BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kondisi Wilayah Penelitian Kabupaten Subang Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke
arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, wilayah pesisir dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Pesisir merupakan kawasan yang mudah mengalami perubahan. Perubahan ini disebabkan tempat bertemunya daratan dan lautan. Wilayah pesisir ke arah laut melingkupi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran (Dahuri 1996). Kabupaten Subang terletak antara 107.52’ – 107.9’ BT dan 6.2’ – 6.5’ LS. Secara administratif wilayah Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa dengan batas wilayah sebagai berikut : Utara
: Laut Jawa
Timur
: Kabupaten Indramayu dan Sumedang
Selatan
: Kabupaten Bandung
Barat
: Kabupaten Purwakarta dan Karawang
(Badan Perencanaan Daerah, Provinsi Jabar 2007). Dilihat dari topografinya, dengan range ketinggian tempat antara 0 – 1500m
dpl di
atas permukaan
laut, Kabupaten
Subang terbagi
dalam 3
zona/klasifikasi daerah, yaitu: a. Daerah pegunungan dengan ketinggian antara 500 – 1500 m dpldengan luas +41.035,09 Ha atau 20% yang meliputi wilayahKecamatan: Serangpanjang, Sagalaherang, Ciater, Cisalak, Tanjungsiang, sebagian Kasomalang dan Jalancagak.
6
7
b. Daerah bergelombang/berbukit dengan ketinggian antara 50-500 mdpl dengan luas +71.502,16 Ha atau 34,85% yang meliputi wilayah Kecamatan: Cijambe, Cibogo, Subang, Dawuan, Kalijati, Cipeundeuy, sebagian Kecamatan Cikaum dan Purwadadi. c. Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 mdpl dengan luas +92.639,7 Ha atau 45,15% yang meliputi wilayah Kecamatan: Blanakan, Legonkulon, Pusakanagara, Pusakajaya, Pamanukan, Sukasari, Ciasem, Patokbeusi, Pabuaran, Tambakdahan, Binong, Pagaden, Pagaden Barat, Cipunagara,
Compreng,
serta
sebagiandari
Kecamatan
Cikaum
dan
Purwadadi. Suhu perairan Kabupaten Subang berkisar antara 27,50C- 28,70C, suhu tertinggi terjadi pada musim peralihan bulan Mei dan November, adapun suhu terendah terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak Musim Timur dan Barat). Rata-rata salinitas perairan berkisar antara 31,5 ppt – 33,7 ppt. Perairan Pantai Kabupaten Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal, yakni rata-rata kurang dari 20m. Morfologi daratan pantainya terdiri dari pantai bercampur lumpur dan bahan organik, dengan jenis tanah gleisol hidrik. Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai, dimana untuk kedalaman kurang dari 5 m di sekitar Blanakan gradiennya sekitar 0.0027 dan 0.0054 di sekitar Pusakanagara; di perairan antara 5 m – 10 m gradien kedalaman berkisar antara 0.0006 (di sekitar Blanakan) sampai 0.0027 (di sekitar Pusakanagara), hal ini berarti bahwa di bagian barat pantai Subang (seperti Kecamatan Blanakan) lebih landai dibandingkan dengan di bagian timur pantai Subang (seperti Kecamatan Pusakanagara) (BPLHD Prov. Jawa Barat 2007). Wilayah pantai Blanakan Subang yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dan dari angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar, sehingga di wilayah ini laju pendangkalan perairan sangat besar (BLH Kabupaten Subang 2010). Jenis penggunaan lahan di wilayah pesisir Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang didominansi oleh penggunaan untuk pemukiman, lahan kebun,
8
dan hutan. Disamping itu ada juga jenis penggunaan untuk lahan pertanian basah yang di dominansi oleh lahan irigasi. 2.1.1 Kecamatan Blanakan Kecamatan Blanakan terletak berbatasan dengan Laut Jawa yang terdiri dari 9 desa, terdiri dari Desa Blanakan, Desa Lengansari, Desa Muara, Desa Tanjung Tiga, Desa Jaya Mukti, Desa Rawa Mekar, Desa Rawa Meneng, Desa Cilamaya Girang dan Desa Cilamaya Hilir. Dari 9 desa yang ada di wilayah Kecamatan Blanakan ada 5 desa yang mempunyai kawasan hutan mangrove yaitu Desa Muara, Desa Blanakan, Desa Tanjung Tiga, Desa Rawa Meneng dan Desa Cilamaya Girang. Dan luas daerah Kecamatan Blanakan sebesar 11092,52 Ha. 2.1.2 Kecamatan Legonkulon Kecamatan Legonkulon terletak berbatasan dengan Laut Jawa yang terdiri dari 7 desa, yaitu Desa Tegalurung, Desa Mayangan, Desa Legonwetan, Desa Legonkulon, Desa Pangarengan, Desa Bobos, dan Desa Karangmulya. Dari 7 desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Legonkulon, hanya 4 desa yang mempunyai kawasan mangrove, yaitu Desa Tegalurung, Desa Mayangan, Desa Legon Wetan dan Desa Pangarengan. Dan luas daerah Kecamatan Legonkulon sebesar 11445,89 Ha. 2.2
Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
benda-benda langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut yang ada di bumi. Elevasi muka air tertinggi (pasang) sangat penting untuk menentukan elevasi puncak bangunan dan fasilitasnya (Ongkosono 1998). Tinggi pasang surut air laut adalah amplitude total dari variasi muka air antara air tertinggi (pasang) dan air terendah (surut). Variasi muka air laut menimbulkan arus yang disebut arus pasang surut, yang menyangkut massa air dalam jumlah besar. Arus pasang terjadi pada sore, malam hingga pagi menjelang siang hari waktu periode pasang dan arus surut terjadi pada siang hari hingga sore hari waktu periode surut. Titik balik adalah dimana arus pasang dan arus surut berbalik. Titik balik ini dapat
9
terjadi disaat muka air tertinggi dan muka air terendah. Pada saat tersebut kecepatan arus adalah nol (Ongkosono 1998). Data-data pasang surut dapat menunjukan elevasi muka air dalam menentukan terjadinya banjir rob atau tidak. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan empat tipe, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. 1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) merupakan tipe pasang surut yang dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Tipe pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Malaka sampai laut Andaman. 2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) merupakan tipe pasang surut yang dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat Karimata. 3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevelailing semidiurnal tide) merupakan tipe pasang surut yang dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan Indonesia Timur. 4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevelailing diurnal tide). Pada tipe ini, dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Walaupun secara umum pergerakan pasang dan surut ini dapat dipengaruhi oleh posisi bulan dan matahari, namun karakter perairan pantai seperti wilayah kepulauan dan kedalaman juga memberikan pengaruh terhadap sifat pasut secara lokal. Kompleksitas faktor fisik ini menyebabkan perubahan sifat pasut yang
10
bervariasi dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Paling tidak pengaruh posisi bulan dapat dicirikan dengan adanya pasang purnama dan pasang perbani, sedangkan karakteristik pantai akan mempengaruhi tipe pasut seperti sifat diurnal, semidiurnal, dan campuran (baik yang mengarah ke diurnal atau ke bentuk semidiurnal). Berdasarkan data prakiraan dari dua stasiun (Tanjung Priok dan Cirebon), tipe pasut di wilayah pantai Jawa Barat bagian utara termasuk kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kisaran maksimum tinggi pasang dan surut terbesar adalah 1 meter dan kisaran tinggi pasang dan surut kedua adalah 0,5 - 0,7 meter (Dishidros-Angkatan Laut 2000). 2.3
Kenaikan Muka Air Laut Perubahan iklim mengakibatkan perpecahan siklus hidrologi wilayah yang
berarti, yaitu mengubah evaporasi, transpirasi, run-off air tanah, dan presipitasi. Hal tersebut mengakibatkan intensitas air hujan yang meningkat, yang dalam periode tertentu dapat mengakibatkan musim hujan yang berkepanjangan sehingga bahaya akan banjir juga semakin meningkat. Pemanasan global yang berdampak pada kenaikan suhu dan mengakibatkan pencairan gletser yang dapat mempengaruhi terjadinya kenaikan permukaan air laut. Perubahan elevasi air laut ini tentu saja dapat mengganggu kehidupan karena dapat mengakibatkan genangan di wilayah pesisir dan daratan perkotaan yang lebih rendah, bahkan mampu menenggelamkan pulau-pulau kecil. Permukaan laut dunia telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Pada 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap dan hanya bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun. sejak tahun 1900 permukaan aut naik 1 hingga 3 mm/tahun. Sejak tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon Mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Perubahan ini merupakan pertanda awal dari efek pemanasan global terhadap kenaikan muka air laut di dunia. Pemanasan global diperkirakan memberikan
11
pengaruh yang signifikan pada kenaikan muka air laut pada abad ke-20 ini (http://id.wikipedia.org). Wilayah pesisir dalam perspektif oseanografi merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap tekanan lingkungan, baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu tekanan lingkungan yang mengancam keberlangsungan wilayah pesisir di seluruh dunia adalah perubahan iklim global yang menyebabkan adanya kenaikan muka air laut. Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan global. Naiknya suhu permukaan global menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan selatan bumi, sehingga terjadilah kenaikan muka air laut (Wirasatrya dkk 2006). Kenaikan muka laut atau sea level rise (SLR) merupakan salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis
pantai serta dapat mengganggu aset-aset penduduk,
mengganggu perkembangan ekonomi penduduk bahkan menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk yang mendiami wilayah-wilayah rentan di sepanjang pesisir (Sutrisno dkk 2005). Fenomena naiknya muka laut dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian termal sehingga volume air laut bertambah. Kenaikan muka laut global sendiri disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat peningkatan gas-gas rumah kaca dan bahan perusak ozon sehingga suhu yang semakin panas tersebut mencairkan es di kutub dan menambah volume air laut di seluruh dunia. Salah satu kemungkinan dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut di antaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Dampak lain akibat kenaikan muka laut adalah terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Hal tersebut dikarenakan efek pembendungan
oleh
adanya
kenaikan
muka
laut.
Pembendungan
ini
12
mengakibatkan kecepatan berkurang dan laju sedimentasi di muara akan bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan muara akan menimbulkan juga efek pembendungan yang cukup signifikan yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi banjir karena kapasitas tampung sungai yang terlampaui oleh debit sungai. Dengan adanya kenaikan muka laut akan menyebabkan peningkatan tinggi gelombang. Kenaikan muka laut juga akan meningkatkan frekuensi overtopping bangunan tersebut, sehingga tingkat keamanan bangunan berkurang, selain dampak-dampak tersebut, masih banyak pengaruh kenaikan muka laut yang dapat terjadi antara lain dampak terhadap lingkungan biotik. Dengan adanya kenaikan muka laut, lingkungan biotik akan terpengaruh karena perubahan karakeristik fisik dan kimia akan sangat berdampak pada struktur ekologis lingkungan perairan, terutama di daerah rawa dan perairan payau. 2.4
Banjir Rob Banjir adalah peristiwa tergenangnya daratan yang biasanya kering oleh
karena volume air pada suatu badan air meningkat. Perubahan lahan, pemanasan global serta air pasang yang tinggi mempercepat terjadinya banjir di Indonesia, termasuk subang. Hampir setiap tahun banjir melanda daerah-daerah yang letaknya disepanjang pantai utara pulau jawa. Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saluran tidak mampu menampung air sehingga meluap. banjir juga bisa disebabkan karena pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan, banjir genangang ini biasa disebut banjir rob. Rob adalah kejadian atau fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada waktu permukaan air laut mengalami pasang. Rob dapat muncul karena dinamika alam dan kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut. Sedangkan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia contoh pemompaan air yang berlebihan, penggerukan tanah, pembangunan industri raksasa dipesisir, reklamasi pantai, dan lain-lain. Terjadi nya banjir rob dapat menimbulkan dampak kerugian penurunan fungsi, keindahan pada permukiman serta perkantoran, jalan tergenang
13
dan menjadi cepat rusak, degradasi lingkungan dan kesehatan serta lahan pertanian yang menjadi tidak berfungsi (Wahyudi 2001).
2.5
Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (Geographic Information System) yang
disingkat menjadi SIG adalah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis informasi geografis (Prahasta 2004). Teknologi ini berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informatika atau teknologi komputer. Data masukan SIG dapat diperoleh dari tiga sumber yaitu : 1.
Data lapangan. Data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung.
2.
Data Peta. Informasi yang telah terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan dalam bentuk digital.
3.
Data citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi kedalam bentuk digital. Citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya.
Data keruangan (spasial) dapat disajikan dalam dua model, yaitu model raster (grid atau kisi), dan model vektor. Pada model raster, semua obyek disajikan dalam bentuk sel-sel yang disebut piksel (picture element), sedangkan pada model vektor, obyek disajikan sebagai titik atau segmen-segmen garis.Metode analisis yang sering dilakukan pada beberapa macam peta, dikenal sebagai metode tumpang tindih (overlay method). Dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukan oleh SIG ini, pengguna dapat memperoleh informasi yang diinginkan.