BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tekanan Darah
2.1.1
Definisi Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk menekan dinding pembuluh
darah (American Heart Association, 2012). Tekanan darah juga didefinisikan sebagai kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung (Potter dan Perry, 2005). Saat jantung berdetak terjadi kontraksi pada otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh. Tekanan tertinggi saat ventrikel berkontraksi disebut dengan tekanan darah sistolik dan tekanan darah saat jantung beristirahat disebut dengan tekanan darah diastolik (Ariyani, 2011). Tekanan sistolik dan diastolik inilah yang diukur ketika memeriksa tekanan darah. Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi untuk tiap individu, namun menurut
Divine (2012) tekanan darah orang dewasa
diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: Tabel 2. 1 Klasifikasi tekanan darah (Divine, 2012) Klasifikasi tekanan darah
Tekanan darah sistolik (mmHg)
Tekanan darah sistolik (mmHg)
Optimal
<120
<80
Normal
<130
<85
Prahipertensi
130-139
85-89
7
8
2.1.2
Hipertensi tahap I
140-159
90-99
Hipertensi tahap II
160-179
100-109
Hipertensi tahap III
>180
>110
Fisiologi Tekanan Darah Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena perubahan tekanan dari
daerah yang tekanannya tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Tekanan darah dinyatakan dalam millimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa merupakan rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah (Guyton & Hall, 2008). Tekanan darah menggambarkan interelasi dari curah jantung, tahanan vaskuler perifer, volume darah dan elastisitas arteri (Hamarno, 2010). Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa oleh tiap ventrikel per menit dan dipengaruhi oleh volume sekuncup (volume darah yang di pompa ventrikel per detik) dan frekuensi jantung. Tekanan darah tergantung pada curah jantung dan tahanan vaskuler perifer. Jika curah jantung meningkat, darah yang dipompakan terhadap dinding arteri lebih banyak dan menyebabkan tekanan darah naik. Curah jantung dapat meningkat sebagai akibat dari peningkatan frekuensi jantung, kontraktilitas yang lebih besar dari otot jantung atau peningkatan volume darah (Hamarno, 2010). Resistensi merupakan ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui suatu pembuluh yang ditimbulkan oleh suatu friksi antara cairan yang mengalir dan dinding pembuluh darah yang stasioner. Sirkulasi darah melalui jalur arteri, arteriol, kapiler, venula dan vena. Ukuran arteri dan arteriol dapat berubah untuk
9
mengatur aliran darah bagi kebutuhan jaringan lokal. Tonus otot vaskuler dan diameter pembuluh darah dapat mempengaruhi tahanan pembuluh darah perifer. Semakin kecil lumen pembuluh darah maka semakin besar tahanan vaskuler terhadap aliran darah.Resistensi tergantung pada tiga faktor yaitu viskositas (kekentalan) darah, panjang pembuluh dan diameter pembuluh darah (Guyton & Hall, 2008). 2.1.3
Mekanisme Reflex Untuk Mempertahankan Tekanan Arteri Normal Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan
pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum) (Mayuni, 2013). Sistem pengaturan tekanan arteri oleh baroreseptor dimulai oleh reseptor regang yang disebut baroreseptor (presoreseptor) yang terletak secara spesifik pada dinding beberapa arteri sistemik besar. Hampir semua arteri besar di daerah toraks dan leher terdapat sejumlah kecil baroreseptor. Baroreseptor sangat banyak terdapat di dalam dinding arkus aorta dan dinding setiap arteri karotis interna yang terletak sedikit diatas bifurkasio karotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotis. Sinyal dari baroreseptor karotis dijalarkan melalui saraf hering menuju saraf glosovaringeus dan kemudian ke traktus solitarius di daerah batang otak. Sinyal dari baroreseptor aorta, di arkus aorta dijalarkan melalui saraf vagus menuju traktus solitarius yang sama di medula.
10
Baroreseptor lebih banyak merespon terhadap tekanan yang berubah cepat daripada tekanan yang menetap (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 1 Sistem baroreseptor untuk mengendalikan tekanan arteri (Sumber: Guyton & Hall, 2008) Setelah sinyal baroreseptor memasuki traktus solitarius medula, sinyal sekunder menghambat vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat parasimpatis vagus dengan efek vasodilatasi vena dan arteriol di seluruh sistem sirkulasi perifer serta berkurangnya frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung. Jadi perangsangan baroreseptor akibat tekanan tinggi di dalam arteri secara refleks menyebabkan penurunan tekanan arteri akibat penurunan tahanan perifer dan penurunan curah jantung (Guyton & Hall, 2008).
11
Sistem pengaturan tekanan arteri oleh vasomotor, bagian lateral dari pusat vasomotor mengirimkan impuls eksitasi melalui serabut saraf simpatis ke jantung bila tubuh perlu untuk menaikkan frekuensi serta kontraktilitas jantung. Sedangkan bila tubuh perlu untuk menurunkan pompa jantung, maka medial pusat vasomotor mengirimkan sinyal ke nucleus motoric dorsalis nervus vagus yang kemudian mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke jantung untuk menurunkan frekuensi dan kontraktiltas jantung. Oleh karena itu pusat vasomotor dapat meningkatkan atau menurunkan aktivitas jantung. Frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung biasanya meningkat saat terjadi vasikontriksi dan biasanya menurun pada saat vasokontriksi dihambat (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 2 Area di otak yang berperan penting dalam pengaturan sirkulasi oleh saraf. (Sumber: Guyton & Hall, 2008)
12
2.1.4
Pengukuran Tekanan Darah Alat
yang
digunakan
untuk
mengukur
tekanan
darah
adalah
sphygmomanometer. Sphygmomanometer ada tiga jenis, ada yang jenis air raksa, aneroid dan jenis digital. Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg) (Palmer, 2007). Tekanan darah diukur dan dicatat dengan menggunakan tekanan sistolik dan diastolik dari pasien. Mengukur tekanan darah sangat penting dilakukan sebelum, pada saat latihan dan sesudah memberikan latihan kepada pasien untuk melihat adanya respon dari latihan yang diberikan (Lippincott & Wilkins, 2009). Posisi saat melakukan pengukuran tekanan darah adalah punggung dan kaki pasien harus didukung, kaki tidak menyilang, dan kaki bertumpu pada permukaan yang keras. Lengan yang akan diukur harus dibebaskan dari pakaian atau dilonggarkan agar tidak mengganggu aliran darah dan posisi manset sejajar dengan jantung. Manometer ditaruh sejajar di tingkat mata praktisi kesehatan yang melakukan pengukuran. Penempatan manset harus ditempatkan pada lengan yang bebas dari pakaian dan kira-kira 2 cm diatas lipatan siku, dengan garis tengah kantong diatas arteri brakialis. Pemasangan harus pas tetapi tetap memungkinkan 2 jari untuk masuk di bawah manset (Adhitya, 2014). Untuk menghindari suara asing selama deflasi manset, pastikan bahwa stetoskop tidak bersentuhan dengan pakaian pasien atau dengan manset tekanan darah dan tempatkan bel stetoskop di atas arteri brakialis, menggunakan tekanan yang cukup untuk menyediakan transmisi suara yang bagus tanpa terlalu mengompresi arteri. Setelah tekanan nadi-obliterasi ditentukan, memulai auskultasi pengukuran tekanan darah dengan cepat menggembungkan manset ke
13
tingkat 20 sampai 30 mmHg di atas tekanan nadi-obliterasi. Kemudian menurunkan manset pada tingkat 2 mmHg per detik dibarengi mendengarkan suara korotkoff. Saat manset mengempis, aliran darah bergejolak melalui arteri brakialis menghasilkan serangkaian suara (Lippincott & Wilkins, 2009). Ada 5 fase untuk menentukan dan mencatat tekanan darah, tahap pertama ditandai dengan jelas, suara ketukan yang berulang, bertepatan dengan kemunculan denyut nadi yang diraba. Kemunculan awal suara fase pertama sama dengan tekanan darah sistolik. Selama fase kedua, murmur terdengar dalam sadapan yang telah terdengar. Fase ketiga dan keempat, perubahan diredam saat ketukan suara sedang berlangsung (biasanya dalam 10 mmHg dari tekanan diastolik yang sebenarnya) sebagai pengukuran tekanan mendekati tekanan diastolik. Fase kelima benar-benar tidak ada sebuah suara, ini menunjukkan hilangnya suara dan sama dengan tekanan darah diastolik. Untuk memastikan diastole yang telah tercapai, kempiskan tekanan manset dengan tambahan 10 mmHg melampaui korotkoff suara kelima. Lakukan minimal dua pengukuran tekanan darah pada interval minimal 1 menit. Catat rata-rata pengukuran sebagai tekanan darah (Lippincott & Wilkins, 2009). 2.2 2.2.1
Hipertensi Definisi Hipertensi lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Hipertensi
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik pada tingkat 140 mmHg atau lebih tinggi dan tekanan darah diastolik pada tingkat 90 mmHg atau lebih
14
tinggi yang didasarkan dari rata-rata 2 atau lebih pengukuran dalam waktu yang berkala (LeMone & Burke, 2008). Tekanan darah orang dewasa di klasifikasikan kedalam beberapa tingkatan, yaitu : (1) optimal dengan tekanan darah sistolik < 120 dan diastolik < 80, (2) normal dengan tekanan darah sistolik < 130 dan diastolik < 85, (3) prahipertensi dengan tekanan darah sistolik 130-139 dan diastolik 85-89, (4) hipertensi tahap I dengan tekanan darah sistolik 140-159 dan diastolik 90-99, (5) hipertensi tahap II dengan tekanan darah sistolik 160-179 dan diastolik 100-109, (6) hipertensi tahap III dengan tekanan darah sistolik > 180 dan diastolik > 110 (Divine, 2012). 2.2.2
Etiologi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua jenis yaitu
(Cahyani, 2014): 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer, merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak jelas. Sekitar 90% penderita hipertensi termasuk kedalam hipertensi esensial. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebabnya bersifat multi faktor, yang terdiri dari genetik dan lingkungan. Faktor genetik sangat mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan yaitu diet, kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain.
15
2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan penyebab yang diketahui. Sekitar 5-10% penderita hipertensi mengalami hipertensi sekunder yang penyebabnya adalah penyakit ginjal dan sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu. Penyebab hipertensi sekunder lainnya adalah feokromositoma yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin dan noreprinefrin, namun kasus ini jarang ditemukan. 2.2.3
Patofisiologi Curah jantung dan resisten perifer total merupakan penentu utama tekanan
darah arteri rata-rata. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap-tiap ventrikel per menit. Curah jantung dipengaruhi oleh dua faktor penentu yaitu kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut) (Haryati, 2011). Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medula batang otak. Bermula dari jaras saraf simpatis di pusat vasomotor ini, kemudian berlanjut ke bawah ke medula spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Serat saraf simpatis mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak. Noradrenalin yang dikeluarkan dari ujung-ujung saraf simpatis berikatan dengan reseptor
adrenergik
α
di
otot
polos
vaskuler
sehingga
menimbulkan
vasokonstriksi. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan juga dapat
16
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Saat bersamaan sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi dan kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi beberapa hormon seperti adrenalin dan noradrenalin
yg
secara ekstrinsik
juga turut mempengaruhi
diameter arteriol dengan memperkuat sistem saraf simpatis di sebagian besar jaringan (Cahyani, 2014).
Gambar 2. 3 Persarafan simpatis pada sirkulasi sistemik (Sumber: Guyton & Hall, 2008) Secara khusus, adrenalin selain berikatan dengan reseptor α, juga berikatan dengan reseptor β2 yang terdapat di arteriol jantung dan otot rangka. Pengaktifan reseptor β2 menimbulkan vasodilatasi. Selama aktivitas simpatis, adrenalin yang dikeluarkan berikatan dengan reseptor β2 di jantung dan otot rangka untuk memperkuat mekanisme vasodilator lokal di jaringan-jaringan ini, sementara arteriol di tempat lain seperti saluran pencernaan dan ginjal yang hanya dilengkapi oleh reseptor α, tidak berespons terhadap adrenalin. Dengan demikian, arteriol di organ-organ ini, yang hanya dipengaruhi oleh noradrenalin dari sistem saraf
17
simpatis, mengalami vasokonstriksi yang lebih kuat daripada pembuluh di jantung dan otot rangka (Haryati, 2011).Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensis I yang kemudian diubah menjadi angiotensis II, suatu vasokonstriktor kuat yang pada akhirnya akan merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini yang menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan volume intavaskular. Semua faktor tersebut cenderung nyebabkan keadaan hipertensi (Cahyani, 2014). 2.2.4
Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (LeMone & Burke, 2008) a. Riwayat Keluarga Hipertensi dihasilkan dari banyak gen dan faktor dalam seseorang dalam suatu keluarga yang menderita hipertensi. Faktor genetik membuat keluarga menderita hipertensi berkaitan dengan peningkatan jumlah sodium di intraseluler dan penurunan rasio potasium dan sodium. Pasien dengan kedua orangtuanya menderita hipertensi lebih besar risikonya terjadi pada usia muda. b. Usia Hipertensi pada umumnya muncul antara usia 30-50 tahun. Angka kejadian meningkat pada usia 50-60 tahun. Studi epidemiologi
18
menyatakan prognosis lebih buruk apabila pasien menderita hipertensi pada usia muda. c. Jenis Kelamin Secara umum, angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dari pada wanita sampai usia 55 tahun, namun perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller, 2010). Risiko kejadian hipertensi antara usia 55-74 tahun hampir sama, setelah usia 74 tahun wanita lebih besar resikonya. d. Etnik Angka kematian pada hipertensi orang dewasa, berturut-turut terjadi paling rendah pada wanita kulit putih yaitu 4,7%, pria kulit putih 6,3%, pria kulit hitam 22,5%, dan yang paling tinggi adalah wanita kulit hitam yaitu 29,3%. Alasan peningkatan pada wanita berkulit hitam itu tidak jelas, tetapi peningkatan ini didukung oleh tanda jumlah rennin yang lebih rendah, sensitivitas vasopresin lebih tinggi, pemasukan garam lebih tinggi dan stres lingkungan yang lebih tinggi.
19
2. Faktor yang dapat dimodifikasi (LeMone & Burke, 2008): a. Stres Faktor lingkungan, tipe personal
dan fenomena fisik
dapat
menyebabkan stres. Stres meningkatkan tahanan vaskuler perifer, cardiac output dan merangsang aktivitas sistem saraf simpatis, selanjutnya hipertensi dapat terjadi. Bila stres sering terjadi dan berkelanjutan dapat menyebabkan hipertropi otot polos vaskuler dan mempengaruhi koordinasi pusat di otok. b. Kegemukan Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50% individu dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah. Mekanisme terjadinya hipertensi pada kasus obesitas belum sepenuhnya dipahami, tetapi telah diketahui bahwa pada orang yang mengalami obesitas terdapat peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah (Angraini, 2014). Indeks masa tubuh (IMT) yang normal adalah 18,5-24,9 kg/m2. Penurunan berat badan 10 kg dapat menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg. c. Zat Makanan Mengkonsumsi asupan tinggi sodium dapat menjadi fakrot penting terjadinya hipertensi. Diet tinggi garam mungkin merangsang pengeluaran
hormon
natriuretik
yang
secara
tidak
langsung
20
meningkatkan tekanan darah. Muatan sodium juga merangsang mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat. d. Penyalahgunaan Zat Merokok, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, penggunaan obat terlarang merupakan faktor terjadinya hipertensi. Nikotin dan obatobatan seperti kokain dapat menyebabkan tekanan darah meningkat segera dan menjadi ketergantungan sehingga dapat menyebabkan hipertensi dilain waktu. Angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada pasien yang minum lebih dari 30 cc etanol setiap hari. 2.2.5
Manifestasi Klinik Tidak ada manifestasi klinik yang dirasakan oleh pasien pada tahap awal
perkembangan hipertensi. Kadang-kadang tekanan darah akan naik dan jika tidak dilakukan pemeriksaan dengan rutin, maka pasien tidak sadar tekanan darahnya meningkat. Jika hal tersebut tidak terdiagnosa maka tekanan darah akan meningkat terus menerus dan muncul manifestasi klinik. Pasien akan melaporkan keluhan seperti nyeri kepala yang menetap, kelelahan, pusing, berdebar-debar dan penglihatan kabrur (Black & Hawk, 2005). Dapat pula terjadi perubahan retina akibat perdarahan dan eksudat, penyempitan arteri dan infark kecil sampai terjadi edema pupil pada hipertensi yang berat. Penyakit arteri koronaria seperti angina pectoris dan infark myokard juga dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya hipertensi. Hopertropi ventrikel kiri juga dapat terjadi sebagai akibat peningkatan kerja ventrikel melawan tekanan sistemik yang meningkat, gagal jantung,
21
kerusakan ginjal dan gangguan vaskuler di otak juga dapat terjadi (Hamarno, 2010). 2.2.6
Penatalaksanaan Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk mengembalikan tekanan darah
agar mendekati normal dan meningkatkan kualitas hidup penderita hipertensi. Penatalaksanaan
hipertensi
meliputi
terapi
non-farmakologis
dan
terapi
farmakologis. 1. Terapi farmakologis Terapi farmakologi yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretik, beta blocker, calcium channel blocker, Angiotensin Converting
Enzyme
Inhibitor
(ACEI),
Angiotensin
II
Receptor
Blocker(ARB) (Aziza, 2008). a. Diuretik Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi Natrium Chlorida (NaCl) di tubulus ginjal. Penurunan awal curah jantung karena penurunan volume plasma dan volume cairan ekstra seluler. b. Penghambat Adrenergic Penghambat adrenergic merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-blocker, beta blocker, dan alfa-beta-blocker. Beta-blocker bekerja dengan menurunkan denyut jantungdengan menurunkan curah jantung dan kontraktilitas otot jantung, menghambat pelepasan renin ginjal dan meningkatkan sensitifitas barorefleks. Sedangkan alfa-blocker bekerja
22
menurunkan aliran balik vena tetapi tidak menyebabkan takikardi. Curah jantung tetap atau meningkat dan volume plasma biasanya tidak berubah. Karena efek antihipertensi alfa-blocker didasarkan pada vasodilatasi arteriol perifer maka lebih efektif pada pasien dengan aktivitas simpatis kuat. c. ACE Inhibitor Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron (RAA). Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan aldosteron menurun, volume cairan menurun dan terjadi vasodilatasi. d. Calcium Channel Blocker (CCB) CCB menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel melalui channel-L. CCN dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu nondihidropiridin
dan
dihidropiridin.
Golongan
non-dihidropiridin
mempengaruhi sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan penurunan resistensi perifer sedangkan golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri. e. Angiotensin Receptor Blocker (ARB) ARB bekerja seperti ACE-I, yaitu mengganggu sistem RAA. Golongan ini menghambat ikatan angiotensin II pada salah satu reseptornya. ARB lebih aman dan tolerable dibandingkan ACE-I. 2. Terapi nonfarmakologis
23
Dengan
pola
hidup
yang
sehat
penting
untuk
mencegah
dan
mengembalikan tekanan darah agar tetap normal yang merupakan bagian dari tatalaksana hipertensi. Beberapa modifikasi pola hidup yang disarankan untuk dijadikan terapi secara definitif digaris pertama sekurang-kurangnya 6-12 bulan setelah diagnosis awal adalah (LeMone & Burke, 2008): a. Penurunan berat badan Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50% individu dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah. Indeks masa tubuh (IMT) yang normal adalah 18,5-24,9 kg/m2. Penurunan berat badan 10 kg daapt menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg. Maka dari itu manajemen berat badan sangat penting dalam mengontrol tekanan darah. b. Modifikasi diet lemak dan sodium Diet lemak dapat menurunkan lemak jenuh dan meningkatkan lemak tak jenuh sehingga memberikan dampak penurunan tekanan darah tetapi juga menurunkan tingkat kolesterol. Rekomendari DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertentsion) bahwa diet yang dianjurkan adalah kaya buah-buahan, sayur-sayuran, kacangkacangan dan makanan rendah lemak. Hampir 40% orang dengan hipertensi peka terhadap sodium. Diet garam 2,4 gram atau 6 gram bisa menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Pembatasan
24
sedang pemasukan sodium (6 gram) dapat menurunkan tekanan darah pada beberapa kasus hipertensi tingkat 1. c. Aktivitas fisik Seseorang dengan aktivitas fisik yang rendah beresiko terkena hipertensi 30-50%. Rutin olahraga minimal 30 menit per hari bisa menurunkan tekanan darah sistolok 4-9 mmHg. Tekanan darah dapat diturunkan dengan aktifitas sedang seperti aerobik dan jalan cepat. d. Pembatasan alkohol dan kafein Konsumsi lebih dari 30 cc perhari meningkatkan risiko hipertensi. Menghindari konsumsi alkohol dapat menurunkan teknan darah sistolik 2-4 mmHg. Kafein dapat memacu jantung untuk bekerja lebih cepat sehingga lebih banyak mengalirkan cairan pada setiap detiknya. e. Berhenti merokok Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan jumlah nadi dan menghasilkan vasokontriksi perifer yang mana tekanan darah dapat meningkat dalam waktu pendek atau setelah merokok. Dengan tidak merokok maka hal tersebut dapat di cegah.
25
f. Teknik relaksasi Berbagai terapi relaksasi seperti relaksasi otot progresif, meditasi transcendental,
yoga,
biofeedback
dan
psikoterapi
dapat
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. 2.3
Stres dan Hipertensi Stres adalah reaksi non spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan
baik secara fisik maupun psikologis. Stres merupakan sutu reaksi adaptif yang bersifat sangat individual sehingga bagi seseorang suatu stres belum tentu sama tanggapannya dengan orang lain. Stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidak seimbangan. Stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres (Mashudi, 2011). Reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis. Secara simultan hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem saraf otonom untuk merangsang respon yang segera terhadap stres. Sistem saraf otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung, nafas yang cepat dan penurunan aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan nafas dan peningkatan aktivitas gastrointestinal (Smeltzer, et al ., 2008).
26
Secara fisiologi, keadaan stres akan mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatis memberikan respon terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya meningkatkan kecepatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah (Sherwood, 2010). Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan berdampak pada perubahan tekanan darah yaitu peningkatan tekanan darah secara intermiten atau tidak menentu (Nasution, 2011). Dr. Shigeo Haruyama, dalam bukunya “The Miracle of Endorphin”,menyatakan, ketika kita teramat stres munculah hormon noradrenalin. Jika hormon noradrenalin diproduksi dalam jumlah tepat, maka akan menjalankan fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Namun, saat hormon noradrenalin dirpoduksi secara berlebihan akan mempersempit aliran darah ke jantung dan meningkatkan tekanan darah. Hal ini akan dengan mudah membuat pembuluh darah menjadi tersumbat. Hormon beta-endorfin membantu mengembalikan kondisi pembuluh darah menjadi normal seperti semula dan menjaga agar darah dapat mengalir dengan mudah dan bebas hambatan. Beta-endorfin penangkal stres akan terbentuk jika seseorang merasa nyaman atau rileks (Haruyama, 2011).
27
2.4
Progressive Muscle Relaxation (PMR)
2.4.1
Definisi PMR merupakan salah satu metode relaksasi sederhana yang melalui dua
proses yaitu menegangkan dan merelaksasikan otot tubuh pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan melemaskan otot secara progresif ini dilakukan secara berturut-turut. Latihan PMR ini dapat dilakukan secara mandiri sehingga mempermudah seseorang untuk melakukan latihan tanpa perlu bantuan dari orang lain. Selain itu teknik latihan dari PMR juga dapat dilakukan dalam posisi duduk maupun tidur sehingga dapat dilakukan dimana saja. PMR merupakan teknik relaksasi yang sederhana dan efektif untuk mengurangi keteganagn otot, menurunkan stres dan menurunkan tekanan darah (Kumutha, 2014). Hal-hal yang diperhatikan saat latihan relaksasi otot progresif adalah (Hamarno, 2010): a. Latihan ditempat yang tenang untuk membantu konsentrasi pada kelompok otot, b. Melepaskan sepatu dan pakaian tebal yang dapat menggangu proses latihan, c. Hindari makan, merokok dan minum-minuman keras sesaat sebelum latihan, d. Latihan dilakukan dengan posisi duduk atau tidur dalam keadaan yang paling nyaman, e. Jangan menegangkan otot secara berlebihan karena dapat melukai otot tersebut.
28
2.4.2
Indikasi PMR dapat diberikan kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi dan
kemampuan pengelolaan diri. Latihan ini dapat membantu mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan tekanan darah, menurunkun kadar gula darah, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, sehingga fungsional dan kualitas hidup meningkat (Smeltzer, et al ., 2008). Teknik relaksasi pada tekanan darah tinggi telah dikatakan memiliki efek positif yang telah di buktikan oleh Dickinson, et al (2008) menyampaikan 60-90 % klien yang konsultasi ke dokter keluarga yang terkait dengan stres sebagian besar memiliki tekanan darah tinggi sehingga manajemen stres dianggap penting sebagai pengobatan anti-hipertensi, dengan teknik relaksasi yang tepat salah satunya adalah relaksasi otot progresif. 1.4.3
Kontraindikasi Pasien dengan gangguan otot seperti cidera akut, peningkatan tekanan
intrakranial, dan penyakit arteri koronaria yang berat seharusnya tidak melakukan relaksasi otot progresif (Hamarno, 2010). 1.4.4
Prosedur Prosedur PMR terdiri dari 15 gerakan berturut-turut, yaitu (Mashudi,
2011):
29
Tabel 2. 2 Aplikasi Progressive Muscle Relaxaion (PMR) No.
Progressive Muscle
Gambaran Pelaksanaan
Relaxatin 1.
Melatih otot tangan
Peserta
duduk
mengepalkan
rileks
tangan.
kemudian
Peserta
diminta
membuat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi, tahan selama 5 detik kemudian lepaskan kepalan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 2.
Melatih otot lengan bawah
Peserta duduk rileks dengan menekuk pergelangan tangan (dorso fleksi wrist) hingga dapat dirasakan ketegangan, tahan selama
5
detik
perlahan-lahan dalam dan
kemudian
disertai
lepaskan
menarik
nafas
merasakan rileks selama 10
detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 3.
Melatih otot lengan atas
Peserta
duduk
rileks
kemudian
mengepalkan kedua tangan dan menekuk siku (fleksi elbow) hingga dapat dirasakan ketegangan, tahan selama 5 detik kemudian
30
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
4.
Melatih otot-otot bahu
Peserta duduk rileks kemudian mengangkat kedua bahu (elevasi shoulder) setinggitingginya ketegangan,
hingga tahan
dapat
dirasakan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 5.
Melatih otot-otot dahi
Peserta
duduk
rileks
kemudian
mengerutkan dahi dan alis hingga dapat dirasakan ketegangan, tahan selama 5 detik kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 6.
Melatih otot-otot mata
Peserta duduk rileks kemudian menutup mata hingga dirasakan ketegangan, tahan
31
selama 5 detik perlahan-lahan
kemudian lepaskan
disertai
menarik
nafas
dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
7.
Melatih otot-otot rahang
Peserta
duduk
rileks
kemudian
mengatupkan rahang dengan menggigit gigi hingga dirasakan ketegangan disekitar rahang, tahan selama 5 detik
kemudian
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 8.
Melatih otot-otot bibir
Peserta
duduk
rileks
dimoncongkan
kemudian
hingga
bibir
dirasakan
ketegangan disekitar mulut, tahan selama 5 detik disertai
kemudian lepaskan perlahan-lahan menarik
merasakan
rileks
nafas selama
dalam 10
dan detik.
Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 9.
Melatih
otot-otot
bagian belakang
leher Peserta
duduk
menekankan
kepala
rileks pada
kemudian permukaan
32
bantalan
kursi
hingga
dirasakan
ketegangan pada bagian belakang reher dan punggung atas, tahan selama 5 detik kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 10.
Melatih
otot-otot
leher Peserta
bagian depan
duduk
rileks
kemudian
mendekatkan dagu ke dada (fleksi leher) hingga dirasakan ketegangan pada leher bagian depan, tahan selama 5 detik kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
11
Melatih otot-otot punggung
Peserta duduk tanpa bersandar kemudian busungkan dada (seperti postur lordosis) hingga
dirasakan
ketegangan
pada
punggung, tahan selama 5 detik kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
33
12
Melatih otot-otot dada
Peserta duduk rileks kemudian tarik nafas dalam hingga dada terlihat mengembang tahan selama sesaat, kemudian lepaskan keteganagn secara perlahan dan peserta dapat bernafas seperti semula.
Lakukan
gerakan yang sama 2 kali.
13
Melatih otot-otot perut
Peserta duduk rileks kemudian tarik perut kedalam hingga dirasakan ketegangan pada sekitar
perut,
tahan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 14
Melatih otot-otot tungkai
Peserta duduk rileks dengan kedua kaki diluruskan kemudian tekuk pergelangan kaki (dorso fleksi ankle) hingga dirasakan ketegangan,
tahan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali. 15
Melatih otot-otot betis
Peserta duduk rileks dengan kedua kaki
34
diluruskan kemudian tekuk pergelangan kaki (plantar fleksi ankle) hingga dirasakan ketegangan,
tahan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai menarik nafas dalam dan merasakan rileks selama 10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
1.4.5
Mekanisme Progressive Muscle Relaxation dalam Menurunkan Tekanan Darah Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
stres dengan peningkatan tekanan darah sehingga manajemen stres dianggap penting sebagai pengobatan hipertensi. Relaksasi mampu menghambat stres atau ketegangan jiwa yang dialami seseorang. Relaksasi merupakan suatu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung, nafas yang cepat dan penurunan aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan nafas dan peningkatan aktivitas gastrointestinal (Smeltzer, et al ., 2008). Pengaruh saraf parasimpatis pada sirkulasi yang paling penting adalah pengaturan frekuensi jantung melalui serabut-serabut saraf parasimpatis yang menuju jantung melalui nervus vagus. Perangsangan saraf-saraf parasimpatis yang menuju ke jantung
35
(vagus) menyebabkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung saraf vagus. Asetilkolin yang dilepaskan pada ujung saraf vagus sangat meningkatkan permeabilitas membran serabut terhadap ion kalium. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
kenegatifan
di
dalam
serabut
(hiperpolarisasi).
Keadaan
hiperpolarisasi akan menurunkan potensial membran, sehingga akan menurunkan frekuensi irama nodus sinus dan akan menurunkan eksitabilitas serabut-serabut penghubun A-V yang terletak diantara otot-otot atrium dan nodus A-V, sehingga akan memperlambat perjalanan impuls jantung yang menuju ke ventrikel (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 4 Anatomi pengaturan sirkulasi oleh saraf simpatis dan parasimpatis ke jantung (Sumber: Guyton & Hall, 2008) Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan total peripheral resistance dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis. Teknik relaksasi membuat otot-otot pembuluh darah arteri dan vena
36
bersamaan dengan otot-otot lain dalam tubuh menjadi rileks. Terjadinya relaksasi otot-otot dalam tubuh ini berpengaruh terhadap penurunan kadar norepinefrin dalam tubuh (Shinde, et al ., 2013). Dalam keadaan otot-otot yang rileks juga menyebarkan stimulus ke hipotalamus sehingga jiwa dan organ dalam tubuh manusia benar-benar merasakan ketenangan dan kenyamanan yang kemudian akan menekan sistem saraf simpatis sehingga terjadi penurunan produksi hormon epinefrin dan norepinefrin. Menurut Black & Hawk (2005), relaksasi juga mengakibatkan regangan pada arteri akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteri & vena difasilitasi oleh pusat vasomotor, ada beberapa macam vasomotor yang salah satunya adalah reflek baroreseptor. Reflek baroreseptor saat relaksasi akan menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan saraf parasimpatis sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup menurun, serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu curah jantung, resistensi perifer total juga menurun sehingga tekanan darah turun.