BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Panjang Langkah pada Pasien Osteoartritis Lutut Pada kasus osteoartritis lutut terdapat gangguan pada sendi lutut, salah
satunya adalah gangguan panjang langkah. Untuk lebih mengetahuinya akan dibahas hal-hal dibawah ini.
2.1.1
Pengertian Osteoartritis Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi. Osteoartritis memiliki gambaran patologis yang karakteristik berupa memburuknya sendi, serta terbentuknya tulang-tulang baru (osteofit) pada tepi-tepi tulang yang membentuk sendi, sehingga terjadi perubahan biokimiawi, metabolisme fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan hialin rawan sendi, jaringan subkondral, dan jaringan tulang yang membentuk persendian (Goodman, 2002).
2.1.2
Patologi Osteoartritis Terdapat dua perubahan morfologi utama pada osteoartritis lutut, yaitu
kerusakan tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang baru pada tulang rawan dan tepi sendi (osteofit). Perubahan mana yang lebih dulu timbul, keterkaitannya dan patogenesisnya sampai sekarang belum dimengerti benar , oleh karena osteofit dapat timbul pada saat tulang rawan sendi masih kelihatan
normal. Tulang rawan sendi yang normal berwarna kebiruan, tembus cahaya. Rawan sendi yang mengalami osteoartritis akan mengalami perubahan warna menjadi buram kekuningan. Permukaan sendi menjadi tak beraturan dan membengkak, kemudian diikuti erosi. Erosi semula timbul setempat, lalu menyebar sampai daerah yang luas dari permukaan. Semua kejadian ini dipermukaan sendi, kemudian kebagian tengah dan seluruh tulang rawan di bawah tulang. Lebih lanjut terjadi perubahan sehingga akan timbul eksostosis atau taji suatu osteofit, fase proliferatif, dan meningkatnya proses anabolik sintetik. Perubahan tersebut diawali dengan peningkatan kandungan air di tulang rawan hingga timbul pembengkakan yang menimbulkan permukaan tidak halus. Kemudian diikuti mitosis kondrosit dan berkurangnya matrik proteoglikan. Selanjutnya terjadi destruksi enzimatik dari jaringan keras dan kandungan glikosaminoglikan berkurang. Oleh karena tidak ada peningkatan jaringan kolagen, maka jaringan kolagen ini menjadi lebih longgar sebagai akibat pembengkakan (Goodman, 2002). Sering pula terjadi pembentukan kista dekat persendian. Perubahan ini diperkirakan karena tingginya desakan yang disalurkan melewati cairan synovial ke tulang subkondral. Kemungkinan lain terjadinya kista adalah karena robeknya jaringan setempat atau mikrofraktur dalam tulang subkondral yang iskemik. Kista bisa menjadi sangat besar dan pecah, sehingga permukaannya menjadi tidak teratur. Serpihan rawan sendi yang terapung dalam cairan sendi akan difagosit oleh sel-sel membran sinovial dan terjadi reaksi radang (Goodman, 2002).
Dengan perkembangan lanjut dari penyakit osteoartritis, faktor mekanik menjadi sangat berperan dalam proses kerusakan lebih lanjut. Mungkin faktor trauma menjadi penyebab awal dari proses ini. Yang jelas diketahui yaitu bila terjadi ketidak seimbangan antara tekanan pada sendi dengan kemampuan fisiologis sistem peredam kejut dan dengan jaringan sekitar yang mendukung kerja sendi lutut dalam melakukan fungsinya akan dapat menimbulkan perubahan seperti osteoartritis. Di samping itu osteoartritis juga dipengaruhi oleh genetik tertentu dan kelainan metabolik (Goodman, 2002).
. A
B
Gambar 2.1 : A. Lutut normal B. Lutut Osteoarthritis Sumber : Henley
2.1.3
Gambaran Klinis Osteoartritis Gambaran klinis osteoartritis bervariasi , tergantung pada sendi yang
terkena, lama dan intensitas penyakitnya, serta respon pasien terhadap penyakit
yang dideritanya. Secara klinis osteoartritis menurut Goodman (2002) terbagi menjadi 3 yaitu : a.
Osteoartritis sub klinis. Pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis lainnya. Kelainan hanya terbatas pada tingkat seluler dan biokimiawi rawan sendi.
b.
Osteoartritis Manifes. Kerusakan rawan sendi bertambah luas dan biasanya pasien mengeluh nyeri, sehingga mencari pertolongan untuk mengatasi nyerinya.
c.
Osteoartritis Dekompensata. Pada tingkatan ini rawan sendi telah rusak sama sekali, kadang-kadang terjadi deformitas akibat destruksi lokal rawan sendi, dan juga dapat terjadi kontraktur.
2.2
Anatomi, Fisiologi Sendi Lutut Lutut terdiri dari tiga persendian (artikulasi) yaitu tibio femoral,
patelofemoral dan tibiofibular. Aktivitas sendi – sendi ini dipengaruhi oleh tenaga lokal dan sendi di atasnya yaitu sendi panggul (hip joint), maupun sendi di bawahnya yaitu sendi kaki (ankle joint). Sendi lutut ditutup oleh kapsul sendi, yang berfungsi sebagai pertahanan yang penting terhadap kerusakan sendi (Lippert Lynn, 2001). Penahan statik primer pada gerakan tibiofemoral adalah ligamentum krusiatum, ada 2 jenis yaitu : ligamentum krusiatum anterior dan ligamentum krusiatum posterior. Ligamentum krusiatum anterior berfungsi melindungi gerakan ke depan dari plateu tibial dan membantu mengontrol rotasi. Ligamentum
krusiatum posterior berfungsi mencegah pergeseran ke depan dari femur pada kondilus tibia dan menjaga stabilitas rotasi. Aksi valgus dan varus lutut dikontrol oleh kedua ligamentum kolateral medialis dan kolateral lateral (Lippert Lynn, 2001).
Gambar 2.2 : Sendi lutut Sumber : Maureen
Meniskus adalah bangunan tulang rawan yang berfungsi sebagai lubrikan (pelapis) dan membantu mengurangi guncangan. Meniskus juga membantu tulang femur saat gerakan memutar (roling) dan menggeser (gliding), dimana gerakan ini membatasi fleksi dan ekstensi yang berlebihan dari sendi lutut. Sendi patella femoral adalah sendi jaringan lunak di bawah kontrol beberapa otot dan struktur fasia. Patella adalah merupakan pusat stabilisasi dari semua tenaga statik dan dinamik sekitar sendi patella femoral (O’Sullivan and Siegelman, 2002).
Gambar 2.3 : Ligamentum pembentuk sendi Sumber : Maureen
2.3
Otot Quadriceps Otot quadriceps femoris adalah otot ekstensor yang besar pada tungkai,
menutupi hampir seluruh bagian depan dan samping dari femur. Otot quadriceps femoris dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing bagian bernama sendiri-sendiri yaitu : rectus femoris, vastus lateralis , vastus medialis dan vastus intermedius. a. Rectus Femoris Mempunyai origo ganda yaitu spina iliaca interior anterior dan ilium superior acetabulum. Berinsersio pada permukaan patella dan melewati ligamentum patella sampai ke tuberositas tibiae. b. Vastus Lateralis Vastus lateralis adalah komponen terbesar dari quadriceps femoris. Origonya adalah trochantor mayor dan bibir lateral dari linea aspera femur
dan tuberositas gluteal. Berinsersio pada batas lateral patella dan melewati ligamentum patella sampai ke tuberositas tibia. c. Vastus Medialis Mempunyai origo di linea intertrochanterica dan bibir medial dari linea aspera femur. Berinsersio pada atas medial patella dan melalui ligamentum patella sampai ke tuberositas tibia. d. Vastus Intermedius Mempunyai origo dua pertiga permukaan anterior dan lateral femur. Berinsersio pada permukaan patella dan melalui ligamentum patella sampai ke tuberositas tibia. e. Innervasi Innervasi quadriceps femoris adalah nervus femoralis L2, L3 dan L4. f. Gerakan Keempat komponen otot quadriceps femoris terutama untuk ekstensi sendi lutut. Rectus femoris selain untuk ekstensi sendi lutut juga membantu ekstensi sendi panggul dan gerakan ini dilakukan secara bersamaan.
Gambar 2.4 : Otot Quadriceps Sumber : Peterson, et al
2.4
Otot Hamstring Otot hamstring terdiri dari semimembranosus, semitendinosus dan biceps
femoris yang berperan sebagai antagonis otot quadriceps, yaitu sebagai fleksor sendi lutut. a.
Semimembranosus Mempunyai origo pada tuberositas ischial. Berinsersio pada kondilus medialis tibia.
b.
Semitendinosus Mempunyai origo pada tuberositas ischial. Berinsersio pada bagian proksimal permukaan medial tibia.
c.
Biceps femoris Mempunyai dua cabang, long head berorigo pada tuberositas ischial. Sedangkan short head berorigo pada sisi lateral lip linea aspira femur dan lateral intermuskular septum.
d.
Innervasi Innervasi hamstring adalah cabang tibial nervus ischiadicus segmen L5, S1 dan S2.
e.
Gerakan Ketiga komponen otot hamstring terutama untuk fleksor sendi lutut. Tarikan lutut ke lateral dilakukan oleh otot traktus illiotibial, retinakulum lateral, dan ligamentum patella femoral., sedangkan tarikan ke medial oleh vastus oblikus medialis, retinakulum medialis dan ligamentum patella femoral medial.
Gambar 2.5 : Otot Hamstring Sumber : Peterson, et al
2.5
Biomekanik Sendi Lutut Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari gerakan tubuh manusia. Dalam
penulisan ini hanya akan membahas komponen kinematis yang ditinjau dari gerak secara osteokinematika dan artrokinematika yang terjadi pada sendi lutut.
2.5.1 Osteokinematika Osteokinematika merupakan gerak sendi yang dipandang dari gerakan tulangnya dan merupakan gerakan fisiologis sendi. Lutut merupakan hinge joint dengan gerak rotasi ayun dalam bidang sagital dan menghasilkan gerakan fleksi dengan nilai ROM normal 130º-140º dan soft end feel juga posisi hiperekstensi berkisar antara 5º-10º dalam batas normalnya dengan hard end feel, selain rotasi
ayun lutut juga mempunyai gerak rotasi spin dalam bidang tranversal pada posisi lutut fleksi dan menghasilkan gerakan internal rotasi 15º-30º dengan elastic end feel dan eksternal rotasi 40º-45º pada posisi awal, mid posisi dengan elastic end feel. Pada gerak akhir ektensi terjadi eksternal rotasi yang dikenal sebagai closed rotation (Sugijanto, 2008)
2.5.2 Artrokinematika Arthrokinematik merupakan gerakan pada permukaan sendi. Gerak arthrokinematik dari lutut yaitu : traksi dan kompresi dengan arah kaudal-kranial searah axis longitudinal. Gerak translasi ke dorsal dan ke medial terjadi saat fleksi sedangkan translasi ke ventral dan ke lateral terjadi saat gerak ekstensi (Sugijanto, 2008). Kondilus tibiofemoral yang tidak simetris dan permukaan sendi femur yang lebih besar daripada permukaan sendi tibia menunjukan bahwa ketika kondilus femur bergerak pada kondilus tibia (dengan kondisi menumpu berat badan), kondilus femur harus roll dan slide terhadap condilus tibia. Pada saat gerak fleksi, kondilus femur roll ke posterior dan slide ke anterior. Meniskus pada sendi lutut mengikuti roll dari kondilus dengan bergerak ke posterior saat fleksi. Saat ekstensi, kondilus femur roll ke anterior dan slide ke posterior. Pada akhir ekstensi, gerakan terhenti pada kondilus lateral femur tapi slide berlanjut pada kondilus medial femur untuk mengunci sendi lutut (Sugijanto, 2008) Pada gerak aktif tanpa menumpu berat badan, terjadi slide oleh permukaan sendi tibia yang konkaf terhadap kondilus femur yang konfek. Kondilus tibia
slide ke posterior terhadap kondilus femur saat gerak fleksi. Dari fleksi penuh ke ekstensi, kondilus tibia slide ke anterior pada terhadap kondilus femur (Sugijanto, 2008).
2.5.3
Biomekanik Berjalan Jalan merupakan salah satu cara dari ambulasi, pada manusia ini dilakukan
dengan cara bipedal (dua kaki). Dengan cara ini jalan merupakan gerakan yang sangat stabil meskipun demikian pada orang normal jalan hanya membutuhkan sedikit kerja otot-otot tungkai. Pada gerakan ke depan sebenarnya yang memegang peranan penting adalah momentum dari tungkai itu sendiri atau akselerasi, kerja otot justru pada saat deselerasi (Schneeck D&Bronzino, 2002). Dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing fase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi yaitu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase dimana kedua kaki tidak menginjak lantai (Vaughan et al, 1999). Fase menapak (60%) dimulai dari initial contact, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off. Sedangkan pada fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, initial swing dan diakhiri dengan terminal swing. Komponen-komponen penting dalam pola berjalan adalah : 1.
Stance phase (fase menapak) adalah peride dimana kaki kontak dengan lantai, dengan posisi sebagi berikut :
a. Ekstensi sendi panggul (hip) b. Geseran ke arah horizontal-lateral pada pelvis dan trunk c. Fleksi lutut sekitar 15º pada awal heel strike, dilanjutkan dengan ekstensi dan fleksi lagi sebelum toe off. 2.
Swing phase ( fase mengayun ) adalah periode dimana kaki dalam keadaan tidak kontak dengan lantai. Dapat pula didefinisikan sebagai periode dimana semua bagian salah satu kaki bergerak ke depan, dengan posisi sebagai berikut : a.
Fleksi lutut dengan diawali ekstensi hip.
b.
Lateral pelvic tilting ke arah bawah pada saat toe off.
c.
Fleksi hip.
d.
Rotasi pevic ke depan saat tungkai terayun.
e.
Ekstensi lutut dan dorsofleksi ankle dengan cepat sesaat sebelum heel strike.
3.
Double support (menapak kedua kaki) adalah periode dalam keadaan kedua kaki kontak dengan lantai. Hal ini terjadi dua kali dalam satu siklus berjalan yaitu pada awal dan akhir fase menapak.
4.
Single support (menapak dengan satu kaki) adalah periode dimana terdapat satu kaki menapak di lantai. Periode ini terjadi bersamaan dengan fase mengayun pada kaki yang lainnya.
5.
Initial contact ( kontak awal ) adalah titik dimana pada satu siklus berjalan merupakan kontak awal dengan lantai.
6.
Heel contact ( kontak dengan tumit ) adalah periode dimana kontak awal dengan lantai melalui tumit.
7.
Terminal contact ( Kontak akhir ) adalah periode dimana kontak akhir dengan lantai saat kaki meninggalkan lantai dan merupakan awal pase mengayun untuk periode langkah selanjutnya.
8.
Toe off adalah periode dimana kontak akhir dengan lantai pada jari kaki.
9.
Foot flat adalah periode kaki dalam posisi plantar.
10.
Heel off adalah periode dimana ketika tumit terangkat dari lantai. Dalam satu siklus berjalan dapat pula dibagi dalam beberapa sub fase
yang akan mempermudah melakukan penilaian pada kondisi patologis dengan membandingkan pola jalan normal. Sub fase tersebut antara lain adalah : 1.
Loading response/foot flat Sub fase ini adalah periode yang merupakan awalan double support (menapak dengan dua kaki) dari kelanjutan inisial contact. Periode loading respon berarti telah mencapai 10% dari proses satu siklus berjalan.
2.
Mid stance Sub fase ini adalah periode tungkai yang lainnya meninggalkan lantai dan posisi tubuh tegak lurus dengan tungkai depan (sedang menapak). Sub periode ini berarti telah mencapai 10% - 30% dari proses satu siklus berjalan.
3.
Terminal stance/heel off Sub fase ini adalah periode dimana single support yang kedua dimana pada tumit tungkai lainnya membentuk kontak dengan lantai. Pada sub
periode ini berarti telah mencapai 30% - 50% dari proses satu siklus berjalan. 4.
Pre swing/toe off Sub fase ini adalah periode dimana merupakan akhir dari double support dan merupakan initial contact bagi tungkai kontra lateral serta toe off bagi tungkai sisi lateral.
5.
Initial swing/acceleration Sub fase ini adalalah periode dimana merupakan awalan ayunan setelah jari kaki meninggalkan lantai. Pada sub periode ini berarti telah mancapai 60% - 73% dari proses satu siklus berjalan.
6.
Mid swing Sub fase ini adalah periode dimana proses mencapai setengah dari ayunan dan pada tungkai kontra lateral dalam posisi mid stance. Pada sub ini berarti telah mencapai 73% - 87% dari proses satu siklus berjalan.
7.
Terminal swing/deceleration Sub fase ini adalah periode dimana merupakan akhir fase mengayun dimana pada tungkai mulai persiapan untuk initial contact untuk periode langkah selanjutnya.
Gambar 2.6 : Analisis Berjalan Sumber : Vaughan et al
2.5.4
Pengaruh Sendi Lutut Terhadap Pola Berjalan Sendi lutut merupakan sendi yang berperan penting dalam berjalan. Ada
beberapa faktor determinan dalam proses berjalan (Grimshaw&Burden, 2007). 1.
Rotasi Pelvis : merupakan gerakan pelvis pada bidang transversal, dengan rotasi ke depan 40 dan selama stance terjadi rotasi ke belakang 40.
2.
Tilting Pelvis : kemiringan yang terjadi pada bidang frontal dengan besaran 50 dengan arah kaudal. Hilangnya tilting pelvis akan mempengaruhi titik gravitasi tubuh.
3.
Fleksi Lutut : lutut akan mengalami ekstensi penuh menjelang heelstrike. Pada saat foot flat (mid stance) terjadi fleksi sekitar 150 dan terus dipertahankan dalam posisi fleksi.
4.
Gerakan kaki dan pergelangan kaki. Saat heel strike pergelangan kaki akan dorsal fleksi kemudian flantar fleksi, dorsal fleksi lagi saat foot flat lalu plantar fleksi lagi sewaktu saat heel off dan toes off.
5.
Hubungan antara lutut dan kaki. Perubahan
yang terjadi pada
pergelangann kaki sewaktu berjalan dikoordinir oleh pergerakan sendi di lutut. Dengan demikian tampak jelas peran dari sendi lutut ketika berjalan, sehingga bila sendi lutut mengalami gangguan seperti adanya nyeri dan hipomobil, maka akan merubah pola jalan normal dan berdampak pada panjang langkah.
2.5.5
Kerja Otot pada Pola Berjalan
Skema 2.1 : Kerja otot pada pola jalan Sumber : Grimshaw P. & Burden A
Pada Skema 2.1 terlihat jelas kerja otot-otot quadriceps dan hamstring saat berjalan. Kekuatan grop otot-otot tersebut sangat penting perannya dalam fase mengayun, dimana hasil fase ini merupakan panjang langkah. Kerja otot dimulai dari akhir gerakan menapak 10-20%, gerakan mengayun 40% kecuali rectus femoris 30% sampai awal menapak kembali 5-10% (Grimshaw&Burden, 2007).
2.6
Patofisiologi OA Lutut Pada osteoartritis yang pertama kali mengalami perubahan adalah tulang
rawan sendi, dimana permukaan sendi menjadi tidak beraturan dan membengkak yang diikuti erosi. Akibat pembengkakan ini akan mempengaruhi pada kapsul
sendi yang menjadi sempit dan menimbulkan iritasi yang merangsang nosiseptor. Karena kapsul sendi menyempit maka ligamentum penguat sendi menjadi terulur dan mengakibatkan kemampuan untuk menjaga stabilisasi sendi menjadi menurun. Keadaan ini berakibat terjadi hipermobil pada persendian lutut. Akibat hipermobil sendi lutut meniscus sendi menjadi semakin tipis. Dikarenakan penurunan fungsi dari ligamentum maka fungsi ligamentum akan diambil alih oleh otot. Kerja otot otot stabilisator lutut akan meningkat sehingga menimbulkan spasme pada otot tersebut. Keadaan spasme ini akan menghasilkan iskemik pada jaringan. Iskemik jaringan akan menimbulkan viscous circle reflek. Dampak dari spasme yang terus menerus akan mengakibatkan penurunan kemampuan otot untuk menjaga stabilisasi sendi lutut (Kisner and Colby, 2007). Dengan kondisi sendi yang menyempit maka akan menimbulkan peningkatkan viskositas cairan sinovium, cairan sinovium adalah sumber makanan bagi tulang rawan. Maka dengan peningkatan reaksi inflamasi pada cairan sinovium maka nutrisi pada tulang rawan akan berkurang. Kekurangan nutrisi pada tulang rawan maka akan menambah kerusakan atau erosi pada tulang rawan. Pada proses selanjutnya maka akan terjadi kontraktur pada kapsul sendi yang menyebabkan peningkatan immobilisasi. Kondisi immobilisasi ini akan menyebabkan inaktivitas dari lutut dan menyebabkan kelemahan pada otot-otot sekitar lutut, khususnya otot-otot stabilisasi sendi (Kisner and Colby, 2007).
2.7
Mekanisme Penurunan Panjang Langkah pada Penderita OA Lutut Persendian pasien osteoartritis mengalami perubahan menyeluruh, terjadi
perubahan morfologi pada tulang rawan, kapsul sendi, ligamentum, meniscus, otot dan persendian. Akibat proses tersebut diatas pasien akan merasa nyeri, sehingga akan membatasi aktivitas. Karena adanya pembatasan
aktivitas akan terjadi
penurunan fleksibilitas, kekuatan, ketahanan dan stabilitas otot maupun sendi. Sehingga komponen penting dalam berjalan akan terganggu pula. Dimana fasefase berjalan tidak berfungsi secara maksimal. Dengan demikian secara menyeluruh akan mempengaruhi penurunan panjang langkah pada pasien osteoartritis lutut (Lippert Lynn, 2001).
2.8
Ultrasonik/US
2.8.1
Pengertian Ultrasonik adalah bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa
getaran mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu dengan frekwensi yang bervariasi (Prentice William, 2002).
Gambar 2.7 : Ultrasonik Sumber : Dokumen Pribadi
2.8.2
Fenomena Fisik yang Terjadi Fenomena fisik yang terjadi menurut Prentice William (2002) :
a.
Bentuk Gelombang Jenis gelombang ultrasonik merupakan gelombang longitudinal yang memerlukan medium yang elastis sebagai media perambatan. Setiap medium elastis kecuali yang hampa udara. Gelombang mekanik longitudianal menyebabkan kompresi dan ekspansi medium pada jarak separuh gelombang yang menyebabkan variasi tekan pada medium.
b.
Tahanan Akustik Spesifik Tahanan akustik spesifik adalah nilai perambatan gelombang suara pada media tertentu dengan media yang lainnya. Dimana gelombang suara lebih mudah merambat pada media yang tahanan akustiknya tinggi. Tahanan akustik merupakan sifat dari suatu medium yang mana suara masih dapat lewat. Besarnya tahanan akustik tergantung pada kerapatan media dan kecepatan gelombang suara. Adapun sifat medium adalah dari hasil kerapatan massa dengan kecepatan gelombang suara. Bila gelombang suara melewati suatu media maka kemungkinan sebagian akan dipantulkan, diserap atau merambat terus sampai media berikutnya.
c.
Refleksi/Pemantulan Refleksi atau pemantulan terjadi bila gelombang ultrasonik melalui dua media yang berbeda. Banyak energi yang dipantulkan tergantung besarnya perbedaan impedance acustik spesifik dari suatu media ke media lainnya. Karena adanya refleksi tersebut, maka energi ultrasonik lebih besar diserap
pada jaringan interfase. Jaringan antar permukaan jaringan dengan nilai tahanan akustik berbeda akan dipantulkan, sehingga pada daerah tersebut memperoleh energi ultrasonik lebih besar dari daerah lain. d.
Penyerapan dan Penetrasi Jika gelombang ultrasonik masuk ke dalam jaringan maka efek yang diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya penyerapan tersebut maka semakin dalam gelombang ultrasonik masuk dan intensitasnya semakin berkurang. Gelombang ultrasonik diserap oleh jaringan dalam berbagai ukuran tergantung pada frekwensi, pada frekwensi rendah penyerapannya lebih sedikit dibanding dengan frekwensi tinggi. Jadi ada ketergantungan antara frekwensi, penyerapan dan kedalaman efek dari gelombang ultrasonik. Di samping itu refleksi, koefisien penyerapan menentukan penyebarluasan ultrasonik di dalam jaringan tubuh. Tabel 2.1 : Half Value Depth (HVD)
Mc Diarmid Jaringan Ter Ha Hoogland Ward & Burns (1978, 1996) 1986 1986 1987 a. Half Depth Value dalam penetrasi (mm), Frekuensi 1 MHz kulit 40 11,1 lemak 50 50 153 48 otot 10 s/d 20 9* 28* 9 tendon 6,2 kartilago 6 tulang 15 2,1 0,4 b. Half Depth Value dalam penetrasi (mm), Frekuensi 3 MHz kulit 25 4 26,4 lemak 16 16,5 7,7* 16 otot 30 s/d 60 3* 3 tendon 2 kartilago 2 0,004 tulang 5
Tabel 2.2 : Kedalaman penetrasi Utrasonik
Media tulang kulit tulang rawan udara tendon otot lemak air
1 MHz (mm) 7 37 20 20 21 30* 82*** 165 38330
3 MHz (mm) 12 3 3 7 10* 27* 55 12770
Keterangan : * : tegak lurus ** : memanjang *** : sejajar
e. Pembiasan Pembiasan gelombang ultrasonik ditentukan oleh nilai indeks bias tiap-tiap media pada jaringan, dimana indeks bias ditentukan oleh kecepatan gelombang ultrasonik pada tiap-tiap medium. Nilai indeks bias (n) = 1 berarti tanpa pebiasan, sedangkan nilai indeks bias lebih dari 1 berarti pembiasan mendekati normal dan jika indeks kurang dari 1 berarti ditentukan oleh sudut datang dan kecepatan gelombang suara pada media yang dilalui. f.
Coupling Media Untuk dapat meneruskan gelombang ultrasonik ke dalam jaringan tubuh maka dibutuhkan suatu medium yang berada transduser dan permukaan tubuh yang akan diultrasonik. Adapun ciri-ciri coupling media yang baik adalah : bersih dan steril, tidak terlalu cair (kecuali metode under water), tidak terlalu cepat diserap kulit, transparansi dan mudah dibersihkan.
2.8.3 Efek Biofisik Efek biofisik menurut Prentice William. 2002 adalah : a.
Efek Mekanik Bila gelombang ultrasonik masuk ke dalam tubuh maka akan menimbulkan pemampatan dan peregangan dalam jaringan sama dengan frekwensi dari transduser ultrasonik sehingga terjadi variasi tekanan dalam jaringan. Dengan adanya variasi tersebut menyebabkan efek mekanik yang sering disebut dengan istilah mikro massage yang merupakan efek teraupetik yang sangat penting karena hampir semua efek yang timbul oleh ultrasonik disebabkan oleh mikro massage. Pemampatan dan peregangan oleh selubung longitudinal dari ultrasonik mampu menimbulkan micro tissue damage dan menimbulkan reaksi inflamasi primer. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya syaraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “ P substansi “ untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau yang dikenal “ neurogenic inflammation “.
b.
Efek Panas Mikro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang hangat. Panas yang ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai akustic impedence, pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan dan durasi yang pengobatan. Area yang paling banyak mendapatkan panas adalah jaringan interface yaitu antara kulit dan otot serta periosteum. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang yang diserap
dan dipantulkan. Agar efek panas tidak dominan digunakan intermitten ultra sonic yang efek terapeutiknya lebih dominan dibandingkan efek panas. Perubahan konsentrasi ion sehingga mempengaruhi nilai ambang rangsang dari sel-sel. Efek panas ultrasonik pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh jaringan hanya selama 1 menit. Tetapi bila terkonsentrasi pada satu jaringan dapat menimbulkan “ heat burn “, yaitu bila pada tempat menonjol atau transduser statis. c.
Efek Piezoelectrik Adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelectrik seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti leadzirconate-titanate dan barium titanate mendapatkan pukulan atau tekanan sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari bahan piezoelectric tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang, kolagen dan protein tubuh juga merupakan bahan-bahan piezoelectric. Oleh karena itu apabila jaringan-jaringan tadi mendapatkan aliran listrik ultrasonik akan menyebabkan perubahan muatan elektrostatik pada mambran sel yang dapat mengikat ion-ion. Efek piezoelectric antara lain dapat meningkatkan metabolisme dan dapat dimanfaatkan untuk penyambungan tulang. Secara umum ultrasonik akan mempengaruhi proses elektroda dan kejenuhan dari elektrolit tubuh sehingga mengganggu ion-ion yang berada pada lapisan yang tipis di daerah perbatasan antara zat padat dengan larutan elektrolit.
2.8.4
Indikasi Kondisi peradangan sub akut dan kronik, kondisi traumatik sub akut dan
kronik, adanya jaringan parut atau scar tissue pada kulit sehabis luka operasi atau luka bakar, kondisi ketegangan, pemendekan dan perlengketan jaringan lunak (otot, tendon dan ligamentum ) dan kondisi inflamasi kronik (Prentice William, 2002).
2.8.5
Kontra Indikasi Penyakit jantung atau penderita dengan alat pacu jantung, kehamilan,
khususnya pada daerah uterus, jaringan lembut (mata, testis, ovarium, otak), jaringan yang baru sembuh atau jaringan granulasi baru, pasien dengan gangguan sensasi, tanda-tanda keganasan atau tumor malignan, insufisiensi sirkulasi darah (thrombosis, thromboplebitis atau occlisive occular disease), infeksi akut dan daerah epiphysis untuk anak-anak dan dewasa (Prentice William, 2002).
2.8.6
Penentuan Dosis Pada terapi osteoartritis lutut menggunakan intensitas 2 watt/cm²,
gelombang continues, waktu 5 menit (Prentice William, 2002).
2.8.7
Mekanisme Peningkatan Panjang Langkah dengan Ultrasonik Pemberian modalitas ultrasonik menimbulkan iritasi pada jaringan
menyebabkan timbulnya reaksi peradangan fisiologis, hal ini disebabkan oleh pengaruh mekanik dan panas ultrasonik. Pengaruh mekanik juga merangsang
syaraf polymodal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memacu aktivasi “P substance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder, atau dikenal “neorogenic inflammation”. Stimulasi “P substance” tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan (Prentice William, 2002). Ultrasonik dapat meningkatkan threshold aktivasi ujung-ujung syaraf melalui efek thermal. Panas yang dihasilkan terhadap serabut syaraf yang bermyelin besar dapat mengurangi nyeri melalui “gating mechanism”. Ultrasonik dapat meningkatkan konduksi velositas syaraf sehingga menimbulkan efek kontra iritasi melalui “thermal mechanism”. Dengan berkurangnya rasa nyeri
maka
aktivitas fungsional diharapkan dapat meningkat, sehingga panjang langkah akan meningkat pula.
2.9
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation/TENS
2.9.1
Pengertian Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation/TENS merupakan suatu cara
penggunaan energi listrik guna merangsang sistem syaraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri. TENS mampu mengaktivasi baik syaraf berdiameter besar maupun kecil yang akan menyampaikan berbagai informasi sensoris ke syaraf pusat. Efektifitas TENS dapat diterangkan lewat teori gerbang kontrol (Kuntono, 2000).
Pada TENS konvensional mempunyai bentuk pulsa monophasic, biphasic dan polyphasic. Monophasic mempunyai bentuk gelombang rektanguler, triangular dan gelombang separuh sinus searah pada biphasic simetris. Sedangkan pada polyphasic ada rangkaian gelombang sinus dan bentuk interferensi atau campuran. Pulsa monopasik atau simetrik bipasik yang mengandung arus galvanik memodulasi rasa nyeri pada level spinal dengan menghambat serabut syaraf bermielin tipis dan tak bermielin pada level supraspinal inhibisi produksi dari endorphin. Sedangkan pulsa simetrik bipasik dan rektanguler bipasik tidak mengandung arus galvanik dan hanya dapat memodulasi nyeri pada level spinal yaitu menghambat serabut syaraf bermielin tipis dan tak bermielin (Kuntono, 2000). Pada TENS ini juga menggunakan burst sehingga akan menimbulkan kontraksi otot sangat jelas pada saat terapi dilakukan. Dari kontraksi ini akan dihasilkan efek samping pumping action pada otot sehingga akan memacu proses sirkulasi jaringan yang menyebabkan otot lemas atau tidak tegang (efek sedatif) yang pada akhirnya iritasi pada syaraf akan berkurang sehingga terjadi modulasi nyeri level sensoris (Kuntono, 2000).
Gambar 2.8 : Electroterapy/TENS Sumber : Dokumen Pribadi
2.9.2
Modifikasi Intensitas Intensitas sangat berpengaruh di dalam menentukan besarnya muatan arus
listrik dalam pulsa dan puncak arus listrik yang akan berhubungan langsung dalam penetrasi dalam jaringan, semakin tinggi puncak arus listrik akan semakin dalam penetrasinya selama daya hantar listrik pada jaringan (Kuntono, 2000). Intensitas pulsa yang memadai durasi pulsa akan memberikan energi listrik ke dalam suatu jaringan pada tiap-tiap fase dari pulsa disebut muatan pulsa. Muatan pulsa akan menimbulkan reaksi elektroda juga akan menentukan besarnya muatan listrik berkisar antara 20 – 200 mikrocolums per fase, persentimeter persegi dari ukuran elektroda (Kuntono, 2000). Dalam pelaksanaan stimulasi elektris penggunaan durasi pulsa monophase yang terlalu besar dan waktu yang lama akan mengakibatkan jaringan syaraf berakomodasi dan bila ingin menghindari akomodasi intensitas dinaikkan tetapi konsekwensinya timbul terasa nyeri. Intensitas dan durasi pulsa yang tinggi pada aplikasi stimulasi elektris akan menimbulkan reaksi elektrokimia yang besar yang ditandai dengan warna kemerah-merahan dan rasa nyeri pada jaringan di bawah elektroda. Dengan alasan ini maka dosis stimulasi elektris secara subyektif ditentukan toleransi pasien(Kuntono, 2000).
2.9.3 Frekuensi Pulsa Frekwensi pulsa sering dikacaukan dengan pengertian frekwensi arus listrik. Frekwensi pulsa merupakan kecepatan / pulsa rate yang terjadi pada setiap detik sepanjang durasi arus listrik yang mengalir. Frekwensi pulsa berkisar
berkisar 1 – 200 detik. Frekwensi juga menyebabkan tipe respon terhadap motoris maupun sensoris. Frekwensi pulsa tinggi > 100 pulsa per detik menimbulkan respon kontraksi tetanik dan sensibilitas getaran sehingga otot cepat lemas (Kuntono, 2000). Frekwensi arus listrik rendah cenderung bersifat iritiatif terhadap jaringan kulit sehingga dirasakan nyeri apabila intensitas tinggi. Arus listrik frekwensi menengah bersifat lebih konduktif untuk stimulasi elektris, karena tidak menimbulkan tahanan kulit atau tidak bersifat iritatif dan mempunyai penetrasi yang lebih dalam (Kuntono, 2000).
2.9.4
Penempatan Elektroda Penempatan elektroda tidak terbatas pada daerah sekitar nyeri saja. Untuk
menentukan letak dan metoda penempatan elektroda TENS harus memahami anatomi, prinsip fisiologi kondisi yang bersangkutan. Pengertian dasar tentang pola nyeri, sindroma dan berbagai jaringan yang biasa sebagai sumber nyeri merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipahami dalam kaitannya dengan penempatan elektroda (Kuntono, 2000). Metoda penempatan elektroda sebagai berikut : a.
Di sekitar lokasi nyeri Cara ini paling mudah dan paling sering digunakan, sebab metoda ini dapat langsung diterapkan pada daerah nyeri tanpa memperhatikan karakter dan letak yang paling optimal dalam hubungannya dengan jaringan penyebab nyeri.
b.
Dermatom. Dasar pemikiran dari metoda ini ialah daerah kulit
akan mempunyai
persyaratan yang sama dengan struktur / jaringan yang tepat di bawahnya. c.
Para vertebral Posisi elektroda diletakkan pada sisi kanan kiri vertebra.
d.
Kontra planar / Trough and Through Metoda ini diterapkan pada sendi yang terasa nyeri.
2.9.5
Indikasi Kondisi neurologi (Bell’s palsy, Erbs palsy, spinal cord injury, trigeminal
neuralgia), Kondisi musculoskeletal (osteoarthritis, rematoid arthritis, sakit setelah operasi, low back pain), Viseral pain dan dysmennore, angina pectoris, keterbatasan gerak dan post fracture (Prentice William, 2002).
2.9.6
Kontra Indikasi Kondisi pacu jantung/pase maker, kehamilan, inflamasi terlokalisir,
thrombosis, metal inplant, tumor, tuberkulosa (Prentice William, 2002).
2.9.7
Penentuan Dosis Pada terapi osteoartritis lutut menggunakan TENS konvensional dengan
pulsa pendek sekitar 50 µs pada frekwensi 30 – 100 Hz, dengan frekwensi tinggi intensitas rendah. Intensitas dinaikkan tanpa rasa nyeri dengan burst sampai 5 Hz. Waktu 15 menit, metoda kontraplanar.
2.9.8 Mekanisme Peningkatan Panjang Langkah dengan TENS TENS dapat mengurangi nyeri dengan merangsang syaraf halus yang sedikit atau tidak bermyelin yang mengelilingi jaringan dan pembuluh darah. TENS dapat merangsang pelepasan endorphine dependen system dan serotonin dependen oleh tubuh, menghambat stimulasi substan “P”. Pelepasan endorphine dependen system oleh TENS frekwensi rendah dengan merangsang reseptor sensorik serabut saraf A-delta dan C sehingga dapat menghambat rasa nyeri pada cornu posterior medulla spinalis. TENS biphasic symetric akan menstimulasi A-beta yang dibawa ke cornu posterior medulla spinalis kemudian blok impuls noxious transmitter lamina I – IV pada traktus spinothalamicus. TENS monophase/ biphase asymetris menstimulasi serabut syaraf A-delta dan C sehingga timbul sensasi nyeri ringan karena merangsang syaraf polymodal nocisensor. Impuls dibawa ke medulla spinalis kemudian traktus spinothalamicus selanjutnya ke thalamus. Pada thalamus merangsang “raphe cell” untuk memproduksi endogen morphine sebagai endorpine yang berfungsi untuk inhibisi impuls nyeri dari nocisensoris sehingga terjadi blok noxious pada level supraspinal. Di samping berpengaruh pada syaraf, juga mempengaruhi otot sehingga terjadi pumping actions. Dimana akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan akan mereabsorbsi inflamasi dan sisa metabolisme sehingga menurunkan iritan pada tingkat nocisensoris sehingga nyeri berkurang. Dengan berkurangnya rasa nyeri maka aktivitas fungsional diharapkan dapat meningkat, sehingga panjang langkah akan meningkat pula (Kuntono, 2000).
2.10
Latihan Isometrik
2.10.1 Pengertian Isometrik Isometrik adalah kontraksi yang mempengaruhi tenaga melalui ketegangan intra muscular tanpa perubahan panjang otot. Ketika suatu otot bekerja secara isometrik maka panjang otot akan memendek dan komponen-komponen nonkontraktil sedikit memanjang serta tidak ada gerakan yang terjadi pada suatu sendi dimana otot melewati sendi tersebut (Sugijanto, 2008).
2.10.2 Respon Isometrik terhadap Penguatan Otot Menghilangkan profokasi, efek fisiologis didapat. Pada isometrik selain penguatan otot juga meningkatkan stabilitas sendi (penguatan ligamentum dan struktur sendi). Juga terjadi gliding, serta pemekaran ligamentum (Sugijanto, 2008).
2.10.3 Gerakan-Gerakan Isometrik Kontraksi otot yang dilakukan dalam latihan ini disesuaikan dengan otot mana yang akan diberikan latihan. Bila tujuan latihan pada otot quadriceps, maka seolah-olah terjadi gerakan ekstensi lutut. Dan bila tujuan latihan pada otot hamstring, maka seolah-olah terjadi gerakan fleksi lutut (Rubensteins, 2005).
2.10.4 Dosis Latihan Dosis latihan disini diberikan sebanyak 2 seri 10 repetisi. 6 detik kontraksi, 9 detik istirahat, kemudian istirahat selama 30 detik sebelum masuk pada seri berikutnya. Hal tersebut mengacu pada penghitungan 1RM
menurut Holten,
dengan tujuan latihan untuk meningkatkan kekuatan aerobik lokal (Kisner and Colby, 2007) Tabel 2.3 : Metode IRM menurut Holten
Metoda
Intensitas IRM (%)
Repetisi
Seri
Mobilisasi
10 s/d 30
5 s/d 15
1 s/d 4
Koordinasi
10 s/d 35
10 s/d 20
2 s/d 6
Endurance
30 s/d 65
> 20
1 s/d 3
Velocity
70 s/d 80
11 s/d 22
3 s/d 4
Hipertropi Kekuatan absolut
75 s/d 85
6 s/d 12
3 s/d5
90 s/d 100
1 s/d 4
3 s/d 6
Istirahat (detik)
Tujuan
Memperbaiki mobilitas lokal Mempelajari ilmu 30 s/d 60 gerak meningkatkan 0 s/d 30 kekuatan lokal 90 s/d Melatih kecepatan 150 gerakan Meningkatkan 2 s/d 5 masa otot meningkatkan 3 s/d 6 kekuatan otot 60
2.11 Pengukuran Panjang Langkah
2.11.1 Pengertian Panjang langkah adalah panjang atau jarak kaki menapak lantai sampai menapak lantai berikutnya. Metode kuantitatif analisis berjalan merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis berjalan, termasuk di dalamnya menghitung panjang langkah. Penilaian dengan cara pasien berjalan
sejauh 7 meter yang terbagi menjadi 3 tahap, tahap 2 meter pertama sebagai tahap pemanasan, tahap 3 meter berikutnya sebagai tahap penilaian dan tahap 2 meter terakhir sebagai tahap pendinginan. Penilaian panjang langkah dilakukan pada tahap kedua (3 meter). Antara titik spidol yang satu dengan titik berikutnya yang merupakan panjang langkah diukur dengan midlines/meteran. Kemudian panjang langkah dirata-ratakan sepanjang 3 meter daerah penilaian dalam cm/sentimeter. Penilaian dilakukan pada tahap kedua karena tahap ini berjalan pasien dianggap sudah stabil (Cerny, 1983).
Skema 2.2 : Langkah kaki Sumber : Grimshaw P. & Burden A
2m
3m
Pemanasan
Penilaian
2m
Pendinginan
Skema 2.3 : Metode Kuantitatif Sumber : Cerny
2.11.2 Peralatan yang Digunakan Peralatan yang digunakan di sini adalah alat ukur panjang yaitu midlines/meteran, alat pemindai (spidol yang sudah di modifikasi), daerah/lantai yang datar dan tidak licin, serta alat tulis untuk mencatat hasil pengukuran.
A.Midlines/meteran
B. Alat pemindai
Gambar 2.9 : Peralatan Pengukuran Sumber : Dokumen Pribadi