BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori 1.
Pengertian Hasil Belajar Winkel (2007: 59) menyatakan bahwa hasil belajar adalah suatu bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu pembelajaran. Hasil belajar itu merupakan suatu indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses kegiatan belajarnya. Hasil belajar menurut Jihad & Haris (2009: 62) adalah segala sesuatu yang menjadi bagian siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah dilakukannya. Susilo (2006: 34) menyatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang terjadi secara berkesinambungan dari seorang pembelajar dan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dalam proses belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 38) hasil belajar adalah dampak yang dilakukan oleh siswa sebagai upaya untuk menuju kemandirian dalam kegiatan belajar. Dari segi guru, kegiatan belajar merupakan dampak dari kegiatan mengajar. Dari segi siswa, kegiatan belajar yang dialami adalah usaha yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Hasil belajar juga diungkapkan oleh Nasution (2003: 42) yang menyatakan bahwa hasil adalah suatu perubahan pada individu yang belajar. Hasil belajar itu diperoleh siswa setelah mengikuti materi dari suatu mata pelajaran. Hasil belajar yang diperoleh siswa dapat dilihat dari nilai tes atau ulangan (formatif) yang diberikan setelah proses pembelajaran dilaksanakan. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini sependapat dengan Nasution (2003: 42) yang menyatakan bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang sedang belajar setelah mengikuti materi dari suatu mata pelajaran, yang dapat dilihat dari nilai tes atau nilai ulangan (formatif), yang diberikan oleh guru. 2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Model pembelajaran koooperatif tipe STAD merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang diterapkan untuk menghadapi kemampuan siswa yang heterogen. Model pembelajaran ini dipandang sebagai cara yang paling sederhana dan langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif. STAD paling awal ditemukan dan dikembangkan oleh para peneliti pendidikan di John Hopkins Universitas 5
Amerika Serikat. Model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, hal ini bertujuan agar siswa dapat memahami uraian materi pelajaran serta mampu berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok (Isjoni 2007: 71). Model pembelajaran ini adalah suatu model pembelajaran yang berbentuk kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 4 atau 5 orang yang dibentuk dari anggota yang heterogen terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berasal dari berbagai suku, jenis kelamin, dan etnis yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah (Slavin 2005: 150). Proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu model pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan kerjasama, kreatif, berpikir kritis dan saling membantu teman, serta merupakan pembelajaran kooperatif yang sederhana dan paling mudah untuk dipahami (Arends 2008: 13). Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu: Penyajian kelas. Penyajian kelas mendorong guru untuk menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan penyajian kelas. Penyajian kelas tersebut mencakup pembukaan, pengembangan dan latihan terbimbing; Kegiatan kelompok. Kegiatan kelompok melibatkan siswa agar dapat mendiskusikan lembar kerja yang diberikan dan diharapkan saling membantu sesama anggota kelompok untuk memahami bahan pelajaran dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan; Kuis. Kuis adalah tes yang dikerjakan secara mandiri dengan tujuan untuk mengetahui keberhasilan siswa setelah belajar kelompok. Hasil tes digunakan sebagai hasil perkembangan individu dan dijadikan sebagai pedoman nilai perkembangan dan keberhasilan kelompok; Skor kemajuan (perkembangan) individu. Skor kemajuan individu ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor kuis terkini yang melampui rata-rata skor siswa yang lalu; Penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok adalah pemberian predikat kepada masing-masing kelompok. Predikat ini diperoleh dengan melihat skor kemajuan kelompok. Skor kemajuan kelompok diperoleh dengan mengumpulkan skor kemajuan masing-masing kelompok sehingga diperoleh skor rata-rata kelompok (Isjoni, dkk. 2007: 70-73). a.
Komponen-komponen dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu presentasi kelas, tim (kelompok), kuis, skor kemajuan 6
individual, dan rekognisi tim (Slavin 2005: 143-146). Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi yang dilakukan didalam kelas, selanjutnya dilakukan pengajaran langsung seperti diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru atau melakukan presentasi dalam proses pembelajaran. Perbedaan pada persentasi kelas dan pengajaran biasanya akan terlihat pada saat presentasi yang berfokus pada proses pembelajaran kooperatif tipe STAD. Penerapan langkah dalam proses pembelajaran STAD akan membuat para siswa untuk menyadari bahwa mereka harus lebih fokus memperhatikan materi yang disampaikan selama presentasi kelas, karena hal itu akan membantu mereka dalam mengerjakan kuis-kuis yang diberikan. Skor kuis yang siswa peroleh akan menentukan skor kelompok mereka. Fungsi utama dari kelompok/tim adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok harus terlibat secara aktif dalam kelompok dan secara khusus mempersiapkan anggota kelompok untuk dapat mengerjakan kuis dengan baik dan benar. b.
Persiapan-persiapan dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Model pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin (2005: 147-154) adalah suatu model pembelajaran yang harus disertai dengan persiapan oleh guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran perlu mempersiapkan perangkat pembelajaran terlebih dahulu. Perangkat pembelajaran itu meliputi: rencana pembelajaran, lembar kegiatan tim, lembar jawaban, dan lembar kuis. Perencanaan kegiatan selanjutnya harus membuat lembar rangkuman kelompok, menyusun peringkat siswa, menentukan siswa dalam sebuah kelompok, dan membagi siswa kedalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa pada setiap kelompok. Persiapan lainnya yang perlu diperhatikan oleh guru adalah penentuan skor awal pertama pada setiap kelompok dan pengaturan tempat duduk yang perlu dipersiapkan sebelumnya. c.
Proses Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Proses pembelajaran dalam STAD lebih menekankan pada kerja sama siswa dalam kelompok. Guru memberikan pelajaran kepada siswa, kemudian membagi siswa kedalam beberapa kelompok dengan tiap kelompok terdiri dari 4 atau 5 siswa. siswa bekerja sama dalam masingmasing kelompok. Guru memberikan soal tes kepada masing-masing kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibrahim (2000: 20-21) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah model 7
pembelajaran yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa dengan menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4 atau 5 orang. Setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berasal dari berbagai suku, dan memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota kelompok menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, dan melakukan diskusi. STAD terdiri dari siklus kegiatan pengajaran biasa seperti berikut ini: Mengajar, menyajikan pelajaran; Belajar dalam kelompok, siswa bekerja di dalam kelompok mereka dengan dipandu oleh lembar kegiatan siswa untuk menuntaskan materi pelajaran; Tes, siswa mengerjakan kuis atau tugas lain secara individual; Penghargaan kelompok, skor kelompok dihitung berdasarkan skor peningkatan anggota kelompok, dan sertifikat, laporan berkala kelas, atau papan pengumuman digunakan untuk memberi penghargaan kepada kelompok yang berhasil mencetak skor tinggi. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri dari 4 langkahlangkah dalam proses pembelajarannya, yaitu: Pembentukan kelompok heterogen. Pembentukan kelompok ini ditentukan oleh guru, karena guru yang lebih mengetahui siswa yang pandai dan siswa yang kurang pandai, disamping itu guru juga harus memperhatikan jender, suku, dan ras dari masing-masing siswa; Penjelasan materi dan kegiatan kelompok. Guru memberikan informasi kepada siswa berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran. Guru menjelaskan materi kepada siswa, selanjutnya siswa melakukan diskusi dengan bimbingan oleh guru; Pelaksanaan kuis atau evaluasi. Pelaksanaan kuis atau evaluasi dilakukan setelah proses diskusi selesai. Guru kemudian memberikan tes yang dikerjakan siswa secara individu; Pemberian penghargaan. Kelompok yang mempunyai nilai rata-rata paling tinggi akan mendapatkan penghargaan dari guru. Penghargaan ditentukan berdasarkan hasil tes yang telah dikerjakan dalam kelompok masing-masing (Slavin 2005: 149-161). d.
Peranan Guru dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Isjoni (2007: 74-75) menyatakan bahwa peranan guru dalam proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu: Memanfaatkan materi prasyarat, momotivasi siswa dan menjelaskan cara siswa bekerja dalam kelompok; 8
Memberikan lembar kegiatan siswa pada masing-masing kelompok; Memberikan lembar kegiatan untuk ugas individu pada masing-masing siswa; Menyiapkan lembar observasi untuk perolehan skor individu dan kelompok; Membagi siswa kedalam kelompok dengan tiap-tiap kelompok terdiri dari 4 atau 5 siswa; Guru berperan sebagai motivator dan fasilitator. Guru sebagai motivator untuk memantau kegiatan siswa dalam bekerja kelompok dan sebagai fasilitator, guru tidak langsung menjawab pertanyaan siswa, tetapi memfasilitasi atau membimbing siswa untuk dapat memahami materi yang belum jelas. e.
Tahapan dalam Memberikan Penghargaan Atas Keberhasilan Kelompok dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD 1. Menghitung skor individu Isjoni (2007: 72-73) menyatakan bahwa untuk memberikan skor perkembangan individu dapat dihitung berdasarkan pedoman pemberian skor perkembangan individu seperti yang terlihat pada Tabel 2.1 dibawah ini: Tabel 2.1. Skor Kemajuan Individu Skor Tes
Skor Perkembangan Individu
a.
Lebih dari 10 poin dibawah skor awal.
5
b.
10 hingga 1 poin dibawah skor awal.
10
c.
Skor awal sampai 10 poin diatasnya
20
d.
Lebih dari 10 poin diatas skor awal
30
e.
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)
30
Sthal (dalam Isjoni 2007: 73) 2. Menghitung Skor Kelompok Skor kelompok dihitung dengan membuat rata-rata skor perkembangan anggota kelompok, yaitu dengan menjumlahkan semua skor perkembangan yang diperoleh anggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok. Berdasarkan rata-rata 9
skor perkembangan kelompok tersebut, maka diperoleh kategori skor kelompok yang terdapat pada Tabel 2.2 dibawah ini. Tabel 2.2. Tingkat Penghargaan Kelompok Rata-rata Kelompok
Predikat
15
Kelompok Baik
25
Kelompok Hebat
30
Kelompok Super
Slavin (dalam Isjoni 2007: 73) 3. Pemberian Hadiah dan Pengakuan Skor Kelompok Pemberian hadiah dilakukan oleh guru setelah masingmasing kelompok memperoleh predikat. Guru memberikan hadiah atau penghargaan kepada masing-masing kelompok sesuai dengan predikatnya. f.
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Menurut Graves (dalam Ibrahim 2000: 12) kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu: 1.
Kelebihan Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu: membantu siswa untuk dapat memperajari isi materi yang sedang dibahas; menjadikan siswa mampu belajar dalam diskusi, belajar mendengarkan pendapat orang lain, dan mencatat hal-hal yang bermanfaat untuk kepentingan bersama; menghasilkan pencapaian belajar siswa yang tinggi; menambah ilmu pengetahuan bagi siswa yang lambat berpikir; memudahkan guru untuk memantau siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. 2.
Kekurangan Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe STAD akan terlihat pada kerja kelompok yang ramai, hanya melibatkan mereka yang mampu memimpin, dan penggunaan waktu yang kurang efektif.
10
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat (Sanjaya 2008: 109). Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga dan mayarakat. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning mengajak siswa untuk menyadari makna dari belajar dan apa manfaat atau kegunaan bagi diri siswa, serta bagaimana mencapainya (Kesuma, dkk. 2010: 58). Peran seorang guru dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning adalah sebagai pendukung yang membantu siswa untuk mencapai tujuan yang mereka harapkan. Guru tidak menjadi pusat informasi, tetapi menjadi fasilitator bagi siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang dipelajari pada saat proses pembelajaran. Elaine B Johnson (2007: 66-72) dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” menyatakan bahwa sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa untuk dapat melihat makna dalam materi yang mereka pelajari dan menghubungkan materi tersebut dengan kehidupan mereka sehari-hari. Guru harus dapat mengajarkan kepada siswa tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran CTL. Pembelajaran ini meliputi delapan komponen, yaitu: membuat keterkaitanketerkaitan yang bermakna; melakukan pekerjaan yang berarti; melakukan pembelajaran yang diatur sendiri; melakukan kerja sama; berpikir kritis dan kreatif; membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; mencapai standar yang tinggi; dan menggunaakan penilaian autentik.
B.
1.
Asas-asas Contextual Teaching Learning (CTL) Sanjaya (2006: 262-267) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh asas utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). 11
a.
Konstruktivisme (Constructivism) Setiap individu dapat membuat struktur kognitif atau mental berdasarkan pengalaman mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, hal ini dikatakan sebagai konstruktivisme. Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (selfdiscovery), siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru. Menurut Piaget (dalam Sanjaya 2006: 262) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivisme mengandung hakikat pengetahuan sebagai berikut: Pengetahuan yang diperoleh merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; Subjek membentuk skema kognitif, kategori, dan struktur yang diperlukan untuk pengetahuan dalam proses pembelajaran; Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi tersebut terjadi bila konsepsi itu berhubungan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan yang dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan tersebut, maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Sejalan dengan pemikiran Piaget mengenai kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. b.
Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Menemukan atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: Merumuskan masalah; Mengajukan hipotesis; Mengumpulkan data; Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan; Membuat kesimpulan. Melalui proses berpikir yang sistematis, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa.
12
c.
Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya dipandang sebagai refleksi keingintahuan setiap individu dalam belajar. Proses pembelajaran CTL lebih menekankan pada peran guru yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi memancing pemikiran siswa agar dapat menemukan sendiri materi yang dipelajari. Pembelajaran yang produktif dengan menggunakan kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali informasi, baik administratif maupun akademis; Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa; Membangkitkan respon kepada siswa; Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. d.
Masyarakat belajar (Learning Community) Vygotsky (dalam Sanjaya 2006: 265) menyatakan bahwa “pengetahuan dan pemahaman anak lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi dengan orang lain”. Konsep masyarakat belajar (Learning Community) menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil dalam proses pembelajaran yang diperoleh dari sharring antarsiswa, antarkelompok, dan antarmasyarakat belajar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman. e.
Pemodelan (Modeling) Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu yang menggunakan suatu model yang bisa ditiru. Model itu dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dalam artian bahwa guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Pembelajaran kontekstual menekankan kepada guru untuk dapat merancang model dengan melibatkan siswa agar siswa dapat terlibat aktif dalam pembelajaran. f.
Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa merefleksikan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru diterima. Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa: Pernyataan langsung 13
tentang apa-apa yang diperoleh pada pembelajaran yang baru saja dilakukan; Catatan atau jurnal di buku siswa; Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan. g.
Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Karakteristik authentic assessment diantaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis. 2.
Komponen-komponen dalam CTL Proses pembelajaran dalam CTL mempunyai delapan komponen, yaitu: membuat hubungan-hubungan yang bermakna; melakukan pekerjaan yang berarti; melaksanakan proses pembelajaran yang diatur sendiri; bekerja sama; berpikir kritis dan kreatif; membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; mencapai standar tinggi; menggunakan penilaian autentik (Johnson 2007: 65). 3.
Karakteristik dalam Pembelajaran CTL Sanjaya (2008: 110) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yaitu: Pembelajaran dengan pendekatan CTL merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain; Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan yang baru (acquiring knowledge). Pengetahuan yang baru itu diperoleh secara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya; Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan; 14
mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan dan perilaku siswa; melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. 4.
Proses Pembelajaran dalam CTL Proses pembelajaran dalam CTL adalah proses pembelajaran yang berkaitan dengan kehidupan nyata yang dialami siswa dalam kehidupan seharihari, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan mereka sehari-hari (Mulyasa 2008: 102). Proses-proses itu meliputi: Rasional, dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Baharuddin dan Makin (2009: 211) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu strategi pembelajaran yang mengaitkan antara pengetahuan dan kehidupan nyata yang dialami oleh siswa, sehingga membentuk sebuah formulasi atau batasan-batasan mengenai pengetahuan yang dipelajarinya. Siswa juga belajar melalui pengalaman (mengalami) bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Pembelajaran kontekstual akan membawa siswa untuk lebih memahami makna dari proses pembelajaran yang mereka alami, yaitu: Pemikiran Tentang Belajar, proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu; Transfer belajar, anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya; Siswa sebagai pembelajar, tugas guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar; Pentingnya lingkungan belajar, siswa bekerja dan belajar secara bersama-sama, guru mengarahkan dari dekat; Hakekat, komponen pembelajaran yang efektif meliputi: Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh seorang pembelajar sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan; Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru 15
maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, sedangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas; Inkuiri, inkuiri merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi: observasi, wawancara, hipotesis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan; Komunitas belajar, komunitas belajar adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Kelompok belajar yang baik disarankan terdiri dari 4 sampai 5 siswa, agar mereka dapat saling berinteraksi dengan baik (Kesuma, dkk 2010: 64); Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajar atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model yang dapat diambil dari siswa yang berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik; Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya menggunakan pertanyaan langsung tentang apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya; Penilaian autentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian autentik adalah pada pembelajaran yang seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa (Sanjaya 2008: 116). 5.
Langkah-langkah Model Pembelajaran CTL Langkah-langkah dalam dalam proses pembelajaran CTL harus dapat dipahami guru terlebih dahulu ketika akan mengajar siswa dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah itu merupakan pedoman bagi guru ketika mengajar siswa dikelas, agar proses pembelajaran yang diajarkan bermakna dan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa. Kegiatan dalam proses pembelajaran itu meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan penutup yang dinyatakan dalam Tabel 2.3 dibawah ini.
16
Tabel 2.3. Langkah-langkah Model Pembelajaran CTL No. 1.
Tahap Pelaksanaan Perencanaan
Kegiatan a. b. c. d. e. f. g.
2.
Pelaksanaan
Guru menyiapkan materi yang akan diajarkan Guru merumuskan dan mengembangkan indikator yang akan dicapai oleh siswa. Guru menyajikan pengalaman belajar yang telah dimiliki siswa Guru menyiapkan perlengkapan belajar yang diperlukan. Guru merencanakan pembagian kelompok. Guru membuat soal evaluasi. Guru menyiapkan lembar obsevasi.
Di dalam kelas: a. b. c.
d. e. f. g. h. i.
Guru menjelaskan bagaimana cara belajar dengan pendekatan CTL Siswa dibagi menjadi tujuh kelompok, setiap kelompok beranggotakan 5 siswa. Siswa diberi kesempatan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri , mengkontruksi pengetahuan dan keterampilan barunya. Siswa diberi kebebasan mencari materi seluasluasnya. Siswa memilih objek sebagai bahan pembelajaran. Siswa melaksanakan diskusi kelompok Siswa membahas hasil diskusi. Siswa bertanya jawab antar kelompok. Guru menilai hasil kelompok yang sudah selesai.
Di luar kelas: a. b. c. 3.
Penutup
a. b. c. d.
Siswa menentukan objek sebagai bahan pembelajaran sesuai kelompok masing-masing. Siswa melaksanakan diskusi kelompok. Siswa membahas hasil diskusi dan kelompok lain menaggapi. Siswa secara klasikal menyimpulkan materi pelajaran. Siswa melaksanakan evaluasi. Pemberian tugas. Refleksi diakhir pertemuan.
Sanjaya (2008: 124-125) 17
6.
Kelebihan dan Kekurangan CTL Menurut Elaine B. Johnson (2007: 67) dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran CTL, yaitu:
a.
Kelebihan Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, karena materi yang dipelajari dikaitkan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, konstruktivisme yang dimaksudkan agar seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. b.
Kekurangan Guru lebih intensif dalam membimbing, karena model pembelajaran CTL adalah model pembelajan yang membuat guru tidak berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelolah kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seorang siswa akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Peran guru bukanlah sebagai instruktur atau “penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. Guru memberikan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula. Perbandingan Model Pembelajaran CTL dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berdasarkan pendapat Slavin (2005), Isjoni, dkk. (2007), Baharuddin dan Makin (2009), Johnson (2007), Sanjaya (2008 ), dan Kunandar (2009), maka dapat disimpulkan perbandingan antara model pembelajaran koopratif tipe STAD dan model pembelajaran CTL dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan dikelas. Perbandingan dalam proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan model pembelajaran CTL dinyatakan dalam Tabel 2.4 dibawah ini. C.
18
Tabel 2.4. Perbandingan CTL dan STAD Aspek Pelaksanaan
CTL
STAD
Perananan Guru
Sebagai fasilitator
Menyampaikan materi
Cara Kerja
Individu
Kerja kelompok
Penyajian Materi
Menekankan pada pemahaman
Mengingatkan materi Prasyarat
Bentuk rencana pembelajaran
Mengaikatkan dengan dunia nyata (lingkungan)
Membuat kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa
Sistem penilaian
Pengumpulan data nilainilai tes
Perhitungan skor individu dan skor kelompok
Hasil-hasil Kajian yang Relevan Penelitian yang terdahulu dilakukan oleh Wardhani (2009) melakukan penelitian pada mata pelajaran biologi siswa kelas VIII-A SMP Negeri 1 Tajinan Malang yang berjumlah 31. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan sebanyak 30,00%. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa penerapan model STAD dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Senada dengan Wardhani, Damayanti (2009) melakukan penelitian pada mata pelajaran biologi siswa kelas VII-D di SMP Negeri 13 Malang. Hasil penelitian menunjukan bahwa persentase ketuntasan belajar secara klasikal meningkat menjadi sebesar 88,24%. Berdasarkan hasil penelitian di atas diketahui bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif STAD dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar. Hal yang sama dilakukan oleh Widaningsih (2010) yang melakukan penelitian pada mata pelajaran ekonomi siswa kelas VIIIC SMPN 2 Malang. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 15,79 %. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa penerapan model STAD dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Suminariatiningsi (2008) melakukan penelitian pada mata pelajaran ekonomi kelas VII SMP Negeri 1 Singosari, Malang. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (quasi ekperimental). Subjek dalam penelitian ini ada 2 kelas, yaitu: VII B sebagai kelas kontrol sebanyak 30 siswa dan kelas VII C sebagai kelas eksperimen sebanyak 30 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Ada perbedaan kreativitas siswa kelas VII SMP Negeri 1 D.
19
Singosari Malang yang mengalami proses pembelajaran kontekstual berbasis proyek dengan yang mengalami proses pembelajaran kooperatif dengan metode STAD, dengan nilai t=12,476 dimana kelas ekperimen memiliki peningkatan kreativitas yang lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa model pembelajaran CTL lebih baik dari pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD, sebaliknya Permadani (2006) yang melakukan penelitian pada mata materi “Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Kelas VIII semester I SMP Negeri 3 Ungaran. Hasil pengujian hipotesis menggunakan uji t dengan criteria penolakan H0 adalah thitung ≥ ttabel. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh thitung = 2,2721 dan ttabel = 1,66. Dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis CTL lebih baik dari pada model pembelajaran CTL. Senada dengan permadani, Rohmad (2010) melakukan penelitian pada mata pelajaran KKPI kelas XI di SMK Negeri 1 Singosari. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen semu dan menggunakan tipe pretest-posttest, non-equivalent control group design. Sampel pada penelitian ini adalah kelas kelas XI TGB 2 (26 siswa) sebagai kelas eksperimen dan kelas XI TOI 1 (30 siswa) sebagai kelas kontrol. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran berbasis proyek dan CTL. Hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran berbasis proyek lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan pembelajaran CTL. Untuk hasil belajar pada kelas eksperimen diperoleh nilai rata-rata (81,28) lebih tinggi dari kelas kontrol (77,27) dengan selisih sebesar 4,01 poin. Sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaaan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran berbasis proyek dengan pembelajaran CTL. Kerangka Berpikir Matematika pada sebagian siswa masih merupakan pelajaran yang sulit, karena pada proses pembelajaran dikelas siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran. Guru cenderung lebih aktif, sedangkan siswa hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan dari guru. Banyak guru yang belum memahami proses pembelajaran matematika, sehingga pelaksanaan pembelajaran dikelas belum memberdayakan potensi kemampuan yang dimiliki siswa untuk dapat menguasai materi yang diajarkan. Permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran matematika siswa kelas IV SD Negeri 01 Sumogawe Kecamatan Getasan adalah guru kurang menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman E.
20
siswa pada mata pelajaran matematika. Model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga membuat siswa kurang tertarik dan mengalami kesulitan dalam memahami materi yang menyebabkan hasil belajar matematika yang diperoleh siswa masih rendah, sehingga dibutuhkan suatu model pembelajaran yang bisa membuat siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Skema kerangka berpikir untuk pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tampak pada gambar 2.1. dibawah ini: Kerangka berpikir yang akan diterapkan dalam penelitian pada siswa kelas IV SD Negeri Sumogawe 01 Kecamatan Getasan Pembelajaran matematika pada siswa masih sulit dipahami
Siswa masih kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran
Nilai hasil belajar siswa masih kurang baik
pembelajaran Menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan model pembelajaran CTL
Membagi siswa menjadi 2 kelompok pembelajaran Mengajarkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada kelompok eksperimen
Mengajarkan model pembelajaran CTL pada kelompok kontrol
Memberikan tes
Memberikan tes
Hasil belajar
Hasil belajar
Dibandingkan Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir 21
Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumasan masalah penelitian. Hipotesis dari penelitian ini yaitu: H0 : 1 2 : tidak terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan model pembelajaran CTL pada siswa kelas IV SD Negeri 01 Sumogawe Kecamatan Getasan. F.
H1 : 1 2 : terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan model pembelajaran CTL pada siswa kelas IV SD Negeri 01 Sumogawe Kecamatan Getasan.
22