BAB II Kajian Pustaka 2.1.
Pengertian Kecemasan Kecemasan (Anxiety) sebetulnya merupakan reaksi normal terhadap
situasi yang menekan. Namun dalam beberapa kasus, menjadi berlebihan dan dapat menyebabkan seseorang ketakutan yang tidak rasional terhadap sesuatu hal. Kecemasan berbeda dengan phobia (fobia), karena tidak spesifik untuk situasi tertentu.
Kecemasan dapat menyerang siapa saja, setiap saat, dengan atau tanpa alasan apapun.Kecemasan berhubungan dengan sesuatu yang dirasa mengancam. Berbeda dengan rasa takut yang jelas objeknya, kecemasan terkadang tidak jelas objek mengapa seseorang menjadi cemas. Bahkan, jika seseorang sering cemas terhadap sesuatu, bisa mengembangkan kepribadian cemas.
Kecemasan merupakan sebuah fenomena kognitif, dimana seseorang merasa sesuatu akan terjadi diluar kehendak dan tidak bisa diprediksi. Kecemasan akan diperparah jika, seseorang merasa tidak sanggup menghadapinya karena meragukan kemampuan diri sendiri.
Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis (Tomb, 2000). Stuart (2001) mengatakan kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki
14
objek yang spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Menurut Wignyosoebroto, dikutip oleh Purba, dkk. (2009), takut mempunyai sumber penyebab yang spesifik atau objektif yang dapat diidentifikasi secara nyata, sedangkan cemas sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk secara nyata dan jelas.
Suliswati, (2005) mengatakan bahwa kecemasan sebagai respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya.
Menurut Nevid (2005), Kecemasan dapat menjadi reaksi emosional yang normal dibeberapa situasi, tetapi tidak disituasi lain. Sumadinata (2004) mengatakan bahwa seseorang yang merasa khawatir karena menghadapi situasi yang tidak bisa memberikan jawaban yang jelas, tidak bisa mengharapkan sesuatu pertolongan, dan tidak ada harapan yang jelas akan mendapatkan hasil. Kecemasan dan kekhawatiran yang ringan dan menjadi sebuah motivasi. Sedangkan kecemasan dan kekhawatiran yang kuat dan negatif dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis.
15
Ciri-ciri kecemasan (Nevid, 2003) adalah berupa:
Secara fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan dan anggota tubuh yang bergetar atau gemetar, banyak berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, jantung berdebar keras atau bertak kencang, pusing ,merasa lemas atau mati rasa,sering buang air kecil, merasa sensitif, atau mudah marah.
Cara behavioral meliputi perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependent, perilaku terguncang.
Secara kognitif meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu ata ketakutanatau aphensi terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi tanpa penjelasan yang jelas, ketakutan akan kehilangan control, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa semuanya tidak bisa lagi dikendalikan,
merasa
sulit
memfokuskan
pikiran
dan
berkonsentrasi.
Kecemasan (anxiety) sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang jelas. Terkadang, seseorang
menghadapi
kecemasan
sebagai
sebuah
tantangan
sehingga
mempersiapkan sesuatu untuk menghadapinya. Hal ini yang akan memberikan hasil yang positif. Tetapi terkadang pula, kecemasan membuat seseorang tidak berdaya, dan merasa tidak mampu menghadapi kecemasan itu sehingga ingin lari 16
dari masalahnya dengan mengembangkan defence mechanism (mechanism pertahanan diri/ego).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan itu sendiri merupakan sebuah fenomena kognitif, dimana seseorang merasa sesuatu akan terjadi diluar kehendak dan tidak dapat diprediksi. Kecemasan itu sendiri akan diperparah jika seseorang merasa tidak sanggup menghadapinya karena meragukan kemampuan diri sendiri.
Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang jelas. Ada tiga ciri-ciri kecemasan, yaitu secara fisik, tingkah laku, dan kognitif.
2.1.1. Faktor-Faktor Timbulnya Kecemasan Penyebab terjadinya kecemasan sukar untuk diperkiraan dengan tepat. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat subyekif dari kecemasan, yaitu : Bahwa kejadian yang sama belum tentu dirasakan sama pula oleh setiap orang. Dengan kata lain suatu rangsangan atau kejadian dengan kualitas den kuantitas yang sama dapat diinterprestasikan secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Teori kognitif menyatakan bahwa reaksi kecemasan timbul karena kesalahan mental. Kesalahan mental ini karena kesalahan menginterpetasikan suatu situasi yang bagi individu merupakan sesuatu yang mengancam. Melalui teori belajar sosial kognitif, Bandura menyatakan bahwa takut dan kecemasan di 17
hasilkan dari harapan diri yang negatif karena mereka percaya bahwa mereka tidak dapat mengatasi dari situasi yang secara potensial mengancam bagi mereka.
Secara
sederhana
kecemasan
dapat
disebabkan
karena
individu
mempunyai rasa takut yang tidak realistis, karena mereka keliru dalam menilai suatu bahaya yang dihubungkan dengan situasi tertentu, atau cenderung menaksir secara berlebihan suatu peristiwa yang membahayakan. Kecemasan juga dapat di sebabkan karena penilaian diri yang salah, dimana individu merasa bahwa dirinya tidak mampu mengatasi apa yang terjadi atau apa yang dapat dilakukan untuk menolong diri sendiri.
2.1.2. Tanda dan Gejala Kecemasan Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukan atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut (Hawari, 2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004), antara lain sebagai berikut :
Gejala Psikologis : pernyataan cemas/khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, mersa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
Gangguan konsentrasi dan daya ingat
18
Gejala somatic : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepalam gangguan perkemihan, tangan terasa dingin dan lembab, dan lain sebagainya.
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan timbulnya kecemasan (Kaplan & Sadock, 1998). Menurut Stuart (2001) pada orang yang cemas akan muncul beberapa respon yang meliputi :
1. Respon Fisiologis
Kardiovaskular
:
palpitasi,
tekanan
darah
meningkat,tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.
Pernafasan : nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan terengah-engah
Gastrointestinal : nafsu makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual dan diare
Neouromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing
Traktus urinerius : sering berkemih
Kulit : keringat dingin, gatal, wajah kemerahan
19
2. Respon Perilaku
Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal dan melarikan diri dari masalah.
3. Respon Kognitif
Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual dan takut cedera atau kematian.
4. Respon Afektif
Respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan malu.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan memiliki beberapa tanda dan gejala, diantaranya gejala psikologis seperti firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, dll. Dan
20
gejala somatic seperti jantung berderbar debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, bahkan kehilangan kontrol diri.
2.1.3. Tingkat Kecemasan Peplau dikutip dari stuart (2001), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan.
1. Cemas Ringan Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya, seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. 2. Cemas Sedang Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan
sesuatu
yang
lebih
terarah.
Kecemasan
ini
mempersempit lapang persepsi individu, seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan menggenggam berkurang. 3. Cemas Berat Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang 21
terperinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memusatkan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. 4. Panik Penik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan, hal itu dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas motoril, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Individu yang mengalami panik juga tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat.
Menurut Hawari (2004), tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain adalah sebagai berikut :
22
1. Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung. 2. Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah. 3. Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak. 4. Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk. 5. Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun dan daya ingat buruk. 6. Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, perasaan berubah-ubah sepanjang hari. 7. Gejala somatik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil. 8. Gejala somatik (sensorik) : tinnitus (telingqa berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan pernah ditusuk-tusuk. 9. Gejala kardiovaskuler : denyut
jantung cepat, berdebar-debar,
nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/berhenti sekejap. 10. Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sempit di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas dan nafas pendek/sesak.
23
11. Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB konsistensinya lembek, sukar BAB dan kehilangan berat badan. 12. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan, darah haid berlebihan, darah haid sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapankali dalam sebulan, menjadi dingin. 13. Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing dan terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri. 14. Tingkah laku/sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kening/dahi berkerut, wajah tegang, otot tegang/mengeras, nafas pendek.
Berdasarkan penjelasan diatas kecemasan dapat digolongkan kedalam empat tingkatan, yaitu cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, dan panik. Cemas ringan merupakan kecemaswan yang normal dan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan ini dapat memotivasi belajr dan kreativitas. Sementara itu cemas sedang dapat memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga
24
seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan, individu tersebut memusatkan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
Panik berhubungan dengan ketakutan dan teror. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan, hal itu dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Individu yang mengalami panik juga tidak mampu berkomunikasi secara efektif.
2.1.4. Rentang Respon Kecemasan Menurut Stuart (2001), rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentan yang paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi merespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami gangguan fisik dan psikososial.
25
Rentang Respon Kecemasan Respon Adaptif
Antisipasi
Respon Maladaptif
Ringan
Sedang
Berat
Panik
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa rentang respon seseorang terhadaqp kecemasan berfuluktuasi antara respon adaptif dengan respon maladaptif. Dimana antara respon adaptif dengan maladaptif terdapat lima tingkatan yaitu antisipasi, ringan, sedang, berat, panik.
2.1.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan Suliswati, (2005) mengatakan bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan, yaitu :
1. Faktor Predisposisi Penyebab kecemasan dapat dipahami melalui beberapa teori seperti yang dikemukakan oleh Stuart (2001).
Teori Psikoanalitik Pandangan psikoanalitik menyatakan kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id
26
dan superego. Id mewakili dorongan insting dan implus primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
Teori Interpersonal Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan,
yang menimbulkan kelemahan spesifik. Individu dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan kecemasan yang berat. Kecemasan yang berhubungan dengan ketakutan ini dapat terjadi pada orang tua dapat juga anak itu sendiri yang mengalami tindakan pemasangan infus. Tindakan pemasangan infus akan menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut dilaksanakan. Keadaan tersebut dapat membuat orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri (Sulistiyani. 2009).
27
Teori Perilaku Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor tersebut
bekerja
menghambat
usaha
seseorang
untuk
memperoleh kepuasan dan kenyamanan.Kecemasan dapat terjadi pada anak yang dirawat di rumah sakit dan dipasang infus akibat adanya hambatan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya, seperti bermain dan berkumpul bersama keluarganya (Supartini, 2004)
Teori Keluarga Teori keluarga menunjukan bahwa kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan ini terkait dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga. Anak yang
akan
dirawat
di
rumah
sakit
merasa
tugas
perkembangannya dalam keluarga akan terganggu sehingga dapat menimbulkan kecemasan.
Teori Biologis Teori biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin. Respetor ini mungkin membantu mengatur kecemsan. Penghambat asam aminobutirik-gamma neuroreulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan.
28
Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadapa kecemasan. Kecemasan mungkin disertqai gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
2. Faktor Presipitasi Stuart (2001) mengatakan bahwa faktor presipitasi/stressor pencetus dikelompokan dalam dua kategori, yaitu :
Ancaman Terhadap Intergritas Fisik Ancaman terhadapa intergritas fisik seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kepasitas untuk melakukan
aktivitas
hidup
sehari-hari.
Kejadian
ini
menyebabkan kecemasan dimana timbul akibat kekhawatiran terhadap tindakan pemasangan infus yang membengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan. Pada anak yang dirawat di rumah sakit timbul kecemasan karena ketidakmampuan fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bermain, belajar bagi anak usia sekolah, dan sebagainya.
Ancaman Terhadap Rasa Aman
29
Ancaman ini terkait
terhadap rasa aman yang dapat
menyebabkan terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap sistem diri seseorang yang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang. Ancaman ini dapat terjadi pada anak yang akan dilakukan tindakan pemasangan infus dan bisa juga terjadi pada orang tou. Ancaman yang terjadi pada orang tua dapat disebabkan karena orang tua merasa bahwa anak mereka akan menerima pengobatan yang membuat anak bertambah sakit atau nyeri. Orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri (Sulistiyani, 2009).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kecemasan itu sendiri, yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi dapat dipahami melalui beberapa teori yaitu, teori psikoanalitik, teori interpersonal, teori perilaku, teori keluarga, dan teori biologis. Sedangkan untuk faktor presipitasi dikelompokan dalam dua kategori, yaitu ancaman terhadap intergritas fisik dan ancaman terhadap rasa aman.
2.2.
Pengertian Perilaku Kerja Perilaku kerja menurut Robbins (2002) yaitu bagaimana orang-orang
dalam lingkungan kerja dapat mengaktualisasikan dirinya melalui sikap dalam bekerja. Dimana pendapat Robbins ini menekankan pada sikap yang diambil oleh 30
pekerja untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan di lingkungan tempat kerja mereka.
Ada delapan paradigma di tingkat perilaku kerja yang membuahkan delapan perilaku kerja utama yang sanggup menjadi basis keberhasilan baik ditingkat pribadi, organisional maupun sosial yang dikemukakan oleh Sinamo (2002) dalam Wathon, (2005) yaitu :
1. Bekerja tulus 2. Bekerja tuntas 3. Bekerja benar 4. Bekerja keras 5. Bekerja serius 6. Bekerja kreatif 7. Bekerja unggul 8. Bekerja sempurna
Perilaku kerja sangat penting untuk mencapai suatu keberhasilan di tingkat pribadi, organisional maupun sosial. Oleh karena itu melalui delapan pradigma perilaku kerja uta,a ini yang disusun oleh Sinamo (2002) dalam Wathon, (2005) diharapkan akan membentuk suatu perilaku kerja yang konsisten dan positif di dalam setiap kehidupan bekerja.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian perilaku kerja itu sendiri adalah bagaimana seseorang dapat mengaktualisasikan
31
dirinya melalui sikap dalam bekerja. Sinamo (2002) juga menyusun delapan paradigma di tingkat perilaku kerja, yaitu bekerja tulus, bekerja tuntas, bekerja benar, bekerja keras, bekerja serius, bekerja kreatif, bekerja unggul, bekerja sempurna. Delapan paradigma ini diharapkan akan membentuk suatu perilaku kerja yang konsisten dan positif dalam setiap kehidupan bekerja.
2.2.1. Perilaku Kerja Menurut Gender Gray (2002), dalam Wathon, (2005) mengemukakan bahwa antara pria dan wanita harus mengetahui bahwa perbedaan gender bisa mempengaruhi perilaku kerja mereka. Tanpa disadari oleh pria dan wanita, banyak ucapan atau perilaku yang dianggap wajar oleh masing-masing gender dapat menyinggung perasaan dan harga diri lawan jenis. Hal ini tentu saja mengakibatkan konflik yang ujungujungnya juga dapat mempengaruhi perilaku kerja serta mengganggu suasana kerja yang nyaman.
Gray (2002), dalam Wathon, (2005) juga berpendapat bahwa dibutuhkan pemahaman dan wawasan yang mendalam untuk mengurangi konflik dalam setiap perilaku kerja yang ada. Solusinya dengan menciptakan iklim atau lingkungan kerja yang sehat serta komunikasi antara pria dan wanita yang sesuai dengan “bahasa” masing-masing gender.
Menurut Gray (2002), dalam Wathon, (2005) untuk menciptakan perilaku kerja yang baik harus memperhatikan komunikasi pria dan wanita, perasaan di
32
tempat kerja menetapkan batasan dalam tiap perilaku kerja, serta mengingat berbagai perbedaan yang ada.
2.2.2. Indikator Perilaku Kerja Indikator menurut kamus Oxford (2000) dalam Wathon, (2005) is a sign that shows you what something is like or how situation is changing. Yang artinya yaitu suatu petunjuk atau tanda yang ditunjukan atau tanda yang menunjukan bagaimanakah dengan suatu keadaan atau bagaimana suatu situasi berubah-ubah. Di dalam perilaku kerja juga terdapat indikatornya, dimana indikator tersebut merupakan hal-hal yang dapat mengukur sampai sejauh mana perilaku kerja dapat berperan ditempat kerja.
Menurut Anthony dan Jansen dalam Wathon, (2005) ada tiga macam indikator yang benar-benar mempengaruhi perilaku kerja yaitu : getting alog, doing the job, being dependable.
Indikator yang pertama getting alog (keramahtamahan), menurut kamus Idiomatik NTC’s dalam Nasrul Wathon, (2005) yaitu (for people or other creatures) to be amiable with one another, yang memiliki arti ramah terhadap satu dengan yang lainnya. Contohnya yaitu seperti hubungan antar para pekerja dan atasan. Hal ini bahwa suatu hubungan yang ramah dapat mempengaruhi perlaku kerja antar pekerja dan atasan. (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
33
Indikator kedua yaitu Doing the job (melakukan pekerjaan contoh: kualitas pekerjaan) yang bearti melakukan suatu pekerjaan harus dilakukan dengan baik agar dapat mengukur suatu kualitas pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Indikator yang ketiga yaitu being dependable (dapat diandalkan dalam hal ini contohnya ketetapan waktu) menurut osford dictionary “being dependable” is that can be relief on to do what you want or need. Yang artinya seorang pekerja harus bisa diandalkan contoh seperti ketetapan waktu untuk masuk kerja atau menghadiri rapat. (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Greffitsh dalam Wathon, (2005) dan menyimpulkan bahwa ada tempat indikator yang berhubungan dengan perilaku kerja yaitu: social relationshipresponse to supervision, task competence, work motivation, initiative-confidense.
Indikator yang pertama social relationship-response to supervision (hubungan sosial) yang artinya seorang pekerja harus memiliki hubungan sosial yang baik dengan pekerjaan yang lain. Dimana masing-masing pekerja harus mengawasi rekan kerja bertindak di jalan yang benar dan mengingatkan apabila ada kesalahan (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Indikator yang kedua yaitu Task competence (kemampuan untuk melakukan pekerjaan) memiliki arti ada tanggung jawab kesadaran dari para pekerja dalam melaksanakan seluruh tugasnya karena mereka memiliki hal
34
kemampuan untuk melakukan hal tersebut (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Indikator yang ketiga work motivation (motivasi kerja) yang memiliki arti ada kemauan untuk berkerja untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005). Indikator yang keempat yaitu initiative-confidense (inisiatif-percaya diri).
Bryson et al. dalam Wathon, (2005) berpendapat bahwa ada empat indikator yang berpengaruhi perilaku kerja yaitu coorperativeeness-social skills, work quality, work habits, personal presentasion.
Indikator yang pertama coorperativeness-social skills (kemampuan berhubungan
sosial)
menurut
oxford
(2000)
dalam
Wathon,
(2005)
coorperativeness is invloving doing something together or working together with other towards a shared aim. Yang memiliki arti yaitu mengandalkan kemampuan sosial untuk bekerja sama dengan antar pekerja untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Indikator yang kedua yaitu work quality (kualitas pekerjaan) yang artinya para pekerja harus menunjukan kualitas kerja yang baik agar dapat diakui dengan dihargai (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Indikator yang ketiga yaitu work habits (kebiasaan kerja) yang memiliki arti kebiasaan kerja dihubungkan dengan perilaku yang positif dan negatif di tempat kerja (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
35
Indikator yang keempat yaitu personal presentation (pengendalian diri contoh, tidak menjadi mudah marah atau agresif dan tidak berprilaku aneh) yang artinya profesional dalam bekerja (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Menurut Tsang dan Chiu (2000) dalam Wathon, (2005) ada tiga indikator penting yang mempengaruhi perilaku kerja yaitu, social behaviour, vocational skill, general behaviour. Indikator yang pertama adalah social behaviour (hubungan sosial) yaitu dapat menunjukan perilaku sosial yang sesuai dengan aturan dan norma yang ada ditempat kerja (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
Indikator yang kedua adalah vocational skill (keahlian atau kemampuan berdasarkan kejuruan), menurut oxford (2000) dalam Wathon, (2005) vocational skill is connected with the skills, knowledge. That you need to have in order to do a particular jon. Yang artinya hal tersebut berhubungan dengan kemampuan dan pengetahuan. Dan hal tersebut dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Contohnya yaitu kemampuan kejuruan memasak dibutuhkan oleh seorang koku sehingga keahlian memasaknya yang sesuai dengan kejuaruan yang diambil diperlukan di tempat di bekerja.
Indikator yang terakhir yaitu general behaviour (perilaku umum) yang memiliki arti perilaku umum yang ditujukan akan dapat diketahui untuk mendeteksi perilaku kerja para karyawan (Michon, Kroon, Weeghel dan Schene dalam Wathon, (2005).
36
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa didalam perilaku kerja juga terdapat indikatornya, dimana indikator tersebut merupakan hal-hal yang dapat mengukur sampai sejauh mana perilaku kerja dapat berperan di tempat kerja. Ada banyak tokoh yang menjelaskan macam-macam indikator perilaku kerja itu sendiri, salah satunya adalah indikator kerja menurut Bryson dalam Wathon, (2005) berpendapat bahwa ada empat indikator yang berpengaruh terhadap perilaku kerja yaitu cooperativeeness-social skills, work quality, work habits, personal information.
2.2.3. Faktor-Faktor Perilaku Kerja Perilaku
kerja
memiliki
faktor-faktor
yang
mendorong
untuk
menimbulkan perilaku kerja itu sendiri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kerja di tempat kerja yaitu :
Lingkungan kerja, di dalam suatu lingkungan kerja harus benar-benar dapat memberikan rasa aman bagi para pekerja. Para pekerja atau karyawan menaruh perhatian yang benar terhadap lingkungan kerja, baik dari segi kenyamanan pribadi maupun kemudahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Lingkungan fisik yang aman, nyaman, bersih dan memiliki tingkat gangguan minimum sangat disukai oleh para pekerja. Robbins, (2002)
Konflik, konflik dapat konstruktif atau deskruktif terhadap fungsi dari suatu kelompok atau unit. Tapi sebagian besar 37
konflik cenderung merusak perilaku kerja yang baik karena konflik akan mengahambat pencapaian tujuan dari suatu pekerjaan. Robbins, (2002)
Komunikasi, dalam memahami perilaku kerja, komunikasi merupakan salah satu faktor terpenting yang berpersan sebagai penyampaian dan pemahaman dari sebuah arti. Robbins, (2002).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kerja seseorang yaitu faktor lingkungan kerja, dimana jika lingkungan kerja itu memberikan rasa aman baik dari segi kenyamanan, kebersihan, maka perilaku kerja seseorang itu juga akan baik. Faktor konflik yang bersifat konstruktif atau deskruktif, dan faktor komunikasi.
2.3.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan rumusan masalah pokok penelitian diatas, dapat diidentifikasi
variabel-variabel yang saling terkait adalah variabel kecemasan sebagai variabel bebas (X) dan variabel perilaku kerja adalah variabel terikat (Y). Dimana variabel kecemasan memiliki dimensi-dimensi yang dapat mempengaruhi kecemasan, yaitu: fisik, behaviorial, kognitif. Sedangkan variabel perilaku kerja dipengaruhi oleh: kemampuan berhubungan sosial, kualitas pekerjaan, kebiasaan kerja dan pengendalian diri. Digambarkan seperti gambar berikut :
38
Bagan 2.1. Kerangka Pemikiran
Kecemasan (X)
Perilaku Kerja (Y)
1. Fisik 2. Behaviorial 3. Kognitif
2.4
1. Kemampuan berhubungan sosial 2. Kualitas pekerjaan 3. Kebiasaaan kerja 4. Pengandalian diri
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan penelitian dan kajian pustaka,
maka variabel bebas penelitian ini adalah kecemasan. Sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah perilaku kerja. Maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1 =
Ada hubungan antara kecemasan dengan perilaku kerja karyawan kontrak pada PT.MARUNI GLASS.
39