BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Model Pembelajaran Cooperative Learning 2.1.1 Pengertian Model Pembelajaran Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran (Sagala, 2008). Mills (dalam Suprijono 2009) menyatakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang dipeoleh dari sistem. Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas. Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Menurut Arends (2008), model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan 7
8
prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Joyce dan Weil (dalam Sagala 2008) menambahkan bahwa model mengajar adalah suatu deskripsi
dari
lingkungan belajar
yang menggambarkan
perencanaan kurikulum, kursus-kursus, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja, program multimedia dan bantuan belajar melalui komputer. Selanjutnya Wahab (2008), memaparkan bahwa model mengajar adalah suatu perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh pada proses belajar mengajar agar dicapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang diharapkan. Kemudian Eggen, dkk (1979) mengutarakan pengertian tentang model pembelajaran bahwa: “Models are prescriptive teaching strategies designed to accomplish particular instructional goals. They are prescriptive in the sense that the teacher’s responsibilities during the planning, implementing and evaluating stages are clearly defined. Models differ from general teaching strategies in that models are designed to reach specific goals. When a teacher identifies a goal and selects a particular strategy designed to reach that goal, we can say the teacher using a models approach. The use of models requires an ability to identify different types of instructional goals so that a specific models can be selected to match a particular goal.”
Dari penjelasan model pembelajaran di atas dapat disimpulkanbahwa, model pembelajaran adalah menggambarkan penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal hingga akhir yang tersusun secara sistematis dengan prosedur yang berbeda.
2.1.2 Pembelajaran Cooperative Learning Pembelajaran cooperative learning merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antara siswa, sehingga terjalin interaksi positif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Slavin (2009) mengemukakan pendapatnya bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk
9
saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran tidak didominasi oleh satu orang, melainkan setiap anggota kelompok memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam menyelesaikan masalah kelompoknya. Sehingga proses pembelajaran yang terjadi dapat berperan dalam mengaktifkan semua siswa dan lebih berpusat kepada siswa. Senada dengan pernyataan Anita Lie (2008) bahwa pembelajaran cooperative learning adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa lainnya dalam tugastugas terstruktur. Pendapat Lie tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dilontarkan Etin Solihatin dan Raharjo (2007), yang menyatakan bahwa: “Cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok.” Pengertian di atas sejalan dengan yang diungkapkan I Wayan Lasmana (dalam Mustikasari, 2007) bahwa pembelajaran cooperative adalah model pembelajaran yang kegiatan belajar mengajarnya berpusat pada siswa (student oriented), mengaktifkan seluruh siswa, yang pada awalnya tidak dapat bekerjasama menjadi peduli dan agresif. Pembelajaran
kooperatif
merupakan
salah
satu
pembelajaran
yang
dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2009). Pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompokkelompok kecil si pebelajar. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggota-
10
anggotanya dapat bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya dan pembelajaran satu sama lainnya. Masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan (Karen L.Medsker dan Kristina M. Holdsworth, 2001). Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda (Slavin, 1994), dan ada yang menggunakan ukuran kelompok yang berbeda-beda (Cohen, 1986; Johnson & Johnson, 1994; Kagan, 1992; Sharan & Sharan, 1992 dalam Slavin, 1994). Model pembelajaran cooperative learning didasarkan atas falsafah manusia sebagai homo homini socius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial (Lie, 2004). Kerjasama dalam kelompok merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi pada kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup secara individual tanpa bantuan dari orang lain. Sehingga dalam proses belajar juga manusia diusahakan dapat saling bekerja sama untuk memperoleh tujuan belajar yang sesuai dengan harapan. a. Tujuan Cooperative Learning Tujuan model pembelajaran tersebut menurut Eggen dan Kauchak (dalam Winayarti, 2010), adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan partisipasi peserta didik. 2) Memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan membuat keputusan kelompok. 3) Memberi kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dan belajar bersamasama dengan teman yang seringkali berbeda latar belakangnya.
11
Jadi, dengan demikian seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (dalam Winayarti 2010), bahwa inti tujuan dari model pembelajaran tersebut meliputi tiga aspek penting yaitu aspek hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial.
b. Ciri-ciri Pembelajaran Cooperative Learning Pada dasarnya, tidak semua kerja kelompok dapat dikatakan sebagai cooperative learning. Terdapat ciri khusus kelompok yang disebut sebagai kelompok pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2003) ada lima unsur yang harus diterapkan dalam pembelajaran kelompok, agar pembelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pembelajaran cooperative learning. Kelima unsur itu meliputi: 1) Saling ketergantungan positif Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara individual dan sangat tergantung terhadap pertolongan sesamanya. Prinsip tersebut diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas untuk membangkitkan rasa kebersamaan. Pembentukan kelompok-kelompok kerja dalam pemberian tugas terstruktur di kelas memberikan nilai lebih untuk menanamkan kerjasama demi mencapai tujuan yang sama. Slavin (2009), mengungkapkan bahwa inti dari pembelajaran cooperative learning ialah siswa saling mendukung untuk berhasil, siswa akan mendorong anggota kelompoknya untuk lebih baik dan akan membantu siswa lainnya melakukannya. Seringkali para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Di samping itu, semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan, sehingga semua anggota kelompok bisa memperoleh makna dari kebersamaan. Adapun makna yang diperoleh seperti berikut:
12
a) Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya, secara harafiah ini berarti kesuksesan orang lain bermanfaat bagi diri kita dan keberhasilan diri kita bermanfaat untuk orang lain. b) Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang sama, artinya tenggelam dan mengapung semua anggota kelompok dalam kebersama. c) Tahu bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain dalam satu kelompok, artinya kami tidak dapat melakukan tanpa anda. d) Merasa bangga dan merayakan bersama ketika salah satu anggota kelompok mendapatkan keberhasilan, sebagai contoh: kami semua merasa sukses atas kesuksesan anda. Peranan pengajar sangatlah menentukan keberhasilan sistem pengajaran ini. Lie (2004) menambahkan untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar lain bisa mencapai tujuan mereka. Dengan cara ini, setiap anggota merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil. Di samping itu, penilaian yang dilakukan oleh pengajar harus dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa mendapat nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari sumbangan setiap anggota kelompok, untuk menjaga keadilan. 2) Tanggungjawab perseorangan Menurut Slavin (2009), tanggungjawab individual maksudnya ialah bahwa kesuksesan kelompok bergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota kelompok. Tanggungjawab difokuskan pada kegiatan anggota kelompok dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok siap untuk mengerjakan tugas, tanpa bantuan teman sekelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran cooperative learning
13
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembelajaran siswa apabila kelompok dihargai berdasarkan pembelajaran individual dari tiap anggotanya. Unsur tanggungjawab perseorangan merupakan akibat langsung dari unsur saling kebergantungan positif. Karena itu, Lie (2004) mengatakan bahwa jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya, siswa akan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam kelompoknya. Hal ini dikarenakan bahwa guru tidak hanya memberikan tugas untuk kelompoknya saja, tetapi siswapun secara individu memiliki tugas yang harus dikerjakan 3) Tatap muka Dampak positif dari penerapan model pembelajaran cooperative learning adalah terciptanya interaksi positif antara sesama anggota kelompok untuk memudahkan transformasi informasi anggota kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Lie (2004), bahwa kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk siap membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. 4) Komunikasi antar anggota Proses interaksi antar anggota kelompok akan berjalan lancar, jika komunikasi berjalan baik. Untuk itu, setiap anggota kelompok perlu memiliki ketrampilan berkomunikasi. Menurut Lie (2004), sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi kepada siswa, karena tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok dalam pembelajaran cooperative learning juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapatnya.
14
5) Evaluasi proses kelompok Setiap proses perlu mengadakan evaluasi sebagai refleksi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam proses tersebut, sehingga proses berikutnya akan berjalan lebih baik lagi. Karena itu, agar evaluasi ini dapat memberikan arahan serta informasi terhadap hasil pekerjaan siswa dan kegiatan proses belajar mengajar berlangsung, maka informasi diberikan ini harus meliputi tujuan yang dicapai kelompok, bagaimana mereka melakukan kerjasama saling membantu dengan teman satu kelompok, dan bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku positif agar baik setiap siswa maupun kelompok menjadi berhasil dan kebutuhan apa saja yang harus dilengkapi agar tugas selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Agar hal ini terjadi, menurut Lie (2004), menyatakan bahwa pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerjasama lebih efektif. Format evaluasi disesuikan dengan tingkat pendidikan siswa. Waktu evaluasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa.
c. Karakteristik Pembelajaran Cooperative Learning Adapun karakteristik pembelajaran cooperative learning antara lain: 1) Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 2) Anggota-anggota
dalam
kelompok
diatur
terdiri
dari
siswa
yang
berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. 3) Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin. 4) Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu. Selain itu, terdapat empat tahapan ketrampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: 1) Forming
(pembentukan),
yaitu
keterampilan
yang
dibutuhkan
membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
untuk
15
2) Functioniong (pengaturan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok. 3) Formating
(perumusan),
yaitu
keterampilan
yang
dibutuhkan
untuk
pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan. 4) Fermenting (penyerapan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan. d. Prinsip-prinsip Pembelajaran Cooperative Learning Selain ciri-ciri pembelajaran cooperative learning, yang penting untuk diingat dalam pembelajaran cooperative learning adalah prinsip dari pembelajaran cooperative learning
itu sendiri. Lungdern (dalam Mustikasari, 2007),
mengemukakan ada tujuh prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif. Ketujuh prinsip itu antara lain: 1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa siswa tenggelam dan berenang bersama (we sink and swim together). 2) Siswa memiliki tanggungjawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, di samping memiliki tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3) Siswa harus memiliki pandangan bahwa siswa memiliki tujuan yang sama. 4) Siswa harus berbagi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 5) Siswa akan diberi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 6) Siswa berbagi kepemimpinan, sementara siswa memperoleh ketrampilan bekerjasama selama belajar.
16
7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkana secara individual materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif. Melihat uraian di atas, pembelajaran kooperatif dapat dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa (ceramah), karena melalui pembelajaran kooperatif, siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima materi pelajaran, tanpa adanya rasa segan. Sesuai dengan yang dikatakan Lie (2004), bahwa pengajaran rekan sebaya (peer teaching), ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru, dikarenakan sebagai rekan sebaya, mereka memiliki schemata yang mendekati kesamaan dibandingkan dengan schemata guru. e. Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning Tahap pelaksanaan pembelajaran kooperatif menurut Sukarmin (2002) dalam Widyaningsih 2008, seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning Tingkah Laku Guru FASE KEGIATAN GURU Fase 1: Menyampaiakan tujuan Guru menyampaikan semua tujuan yang ingin dan memotivasi siswa dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase 2: Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan Fase 3: mengorganisasikan siswa Guru menjelaskan kepada peserta didik ke dalam kelompok-kelompok bagaimana cara membentuk belajar dan belajar membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien Fase 4: membimbing kelompok Guru membimbing kelompok-kelompok bekerja dan belajar belajar pada saat mengerjakan tugas Fase 5: Evaluasi Guru menjelaskan proses dan hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil karyanya Fase 6: Memberikan penghargaan Guru kreatif mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Sumber: Sukarmin (2002)
17
f. Keunggulan Pembelajaran Cooperative Learning Lie (2004) memaparkan keunggulan cooperative learning dibandingkan dengan model pembelajaran lain (metode ceramah) adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya. 2) Meningkatkan daya ingatan siswa. 3) Meningkatkan kepuasan siswa dengan pengalaman belajar. 4) Membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berkomunikasi secara lisan. 5) Mengembangkan ketrampilan sosial siswa. 6) Meningkatkan rasa percaya diri siswa. 7) Membantu meningkatkan hubungan positif antar sisa. Dalam pelaksanaan pembelajaran, model pembelajaran cooperative learning memiliki berbagai macam tipe atau metode yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Tipe-tipe pembelajaran cooperative learning diantaranya adalah “student teams achievement division (STAD), jigsaw (model tim ahli), group investigation go around, Think Pair and Share, make a match (mencari pasangan), teams assisted individualization (TAI), teams games tournaments (TGT), cooperative integrated reading and composition (CIRC), dan sebagainya”. Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan salah satu metode diantara berbagai metode yang disebutkan di atas, yaitu metode make a match. 2.2 Tipe Make a Match 2.2.1 Pengertian Make a Match Tipe atau teknik mengajar merupakan cara-cara yang digunakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan (Winayarti, 2010). Tipe make a match, atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (Lie, 2004). Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi konsep yang berbeda dengan
18
tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga melalui kartu yang siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk kelompok-kelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam kartu masing-masing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik yang sama. Sehinga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Tipe make a match mengutamakan ketelitian dan kerjasama dalam menyelesaikan masalah, serta memberikan kenyamanan dalam menyelesaikan masalahnya, karena siswa mencari pasangan kelompoknya sendiri. Seperti dikatakan oleh Lie (2004), bahwa salah satu keunggulan teknik make a match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. 2.2.2 Langkah-langkah Tipe Make a Match Langkah-langkah penerapan tipe make a match dipaparkan oleh Lie (2004), sebagai berikut: 1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2) Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban. 3) Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya: pemegang kartu bertuliskan “Gerakan Turki Muda” akan berpasangan dengan “Mustpha Kemal Pasha”. 4) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok. 5) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.
19
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka selanjutnya tahap-tahap yang perlu dipersiapkan selanjutnya dalam penerapan cooperative learning tipe make a match adalah sebagai berikut: 1) Tahap Persiapan Dalam tahap persiapan ini, guru mempersiapkan kartu-kartu yang akan dibagikan kepada siswa. kartu-kartu tersebut, sebelumnya telah dibuat oleh guru berdasarkan materi yang akan disampaikan pada kegiatan belajar mengajar (KBM) sesuai dengan RPP dan Silabus. Pembuatan kartu-kartu tersebut terbagi dalam dua kategori yaitu pertanyaan dan jawaban. Kelompok-kelompok yang nanti akan terbentuk, didasarkan pada kecocokan kartu pertanyaan dan jawaban itu. Pembuatan kartu tidak terpatok ke dalam satu pertanyaan dan satu jawaban, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan jumlah anggota kelompok yang diinginkan oleh guru. Artinya dalam dua kategori tersebut, bisa berbentuk 1 kartu pertanyaan dengan 2-3 kartu jawaban. Di samping mempersiapkan kartu, guru juga merencanakan alokasi waktu untuk kegiatan pembentukan kelompok. Alokasi waktu disesuaikan dengan banyaknya jam pelajaran yang diberikan oleh pihak sekolah. Selanjutnya akan dilaksanakan penyampaian materi oleh guru. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh gambaran mengenai materi yang akan dibahas dalam KBM. Selain itu, ini juga demi membantu siswa agar tidak terlalu kebingungan dalam mencari pasangan kelompoknya berdasarkan pertanyaan atau jawaban dalam kartu, karena siswa telah dibekali materi oleh guru. 2) Tahap Pembentukan Kelompok Tahapan ini merupakan kegiatan utama dalam tipe make a match. Pada tahapan ini terbagi dalam kegiatan, diantaranya: a) Pembagian kartu Dalam kegiatan ini, guru membagikan kartu-kartu yang telah dipersiapkan pada tahapan sebelumnya kepada siswa. Tiap siswa mendapatkan satu kartu yang isinya berdasarkan dua kategori, yaitu pertanyaan dan jawaban. Setelah semua
20
siswa mendapatkan masing-masing kartu, guru memberikan kesempatan beberapa menit kepada siswa untuk memikirkan jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan isi kartu tersebut. Waktu diberikan disesuaikan dengan alokasi waktu dalam KBM sesuai RPP. b) Pembentukan kelompok Kegiatan selanjutnya adalah pembentukan kelompok. Pada kegiatan ini, guru meminta tiap siswa membentuk kelompok-kelompok berdasarkan kecocokan kartu yang dimilikinya dengan kartu temannya. Dalam pembentukan kelompok ini, guru memberikan tenggat watku kepada siswa sesuai dengan perencanaan pada tahap persiapan. Tenggat waktu yang diberikan oleh guru ini, berpengaruh terhadap penghargaan yang akan diberikan oleh guru kepada siswa ketika proses pembentukan kelompok. Selanjutnya, guru memeriksa validitas dari pembentukan kelompok ini. Guru masuk ke dalam tiap-tiap kelompok dan memeriksa kecocokan dari tiap-tiap kartu anggota kelompok tersebut. Jika belum ada yang benar, guru memberikan waktu kembali kepada masing-masing kelompok untuk memperbaiki anggota kelompoknya. Namun, jika pembentukan kelompok sudah benar, makan dilanjutkan pada kegiatan berikutnya. c) Penghargaan Penghargaan dilakukan dalam proses pembentukan kelompok. penghargan ini bersifat individu maupun kelompok. Pemberian penghargaan ini dilakukan untk mendapatkan antusias siswa yang lebih dalam kepada KBM, sehingga siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya. Pedoman penghargaan siswa dilakukan dengan skor sesuai dengan waktu yang ditempuh dalam pembentukan kelompok. 3) Tahap Kegiatan Kelompok Dalam tahapan ini, setiap siswa melaksanakan kelompok kerja berdasarkan kelompok yang dibentuk dalam tahapan sebelumnya. Setiap kelompok memecahkan masalah yang terdapat dalam gabungan tiap-tiap kartu anggota kelompoknya. Ketika kerja kelompok berlangsung, setiap siswa berhak meminta bantuan guru untuk membantu mengarahkan kelompoknya dalam memecahkan
21
masalah. Di samping itu, guru juga memberikan tenggat waktu kepada setiap kelompok untuk bekerja sesui dengan alokasi waktu dalam KBM. Setiap kelompok yang sudah selesai mengerjakan tugas kelompoknya, berhak mendapatkan penghargaan sesuai dengan pedoman waktu yang telah ditetapkan dan mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. 4) Tahap Presentasi Kelompok Tahapan presentasi merupakan tahapan berikutnya, setelah tiap kelompok selesai mengerjakan tugas kelompoknya. Dalam tahapan ini terbagi ke dalam dua yaitu presentasi kelompok dan tanya jawab antar kelompok. Setiap kelompok mengutus wakilnya untuk menyajikan hasil kerja kelompoknya di depan. Guru sebagai fasilitator memberikan alokasi waktu kepada tiap-tiap kelompok secara rata untuk menyajikan hasil kerja kelompoknya dan untuk mengadakan sesi tanya jawab. Pembagian alokasi waktu oleh guru diharapkan agar setiap kelompok dapat tampil ke depan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Di samping itu, guru juga mengadakan penilaian terhadap keaktifan individu siswa selama kegiatan presentasi kelompok sedang berlangsung. Setelah semua kegiatan presentasi dilaksanakan, maka guru menyimpulkan seluruh materi yang tersampaikan dalam KBM. 5) Evaluasi Evaluasi diadakan sebagai tahapan akhir dari seluruh pelaksanaan tipe make a match. Evaluasi dilaksanakan melalui kegiatan tes. Tes merupakan pertanyaanpertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa dalam bentuk lisan, tertulis ataupun tindakan (Sudjana, 2005). Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah dilaksanakan serangkaian kegiatan pembelajaran dengan tipe make a match ini. Hal ini akan menjadi alternative solution untuk menjawab keluhankeluhan guru dalam menghadapi suasana kelas yang tidak kondusif, sehingga suasana yang tidak kondusif tersebut menjadi hal yang positif yang dapat
22
membantu dalam keberlangsungan belajar siswa di kelas. Untuk mengatasi kecenderungan suasana yang tidak kondusif yang diakibatkan dari penerapan tipe make a match, maka diperlukan teknik-teknik dalam manajemen pembelajaran. Salah satu teknik manajemen yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah di atas adalah dengan “Sinyal Kebisingan-nol”. Menurut Slavin (2009), sinyal kebisingan-nol adalah sebuah sinyal yang diberikan kepada para siswa untuk berhenti bicara, untuk membuat siswa memberi perhatian penuh kepada guru, dan untuk membuat tangan dan tubuh siswa diam. Buatlah sinyal yang berbeda, satu sekedar untuk menurunkan tingkat kebisingan (misalnya, mengangkat tangan, dan posisi tangan horizontal), yang kedua untuk menurunkan tingkat kebisingan dan mendapatkan perhatian para siswa untuk memberikan pengumuman yang ingin anda berikan (mengangkat tangan, dan telapak tangan posisi vertikal). Gunakan alat pengukur waktu secara acak untuk menurunkan tingkat kebisingan. Disamping itu, diadakan pemberian poin atau nilai kepada para siswa yang dapat mencapai tingkat kebisingan nol saat pengukur waktunya mati.
2.3 Pengelolaan Kelas Cooperative Learning Melalui Tipe Make a Match Menurut Lie (2004), ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model cooperative learning, yakni pengelompokan, semangat cooperative learning, dan penataan ruang kelas. 1) Pengelompokan Pengelompokan merupakan langkah pertama yang dilaksanakan dalam pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2004), pengelompokan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pengelompokan homogen dan pengelompokan heterogen. Pengelompokan homogen yang sering dilakukan di kelas berdasarkan prestasi belajar siswa. Menurut Scott Gordon (dalam Lie, 2004), pada dasarnya manusia sering berkumpul dengan sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Selanjutnya Lie (2004), menuturkan jenis pengelompokan heterogenitas
23
merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam model pembelajaran cooperative learning. Kelompok heterogenitas dapat dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Melalui tipe make a match, pengelompokkan siswa dalam pembelajaran dapat menciptakan dua kemungkinan pengelompokan, yaitu kemungkinan terjadi pengelompokan homogen maupun heterogen. Hal ini dikarenakan pemilihan kelompok siswa didasarkan atas kecocokan pasangan kartu yang diperoleh siswa secara acak. Di samping itu, pengelompokan bersifat sementara untuk setiap kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, guru dapat membandingkan kerja kelompok. Sehingga dapat dianalisis pengelompokan mana yang tepat bagi siswa dalam pembelajaran di kelas. 2) Semangat Cooperative Learning Menurut Lie (2004), agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning, masing-masing anggota kelompok perlu mempunyai semangat cooperative learning. Semangat tersebut dapat dirasakan dengan membina niat dan kiat siswa dalam bekerjasama dengan siswa-siswa lainnya. Lebih lanjut Lie (2004), menguraikan beberapa kegiatan yang dapat membina niat siswa dalam menumbuhkan semangat cooperative learning, diantaranya: 1) Kesamaan kelompok, dapat dilakukan dengan cara wawancara kelompok, lempar bola, dan jendela kesamaan. 2) Identitas kelompok, dapat dilakukan melalui pemberian nama kelompok yang dapat menumbuhkan semangat kelompok. 3) Sapaan dan saran kelompok. Hal ini disamping menumbuhkan semangat, juga dapat mengembangkan kreativitas siswa. 3) Penataan Ruang Kelas Menurut Lie (2004) ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang kelas, yaitu: ukuran ruang kelas; jumlah siswa; tingkat
24
kedewasaan siswa; toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalulalang siswa; toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa lain; pengalaman guru dalam melaksanakan pelaksanaan model pembelajaran cooperative learning melalui tipe make a match; dan pengalaman siswa dalam melaksanakan model pembelajaran cooperative learning.
2.4 Hasil Belajar 2.4.1 Pengertian Belajar dan Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Joko Susilo (2009) mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam pengertian ini, belajar adalah merupakan suatu proses, satu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan penguasaan dan latihan, melainkan perubahan kelakuan. Menurut Omar Hamalik (2002), belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Beberapa pendapat di atas tersebut menegaskan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa belajar sesungguhnya mengandung tiga unsur, yaitu: 1) Belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku. 2) Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman. 3) Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen. b. Pengertian Hasil Belajar Menurut Woordworth (dalam Ismihyani 2000) hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar. Hasil pengukuran belajar inilah akhirnya akan mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan dan
25
pengajaran yang telah dicapai. Bloom merumuskan hasil belajar sebagai perubahan tingkah laku yang meliputi domain (ranah) kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. (Winkel dalam Ismiyahni 2000) ranah kognitif, hasil belajar tersusun dalam enam tingkatan. Enam tingkatan tersebut ialah, (1) Pengetahuan atau ingatan, (2) Pemahaman, (3) Penerapan, (4) Sintesis, (5) Analisis dan (6) Evaluasi. Adapun ranah psikomotorik terdiri dari lima tingkatan yaitu, (1) Peniruan (menirukan gerak), (2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak), (3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar), (4) Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar), (5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar). Sedangkan ranah afektif terdiri dari lima tingkatan yaitu, (1) Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), (2) Merespon (aktif berpartisipasi), (3) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu), (4) Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya) dan (5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup). Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku akibat dari proses belajar. Perubahan tingkah laku tersebut adalah perubahan yang relatif menetap, dimana perubahan itu terjadi pada ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan ketrampilan. Benyamin S. Bloom (dalam Anni 2005) mengusulkan hasil belajar dikelompokkan ke dalam tiga taksonomi yang disebut dengan ranah belajar yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkaitan dengan hasil belajar berupa pengetahuan, kemampuan, dan kemahiran intelektual. Ranah kognitif mencakup kategori pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan penilaian (evaluation). Kategori tujuan pembelajaran ranah afektif meliputi penerimaan
(receiving), penanggapan
(responding), penilaian
(evaluing),
pengorganisasian (organization), dan pembentukan pola hidup (organization by a value complex). Tujuan pembelajaran ranah psikomotorik menunjukkan adanya
26
kemampuan fisik seperti kemampuan motorik dan syaraf, manipulasi objek, dan koordinasi syaraf. Kategori jenis perilaku untuk ranah psikomotorik menurut Elizabeth Simpson (Anni 2005) meliputi persepsi (perseption), kesiapan (set), gerakan terbimbing (guided response), gerakan terbiasa (mechanism), gerakan kompleks (complex overt response), penyesuaian (adaptation), dan kreativitas (creativity). Hasil belajar diperoleh dari pengukuran. Secara sederhana, pengukuran diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angkaangka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda. Menurut Naniek Sulistya Wardani, dkk (2009), pengukuran adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh diskripsi numerik dari suatu tingkatan dimana seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Instrumen pengukuran dalam dunia pendidikan meliputi tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.
2.4.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Merson (dalam Tu’u, 2004), faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah sebagai berikut: a) Faktor dalam, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar yang berasal dari siswa yang sedang belajar. Faktor dalam meliputi: 1. Kondisi fisiologis Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Seorang siswa dalam keadaan segar jasmaninya akan berpengaruh terhadap hasil belajarnya, sebaliknya siswa yang fisiknya lelah juga akan mempengaruhi hasil belajarnya. Di samping kondisi tersebut yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indera, terutama penglihatan dan pendengaran. Sebagian besar yang dipelajari manusia adalah dengan membaca, melihat contoh atau model, melakukan observasi, mengamati hasil eksperimen,
27
mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah keterangan orang lain. Jadi jelaslah di antara seluruh panca indera mata dan telinga mempunyai peranan yang sangat penting. Seperti yang dipaparkan oleh Edgar Dale (dalam Tu’u 2004), bahwa pengalaman belajar manusia itu 75% diperoleh melalui indera lihat, 13% melalui indera dengar, dan 12% melalui indera lainnya. Semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja berpengaruh terhadap proses belajar yang juga bersifat psikologis. Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap proses dari hasil belajar yaitu: a. Kecerdasan Seorang siswa yang cerdas umumnya akan lebih cepat mampu belajar jika dibandingkan dengan siswa yang kurang cerdas, meskipun fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk mempelajari materi atau bahan pelajaran sama. Hasil pengukuran kecerdasannya biasa dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan kecerdasan yang dikenal dengan istilah IQ (Intelligence Quotion). Berbagai hasil penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara IQ dengan hasil belajar di sekolah. Tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki seorang siswa sangat menentukan keberhasilannya mencapai prestasi belajar, termasuk prestasi-prestasinya lain sesuai macam-macam kecerdasan yang menonjol yang ada pada dirinya. Hal itu dapat kita ketahui umumnya tingkat kecerdasan yang baik dan sangat baik cenderung lebih baik angka nilai yang dicapai siswa. b. Bakat Bakat adalah kemampuan yang ada pada seseorang yang dibawanya sejak lahir, yang diterima sebagai warisan dari orang tua. Bagi seorang siswa bakat bisa berbeda dengan siswa lain. Ada siswa yang berbakat dalam bidang ilmu sosial, dan ada yang di ilmu pasti. Karena itu, seorang siswa seorang siswa yang berbakat di bidang ilmu sosial akan sukar berprestasi tinggi di bidang ilmu pasti, dan sebaliknya. Bakat-bakat yang dimiliki siswa tersebut apabila diberi kesempatan dikembangkan dalam pembelajaran, akan dapat mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, seorang siswa ketika akan memilih bidang
28
pendidikannya, sebaiknya memperhatikan aspek bakat yang ada padanya. Untuk itu, sebaiknya bersama orang tuanya meminta jasa layanan psikotes untuk melihat dan mengetahui bakatnya. Sesudah ada kejelasan, baru menentukan pilihan. c. Minat Minat adalah kecenderungan yang besar terhadap sesuatu. Perhatian adalah melihat dan mendengar dengan baik dan teliti terhadap sesuatu. Minat dan perhatian biasanya berkaitan erat. Apabila seorang siswa menaruh minat pada satu pelajaran tertentu, biasanya cenderung memperhatikannya dengan baik. Minat dan perhatian yang tinggi pada mata pelajaran akan memberi dampak yang baik bagi prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, seorang siswa harus menaruh minat dan perhatian yang tinggi dalam proses pembelajaran-pembelajaran di sekolah. Dengan minat dan perhatian yang tinggi, guru boleh yakin akan berhasil dalam pembelajaran. d. Motivasi Motivasi adalah kondisi psikologi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi selalu mendasari dan mempengaruhi setiap usaha serta kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam belajar, kalau siswa mempunyai motivasi yang baik dan kuat, hal itu akan memperbesar usaha dan kegiatannya mencapai prestasi yang tinggi. Siswa yang kehilangan motivasi dalam belajar akan memberi dampak kurang baik bagi prestasi belajarnya. e. Emosi Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam proses belajar seorang siswa akan terbentuk suatu kepribadian tertentu, atau tipe tertentu, misalnya siswa yang emosional dalam belajar, akan mudah putus asa. Hal ini mau tidak mau akan mempengaruhi bagaimana siswa menerima, menghayati pengalaman yang didapatnya dalam suatu pembelajaran. f. Kemampuan kognitif
29
Yang dimaksud dengan kemampuan kognitif yaitu kemampuan berpikir, menalar yang dimiliki siswa. Jadi kemampuan kognitif berkaitan erat dengan ingatan dan berfikir seorang siswa. 2. Faktor luar, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor tersebut adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Lingkungan alami, yaitu yaitu kondisi alami yang dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, termasuk dalam lingkungan alami yaitu suhu, cuaca, udara, pada waktu itu dan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung. 2) Lingkungan sosial, dapat berwujud manusia, wujud lain yang berpengaruh langsung terhadap proses dan hasil belajar. Misalnya hubungan murid dengan guru, orang tua dengan anak, dan lingkungan masyarakat di luar sosial yang baik, mesra dapat membantu terciptanya prestasi belajar siswa.
2.5 Ilmu Pengetahuan Alam 2.5.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan factual, diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses bagaimana cara produk sains ditemukan. Secara umum, kegiatan dalam IPA berhubungan dengan eksperimen. Namun dalam hal-hal tertentu, konsep IPA adalah hasil tanggapan pikiran manusia atas gejala yang terjadi di alam.
30
Seorang ahli IPA (ilmuwan) dapat memberikan sumbangan besar kepada IPA tanpa harus melakukan sendiri suatu percobaan, tanpa membuat suatu alat atau tanpa melakukan observasi. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini. a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya. b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain. d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan baganbagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut. IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. 2.5.2
Karakteristik Pembelajaran IPA
Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006). Karakteristik belajar IPA meliputi: a. Hampir semua indera, seluruh proses berpikir, dan berbagai gerakan otot.
31
b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi. c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat IPA yang mengutamakan obyektivitas. d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan hipotesis untuk memperoleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar obyektif. e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut
dalam
menerapkannya
di
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Proses
pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual, keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan, berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah dalam kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006).
32
2.5.3
Tujuan IPA
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006): 1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. 4. Mengembangkan ke terampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. 2.5.4
Ruang Lingkup IPA
Ruang Lingkup bahan kajian IPA kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: 1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
33
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. 2.5.5 Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitanya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehinga pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran
tersebut
dalam
kurikulum
KTSP
(Depdiknas,2006)
guru
berkewajiban untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang tepat. Beberapa prinsip pembelajaran IPA di SD sebagai berikut: 1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, learning to live toge ther. Learning to know, artinya dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan penge tahuan tentang alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak
hanya
menjadikan
diberdayakan agar mau
siswa
dan
sebagai
mampu
pendengar melainkan siswa
untuk memperkaya
pengalaman
belajarnya. Learning to be, artinya dari hasil interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya. Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan
berinteraksi
dengan berbagai individu akan
membangun
34
pemahaman
sikap
positif
dan toleransi terhadap kemajemukan dalam
kehidupan bersama. 2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu dite rapkan dalam pembelajaran IPA karena pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam sekitar penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa ingin tahu lebih banyak. 3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan struktur kognitifnya. 4. Prinsip Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat). IPA memiliki prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi. Sedang perkembangan teknologi akan memacu penemuan prinsip-prinsip IPA yang baru. 5. Prinsip pemecahan masalah. Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan berbagai macam masalah. Disisi lain, salah satu alat ukur kecerdasan siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya memecahkan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah. 6. Prinsip pemblajaran bermuatan nilai. Masyarakat dan lingkungan sekitar memiliki nilai-nilai yang terpelihara dan perlu dihargai. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar. 7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini
pada
dasarnya
merupakan
prinsip
pembelajaran
yang
35
berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik. Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal. 2.6 Kajian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Isnaini pada tahun 2011 dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Bahasa
Indonesia Siswa Kelas V Dengan
Menerapkan Model Pembelajaran Make a Match Di SDN Kidul Dalem 2 Malang”. Hasil observasi menunjukkan bahwa nilai hasil belajar siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang rendah, hal ini dapat dilihat dari: (1) Dominasi guru dalam proses pembelajaran tersebut dapat menyebabkan siswa lebih bersifat pasif; (2) Guru hanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Tujuan penelitian tersebut adalah: (1) Mendeskripsikan penerapan model pembelajaran make a match pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang dan (2) Mendeskripsikan model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang. Jenis penelitian ini adalah (PTK) dengan empat tahapan, yaitu (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4) Refleksi. Menggunakan empat cara dalam pengumulan data, yaitu (1) Observasi, (2) Wawancara, (3) Tes, (4) Dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunkan tiga cara, yaitu reduksi data, paparan data, dan penyimpulan data. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada tes akhir
36
siswa mengalami peningkatan yaitu pada nilai awal sebelum tindakan adalah 13,7%, pada siklus I ada 48,3% dan pada siklus II ini mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 100%. Ketuntasan hasil belajar pada tes akhir siswa dari nilai awal ke siklus I naik 34,6% dan dari siklus I ke siklus II naik 51,7%. Saran yang diberikan hendaknya guru menggunakan strategi dan model pembelajaran yang menarik, salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran make a match untuk meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Maryunia pada tahun 2010 pada siswa Kelas V Semester 1 dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Tentang Sejarah Masuknya Agama Di Indonesia Melalaui
Model
Pembelajaran Mencari pasangan Bagi Siswa Kelas V Semester 1, SDN 01 Cangakan Kecamatan Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial melalui model pembelajaran Mencari Pasangan (Make a Match) bagi siswa kelas V semester I SD Negeri 01 Cangakan Kabupaten Karanganyar Tahun 2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 01 Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 15 siswa. Adapun sample yang diambil adalah 15 siswa, metode pengambilan sample adalah seluruh siswa menjadi sample. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dokumentasi, angket dan catatat dalam kegiatan mengajar belajar. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum penelitian (tes awal) pemahaman siswa terhadap pelajaran IPS hanya 46,7% yaitu 7 anak yang tuntas berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang belum tuntas, pada siklus I Pemahaman Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa yang tuntas berarti meningkat sebesar 33,3% dan pada siklus II jumlah siswa tuntas menjadi 100% atau naik sebesar 20%. Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman konsep saja tetapi juga dari aspek keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada
37
siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,6% dan pada siklus II menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi 8,49%. Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui hasil penelitian tentang model pembelajaran mencari pasangan (make a match) dapat meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan pada siklus II menjadi 89,79 % yaitu meningkat 8,49% dari siklus I. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Muharif tahun 2010 dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model Cooperative Learning-Make A Match Untuk Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Matematika di SDN 010 Gabung Makmur Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak ”dengan tujuan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran Matematika yang mana data sebelumnya diperoleh bahwa mata pelajaran Matematika kurang diminati oleh siswa. Disebut kurang diminati karena pada proses pembelajaran secara umum, siswa lebih banyak yang tidak memperhatikan, tidak merasa senang dalam belajar, dan tidak ada keinginan untuk memperoleh pengetahuan lebih dari pelajaran matematika ini, oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa dengan diterapkanya model pembelajaran make a match pada pelajaran matematika, aktivitas siswa meningkat. Berdasarkan judul penelitian diatas dapat diketahui bahwa nilai aktivitas siswa untuk kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 10 siswa yang mendapat sangat
aktif, 11 siswa
yang
mendapat aktif, 2 siswa yang
mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk keseriusan (KSR) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 9 siswa yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup
38
aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk kemampunan bertanya (KB) pada pertemuan ke empat siklus 2 terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa
untuk
aktivitas menulis (AM) pada
pertemuan keempat siklus II terdapat 7 siswa yang menda pat sangat aktif, 13 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan pertama terdapat 11 siswa yang mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat nilai baik, 4 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang baik. Pada siklus 2 terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3 siswa yang mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang baik.
2.7 Kerangka Berpikir Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi konsep yang berbeda dengan tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga melalui kartu yang siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk kelompokkelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam kartu masing-masing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik yang sama. Sehingga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Pada penjelasan di atas, telah disebutkan bahwa model pembelajaran cooperative learning tipe make a match, memungkinkan siswa dapat belajar lebih aktif dan belajar untuk bekerjasama dengan teman-teman lainnya, karena dalam pembelajaran ini, siswa didorong untuk bagaimana memecahkan sebuah masalah bersama-sama dengan kelompoknya. Selain itu, siswa secara individu dapat terbentuk menjadi siswa yang aktif dan mencintai belajar, karena sebagai
39
individu, siswa juga dipercayakan untuk ikut berkontribusi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Semboyan yang terkenal dalam pembelajaran model cooperative learning make a match adalah kesuksesan seseorang adalah kesuksesan kelompok, dan kesuksesan kelompok adalah kesuksesan orang per orang di dalam kelompok tersebut. Bagan kerangka berpikir dapat di lihat pada gambar 1 di bawah ini. KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
Guru belum menggunakan make a match
Guru menggunakan make a match
Hasil belajar IPA meningkat
Siswa : hasil belajar IPA rendah
Siklus I : Metode Ceramah Bervariasi, Membentuk kelompok Besar, Mencari Pasangan Kartu, PresentasiI Individu, Tanya Jawab
Siklus Ii: Metode Penugasan, Membentuk Kelompok Kecil, Mencari Pasangan Kartu, Presentasi Kelompok, Tanya Jawab
Bagan: kerangka berpikir
Dalam skema kerangka berpikir terlihat bahwa pada awalnya guru dalam mengajar mata pelajaran IPA belum menggunakan model pembelajaran make a match. Berdasarkan penilaian terhadap kemampuan siswa dalam mempelajari IPA, masih rendah. Siswa belum mampu memahami pelajaran IPA dengan baik. Siswa juga belum berpartisipasi aktif selama mengikuti proses belajar mengajar. Penerapan model pembelajaran make a match dalam penelitian ini, merupakan
40
salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa sekaligus menjadikan siswa lebih berpartisipasi aktif selama mengikuti proses belajar mengajar. Dengan model pembelajaran ini siswa akan lebih tertarik dengan mata pelajaran IPA, tidak merasa bosan dan keinginan untuk mempelajari IPA akan semakin tinggi sehingga hasil belajar siswa lebih meningkat. Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan model pembelajaran make a match hasil belajar IPA siswa kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Salatiga 05 Semester Genap Tahun Ajaran 2012/2013 pada mata pelajaran IPA dapat meningkat. 2.8 Hipotesis Tindakan Adapun hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: Upaya peningkatan hasil belajar dan ketuntasan siswa kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Salatiga 05 Semester 2 Tahun Ajaran 2012/2013 dalam mata pelajaran IPA akan meningkat melalui penerapan model pembelajaran cooperative learning tipe make a match.