BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian yang Relevan Sesuai dengan tinjauan terhadap penelitian sebelumnya bahwa penelitian tentang nilai religius dalam novel Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto belum pernah dikaji oleh peneliti sebelumnya, khususnya di Universitas Negeri Gorontalo. Demi meyakinkan penelitian terhadap nilai religius maka penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lain yang dianggap relevan. Salah satu penelitian nilai religus dapat dilihat
pada
Skripsi Muslimin (2001) dengan judul “Analisis Nilai Religius pada Novel Atheis”, dan skripsi Ponijem (2003) dengan judul “ Nilai Religius pada cerpen Robohnya Surau Kami Penelitian nilai religius pada novel “Atheis” dititikberatkan pada perwatakan tokoh. Nilai religius yang dikaji menyangkut suatu sikap yang baik antara lain cerdas emosional dan pikiran serta bersikap positif terhadap ciptaan Tuhan. Dalam penelitian nilai religius mengarah pada kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi yang dimaksudkan dalam penelitiannya meliputi sikap yang baik, cerdas emosional, dan berpikiran positif terhadap ciptaan Tuhan. Penelitian tentang nilai religius pada cerpen “Robohnya Surau Kami” dititikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam. Penelitian ini dapat terlihat perbedaannya yaitu pada objek yang dikaji yakni pada cerpen.
8
Sedangkan penelitian nilai religius dalam novel Suluk Abdul Jalil perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto mengkaji nilai religius yang hakiki terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Nilai religius yang hakiki seperti, zikrullah, shalawat, tafakur dan iktikaf. Perbedaan dalam penelitian ini pada novel Atheis dan nilai religius yang mengarah pada kehidupan duniawi. Sedangkan penelitian nilai religius dalam novel suluk Abdul Jalil perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar mengarah pada pencapaian nilai religius yang hakiki terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan struktur fungsional A.J Greimas.
2.2 Pengertian Novel Novel adalah cerita fiksi, tetapi bahannya bisa berasal dari kenyataan kehidupan yang sebenarnya (Sumardjo, 1991: 55). Novel merupakan suatu karya sastra yang menceritakan gambaran kehidupan yang dilalui seseorang. Gambaran perilaku masyarakat yang berada dalam novel mengandung nilai yang baik dan bermanfaat untuk dijadikan sebagai pedoman menuju ketenangan. Cerita yang digambarkan melalui novel mengandung banyak hal yang dapat dipetik karena mencermikan kehidupan yang selayaknya kita cermati dalam kehidupan. Goldman (dalam Faruk, 2010: 74) mengatakan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dengan hubungan antara sang hero dengan dunia. Keterpecahan itulah yang menyebabkan dunia dan sang hero menjadi sama-sama dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang otentik dan berupa totalitas di atas. Semua karya sastra dapat memberikan
9
gambaran yang bernilai namun nilai yang dapat dipetik dapat dijadikan sebagai dorongan dalam kehidupan itu yang sangat sulit. Dalam novel suluk Abdul Jalil perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar merupakan novel yang patut diteladani karena mengandung pengetahuan religius yang tinggi. Alur cerita dalam novel tersebut menggambarkan kenyataan kehidupan yang dialami manusia yang menginginkan kehidupan yang abadi. Setiap pengamalan dilakukan dengan baik untuk meraih kesucian batin.
2.3 Hakikat Nilai Religi Nilai yang terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang bersifat duniawi pada dasarnya adalah nilai “fana”. Sedangkan nilai yang lebih tinggi dari semua nilai yang lain yaitu nilai yang abadi. Menurut Scheler (dalam Frondizi, 2007: 132) bahwa apa yang sesuai dengan penampakan inderawi “pada hakikatnya” sebagai nilai yang berubah yang setara dengan nilai kesehatan atau nilai pengetahuan. Dalam hal ini nilai yang sangat diutamakan oleh manusia yang berpikir yaitu nilai yang dapat membawa realitas kehidupan yang lebih baik. Nilai terendah yaitu nilai yang dapat diperoleh melalui dunia saja dan sulit untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Goldman (dalam Faruk, 2010: 84) mengatakan bahwa nilai itu adalah kodrat yang mutlak dan kukuh dari kesadaran dan tuntutan etikanya. Pengertian ini menunjukan adanya perbedaan antara penderitaan yang dialami manusia yang tidak sanggup melampaui batas kemampuannya dengan penderitaan yang sekaligus diinginkan dan diterima oleh manusia kepada Tuhan. Hubungan
10
Manusia-Tuhan
mampu menyelamatkan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan.
Ketinggian yang dicapai oleh nilai bersifat sementara lebih ditemukan oleh manusia yang hanya mengandalkan nilai yang tidak mutlak. Pemikiran inilah yang perlu disingkirkan karena dapat mempengaruhi kehidupan manusia selamanya. Proses kehidupan manusia di muka bumi mengarah pada upaya untuk mendapatkan suatu nilai yang mengarah pada nilai religius yang kekal dan abadi. Langkah ini yang perlu diikuti oleh semua kalangan masyarakat untuk membawa individu manusia berpikir lebih matang dalam proses memahami nilai religius yang pantas untuk dijadikan suatu pegangan dalam kehidupan. Istilah religius pada umumnya mengandung makna kecenderungan batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari nilai dan makna. Menurut Koentjaraningrat (1980: 54) religi merupakan segala sistem tingkah -laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam. Setiap tingkah laku manusia menentukan apa yang akan dicapai dalam kehidupan. Manusia mencapai keinginan maupun kemauan dengan cara yang berbeda-beda atas dasar keyakinan dalam dirinya. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi dasar dalam diri untuk menentukan hidup yang hakiki. Kehidupan manusia yang selalu mensucikan batinnya akan menyebabkan manusia memiliki ketenangan jiwa. Kesucian batin manusia sangat berpengaruh dalam memecahkan setiap persoalan, karena manusia yang hanya mementingkan akal pikirannya tidak akan mendapatkan nilai yang mutlak. Akal pikiran manusia
11
merupakan hal yang baru karena akal tersebut ada batasnya dan dapat sejajarkan dengan pengetahuan yang tidak ada batasnya. Keyakinan yang mengarah kepada religius, mengandung berbagai persoalan terhadap suatu pegangan yang akan dianut. Menurut Lang (dalam Koentjaraningrat, 1980: 59) bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional. Karena gejala-gejala gaib itu bisa bekerja lebih kuat pada orang-orang bersahaja yang kurang aktif hidup dengan pikirannya, dibandingkan dengan orang yang lebih banyak menggantungkan hidupnya kepada aktivitas pikiran rasionalnya. Peryataan ini dapat disimpulkan bahwa ada hal gaib yang mempunyai nilai mutlak dan yang tidak mutlak. Hal yang bersifat gaib dan searah dengan mistisisme sangat sulit untuk dipikirkan melalui akal manusia yang berpikir tentang dunia belaka. Menurut Rosyidi dkk, (2010: 150 ) mistisisme adalah arus besar kerohanian (dimensi esoteris) yang mengalir dari dalam suatu agama. Dalam konsep inilah mistisime Islam (sufi) dipercaya mempunyai makna yang istimewa terkait dengan eksistensi Tuhan. Seorang muslim adalah seorang yang meyaikini bahwa Islam adalah agamanya yang menjadi pedoman dasar bagi setiap perilaku dan tindakan sosialnya. Oleh karena itu, maka setiap pemecahan masalah yang dihadapi umat akan difahami dan diatasi dengan cara-cara yang dapat dirujukan pada ajaran Islam (Mulkhan, 1988: 31).
12
Setiap manusia dalam memahami berbagai tindakan perlu pertimbangan dan saling mengingatkan satu sama lainnya dalam hal batinniah, agar apa yang menjadi sumber keinginan akan dapat dicapai dengan penuh ketenangan. Ahmad (dalam Effendi, 1994: 1) seorang pengajar sastra mistik di Universitas Sains Malaysia, yang pandangan-pandangannya banyak menyangkut metafisika universal dan tilikannya yang berdekatan dengan religio perennis, memaparkan bahwa pesan agama yang paling substansial adalah “mengingatkan”. Agama tak membawa sesuatu yang baru. Setiap agama membawa yang asli, yang telah dilupakan, tapi kini diingatkan kembali. Pernyataan Ahmad ini menimbulkan suatu asumsi bahwa hakikat dari nilai religius ini mengarah pada banyak persoalan yang di dalamnya bersangkutan dengan agama. Tugas utama dari suatu agama yaitu mengingatkan seseorang yang sudah jauh dalam hal kehidupan sehingga mengarah pada sikap yang negatif. Hakikat dari nilai agama ini merupakan suatu kecenderungan perilaku keagamaan yang masih dihantui bayang-bayang akal pikiran manusia yang bersifat sementara. Menurut Durkheim (dalam Faruk, 2010: 30) agama merupakan institusi penting yang menopang intergrasi sosial. Gagasan yang mengenai yang suci dalam agama, sesuatu yang berbeda dari yang keseharian, sesuatu yang melampaui dunia keseharian yang nyata, merupakan simbol dari keberadaan kolektivitas yang transeden, yang mengatasi dunia pengalaman keseharian. Sesungguhnya peran utama dari nilai religi ini mengarah pada bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam.
13
Menurut
Koentjaraningrat, (1980: 81) bahwa religi itu juga berupa
sejumlah atau seperangkat tindak perbuatan seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemedi dan intoksinasi. Setiap perbuatan yang dilakukan manusia mengarah pada nilai positif dan negatif. Kesadaran manusia terhadap perilaku mengarah pada aturan yang ditetapkan oleh agama. Nilai yang baik dapat diambil sebagai panutan bagi setiap umat di muka bumi yang menjalankan proses kehidupan. Menurut Poerbakawatja (dalam Une dkk, 2009: 80) mengatakan bahwa “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuannya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan”.
2.3 Teori Struktural Fungsional A.J Greimas Algirdas Julien Greimas (dalam Susanto, 2012: 124-125) adalah seorang linguis atau ahli bahasa dan seorang ahli semiotika. Model dari Gerimas ini sering disebut dengan model aktan dan fungsional. Seperti yang telah diungkapkan bahwa teori dari Greimas terhadap teks naratif itu terdiri dari teori aktan dan fungsional. Gerimas mengemukakan tentang struktur satu teks naratif, dalam analisisnya menggunakan model aktan dan model fungsional. Hubungan itu diungkapkan dengan cara yakni pasangan aktan, oposisi aktan, dan hubungan yang lain yang terjadi diantara aktan-aktan tersebut. Menurut Greimas (dalam Jabrohim, 1996: 13) aktan ditinjau dari segi tata cerita menunjukan hubungan
14
yang berbeda-beda. Dalam penjelasan Greimas bahwa aktan menekankan pada peran dan posisi tokoh yang menjiwai dan membangun unsur naratif cerita. Aktan sendiri ditentukan oleh hubungan dan fungsi yang diperankan oleh tokoh cerita dalam
membangun
konfigurasi
struktur
naratif
cerita.
Pernyataan
ini
menimbulkan suatu asumsi bahwa untuk mendapatkan keselarasan aktan dan fungsi dari cerita ini maka alur dalam cerita ini sangat berperan penting bersamaan dengan tokoh yang ada dalam cerita. Alur cerita merupakan hal terpenting dalam menggerakkan cerita yang terdiri atas permulaan, komplikasi dan penyelesaian. Masing-masing bagian (unsur) mempunyai fungsi yang khas yang berhubungan dengan keseluruhan strukturnya. Fungsi unsur-unsur itu saling keterkaitan dan tunduk pada proses perubahan. Struktur dalam sastra adalah proses komunikasi, di dalamnya faktor waktu memainkan peran penting (Tuloli, 2004: 43). Greimas membagi enam actans (peran pelaku) yaitu: (1) subject vs objects (Subjek-objek) (2) sender vs receiver (destinateur vs destinataire) (pengirimpenerima) dan (3) helper vs opponent (adjuvant vs opposant) (pembantupenentang). Jika disusun ke dalam sebuah bagan, tiga oposisi yang terdiri atas enam aktan itu tampak pada Gambar 1.
15
Gambar 1. Bagan Aktan Pengirim >
Objek
> Penerima
Penolong >
Subjek
< Penentang
Sender (pengirim) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Dialah yang menimbulkan keinginan bagi subjek atau pahlawan untuk mencapai objek. Object (objek) adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan diburu oleh pahlawan atas ide pengirim. Subject (subjek) atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh pengiriman untuk mendapatkan objek. Helper (penolong) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau mempermudah usaha pahlawan dalam mencapai objek. Opponent (penentang) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha pahlawan dalam mencari objek. Receiver (penerima) adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek hasil buruan subjek, (Ratna, 2011: 137-138). Berdasarkan uraian di atas teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional Greimas.
16
Gambar. Peta Konsep
Suluk Abdul Jalil perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar
Struktur fungsional A.J Greimas
Fungsional
Struktur aktan
Subject > Object
Tahap awal
Helper > Opponent
Transformasi
Sender > Receiver
Tahap Akhir
Nilai Religius
Tuhan
Manusia
Suluk
Alam
Kebatinan
17
khalwat