BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Ditinjau dari judul skripsi yang penulis teliti, untuk sementara ini di STAIN Palangka Raya belum ada penelitian yang membahas mengenai persepsi alumni prodi KPI jurusan Dakwah STAIN Palangka Raya terhadap profesi jurnalis. Berdasarkan hasil penelusuran peneliti dengan cara browsing di internet, maka ditemukan sejumlah penelitian yang memiliki objek yang sama dengan penelitian yang peneliti lakukan, antara lain: 1. Esti Dewi Akstari yang membahas tentang “Minat Menjadi Jurnalis pada Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sampel dengan analisis tabel yang menggunakan suatu analisa, menggunakan dengan membagi-bagi variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Dalam hasil penelitian ini, Esti Dewi Akstari lebih mengutamakan tentang minat menjadi jurnalis pada mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga sehingga terdapat perasaan senang mengikuti mata kuliah jurnalistik dan perasaan cukup senang pada mahasiswa.1
1
Esti Dewi Akstari, “Minat Menjadi Jurnalis pada Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga,” Skripsi, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2010 .
10
11
2. Firmansyah
Hardianto
membahas
“Strategi
Wartawan
dalam
Pencarian Berita pada Majalah Kuntum”. Metode penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini yaitu tentang strategi yang digunakan oleh wartawan majalah Kuntum adalah dengan wawancara, kajian pustaka, internet dan pengamatan di lapangan serta faktor pendukung wartawan dalam berita adalah peralatan telekomunikasi, alat transportasi, hak khusus dalam meliput berita. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat wartawan dalam wawancara berita adalah kelemahan membuat agenda pertemuan dengan narasumber, kekurangan financial.2 3. Khairil Hanan Lubis membahas tentang “Kompensasi Wartawan dan Indepensi (Studi Deskriptif tentang Peranan Kompensasi Wartawan terhadap Indepensi Anggota Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan)”. Metode yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yang dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah kompensasi yang diterima wartawan dari perusahaan media tempatnya bekerja ternyata memiliki peranan penting terhadap indepensi wartawan dalam membuat berita.3 4. N. Reni Susanti membahas tentang “Efektifitas Etika Pers dalam Meningkatkan Profesionalisme Kerja Wartawan di PWI Cabang Jawa 2
Firmansyah Hardianto,“Strategi Wartawawan dalam Pencarian Berita pada Majalah Kuntum”,Skripsi, Yogyakarta:Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,2008 3
Kahiril Hanan Lubis,“Kompensasi Wartawan dan Indepensi”,Skripsi, Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2011.
12
Barat (Studi Deskriptif Analisis Mengenai efektivitas Etika Pers dalam Meningkatkan Profesionalisme Kerja Wartawan di PWI Cabang Jawa Barat)”. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diperoleh hasil bahwa etika pers yang ada di PWI cabang Jawa Barat mempunyai efektivitas sebagai pedoman dan rambu-rambu bagi wartawan agar tidak keluar dari jalur jalur pers yang telah ditentukan dengan adanya kode etik jurnalistik yang disepakati bersama, sehingga mampu meningkatkan profesionalisme kerjanya. 4 5. Ayu Anggraini membahas “Tanggapan Jurnalis Terhadap Aktifitas Media Relations Hubungan Masyarakat SETDA Kota Serang”. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah tanggapan jurnalis
mengenai aktivitas hubungan dengan media di SETDA kota Serang sebesar 16,67 % menjawab tidak setuju dan 31,25 % menjawab setuju.5 6. Ririn Muthia Rishlaesa juga memabahas tentang “Pemahaman Idealisme dalam Profesi Wartawan (Studi pada Wartawan Banten)”. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, di mana peneliti
4
N. Reni Susanti, “Efektifitas Etika Pers dalam Meningkatkan Profesionalisme Kerja Wartawan di PWI Cabang Jawa Barat (Studi Deskriptif Analisis Mengenai efektivitas Etika Pers dalam Meningkatkan Profesionalisme Kerja Wartawan di PWI Cabang Jawa Barat)”, Skripsi, Bandung: Universitas Pasundan, 2010. 5
Ayu Anggraini, “Tanggapan Jurnalis Terhadap Aktifitas Media Relations Hubungan Masyarakat SETDA Kota Serang”, Skripsi, Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2012.
13
berusaha menggambarkan secara detail mengenai segala data dan informasi yang diperoleh. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa wartawan di Banten memiliki konsep diri bahwa profesinya merupakan profesi yang mulia.6 Dari hasil penelitian di atas, maka penulis melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut tidak hanya terdapat pada subjek dan objek penelitian yang diteliti, namun juga pada metode yang digunakan. Subyek penelitian yang menjadi kajian peneliti adalah alumni prodi KPI dengan objek penelitian persepsi alumni terhadap profesi jurnalis. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Selain itu, penelitian ini lebih mengarah pada persepsi alumni prodi KPI jurusan Dakwah STAIN Palangka Raya terhadap profesi jurnalis. Penelitian ini lebih pada permasalahan dan rumusan masalah baru, sehingga nantinya diharapkan penelitian ini akan melengkapi penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti tertuang dalam judul: “PERSEPSI ALUMNI PRODI KPI JURUSAN DAKWAH STAIN PALANGKA RAYA TERHADAP PROFESI JURNALIS.”
6
Ririn Muthia Rishlaesa, “Pemahaman Idealisme dalam Profesi Wartawan (Studi pada Wartawan Banten)”, Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2012.
14
B. Kajian Teoritis 1. Persepsi a. Pengertian Persepsi Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa Inggris perception, artinya penglihatan, tanggapan daya, memahami atau menanggapi.7 Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas, persepsi adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.8 Persepsi
adalah
penelitian
bagaimana
kita
mengintegrasikan sensasi kedalam percept9 objek dan bagaimana kita selanjutnya menggunakan percept itu mengenali dunia.10 Dalam Ensiklopedi Indonesia persepsi adalah proses mental yang menghasilkan bayangan pada individu, sehingga dapat mengenal suatu objek dengan jalan asosiasi pada suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan, indera perabaan dan sebagainya hingga akhirnya bayang itu dapat disadari.11 7 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia an Engglish Indonesia Dictionary, Cet. Ke-29, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010, h. 424. 8 Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet. Ke-1, 2009, h. 445. 9
Hasil dari proses perseptual (Lihat Rita L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi,
h. 276) 10
Rita L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi, Batam: Interaksara, Edisi ke- 11, Jilid 1, h. 276. 11
Van Hoeve dan Uiltgeverij, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1991, h. 2684.
15
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa “persepsi berarti tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indra.”12 Dalam
Kamus
Konseling,
persepsi
adalah
“kemampuan
menanggapi atau memahami, pengamatan pandangan, proses untuk mengingat atau mengidentifikasikan sesuatu”13. Menurut Mubarak dalam bukunya Psikologi Dakwah mengatakan “persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi, sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.”14 Jalaluddin dalam buku Psikologi Komunikasi menjelaskan bahwa: “persepsi adalah pengalaman tentang objek peristiwa atau hubungan-hubungan
yang
diperoleh
dengan
menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan.”15 Menurut Arbi, persepsi merupakan: pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubugan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimuli indrawi.16
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, h. 759. 13Sudarsono, Kamus Konseling, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. Ke-1, h. 175. 14
Achmad Mubarak, Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka firdaus, 2002, h. 109.
15
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994, h. 51. 16
Armawati Arbi, Psikologi Komunikasi dan Tabligh, Jakarta: Amzah, 2012, h.
99.
16
Dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar bahwa: persepsi bisa dikatakan sebagai inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, kita tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi dan sebagai konsekuensinya, semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.17 Istilah persepsi biasanya digunakan untuk mengungkapkan tentang pengalaman terhadap sesuatu benda ataupun sesuatu kejadian yang dialami. 18 Dari beberapa uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa persepsi pada dasarnya merupakan suatu pengamatan melalui penginderaan terhadap
sesuatu
objek,
kemudian diteruskan oleh syaraf-syaraf sensoris ke otak. Didalam otak, hasil pengamatan diperoses secara sadar, sehingga individu yang bersangkutan dapat menyadari dan memberikan objek yang diamati sesuai dengan perhatian, kebutuhan, sistem nilai dan karakteristik kepribadian. Adapun yang dimaksud dari persepsi dalam penelitian ini adalah tanggapan, respon, pandangan (hasil pengamatan), tafsiran alumni prodi KPI
jurusan Dakwah STAIN Palangka Raya
17
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, h. 167-168. 18
Abdul Rahman Shaleh dan Muhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2004, h. 88.
17
terhadap profesi jurnalis, tanggapan tersebut bisa negatif atau juga positif. b. Proses Persepsi Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah ransangan diterapkan kepada manusia. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama berikut: 1) Seleksi adalah proses penyaringan oleh indra terhadap ransangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. 2) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi
yang diterimanya,
yaitu
proses
mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. 3) Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.19 Udai Pareek menjelaskan tiap-tiap proses persepsi tersebut, yaitu:
19
Alex Sobur, Psikologi Umum ..., h.447.
18
1) Proses menerima ransangan yaitu proses pertama dalam menerima
ransangan
atau
data
dari
berbagai
sumber.
Kebanyakan data diterima melalui pancaindra. Kita melihat sesuatu, mendengar, mencium, merasakan atau menyentuhnya. Sehingga kita mempelajari segi-segi lain dari sesuatu itu. 2) Proses menyeleksi ransangan. Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi. Dalam proses menyeleksi ransangan, ada dua kumpulan faktor menentukan seleksi rangsangan itu, yaitu: a) Faktor-faktor intern yang memengaruhi seleksi persepsi yaitu kebutuhan
psikologis,
latar
belakang,
pengalaman,
kepribadian, sikap dan kepercayaan umum dan penerimaan diri. b) Faktor-faktor ekstern yang memengaruhi seleksi persepsi yaitu intensitas, ukuran, kontras, gerakan, ulangan, keakraban dan sesuatu yang baru. 3) Proses pengorganisasian, ada tiga dimensi utama dalam pengorganisasian rangsangan yaitu pengelompokan, bentuk timbul dan latar serta kemantapan persepsi. 4) Proses penafsiran. Setelah rangsangan atau diterima dan diatur, si penerima lalu menafsirkan data itu dengan berbagai cara. Dikatakan telah terjadi persepsi setelah data itu ditafsirkan. Persepsi pada pokoknya memberikan arti berbagai data dan informasi yang diterima.
19
5) Proses pengecekan. Pengecekan sesudah data diterima dan ditafsirkan, si penerima mengambil beberapa tindakan untuk mengecek apakah penafsirannya benar atau salah. Proses pengecekan ini mungkin terlalu cepat dan orang mungkin tidak menyadarinya. Pengecekan ini dapat dilakukan dari waktu ke waktu untuk menegaskan apakah penafsiran atau persepsi dibenarkan oleh data baru.20 c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Adapun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
persepsi
menurut Mubarok dalam bukunya Psikologi Dakwah yaitu: 1) Faktor perhatian, adalah proses mental dimana kesadaran seseorang terhadap stimuli (rangsangan) lebih menonjol daripada saat yang sama dimana stimuli itu melemah. Penarik perhatian ini bisa datang dari luar maupun dari dalam. 2) Faktor fungsional, yaitu faktor yang timbul dari orang yang mempersepsi kebutuhan, sikap, kepentingan, pengalaman dan tahapan dalam mempengaruhi tanggapan seseorang terhadap sesuatu. 3) Faktor struktural, yaitu faktor yang muncul dari apa yang akan dipersepsi, misalnya hal-hal baru seperti gerakan, tindak-tanduk dan ciri-ciri yang tidak biasa akan turut juga dalam menentukan persepsi orang yang melihatnya.
20
Alex Sobur, Psikologi Umum ..., h.451-464.
20
4) Faktor situasi yaitu faktor yang muncul sehubungan karena situasi pada waktu mempersepsi sebagai contoh orang yang memakai pakaian renang di tempat yang tidak ada hubungannya dengan olah raga renang tentunya akan mempengaruhi persepsi yang dilihatnya. 5) Faktor
personal,
yaitu
berupa
pengalaman,
motivasi,
kepribadian.21 2. Alumni Alumni adalah mantan pelajar, mahasiswa22, orang-orang yang pernah belajar di sekolah atau perguruan tinggi. 23 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk Pelajar, alumni adalah “seseorang yang lulus, tamat dari suatu sekolah atau lembaga pendidikan tinggi (lembaga pembelajaran)”.24 Ketika keluar dari setiap institusi pembelajaran, baik pelajar, karyawan atau penyumbang, maka mereka diklasifikasikan sebagai seorang alumni. Dalam
penelitian ini alumni yang dimaksud adalah
mahasiswa jurusan Dakwah prodi KPI yang telah lulus dari STAIN Palangka Raya dan berdomisili di Palangka Raya. Dari beberapa
21
Alex Sobur, Psikologi Umum ..., h.460-462.
22
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta; Rineka Cipta, 1992, Cet. Ke-1, h. 6. 23
Layla, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, t.tp, t.t, Planata h. 22.
24
Meity Taqdir Qodratilah, Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011, Cet. Ke- 1, h. 16.
21
informasi yang diperoleh, rata-rata lulusan telah mendapatkan pekerjaan tetap maupun honorer. 3. Profesi Jurnalis a. Pengertian Profesi Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, “profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pengetahuan atau pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu”. 25 Profesi menurut Samsul Wahidin dalam bukunya Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers diartikan sebagai “bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian tertentu."26 Profesi sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Ciri khusus profesi adalah mengandalkan suatu keterampilan keahlian khusus yang tidak dapat dimiliki oleh orang kebanyakan, dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama, dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup dan dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam. b. Pengertian Jurnalis Jurnalis
adalah
orang
yang
melakukan
pekerjaan
kewartawanan dan atau tugas-tugas jurnalistik secara rutin atau orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk 25
Layla, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia..., h. 515
26
Samsul Wahidin, Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2012, Cet. 1, h. 143.
22
dimuat di media massa, baik media cetak, media elektronik atau pun media online. Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut sesesorang bekerja sebagai jurnalis. Beberapa sebutan lain dari jurnalis, antara lain: pewarta,27 wartawan, reporter28. Jurnalis seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan (4) Undang-undang Pokok Pers adalah karyawan yang melakukan secara kontinu pekerjaan, kegiatan, usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, ulasan, gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film.29 c. Syarat-syarat untuk Menjadi Jurnalis Syarat-syarat untuk menjadi jurnalis (wartawan) adalah: 1) Warga negara Indonesia. 2) Berjiwa Pancasila dan tidak pernah berkhianat terhadap Perjuangan Nasional. 3) Memahami sepenuhnya kedudukan, fungsi dan kewajiban pers sebagai tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Pokok Pers. 4) Memiliki kecakapan, pengalaman, pendidikan, akhlak tinggi dan pertanggung jawaban.
27
Orang yang menyampaikan kabar, memberitahukan, mengabarkan (Lihat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, h. 609) 28
Orang yang melaporkan peristiwa atau berita, penyusun laporan (Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005, Edisi Ke-3, Cet. Ke-3, h. 950) 29
M.L. Gandhi, Undang-Undang Pokok Pers; Proses Pembentukan dan Penjelasannya, Jakarta: CV. Rajawali, 1995, Cet. Ke-1, h. 128., h. 127.
23
5) Sanggup mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).30 6) Sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun secara aktif melakukan pekerjaan wartawan. 7) Mampu melenyapkan perasaan rendah diri Perasaan rendah diri dapat menghambat jurnalis dalam mendapatkan bahwa berita yang optimal. Rendah diri menjadi kendala mental jurnalis untuk menjadi lebih kreatif dan kritis dalam menggali informasi yang dibutuhkan dalam tugas jurnalistik. 8) Mampu mengurangi perasaan tinggi hati Sikap tinggi hati atau kesombongan dalam diri jurnalis dapat
menghambat
pelaksanaan
tugas
jurnalis
dalam
memperoleh akses informasi yang dalam. Sikap tinggi hati akan menjadi ganjalan jurnalis dalam menjalankan tugas karena merasa diri telah memiliki informasi yang banyak terkait bahan berita. Kondisi ini akan bedampak negatif terhadap isi berita yang disajikan.31 9) Perasaan ingin tahu, seorang jurnalis meliput sebuah berita dan peristiwa, pasti rasa ingin tahu jurnalis muncul dengan segera mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menjawab kenapa peristiwa itu terjadi dan apa yang sebenarnya terjadi. 30
Lihat Kode Etik Jurnalistik (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik; dari Undang-undang Hingga Hati Nurani, Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR, 2011, Cet. Ke-1, h. 173-177). 31
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan..., h. 41.
24
10) Daya khayal atau imajinasi dalam pemberitaan tergantung dari tinjauan ke depan maupun ke belakang. Dalam hal ini bukan saja harus mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara aktual dan faktual dalam pemberitaannya, tetapi juga harus mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya sebelum peristiwa itu terjadi. 11) Pengetahuan, seorang jurnalis yang tidak menguasai paling sedikit ilmu kemasyarakatan, akan sulit mempersepsikan dinamika yang dialami masyarakat Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan agar dapat meransang perasaan ingin tahu dan menyalakan imajinasi.32 d. Kode Etik Jurnalistik Kemerdekaan berpendapat, berekspresi dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan (jurnalis) Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik 32
Muhammad Budyatna, Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, h. 78.
25
dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan (jurnalis) Indonesia menetapakan dan mentaati Kode Etik Jurnalistik:33 1) Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.34 2) Pasal 2, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.35 3) Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga hak bersalah.36 4) Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.37
33
Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik; ..., h. 173-177.
34
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan orang, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dapat dipercaya, benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h. 173). 35 Cara-cara yang profesional adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber; menghormati hak privasi; tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h. 174). 36 Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proposional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atau fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h. 174-175). 37
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h. 175).
26
5) Pasal 5, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. 6) Pasal 6, wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. 7) Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya,
menghargai
ketentuan
embargo,
informasi latar belakang dan off the record sesuai dengan kesepakatan.38 8) Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atat cacat jasmani. 9) Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik 10) Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, melarat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan
38
Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber. Embargo adalah penundaan penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h.. 176).
27
permintaan maaf kepada pembaca, pendengar dan atau pemirsa.39 11) Pasal 11, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.40 Kode etik jurnalistik menempati posisi yang sangat penting bagi jurnalis. Bahkan dibandingkan dengan perundangundangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekali pun di hati sanubari setiap jurnalis. Kode etik jurnalistik mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Jurnalis yang tidak memahami kode etik jurnalistik akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai seorang jurnalis. Kode etik jurnalis di buat khusus dari, untuk dan oleh jurnalis sendiri dengan tujuan menjaga martabat, kehormatan profesi jurnalis. Ini berarti, pelanggaran kode etik jurnalistik adalah pelanggaran terhadap kehormatan profes jurnalis. e. Tugas dan Kompetensi Jurnalis Berkaitan dengan tugas jurnalis, James Gordon Bennet, pendiri The New York Herald menyatakan tugas jurnalis adalah separuh diplomat, separuh detektif. Hal ini berarti jurnalis harus
39
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan subtansi pokok. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h. 177) 40
Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. (Lihat Sirikit Syah, Rambu-Rambu Jurnalistik..., h. 177)
28
memiliki keterampilan diplomasi yang terampil, sekalipun cara kerjanya mirip detektif. Dalam pencarian berita, ada kalanya jurnalis memerlukan kemampuan negosiasi untuk memastikan tercapainya tujuan pemberitaan, di samping melakukan aktivitas penyelinapan untuk mengumpulkan bahan berita. Ilustrasi diplomat dan detektif menggambarkan tugas yang diemban jurnalis yang sangat berat dan rumit.41 Beberapa tugas jurnalis yang patut menjadi perhatian dalam menjalankan tugas jurnalistik, antara lain menyajikan fakta, menafsirkan fakta, mempromosikan fakta. Berdasarkan tugas jurnalis tersebut, jurnalis dianggap telah menjalankan tugasnya apabila telah menyajikan berita dan peristiwa yang memenuhi tugas-tugas di atas. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, setiap jurnalis memiliki tanggung jawab moral untuk mengemban tugas tersebut dengan sikap dasar yang objektif, akurat, proposional dan atas dasar itikad baik.42 Profesi jurnalis pun perlu didukung oleh kompetensi yang
bersifat
multi-skills,
kompetensi
yang
komprehensif.
Kompetensi jurnalis menjadi perlu sebagai bekal untuk mencapai profesionalisme jurnalis. Pasokan informasi dan berita yang disajikan jurnalis merupakan hasil karya jurnalis yang berbasis pada kompetensi yang dimiliki jurnalis itu sendiri. Kemampuan 41
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan..., h. 40.
42
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan..., h. 40.
29
menulis
dan
kepiawaian
berbicara,
keturunan
kerja
dan
pengetahuan yang memadai menjadi pijakan kompetensi yang harus ada dalam diri setiap jurnalis. 43 Berkaitan dengan kompetensi jurnalis, ada beberapa kompetensi jurnalis profesional yang harus dimiliki di era milenium global seperti sekarang, yaitu: kompetensi penulisan, kompetensi
berbicara,
kompetensi
riset
dan
investigative,
kompetensi pengetahuan dasar, kompetensi dasar web, kompetensi audio visual, kompetensi aplikasi komputer, kompetensi etika, kompetensi legal dan kompetensi karier44 Dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis harus memiliki standar kompentensi tersebut yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas jurnalis. Standar kompetensi jurnalis diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Tujuan standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan jurnalis dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi jurnalis, meningkatkan kualitas dan profesionalitas jurnalis, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja jurnalis oleh perusahaan pers, menegakkan kemerdekaan pers
berdasarkan
kepentingan
publik,
43
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan..., h. 41.
44
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan..., h. 42.
menghindarkan
30
penyalahgunaan profesi jurnalis, serta menempatkan jurnalis pada kedudukan strategis dalam industri pers. f. Tipologi Jurnalis dan Prinsip Jurnalis Dalam konteks sederhana, jurnalis dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu: 1) Jurnalis profesional, jurnalis ini biasanya menggantungkan hidupnya secara penuh pada profesinya sebagai jurnalis pada suatu perusahaan media, bersifat terikat dan cenderung idealispolitis, serta memiliki dedikasi terhadap profesi kewartawanan. 2) Jurnalis freelance, jurnalis ini menggantungkan hidupnya pada profesi jurnalis, namun bersifat tidak terikat sehingga lebih bebas dalam menyerahkan karya jurnalistiknya, cenderung idealis-komersial, serta memiliki dedikasi yang tidak terukur. 3) Jurnalis amatir, jurnalis ini tidak menggantungkan hidupnya pada profesi jurnalis, bersifat tidak terikat dan hanya untuk kegemaran, cenderung idealis politis-komersial untuk tujuan yang lebih jauh.45 4) Jurnalis koresponden, jurnalis yang bertugas di daerah dan merupakan daerah yang berbeda dengan kantor pusat penerbitan berita. Koresponden bertugas mencari berita yang nantinya akan dikirimkan
melalui
sarana
komunikasi
faksimili,email dan lain-lain.
45
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan..., h. 42.
seperti
telepon,
31
5) Jurnalis kantor berita, jurnalis yang bertugas mencari berita untuk satu kantor berita dan nantinya akan disalurkan atau dijual ke berbagai lembaga penerbitan yang membutuhkan.46 Dalam menjalankan fungsinya dan mengeluarkan hasil karya jurnalistik, seorang jurnalis harus menunjukkan sembilan prinsip yaitu: 1) Mengungkapkan kebenaran. Jurnalis harus menempatkan fakta terpercaya dan akurat pada tempatnya, tidak boleh mengejar kebenaran dalam pengertian absolut atau filosofis. Kebenaran jurnalistik ialah pengungkapan fakta realistis yang berawal dengan
disiplin
profesional
dalam
memadukan
dan
memverifikasi fakta. 2) Loyal kepada masyarakat. Jurnalis harus menyediakan berita tanpa rasa takut dan berhutang budi kepada pemilik modal, komitmen kepada publik sebagai komitmen utama merupakan basis kredibilitas organisasi beritanya, artinya liputan berita yang disajikan tidak condong kepada pemilik modal dan pemasang iklan. 3) Displin dalam memverifikasi. Jurnalis bersandar pada disiplin profesional dalam memverifikasi informasi. Ia harus transparan dan tidak boleh menyembunyikan fakta. Objektivitas adalah
46
http://grahamediajombang.blogspot.com/2011/03/jenis-jenis-wartawan.html (Online tanggal 30 Maret 2013).
32
konsep awal, yang berarti sejak proses pertama seorang jurnalis harus bebas dari bias. 4) Mandiri dalam liputan peristiwa. Kemandirian adalah syarat jurnalis
yang
menjadi
tiang
penyangga
keandalannya.
Kemandirian disini adalah kemandirian semangat dan pikiran. Meski para editorialis dan para penulis opini atau komentar tidak netral, jurnalis tetap menunjukkan keakuratan, kejelasan dan keadilan intelektual serta kemampuan menginformasikan secara baik dan dengan sikap yang tegas. 5) Pengawas independen terhadap kekuasaan. Jurnalisme memiliki kapsitas sebagai pengawas kalangan penguasa atau kalangan yang
posisinya
memengaruhi
banyak
orang.
Meskipun
demikian, jurnalis wajib melindungi kebebasan pengawasan dan bukan mengeksploitasinya demi tujuan komersial. 6) Membuka forum bagi kritik dan kompromi publik. Jurnalis harus menyediakan forum diskusi publik dan tanggung jawab sosial. 7) Menarik dan relevan. Jurnalis tidak sekedar mengumpulkan, menyajikan dan mendokumentasikan fakta-fakta penting. Jurnalis harus menyeimbangkan dan menyelaraskan segala hal yang menjadi keinginan khalayak. 8) Komprehensif dan proporsional. Dalam menyajikan berita, seorang jurnalis harus membuat sajian yang lengkap dan
33
proporsional. Artinya ia tidak memihak kepada pandangan atau kepentingan tertentu. Ia menciptakan peta yang bisa digunakan untuk membaca secara objektif perkembangan masalah dalam masyarakat. 9) Inisiatif dan kreatif. Jika keadilan dan keakuratan menjadi syarat jurnalisme, maka seluruh ruh jurnalis harus kaya inisiatif dan kreatif dalam menyingkap suara dari berbagai kalagan di kolomkolom medianya. 47
47
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasioanl..., h. 119-121.