-masing sangat kompleks pada caranya sendiri.
6. Menurut laporan penelitian yang dilakukan oleh Saukah (1998: 1), program evaluasi dalam artikelnya mencakup tiga kelompok peserta, dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1997 yang dibiayai oleh proyek Direktotat Jendral Pendidikan Tinggi untuk mempersiapkan peserta didik Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) untuk mahasiswa luar negeri asal Indonesia. Hasil program evaluasi menunjukan bahwa hasil belajar tingkat tinggi kemungkinan dapat diterima apabila kemampuan
91
bahasa Inggris awal yang disyaratkan untuk mengikuti program ini setidak tidaknya berada pada tingkat lanjutan. Standar validitas setaraf tes TOEFL yang dikembangkan oleh program tersebut dijamin dan dapat dites, karena itu, digunakan pengecoh yang bagus dari TOEFL yang bertaraf Internasional. Rekomendasi lainya diberikan juga untuk perkembangan perencanaan dan implementasi program tersebut di masa yang akan datang.
7. Berdasarkan penelitiannya, Mazzei (2004: 1) menyatakan bahwa ia menentang pendapat Pillow (2000) terhadap penelitian pendidikan dan jurnal pendidikan yang lainnya untuk lebih banyak menghasilkan contoh kerja pada penelitian postmodern bukan pada suatu usaha untuk menyerbu atau memisahkan usaha pada siasat pencegahan perluasan kekuasaan politik. Khususnya, penulis menghadirkan suatu pendekatan metodologi untuk menyimak “dalam hati” disikapi dalam percakapan penulis dengan guru kulit putih menghargai identitas suku bangsa mereka. Keheningan tersebut, menghadirkan kedua dalam kealfaan kata-kata yang diucapkan dan aksi pembicaraan, adalah “pendengaran” penggunaan dari membangun kembali latihan menyimak percakapan. Kata-kata yang diucapkan dalam situasi kesunyian dapat mengacaukan keyakinan.
8.
Berdasarkan studinya, Sawyer (2004: 1) menyatakan bahwa pengajaran sering
dikira sebagai suatu penampilan kreatif. Walaupun perbandingan dengan penampilan betul-betul diinginkan untuk menekankan kreatifitas guru, mereka telah dihubungkan
92
sebagai ganti masa kini memperbaiki usaha pengajaran secara tertulis kedepan yang menolak kreatifitas guru. Pengajaran tertulis berlawanan dengan pembuat aturan, berdasarkan penyelidikan, dan metode mengajar dialog yang menekankan kerjasama kelas, untuk melengkapi pandangan dalam metode ini, “ penampilan mengajar” penggunaan kata atau ungkapan yang berlainan arti yang sebenarnya untuk menunjukkan persamaan dengan sesuatu yang lain harus dimodifikasi: mengajar adalah perkembangan penampilan. Pengertian mengajar sebagai perkembangan menerangi alam baru dan kerjasama dengan latihan kelas yang aktif, membantu kita untuk memahami bagaimana materi kurikulum berhubungan dengan latihan kelas, dan memperlihatkan mengapa pengajaran adalah suatu seni kreatif.
9. Menurut laporan penelitian yang dilakukan oleh Abedi (2004:1), sejumlah siswa memiliki kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Klasifikasi kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, sama dengan populasi terpencar-pencar dari siswa yang berkemampuan bahasa Inggris terbatas di berbagai negara, mengancam validitas laporan perkembangan tahunan. Kemampuan bahasa Inggris terbatas, kekurangan stabilitas sub-kelompok juga mengancam pertanggungjawaban, ketika siswa mencapai kemampuan bahasa Inggris keluar dari kelompok tersebut. Keterlibatan ilmu bahasa dari alat penilaian mungkin merendahkan penampilan siswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas dalam daerah dengan permintaan bahasa Inggris yang sangat besar. Akhirnya, sekolah dengan sejumlah besar dari siswa yang berkemampuan bahasa Inggris terbatas dengan batasan sangat rendah mungkin
93
meraih hasil yang lebih besar. Karena itu, tugas anak yang terkebelakang bisa diletakkan secara tidak direncanakan di bawah tekanan sekolah dengan jumlah yang tinggi dari siswa yang berkemampuan bahasa inggris terbatas. Meneruskan usaha untuk mengatasi pokok permasalahan seharusnya membawa penilaian yang tidak memihak dan pertanggungjawabban.
10. Berdasarkan studinya di Taiwan, Ming-Chung Yu (2006: 1) menyatakan bahwa profesi mengajar bahasa ke-dua sudah lama dicakup dalam suatu pencarian metode yang bukan hanya dapat digeneralisasi melalui berbagai peserta tetapi juga dapat digunakan dengan berhasil pada pengajaran bahasa asing untuk siswa di dalam kelas. Sekarang Comunicative Language Teaching (CLT) telah menjadi pendekatan terkenal dalam profesi ini. Kajian khusus selama observasi di kelas adalah: (a) bagaimana guru bahasa asing yang berbeda menginterpretasikan komponen kemampuan sosiolinguistik di dalam kelas mereka, dan (b) apakah latihan di kelas berpengaruh pada perkembangan kemampuan sosiolinguistik pembelajar. Studi ini mengambil 112 siswa tahun pertama dari 4 kelas bahasa Inggris level intermediate di Taiwan sebagai sampel. Teknik pemilihannya tidak disebutkan. Jurnal ini menggunakan tes sebagai instrumen. Data diambil melalui observasi kelas, apa yang diperlukan oleh guru bahasa asing untuk lebih memperhatikan ketika mengajar bahasa asing. Prosedur pengambilan data adalah 4 kelas diobservasi selama 2 jam setiap minggu selama 4 bulan pada tahun 2005 (lebih kurang 32 jam per kelas). Pada
94
analisis data, statistik deskriptif digunakan pertama kali, kemudian ANOVA dan ANCOVA. Hasil dari sudi ini adalah terdapat perbedaan antara empat kelas yang diobservasi. Perbedaan yang sangat tampak adalah perbedaan kemampuan sosiolinguistik mengajar. Persentase total kelas yang diobservasi pada pengajaran sosiolinguistik adalah 4%, 3%, 5%, dan 2% untuk perwakilan kelas A,B,C, dan D. Temuan: Sangat sedikit perhatian yang dicurahkan pada pengajaran kemampuan sosiolinguistik di dalam empat kelas yang diobservasi. Berdasarkan uraian di atas, studi ini dapat disimpulkan sebagai berikut. a)
Studi sekarang dirancang untuk mengobservasi hasil belajar dan perbuatan kelas EFL Cina mengacu pada pengembangan kemampuan sosiolinguistik.
b)
Khususnya penemuan hasil studi sekarang memiliki implimentasi pendidikan praktis dalam pembelajaran bahasa ke-dua.
11. Menurut hasil penelitiannya, Ellis (2005: 1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa ke-dua, sebagai sub-disiplin linguistik terapan, masih sangat terlalu dini untuk dijadikan bidang studi. Jika penelitian dan teori yang tidak didukung oleh perhitungan, pengajaran tidak akan dapat memfasilitasi belajar bahasa. Ada sepuluh prinsip yang dikemukakan oleh Ellis: 1) Pengajaran memerlukan jaminan bahwa pembelajar mengembangkan kedua sandiwara ungkapan rumus yang banyak dan aturan berdasarkan kompetensi.
95
2) Pengajaran perlu menjamin bahwa pembelajar terfokus pada arti secara lebih menojol. 3) Pengajaran perlu menjamin bahwa pembelajar juga terfokus pada pola. 4) Pengajaran
perlu
menjamin
secara
langsung
lebih
menonjol
pada
perkembangan pengetahuan bahasa kedua secara implisit sementara mengabaikan pengetahuan secara eksplisit. 5) Pengajaran perlu lapoaran perkembangan silabus pemebelajar. 6) Pembelajaran bahasa yang berhasil memerlukan masukan L2 secara ekstensif. 7) Pembelajaran bahasa yang berhasil juga memerlukan kesempatan untuk output. 8) Kesempatan berinteraksi dalam bahasa kedua merupakan pusat perkembangan kemampuan bahasa kedua. 9) Pengajaran perlu melaporkan perbedaan individu diantara pembelajar. 10) Dalam penilaian kemampuan bahasa kedua pembelajar, penting menguji sebebas pengawasan hasil.
12. Berdasarkan laporan studinya, Mann (2004: 1) mengemukakan bahwa evaluasi sebagai istilah yang luas yang mana kita dapat menggunakan pengujian secara umum dan bentuk penilaian lainnya. Kita dapat mengatakan bahwa evaluasi seharusnya dilihat sebagai dasar untuk berbagai keputusan. Kalau kita dapat menguasai evaluasi dengan baik, kita akan mendapatkan posisi yang menguntungkan. Worthen and Sanders (1973) secara sederhana menyatakan bahwa evaluasi adalah proses
96
keputusan pada penghargaan sesuatu. Weir dan Roberts (1994) mengungkapkan bahwa evaluasi adalah proses pengumpulan informasi secara sistematis untuk membuat keputusan.
13. Berdasarkan penelitiannya, Larson (1972: 1) mengemukakan bahwa evaluasi pengajaran dan meminta komentar siswa merupakan satu alat evaluasi. Dalam belajar bahasa Inggris, peningkatan dinilai dengan keberhasilan yang telah dipelajari, dan dapat menyajikannya kembali, beberapa konsep tentang bahasa dan beberapa karakteristik phonology dan syntax bahasa Inggris. Beliau mengemukakan bahwa berbagai bentuk evaluasi sangat perlu dibiarkan secara alami dari apa pengajaran tersebut. Penulis menyatakan bahwa mengajar adalah suatu cara hidup dan tampaknya sulit dipisahkan dari gaya mengajar seseorang. Semua peneliti seharusnya lebih banyak menyumbangkan pikiran untuk evaluasi pengajaran. Di beberapa bagian masih sulit bagi pendidik berinteraksi dengan pembelajar. Artikel ini sangat bermanfa’at terhadap disertasi yang dikembangkan baik teori maupun temuan yang telah dituliskan pada artikel.
14. Berdasarkan laporan studinya, Clark (1997: 1) mengemukakan bahwa model Kirkpatrick digunakan oleh lebih dari 60% dari seluruh organisasi yang mendukung latihan dan evaluasi keefektifitasannya di Amerika. Artikel ini tidak menjelaskan populasi dan sampel. Demikian pula teknik pemilihannya. Artikel ini merupakan pemaparan karena itu tidak mengungkapkan Instrumen yang digunakan. Implimintasi
97
lima level Model Evaluasi Kirkpatrick Plus tergolong kritis untuk mengatur kedua kualitas dan biaya oprasional. Melalui pelatiahan evaluasi, sepanjang analisis ROI (return on investment), dapat berlangsungnya kualitas-berasal dari proses manajemen dan memungkinkan untuk melengkapi kualitas layanan yang tinggi pada clients dan menurunkan tingkat biaya. Implimintasi lima level Model Evaluasi Kirkpatrick Plus tergolong kritis untuk mengatur kedua kualitas dan biaya oprasional. Dari aspek Teori model evaluasi Kirkpatrick Plus
sangat bermanfaat bagi disertasi yang
dikembangkan ini.
15. Berdasarkan laporan studinya, Naugle (2000: 135) mengemukakan bahwa sekolah-sekolah sekarang menerima permintaan tinggi untuk kualitas pendidikan yang mereka sumbangkan. Mereka diminta lebih banyak memperhitungkan kualitas pengajaran
guru.
Guru
mendapat
tugas
untuk
membantu
siswa
dalam
mengembangkan keterampilan sebagai motivasi untuk belajar, dan kemampuan menerapkan belajar bukan hanya di dalam kelas tetapi juga di dunia nyata. Ada empat level yang perlu diperhatikan: 1. Reaksi. Kirkpatrick menggambarkan bagaimana peserta merasakan berbagai aspek program latihan. Salah satu tujuan pengajaran adalah
untuk
menciptakan
motivasi
pembelajar.
2.
Belajar.
Kirkpatrick
menggambarkan bahwa pengukuran pengetahuan, perkembangan keterampilan, atau perubahan tingkah laku. Ia menekankan pada evaluasi proses untuk menilai hasil upaya guru. 3. Tingkah laku. Kirkpatrick menggambarkan pengukuran perkembangan tingkah laku perserta yang disebabkan oleh pelatihan. Pendekatan yang paling efektif
98
sama dengan memberi saran kepada guru untuk mencoba metode baru. 4. Hasil. Penerapan ini bukan hanya menilai peserta tetapi juga menilai guru dalam satu sistem. Jika guru mencapai tujuan pengajaran lebih dari memberi materi, guru tersebut pasti telah dilatih dengan segala cara yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut. Artikel ini tidak menjelaskan populasi dan sampel. Demikian pula teknik pemilihannya. Artikel ini merupakan pemaparan karena itu tidak mengungkapkan Instrumen yang digunakan. Untuk mencapai hasil yang diingginkan dari pengajaran disarankan mebuat kerangka kerja untuk membantu dan merivisi kerja guru. Tidak ada instrumen penilaian kerja guru yang khusus atau standar penilaian untuk membantu penilian yang ditawarkan. Diharapkan bahwa model ini memiliki kesamaan yang cocok untuk menuju ke tahap berikutnya. Jika sekolah-sekolah ingin tetap hidup sekarang untuk berkembang, mereka perlu menciptakan suatu proses evaluasi yang efektif ini akan bermanfa’at bagi disertasi yang dikembangkan khususnya dalam mengevaluasi pembelajaran yang menyangkut masalah guru dan siswa.
16. Berdasarkan laporan studinya, Flannery (2000: 53-57) mengemukakan bahwa masalah terbesar pada evaluasi adalah perkembangan terhadap informasi nilai guru digabungkan dan dihargai sebagai sumber yang digunakan. Hal inilah tampak harga diri, tetapi ini dicatat seberapa seringnya ide-ide muncul untuk digunakan. Di dalam mengevaluasi, ada empat kategori pertanyaan:
99
1) Motivasi 2) Tingkat kesiapan 3) Bias khusus-Lapangan 4) Konstruk mengajar yang idial Sebagai tambahan: 5) Harapan gender 6) Pertanggungjawaban belajar. Mengumpulkan informasi dari siswa dengan menggunakan pertanyaan penilaian sendiri yang betul-betul berguna bagi penelitian ini. Kebanyakan siswa teliti dalam mengevaluasi diri mereka sendiri
dan sering menghubungkan apa yang
mereka bicarakan tentang diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka katakan dalam penilaian pelajaran atau instruktur mereka. Dari aspek teori, perkembangan informasi membuat suatu bentuk evaluasi microteaching sangat bermanfaat bagi disertasi yang dikembangkan.
17. Berdasarkan laporan penelitiannya, Sparks, Patton, Javorsky, et al (2006: 129) mengemukakan bahwa belajar kedua bahasa asli dan bahasa asing tergantung pada mekanisme dasar belajar bahasa dan permasalahan dengan keterampilan bahasa seperti memiliki pengaruh negatif pada ke-dua sistem bahasa. Studi baru-baru ini juga melaporkan keyakinan dari suatu hubungan anatara memory ponologi dan belajar bahasa asing. Gathercole dan Thorn (1998) mengemukan bahwa memory ponologi yang kurang untuk mengucapkan kata-kata baru sepertinya sangat berkurang untuk
100
kata-kata dalam suatu bahasa asing daripada bahasa asli. Dufva dan Voeten (1999) menemukan bahwa kesusastraan bahasa asli dan bahasa asing mempunyai pengaruh yang positif pada belajar bahasa asing. Lima puluh empat siswa diberi tes pada interval waktu tertentu diatas 10 tahun kepada penutur bahasa asli diperkirakan kemampuan bahasa asing lisan dan tertulis dan perilaku bahasa asing tersebut. Semua perserta lengkap dua tahun bahasa sepanyol, bahasa Prancis,
bahasa Jerman.
Masing-masing diadministrasikan
mengukur kesusastraan penutur asli, bahasa lisan, dan kemampuan kognitif pada sekolah dasar. Pengukuran perilaku bahasa asing diadministrasikan pada awal tingkat sembilan dan kemampuan perilaku bahasa asing dievaluasi pada akhir kelas sepuluh. Di antara variabel pengukuran kesusastraan bahasa asli adalah pendugaan yang paling baik dari kemampuan bahasa asing, dan penyerapan bahasa asli dan kemampuan verbal umumnya diduga sangat kuat dari perilaku bahasa asing. Hasilnya menunjukkan kesusastraan bahasa asli sama awalnya dengan kelas pertama berhubungan dengan kemampuan bahasa asing dan perilaku bahasa asing sembilan dan sepuluh tahun yang lalu. Temuan melengkapi dukungan yang kuat untuk berhubungan antara keterampilan bahasa pertama dan bahasa kedua, dan untuk spekulasi bahwa kemampuan tingkat pada proses ponologi penting untuk menulis perkembangan dan kemampuan lisan pada suatu bahasa asing.
18. Berdasarkan laporan penelitiannya, El-Okda (2005: 1) memberikan dua asumsi utama tentang perkembangan kurikulum yang sedang berlangsung yang tidak pernah
101
menuju ke kerangka kurikulum dan paket gambaran materi pembelajaran dihasilkan dan dikenalkan pada sistem pendidikan. Yang lainnya adalah pengembangan kurikulum dan perkembangan profesional tidak dapat dipisahkan. Perkembangan kurikulum di kebanyakan negara Arab mengikuti model top-down sehingga guru hanya mengikuti pola yang ada dalam mengimplimentasikan paket materi pembelajaran. Paparan ini mendebatkan bahwa baik strategi top-down, maupun bottom-up tidak akan efektif dalam reformasi pendidikan yang berkelanjutan. Dahulunya sistem ini dapat membimbing guru mempertahankan atau menginterpretasikan perbaikan; dan selanjutnya dapat menghasilkan sekala lokal dan sekala kecil pada reformasi pendidikan. Suatu model yang menggabungkan strategi top-down dan bottom-up dalam pengembangan kurikulum sangat diharapkan. Model tersebut mengilustrasikan bagaimana tugas berdasarkan penelitian guru dapat menberi semangat dan secara sistematis di sekolah untuk mengijinkan guru membuat masukan pada sistem topdown
mencoba
untuk
mengembangkan
kurikulum.
Saran
praktis
untuk
mengimplementasikan ini konteks Omani dibuat termasuk saran untuk pendidik guru yang mengajar guru sebelum bertugas di lapangan.
19. Berdasarkan studinya, Scholes (2003: 11-16) mengungkapkan bahwa banyak permasalahan yang telah berkembang kadang-kadang terlalu lama membiarkan peneliti menerapkan kata-kata “krisis” pada situasi tersebut. Kadang-kadang Wayne Booth memunculkan bahwa bisa mungkin menyimpan semua penelitian yang ditulis
102
oleh kebanyakan penulis, dan situasi hanyalah memburuk sejak itu. Satu aspek dari situasi ini adalah kondisi sedih dari tekanan universitas dengan menghargai studi kesusastraan. Mengungkap kejadian dalam pembelajaran beberapa tahun yang lalu dengan menggunakan dialog, wawancara pada responden dibutuhkan pemikiran kembali apa yang dibutuhkan. Lupakan belajar, lupakan biasiswa yang paling penting adalah peneliti memfokuskan perhatiannya pada penelitiannya di lapangan. Research adalah peningkatan; termasuklah penemuan atau menemukan sesuatu yang baru. Penelitian membimbing menuju ke teknik dan produk baru, hal ini sangat dihargai. Pengajaran yang baik adalah lebih dari pedagogi. Hal ini perlu belajar secara berkelanjutan. Para lulusan seharusnya mencermati pelajaran yang akan ditanyakan dan menyukai mengajarkannya. Kita harus membantu siswa mempelajari sejarah budaya yang dipilih mereka, minta bantuan dari teman-teman agar disiplin, bila kita perlukan. Kalau kita
mengajar buatlah situasi menjadi situasi yang menyenangkan baik
pembelajar itu sendiri maupun si pengajar itu sendiri. Dengan demikian situasi pembelajaran akan harmonis, nyaman, dan pembelajar akan dapat memahami apa yang dipelajari.
20. Berdasarkan penelitiannya, Prihartono, Nurudin & Sudaryanto (2005:1) mengemukakan bahwa kreativitas guru dalam merancang tugas-tugas komunikatif, membuat prubahan positif yakni: lebih aktif dalam pembelajaran; siswa lebih berani berbahasa Inggris; siswa lebih antusias dalam pembelajaran; guru bahasa Inggris
103
kelas lain dan kepala sekolah mendapat pengetahuan dan pengalaman dalam perancangan dan penerapan tugas-tugas komunikatif serta pengelolaan interaksi gurusiswa; dan guru peneliti lebih percaya diri dalam mengajarkan bahasa Inggris.
F. Kesimpulan dari 20 Kajian Penelitian yang Relevan Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang relevan tersebut di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pada umumnya penelitian yang ada mengembangkan evaluasi terhadap program pembelajaran difokuskan hanya pada hasil belajar siswa semata. 2. Untuk penelitian di luar negeri sudah ada yang mengembangkan evaluasi program pembelajaran yang mencakup input, proses dan hasil belajar siswa, tetapi untuk evaluasi proses belum menjangkau kinerja dan kepribadian guru. 3. Beberapa penelitian di Indonesia sudah ada yang mengembangkan evaluasi yang mencakup penilaian terhadap proses pembelajaran, baik pada aspek proses belajar siswa maupun pada aspek output pembelajaran. Kebanyakan penelitian tentang proses dan output pembelajaran dilakukan secara terpisah, bukan dalam satu kesatuan. 4. Kinerja guru sangat mempengaruhi proses dan output pembelajaran 5. Kepribadian guru dan aktivitas pembelajaran (process) sangat mempengaruhi hasil belajar siswa. 6. Sikap belajar mempunyai pengaruh terhadap proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa.
104
7. Fasilitas yang mendukung pembelajaran mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan kesimpulan berbagai penelitian di atas, pengembangan model evaluasi pembelajaran yang lebih komprehensif dalam pembelajaran bahasa Inggris khusunya untuk jejang SMA sangat diperlukan. Istilah komprehensif dalam penelitian ini memiliki pengertian bahwa penilaian yang dilakukan mempunyai cakupan yang lebih luas, tidak hanya terbatas hasil belajar siswa semata, tetapi juga menjangkau proses pembelajaran bahasa Inggris. Penilaian hasil belajar siswa mencakup kompetensi bahasa Inggris siswa, kemampuan siswa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara lisan maupun secara tulisan. Keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa setelah belajar bahasa Inggris adalah listening, reading, speaking, dan writing.
G. Evaluasi Model Kirkpatrick Kirkpatrick (1998: 131) menggunakan proses yang sistematis untuk mengevaluasi pelatihan di semua level. Proses tersebut berisi langkah-langkah khusus dan kriteria untuk diikuti ketika melakukan suatu studi evaluasi. Ini adalah suatu petunjuk yang dilengkapi dengan spesifikasi proses dan contoh yang membantu pengguna untuk merencanakan, mengembangkan, mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan berbagai tipe data evaluasi di semua level. Ini cukup pliksibel untuk menuntun kita melalui analisis deskriptif sederhana dan cukup rinci untuk membimbing kita melalui studi komparatif dan korelasi kausal. Prosedur
105
pengembangan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal sebagai Evaluating Training Programs: The Four Levels atau Kirkpatrick’s evaluation model. Evaluasi terhadap program training mencakup empat level evaluasi, yaitu: reaction, learning, behavior, dan result. Level evaluasi dan definisi Kirkpatrick dapat dilihat pada Tabel 4. Instrumen Pengumpulan Data Perencanaan
Rencana yang disetujui
Pengembangan
Pengumpulan Data Model Analisis Data
Laporan
Hasil Evaluasi
Kesimpulan
Analisis
Penyelesaian Model Analisis
Instrumen Pengumpulan Data yang Lengkap
Gambar 3: Prosedur Pengembangan Kirkpatrick Sumber: Kirkpatrick (1998: 131)
Tabel 4 Level Evaluasi, Definisi Kirkpatrick Evaluation level Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
Kirkpatrick definition Reaction Learning Behavior Results
Motorola’s use o Customer satisfaction index from participants o Mastery of knowledge and skills o Application of knowledge and skills on the job o Organizational impact
106
1. Evaluasi Reaksi (Evaluating Reaction) Evaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta (customer satisfaction). Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses training yang diikutinya maka mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti training lebih lanjut. Menurut Partners (2006: 5) dalam artikelnya yang berjudul Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus mengatakan bahwa the interest, attention, and motivation of the participants are critical to the success of any training program. People learn better when they react positively to the learning environment. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian dan motivasi peserta training dalam mengikuti jalannya kegiatan training. Orang akan belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar. Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan
107
sampai menu dan penyajian konsumsi yang disediakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif. Dalam menyusun instrumen untuk mengukur reaksi trainee, Kirkpatrick, (1998: 26) menyampaikan prinsip “The ideal form provides the maximum amount of information and requires the minimum amount of time”. Dengan demikian instrumen yang disusun diharapkan mampu mengungkap informasi sebanyak mungkin tetapi dalam pengisian instrumen tersebut diharapkan membutuhkan waktu sesedikit mungkin. Untuk jumlah item dalam instrumen, Partners (2006: 5) merekomendasikan “Include not more than 15–25 questions, designed to obtain both qualitative and quantitative data”. Dengan jumlah item 25 pertanyaan maupun pernyataan kiranya cukup untuk mengungkap informasi yang dibutuhkan terkait dengan reaksi trainee dengan waktu pengisian yang tidak terlalu lama. Karena evaluasi pada level 1 ini difokuskan pada reaksi peserta yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan, maka evaluasi pada level ini dapat disebut
sebagai
evaluasi
terhadap
proses
training.
Naugle
(2000:1)
mengemukakan bahwa model eavaluasi Kirkpatrick (Kirkpatrick’s evaluation model) dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi performance seorang guru tetapi di dalam proses pembelajaran bahasa Inggris berbasis kompetensi, siswa merupakan pengganti peserta training. 2. Evaluasi Belajar (Evaluating Learning)
108
Menurut Kirkpatrick (1998: 20), learning can be defined as the extent to which participants change attitudes, improve knowledge, and/or increase skill as a result of attending the program. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau peningkatan ketrampilan peserta didik setelah selesai mengikuti program. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan ketrampilan. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas program training maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan ketrampilan pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning ini dapat disebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau lebih hal berikut: a). Pengetahuan apa yang telah dipelajari?, b). Sikap apa yang telah berubah?, c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki?. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif. Menurut Kirkpatrick (1998: 40), penilaian terhadap hasil belajar dapat dilakukan dengan: “a control group if practical, evaluate knowledge, skill and/or attitudes both before and after the program, a paper-and-pencil test to measure knowledge and attitudes, and performance test to measure skills. Dengan demikian untuk menilai hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok pembanding. Kelompok yang ikut pelatihan dan
109
kelompok yang tidak ikut pelatihan diperbandingkan perkembangannya dalam periode waktu tertentu. Dapat juga dilakukan dengan membandingkan hasil pretest dengan posttest, tes tertulis maupun tes kinerja (performance test). 3. Evaluasi Perilaku (Evaluating Behavior) Evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti training juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal. Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti program training. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apakah peserta merasa senang setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?. Bagaimana peserta dapat mentransfer pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training untuk diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training. Mengevaluasi outcomes lebih kompleks dan lebih sulit daripada evaluasi pada level 1 dan 2. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok kontrol dengan perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum dan setelah mengikuti training maupun dengan mengadakan survey dan
110
atau interviu dengan pelatih, atasan maupun bawahan peserta training setelah kembali ke tempat kerja (Kirkpatrick, 1998: 49). 4. Evaluasi Hasil (Evaluating Result) Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program training di antaranya adalah kenaikan produksi, peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan penjualan (turnover) dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact program. Tidak semua impact dari sebuah program dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu evaluasi level 4 ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level-level sebelumnya. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta training, mengukur kinerja sebelum dan setelah mengikuti pelatihan, serta dengan melihat perbandingkan antara biaya dan keuntungan antara sebelum dan setelah adanya kegiatan pelatihan, apakah ada peningkatan atau tidak (Kirkpatrick, 1998: 61). 5. Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model Kirkpatrick Dibandingkan dengan model-model evaluasi yang lain, model Kirkpatrick memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1). lebih komprehensif, karena mencakup aspek kognitif, skill dan afektif; 2). objek evaluasi tidak hanya hasil belajar semata
111
tetapi juga mencakup proses, output maupun outcomes; 3). lebih mudah diterapkan (applicable) untuk level kelas karena tidak terlalu banyak melibatkan pihak-pihak lain dalam proses evaluasi. Selain memiliki kelebihan, model Kirkpatrick juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: 1). kurang memperhatikan input, padahal keberhasilan output dalam proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh input; 2). untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit tolok ukurnya juga sudah diluar jangkuan guru maupun sekolah.
H. Kerangka Pikir 1. Diagram Model EPBI Kerangka pikir dalam penelitian ini didasarkan atas penyususnan dan pembangunan model evaluasi pembelajaran bahasa Inggris (EPBI) di jenjang SMA. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa faktor-faktor yang sangat kuat mempengaruhi proses pembelajaran bahasa Inggris adalah kinerja
guru
bahasa inggris, kepribadian guru bahasa Inggris, fasilitas yang mendukung proses pembelajaran bahasa Inggris, perilaku siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Proses pembelajaran bahasa Inggris tersebut akan menghasilkan output berupa kompetensi bahasa Inggris siswa. Keterampilan yang diharapkan yang wajib dikuasai oleh siswa adalah listening, speaking, reading , dan writing. Oleh karena itu, peneliti ingin membangun model evaluasi pembelajaran bahasa Inggris SMA yang efektif dan efisien.
112
Evaluasi menurut model ini bertujuan untuk mengungkap semua komponen yang terkait dengan pembelajaran bahasa Inggris. Pengembangan model evaluasi ini akan menggambarkan Kriteria-Kriteria kompetensi siswa SMA kelas XII yang perlu dinilai dan dievaluasi. Kompetensi siswa SMA kelas XII yang dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara tulisan maupun lisan akan menggambarkan ketercapaian pembelajaran bahasa Inggris di jenjang SMA. Process
Kepribadian Guru B. Inggris
Output
Kinerja Guru Bahasa Inggris
Listening
Pembelajaran B. Inggris Perilaku Siswa
Reading
Kompetensi B.Ing Siswa
Fasilitas
Speaking
Writing
EVALUASI Gambar 4: Diagram Model EPBI
Model evaluasi pembelajaran bahasa inggris ini mengembangkan dan memodifikasi model yang digunakan oleh Kirkpatrick. Tetapi model ini akan mengambil level 1 dan level 2. Level 1, reaction di dalam model Kirkpatrik dapat diartikan sebagai perilaku siswa terhadap proses pembelajaran bahasa Inggris, situasi, kondisi serta fasilitas yang mendukung pembelajaran bahasa Inggris. Kalau
113
semua ini kondusif, reaksi dan perilaku siswa untuk belajar bahasa Inggris akan lebih efektif. Demikian pula tujuan pembelajaran bahasa Inggris dapat dicapai dan siswa dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara tulisan maupun secara lisan. Berdasarkan kerangka pikir tersebut dapat disusun diagram alir model evaluasi pembelajaran bahasa Inggris di jejang SMA sebagai mana digambarkan pada Gambar 4 (empat). 2. Komponen Model EPBI Evaluasi program pembelajaran model EPBI mempunyai dua komponen utama, yaitu proses dan output pembelajaran. Penilaian proses pembelajaran meliputi aspek: kinerja guru bahasa Inggris dalam kelas, kepribadian guru bahasa Inggris, sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris, fasilitas yang mendukung pembelajaran bahasa Inggris. Penilaian output pembelajaran bahasa Inggris meliputi empat keterampilan berbahasa, yaitu: listening, reading, speaking, dan writing. Penilaian proses pembelajaran perlu dilakukan dengan asumsi bahwa proses pembelajaran akan mempunyai pengaruh kuat terhadap output belajar siswa. Proses pembelajaran akan tergantung pada kinerja guru, kepribadian guru, sikap siswa, dan fasilitas pembelajaran dengan asumsi bahwa fasilitas pembelajaran yang kondusif untuk kegiatan pembelajaran akan mempengaruhi kinerja guru. Kinerja guru yang baik akan mampu menumbuhkan proses pembelajaran bahasa Inggris yang kondusif. Fasilitas pembelajaran yang kondusif dengan didukung kinerja guru yang baik akan menumbuhkan reaksi /respon atau perilaku positif siswa dalam belajar, siswa merasa senang dalam belajar. Perilaku
114
positif siswa pada akhirnya mampu meningkatkan output/hasil belajar siswa. Komponen-kompenen tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk bagan pada Gambar 5 berikut yang merupakan kerangka pikir dalam penelitian ini. Kinerja Guru Bahasa Inggris Proses
Pembelajaran
Kepribadian Guru B.Inggris Fasilitas
Model EPBI
Perilaku Siswa Listening Kompetensi B. Inggris Siswa
Speaking Reading Writing
Gambar 5: Komponen Model EPBI 3. Indikator Proses dan Output Pembelajaran Bahasa Inggris Berdasarkan kajian teori di atas, indikator komponen proses dan output pembelajaran bahasa Inggris di jenjang SMA dapat disederhanakan sebagai berikut. a. Kinerja Guru Bahasa Inggris Berdasarkan berbagai macam kompetensi guru yang dikemukakan oleh Samana (1994:123), Hamalik (1991: 43), Kuhlman (Brown, 2004: 109), Richards (2006: 209-210), Allen (Brown, 2001: 432, 434), dan Muijs &
115
Reynold (Jones, Jenkin, & Lord, 2006: 5), beberapa indikator kinerja guru di dalam kelas dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Persiapan a) Guru betul-betul siap dan kelas tertata rapi. b) Materi yang lalu ditinjau ulang dan dikaitkan dengan materi baru. c) Tujuan atau target yang dikomunikasikan cukup jelas. 2) Pembukaan, Pre-Teaching (Warming Up) d) Guru memberi salam (greeting). e) Guru memotivasi siswa. f) Guru mengingatkan pelajaran sebelumnya. 3) Penyajian Materi (Whilst Teaching) g) Materi dijelaskan dengan cara yang dapat dipahami. h) Kegiatan pembelajaran lancar, runtut dan logis. i)
Materi pelajaran disampaikan dengan kecepatan yang sesuai.
j)
Petunjuk yang diberikan jelas dan ringkas dan siswa dapat melaksanakannya.
k) Materi dipresentasikan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa. l)
Metode yang diterapkan sesuai dengan usia dan kemampuan siswa.
m) Guru mengetahui ketika siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi. n) Guru menunjukkan minat dan antusiasme dalam mata pelajaran yang diajarkan.
116
o) Persentase yang tepat dalam kegiatan kelas melibatkan siswa memproduksi bahasa. p) Ada keseimbangan kegiatan yang dilakukan antara guru dan siswa, siswa dan temannya, dan variasi aktivitas selama pembelajaran. q) Guru mampu beradaptasi terhadap situasi yang tidak diantisipasi sebelumnya. r)
Guru mampu mengontrol dan mengarahkan siswa.
s)
Guru memberi pengayaan terhadap materi.
t)
Guru menggunakan pelafalan, intonasi, kelancaran pengucapan, dan penggunaan bahasa yang tepat dan berterima.
u) Guru secara positif memberi dorongan pada siswa. v) Alat bantu pembelajaran atau sumber belajar digunakan secara efektif. w) Guru memberi dorongan dan meyakinkan siswa untuk berpartisipasi penuh dalam kelas. x) Struktur kalimat diambil dari konteks latihan buatan dan diterapkan pada situasi yang nyata dalam budaya dan pengalaman pribadi siswa. y) Persepsi guru kesalahan. z) Koreksi kesalahan dilakukan dengan tepat. aa) Guru mengetahui nama-nama siswa. bb) Suara guru jelas, berirama, dan dapat didengar. cc) Guru bergerak di dalam kelas dan berinteraksi dengan siswa. dd) Guru sabar dalam meminta siswa memberi respon.
117
ee) Drill (latihan) dilakukan dan diberikan secara efektif. ff) Contoh dan ilustrasi digunakan secara efektif. gg) Penampilan pribadi baik. hh) Respon siswa bisa diperoleh secara efektif. ii) Guru dan siswa punya inisiatif, berdaya guna, dan kreatif. jj) Guru menjawab pertanyaan dengan seksama dan memuaskan. kk) Para siswa merasa bebas untuk bertanya, menyanggah, atau mengekspresikan gagasan mereka sendiri. ll) Para siswa memperhatikan dan merasa terlibat. mm) Para siswa merasa nyaman dan santai, bahkan selama kegiatan yang menekankan pada kemampuan berpikir secara intens. nn) Para siswa diperlakukan secara adil, tidak memihak, dan dihargai. oo) Para siswa didorong untuk melakukan yang terbaik. pp) Guru bersikap tenang dan memberi tanggapan dan berbicara sesuai dengan keadaan. qq) Guru menyadari akan kebutuhan pribadi dan kelompok. rr) Digresi (penyimpangan dari materi pokok) dilakukan secara positif dan tidak berlebih-lebihan. 4) Penutupan (Closing) ss) Guru mengajak siswa untuk menyimpulkan pelajaran yang telah dilaksanakan.
118
tt) Guru mengecek pemahaman siswa dengan mengajukan beberapa pertanyaan. uu) Guru memberi semangat kepada siswa untuk belajar mandiri di rumah. vv) Guru mengucapkan salam perpisahan sebelum keluar kelas. Penilaian kinerja guru bahasa Inggris dalam kelas dilakukan oleh siswa, pimpinan sekolah, teman sejawat (fellow teacher), dan self report dari guru bahasa Inggris sendiri. b. Kepribadian Guru Bahasa Inggris Selain menguasai kompetensi akademik, seorang guru bahasa Inggris seharusnya memiliki kepribadian, karakter yang baik. Merujuk pada (pasal 28 ayat 3 PP Nomor 19 tahun 2005) tentang Standar Pendidikan Nasional dan (pasal 10 ayat 1 UU Nomor 14 tahun 2005) tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kriteria-kriteria yang disebutkan oleh Nasution (Samana, 1994: 58) menunjukkan ciri guru yang disenangi oleh siswanya. Selain menguasai kompetensi akademik dan pedagogis, seorang guru bahasa Inggris harus memiliki kepribadian dengan kreteria-kreteria yang menunjukan ciri guru yang disenangi oleh siswanya. Merujuk Nasution (Samana, 1994: 58), Hamalik (1991: 41), (pasal 28 ayat 3 PP Nomor 19 tahun
119
2005), dan (pasal 10 ayat 1 UU Nomor 14 tahun 2005), ada beberapa ciri atau kriteria utama guru yang disenangi oleh siswanya, yaitu: 1) senang membantu siswa dalam pekerjaan sekolah, 2) berperangai riang, 3) berperasaan humor, 4) rela menerima lelucon atas dirinya, 5) bersikap bersahabat, 6) sabar dalam meminta siswa memberi respon, 7) suara jelas, berirama, dan dapat didengar, 8) penampilan pribadi baik, 9) punya inisiatif, berdaya guna, dan kreatif, 10) menggunakan pelafalan, intonasi, kelancaran pengucapan, dan penggunaan bahasa yang tepat dan berterima, 11) merasa menjadi anggota dari kelompok kelas, 12) penuh perhatian kepada setiap siswa, 13) tidak pilih kasih, 14) berusaha memahami keadaan siswa , 15) menghargai pendapat siswa, 16) bersifat korektif, 17) mampu membangkitkan semangat serta keuletan belajar siswa, 18) bertindak tegas, 19) dapat membangkitkan rasa hormat dari siswa kepada guru,
120
20) tidak pernah menghina siswa, 21) tidak pernah bertindak sarkastis, 22) memberikan sesuatu yang bermakna kepada siswanya, 23) berkepribadian yang menyenangakan siswa, dan 24) pantas menjadi panutan para siswa. Penilaian kepribadian guru bahasa Inggris dilakukan oleh siswa, pimpinan sekolah, teman sejawat (fellow teacher). Penilaian kepribadian guru bahasa Inggris di dalam kelas dilakukan dengan angket skala Likert. c. Perilaku Siswa Berdasarkan indikator sikap dan perilaku siswa yang dikemukakan Depdiknas (2003: 53), Shaw & Wright (1967: 4), “concern for others” (Henerson, Morris, & Fitz-Gibbon, 1978:46), indikator perilaku siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Siswa menjawab ucapan salam dari guru bahasa Inggris, 2) Siswa sudah menyiapkan buku pelajaran bahasa Inggris di atas meja mereka sebelum guru masuk kelas, 3) Siswa membentuk kelompok atau berpasangan ketika mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya, 4) Siswa memperhatikan penjelasan guru, 5) Apabila siswa memahami penjelasan guru, siswa mengucapkan “yes” atau mengangguk-anggukkan kepalanya,
121
6) Siswa bertanya kepada guru apabila ada materi pelajaran yang kurang jelas dalam bahasa Inggris, 7) Jika siswa tidak mempunyai kesempatan bertanya kepada guru, siswa bertanya kepada teman di dekatnya, 8) Siswa tidak pernah berpindah tempat duduk atau berdiri selama pelajaran berlangsung, 9) Siswa menunjukkan pekerjaannya yang sudah selesai dikerjakan untuk diperiksa oleh gurunya, dan 10) Siswa ikut mengemukakan kesimpulan pelajaran. Sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris dinilai dengan menggunakan angket sikap skala Likert. d. Fasilitas Pembelajaran Merujuk indikator yang dikemukakan oleh Richards (2006: 207), indikator fasilitas pembelajaran yang mendukung terwujudnya proses pembelajaran bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) ketersediaan kursi dan meja, 2) ketersediaan papan tulis, kapur, boardmarker, 3) ketersediaan buku pegangan pelajaran bahasa Inggris, 4) ketersediaan sumber belajar (seperti: buku tambahan, surat kabar, majalah yang berbahasa Inggris, dan internet), 5) ketersediaan kamus lengkap bahasa Inggris,
122
6) ketersediaan rekaman kaset, video, dan CD/DVD untuk pelajaran bahasa Inggris
,
7) ketersediaan video/CD/DVD player, 8) ketersediaan audio, visual (tape recorder, sound system, dan monitor ), 9) ketersediaan alat peraga untuk pembelajaran bahasa Inggris (seperti: gambar, flow Chart), dan 10) ketersediaan teknologi/media pembelajaran bahasa Inggris (OHP, LCD, komputer, dll.). Fasilitas yang mendukung pembelajaran bahasa Inggris dinilai dengan menggunakan angket skala Likert.
e. Output Pembelajaran Bahasa Inggris Siswa Kompetensi bahasa Inggris siswa adalah kompetensi yang dimiliki oleh siswa dalam berkomunikasi bahasa Inggris baik secara tertulis maupun secara lisan. Kompetensi bahasa Inggris siswa merupakan output dari proses pembelajaran bahasa Inggris di dalam konteks pembelajaran. Dari output ini terlihat ketercapaian standar kompetensi bahasa Inggris siswa. Kompetensi bahasa Inggris siswa mencakup: listening, speaking, reading, dan writing.
Penilaian kompetensi bahasa Inggris siswa dalam model ini dilakukan oleh guru atau peneliti sendiri. Adapun instrument penilaian menyesuaikan dengan kompetensi dasar dan indikator yang dikembangkan dalam program pembelajaran bahasa Inggris. Berdasarkan kompetensi dasar yang dituntut
123
dalam kurikulum mata pelajaran bahasa Inggris di SMA, ada empat instrument yang dapat digunakan untuk menilai kompetensi bahasa Inggris siswa SMA kelas XII, yaitu test listening, reading, speaking, dan writing. 4. Kelebihan dan Keterbatasan Model EPBI Dibandingkan dengan model evaluasi pembelajaran yang selama ini dipakai di sekolah, model ini memiliki kelebihan sebagai berikut: a) Lebih komprehensif, karena objek evaluasi tidak hanya terbatas pada output belajar siswa semata tetapi juga mencakup penilaian proses pembelajaran. Penilaian terhadap output pembelajaran tidak hanya terbatas pada kompetensi bahasa Inggris siswa saja tetapi juga menjangkau penilaian komponen bahasa Inggris yang dipelajari dalam proses pembelajaran bahasa Inggris sehingga informasi yang diperoleh dari hasil evaluasi pembelajaran akan lebih lengkap, b) Model ini relatif lebih sederhana tanpa mengurangi kelengkapan informasi yang dibutuhkan dalam evaluasi pembelajaran bahasa Inggris, c) Karena penggunaan Model EPBI ini relatif lebih sederhana sehingga tingkat keterlaksanaannya cukup tinggi, d) Penggunaan model ini tidak tergantung pada setting maupun konteks pembelajaran, e) Penggunaan model ini tidak tergantung pada pendekatan pengajaran yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris, dan f) Penggunaan model ini tidak tergantung pada kurikulum yang berlaku pada saat pelaksanaan evaluasi.
124
Salah satu kelemahan model EPBI ini adalah tidak melibatkan penilai independen dari luar, hanya mengandalkan penilaian dari pihak intern sehingga dimungkinkan dapat mengurangi tingkat objektivitas hasil penilaian. Untuk mengatasi kelemahan ini dapat dilakukan dengan mengadakan crosscheck hasil penilaian antarkomponen penilaian maupun antar sumber data, misalnya penilaian kinerja guru dapat dilakukan crosscheck antara versi siswa, versi guru maupun pimpinan
sekolah.
Crosscheck
antarkomponen
penilaian,
misalnya
membandingkan antara hasil penilaian proses pembelajaran dengan output pembelajaran. Perbedaan hasil penilaian yang terlalu mencolok perlu ada analisis lebih lanjut, baik mengenai keakuratan data maupun validitas dan reliabilitas instrumen penilaian. Model ini tidak mempermasalakan siswa sebagai input, karena siswa dianggap sama penegetahuannnya, sudah lulus tes masuk SMA sehingga model ini cukup melihat hasil (output) pembelajaran bahasa Inggris.
I. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Model evaluasi pembelajaran bahasa Inggris yang bagaimanakah yang dapat memberikan informasi bagi sekolah, baik dari segi isi, cakupan, format maupun waktu penyampaian serta bermanfaat secara optimal bagi pembelajaran bahasa Inggris di jenjang SMA? 2. Komponen-komponen apa yang dimiliki oleh Model EPBI ini?
125
3. Bagaimana hasil penilaian pakar, pemakai (user) dan praktisi tentang model EPBI ini? 4. Apa yang mendukung penilaian model EPBI ini?
126