BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan utama di dalam penelitian ini. Bagian pertama akan dibahas mengenai teori perkembangan psikososial pada remaja yang mencakup lingkungan sosial remaja dengan orang tua, teman sebaya, dan didalam lingkungan budaya masyarakat. Selanjutnya teori mengenai perkembangan identitas remaja. Di bagian kedua adalah pembahasan mengenai perkembangan seksualitas remaja, perilaku seksualitas remaja, identitas seksualitas remaja, dan orientasi seksualnya. Serta pembahasan yang menjelaskan teori mengenai homoseksualitas, dan bagaimana homoseksual menemukan identitas di usia remaja. Kemudian di bagian terakhir yang merupakan inti dari pembahasan dalam penelitian ini, yaitu penjelesan teori mengenai lesbian. Yang terdiri dari perkembangan lesbian dan tipe-tipe lesbian.
2.1
Perkembangan Psikososial Pada Remaja 2.1.1 Teori Psikososial Erikson Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008) tugas utama perkembangan selama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat. Erikson (dalam Desmita, 2005) menjelaskan bahwa remaja yang
10
berhasil mencapai suatu identitas yang stabil, akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, mampu untuk memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan
pada
dirinya,
memiliki
kepercayaan
diri,
mampu
mengendalikan situasi yang dihadapi, mampu untuk mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal peran dirinya sebagai remaja didalam masyarakat. Jika terjadi kegagalan dalam diri remaja untuk mengatasi krisis identitas dan mencapai suatu identitas yang relatif stabil, akan sangat membahayakan masa depan remaja. Karena, seluruh masa depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis identitas di masa remaja tersebut. Identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion) adalah tahap kelima dari depalan tahap perkembangan dalam teori Perkembangan Psikososial Erikson (dalam Santrock, 2007). Tahap perkembangan yang pertama adalah kepercayaan versus ketidak percayaan (trust versus mistrust), tahap pertama dari perkembangan psikososial, yang dialami dalam satu tahun pertama dari kehidupan seseorang. Tahap kedua dalam perkembangan psikososial adalah otonomi versus rasa malu dan keragu-raguan (autonomy versus shame and doubt) yang berlangsung antara akhir masa bayi hingga masa baru mulai berjalan, tahap ini berlangsung pada saat anak berusia 1-3 tahun. Tahap perkembangan ketiga adalah prakarsa versus rasa bersalah (initiative versus guilt), tahap ini berlangsung selama masa prasekolah, ketika anak-anak prasekolah mulai
11
memasuki dunia sosial yang luas. Tahap perkembangan keempat adalah tekun versus rendah diri (industry versus inferiority), tahap ini berlangsung pada saat anak duduk di bangku sekolah dasar. Selanjutnya, Tahap kelima adalah Identitas versus kebingan identitas (identity versus identity confusion) yang berlangsung di masa remaja. Tahap keenam adalah tahap dimana yang dialami individu selama masa dewasa awal, yang disebut tahap keintiman versus keterkucilan (intimacy versus isolation). Tahap ketujuh adalah bangkit versus stagnasi (generativity versus stagnation), tahap ini berlangsung di usia dewasa menengah. Dan tahap kedelapan dari tahap perkembangan Erikson adalah integritas versus kekecewaan (integrity versus despair) tahap ini berlangsung di usia dewasa akhir. Dan dalam pembahasan penelitian ini, akan lebih dijelaskan secara detail mengenai tahap perkembangan identitas Erikson yang kelima, yaitu identitas versus kebingan identitas (identity versus identity confusion), yang merupakan tahap perkembangan yang berlangsung di masa remaja. Di masa remaja, individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapakah remaja itu, bagaimana mereka nantinya, dan arah mana yang mereka mau tempuh dalam hidupnya. Remaja dihadapkan pada peranperan baru dan status orang dewasa, pekerjaan, dan romantika. Dalam tahap perkembangan ini juga sebaiknya orang tua memberikan kepercayaan dan mengizinkan mereka untuk menjajaki berbagai peran yang berbeda, maupun berbagai jalur yang terdapat dalam salah satu peran yang dijajaki oleh mereka dalam kehidupannya. Jika mereka mampu untuk
12
menjajaki peran-peran dalam kehidupannya dengan sehat dan sampai pada suatu jalaur yang positif untuk diikuti dalam kehidupan, maka identitas yang positif akan dicapai. Tetapi jika suatu identitas terlalu dipaksakan oleh orangtua dan jika remaja tidak cukup berhasil dalam menjajaki berbagai peran dan mendefinisikan masa depannya secara positif, maka mereka akan mengalami kebingungan identitas dirinya sebagai remaja.
2.1.1.1 Hubungan dengan Orang Tua Menurut Desmita (2005) perubahan-perubahan perkembangan yang terjadi pada remaja baik secara fisik, kognitif, dan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang tua dan remaja. Salah satu ciri yang terlihat dari remaja yang mempengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi (kebebasan), baik secara fisik dan psikologis. Karena remaja lebih sedikit meluangkan waktu untuk bersama orang tua nya dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling interaksi dengan dunia yang lebih luas, sehingga mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide. Interaksi dengan dunia yang lebih luas, menimbulkan ide-ide yang berbeda dengan pandanganpandangan yang diyakini oleh orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah seseorang yang
13
memiliki
kemampuan,
bakat,
dan
pengetahuan
tertentu,
mereka
memandang orang tua sebagai orang yang harus dihormati, dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan. Menurut Dacey & Kenny (dalam Desmita, 2005) bahwa pencapaian otonomi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja. Akan tetapi tidak selalu, karena terdapat perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga, dimana ada tipe keluarga yang memberikan kebebasan secara emosional kepada anak mereka, tetapi ada juga tipe keluarga yang membiarkan cenderung mengharuskan anak mereka tergantung secara emosional pada orang tua mereka. Menurut Santrock (dalam Desmita, 2005) bahwa peran ketertarikan yang aman (secure attachment) dengan orang tua terhadap perkembangan remaja. Ketertarikan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam ciri-ciri : harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Misalnya, remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka, memiliki harga diri dan kesejah emosional yang baik. Sebaliknya, ketidakdekatan (detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri sendiri. Desmita (2005) menjelaskan bahwa dengan demikian, ketertarikan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang
14
menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis. Begitu pentingnya faktor ketertarikan yang kuat antara orang tua dan remaja dalam menentukan arah perkembangan remaja, maka orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan ketertarikan ini untuk mempertahankan ketertarikan ini, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang. Karena ketika remaja menuntut otonomi, maka sebagai orang tua yang bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, disamping itu terus memberikan bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang di mana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.
2.1.1.2 Hubungan dengan Teman Sebaya Menurut
Santrock
(dalam
Desmita,
2005)
Perkembangan
kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam suatu investigasi, ditemukan bahwa anak berhubungan dengan teman sebaya 10% dari waktunya setiap hari pada saat usia 2 tahun, 20% pada saat usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada saat usia anatara 7-11 tahun.
15
Menurut Bloss (dalam Desmita, 2005) hubungan teman sebaya dengan
remaja
lebih
didasarkan
pada
hubungan
persahabatan,
pembentukan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts. Menurut Piaget & Stack (dalam Desmita, 2005) bahwa pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti sangat penting bagi kehidupan remaja. Melalui hubungan teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris. Anak mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Mereka juga mempelajari secara aktif kepentingankepentingan dan perspektif teman sebaya dalam rangka memuluskan integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan. Menurut Hartup & Hightower (dalam Desmita, 2005) pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja juga memberikan fungsi-fungsi sosial dan psikologis yang penting bagi remaja. Hubungan teman sebaya yang harmonis selama masa remaja, dihubungankan dengan kesehatan mental yang positif pada usia tengah baya. Menurut Kelly & Hansen (dalam Desmita, 2005), ada enam fungsi positif teman sebaya dalam kehidupan masa remaja, diantaranya : (1) Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk menghadapi setiap tantangan dalam kehidupannya dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresi langsung; (2)
16
Memperoleh dorongan emosinal dan sosial serta menjadi lebih independen.
Dorongan yang didapatkan dari teman sebaya akan
menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada dorongan keluarga mereka; (3) Meningkatnya keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaanperasaan dengan cara yang lebih matang. Melalui komunikasi, percakapan, dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar mengekspresikan ideide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah; (4) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Remaja belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap yang mereka asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda; (5) Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Dalam kelompok teman sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan dimiliki oleh teman sebayanya, dan memutuskan mana yang benar menurut mereka. Proses ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka; (6) Meningkatkan harga diri (Self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar teman-teman sebayanya membuat remaja merasa nyaman dan senang tentang dirinya sendiri. Menurut Santrock (dalam Desmita, 2005) pengaruh teman sebaya positif dalam kehidupan masa remaja, pengaruh negatif teman sebaya juga berperan dalam kehidupan masa remaja. Bagi sebagian remaja, ditolak
17
atau diabaikan oleh teman sebaya, menyebabkan munculnya perasaan kesepian atau permusuhan. Di samping itu, penolakan teman sebaya dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem kejahatan. Sejumlah ahli teori juga menjelaskan budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatn yang merusak nilai-nilai dan kontrol orang tua. Lebih dari itu, teman sebaya dapat memperkenalkan remaja pada alkohol, obatobatan (narkoba), kenakalan, dan berbagai bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai maladaptif. Menurut Williams & Berndt (dalam Desmita, 2005) walaupun teman kelompok teman sebaya memeberikan pengaruh yang besar selama masa remaja, namun orang tua tetap memainkan peranan penting dalam kehidupan remaja. Karena antara hubungan dengan orang tua dan hubungan dengan teman sebaya memberikan pemenuhan dan kebutuhankebutuhan yang berbeda dalam perkembangan remaja. Remaja lebih sering bercerita kepada orang tua dalam hal-hal yang berhubungan dengan sekolah dan renacana karir di masa depannya. Bagi remaja, orang tua menjadi sumber penting untuk mengarahkan dan menyetujui dalam pembentukan tata nilai dan tujuan-tujuan masa depan. Sedangkan dengan teman sebaya, remaja belajar tentang hubungan-hubungan sosial di luar keluarga. Mereka lebih banyak membicarakan tentang pengalamanpengalaman dan minat-minat yang bersifat pribadi, seperti masalah percintaan, dan pandangan-pandangan tentang seksualitas. Remaja percaya bahwa teman sebaya akan lebih memahami perasaan-perasaan mereka
18
dengan baik dibandingkan dengan orang-orang dewasa.
2.1.1.3 Hubungan dengan Masyarakat Catherine Cooper dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa atmosfir keluarga yang mendukung individualitas dan keterjalinan merupakan hal yang penting bagi perkembangan identitas remaja. Cooper dan rekan-rekan mendefinisikan istilah-istilah ini sebagai berikut : (a) Individualitas (Individuality) terdiri dari dua dimensi : pernyataan diri, atau kemampuan untuk memiliki dan mengkomunikasikan sudut pandangnya, dan keterpisahaan atau penggunaan pola komunikasi untuk mengekspresikan perbedaan seseorang dari yang lain; (b) Keterjalinan (Connectedness) terdiri dari dua dimensi; mutualitas, yang mencakup sensitivitas dan penghargaan terhadap pandangan orang lain, serta permeabilitas, yang mencakup keterbukaan terhadap pandangan orang lain. Riset Cooper (dalam Santrock, 2007) yang menekankan bahwa pembentukan identitas ditingkatkan melalui relasi keluarga. Relasi keluarga ini harus memungkinkan individuasi, yang mendorong remaja untuk mengembangkan sudut pandangnya sendiri, serta memungkinkan keterjalinan yang memberikan keamanan dasar sehingga remaja dapat mengeksplorasi dan memperluas dunia sosialnya. Di samping itu, kondisi budaya juga bervariasi seiring dengan bagaimana individualitas dan keterjalinan ini diekspresikan.
19
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007) identitas budaya dan etnis merupakan
bagian
yang
juga
sangat
berperan
penting
dalam
perkembangan identitas. Di berbagai penjuru dunia, kelompok etnis minoritas harus berjuang dalam mempertahankan identitas budayanya dan sambil mencoba membaur dengan budaya dominan. Menurut Phinney dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007) bahwa identitas etnis cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan tingkat identitas etnis yang lebih tinggi berkaitan dengan sikapsikap yang lebih positif, tidak hanya terhadap kelompok etnisnya sendiri tetapi juga terhadap anggota-anggota dari kemlompok etnis lainnya. Menurut Larson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2012) tradisi dan perubahan yang terjadi pada remaja di seluruh dunia tergantung budaya di suatu tempat tinggal, remaja dapat terlibat dalam berbagai pengalaman yang berbeda. Keluarga di sejumlah Negara, remaja-remaja tumbuh dalam ikatan keluarga yang sangat erat dengan keluarga besarnya, yang masih mempertahankan gaya hidup tradisional. Sebagai contoh, di negara-negara Arab “remaja diajarkan tata-tertib dan loyalitas yang ketat”, walaupun demikian di negara-negara Barat seperti AS yang diterapkan di masa kini kurang bersifat otoritarian dibandingkan di masa lalu serta semakin banyak remaja yang dibesarkan di dalam keluarga yang bercerai dan keluarga angkat. Dan di banyak negara hampir di seluruh dunia, kecenderungannya sekarang adalah mobilitas keluarga yang lebih tinggi, migrasi ke daerah-daerah urban, anggota keluarga yang bekerja di luar
20
kota atau di negara lain, keluarga yang lebih kecil, keluarga besar yang lebih sedikit jumlahnya, dan meningkatnya jumlah ibu yang bekerja. Sayangnya, perubahan-perubahan ini mengurangi kemampuan keluarga untuk meluangkan waktu bersama remajanya. Sedangkan menurut Haeley dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2012) yang mengatakan bahwka etnisitas dan status sosial ekonomi adalah hal yang saling keterkaitan dalam riset mengenai remaja dari minoritas etnis, karena etnis dan sosial ekonomi dapat saling berinteraksi sedemikian rupa sehingga memperbesar pengaruh etnisitas. Akibatnya, dalam membahas perkembangan remaja, para peneliti sering kali member penjelasan dari sudut etnik untuk aspek-aspek perkembangan remaja yang sebenarnya lebih terkait dengan status sosial ekonomi. Santrock (2012) mengemukakan bahwa budaya masyarakat saat ini tidak hanya melibatkan nilai-nilai budaya, sosial ekonomi, dan etnisitas, tetapi juga pengaruh media, karena media saat ini sudah menjadi bagian dari budaya modern masyarakat saat ini. Pengaruh media juga terlibat dalam perkembangan hubungan remaja dengan budaya msayarakat, di mana penggunaan berbagai media saat ini merupakan bagian dari gaya hidup remaja. Menurut Robert dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2012) bahwa tren utama dalam penggunaan teknologi adalah peningkatkan dramatis pada media multitugas, perkiraan terbaru mengindikasikan bahwa ketika media multitugas diperhitungkan, anak usia 8 hingga 18 tahun
21
menggunakan menggunakan media rata-rata 8 jam perhari. Sebagai contoh, sering terjadi seorang remaja menonton TV sambil mengirimkan SMS kepada temannya. Dalam beberapa kasus multitugas media seperti mengirim SMS, mendengarkan musik melalui IPOD, dan meng-up date situs Youtube dilakukan berbarengan dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Sangat sulit untuk membayangkan bahwa hal tersebut bisa membantu melakukan pekerjaaan rumah secara efisien, meskipun hanya ada sedikit penelitian terhadap media multitugas. Shek dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2012) menjelaskan bahwa kehidupan online remaja di seluruh dunia semakin bergantung pada internet, meskipun terdapat perbedaan substansial dalam penggunaannya di berbagai negara di seluruh dunia dan oleh berbagai kelompok sosial ekonomi.
2.1.2 Teori Perkembangan Status Identitas James E. Marcia Desmita kontemporer
(2005) tentang
menjelaskan perkembangan
bahwa
pandangan-pandagan
pembentukan
identitas
pada
prinsipnya merupakan elaborasi dari teori perkembangan psikososial Erikson. Di antaranya yang paling terkenal adalah pandangan-pandangan oleh psikolog James E. Marcia yang
melakukan riset
tentang
perkembangan identitas pada tahun 1966. Seperti halnya Erikson, Marcia juga percaya bahwa pembentukan identitas merupakan tugas utama yang harus diselesaikan selama masa remaja.
22
Menurut Marcia (dalam Santrock, 2012) bahwa pembentukan identitas memerlukan dua elemen penting, yaitu krisis (crisis) dan komitmen (commitment). Krisis (crisis) adalah sebagai suatu periode perkembangan identitas di mana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang bermakna. Individu mampu untuk mengambil keputusan yang disadari olehnya, yang berkaitan dengan pembentukan identitas. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah dalam menyebutkan krisis (crisis) dalam penjelasan periode perkembangan identitas ini. Komitmen (commitment) sendiri diartikan sebagai investasi pribadi mengenai hal-hal yang hendak individu lakukan secara personal dalam pekerjaan atau sistem keyakinan, agar bisa menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan yang akan dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa krisis (crisis) dan komitmen (commitment) merupakan elemen penting dalam pembentukan identitas dan menentukan tipe status identitas, karena perbedaan keempat kategori tipe status identitas ini terletak pada ada dan tiadanya krisis (crisis) dan komitmen (commitment). Berikut keempat tipe status identitas yang dikemukan oleh Marcia tersebut : (1) Identity diffusion (tidak ada komitmen, tidak ada krisis) adalah istilah yang digunakan Marcia untuk merujuk pada kondisi remaja
yang
belum
pernah
mengalami
krisis
(belum
pernah
mengeksplorasi berbagai alternatif yang bermakna) ataupun membuat komitmen apa pun. Mereka tidak hanya tidak membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung
23
kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu; (2) Identity foreclosure (komitmen tanpa krisis) adalah pada kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis identitas. Status ini sering kali terjadi jika orang tua meneruskan komitmen pada remaja, biasanya secara otoriter. Dengan demikian, remaja dengan status identitas ini belum memiliki kesempatan untuk mengekslorasi berbagai pedekatan, ideologis, dan pekerjaannya sendiri; (3) Identity moratorium (krisis tanpa komitmen) adalah dimana remaja yang berada di pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu; (4) Identity achievement (krisis yang mengarah kepada komitmen) adalah kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas dan membuat komitmen.
2.2
Perkembangan Seksualitas Remaja
Menurut Santrock (dalam Desmita, 2005) salah satu fonemena kehidupan remaja yang sangat menonjol adalah terjadinya peningkatkan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Sehubungan dengan hal ini, Santrock menggambarkan sebagai berikut: “During adolescence, the lives of male and female become wrapped is sexuality. Adolescence is a time of sexual exploration and experimentation, of sexual fantasies and sexual realities, of incorporating sexuality into one’s identity. Adolescents have an almost insatiable curiosity about sexuality’s my steries. They think about whether they are sexuality attractive, whether they will grow more,
24
whether any one will love them, and whether its is normal to have sex. The majority of adolescents manage aventually to develop a mature sexual identity, but for most there are periods of vulnerability and confusion along life’s sexual journey “ (Santrock, 1998). Santrock
(dalam
Desmita,
2005)
menjelaskan
bahwa
terjadinya
peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Terutama kematangan
organ-organ
seksual
dan
perubahan-perubahan
hormonal,
mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan seksual remaja ini sangat tinggi, dan bahkan lebih tinggi dari dorongan seksual ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis. Menurut Santrock (dalam Desmita, 2005) untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual tersebut, remaja mencoba mengekspresikan dorongan seksualnya dalam berbagai bentuk tingkah laku seksual, mulai dari melakukan aktivitas berpacaran (dating), berkencan, bercumbu, sampai dengan melakukan kontak seksual. Dari sekian banyak bentuk tingkah laku seksual yang diekspresikan remaja, salah satunya yang paling umum dilakukan adalah masturbasi. Dalam suatu investigasi yang dilakukan Haas pada tahun 1979 (dalam Desmita, 2005) telah ditemukan bahwa masturbasi sudah merupakan aktivitas seksual yang lumrah di kalangan remaja. Lebih dari satu pertiga remaja laki-laki dan satu setengah remaja perempuan melakukan masturbasi satu kali seminggu atau lebih.
25
Menurut Kinsey & McCary (dalam Desmita, 2005) seperti kebanyakan ahli psikologis di Barat lainnya, mereka memandang masturbasi sebagai suatu bentuk ekspresi seksual remaja yang normal. Sebab tidak ada fakta yang menegaskan bahwa masturbasi merupakan aktivitas yang berbahaya. Kebanyakan dokter jiwa juga memperkirakan bahwa tidak ada bahaya instrinsik dalam masturbasi dan mempercayainya sebagai sesuatu yang normal, cara sehat bagi remaja untuk menyalurkan dorongan seksual mereka. Meskipun demikian, beberapa remaja yang melakukan masturbasi mempunyai perasaan malu, bersalah, dan perasaan takut kalau mereka berkembang menjadi sindrom masturbasi yang berlebihan. Akan tetapi menurut Dacey & Kenny (dalam Desmita, 2005), dalam hal ini, masturbasi tetap dilakukan, sekalipun anak merasa sangat menyesal. Perasaan ini diperkuat oleh rasa kesepian dan fantasi, yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya depresi. Desmita (2005) mengatakan belakangan ini sebagai dampak dari perubahan-perubahan norma-norma budaya, aktivitas seksual remaja terlihat semakin meningkat. Sejumlah data penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai angka terbesar dalam melakukan aktivitas hubungan seksual. Fenomena ini jelas sangat mengkhawatirkan orang tua dan masyarakat. Sebab, meskipun seksualitas merupakan bagian normal dari perkembangan, akan tetapi perilaku seksual tersebut disertai dengan resiko-resiko, yang tidak hanya di tanggung oleh remaja itu sendiri melainkan juga oleh orang tua dan masyarakat.
26
2.2.1 Perilaku Seksualitas Remaja Menurut Singh, dkk (dalam Santrock, 2012) bahwa remaja mengawali tingkah laku seksualnya juga bervariasi diantara negara, gender, maupun karakteristik sosio-ekonomi. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Singh dan kawan-kawan pada tahun 2000, bahwa proporsi remaja perempuan melakukan hubungan seksual pada usia 17 tahun berkisar antara 72% di mall hingga 47% di Amerika Serikat, dan 45% di Tanzania. Menurut Feldman, dkk (dalam Santrock, 2012) bahwa presentase remaja laki-laki yang melakukan hubungan seksual pertama kali di usia 17 tahun, berkisar dari 76% di Jamaika hingga 64% di Amerika Serikat, dan 63% di Brasil. Di Amerika Serikat, remaja pria yang secara seksual paling aktif adalah remaja Afrika - Amerika dan remaja di perkotaan, sedangkan remaja Asia - Amerika cenderung tidak aktif secara seksual. Sryfoos & Barkin (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa banyak faktor-faktor resiko dalam perilaku seksual remaja, karena banyak remaja yang secara emosi tidak siap untuk mengatasi pengalaman seksual, khususnya di masa remaja awal. Aktivitas seksual awal juga berkaitan dengan perilaku beresiko lainnya seperti menggunakan obat terlarang, kenakalan remaja, dan masalah-masalah di sekolah. Menurut Dupere, dkk (dalam Santrock, 2012) selain melakukan hubungan seksual di masa remaja awal, faktor-faktor resiko lainnya untuk masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti
27
faktor status sosio-ekonomi, keluarga atau pola pengasuhan orang tua, teman sebaya, dan prestasi akademik remaja itu sendiri. Menurut Sarwono (dalam Yuanita, 2011) faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual remaja adalah sebagai berikut : (1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu; (2) Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain); (3) Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut; (4) Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa dengan teknologi yang canggih (contohnya: VCD, buku stensilan, foto, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat dan didengar dari media masa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah secara seksual lengkap dari orangtuanya; (5) Orang tua sendiri, baik karena ketidak tahuannya maupun karena sikapnya
28
yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini; (6) Adanya kecenderungan yang makin bebas anatara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
2.2.2 Orientasi Seksual Remaja Menurut Ellis & Ames (dalam Papalia, 2008) orientasi seksual mungkin dipengaruhi oleh proses kompleks prenatal yang melibatkan faktor hormonal maupun neurogikal. Apabila hormon seks dalam janin dari jenis kelamin mana saja pada dulan kedua dan kelima kehamilan berada dalam cakupan wanita, maka orang tersebut akan cenderung lebih tertarik kepada wanita setelah pubertas. Apabila level hormon tersebut ada pada cakupan pria (male range), maka orang tersebut akan tertarik kepada wanita. Menurut Golombok & Tasker (dalam Papalia, 2008) apakah dan bagaimana aktivitas hormonal dapat memengaruhi perkembangan otak, dan apakah serta bagaimana perbedaan pada struktur otak dapat memengaruhi orientasi seksual belum bisa dipastikan. Menurut APA (American Psycological Association) (dalam Yulia 2011) orientasi seksual adalah pola ketertarikan emosional, romantis, dan seksual terhadap laki-laki, perempuan, keduanya, tak saupun, atau jenis kelamin lain. Istilah ini juga merujuk pada perasaan seseorang terhadap
29
identitas pribadi dan sosial berdasarkan ketertarikan itu, perilaku pengungkapannya, dan keanggotaan pada komunitas yang sama. Orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh, faktor biologis (genetik, hormonal, struktur otak) dan faktor lingkungan (pengalaman seksual, urutan dalam keluarga, situasi lingkungan dan pergaulan, situasi profesi). Karena banyaknya faktor yang memperngaruhi orientasi seksual seseorang, APA (American Psychological Association) menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa memilih orientasi seksual mereka (apakah mereka straight alias heteroseksual, homoseksul, atau biseksual).
2.2.3 Identitas Seksual Remaja Menurut Brooks-Gunn dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007) pada masa remaja untuk menguasai perasaan seksual yang timbul dan membentuk penghayatan yang menyangkut identitas seksual merupakan suatu hal yang bersifat multiaspek. Proses yang berlangsung lama ini melibatkan proses belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari keterampilan mengatur perilaku seksual untuk menghindari konsekuesi-konsekuensi yang tidak diinginkan. Mengembangkan identitas seksual juga melibatkan lebih dari sekedar perilaku seksual. Identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor fisik, faktor-faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagaian besar masyarakat cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku
30
seksual remaja. Menurut Michael, dkk & Hyde, dkk (dalam Santrock, 2007) bahwa identitas seksual remaja melibatkan suatu indikasi orientasi seksual (apakah individu tersebut memiliki ketertarikan terhadap sesama atau lawan jenis kelamin), dan hal itu juga melibatkan berbagai aktivitas, minat, dan gaya perilaku. Pada saat remaja mengeksplorasi identitas seksualnya, mereka di tuntun oleh sexual script. Sexual script sendiri adalah pola stereotip mengenai aturan-aturan peran mengenai bagaimana individu seharusnya bertindak secara seksual. Ketika individu mencapai usia remaja, perempuan dan laki-laki mengalami sosialisasi untuk mengikuti sexual script tertentu yang berbeda. Perbedaan dalam sexual script antara perempuan dan laki-laki menimbulkan masalah dan kebingungan pada remaja yang sedang berusaha mengolah identitas seksualnya. Remaja perempuan belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta. Mereka sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa mereka terbawa oleh gairah sesaat. Sejumlah studi menyatakan bahwa dibandingkan dengan remaja laki-laki, terdapat lebih banyak remaja perempuan yang menyatakan bahwa mereka jatuh cinta, dan alasan tersebut adalah penyebab utama mereka aktif secara seksual. Alasan lain yang menyebabkan perempuan aktif secara seksual adalah karena mereka membiarkan ketika di desak oleh laki-laki, merupakan suatu cara agar dapat memperoleh pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian.
31
Menurut Collins, dkk (dalam Santrock, 2012) remaja lebih banyak menghabiskan cukup banyak waktunya untuk berpacaran atau berpikir mengenai pacaran. Pacaran dapat merupakan sebuah bentuk reaksi, sumber status, sebuah setting untuk mempelajari relasi yang akrab, juga suatu cara untuk menemukan pasangan, dan identitas seksual remaja. Menurut Connolly & McIsaac (dalam Santrock, 2012), ada tiga tahapan yang mencirikan perubahan perkembangan dalam pacaran dan relasi romantis, di antaranya adalah : (1) Mulai memasuki afilasi dan atraksi romantic pada usia sekitar 11 hingga 13 tahun. Tahap awal ini mulanya di picu oleh remaja yang mengalami pubertas. Dari usia 11 hingga 13 tahun, remaja menjadi sangat tertarik pada keromantisan dan hal itu mendominasi banyak percakapan dengan kawan sesama gender. Pada usia ini umumnya remaja muda mungkin tidak berinteraksi langsung dengan individu yang disukainya tersebut. Namun ketika kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam setting kelompok dengan teman-teman sebaya; (2) Mengeksplorasi relasi romantik pada usia sekitar 14 hingga 16 tahun. Pada tahap ini, terjadi dua jenis keterlibatan romantik pada remaja : (a) pacaran biasa (casual dating), terjadi di antara individu yang saling tertarik, (b) pacaran secara berkemlompok (dating in groups), biasanya terjadi dan mencerminkan ketertarikan dalam konteks teman sebaya. Sahabat sering kali berperan sebagai fasilitator dari sebuah relasi pacaran dengan
mengkomunikasikan
menginformasikan
bahwa
ketertarikan ketertarikan
32
romantik
rekannya
dan
tersebut
berbalas;
(3)
Mengonsolidasi ketertarikan romantis pada usia sekitar 17 hingga 19 tahun. Pada akhir masa sekolah menengah atas, terbentuk relasi romantis yang semakin serius. Relasi ini dicirikan dengan ikatan emosi yang kuat, seperti pada relasi romantis dewasa. Ikatan emosi ini lebih stabil dan tahan lama dibanding dengan ikatan sebelumnya, dan biasanya bertahan satu tahun atau lebih.
2.3
Pengertian Homoseksualitas Menurut Papalia, dkk (2008) bahwa homoseksualitas pernah dianggap
sebagai penyakit mental, akan tetapi beberapa dekade riset telah menemukan tidak adanya asosiasi antara orientasi seksual dan masalah emosional serta sosial. Temuan ini akhirnya mengarahkan psikiatri untuk berhenti mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai gangguan mental. Menurut APA (American Psychological Association) (dalam Wikepedia 2014) homoseksulitas adalah rasa ketertarikan romantis atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang atau ketertarikan romantis. Homoseksulitas juga merupakan salah satu dari tiga kategori utama dalam orientasi seksual, consensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial dan juga profesi kesehatan dan kesehatan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksulitas adalah aspek normal dalam orientasi seksual manusia. Menurut D’Augelli, dkk (dalam Santrock, 2007) yang merupakan para
33
peneliti ahli biologi mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan adanya pengaruh biologis dari homoseksualitas. Simon LeVay sebagai seorang ahli syaraf (dalam Santrock, 2007) dengan mempertimbangkan struktus anatomi, menemukan bahwa terdapat sebuah area kecil di hipotalamus yang mengatur perilaku seksual. Pada laki-laki heteroseksual, besarnya area ini dua kali lipat dibandingkan besarnya area ini pada laki-laki minoritas seksual. Besar area ini pada laki-laki minoritas seksual sama dengan perempuan heteroseksual. Menurut Diamond & Mustanski, dkk (dalam Santrock, 2007) meskipun penelitian menyatakan kemungkinan adanya kontribusi genetik terhadap daya tarik seksual pada beberapa individu, para ahli belum cukup memahami mekanisme yang terlibat. Banyak ahli berpendapat bahwa daya tarik ke sesama jenis kelamin bukan hanya disebabkan oleh satu faktor dan bobot dari masingmasing faktor dapat bervariasi anatar individu yang satu dengan individu yang lain. Daya tarik seksual inividu paling banyak dipengaruhi oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan. Sarwono (2012) mengatakan bahwa pada umumnya, para homoseksualitas itu sendiri tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian. Jadi keadaan tersebut bukan atas kehendak sendiri. Namun, demikian, memang ada sebagian yang menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual (dinamankan: egosintonik) dan ada sebagian lain yang tidak bisa menerima keadaan dirinya atau merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mereka terus-menerus berada dalam keadaan konflik batin selama hidupnya (egodistonik).
34
Menurut Bales (dalam Sarwono, 2012) konflik batin antara kecenderungan untuk menekan dorongan-dorongan seksual dan keinginan untuk menyalurkannya dengan risiko akan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan menurut Malyon (dalam Sarwono, 2012), bukan disebabkan oleh homosksualitas itu sendiri yang menyebabkan itu terjadi. Sikap negatif masyarakat yang tidak semestinya sehingga sikap masyarakat ini yang harus diubah melalui penerangan-penerangan dan pendidikan. Menurut Diamond, dkk & Garafalo, dkk (dalam Santrock, 2007) sudah banyak diketahui bahwa sebagaian besar penyandangan homoseksualitas, baik gay ataupun
lesbian
diam-diam
menjalani
kehidupan
yang
berat
karena
keterkarikannya pada sesama jenis di masa kanak-kanak, tidak berpacaran dengan jenis kelamin yang berbeda, dan di usia pertengahan dan akhir remaja, mulai mengenali bahwa mereka adalah seorang gay atau lesbian. Banyak anak muda mengikuti jalur perkembangan ini, namun banyak pula yang tidak. Sebagai contoh, banyak anak muda tidak memiliki ingatan mengenai ketertarikan pada sesama jenis kelamin dan secara tiba-tiba mengalami hal ini di masa remaja akhir. Para peneliti juga menemukan bahwa mayoritas remaja yang memiliki ketertarikan dengan sesama jenis kelamin, sampai taraf tertentu juga tertarik pada jenis kelamin yang berbeda. Dan meskipun beberapa remaja yang memiliki ketertarikan pada sesama jenis kelamin akhirnya jatuh cinta dengan individuindividu lain seperti dirinya, beberapa di antaranya menyatakan bahwa ketertarikan pada sesama jenis kelamin itu murni bersifat fisik.
35
2.3.1 Identitas Homoseksual Flower, dkk & Newman, dkk (dalam Santrock, 2007) menetapkan bahwa identitas sebagai seorang homoseksual, baik gay atau lesbian sering kali di sebut sebagai proses membuka diri. Dalam sebuah studi mengenai remaja gay, mayoritas remaja gay menyatakan bahwa ketika masih kecil mereka sudah merasa berbeda dari anak laki-laki lain pada umumnya. Rata-rata usia di mana mereka pertama kali menyukai anak laki-laki lain adalah 12,7 tahun dan rata-rata usia di mana mereka menyadari dirinya adalah gay 12,5 tahun. Sebagian besar anak laki-laki menyatakan bahwa mereka merasa bingung ketika peratama kali menyatakan bahwa awalnya mereka berusaha menyangkal identitasnya sebagai seorang gay. Menurut Williams (dalam Santrock, 2007) berdasarkan penelitian empiris, kesimpulan-kesimpulan berikut ini berlaku untuk para remaja yang mengungkapkan identitas gay atau lesbian mereka : (1) orang tua jarang menjadi orang pertama yang diberitahu oleh remaja mengenai ketertarikan mereka pada sesama jenis kelamin; (2) Ibu biasanya sudah diberitahu sebelum ayah. Hal ini mungkin disebabkan remaja memiliki relasi yang lebih jauh dengan ayah; (3) Ibu cenderung lebih mengetahui ketertarikan anak remajanya (laki-laki maupun perempuan) pada sesama jenis kelamin; (4) sekitar 50 hingga 60 persen remaja lesbian, gay dan biseksual berterus terang setidaknya kepada saudara kandung, manun saudara kandung jarang menjadi orang pertama yang diberitahu; (5) Orang pertama yang biasanya diberitahu mengenai identitas minoritas seksual
36
mereka adalah salah seorang teman sebayanya. Menurut Diamond & Williams (dalam Santrock, 2012) banyak orang berkeyakinan bahwa sebagian besar dari gay dan lesbian secara diam-diam berjuang untuk mengatasi rasa ketertarikannya pada individu yang berjenis kelamin sama ketika kanak-kanak, tidak pacaran dengan lawan jenis, dan secara bertahap mengetahui bahwa mereka adalah gay atau lesbian di pertengahan hingga akhir masa remaja. Banyak remaja yang mengikuti jejak perkembangan ini, namun banyak yang tidak. Sebagai contoh, banyak anak muda yang tidak memiliki ingatan mengenai ketertarikan pada sesama jenis dan tiba-tiba merasa tertarik dengan sesama jenis ketika remaja akhir. Mayoritas remaja yang memiliki ketertarikan dengan sesama jenis, sampai taraf tertentu juga mengalami ketertarikan pada lawan jenis. Meskipun beberapa remaja yang tertarik dengan sesama jenis merasa saling jatuh cinta, remaja lain menyatakan bahwa ketertarikan ini secara murni bersifat fisik. Singkatnya, menurut Diamond & Williams (dalam Santrock, 2012) memiliki pola ketertarikan awal yang bervariasi, ada yang memiliki ketertarikan biseksual, dan ada pula yang tertarik secara fisik atau emosional terhadap sesama jenis tanpa selalu diikuti dengan cinta. Menurut Diamond & Williams (dalam Santrock, 2012) model usulan perkembangan identitas seksual gay dan lesbian yang tersebar luas sebagai berikut: (1) kesadaran akan ketertarikan kepada jenis kelamin yang sama (dimulai pada usia 8 sampai 11 tahun); (2) perilaku seksual satu jenis
37
kelamin (usia 12-15); (3) identifikasi sebagai gay atau lesbian (usia 15 sampai 18 tahun); (4) membuka diri kepada orang lain (usia 17 sampai 19 tahun); dan (5) membangun relasi satu jenis kelamin yang romantis. Akan tetapi, model ini tidak dapat secara akurat merefleksikan pengalaman pria homo yang lebih muda, banyak di anatara mereka yang merasa lebih bebas untuk
membuka
identitasnya
dibandingkan
zaman
dahulu;
juga
pengalaman wanita lesbian dan biseksual, yang perkembangan identitas seksualnya lebih lambat dan lebih fleksibel dibandingkan dengan pria homoseksual; dan dari pengalaman minoritas etnis, di mana komunitas dan kultur tradisional dapat mendukung keyakinan religious yang kuat atau peran gender, yang mengarah le[ada konflik internal dan keluarga.
2.4
Pengertian Lesbian Kartono (dalam Handayani, 2011) menjelaskan bahwa lesbianisme berasal
dari kata Lesbos, Lesbos sendiri adalah pulau di tengah lautan Egeis yang pada zaman kuno di huni oleh para wanita. homoseksualitas dikalangan wanita di sebut cinta lesbis atau lesbianisme. Menurut Supratiknya (dalam Nurkholis, 2013) bahwa lesbi atau lesbian adalah perempuan yang mempunyai orientasi seksual terhadap perempuan. Orientasi seksual di sini artinya bahwa seseorang lesbian itu hanya bisa suka atau mencintai kepada sesama jenisnya (perempuan) dalam hal ini melibatkan perasaan kasih sayang dan cinta, termasuk juga di dalamnya yaitu relasi intimasi atau hubungan seksual di antara mereka. Atau bisa juga, lesbianisme diartikan sebagai
38
perilaku yang ditujukan pada pasangan sejenis dikalangan wanita.
2.4.1 Tipe-tipe Lesbian Menurut Brooks (dalam Handayni, 2011), tipe-tipe lesbian atau biasa juga di sebut istilah-istilah dalam lesbian, di bagi dalam tiga tipe/istilah, dengan ciri khas masing-masing dari setiap tipenya. Berikut penjelasan mengenai tiga tipe lesbian, yaitu : (1) Butch / Butchy merupakan label yang diberikan kepada lesbian yang dari cara berpakaiannya cenderung seperti laki-laki, bahkan mereka sudah merasa seperti laki-laki dalam berpakaian maupun tingkah laku. Butch juga lebih di gambarkan sebagai sosok yang tomboy, agresif, aktif, melindungi pasangannya; (2) Femme adalah sosok yang sangat feminim (kewanitaan), biasanya femme mengenakan pakaian seperti wanita yang sangat kewanitaan dan lembut dalam bertingkah laku. Dan dalam hubungan lesbian femme berperan sebagai wanita yang lembut dan selalu dilindungi oleh pasangan sesama jenisnya; (3) Andro / Androgini (Androgyny) atau biasa disebut no label adalah lesbian yang diberikan label sesuai dengan pasangan lesbiannya, seorang Andro yang bisa berubah di waktu-waktu tertentu bisa berperan sebagai Butch tetapi di lain waktu juga bisa berperan sebagai femme, semua tergantung dengan pasangan sesama jenis yang dipilihnya dan cara berpakainnya juga fleksibel tergantung peran dalam hubungannya dengan sesama jenis. Menurut Sandra Bem atas pengukuran gender yang dilakukannya pada tahun 1997 (Santrock, 2007), bahwa benar
39
andro / androgini adalah tipe individu yang fleksibel dan lebih seha secara mental dibandingkan dengan individu – individu dengan tipe yang lainnya. Menurut Brooks (2009), bahwa lesbian terpolarisasi menjadi kelompok, baik menjadi kelompok feminis saja, kelompok lesbian saja, kelompok perempuan biasa saja, atau bahkan hanya menjadi kelompok lesbian yang mengasingkan diri dari masyarakat dan mempunyai kehidupan yang tertutup (atau yang disebut dengan the lesbian in the closet). Dalam hubungan lesbian yang pernah dilakukan penelitian oleh Untung
Subroto
(dalam
Sarwono,
2012)
bahwa
penelitian
ini
mengungkapkan dalam hubungan lesbian ada yang berperan sebagai pihak yang lebih banyak berperan laki-laki dinamakan “sentul” dan ada yang berperan sebagai perempuan yang dinamakan “kantil”. Tentang siap yang menjadi sentul dan siapa yang menjadi kantil tergantung pada berbagai faktor sosial budaya. Menurut Sepocikopi (2014), bahwa sebenarnya sebutan untuk lesbian masih ada dan cukup diketahui oleh mereka yang berada di dalam komunitas mereka, di mana komunitas lesbian itu sendiri di bentuk untuk mereka yang mengalami hal yang sama. Dan dari penelitian yang lainnya, peneliti mengetahui ada istilah “lines” dan “lesbiola” juga dipakai untuk menyebut para lesbian yang tidak ingin keberadaanya diketahui atau untuk mengelabui orang-orang yang berada di sekitarnya. Istilah-istilah tersebut hingga saat ini belum diketahui dari mana asalnya muncul kata-kata itu
40
atau istilah-istilah itu yang digunakan para lesbian di dalam komunitas mereka.
2.5 Kerangka Berpikir Kerangka Berpikir
Remaja
Psikososial Lesbian Pada Remaja Akhir
Perkembangan Psikososial Remaja
Perkembangan Seksulitas Remaja
Perkembangan Status Identitas
Perkembangan Perilaku Seksulitas Remaja Homoseksulitas
Lesbian
Menurut Sarwono (2012) di Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan. Akan tetapi, sebagai pedomana umum kita dapat menggunakan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia. Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008) tugas utama perkembangan selama masa remaja adalah memecahkan krisis identitas versus
41
kebingungan identitas. Erikson menjelaskan bahwa remaja yang berhasil mencapai suatu identitas yang stabil akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, mampu untuk memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan pada dirinya, memiliki kepercayaan diri, mampu mengendalikan situasi yang dihadapi tantangan masa depan. Perkembangan psikososial pada remaja berhubungan dengan hubungan orang tua, hubungan teman sebaya, dan hubungan dengan budaya masyarakat. Menurut Marcia (dalam Santrock, 2012) tipe status identitas terdiri dari empat, yaitu : (1) Identity diffusion (tidak ada komitmen, tidak ada krisis); (2) Identity foreclosure (komitmen tanpa krisis); (3) Identity moratorium (krisis tanpa komitmen); (4) Identity achievement (krisis yang mengarah kepada komitmen). Menurut Santrock (dalam Desmita, 2005), salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol adalah terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Menurut Singh, dkk (dalam Santrock, 2012) yang menyatakan bahwa remaja mengawali tingkah laku seksualnya juga bervariasi diantara negara, gender, maupun karakteristik sosio-ekonomi. Menurut Ellis & Ames (dalam Papalia, 2008) orientasi seksual mungkin dipengaruhi oleh proses kompleks prenatal yang melibatkan faktor hormonal maupun neurogikal. Menurut BrooksGunn dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007) bahwa pada masa remaja untuk menguasai perasaan seksual yang timbul dan membentuk penghayatan yang menyangkut identitas seksual merupakan suatu hal yang bersifat multiaspek.
42
Menurut Papalia, dkk (2008) bahwa homoseksualitas pernah dianggap sebagai penyakit mental, akan tetapi beberapa dekade riset telah menemukan tidak adanya asosiasi antara orientasi seksual dan masalah emosional serta sosial. Temuan ini akhirnya
mengarahkan
psikiatri
untuk
berhenti
mengklasifikasikan
homoseksualitas sebagai gangguan mental. Menurut Flower, dkk & Newman, dkk (dalam Santrock, 2007) yang menetapkan bahwa identitas sebagai homoseksual, baik gay atau lesbian sering kali disebut sebagai proses membuka diri. Menurut Supratiknya (dalam Nurkholis, 2013) bahwa lesbian adalah perempuan yang mempunyai orientasi seksual terhadap perempuan. Orientasi seksual disini artinya bahwa seseorang lesbian itu hanya bisa suka atau mencintai kepada sesama jenisnya (perempuan) dalam hal ini melibatkan perasaan kasih sayang dan cinta, termasuk juga didalamnya yaitu relasi intimasi atau hubungan seksual diantara mereka. Menurut Brooks (dalam Handayani, 2011) lesbian dibagi dalam tiga tipe, yaitu : (1) Butchy; (2) Femme; (3) Androginy.
43