BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Penelitian terdahulu Dalam jurnalnya yang berjudul “Analysis of a Campuswide Wireless
Network”, Kotz dan Essien (2002) melakukan pemantauan terhadap penggunaan jaringan wireless di Dartmouth College. Pada penelitiannya dilakukan pengambilan data dengan 3 cara yang berbeda yaitu perekaman syslog, SNMP polling, dan sniffer. Dengan rekaman sylog maka dapat diketahui user ketika melakukan
authenticated,
associated,
reassociated,
disassociated,
atau
deauthenticated dengan akses poin. Pada perekaman tersebut berhasil terekam 3.533.352 rekor. Dari log tersebut dapat diketahui aktifitas alat seperti alat yang terkoneksi ataupun terjadinya roaming. Pada SNMP polling, AP dikonfigurasi untuk mengirimkan pesan SNMP. Melalui SNMP polling dapat diketahui besar inbound dan outbound dari jaringan. Sedangkan sniffer digunakan untuk mengetahui gambaran penggunaan aplikasi dalam jaringan. Pada penelitiannya dilakukan sniffing pada 21 dari 476 akses poin yang berada dibeberapa kampus. Namun data tidak dapat dianalisis karena adanya kesalahan teknis selama penelitian. Maka dari itu dalam penelitiannya data yang dianalisis merupakan data dari perekaman syslog dan SNMP polling. Sedangkan dalam jurnal Schwab dan Bunt (2004) yang berjudul “Characterising the Use of a Campus Wireless Network”, telah dilakukan
penelitian mengenai jaringan wireless di Universitas Saskatchewan. Pada
6
7
penelitiannya berhasil diketahui karakteristik jaringan wireless di Universitas Saskatchewan.
Dalam
penelitiannya
dilakukan
trace
collection
yaitu
pengumpulan paket data yang terjadi menggunakan perangkat lunak EtherPeek. EtherPeak dapat menganalisa paket secara individu dan merekam informasi seperti waktu, tujuan dan protokol yang terjadi di jaringan. Pengumpulan data dilakukan selama 7 hari yaitu 22 sampai 29 Januari 2003. Selain itu, juga dilakukan perekaman autentikasi user. Dengan demikian dapat diketahui konektifitas user dengan akses poin. Dari penelitian ini dapat disimpulkan dengan trace collection dapat diketahui dimana, kapan, bagaimana, berapa besar jaringan wireless digunakan. Pada jurnal “Investigation on QoS of Campus-wide WiFi Networks”, Sulaiman dan Yaakub (2010) berhasil mengetahui penyebab masalah yang terjadi di Universitas Pahang. Penelitiannya menggunakan beberapa perangkat lunak seperti Fluke Network Inspector, Network Stumbler, Wildpacket Airopeek, Wildpacket iNetTools, Wifi Manager, Commview for Wifi dan Lview Pro. Network stumbler digunakan untuk mengetahui kekuatan sinyal di beberapa lokasi. WiFi Manager digunakan untuk mengetahui performa jaringan melalui sensor yang diatur melalui jaringan ethernet. Commview for WiFi digunakan untuk memverifikasi koneksi user dengan akses poin. Fluke Network Inspector digunakan untuk merekam paket jaringan dan menginterpretasikan hasil yang direkam. Dari penelitiannya dapat diketahui lambatnya koneksi Internet disebabkan oleh lemahnya sinyal dan terjadi overload pada proxy server. Pada beberapa area juga terjadi penurunan performa yang disebabkan oleh aplikasi game server.
8
2.2.
Radio Bandwidth Pada standarisasi 802.11b, komunikasi wireless menggunakan frekuensi 2,4
GHz. Spektrum frekuensi tersebut dibagi menjadi beberapa kanal. Kanal tersebut memiliki rentang 22 MHz dengan selisih 5MHz. Terdapat overlap pada kanal yang berdekatan, dan dapat terjadi saling interferensi. Berikut gambar 2.1 merupakan penggambaran kanal frekuensi 2,4GHz. (Hacker Friendly, 2007)
Gambar 2. 1 Pembagian kanal Frekuensi
2.3.
Received Signal Strength Indicator (RSSI) Dalam IEEE sistem 802.11, RSSI adalah indikator kekuatan relatif sinyal
yang diterima oleh network interface card (NIC) komunikasi wireless. RSSI merupakan tingkat daya yang diterima oleh antena penerima dengan skala 0-255 (nilai 1 byte). Semakin besar RSSI, maka semakin besar kekuatan sinyal yang diterima. RSSI digunakan oleh NIC sebagai batas untuk memulai komunikasi dengan mengirimkan pesan CTS (clear to send). Setelah pesan CTS dikirimkan, maka selanjutnya paket data akan dikirim. Keakuratan RSSI pada tiap alat jaringan berbeda tergantung dari pembuatnya. Namun RSSI menjadi sangat penting karena menjadi tolak ukur untuk memulai pengiriman data dalam komunikasi wireless, walaupun pada beberapa vendor pengukuran RSSI hanya dilakukan saat awal komunikasi saja.
9
2.4.
Jaringan wireless 802.11 Pada jaringan wireless, alat yang saling berkomunikasi harus berada pada
spektrum frekuensi yang sama. Terdapat standarisasi frekuensi kanal yang digunakan seperti 802.11a yang menggunakan frekuensi 5.0GHz, 802.11b/g pada frekuensi sekitar 2.4GHz. Selain pada spektrum frekuensi yang sama, alat yang berkomunikasi juga harus berada pada kanal yang sama. (Hacker Friendly, 2007) Terdapat 4 mode yang dapat difungsikan pada alat yang mendukung 802.11a, 802.11b/g, yaitu: 1. Mode master (disebut juga AP atau mode infrastruktur) digunakan untuk melayani seperti akses poin pada umumnya. NIC membentuk jaringan dengan nama yang khusus (disebut SSID), kanal khusus dan melayani koneksi antar alat. Pada mode master, NIC akan mengatur semua komunikasi yang berhubungan dengan jaringan (autentikasi user, mengatur kanal, meneruskan paket, dan lain-lain). Mode master hanya bisa berkomunikasi dengan mode managed. 2. Mode managed disebut juga mode user. NIC dengan mode ini akan bergabung
dengan
jaringan
master
dan
akan
secara
otomatis
menyesuaikan kanal. User dan master akan melakukan pertukaran data kredensial, dan jika sesuai, maka user akan associated dengan master. User tidak akan berkomunikasi secara langsung, dan hanya berkomunikasi melalui master yang terasosiasi 3. Mode ad-hoc membentuk jaringan multipoint-to-multipoint, sehingga tidak ada istilah master. Pada mode ini setiap alat akan komunikasi secara langsung
10
4. Mode monitor digunakan pada sejumlah tool untuk ”mendengar” trafik secara pasif. Pada mode monitor, maka tidak ada data yang dapat dikirim. Pada WLAN ada 4 komponen penting dalam komunikasi wireless yaitu mobile station, akses point (AP), media transmisi, dan sistem distribusi. Berikut komponen wireless berdasarkan IEEE 802.11 : 1. Stations (user) adalah perangkat komputer dengan wireless network interfaces. Biasanya merupakan alat dengan power batere seperti laptop, dan komputer jinjing, tapi bisa juga merupakan sebuah workstation. 2. Access points (AP) merupakan alat yang menjembatani antara jaringan wireless dan kabel. 3. Distribution system (DS) merupakan mekanisme pertukaran frame antara AP dengan user melalui jaringan kabel. Biasanya DS merupakan jaringan Ethernet yang digunakan sebagai backbone. 4. Media wireless adalah medium transmisi sinyal yaitu udara ataupun segala materi yang dilalui.
Gambar 2. 2 Komponen jaringan wireless
2.5.
802.11f (roaming) 802.11f merupakan standar yang dikeluarkan IEEE agar setiap vendor
akses poin dapat mendukung fitur roaming. Dengan fitur ini user dapat berpindah koneksi dari akses poin ke akses poin (AP) lain tanpa terputus.
11
Dalam 802.11f, user akan melakukan re-associated dengan AP baru bukan melakukan associated ulang dengan AP baru. AP juga melakukan pemantauan terhadap user, dan saling berkomunikasi antar AP melalui DS (Ethernet Lan). Pada standar ini station yang memilih dengan AP baru mana yang akan terkoneksi. Pada kenyataannya tidak semua station bertindak sesuai standar, beberapa tidak pernah melakukan reassociate namun melakukan associate ulang, sehingga roaming dapat mengganggu koneksi station (Bob O’Hara). Sedangkan menurut Kodz dan Essien (2002), dalam penelitiannya (“Characterizing Usage of Campuswide Wireless Network”) roaming dapat terjadi akibat banyak AP dengan kanal yang tumpang tindih (overlapping cell) dan keagresifan dari stasiun dalam mencari sinyal yang terbaik. Geier (2008), seorang Independent Consultant, dari Wireless-Nets, Ltd, telah
melakukan
percobaan
mengenai
roaming.
Melalui
percobaannya
disimpulkan bahwa proses re-association membutuhkan waktu 68 ms (dengan NIC Centrino Wi-Fi), namun proses roaming tersebut mengganggu lapisan aplikasi lebih lama. Pada percobaannya pengiriman data dengan FTP tertunda selama 5 detik ketika roaming terjadi. Hal ini dikarenakan vendor NIC menunda re-association untuk menghindari re-association yang terlalu dini atau reassociation berkali-kali. Karakteristik yang sama juga ditemukan pada beberapa NIC yang lain.
2.6.
Kepadatan Wireless Pada jurnal “Wireless LAN Design Guide for high Density Client
Environment in Higher Education” (Cisco, 2011), Kepadatan WLAN mengacu
12
pada padatnya alat dalam suatu area dibandingkan dengan perkiraan cakupan yang diduga. Dengan demikian padatnya user menjadi faktor penting dalam tahap desain jaringan. Pada makalah “High-Density Wireless Networks for Auditoriums Validated Reference Design”, Aruba Network Inc (2010), mendefinisikan jaringan wireless dengan kepadatan tinggi sebagai jaringan dengan cakupan frekuensi radio (RF) pada suatu wilayah dengan user dan AP dalam jumlah besar dalam satu ruangan. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepadatan wireless dapat didefinisikan sebagai suatu area yang memiliki klien (user) atau AP dengan tingkat kepadatan yang tinggi pada suatu area.
2.7.
Arsitektur Wireless LAN Menurut PennWell Corp (2006) terdapat 2 buah arsitektur WLAN yaitu :
lightweight Wireless Access Point (WAP) dan autonomous WLAN. Arsitektur lightweight WAP membentuk WLAN yang terpusat yang dikendalikan oleh WLAN kontroler. WLAN kontroler berada pada layer distribusi atau core jaringan. WLAN kontroler berfungsi untuk mengatur konfigurasi dan managemen AP, sehingga pada umumnya AP pada arsitektur lightweight hanya memiliki fungsionalitas yang lebih sederhana. Berikut gambar 2.3 yang menggambarkan model arsitektur lightweight.
13
Gambar 2. 3 Model arsitektur lightweight Pada arsitektur autonomous, umumnya digunakan AP yang memiliki fungsionalitas lebih kompleks. Umumnya AP yang digunakan sudah mendukung fungsi switching, keamanan, dan dapat berfungsi me-routing trafik. Berbeda dengan arsitektur lightweight, pada arsitektur autonomous setiap AP harus dikonfigurasi atau diatur secara individu. Sehingga arsitektur ini tidak dianjurkan pada jaringan yang memiliki skalabilitas tinggi. Berikut gambar 2.4 yang menggambarkan model arsitektur autonomous.
Gambar 2. 4 Model Arsitektur Autonomous
14
2.8.
Teknologi Beamflex Teknologi Beamflex merupakan teknologi smart antenna array keluaran
perusahaan Ruckus Wireless yang digunakan dalam produk-produk akses poin. Dengan teknologi Beamflex, sebuah akses poin memiliki kecerdasan untuk mengatur pola radiasi antena. Berbeda dengan teknologi antena omni yang meradiasikan sinyal ke segala arah, teknologi Beamflex memungkinkan pengaturan pola radiasi dengan jalur terbaik kearah penerima. Berbeda juga dengan antena direksional, Beamflex akan mengatur pola radiasi secara dinamis untuk menghasilkan cakupan sinyal yang baik (Ruckus Wireless, 2010). Berikut gambar 2.5 yang memperlihatkan pola radiasi AP dengan Beamflex dan tanpa Beamflex.
Gambar 2. 5 Perbedaan pola radiasi AP dengan Beamflex (kiri) dan AP tanpa Beamflex (kanan) Akses poin dengan teknologi Beamflex dapat mempelajari lingkungan sekitar seperti sumber interferensi, kondisi RF yang terganggu dan alat-alat yang
15
sedang berkomunikasi dalam jaringan. Kemudian dengan teknologi Beamflex, akses poin dapat memilih pola radiasi antena yang terbaik saat proses komunikasi berlangsung secara realtime dan mengghindari interferensi serta meminimalisir noise dengan jaringan atau alat yang ada. Berikut ini keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan teknologi Beamflex : •
Meningkatkan performa dan jarak jangkauan
•
Memperluas cakupan sinyal
•
Menstabilkan performa jaringan wireless, untuk kepentingan video streaming dan komunikasi suara
•
Memaksimalkan efisiensi daya
•
Mengurangi efek interferensi
Sehingga dengan teknologi Beamflex dapat diperoleh kecepatan transmisi yang lebih cepat, mengurangi error, memaksimalkan cakupan sinyal, throughput, dan kapasitas jaringan.
2.9.
Ruckus Zoneflex Ruckus Zoneflex adalah akses poin Wi-Fi yang memiliki fitur teknologi
Beamflex. Ruckus Zoneflex dapat digunakan secara individu ataupun sebagai sistem yang diatur secara terpusat oleh Ruckus Zone Director (Ruckus Wireless, 2010). Berikut ini beberapa keunggulan dari Zoneflex : 1. Menggunakan teknologi Beamflex Ruckus Zoneflex menggunakan teknologi Beamflex, sehingga Ruckus Zoneflex dapat memancarkan sinyal kearah lebih jauh dan memiliki koneksi yang stabil.
16
2. Mendukung aplikasi advanced dalam WLAN Dengan dikendalikan oleh Ruckus Zone Director Smart Controller, Zoneflex dapat mengimplementasikan Smart Wireless Meshing, Dynamic PSK, hotspot autentikasi, dan wireless intrusion detection. Dengan pengaturan terpusat, Zoneflex dapat diintegrasikan dengan RAIDUS, LDAP, atau Microsoft’s Active Directory. 3. Fleksibel dalam implementasi Zoneflex dapat diimplementasikan sebagai standalone AP ataupun diatur dalam jaringan wireless terpusat dengan ZoneDirector Controller. 4. Managemen yang mudah Zoneflex dapat diatur dengan basis web-based GUI atau menggunakan Ruckus FlexMaster untuk remote management system. Pada pengaturan local dapat menggunakan Zone Director Controller. Zone Director memungkinkan
administrator
mengatur
dan
mengendalikan
AP,
menambah layanan seperti daya transmit dan pengaturan kanal. 5. Keamanan Pada akses poin biasa umumnya menggunakan sebuah pre-shared key untuk semua user. User diharuskan memasukan key enkripsi tertentu yang ditentukan oleh administrator. Berbeda dengan akses poin pada umumnya, Zone Director dan Zoneflex menggunakan Ruckus Dynamic PSK yang dapat mengotomatisasi proses tersebut. ZoneDirector akan mengatur key enkripsi secara dinamis yang diberikan ke setiap user. 6. Merupakan multimedia hotspot
17
Zoneflex menjamin konektifitas yang baik pada jaringan wireless, sehingga merupakan hotspot yang handal dalam mendukung video streaming ataupun penggunaan suara dalam jaringan.
2.10. Ruckus Zone Director Controller Ruckus Zone Director merupakan sistem kontrol terpusat untuk akses poin Ruckus Zoneflex. ZoneDirector menyediakan konfigurasi sederhana, update, keamanan WLAN, managemen RF, dan otomatisasi mesh AP (Ruckus Wireless, 2010). Dengan ZoneDirector dan Zoneflex maka dapat diimplementasikan Smart Mesh network, sehingga cakupan sinyal dapat lebih jauh tanpa terkoneksinya tiap AP ke jaringan Ethernet. Dalam Smart Mesh network, AP membentuk topologi mesh dan me-routing trafik antara AP dan jaringan Ethernet ke user. ZoneDirector juga mengintegrasikan jaringan, radio frekuensi, dan managemen lokasi dalam sebuah sistem. Autentikasi user dilakukan melalui portal dan database internal, atau menggunakan Autentikasi, Autorisasi, dan Akunting (AAA) server seperti RADIUS atau Active Directory. Setelah autentikasi, trafik tidak perlu melewati ZoneDirector, sehingga mengurangi bottleneck pada komunikasi kecepatan tinggi. Zone director juga dapat mendeteksi rogue AP dan dapat mencatat daftar user yang tidak baik (malicious user). Ketika terdapat AP yang berdekatan, ZoneDirector secara otomatis akan mengendalikan daya dan kanal frekuensi tiap AP untuk mendapatkan cakupan sinyal terbaik.
18
2.11. Perkiraan kapasitas jaringan Throughput mengacu pada kapasitas kanal atau disebut bandwidth. Pada 802.11g memiliki bandwidth 54Mbps, namun pada kenyataanya hanya memberikan 22Mbps throughput. Sehingga data besar akan dikirim sedikit demi sedikit dan ditransmisikan secepat mungkin. Waktu yang dibutuhkan untuk mengirim data hingga diterima tujuan disebut dengan latency, dan latency yang besar disebut juga lag. Besar throughput yang dibutuhkan tergantung pada banyaknya user dan penggunaan jalur wireless. Tiap aplikasi pada Internet membutuhkan
throughput
yang
berbeda-beda,
berikut
tabel
2.1
yang
memperlihatkan kebutuhan throughput pada berbagai aplikasi Internet (Hacker Friendly, 2007). Tabel 2. 1 Estimasi Penggunaan Bandwidth Aplikasi
BW/user
Text messaging / IM
< 1 kbps
Email
1-100kbps
Web browsing
50 100+kbps
Audio streaming
96 160kbps
Voice over IP (VoIP)
24 - 100+ kbps
Video Streaming
64 - 200+ kbps
Aplikasi Filesharing peer-to-peer (BitTorrent, KaZaA, Gnutella, eDonkey, etc.)
0 - tak hingga
Keterangan Trafik tidak terlalu tinggi dan asinkron, sehingga latency dapat ditolerir Seperti IM, email juga bersifat asinkron dan intermittent sehingga latency dapat ditolerir Web browser akan menggunakan jaringan ketika data di butuhkan. Sifat komunikasi asinkron sehingga sedikit lag dapat ditolerir Audio streaming menggunakan bandwidth yang relatif bessar dan konstan selama dijalankan. Latency dapat diatasi dengan memperbesar buffer pada user, namun dengan lag menyebabkan suara yang tidak terdengar Sama dengan audio streaming, VoIP menggunakan konstan bandwidth untuk komunikasi 2 arah. Latency pada VoIP tidak dapat ditolerir Video streaming merupakan aplikasi yang asinkron dan intermittent, namun membutuhkan throughput tinggi dan latency rendah untuk berfungsi dengan baik. Aplikasi peer-to-peer mentoleransi latancy, namun aplikasi tersebut juga menggunakan semua bandwidth yang tersedia. Aplikasi tersebut juga berpotensi menjadi masalah latency dan throughput untuk user lain
19
2.12. Syslog Syslog (Henderson & Kotz, 2006) adalah standar agak longgar ditentukan untuk mengirim dan menerima pesan. Pesan dapat disimpan secara lokal atau dikirimkan melalui jaringan ke host lain. Setelah sebuah AP telah dikonfigurasi untuk mengirim pesan syslog ke host tertentu, tidak diperlukan informasi lebih lanjut oleh host penerima syslog. Hal ini membuat syslog sebagai tool sederhana yang mudah dikonfigurasi. Host penerima, bagaimanapun, harus memastikan bahwa pesan diterima dengan benar, seperti masalah jaringan, upgrade firmware, atau rusaknya AP, yang dapat menyebabkan kegagalan AP untuk mengirim pesan syslog. Tidak ada format standar untuk pesan syslog, dan juga tidak ada standar format untuk pesan syslog 802.11. Pesan yang dikirim dapat memiliki format dan informasi yang bervariasi tergantung AP. Gambar 2.6 merupakan contoh syslog pada Ruckus Wireless.
Gambar 2. 6 Contoh Syslog pada Ruckus Wireless
2.13. Pengertian Jaringan Normal Suatu jaringan tidak memiliki tolak ukur yang baku mengenai trafik yang normal. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam beberapa factor
20
misalnya, kapasitas Internet, banyak user, aturan yang berlaku, layanan yang digunakan, kesehatan jaringan, dan konfigurasi jaringan. Maka dari itu perlu dilakukan penetapan baseline trafik. Baseline yang dimaksud adalah dengan mengamati trafik yang terjadi dan penentuan kondisi yang dianggap trafik normal. Baseline sangat berguna untuk mengidentifikasi masalah yang mungkin terjadi pada jaringan. Jika tidak ada baseline, maka akan sulit mengetahui adanya anomali dalam jaringan.
2.14. Performa Jaringan Performa merupakan salah satu indikator penting dalam jaringan. Performa jaringan dapat dilihat dari bandwidth, throughput, dan latensi(delay). Berikut ini pembahasan mengenai bandwidth dan throughput menurut Hacker Friendly (2007). 1. bandwidth Bandwidth adalah banyaknya bit per detik yang dikirim dalam link, kanal ataupun jaringan. Misalnya pada jaringan Ethernet memiliki maksimum bandwidth 100Mbps. Artinya jaringan tersebut dapat mengirimkan data dengan kecepatan 100Mbps. 2. Throughput Throughput merupakan kecepatan sebenarnya dari jaringan, berbeda dengan bandwidth yang menyatakan kecepatan maksimum, throughput
akan
selalu bernilai lebih kecil dari bandwidth. Misalnya suatu link mampu melayani kecepatan maksimum 1 Mbps, tetapi kenyataannya sebuah alat hanya bisa mengirim 200 kbps saja. 200kbps ini disebut dengan throughput dari alat tersebut.
21
2.15. Cacti Cacti adalah sebuah tool yang digunakan untuk traffic monitoring. Cacti dapat menghasilkan grafik yang berbasiskan waktu terhadap parameter monitoring, seperti : pemakaian jaringan baik upstream maupun downstream, CPU load dari alat, dan pemakaian memori dari sebuah alat jaringan yang dimonitor, seperti router dan switch. Salah satu prasyarat utama dari alat jaringan yang akan dimonitor adalah mendukung Simple Network Management Protocol (SNMP) (http://www.cacti.net/documentation.php). Cacti yang digunakan untuk mencari suatu parameter trafik jaringan hanya terbatas pada penggunaan dari traffic usage monitoring. Istilah jaringan yang dipakai dalam cacti adalah: 1. Inbound (upstream) Inbound merupakan status dari trafik yang masuk kedalam jaringan dari komputer user, apabila dilihat dari sisi user maka inbound merupakan besarnya upload yang dilakukan oleh user melalui komputer. Pada umumnya satuan yang digunakan adalah Kbps atau Mbps. 2. Outbound (downstream) Outbound merupakan status dari trafik yang keluar dari jaringan menuju kepada komputer user apabila dilihat dari sisi user maka outbound merupakan besarnya download yang dilakukan oleh user. Sama seperti Inbound satuan yang digunakan adalah Kbps atau Mbps. 3. Current
22
Current menunjukkan besarnya trafik yang ada pada saat pengambilan data dimulai, satuan current dalam Kbps atau Mbps. 4. Average Average adalah rata-rata dari jumlah total trafik yang ada dari titik pengambilan data sebelumnya sampai kepada titik pengambilan data terakhir dan pada umumnya dituliskan dalam satuan Kbps dan Mbps. 5. Maximum Maximum merupakan nilai trafik yang paling tinggi dari titik pengambilan data sebelumya sampai kepada titik pengambilan data terakhir, satuan yang digunakan Kbps atau Mbps.
2.16. Metodologi Studi Kasus Menurut Yin (2009) studi kasus merupakan penyelidikan empiris yang meneliti fenomena yang terjadi saat ini dalam konteks kehidupan nyata; dimana batasan antara fenomena dan hubungannya tidak terbukti secara jelas; dengan menggunakan beberapa sumber sebagai bukti dalam penyelidikan. Menurut Zainal (2007), metode studi kasus memungkinkan peneliti untuk meneliti data secara mendalam dengan konteks yang spesifik. Umumnya metode studi kasus hanya memilih subjek penelitian dalam lingkup kecil baik dari segi geografis ataupun jumlah individu yang diteliti. Menurut Zainal (2007), studi kasus adalah mengeksplorasi dan meneliti fenomena riil yang terjadi saat ini dengan menganalisa sejumlah kejadian atau kondisi tertentu dan hubungan yang terjadi. Menurut Yin (2009), desain studi kasus dibagi menjadi 2 yaitu single-case design (desain kasus tunggal) dan multiple-case design (desain kasus jamak).
23
Desain kasus tunggal digunakan jika kejadian atau kasus yang terjadi tidak dapat diulang, dengan demikian tidak dapat diambil kesimpulan umum jika kasus yang terjadi sangat jarang ditemukan. Sedangkan desain kasus jamak, digunakan pada kejadian riil yang menunjukan bahwa kejadian serupa juga terjadi pada kasus lain. Menurut Campbell (1975), desain kasus jamak akan meningkatkan tingkat kepercayaan dari metode yang digunakan dengan adanya hasil yang sama pada kasus terdahulu. Menurut Johansson (2003), ada 3 ciri khusus dalam metodologi studi kasus yaitu : 1. Triangulasi Pada studi kasus tidak hanya metode pengambilan data saja yang harus memenuhi syarat triangulasi, tetapi teori, sumber data, dan peneliti harus memenuhi syarat tersebut. Dengan demikian validitas dari studi kasus menjadi makin tinggi. 2. Kasus dipilih berdasarkan ketertarikan intrinsik Sebuah kasus dapat saja diteliti dikarenakan ketertarikan peneliti untuk memahami kasus bukan untuk mengeneralisasikan temuan dalam penelitian. 3. Generalisasi dari studi kasus didapat secara analitik bukan statistik Pada metodoogi studi kasus, generalisasi dicapai berdasarkan pemaparan alasan yang menyebabkan fenomena yang terjadi secara analitik.
2.17. Fungsi Distribusi Kumulatif Fungsi distribusi kumulatif atau Cumulative Distribution Function (CDF) menjelaskan probabilitas mengenai suatu nilai dengan tingkat distribusi
24
probabilitas pada nilai kurang atau sama dengan x. Pada fungsi distribusi kumulatif dapat dilihat rentang nilai yang mungkin dari nilai terrendah hingga nilai tertinggi. Berikut ini gambar 2.7 merupakan CDF dari distribusi normal.
Gambar 2. 7 CDF distribusi normal dengan µ dan σ2 yang berbeda
2.18. Analisis Regresi Linear Berganda Dalam regresi linear sederhana, variabel tak bebas Y hanya dipengaruhi oleh variabel bebas X. Pada regresi linear sederhana dapat diketahui pengaruh X terhadap Y jika X diubah 1 unit, berapa pengaruh terhadap Y dan untuk meramalkan nilai Y. Perlu diketahui terdapat pengaruh lain selain X. Untuk memperhitungkan pengaruh lebih dari satu variabel digunakan analisis korelasi dan analisis regresi linear berganda (Supratno, 2004). Model regresi linear berganda dapat sebagai berikut : Y=b0+b1X1+b2X2+b3X3+....+bjXj+.....+bkXk+e Ada (k+1) variabel dalam persamaan, yaitu 1 variabel tak bebas Y dan k variabel bebas X : X1,X2,X3,....Xk. Berikut ini langkah-langkah analisis regresi linear berganda yang dikemukakan Supratno (2004) :
25
1. Membuat perkiraan koefisien regresi parsial bj, untuk melihat berapa besar perubahan Y kalau Xj naik 1 unit dan X lainnya tetap. 2. Pengujian parsial H0 : Bj =0 (Xj tak mempengaruhi Y) Ha : Bj ≠ 0 (Xj mempengaruhi Y) Kalau H0 diterima, Xj dikeluarkan dari persamaan. 3. Pengujian menyeluruh H0 : B1 = B2 = B3 = B4 =0 (X1-X4 tak mempengaruhi Y) Ha : Bj ≠ 0 (paling sedikit ada satu variable X mempengaruhi Y) Kalau H0 diterima maka Y=b0+b1X1+b2X2+b3X3+....+bjXj+.....+bkXk+e boleh digunakan untuk meramal Y. Tapi jika H0 ditolak maka boleh untuk meramalkan. 4. Hitung R2 dan adjusted R2, untuk membandingkan sumbangan variabel bebas terhadap variasi nilai Y