BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Agresivitas 2.1.1. Definisi Agresivitas Menurut Berkowitz, agresivitas adalah keinginan dan tindakan untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Menurut Lazarus, agresi merupakan serangan yang dianggap sumber sebagai ancaman atau hal yang membahayakan dirinya. Freud menyatakan agresi sebagai pernyataan kesadaran atau proyeksi dari naluri kematian atau thanatos. Sedangkan Adler mengatakan agresi merupakan kemauan untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Murray juga berpendapat agresi merupakan sebagai bentuk kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemooh, atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadistik lainnya (Chaplin, 2005). Sedangkan perilaku agresif itu sendiri menurut Myers adalah bentuk perilaku fisik maupun lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Herbert berpandangan bahwa tingkah laku agresi merupakan suatu tingkah laku yang tidak dapat diterima dalam lingkungan sosial, yang dapat menyebabkan luka fisik maupun psikis pada orang lain, atau yang bersifat merusak benda. Menurut Baron dan Byrne, perilaku agresif adalah perilaku yang disengaja untuk melukai orang lain dan adanya usaha dari orang yang dilukai untuk menghindar atau melawan.
8
9
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa agresivitas merupakan kecenderungan berperilaku agresi yang bertujuan melukai dan merugikan orang lain melalui serangan fisik maupun verbal. 2.1.2. Jenis-Jenis Perilaku Agresi Jenis-jenis perilaku agresif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jenis-jenis perilaku agresif menurut Buss dan Perry. Buss dan Perry (dalam Tuasikal, 2012) mengatakan ada empat macam agresi, yaitu: 1.
Agresi fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain melalui serangan fisik. Hal ini termasuk memukul, menendang, menonjok, menusuk, membakar, dan sebagainya.
2.
Agresi verbal adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal atau lisan. Bila seseorang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek, mencela, memaki dan sebagainya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut sedang melakukan agresi verbal.
3.
Kemarahan hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Contoh seseorang dapat dikatakan marah apabila apabila dia sedang merasa frustrasi atau tersinggung.
4.
Kebencian adalah sikap yang negatif terhadap orang lain karena penilaian sendiri yang negatif. Contohnya adalah seseorang curiga kepada orang lain karena orang lain tersebut sangat baik dan lain sebagainya.
10
Tabel 2.1 Pembagian Agresi Menurut Buss dan Perry Langsung
Tidak Langsung
Jenis Aktif Menusuk, Fisik
Memukul, Menembak, Mendorong
Verbal
Pasif
Aktif Memasang
Demonstrasi
ranjau,
Diam
Menyewa
Mogok
pembunuh, Santet
Pasif Menolak melakukan tugas, Masa bodoh
Menghina
Menolak
Menyebar fitnah,
Tidak memberi
Memaki
berbicara
Mengadu domba
dukungan
Perilaku agresif yang dianggap tidak melukai yaitu dalam bentuk gosip atau menyebar fitnah (membicarakan atau menjelek-jelekan orang lain) sedangkan perilaku agresif yang dianggap paling parah yaitu berupa serangan fisik. Perilaku agresif yang disertai penyerangan fisik yang dapat berujung pada kematian. Diantara bentuk agresi diatas, agresi verbal yang paling sering terjadi. Perilaku agresif bentuk verbal bukan berarti tidak mampu melukai, bahkan tidak jarang bahwa agresi verbal dapat membunuh karakter orang lain. Makian, kata-kata kasar, hinaan, serta ejekan adalah hal-hal yang dapat membuat seseorang menjadi sangat terlukai dan dampaknya jauh lebih menyakitkan dan akan lama menetap dalam ingatan seseorang daripada terkena lemparan batu atau pukulan (dalam Putri).
11
2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Agresivitas Banyak faktor yang mempengaruhi penyebab munculnya perilaku agresif. Pada penelitian ini akan memaparkan enam faktor yang mempengaruhi agresivitas (dalam Anantasari, 2006) diantaranya: 1.
Faktor psikologis Perilaku naluriah. Menurut Sigmund Freud dalam diri manusia ada naluri kematian yang ia sebut pula thanatos yaitu energi yang tertuju pada perusakan atau pengakhiran kehidupan. Insting thanatos ini bekerja secara sembunyi-sembunyi dan bersifat desktruktif. Dorongan agresif adalah derivatif insting mati yang terpenting (Alwisol, 2009). Freud juga mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat naluri kehidupan yang disebut dengan eros. Dalam pandangan Freud, agresi berasal dari naluri kematian atau thanatos yang diarakan bukan ke dalam diri sendiri melainkan ke dalam diri orang lain. Sedangkan menurut Konrand Lorenz, agresi merupakan bagian dari naluri hewan yang diperlukan untuk survivel (bertahan) dalam proses evolusi. Menurut Lorenz, agresi yang bersifat survivel ini adaptif (menyesuaikan diri dengan lingkungan) bukan dekstruktif yang dapat menghancurkan. Perilaku yang dipelajari. Menurut Albert Bandura, perilaku agresif berasal dari respon-respon agresif yang dipelajari manusia melalui pengalamanpengalaman di masa lalunya melalui modelling dan imitasi. Dalam proses pembelajaran perilaku agresif, terlibat pula berbagai kondisi sosial atau lingkungan yang mendorong perwujudan perilaku agresif. Dalam
12
penelitian White & Humphrey, wanita-wanita yang agresif telah mengalami perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang diperoleh dari orang tuanya, teman, maupun pasangannya. 2.
Faktor sosial Frustrasi: seperti yang diuraikan dalam hipotesis frustrasi-agresi dari John Dollard, frustrasi bisa menimbulkan agresi. Namun demikian tidak setiap orang yang mengalami frustrasi menyebabkan ia berperilaku agresif. Ada variasi yang luas sehubungan dengan reaksi yang bisa muncul dengan orang yang mengalami frustrasi. Reaksi yang serupa seperti penarikan diri dan depresi. Disamping itu, tidak setiap agresi berasal dari reaksi frustrasi. Berkowitz & Le Page mengatakan bahwa frustrasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yang memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustrasi dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan frustrasi itu. Akan tetapi jika sumber frustrasi dinilai tidak mempunyai pilihan lain (terpaksa melakukan hal tersebut), frustrasi tidak menimbulkan kemarahan sehingga juga tidak memicu agresi (Sarwono, 2002). Kemarahan memerlukan pancingan (cue) tertentu untuk dapat menimbulkan perilaku agresi yang nyata. Provokasi langsung: bukti-bukti mengindikasikan bahwa pencederaan fisikal (physical abuse) dan kekerasan verbal (verbal abuse) dari orang lain dapat memicu perilaku agresif.
3.
Pengaruh tontonan perilaku agresif di tv Terdapat kaitan antara agresi dan paparan tontonan kekerasan lewat televisi. Pengaruh tontonan televisi terus dibuktikan melalui berbagai penelitian.
13
Dalam penelitian Berkowitz & Geen menemukan bahwa mahasiswa yang dibuat marah akan cenderung lebih agresif setelah menonton televisi-agresi dari pada yang tidak menonton televisi-agresi. Di pihak lain, tontonan kekerasan di televisi masih dipertanyakan. 4.
Faktor-faktor lingkungan Faktor-faktor lingkungan seperti pengaruh polusi udara, kebisingan, rasa sesak berjejal (crowding), adalah hal yang dapat memicu timbulnya perilaku agresif. Griffit mengatakan, tak terkecuali udara yang sangat panas lebih cepat memicu timbulnya kemarahan dan agresi.
5.
Faktor-faktor situasional Faktor situasional yang dapat memicu perilaku agresif seseorang adalah rasa sakit atau rasa nyeri yang dialami seseorang yang kemudian mendorong orang tersebut melakukan perilaku agresif.
6.
Faktor biologis Laki-laki dipercaya sebagai pembawa sifat agresif yang berkaitan dengan produksi hormon testosteron. Menurut tim America Psychological, kenakalan remaja banyak terdapat pada remaja pria karena jumlah testosteron menurun sejak usia 25 tahun. Selain itu para peneliti yang menyelidiki kaitan antara cedera kepala dan perilaku kekerasan mungkin dapat memicu munculnya perilaku agresif.
7.
Faktor genetik Pada percobaan Lagerspetz, mengawinkan sejumlah tikus putih yang agresif dan tikus putih yang tidak agresif. Sesuai dengan Hukum Mendel, setelah 26 generasi, diperoleh 50% tikus yang agresi dan 50% tikus yang tidak agresi.
14
Selanjutnya pada faktor genetika ini juga dibuktikan melalui identifikasi ciriciri agresif pada pasangan kembar identik, kembar non-identik dan saudarasaudara kandung non kembar. Hasilnya adalah ciri-ciri yang sama paling banyak terdapat antara pasangan kembar identik (Sarwono, 2002). 2.1.4. Aspek-Aspek Agresivitas Pada penelitian ini menggunakan aspek-aspek agresivitas menurut Johnson & Medinnus. Menurut Johnson & Medinnus, perilaku agresif dapat dikelompokan menjadi empat bagian dan hal ini dapat dijadikan sebagai aspek-aspek perilaku yang mengindikasikan tindakan agresivitas, diantaranya sebagai berikut : 1.
Menyerang dengan atau pada fisik Menyerang dengan atau pada fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Melukai dapat dilakukan dengan memukul dengan kepalan tangan untuk meninju, dengan kaki untuk menendang, dapat pula
dilakukan
dengan
menggunakan
instrumen
atau
alat,
seperti
menggunakan pisau untuk menusuk, menggunakan api untuk membakar, menggunakan pistol untuk menembak dan sebagainya. 2.
Menyerang pada benda atau objek Menyerang pada benda atau obyek adalah agresi yang dilakukan pada benda mati yang tidak berhubungan dengan target yang memunculkan amarah. Contoh seorang anak yang marah kepada ayahnya kemudian ia melampiaskan kemarahannya pada boneka.
3.
Menyerang secara verbal atau simbolik Menyerang secara verbal atau simbolik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal. Bila seseorang sedang mengumpat,
15
mengejek, mengancam, membantah dan sebagainya, berarti seseorang itu sedang melakukan agresi verbal. 4.
Pelanggaran terhadap hak milik orang lain atau menyerang daerah orang lain Menyerang daerah orang lain atau pelanggaran terhadap hak milik orang lain adalah agresi yang dilakukan untuk melanggar hak milik orang lain. Seperti memaksakan pendapat, merusak barang yang merupakan hak milik orang lain (www.mitrariset.com).
2.2. Pola Asuh 2.2.1
Definisi Pola Asuh Menurut Baumrind, pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control
(kontrol orang tua). Kohn juga mengatakan bahwa pola asuh merupakan cara-cara interaksi antara orang tua dan anak dengan cara pemberian hukuman, hadiah, pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Pola asuh sebagai cara orang tua memberikan perhatian, mendidik, membimbing dan melindungi anak. Berdasarkan pengertian diatas, pola asuh merupakan bentuk kontrol orang tua dalam berinteraksi dengan anak melalui pemberian hukuman, hadiah, perhatian, bimbingan serta mendidik dan melindungi anak. Menurut Hurlock, tujuan pola asuh yaitu mendidik anak agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. 2.2.2. Tipe-tipe Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock, terdapat tiga jenis pola asuh yang sering digunakan oleh orang tua dalam mengasuh anaknya, diantaranya: pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif.
16
1.
Pola asuh otoriter Pada pola asuh otoriter, orang tua memegang kekuasaan penuh. Orang tua
cenderung membuat aturan yang kaku namun tidak memberikan penjelasan pada aturan yang dibuatnya. Orang tua juga kurang simpati dan kurang memiliki kasih sayang kepada anak, bahkan tidak meminta atau mempertimbangkan keinginan maupun pendapat anak. Biasanya, orang tua cenderung mengajarkan disiplin kepada anak menggunakan hukuman fisik. Dalam menghadapi perilaku buruk anak, orang tua menggunakan cara-cara kasar. Selain itu, orang tua membatasi hak anak, sementara anak dituntut untuk mempunyai tanggung jawab seperti orang dewasa. Anak diharuskan tunduk dan patuh pada orang tuanya sementara orang tua sering memaksakan kehendaknya kepada anak. 2.
Pola asuh demokratis Menurut Hurlock, ciri-ciri pola asuh demokratis yaitu anak diberi
kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya, anak diakui keberadaannya oleh orang tua, dan anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Orang tua akan menunjukkan perasaan tidak senang terhadap perilaku buruk anak namun tidak mengarahkan pada hukuman fisik. Hak dan kewajiban antara anak dan orang tua seimbang, antara orang tua dan anak saling melengkapi satu dengan yang lain. Orang tua mulai melatih tanggung jawab dan menentukan tingkah laku anak menuju kedewasaannya. Dalam membuat keputusan kepada anak, orang tua juga selalu memberikan alasan mengenai keputusan yang dibuatnya dan bertindak objektif serta mendorong anak untuk saling menolong, orang tua dengan pola asuh demokratis ini tegas namun juga hangat dan penuh perhatian, sehingga anak akan tampak ramah, kreatif, percaya diri, mandiri, bahagia, serta memiliki tanggung-
17
jawab sosial yang tinggi. Orang tua juga memberikan kebebasan namun masih dalam batas wajar. 3.
Pola asuh permisif Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif pada anaknya cenderung
tidak banyak mengatur dan mengontrol sehingga anak diberi kesempatan untuk mandiri dengan menyeimbangkan kontrol internalnya. Anak diberikan kebebasan yang seutuhnya. Tidak ada aturan nilai secara jelas dalam menyikapi tingkah laku anak. Selain itu antara orang tua dan anak jarang berdiskusi, sehingga orang tua cenderung mengabaikan atau menerima perilaku buruk yang dilakukan anak. Orang tua juga cenderung tidak melibatkan anak dalam diskusi keluarga. 2.2.3. Aspek-aspek Pola Asuh Baumrind menyatakan ada empat aspek pola asuh (dalam Utami, 2013) yaitu: 1.
Kehangatan atau pengasuhan (Warmth or Nurturance) Ungkapan orang tua dalam mengasuh anak dengan menunjukkan kasih sayang, kehangatan, perhatian serta memberikan dorongan pada anak.
2.
Tingkat harapan (Level of Expectations) Baumrind juga menyebutnya sebagai tuntutan kedewasaan yang merupakan sikap orang tua dalam memberikan tuntutan dan dorongan kepada anak untuk mandiri, memiliki tantangan emosional dan tanggung jawab pada tindakan. Kedewasaan anak merupakan sikap untuk menghadapi lingkungan sekitar.
3.
Kontrol (Control) Kontrol merupakan wujud sikap orang tua dalam menghadapi tingkah laku anak yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan orang tua.
18
4.
Komunikasi antara orang tua dan anak (Communication between parent and child) Merupakan bentuk usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi dengan anak melalui hubungan timbal balik antara kedua belah pihak.
2.3. Dewasa Awal Suryabrata (dalam Simbolon, 2012) mengatakan usia mahasiswa berada pada usia 18 hingga 25 tahun. Pada rentang usia tersebut dikategorikan sebagai masa dewasa awal. Peralihan dari masa remaja ke masa dewasa awal ditandai dengan kontinuitas penyesuaian diri. Remaja yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan terus menyesuaikan diri dengan baik sebagai orang dewasa, sedangkan remaja yang bermasalah, cenderung akan menjadi orang dewasa yang bermasalah juga. Bagi beberapa remaja, peralihan ke masa dewasa sulit dihadapi karena semakin meningkatnya tanggung jawab dan kemandirian sebagai orang dewasa. Bagi remaja lainnya, peralihan masa remaja ke masa dewasa menjadi hal positif yang dapat memberikan kesempatan untuk mengubah hidup menjadi lebih positif. 2.3.1 Tugas-Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal Menurut Havirgurst, sumber tugas-tugas perkembangan yaitu kematangan pisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai dan aspirasi individu. Adapun tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah: 1. Mulai bekerja 2. Memilih pasangan hidup 3. Belajar hidup dengan suami atau istri 4. Mulai membentuk keluarga 5. Mengasuh anak
19
6. Mengelola atau mengemudikan rumah tangga 7. Menerima atau mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Menemukan kelompok sosial yang menyenangkan 2.4. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Pada Mahasiswa Keluarga merupakan wadah bagi proses interaksi sosial yang terjalin. Interaksi di dalam keluarga akan tercermin melalui pola asuh. Bandura mengatakan perilaku agresif dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yaitu salah satunya dari model yang dilihat dan diamati di dalam keluarga. Berbagai penelitian di Indonesia juga membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak (dalam Sarwono, 2002). Anak yang diasuh dengan tipe otoriter memiliki karakteristik seperti takut, gelisah, moody, mudah mengganggu orang lain, tidak bahagia, cenderung bermusuhan secara pasif, serta berbohong. Segala aktivitas dan tingkah laku di kontrol ketat, selain itu orang tua juga tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan pendapat, maupun gambaran perasaannya sehingga memunculkan paradigma bahwa semakin di larang dan diatur keinginan dan tujuan anak dalam hal ini adalah mahasiswa, maka semakin tinggi peluang munculnya perilaku agresif pada mahasiswa. Adanya hubungan yang positif antara pola asuh otoriter dengan agresivitas sejalan terhadap yang dikemukakan oleh Baumrind bahwa keluarga yang cenderung melakukan hukuman fisik menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah yang sementara ditekan karena terkait norma sosial (barier), namun sewaktu-waktu anak akan meluapkan
20
amarahnya menjadi perilaku agresif. Selain itu, anak-anak (mahasiswa) dari orang tua yang otoriter sering tidak bahagia, ingin membandingkan dirinya dengan orang lain, gagal memulai aktivitas dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah (Santrock, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Baldin yaitu membandingkan keluarga yang berpola asuh demokratis dengan keluarga yang berpola asuh otoriter, menemukan bahwa anak yang diasuh dari orang tua demokratis menunjukkan ciri-ciri memiliki inisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, anak dengan pola asuh otoriter menunjukkan makin berkurang ketaatan anak, bersikap mengganggu, tidak dapat merencanakan sesuatu, kurang memiliki daya tahan dan menunjukkan kegelisahannya. Penelitian lain yang masih berkaitan mengenai hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas pada lak-laki dan perempuan menunjukkan adanya perbedaan. Tingkah laku agresif pada laki-laki cenderung stabil dalam setiap masanya, namun tingkah laku agresif pada perempuan semakin berkurang. Hal ini terjadi karena norma yang ada di dalam masyarakat melarang perempuan berperilaku agresif dan bahkan dianggap tabu bagi seorang perempuan berperilaku agresif. Perempuan lebih sering menampilkan perilaku yang lembut. Secara psikologis, perempuan lebih mampu menahan emosi. Artinya apabila perempuan semakin tertekan karena sikap orang tua maka akan semakin tunduh dan patuh atau hanya menangis dan memilih mengurung diri di dalam kamar. Perempuan cenderung melakukan agresi hubungan (relational aggression) yang sering disebut sebagai agresi tersembunyi atau tidak langsung. Ini merupakan bentuk yang sifatnya merusak atau mempengaruhi hubungan, reputasi dan keadaan
21
psikologis. Sering kali dilakukan dengan cara menggoda, memanipulasi, mengejek, meremehkan, bahkan mengeluarkan seseorang dari keanggotaan kelompok. Agresi hubungan mungkin tidak lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, namun dampaknya lebih serius pada perempuan, yang cenderung lebih memperhatikan hubungan dibandingkan anak laki-laki (Feldman dkk, 2009). Berdasarkan uraian diatas, pola asuh otoriter memiliki hubungan dengan agresivitas pada mahasiswa. Anak yang di asuh dengan tipe demokratis menghasilkan karakteristik periang, memiliki kontrol diri dan kepercayaan diri yang baik, memiliki tujuan, berorientasi prestasi, menunjukkan ketertarikan dan keingintahuan di dalam situasi baru, memiliki tingkat energi yang tinggi, mampu mempertahankan relasi bersahabat dengan teman sebaya, dapat bekerja sama dengan orang dewasa, dapat diatur serta mampu mengatasi stres dengan baik (Multahada, 2012). Orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Orang tua memberikan tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dilakukan anak. Mereka selalu komunikasi dengan saling memberi dan menerima pendapat atau opini satu sama lain, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dari anakanaknya. Orang tua selalu memberikan penjelasan terhadap apa yang mereka lakukan kepada anaknya, mendorong anak untuk saling membantu satu sama lain dan bertindak secara objektif, mereka juga menunjukkan sikap tegas namun hangat dan penuh pengertian. Jika ada hal yang berkaitan dengan kemarahan dan kebencian, akan diungkap dan dibicarakan secara terbuka sehingga komunikasi yang terjalin diantara mereka berjalan lancar dan harmonis. Dengan demikian
22
dapat dikatakan bahwa tidak adanya hubungan antara pola asuh demokratis dengan agresivitas pada mahasiswa. Menurut Hurlock, karakteristik anak yang diasuh dengan tipe permisif yaitu menguasai, menantang, penolakan, cepat marah namun cepat riang kembali suasana hatinya, kurang memiliki kontrol diri, impulsif, menunjukkan sedikit orientasi berprestasi, kurang mandiri, ingin menang sendiri dan kurang matang secara sosial. Sementara itu orang tua tidak lagi dianggap sebagai sosok yang memiliki peran dan tauladan baginya. Ia menganggap bahwa apa yang ia raih adalah bersumber dari pribadinya dan tidak ada yang dapat memberikan aturan maupun larangan, oleh karena itu anak merasa bebas tanpa adanya aturan dari orang tua. Orang tua kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan mahasiswa diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya. Secara terori, hubungan pola asuh permisif dengan agresifitas harusnya lebih rendah dibandingkan dengan hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas. Disamping itu, pola asuh permisif justru mempunyai hubungan yang lebih besar bagi pemicu munculnya perilaku agresif, karena asumsi ini mengindikasikan bahwa saat manusia direndahkan martabatnya dengan tidak menanggapi seluruh perbuatannya maka ia akan mencari perhatian dengan cara menampilkan perbuatan negatif yang langsung dapat mencemarkan nama baik keluarganya. Jika cara yang ditempuh mendapat reinforcement maka ia akan lebih sering melakukan tindakan yang negatif, dalam konteks ini adalah perilaku agresif. Berdasarkan penelitian Bernadi (dalam Aisyah, 2010) tindakan negatif ini berupa tidak mengenal tata tertib, sulit dipimpin, tidak taat pada peraturan, dan
23
lain-lain. Dengan demikian, pola asuh permisif dapat menimbulkan perilaku agresif. 2.5. Kerangka Pemikiran Berdasarkan penjelasan diatas, dapat di buat skema kerangka pemikiran sebagai berikut:
Pola Asuh Orang Tua
2.6.
Agresivitas
Hipotesis Berdasarakan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan
hipotesis apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan agresivitas pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta?