3
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1
Tumbuhan Pisang Pisang adalah tumbuhan yang berasal dari kawasan Asia Tenggara
(termasuk Indonesia). Tumbuhan pisang kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Iklim tropis dan kondisi tanah yang banyak mengandung humus membuat tumbuhan pisang sangat cocok dan tersebar luas di Indonesia. Saat ini, hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil pisang. Tumbuhan pisang banyak terdapat dan tumbuh didaerah tropis maupun subtropis, (Nuramanah, 2012). 1.1.1 Morfologi Pisang Morfologi pisang mencakup bagian-bagian tanaman seperti akar, batang, daun, bunga dan buah. Pertumbuhan bagian tanaman tersebut saling berkesinambungan satu dengan lainnya. Kendati tanaman pisang tidak terlalu membutuhkan tempat tumbuh yang spesifik, tetap harus diperhatikan persyaratan tumbuh yang dikehendaki agar hasil yang diperoleh bisa lebih optimal, ( Suyanti dan Supriyadi, 2008). 1.
Akar Pohon pisang berakar ramping dan tidak mempunyai akar tunggang yang
berpangkal pada umbi batang. Akar terbanyak berada di bagian bawah tanah. Akar ini tumbuh menuju bawah sampai kedalaman 75 – 150 cm. Sedangkan akar yang berada dibagian samping umbi batang tumbuh ke samping atau mendatar. Dalam perkembangannya, akar samping bisa mencapai ukuran 4 – 5 m, ( Suyanti dan Supriyadi, 2008).
4
2.
Batang Batang pisang sebenarnya terletak di dalam tanah, yakni berupa umbi
batang. Di bagian atas umbi batang terdapat titik tumbuh yang menghasilkan daun dan pada suatu saat tumbuh bunga pisang (jantung). Sedangkan yang berdiri tegak di atas tanah dan sering dianggap sebagai batang merupakan batang semu. Batang semu ini terbentuk dari pelepah daun panjang yang saling menutupi dengan kuat dan kompak sehingga bisa berdiri tegak layaknya batang tanaman. Oleh karena itu, batang semu kerap dianggap batang tanaman pisang yang sesungguhnya. Tinggi batang semu ini berkisar 3,5 – 7,5 m tergantung dari jenisnya, ( Suyanti dan Supriyadi, 2008). 3.
Daun Helaian daun pisang berbentuk lanset memanjang yang letaknya tersebar
dengan bagian bawah daun tampak berlilin. Daun ini diperkuat oleh tangkai daun yang panjangnya antara 30 – 40 cm. Oleh karena tidak memiliki tulang-tulang pada bagian tepinya, daun pisang mudah sekali terkoyak oleh hembusan angin yang kencang, ( Suyanti dan Supriyadi, 2008). 4.
Bunga Bunga pisang disebut juga jantung pisang karena bentuknya menyerupai
jantung. Batang pisang tergolong berkelamin satu, yakni berumah satu dalam satu tandan. Daun penumpu bunga biasanya berjejal rapat dan tersusus secara spiral. Daun pelindung yang berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok berukuran panjang 10 – 25 cm. Bunga tersebut tersusun dalam dua baris melintang, yakni bunga betina berada di bawah bunga jantan (jika ada). Lima daun tenda bunga melekat sampai tinggi dengan panjang 6 – 7 cm. Benang sari yang berjumlah 5
5
buah pada bunga betina terbentuk tidak sempurna. Pada bunga betina terdapat bakal buah yang berbentuk persegi, sedangkan pada bunga jantan tidak terdapat bakal buah, ( Suyanti dan Supriyadi, 2008). 1.1.2 Klasifikasi Pisang Divisio Sub divisio Classis Ordo Famili Genus Spesies
: Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledoneae : Zingiberales : Musaceae : Musa : Musa paradisiaca L.
Sumber : (Steenis, 2003 dalam Martiningsih, 2007 ) 1.1.3 Kandungan Kimia Tabel 1. Komposisi kimia substrat kulit pisang Analisis Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein Kadar Serat Kasar Kadar (Karbohidrat) Kadar Selulosa Kadar Lignin
a.
Kulit pisang raja (%) 11.46 5.74 19.20 7.29 19.49 36.82 ------13,53 32,24 Sumber : (Martiningsih, 2007)
Selulosa Selulosa adalah polimer berantai-panjang, antara 3000-4000 unit glukosa.
(Matsjeh, 1996). Selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan selalu berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulosa. Serat selulosa alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Selulosa murni mengandung 44,4% C; 6,2% H dan 49,3% O. Rumus
6
empiris selulosa adalah (C6H10O5)n. Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β-1.4-glikosidik dan dapat diubah menjadi glukosa dengan cara hidrolisis asam, (Groggins, 1985 dalam Soeprijanto, 2008)
CH2OH O O OH
CH2OH O O OH
CH2OH O OH OH
OH
O OH Gambar 1. Struktur selulosa (Fessenden dan Fessenden, 1982) b.
Lignin Lignin adalah polimer aromatik kompleks yang terbentuk melalui
polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alkohol (turunan fenil propana) dengan bobot molekul mencapai 11.000 (Gambar 2). Dengan kata lain, lignin adalah makromolekul dari polifenil. Polimer lignin dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk dasarnya. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. (Soeprijanto, 2008)
Gambar 2. Struktur lignin (Cole dan Fort, 2007)
7
Lignin merupakan senyawa kompleks yang tersusun dari unit fenilpropana yang terikat di dalam struktur tiga dimensi dan merupakan material yang paling kuat di dalam biomassa. Lignin mengandung karbon yang relatif tinggi sehingga resisten terhadap degradasi. Oleh karena itu, lignin harus dipecah agar hemiselulosa dan selulosa dapat dihidrolisis, (Handoko, 2012). 1.2
Etanol Etanol (etil alkohol, “alkohol,” C2H5OH), tidak berwarna, cairan yang larut
dalam air, kadang-kadang disebut alkohol padi-padian karena dapat diperoleh dengan cara fermentasi dari padi-padian. Sebenarnya, fermentasi dari semua bahan yang mengandung karbohidrat seperti anggur, kentang dan padi menghasilkan etanol. H2SO4
Enzim
Karbohidrat
C6H12O6
2C2H5OH + 2CO2
Dalam buah-buahan, Sayur-sayuran, padi Padian
Glukosa
Etanol
Karbondioksida
Reaksi fermentasi berakhir apabila konsentrasi alkohol mencapai 20%. (Alkohol dalam konsentrasi yang lebih besar menghambat enzim yang menyebabkan fermentasi). Minuman keras dibuat dengan destilasi dari campuran fermentasi. Campuran azeotrop etanol dan air, mengandung 95% etanol, dan 5% air, mendidih pada 78.15 oC, sedikit lebih rendah dari alkohol murni (titik didih 78.5 oC) ataupun air murni (titik didih 100 oC). Oleh karena titik didih ini, etanol murni tidak dapat dibuat dengan cara destilasi dari air (kecuali etanolnya dipakai sebagai pelarut atau bahan bakar biasanya etanol 95%, (Fessenden dan Fessenden, 1982).
8
1.2.1 Sifat Fisik dan Kimia Hasil yang diinginkan dari fermentasi glukosa adalah etanol, etanol mempunyai rumus dasar C2H5OH dan mempunyai sifat fisik sebagai berikut: cairan tidak berwarna, berbau khas menusuk hidung, mudah menguap, titik didih 78 oC, larut dalam air dan ether, flash point adalah sekitar 70 oC, berat molekul adalah 46,07 gr/mol, (Faith, 1957 dalam Sari Ketut, 2009). 1.3
Pembuatan Etanol dari Kulit Pisang Bahan-bahan yang mengandung monosakarida (C6H12O6) sebagai glukosa
langsung dapat difermentasi menjadi etanol. Akan tetapi disakarida, pati ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana, monosakarida. Oleh karena itu, agar tahap proses fermentasi dapat berjalan secara optimal, bahan tersebut harus mengalami perlakuan pendahuluan sebelum masuk ke dalam proses fermentasi, (Sari Ketut, 2009). Polisakarida seperti selulosa harus diubah terlebih dahulu menjadi glukosa. Terbentuknya glukosa berarti proses pendahuluan telah berakhir dan bahan-bahan siap untuk difermentasi. Secara kimiawi proses fermentasi dapat berjalan cukup panjang, karena terjadi suatu deret reaksi yang masing-masing dipengaruhi oleh enzim-enzim khusus, (Sari Ketut, 2009). 1.3.1 Hidrolisis Hidrolisis adalah reaksi kimia antara air dengan suatu zat lain yang menghasilkan satu zat baru atau lebih dan juga dekomposisi suatu larutan dengan menggunakan air. Proses ini melibatkan pengionan molekul air ataupun peruraian senyawa yang lain, (Pudjaatmaka dan Qodratillah, 2002 dalam Retno, 2011).
9
Reaksi antara pati dengan air berlangsung sangat lambat, maka untuk memperbesar
kecepatan
reaksinya
diperlukan
penambahan
katalisator.
Penambahan katalisator ini berfungsi untuk memperbesar keaktifan air, sehingga reaksi hidrolisis tersebut berjalan lebih cepat. Katalisator yang sering digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida. Dalam reaksi ini menggunakan katalis asam sulfat sehingga persamaan reaksi yang terbentuk sebagai berikut: (C6H10O5)n + nH2O Selulosa air
n(C6H12O6) glukosa (Agra dkk, 1973 dalam Retno, 2011)
1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Proses Hidrolisis Selulosa dapat diubah menjadi etanol dengan proses hidrolisis asam dengan kadar tertentu. Proses hidrolisis selulosa dilakukan dengan asam untuk menghasilkan glukosa (Fieser, 1963 dalam Sari Ketut, 2009). Proses hidrolisis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1.
pH (derajat keasaman) pH mempengaruhi proses hidrolisis sehingga dapat dihasilkan hidrolisis
sesuai yang diinginkan, (Soebijanto,1986 dalam Sari Ketut, 2009). 2.
Suhu Suhu mempengaruhi proses kecepatan reaksi hidrolisis, suhu yang baik
untuk hidrolisis selulosa sekitar 100oC, (Soebijanto,1986 dalam Sari Ketut, 2009). 3.
Konsentrasi Konsentrasi mempengaruhi laju reaksi hidrolisis, untuk hidrolisis asam
digunakan konsentrasi HCl pekat atau H2SO4 pekat, (Groggins,1985 dalam Sari Ketut, 2009 ).
10
1.3.3 Fermentasi Proses fermentasi yang dilakukan adalah proses fermentasi yang tidak menggunakan oksigen atau proses anaerob, (Higgins dkk, 1985 dalam Sari ketut, 2009). Mikroba yang digunakan untuk fermentasi dapat berasal dari makanan tersebut dan dibuat pemupukan terhadapnya. Tetapi cara tersebut biasanya berlangsung agak lambat dan banyak menanggung resiko pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki lebih cepat. Maka untuk mempercepat perkembangbiakan biasanya ditambahkan mikroba dari luar dalam bentuk kultur murni ataupun starter (bahan yang telah mengalami fermentasi serupa), (Retno dan Nuri, 2011). Alkohol dapat diproduksi dari beberapa bahan secara fermentasi dengan bantuan mikroorganisme, seperti yeast (ragi), khamir, jamur, dan bakteri. Mikroorganisme tersebut tidak mempunyai klorofil, tidak mampu memproduksi makanannya dengan cara fermentasi, dan menggunakan substrat organik untuk sebagai makanan, (Retno dan Nuri, 2011). Saccharomyces cerevisiae lebih banyak digunakan untuk memproduksi alkohol secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan jamur. Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi pada kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 8-20% pada kondisi optimum. Saccharomyces cerevisiae yang bersifat stabil, tidak berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat dan mudah dalam pemeliharaan. Bakteri tidak banyak digunakan untuk memproduksi alkohol secara komersial, karena kebanyakan bakteri tidak dapat
11
tahan pada kadar alkohol yang tinggi, (Sudarmadji K, 1989 dalam Retno dan Nuri, 2011).
Klasifikasi Saccharomyces cerevisiae sebagai berikut: Dunia Divisio Sub Divisio Classis Ordo Genus Spesies
: Mycetae : Amastigomycota : Ascomycotina : Ascomycetes : Endomycetales : Saccharomyces : Saccharomyces cerevisiae
Sumber : (Alexopouslos dan Mims, 1979 dalam Insani Asuh, 2007) Saccharomyces cerevisiae mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: -
Mempunyai bentuk sel yang bulat, pendek oval, atau oval.
-
Mempunyai ukuran sel (4,2-6,6) x (5-11) mikron dalam waktu tiga hari pada 25 oC dan pada media agar.
-
Mampu mengubah glukosa dengan baik
-
Dapat berkembang dengan baik pada suhu antara 20-30 oC, (Judoamidjojo, 1992 dalam Sari Ketut, 2009).
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Proses Fermentasi 1.
pH pH yang baik untuk pertumbuhan bakteri adalah 4 – 5. Untuk mengatur pH
dapat digunakan NaOH dan HNO3. 2.
Suhu Suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri adalah antara 20-30 oC. Makin
rendah suhu fermentasi, maka akan semakin tinggi etanol yang akan dihasilkan,
12
karena pada suhu rendah fermentasi akan lebih komplit dan kehilangan etanol karena terbawa oleh gas CO2 akan lebih sedikit. 3.
Waktu Waktu fermentasi yang biasa dilakukan 3-14 hari. Jika waktunya terlalu
cepat Saccharomyces cerevisiae masih dalam masa pertumbuhan sehingga alkohol yang dihasilkan dalam jumlah sedikit dan jika terlalu lama Saccharomyces cerevisiae akan mati maka alkohol yang dihasilkan tidak maksimal, (Prescott and Dunn, 1959 dalam Sari ketut, 2009). 4.
Kandungan gula Kandungan gula akan sangat mempengaruhi proses fermentasi, kandungan
gula optimum yang diberikan untuk fermentasi adalah 25%, untuk permulaan, kadar gula yang digunakan adalah 16% (Sardjoko.1991 dalam Sari ketut, 2009). 2.3.5 Fase Pertumbuhan Mikroba Istilah pertumbuhan umum digunakan untuk bakteri dan mikroorganisme lain dan biasanya mengacu pada perubahan didalam hasil panen sel (pertambahan total masa sel) dan bukan perubahan individu organisme, (Dewati, 2008).
Gambar 3. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
13
Laju pertumbuhan mikroba dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu fase pertumbuhan lambat (Lag phase), fase pertumbuhan cepat (exponential phase), fase pertumbuhan statis (stationer phase), dan fase kematian (death phase). Fase lag merupakan fase dimana khamir beradaptasi untuk menyesuaikan dari substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum mengalami pembelahan sel, pada fase ini juga terjadi pertumbuhan yang masih lambat. Fase eksponensial merupakan fase dimana khamir membelah dengan cepat dan konstan. Fase statis merupakan fase dimana khamir populasi selnya tetap karena jumlah sel yang mati sama dengan jumlah sel yang tumbuh. Ukuran sel pada fase ini lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Fase kematian merupakan fase dimana sebagian populasi khamir mulai mengalami kematian yang disebabkan karena nutrisi sudah habis, (Fardiaz, 1992 dalam Devis, 2008). 2.3.6 Metode Standart Plate Count (SPC) Pengujian ini hanya menghitung khamir hidup, dengan metode ini diasumsi bahwa satu koloni berasal dari satu sel mikroba. Menurut (Fardiaz, 1989 dalam suyadi dkk, 2012), perhitungan total khamir dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah khamir antara 30 – 300. 2) Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan, dapat dihitung sebagai satu koloni.
14
3) Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dapat dihitung sebagai satu koloni. Data yang dilaporkan sebagai SPC harus mengikuti peraturan-peraturan sebagai berikut: 1.
Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka yang ketiga sama dengan atau lebih besar dari 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.
2.
Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri (< 30), hanya jumlah koloni pada pengenceran yang terendah yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan tanda kurung.
3.
Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri (>300), hanya jumlah koloni pada pengenceran yang tertinggi yang dihitung, misalnya dengan cara menghitung jumlah pada 1/4 bagian cawan petri, kemudian hasilnya dikalikan 4. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung.
4.
Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30 dan 300, dan perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil atau sama dengan 2, tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan
15
pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah lebih besar dari 2, yang dilaporkan hanya hasil terkecil. 5.
Jika digunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu.
2.3.7 Destilasi Dasar pemisahan pada destilasi adalah perbedaan titik didih cairan pada tekanan tertentu. Pemisahan dengan destilasi melibatkan penguapan diferensial dari suatu campuran cairan diikuti dengan penampungan material yang menguap dengan cara pendinginan dan pengembunan. Beberapa teknik destilasi lebih cocok untuk pekerjaan-pekerjaan preparatif di laboratorium dan industri, (Soebagio dkk, 2003). Prinsip dasar destilasi merupakan teknik pemisahan yang didasari atas perbedaan titik didih atau titik cair dari masing-masing zat penyusun dari campuran homogen. Proses destilasi diawali dengan pemanasan, sehingga zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap. Uap tersebut bergerak menuju kondensor yaitu pendingin, proses pendinginan terjadi karena kita mengalirkan air ke dalam dinding (bagian luar kondensor), sehingga uap yang dihasilkan akan kembali cair. Proses ini berjalan terus menerus dan akhirnya kita dapat memisahkan seluruh senyawa-senyawa yang ada dalam campuran homogen tersebut. Pada skala industri, alkohol dihasilkan melalui proses fermentasi dari sisa nira (tebu) yang tidak dapat diproses menjadi gula pasir. Hasil fermentasi adalah alkohol dan tentunya masih bercampur secara homogen dengan air. Atas dasar
16 perbedaan titik didih air (100 oC) dan titik didih alkohol (70 oC), sehingga yang akan menguap terlebih dahulu adalah alkohol. Dengan menjaga destilasi maka hanya komponen alkohol saja yang akan menguap. Uap tersebut akan melalui pendingin dan akan kembali cair, proses destilasi alkohol merupakan destilasi yang sederhana, (Zulfikar, 2010). 2.3.8 Spektrofotometri Infra Merah Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 – 10 cm-1 dengan menggunakan suatu alat yaitu spektrofotometer Inframerah. Penggunaan spektroskopi inframerah pada bidang kimia organik hampir menggunakan daerah dari 650 - 4000 cm-1 (15,4 - 2,5 µm) daerah dengan frekuensi lebih rendah 650 cm-1 disebut inframerah jauh, dan daerah dengan frekuensi lebih tinggi dari 4000 cm-1 disebut inframerah dekat. Masing-masing daerah tersebut lebih jauh dan lebih dekat dengan spektrum tampak, (Sastrohamidjodjo, 2001). Bagian pokok dari spektrometer inframerah adalah sumber cahaya inframerah, monokromator dan detektor. 1.
Sumber inframerah Sumber yang paling umum digunakan adalah merupakan batang yang
dipanaskan oleh listrik yang berupa: “Nernst glower” (campuran oksida dari Zr, Y, Er, dsb). “Globar” (silicon karbida)
17 Berbagai bahan keramik 2.
Monokromator Kebanyakan prisma yang digunakan adalah NaCl sebab memberikan
resolusi radiasi IR yang terbaik, sedangkan halida logam lainnya harus digunakan pada pekerjaan dengan frekuensi yang rendah (misal CsI, atau campuran ThBr dan ThI). 3.
Detektor Sebagian besar alat modern menggunakan detektor panas. Detektor
fotolistrik tidak dapat digunakan untuk mendeteksi sinar inframerah.