BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Pengertian Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang berpengaruh terhadap pembuluh darah arteri menuju dan berada di otak, stroke terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi menuju otak pecah atau terblokir oleh bekuan sehingga otak tidak mendapat darah yang dibutuhkannya. Jika kejadian berlangsung lebih dari 10 detik akan menimbulkan kerusakan permanen otak (Feigin, 2005). Stroke merupakan peringkat pertama penyebab utama kematian di dunia (Coleman, 2007). Orang Asia rata-rata memiliki prevalensi stroke lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit jantung koroner. Diantara orang-orang Asia, jumlah yang meninggal karena stroke adalah lebih dari tiga dibandingkan dengan penyakit jantung koroner. Kematian akibat stroke dari jenis kelamin adalah 44 sampai 102.6/100,000 adalah pria Asia. Pada awal tahun 1980 rata-rata prevalensi dari stroke sekitar 500-700 per 100,000 di Negara-negara barat dan 900 per 100,000 di Asia (Banerjee, 2006). Di Indonesia terdapat sekitar 2065 orang yang menderita stroke akut yang diperoleh datanya dari 28 rumah sakit di Indonesia dengan usia terkena di bawah usia 45 tahun sebanyak 12,9%, usia diantara 45-65 tahun sebesar 51,3% dan di atas 65 tahun sebesar 35,8% tahun dan pasien ini didominasi oleh wanita (Misbach dan Ali, 2001). Wanita yang menderita stroke lebih
10
11 banyak daripada pria. Tingkat insidensi pria menderita stroke lebih tinggi daripada wanita pada usia muda bukan pada usia tua (Lloyd-Jones et al., 2009). 2.1.2 Patofisiologi Stroke bisa terjadi ketika suplai aliran darah ke daerah otak terhambat atau apabila suplai darah terganggu akibat pecahnya arteri pada otak. Stroke dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stroke ischemic (non hemoragic) dan stroke hemorhagic. Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah ke otak terhambat oleh thrombus ataupun emboli, akan merusak fungsi tubuh secara langsung dengan merusak area di otak. Kira-kira 80% dari stroke adalah ischemic, dan kira-kira 20% adalah hemoragic. Stroke ischemic dapat diklasifikasikan sebagai akibat dari thrombotic maupun emboli. Terjadinya thrombotic yang pada umumnya akibatnya 75% menjadi stroke ischemic adalah hasil dari proses patofisiologi yang terjadi secara bertahap dengan penyakit arterosklerosis (Hinkle, 2007; Leigh, 2004; Schretzman, 2001). Stroke ischemic ditandai dengan adanya akumulasi aliran menjadi lambat pada arteri cerebral, memfasilitasi untuk membentuk terjadinya thrombi. Thrombi ini sebagai penghubung dengan tanda arterosklerosis, yang dapat menyebabkan penyempitan dan terhambatnya pembuluh darah arteri. Hasil dari kerusakan terhadap aliran darah yang menuju pada tanda dan gejala ischemic, termasuk penurunan neurologik fokal. Tanda dan gejala ini yang
12 memelihara perkembangannya setiap jam setiap harinya, yang biasanya setiap pagi akan mengalami hipotensi (Schretzman, 2001). Stroke hemoragic pada umumnya terjadi pada umur 55 sampai 75 tahun. Stroke hemoragic dibagi menjadi 2 yaitu intracerebral hemorage sebesar 10% dari kasus stroke dan dirirngi dengan gejala sakit kepala dan subarachnoid hemorage sebesar 7% dari kasus stroke, yang juga dapat disebabkan sakit kepala yang berat, serangan, dan kehilangan kesadaran (Schretzman, 2001). 2.1.3 Etiologi Berdasarkan etiologi klasifikasi stroke atau penyakit pembuluh darah otak (cerebrovascular disease/CVD) dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Stroke hemoragic yaitu suatu gangguan fungsi saraf yang disebabkan kerusakan pembuluh darah otak sehingga menyebabkan pendarahan pada area tersebut. 2. Stroke non hemoragic, yaitu gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah otak sehingga distribusi oksigen dan nutrisi ke area yang mendapat suplai terganggu. Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke non hemoragic dibagi menjadi 4, yaitu: a. Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam. b. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) merupakan gejala neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari.
13 c. Progressing stroke atau stroke in evolution merupakan kelainan atau defisit neurologis yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat. d. Complete stroke atau stroke komplit merupakan kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi. 2.1.4 Faktor Risiko Faktor risiko stroke menurut Feigin (2005) dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti penuaan, kecenderungan genetik, dan suku bangsa. Faktor risiko yang terpenting adalah hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, merokok, makanan yang tidak sehat.
2.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Penurunan Walking Velocity pada Pasien Pasca Stroke 2.2.1 Motor Control Central motor system dapat dibagi menjadi tiga tingkatan level tertinggi, yaitu : association areas dari neocortex dan ganglia basal pada forebrain, pada level ini memfokuskan pada motor strategy, tujuan dari gerakan dan strategi gerakan yang terbaik untuk mencapai tujuan. Tingkat menengah, yang diwakili oleh motor cortex dan cerebellum, pada level ini berkaitan dengan taktik, sequence of muscle contraction, mengatur dalam ruang dan waktu (kecepatan), yang diperlukan agar gerakan menjadi smoothly dan akurat untuk mencapai tujuan strategis. Tingkat terendah, diwakili oleh brainstem dan
14 spinal cord, yang berkaitan dengan motor execution, aktivasi motor neuron dan interneuron pools yang menghasilkan gerakan yang diarahkan pada tujuan dan membuat penyesuaian postural adjustment. Fungsi yang benar dari setiap tingkat hirarki motor control sangat bergantung pada informasi sensorik. Pada tingkat tertinggi, informasi sensorik menghasilkan mental image dari tubuh dan hubungannya dengan lingkungan. Pada tingkat menengah, keputusan taktis didasarkan pada memori dari informasi sensorik dari masa lalu. Pada tingkat terendah, feedback sensoris digunakan untuk menjaga posture, muscle length, dan tension sebelum, selama dan setelah gerakan volunter. Pada manusia, 60% dari cortico-spinal axons berasal dari primary motor cortex, dan sisanya dari premotor area, supplementary area, dan lobus parietalis. Cortico-spinal fibers menyatu dalam corona radiate dan turun ke bawah melalui internal capsule, crus cerebri, pons, dan medulla. Di persimpangan medula dan spinal cord, sekitar 75 - 90% dari fibers menyilang ke midline, dan tiga saluran cortico-spinal tracts yang terpisah terbentuk (crossed lateral, ventral dan uncrossed lateral) (Bear et al., 2001). Gangguan central motor system merupakan masalah yang sering terjadi pada stroke infark atau perdarahan yang melibatkan sistem sensorik-motorik. Shepherd menggambarkan gangguan dalam muscle activation dan motor control merupakan salah satu faktor terjadinya kelemahan otot. Hal ini terjadi karena hilangnya aktivasi dari motor unit, perubahan dalam perekrutan muscle fibers dan perubahan firing rates. Kelemahan otot akibat perubahan sifat motor unit dan perubahan morfologi serta mekanik pada otot, yang terjadi
15 adaptif sebagai konsekuensi dari denervasi, tetapi juga dari penurunan aktivitas fisik dan disuse. Kelemahan otot dan disorder motor control merupakan kombinasi yang menyebabkan functional movement disability (Shepherd, 2001).
Gambar 2.1 Central Motor System (Sumber : Shepherd, 2001)
2.2.2 Postural Control Postural control adalah kemampuan mempertahankan, pencapaian atau memperbaiki keadaan keseimbangan dalam mempertahankan keseimbangan dalam berbagai posisi tubuh atau aktivitas (Pollock et al., 2003). Postural control meliputi reaksi bawaan dan yang dibangun dengan belajar. Organisasi sensorik-motorik atau postural orientation mencakup mekanisme saraf untuk mengkontrol secara aktif joint stiffness, trunk dan head alignment (Kandel et al., 2000).
16 Vestibular nuclear complex dalam medulla dan pons merupakan pusat penting bagi integrasi vestibular, somatosensory, dan informasi visual yang memiliki peranan besar dalam mengendalikan postural orientation dan equilibrium. Vestibulospinal pathways dari region ini serta reticulospinal pathways dari reticular formation yang berdekatan, berakhir pada kedua motoneurons dan interneuron yang mempengaruhi neck, axial, dan otot tungkai. Basal ganglia memiliki peran penting dalam postural alignment dan kontrol stabilitas. Cerebellum memainkan beberapa peran yang berbeda dalam pengendalian
posture
yang
melibatkan
integrasi
sensorik-motorik.
Keterlibatan cortical yang paling penting dalam anticipatory postural adjustment yang menyertai gerakan volunter. Biomekanik dari posture menunjukkan bahwa terdapat koordinasi dan pengendalian posture yang muncul dari suatu problem biomekanik yang terdapat dalam sistem muskuloskeletal dan sistem saraf sehingga memberikan andil pada problem tersebut. Kontrol dari dynamic equilibrium merupakan sebuah komponen refleks, namun hal itu merupakan anticipatory postural adjustments yang berperan dalam gerakan volunteer dan focal movement. Peran relatif dari somatosensoris, vestibular, dan visual input untuk postural orientation dan equiblium dapat berubah, tergantung pada tugas dan pada konteks
lingkungan
tertentu.
Somatosensory
afferent
termasuk
mechanoreceptors di kulit, reseptor tekanan di jaringan dalam, muscle spindle, tendon golgi organ dan joint receptors. Reseptor vestibular dalam kanalis semisirkularis dan macula otoliths sangat sensitif terhadap percepatan sudut
17 dan linier kepala. Visi statis mendeteksi fitur spasial stabil dan posisi relatif dalam ruang konfigurasi sedangkan visi dinamis memonitor gerakan kontinyu dari stimulus sebagai penyimpangan gambar pada retina. Akhirnya, postural coordination secara signifikan dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, praktek dan pelatihan (Raine, 2009).
Gambar 2.2 Postural Control (Sumber : Lalonde & Strazielle (2007))
2.3 Normal Human Locomotion Human locomotion adalah suatu hal unik yang menunjukkan spesifik biomekanikal yang membuatnya mekanis, efisien dan memiliki daya tahan (endurance) (Lovejoy, 2004). Mekanisme bipedal stance dan swing memerlukan mekanisme saraf khusus untuk menjaga tubuh dalam upright position (Dietz dan Duysens, 2000). Manusia telah mengembangkan sikap upright stance selama aktivitas berjalan dalam jarak yang sangat panjang. Kemampuan ini, sesuai dengan
18 hukum bentuk dan fungsi dalam neuroplastisitas sesuai dengan motor pattern yang dihasilkan dalam sistem saraf (Grasso et al., 2000). Manusia mampu bergerak atas berbagai kecepatan, dari kecepatan yang lambat sampai dengan kecepatan yang tinggi dalam waktu singkat (Neptune dan Sasaki, 2005). Aspek utama pendukung bipedalisme (Lovejoy, 2004) adalah: a. Human abductor untuk stabilisasi pelvis selama single leg stance b. Peningkatan kurva lordosis dan reposisi dari centre of mass c. Expanded role dari gluteus maximus dalam mengontrol trunk extension pada saat heel strike. Human locomotion memerlukan integrasi subsistem saraf yang terlibat dalam penciptaan postural dan locomotor control (Mori et al., 1998). Trunk merupakan komponen aktif dari postural control sebelum inisiasi berjalan (Perry, 1992). Locomotion membentuk “moving forward” yang kompatibel dengan dynamic equilibrium dan terjadinya adaptasi dengan faktor-faktor yang berpotensi membuat kondisi tidak stabil dalam keadaan seimbang secara sinergi dan terkoordinasi dari upper limbs, trunk dan lower limbs (Grasso et al., 2000). Stabilitas postur dalam aktivitas berjalan dimungkinkan karena fungsi control motoric untuk mengatur stabilitas tubuh dalam mobilitas berjalan (Grasso et al., 2000). Aktivitas berjalan pada pasien pasca stroke melibatkan dua control decending yaitu lateral decending pathways yang mengurusi tentang extremitas dan medial decending pathways yang mengurusi masalah postural.
19 2.3.1 Persyaratan Utama untuk Lokomotor (Bergerak) Berjalan adalah aktivitas motorik yang unik karena memerlukan koordinasi trunk dan otot-otot tungkai yang melintasi banyak sendi (MackayLyons, 2002). Lokomosi merupakan aktivitas dasar dalam kehidupan seharihari yang otomatis dan merupakan hasil interaksi fungsional sistem biomekanik, neurophysiological dan motor control systems. Keinginan untuk mendapatkan kembali kemampuan berjalan pasca stroke merupakan tujuan utama dari rehabilitasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu : 1) Heel strike pada initial contact 2) Loading response pada early stance 3) Heel rise dari flat foot serta pada akhir stance (Kerrigan et al., 2000) 4) Pelvic/trunk rotation 5) Singkronisasi out-of-phase activity dari lower extremity extensor dan flexor muscles (MacKay-Lyons, 2002). 2.3.2 Tripartite Control Sistem tripartite control yang terdiri dari supraspinal input dari kortikal dan subkortikal struktur, spinal central pattern generating (CPG) circuits dan sensory feedback, terutama somatosensory dari reseptor sensoris yang terdapat pada kulit dan otot yang diaktifkan oleh gerakan lengan dan gerakan tungkai yang berirama (Zehr dan Duysens, 2004). Istilah lokomotor CPG mengacu pada jaringan saraf fungsional yang dapat menghasilkan rhythmical repetitive stepping pattern (Grillner, 2002). Dalam konteks ini, lokomotor dipicu oleh perintah descending yang dikirimkan oleh korteks yang mendelegasikan
20 perintah motorik kepada CPGs untuk mengendalikan tungkai atas dan bawah. Aktivitas lokomotor berikut dan feedback perifer menginformasikan sistem saraf kondisi lokal untuk membentuk CPG output. Sistem saraf memanfaatkan efektor sistem untuk menyediakan efisien gerakan dan kontrol motorik. Supraspinal dan pengaruh sensorik yang sangat kuat dan memfasilitasi kemampuan untuk memodifikasi gerakan anggota badan sambil memastikan balance strategy dan postural control (Sorensen et al., 2002). Kontrol kortikal pada aktivitas berjalan merupakan sistem yang kompleks yang melibatkan struktur kortikal dan subkortikal. Kontrol kortikal dimulai pada fase awal aktivitas berjalan pada seseorang, kontrol kortikal pada fase awal bertujuan untuk menentukan arah, screening terhadap lingkungan sekitar, mengubah arah dan untuk beradaptasi dengan hambatan dari lingkungan (Jahn et al., 2004). Keterlibatan kontrol kortikal berkurang ketika terjadinya gerakan rhythmical repetitive stepping pattern yang terjadi secara otomatis. Untuk berjalan untuk benar-benar fungsional, dibutuhkan kecepatan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan atau lingkungan, misalkan untuk memungkinkan
menyeberang
jalan
pada
waktu
tertentu
di
tempat
penyeberangan pejalan kaki, berjalan menuju ke toilet dan lain sebagainya (Bohannon, 2001). 2.3.3 Walking (Gait) Cycle Walking adalah metode lokomosi yang melibatkan penggunaan dua kaki, bergantian, untuk memberikan dukungan dan pendorong, setidaknya satu kaki berada dalam kontak dengan tanah sepanjang waktu (Whittle, 1991).
21 Dalam satu siklus berjalan (gait cycle) terdiri dari 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing Phase), dimana fase stance 60% dan fase swing 40% dimana setiap fase memiliki tahapan masing-masing (Perry, 1992) : 1) Stance Phase a. Initial Contact (interval: 0%) Fase ini merupakan moment ketika tumit menyentuh lantai. Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan pola loading response. Fase ini merupakan moment seluruh centre of gravity berada pada tingkat terendah dan seseorang berada pada tingkat yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance. Menyentuhnya tumit dengan lantai, memberikan bayangan yang mengindikasikan bahwa tungkai akan bergerak, sedang tungkai yang lain berada pada akhir terminal stance. b. Loading Response (interval: 0-10%) Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan dengan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke depan pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan
22 menyentuh lantai sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase preswing. c. Midstance (interval: 10-30%) Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai. Untuk awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing. d. Terminal stance (interval: 30-50%) Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki memijak tanah. Keseluruhan pada fase ini berat badan berpindah ke depan dari forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit fleksi. Dimana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal swing. Pada fase ini centre of gravity berada di depan kaki yang menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle. e. Preswing (interval: 50-60%) Pada akhir fase stance adalah interval gerakan kedua double stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi diikuti
23 fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Disaat yang sama anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response. Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan awal dari terminal double support. 2) Swing Phase a. Initial swing (interval: 60-73%) Pada fase pertama adalah perkiraan satu dari tiga fase mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi fleksi dan ankle pada setengah dorsalfleksi. Pada saat yang sama, sisi kontralateral bersiap pada mid stance. b. Mid swing (interval: 73-87%) Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid-swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan ankle dorsifleksi menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari fase midstance. c. Terminal swing (interval: 87-100%) Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki memijakan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan
24 posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota gerak bawah yang lain berada pasa fase terminal stance.
Gambar 2.3 Gait Cycle (Sumber : Lalonde & Strazielle (2007))
2.4 Penurunan Walking Velocity pada Pasien Pasca Stroke Kemampuan untuk berjalan secara mandiri merupakan prasyarat bagi sebagian besar kegiatan sehari-hari. Kapasitas untuk berjalan dalam lingkungan masyarakat membutuhkan kemampuan untuk berjalan pada kecepatan yang memungkinkan individu untuk menyeberang jalan di waktu yang diberikan oleh lampu pejalan kaki, naik dan turun escalator, berjalan di kerumunan orang atau untuk aktivitas sehari-hari lainnya. Walking velocity adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat berjalan dengan nyaman dan mandiri. Walking velocity pada individu
25 yang sehat adalah 1,3 m/s – 1,4 m/s sedangkan pada insan pasca stroke ratarata 0,2 m/s-0,8 m/s. Walking velocity untuk pasien pasca stroke dibedakan menjadi 3 kategori yaitu : Severe gait impairment dengan walking velocity 0,4 m/s, moderate gait impairment dengan walking velocity 0,4 m/s-0,8 m/s sedangkan mild impairment dengan walking velocity > 0.8 m/s (Jonsdottir et al,. 2009; Jonkers et al., 2009; Kollen et al., 2006; Bohannon, 1997; Turnbull et al., 1995; Perry et al., 1995). Penurunan walking velocity pada pasien pasca stroke terjadi karena kombinasi dari gangguan persepsi, proprioseptif, sensasi, muscle strength, muscle tone, motor control, balance, dan postural control dan abnormal muscle activation pattern yang akhirnya akan membuat inefisiensi gerak fungsional (Jonsdottir et al., 2009; Yavuzeret et al., 2001). Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi penurunan walking velocity adalah learning ability, motivasi, physical endurance levels, ketakutan, dukungan keluarga, serta tipe latihan rehabilitasi (Gordon et al., 2004; Adam et al., 1994). Setelah pemulihan dan rehabilitasi 64% dari individu stroke yang mencapai fungsi berjalan independen sedangkan 14% memerlukan beberapa bentuk bantuan dan 22% tetap tidak dapat berjalan (Jorgensen et al., 1995). Walking velocity sangat berkorelasi dengan tingkat functional walking dan disability pada insan pasca stroke yang akhirnya akan mengakibatkan terjadinya keterbatasan dalam melakukan activities of daily living (ADL). Penurunan walking velocity terjadi salah satunya karena terjadinya karakteristik pola jalan pada insan pasca stroke yang mengakibatkan terjadinya banyak
26 kompensasi gerak dan kurang efisiennya energi yang akhirnya menyebabkan insan pasca stroke mudah mengalami kelelahan.
Gambar 2.4 Framework of requirements for movement efficiency (Sumber : Raine et al., 2009)
2.4.1 Karakteristik Pola Jalan pada Pasien Pasca Stroke Pasien pasca stroke akan mengalami berbagai defisit dalam persepsi, muscle strength, motor control, proprioseptif, sensasi, muscle tone, balance, dan postural control akan menyebabkan terjadinya sebuah karakteristik pola jalan yang biasa disebut hemiplegic gait. Hemiplegic gait ditandai dengan langkah lambat dan asymmetric steps dengan kurangnya selective motor control, tertunda dan terganggunya equilibrium reactions dan menurunya weight bearing pada tungkai yang paretic, gangguan koordinasi gerak antara intra-limb dan inter-limb yang digantikan oleh mass limb movement patterns (synergies) pada tungkai yang paretic merupakan kompensasi gerak yang terjadi dari pelvic dan sisi non-
27 paretic. Kompensasi gerak yang terjadi untuk ambulasi menghasilkan abnormal displacement dari center of gravity, sehingga terjadi peningkatan pengeluaran energi (Jonsdottir et al., 2009; Yavuzer et al., 2001). 2.4.2 Tipe Kinematik Deviasi dan Adaptasi 1) Initial stance (heel/foot contact and loading) a. Keterbatasan ankle dorsiflexion – menurunnya aktivasi dari otot tibialis anterior ; kontraktur dan/atau kekakuan dari calf muscles dengan aktivasi prematur. b. Kurangnya knee flexion (knee hyperextension) – kontraktur dari soleus ; keterbatasan kontrol dari quadriceps 0-15° 2) Mid-stance a. Kurangnya gerakan ektensi lutut karena menurunnya aktivasi dari calf muscles untuk melakukan control movement dari ankle dorsiflexion ; keterbatasan synergic activation dari lower limb extensor muscles. b. Kekakuan dari knee (hyperextension). Keikutsertaan dengan persiapan untuk push-off - kotraktur dari soleus ; adaptasi untuk takut mencegah limb collapse akibat weakness dari otot-otot yang mengontrol lutut. c. Keterbatasan hip extension dan ankle dorsiflexion dengan kegagalan untuk memindahkan berat badan ke depan melewati kaki - kontraktur soleus.
28 d. Berlebihannya
gerakan
lateral
pelvic shift - menurunnya
kemampuan untuk mengaktifasi hip abductors pada saat berdiri dan kontrol hip serta knee extensors. 3) Late stance (pre-swing) a. Kurangnya knee flexion dan ankle plantar flexion, untuk terjadinya push-off dan preparasi untuk swing – kelemahan dari calf muscles. b. Early dan mid-swing c. Keterbatasan fleksi lutut dimana lingkup gerak sendi normal 3540° menurun menjadi 60° untuk swing dan toe clearance – meningkatnya kekakuan akibat menurunnya aktivasi dari hamstrings. 4) Late swing (preparation for heel contact and loading) a. Keterbatasan knee extension dan ankle dorsiflexion
untuk
melakukan heel contact dan pendistribusian berat badankekakuan calf muscles ; menurunnya dorsiflexor activity.
2.5 Neuroplastisitas pada Otak Neuroplastisitas merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan untuk melakukan suatu perubahan. Kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang mengalami cedera atau kerusakan disebut neuroplastisitas. Neuroplastisitas merupakan suatu perubahan yang terjadi pada lokasi pengorganisasian sistem
29 saraf terutama perubahan yang terjadi pada lokasi tempat fungsi processing informasi sebagai akibat pembelajaran dan pengalaman (Shumway-Cook et al., 2007). Neuroplastisitas ini sendiri adalah merupakan perubahan dalam prilaku, indera dan pengalaman kognitif. Dalam penelitian neuroscience, terdapat 2 kategori penting dalam pendekatan untuk memperbaiki fungsi otak setelah mengalami cedera, yaitu : 1) Usaha untuk membatasi tingkat keparahan cedera awal untuk meminimalkan hilangnya fungsi. 2) Usaha untuk pengorganisasian kembali otak untuk mengembalikan fungsi yang telah hilang. Pendekatan yang pertama merupakan hal yang sangat penting, karena perawatan pada saat awal cedera akan berpengaruh terhadap tingkat keparahan kecacatan jangka panjang. Ini merupakan suatu hal yang harus dipahami bagaimana struktur otak dan fungsi dapat berubah dari hari-kehari, bulan dan tahun setelah adanya kerusakan otak (Shumway-Cook et al., 2007). Ada tiga fenomena neuroplastisitas yang terjadi dalam sistem saraf setelah lesi yang memfasilitasi reorganisasi struktural dan fungsional, yaitu denervation supersensitivity, collateral sprouting dan unmasking of silent (latent) synapses (Kidd et al., 1992). Denervation supersensitivity terjadi ketika terjadinya kehilangan input dari bagian (lobus) otak yang lain. Peningkatan pelepasan transmitter
30 menyebabkan meningkatnya respon terhadap rangsangan (Schwartzkroin, 2001; Wainberg, 1988). Post-synaptic target neurons menjadi hypersensitive terhadap transmitter, meningkatkan jumlah reseptor. Collateral sprouting muncul dalam sel sekitar area lesi, dimana collateral dari dendrit-dendrit membuat koneksi dengan sinaps-sinaps yang kehilangan fungsinya akibat nekrosis sel (DarianSmith et al., 1994). Unmasking dari silent synapses terjadi ketika neuron-neuron yang tidak berfungsi sebelumnya diakses untuk membentuk suatu koneksi-koneksi baru (Johansson, 2000; Nudo 1998). Telah terjadinya peningkatan kerja menunjukan regenerasi system saraf (Johansson, 2000; Nudo, 1998).
2.6 Pelatihan Metode Bobath pada Stroke 2.6.1 Bobath Approach 1. Sejarah Karel Bobath lahir di Berlin, Jerman pada tahun 1906, Karel Bobath menjadi dokter pada tahun 1936. Berta Ottilie Busse juga dilahirkan di Berlin, pada tahun 1907. Pada awalnya Berta adalah seorang instruktur remedial gymnast, di mana ia mengembangkan pemahamannya mengenai gerakan normal, olahraga dan relaksasi. Mereka berdua melarikan diri dari Berlin pada tahun 1938 sebelum Perang Dunia Kedua. Di London Mrs. Bobath dilatih sebagai seorang fisioterapis di The Chartered Society of Physiotherapy dan lulus pada tahun 1950. Dr. Bobath memulai karirnya dengan bekerja di pediatri
31 dan kemudian lebih spesifik pada anak-anak penderita cerebral palsy (Schleichkorn, 1992). Sebelum tahun 1950, conventional neurological rehabilitation yang lebih menitik beratkan pada ortopedi, dan mempromosikan penggunaan pijat, panas, passive movement dan active movement (Partridge et al,. 1997). 2. Bobath Konsep: Teori dan Praktek Klinis di Rehabilitasi Neurologis Pada tahun 1943 Mrs. Bobath diminta untuk mengobati seorang pelukis potret terkenal, yang telah menderita stroke dan tidak senang dengan pengobatan konvensional (Schleichkorn, 1992). Mrs. Bobath memfokuskan treatmennya pada sisi affected, dengan mendasarkan intervensinya pada pengetahuannya tentang gerakan manusia dan relaksasi. Dia mengamati bahwa dengan specific recovery handling, tonus dapat berubah-ubah dan bahwa terdapat potensi dari gerak dan fungsi dari sisi affected. Mrs. Bobath terus bereksplorasi dan mengembangkan pengamatan awal dan teknik ke dalam prinsip-prinsip treatment. Mrs. Bobath mengembangkan prosedur penilaian yang unik dan sangat signifikan untuk kemajuan profesi fisioterapi. Dengan Bekerjasama dengan Mrs. Bobath, Dr. Bobath mempelajari dan menerapkan neurofisiologi untuk memberikan penjelasan yang rasional untuk keberhasilan klinis. Bersama-sama mereka menciptakan Bobath Concept, pendekatan revolusioner yang terus berkembang dan membantu mengubah arah neurorehabilitation. Mereka menggambarkan konsepnya sebagai hypothetical in nature, berdasarkan kepada clinical observations dan dikonfirmasi serta diperkuat oleh penelitian-penelitian yang ada (Schleichkorn, 1992). Konsep
32 awal Bobath adalah konsep perlakuan yang didasarkan atas inhibisi aktivitas abnormal refleks (inhibition of abnormal reflex activity) dan pembelajaran kembali gerak normal (The learning of normal movement), melalui penanganan manual dan fasilitasi. (IBITA, 2007). 3. Konsep Bobath Terkini Dalam kurun waktu dekade terakhir ini memaparkan para terapis dengan peningkatan evidance di bidang neuroscience, biomekanik dan motor learning (Royal College of Physicians, 2004). Perkembangan ini memperdalam pemahaman tentang human movement dan efek dari patologi, membantu untuk membimbing para terapis dalam melakukan intervensi klinis mereka untuk memaksimalkan fungsional outcome pasien. Terdapat evidance yang kuat efek dari rehabilitasi dalam hal peningkatan kemandirian fungsional dan mengurangi kematian (Royal College of Physicians, 2004). Konsep Bobath terkini adalah suatu problem solving approach untuk melakukan suatu assessment dan treatment kepada individu dengan gangguan fungsi, gerak dan postural control karena adanya suatu lesi pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan dapat diterapkan pada individu-individu dari segala usia dan semua derajat cacat fisik dan fungsional (Raine 2006; IBITA 2007). Shumway-Cook dan Woollacott (2007) memperluas teori Bernstein untuk menggambarkan mengenai systems approach, menegaskan teori seperti Mrs. Bobath, bahwa human motor behaviour didasarkan pada interaksi yang terus menerus antara individu, tugas dan lingkungan. Mereka menggambarkan gerakan sebagai akibat dari interaksi yang dinamis antara sistem persepsi,
33 kognisi dan tindakan, dan menyoroti kemampuan SSP yang untuk menerima, mengintegrasikan dan merespon lingkungan untuk mencapai suatu motor goal.
Gambar 2.5 Motor Control (Sumber : Shumway-Cook & Woollacott (2007)) Keterangan : M : Movement T : Task I : Individual E : Environment
Systems approach teori motor control adalah dasar yang mendasari prinsip-prinsip dari assesment dan treatment
yang terdapat dalam konsep
Bobath terkini (Raine, 2009). Gambar 2.5 menunjukan bahwa gerakan (movement) merupakan hasil dari integrasi dari individual, task dan environment dimana individual meliputi kerja sistem saraf baik secara hierarchical, distribusi paralel, dan multi level processing yang dipengaruhi oleh cognition dan perception yang akhirnya akan terjadi action dari motor
34 control untuk menyelesaikan task yang spesifik baik itu membentuk stability atau mobility serta manipulation untuk beradaptasi dengan kebutuhan di lingkungan
(environment)
baik
pada
regulation
atau
nonregulatory
environment. Proses motor control tersebut akan memberikan feedback dan feed forward sehingga memungkinkan terjadinya potensi plastisitas sebagai dasar pembangunan, belajar dan pemulihan dalam sistem saraf dan sistem otot. Fokus utama dari Bobath approach adalah integrasi dari postural control dan task performance, selective movement untuk menghasilkan motor pattern yang terkoordinasi dan kontribusi dari sensory input ke motor control dan motor learning (Vaughan et al., 2009).
a. Tujuan Pemberian Pelatihan Metode Bobath (1) Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot antigravitasi yang mengalami penurunan tonus (2) Meningkatkan kemampuan input proprioseptif (3) Melakukan identifikasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal” (4) Fasilitasi specific motor activity (5) Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak (6) Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif (Irfan, 2010). b. Indikasi Pelatihan Metode Bobath 1) Adanya cedera atau injury sistem saraf pusat
35 2) Adanya gangguan proprioseptif 3) Adanya masalah motor control 4) Adanya masalah human motor behaviour c. Kontra Indikasi Pelatihan Metode Bobath 1) Treatment dihentikan apabila nadi melebihi HRmax 2) Adanya pucat 3) Adanya sesak nafas 2.6.2 Pelaksanaan Pelatihan Metode Bobath 1) Optimal alignment (Postural set) Pada posisi supine lying pertama kali dilakukan pengaturan kesimetrisan tubuh yaitu kepala, trunk dan tungkai dalam garis lurus, bahu sejajar. Postur yang optimal akan memudahkan aktivasi otot tubuh. Pengaturan dilakukan dengan partisipasi aktif dari pasien baik melalui kontraksi tertentu atau dengan elongasi sehingga di dapatkan posisi optimal. Pengaturan sikap tubuh dilakukan pada setiap posisi, selain lying, pengaturan sikap tubuh juga dilakukan pada posisi sitting dan standing.
Gambar 2.6 Pengaturan aligment
36 2) Postural control Mengaktivasi otot-otot postural pada sisi lower trunk dan upper trunk, aktivasi secara selektif pada otot gluteus maksimus dan gluteus medius, otot abdominal terutama transversus abdominalis, multifidus, latisimus dorsi, scapula depresor dan adductor. Postural control secara aktif dilakukan pada posisi lying dan sitting. Latihan postural control diberikan secara simultan antara latihan postural statik dan dinamis.
Gambar 2.7 Postural control
37 3) Selective movement Selective mevement diberikan setelah didapatkan stabilisasi yang optimal yang dihasilkan dari pengaturan sikap tubuh. Selective movement ini dilakukan untuk dapat mengaktifasi otot secara spesifik dengan meminimalisir kompensasi gerak yang sering muncul pada kondisi pasca stroke. Selective movement dilakukan pada ekstrimitas atas dan pada ekstrimitas bawah.
Gambar 2.8 Selective movement
38 2.6.3 Pelatihan Metode Bobath untuk Meningkatkan Walking Velocity Pelatihan metode Bobath menekankan pada dua aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain yaitu integrasi dari postural control dan task performance serta control of selective movement untuk memproduksi coordinated sequences dari gerakan (Raine, 2009). Faktor-faktor itulah yang mempengaruhi masa pemulihan fungsional pada pasien stroke. Selain itu terdapat kontribusi dari sensory input untuk motor control dan motor learning merupakan fokus dari Bobath Approach (Gjelsvik, 2008). Pelatihan Bobath dapat meningkatkan walking velocity pada pasien stroke adalah dengan latihan postural control dan task performance dimana latihan postural control yang diberikan kapada pasien stroke akan memberikan informasi tentang internal representation of body posture (body geometry, body dynamics, dan orientation of the body dengan posisi tegak), Sedangkan vestibular
dan
visual akan memberikan informasi
tentang “vertical
orientation”. Selain itu, visual juga akan memberikan informasi tentang posisi dan visualisasi lingkungan disekitar. Sedangkan cutaneous, sendi, dan muscle receptors memberikan informasi tentang orientasi tubuh pada posisi tengah (Kavounoudias
et
al.,
2002).
Integrasi
informasi
berupa
internal
representation, informasi “vertical orientation”, posisi, lingkungan, dan orientasi tubuh pada posisi tengah disebut postural body schema. Latihan postural control akan memberikan integrasi antara postur dan gerak dari alignment segmen tubuh sehingga akan terjadi anticipatory dan reactive postural control mechanisms. Latihan postural control dan task performance
39 berprinsipkan stabilisasi dan mobilisasi yang saling mempengaruhi satu sama lain, dimana muscle activation patterns tidak hanya ditentukan oleh postural alignment yang dipengaruhi oleh base of support dan gravity tetapi juga dipengaruhi oleh stabilisasi dan mobilisasi. Kekompleksan dan semakin selektif suatu task-oriented movements akan membentuk rangkaian gerakan (Aruin, 2006 ; Krishnamoorthy, 2005). Latihan selective movement dimana dengan kosep stabilisasi yang baik akan menyebabkan terjadinya mobilisasi yang memiliki coordinated sequences dari gerakan yang baik untuk mencapai tujuan tertentu sehingga mengurangi terjadinya kompensasi gerak yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan kualitas gerak. Meningkatnya postural control dan selective movement pada pasien pasca stroke akan meningkatkan keseimbangan, pola gerakan, koordinasi gerak pada pasien pasca stroke, dengan adanya peningkatan kemampuan-kemampuan tersebut maka akan terjadinya keefisiensian gerak sehingga menyebabkan energy cost menjadi efisien yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan walking velocity pada pasien pasca stroke (Aruin, 2006; Krishnamoorthy, 2005).
2.7 Pelatihan Metode Feldenkrais Pelatihan metode Feldenkrais merupakan sebuah integrative approach untuk memberikan pembelajaran dan meningkatkan fungsi pada individu dari berbagai kemampuan mereka selama rentang kehidupan. Dengan menekankan
40 pada self-awarness melalui suatu proses pembelajaran (learning) dengan memberiakan stimulasi pada penginderaan (sensing), gerakan (moving), perasaan (feeling), dan pikiran (thinking). Metode Feldenkrais terdiri dari dua bagian yaitu awareness through movement (ATM) dan functional integration (FI) (Feldenkrais, 2005). Metode Feldenkrais ditemukan oleh Moshe Feldenkrais (1904-1984) yang merupakan seorang ilmuwan, seorang insinyur, dan fisikawan. Feldenkrais telah mengembangkan metode untuk rehabilitasi setelah menderita serangkaian cedera lutut yang berhubungan dengan olahraga selama bertahuntahun. Dengan prospek menghabiskan sisa hidupnya dengan menggunakan kruk atau kursi roda, beliau memutuskan untuk mencari cara untuk mengembalikan fungsi di lututnya. Hal ini menyebabkan dia untuk belajar neurologi, anatomi, biomekanik dan perkembangan anak. Setelah beberapa tahun penelitian dan eksperimen, Moshe telah berhasil sepenuhnya memulihkan kemampuannya untuk berjalan. Melalui proses ini bahwa ia belajar
bahwa
ia
bisa
meningkatkan
kemampuan
tubuhnya
dengan
mengaktifkan kekuatan alami otak dan sistem saraf. Metode Feldenkrais ini didasarkan pada prinsip-prinsip fisika, biomekanik dan pemahaman empiris pembelajaran dan perkembangan manusia. Dengan memperluas citra diri melalui urutan gerakan yang halus dan lembut membawa perhatian ke bagian diri yang di luar kesadaran. Dengan metode ini kita menjadi lebih sadar pola kebiasaan dalam bergerak, kekakuan
41 yang tanpa kita sadari muncul dalam bergerak serta memperluas pilihan caracara baru dalam bergerak. Metode Feldenkrais terdiri dari dua komponen yaitu Awarness Through Movement (ATM) dan Functional Integration (FI). ATM merupakan pelatihan gerak berdasarkan pola tumbuh kembang yang dimulai dari posisi lying, gerakkan dilakukan dengan perlahan, lembut, dan pada keseluruhan anggota gerak. Functional Integration bertujuan untuk meningkatkan body awareness dan pemahaman bagaimana bergerak dengan efisien. (Feldenkrais, 2005). Pelatihan metode Feldenkrais dapat meningkatkan kemampuan walking sebesar 56,4% pada pasien pasca stroke (Batson dan Deutsch, 2005). 2.7.1 Pelaksanaan Pelatihan Metode Feldenkrais Dalam pelatihan metode Feldenkrais ini dimana dituntut untuk lebih dapat meningkatkan body awareness, movement organization, koordinasi, dan kinesthetic awareness dari setiap segmen tubuh. 1) Persiapan pelatihan (Body scanning) a. Pasien diminta untuk terlentang dengan rileks dan mengatur ritme napas dengan teratur. Pasien diminta untuk bergerak dengan tempo yang lambat untuk dapat merasakan gerakan dari tiap sendi, otot, dan tulang bagian perbagian. Pasien diminta untuk bernafas dengan normal selama proses pelatihan berlangsung. Pasien diminta merasakan dan mengingat bagian bagian tubuhnya yang menyentuh matras.
42
Gambar 2.9 Persiapan Pelatihan Metode Feldenkrais
b. Bergerak internal rotation dan external rotation dengan memberikan instruksi kepada pasien untuk memutar kakinya kedalam dan keluar
Gambar 2.10 Internal rotation lower extremities
c. Bergerak internal rotation dan external rotation dengan kombinasi fleksi dan abduksi hip. Terapis memberikan instruksi tekuk lutut dan putar keluar
Gambar 2.11 Internal rotation lower extremities
43 d. Posisi hook craine dengan gerakkan anterior dan posterior pelvic tilting.
Gambar 2.12 Anterior – posterior pelvic tilting
e. Bergerak dinamis pelvic tilting yang dilakukan oleh pasien dengan arah gerakkan memutar searah jarum jam.
Gambar 2.13 Anterior-posterior pelvic tilting
f. Pasien diminta bergerak rotasi dengan salah satu kaki menumpu pada kaki yang lain
Gambar 2.14 Rotasi pelvic
44 g. Pasien miring ke salah satu sisi, tangan menumpu seperti pada gambar kemudian bergerak protraksi dan retraksi maksimal dari scapulae.
Gambar 2.15 Protraksi dan retraksi scapulae
h. Pasien miring ke salah satu sisi, tangan menumpu seperti pada gambar kemudian bergerak menelusuri tangan yang dibawah kedepan lalu ke belakang
Gambar 2.16 Rotasi upper trunk
45 2) Posisi Duduk a. Pasien posisi duduk dengan kedua tangan ke belakang dan kedua lutut ditekuk (hook craine position)
Gambar 2.17 Rotasi pelvic dan lower trunk
b. Pasien posisi duduk dengan kedua tangan ke belakang dan kedua lutut ditekuk (hook craine position)
Gambar 2.18 Rotasi dan elongasi trunk
46 2.7.2 Pelatihan Metode Feldenkrais untuk Meningkatkan Walking Velocity Pelatihan metode Feldenkrais yang terdiri dari dua komponen yaitu Awarness Through Movement (ATM) dan Functional Integration (FI). Kedua pendekatan ini ATM dan FI sangan berfokus pada mind-body relationships yang akan memberikan pembelajaran mengenai berbagai rangkaian gerakan (sequences of movements) (Ullman et al., 2010). Pelatihan yang dilakukan akan memberikan feedback berupa peningkatan body half integration, simetris dan kemudahan dalam bergerak, meningkatkan koordinasi, body awareness, flexibility dan balance yang akan meningkatkan kemampuan walking velocity (Batson et al., 2005; Stephens et al., 2001).
2.8 10 Meter Walk Test (10 MWT) 10 meter walk test (10MWT) digunakan untuk menguji self-selected comfortable walking speed (SCWS). 10MWT memerlukan waktu yang singkat dan usaha maksimal oleh karena itu, 10MWT ini berhubungan dengan kekuatan otot (muscle strength) (Graham et al., 2008). Untuk melakukan pengukuran dengan 10MWT dilakukan sesuai kenyamanan kecepatan berjalan oleh pasien yang mampu berjalan mandiri dengan atau tanpa bantuan mobilitas dan / atau orthesis. Waktu berjalan 10 meter diukur dan rata-rata lebih dari tiga percobaan. Kemudian, kecepatan dihitung (jarak tempuh 10 meter dibagi dengan rata-rata waktu untuk berjalan sejauh 10 meter). Untuk melakukan 10MWT dalam penelitian ini adalah subjek diminta untuk berjalan secepat
47 mungkin, tapi aman, sepanjang 14 meter track. Pada 2 meter perhitungan waktu dimulai dan perhitungan waktu diakhiri pada jarak 12 meter. Jika subjek adalah tidak bisa berjalan 10 m kecepatan untuk jarak maksimal tercatat. Jika subjek tidak bisa berjalan sama sekali, terjatuh saat proses pengukuran atau berhenti karena kelelahan maka kecepatan dicatat sebagai 0 m/s. Perhitungan walking velocity dilakukan dengan tiga kali percobaan, kemudian diambil rerata waktu tempuh. Hasil rerata waktu tempuh tersebut kemudian menjadi pembagi dari jarak tempuh (10 meter). Terdapat dua instruksi ketika melakukan 10MWT ini, yaitu : 1. Normal comfortable speed : “Ketika saya mengatakan ready, set, go. Ketika saya mengatakan go, berjalanlah dengan normal dan kecepatan yang nyaman sampai saya katakana stop” 2. Maximum speed trials : “Ketika saya mengatakan ready, set, go. Ketika saya mengatakan go, berjalanlah secepat yang anda bisa dengan aman sampai saya katakana stop”
0m Start Walk
2m Star Time
12 m 14 m End Time EndWalk Gambar 2.19 Track 10MWT (Sumber : Bohannon, 1997)