BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pertimbangan dan Pengambilan Keputusan Pertimbangan dan pengambilan keputusan (judgment and decision making) merupakan inti dari akuntansi keperilakuan dan menjadi isu penting bagi praktisi dan peneliti akuntansi (Kahneman, 1991; Bonner, 2008; Suartana, 2010). Setiap orang akan selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan, baik keputusan bersifat krusial atau keputusan ringan, atau jenis keputusan yang bersifat normatif atau deskriptif. Keputusan normatif merupakan keputusan yang diambil berdasarkan norma/aturan yang berlaku, sedangkan keputusan deskriptif diambil berdasarkan fakta-fakta empiris yang ada. Kedua model pengambilan keputusan ini tidak lepas dari pertimbangan yang dipakai, apakah berdasarkan asumsi yang rasional atau menggunakan petunjuk praktis (heuristic). Pertimbangan auditor berkaitan dengan aspek pengetahuan dalam proses pengambilan keputusan. Pertimbangan auditor juga dipengaruhi oleh persepsi terhadap situasi yang ada. Berbagai jenis pertimbangan yang harus diperhatikan terkait dengan masalah memilih mana yang lebih baik, menilai mana yang lebih tepat/sesuai, mengevaluasi biaya dan manfaat/dampak, serta menetapkan dan memutuskan sesuatu hal penting dari setiap situasi. Setiap masalah memiliki sejumlah alternatif dan peluang penyelesaiannya. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan secara rasional harus memperhatikan enam langkah (Bazerman, 1994; Suartana, 2010), yaitu: (1) menentukan dan mendiagnosis permasalahan; (2) mengidentifikasi kriterianya; 7
8
(3) mengukur kinerja; (4) menciptakan alternatif; (5) mengukur nilai alternatif dari setiap kriteria, dan (6) menghitung keputusan yang terbaik atau optimal. Pertimbangan secara praktis dalam pengambilan keputusan kadang kala dilakukan karena keterbatasan informasi yang terkait dengan permasalahan atau kondisi/situasi yang tidak pasti. Strategi praktis menurut Tversky dan Kahneman (1974) dikenal dengan konsep heuristic, yang artinya penilaian sosial yang cepat dengan sedikit usaha. Polanya cendrung menyederhanakan permasalahan tanpa berupaya memperhatikan semua aspek untuk membuat kesimpulan. Pertimbangan auditor juga dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman. Tingkat pendidikan yang tinggi dan pengalaman yang cukup, pertimbangan auditor menjadi lebih baik dalam pengambilan keputusan. Kualitas pertimbangan ditentukan oleh data dan daya/upaya (Kennedy,1993). Data internal mengacu pada pengetahuan auditor dan data eksternal mengacu pada informasi atau sinyal dari lingkungan yang diterima oleh auditor. Peningkatan kualitas data internal dilakukan dengan melatih penyegaran ingatan dan pelatihan teknis, sedangkan kualitas data eksternal dilakukan dengan pencarian, elaborasi, klasifikasi dan mengeleminasi data yang tidak relevan. Daya/upaya menyangkut kapasitas dan motivasi yang memengaruhi kinerja auditor.
Peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan penyediaan alat
bantu keputusan dan/atau penggantian auditor dengan yang lebih kompeten. Peningkatan motivasi internal dan eksternal berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia, diantaranya: pemberian insentif yang layak, menciptakan
9
kenyamanan kerja, kesesuaian kompetensi dengan tugas, dan sebagainya. Secara ringkas disajikan pada Gambar 2.1.
Upaya
Data
Kapasitas
Internal
Motivasi
Eksternal
Menyediakan insentif
Pencarian, elaborasi, klarifikasi, melakukan eliminasi data
Kinerja
Ya
Stop
Terpuaskan? Tidak Ya Cukup upaya?
Kualitas data memadai?
Ya Apakah cukup motivasi? Tidak Menyediakan bantuan, penggantian evaluator
Ya Apakah cukup kapasitas?
Apakah internal memadai?
Tidak
Tidak
Apakah eksternal memadai? Tidak
Melatih, menyegarkan ingatan, alat bantu keputusan
Sumber: Kennedy (1993)
Gambar 2.1 Rerangka Pengurangan Bias untuk Memperbaiki Kualitas Pertimbangan
10
2.2 Counterfactual Reasoning Konsep counterfactual reasoning menekankan pada kecendrungan untuk mengevaluasi suatu kejadian dengan mempertimbangkan alternatif kejadiannya. Penilaian terhadap orang tidak hanya dipengaruhi oleh kejadian yang dialami orang itu, tetapi juga apa yang mungkin dialami orang akibat kejadian itu. Menurut Kray dan Galinsky (2003) dalam Suartana (2010), dijelaskan bahwa counterfactual secara khusus menekankan pada proposisi kondisional yang menghubungkan antara penyebab dan akibat dan selalu dicirikan dengan menggunakan ekspresi “kalau, atau sekiranya”. counterfactual
mampu
merekonstruksi
Bagi evaluator, pemikiran
kejadian-kejadian
lalu,
sehingga
pertimbangan dan pengambilan keputusan bisa bebas dari bias. Segura dan McCloy (2003), menjelaskan bahwa sejumlah informasi menjadi bahan pertimbangan ketika seseorang berpikir tentang situasi sekarang dan sebagai pembatas memori yang bekerja. Faktor norma yang menjadi basis pada lingkungan sosial juga akan menjadi pembatas terhadap pemikiran counterfactual.
Ruiselova
dan
Prokopcakova
(2011)
bahwa
pemikiran
kontrafaktual dipengaruhi oleh harga diri, dimensi refleksi kebijaksanaan dan optimisme (kepribadian). Pemikiran kontrafaktual dikaitkan dengan kepribadian seseorang mendorong untuk memecahkan masalah di masa depan yang lebih baik. Pemikiran kontrafaktual merupakan proses kognitif yang lebih kompleks karena membutuhkan aktivasi yang lebih luas pada otak (Hoeck dkk., 2014). Proses tersebut dapat dilakukan dalam bentuk intervensi, observasi maupun mentrasier fakta/data yang ada, sehingga memerlukan tambahan representasi
11
internal. Upaya intervensi untuk memperoleh informasi secara aktif dan mengolahnya menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Hendrickson, 2008).
Bentuk intervensi salah satunya dapat dilakukan dengan
telaah analitis dari beberapa data/informasi yang diterima atau memberikan feedback, seperti dalam penelitian eksperimen Suartana (2006) dan Nurim (2012). Konsep ini menjelaskan bahwa semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap counterfactual akan meningkatkan kesadarannya dalam mengolah informasi dan memecahkan masalah. Kesadaran mengintervensi, mengobservasi, maupun merekonstruksi data/informasi akan mengikis pembatas memori bekerja (karena norma, harga diri, optimisme dan sebagainya), sehingga ada keyakinan yang kuat dalam membuat pertimbangan yang cermat. Pengurangbiasan dalam pengambilan keputusan dapat diatasi melalui konsep ini.
2.3 Teori Pembelajaran (Learning Theory) Pebelajaran merupakan setiap perubahan perilaku yang relatif permanen terjadi sebagai hasil dari pengalaman (Robbins dan Judge, 2008).
Artinya,
pembelajaran menghendaki adanya perubahan perilaku. Pengertian pembelajaran tersebut mengadung tiga komponen, yaitu: 1) Pembelajaran melibatkan perubahan, baik perubahan bersifat negatif atau positif.
Artinya,
individu
dapat
mempelajari
perilaku
yang
tidak
menguntungkan atau perilaku yang menguntungkan. 2) Perubahan tersebut harus mendarah daging, artinya perubahan yang terjadi harus bersifat permanen.
12
3) Pembelajaran membutuhkan beberapa pengalaman, baik secara langsung atau tidak langsung. Jika pengalaman menghasilkan sebuah perubahan yang relatif tetap dalam perilaku, maka telah terjadi pembelajaran. Terdapat tiga teori pembelajaran yaitu: (1) Pengkondisian klasik (classical conditioning), (2) Pengondisian operant (operant conditioning), dan (3) pembelajaran sosial (social leaning theory). Pengondisian klasik individu bersifat pasif, artinya reaksi terjadi karena adanya aksi terlebih dahulu. Pengondisian operant, dimana perilaku sukarela belajar untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan (seperti penghargaan) atau menghindari/mencegah sebuah hukuman. Pembelajaran sosial berpandangan bahwa orang-orang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Terdapat empat proses dalam pembelajaran sosial yaitu: 1) Proses perhatian, individu belajar dari sebuah model ketika mereka mengenali dan mencurahkan perhatian terhadap fitur-fitur pentingnya, seperti ada kecendrungan kemiripan dengan pendapatnya, atau perkiraan individu. 2) Proses penyimpanan, terkait dengan kemampuan individu untuk mengingat model tindakan setelah model tersebut tidak tersedia. 3) Proses
reproduksi
motor,
individu
mengamati
model
kemudian
pengamatannya harus diubah dengan tindakan. Artinya terjadi aktivitas yang dicontohkan oleh model tersebut. 4) Proses penegasan, individu termotivasi untuk melakukan perilaku yang dicontohkan jika tersedia insentif atau penghargaan yang tegas.
13
2.4 Metode Eksperimen Bidang Pengauditan Penelitian bidang pengauditan kebanyakan dilakukan dengan metode eksperimen. Menurut Trotman (2008) dalam Suartana (2010) terdapat tiga desain eksperimen pada bidang audit, yaitu: (1) post-test only group desain, (2) pre-test post-test control group desain, dan (3) factorial desain.
Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen dengan factorial desain. Desain faktorial merupakan metode uji simultan dari dua atau lebih variabel bebas untuk menentukan pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel terikat beserta interaksinya (Jogiyanto, 2005; Nahartyo, 2013). Desain faktorial yang sederhana adalah 2 X 2, yang berarti dua variabel bebas dimanipulasi, dimana masing-masing terdiri dari dua level dan berarti ada empat sel/kelompok yang tersedia. Subjek dimasukkan ke dalam sel/kelompok secara acak dengan mendapat satu perlakuan disebut between subject, dan kalau mendapat dua perlakuan disebut within subject. Keuntungan dari desain faktorial (Suartana, 2010; Nahartyo, 2013) dalam penelitian audit, sebagai berikut: 1) Mengetahui pengaruh utama (main effect) dan pengaruh interaksi (interaction effect) dari dua atau lebih variabel bebas terhadap satu variabel terikat; 2) Mengendalikan variabel-variabel pengganggu dengan cara mengintegrasikan variabel-variabel tersebut ke dalam desain; 3) Meningkatkan validitas eksternal sebuah penelitian eksperimen audit, misalnya meneliti pengalaman auditor pada berbagai pengalaman;
14
4) Lebih ekonomis, karena kebutuhan akan subjek dalam jumlah yang lebih sedikit pada setiap sel/kelompok, bisa terdiri dari 10 sampai 20 subjek/partisipan.
2.5 Konsep Reviu Laporan Keuangan Pengertian reviu dan audit merupakan dua hal yang sangat berbeda baik dari sisi tujuan, sasaran dan proses kegiatannya.
Reviu adalah prosedur
penelusuran angka-angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan, dan analitis yang harus menjadi dasar memadai bagi APIP untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut sesuai dengan SAP (Perdirjen Perbendaharaan Nomor 44/PB/2006 pasal 1 ayat (1)).
Pengertian ini juga
ditegaskan dalam Permendagri Nomor 4 Tahun 2008, bahwa aktivitas reviu bertujuan agar laporan keuangan yang disajikan berdasarkan SPI yang memadai dan sesuai dengan SAP yang berlaku. Kedua pengertian ini memiliki maksud bahwa dalam rangka pernyataan tanggung jawab pimpinan unit kerja, kegiatan reviu memberikan keyakinan terbatas atas laporan keuangan yang disajikannya. Ruang lingkup reviu berdasarkan pengertian di atas dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) menguji kehandalan SPI, dan (2) menguji kesesuaian laporan keuangan dengan SAP yang berlaku. Pengujian kehandalan SPI hanya berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan dan prosedurnya tidak mendalam seperti prosedur audit.
Laporan keuangan yang direviu meliputi: Neraca, Laporan
Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan
15
Keuangan (CaLK) yang dibuat oleh unit kerja selaku entitas akuntansi maupun selaku entitas pelaporan. Perbedaan mendasar antara reviu dengan audit dapat dilihat dari beberapa konsep dasar reviu, sebagai berikut: 1) Reviu dilaksanakan secara paralel dengan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah. Tujuannya memperoleh informasi tepat waktu dan koreksi sedini mungkin dalam penyajian laporan keuangan pemerintah. 2) Reviu tertuju pada hal-hal penting yang memengaruhi laporan keuangan, namun tidak memberikan keyakinan akan semua hal penting yang akan terungkap melalui suatu audit. 3) Reviu tidak memberikan dasar untuk menyatakan suatu pendapat (opini) seperti dalam audit, tetapi menilai apakah SPI-nya memadai dan penyajian laporan keuangan sesuai dengan SAP. 4) Reviu tidak melakukan pengujian terhadap kebenaran substansi dokumen sumber seperti perjanjian kontrak pengadaan, bukti pembayaran, berita acara fisik atas pengadaan barang/jasa, dan sebagainya. Pemahaman konsep reviu ini memberikan arah yang jelas dalam melakukan reviu sehingga tidak melakukan reviu seperti kegiatan audit. Reviu yang dilaksanakan oleh APIP akan menghasilkan Laporan Hasil Reviu (LHR) yang ditujukan kepada pimpinan pemerintah pusat/daerah untuk segera melakukan perbaikan/koreksi jika memungkinkan sebelum laporan keuangan tersebut diaudit oleh BPK-RI.
16
2.6 Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian terdahulu menjadi bahan refrensi dalam penelitian ini, diantaranya penelitian yang terkait dengan permasalahan audit judgment dan kompetensi auditor (Lampiran 1). Berikut ulasan singkat hasil beberapa penelitian terdahulu: 2.5.1 Audit Judgment Kualitas
audit
judgment
dipengaruhi
oleh
pengalaman
(Abdolmohammadi dan Wright, 1987; Choo dan Trotman, 1991).
auditor Auditor
berpengalaman akan mampu membuat judgment yang cermat meskipun diberikan tugas yang kompleks/rumit.
Apalagi pengalaman auditor didukung dengan
tingkat pengetahuan yang memadai, sehingga terjadi korelasi kedua hal tersebut yang akan menghasilkan judgment yang lebih baik. Penelitian eksperimen dari Suartana (2006) pada sejumlah auditor Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Denpasar dan Surabaya, antara lain menyimpulkan bahwa: (1) pengurangbiasan melalui pengalaman audit telah berjalan dengan baik pada penilaian struktur pengendalian intern, dan (2) mekanisme pengurangbiasan melalui telaah sendiri efektif digunakan untuk mengeleminasi efek kekinian dalam pertimbangan auditor mengenai struktur pengendalian intern dengan berbagai level pengalaman.
Hal ini menegaskan
bahwa pengalaman dan kegiatan reviu yang dilakukan oleh auditor akan meningkatkan kualitas pertimbangan auditor. Penelitian lain yang dilakukan oleh Praditaningrum dan Januarti (2012) menjelaskan bahwa pengalaman dan keahlian berpengaruh positif terhadap
17
judgment auditor. Namun, apabila ada tekanan ketaatan maka akan berpengaruh negatif terhadap judgment auditor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa auditor yang mendapatkan tekanan ketaatan yang besar dari atasan maupun entitas yang diperiksa akan cenderung untuk berperilaku menyimpang dan menghasilkan audit judgment yang tidak baik/kurang tepat. Apalagi adanya konflik kepentingan akan memengaruhi kualitas audit (Deis dan Giroux, 1992), sehingga diperlukan regulasi yang menjaga kinerja auditor, seperti proses reviu/supervisi, pengenaan sanksi, denda atau penurunan profesi (Maroun dan Atkins, 2014). Kedua penelitian di atas mengarahkan pada peningkatan kualitas audit melalui pertimbangan auditor yang cermat.
Peran pemerintah sangat penting
dengan mengeluarkan regulasi agar auditor bekerja profesional, transparan dan akuntabel (Maroun dan Atkins, 2014). Oleh karena itu, BPKP selaku Pembina APIP telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur tata kelola APIP yang baik (Pusbin JFA BPKP, 2011). Hal ini penting seiring dengan perkembangan dan aktivitas pemerintah yang semakin kompleks sehingga dibutuhkan reformasi sektor publik. Salah satunya auditor intern pemerintah harus melakukan perubahan pendekatan audit, seperti audit berbasis risiko, audit berbasis kinerja, dan sebagainya (Person, 2014; Sarens dkk., 2014; Sterck dan Bouckaert, 2006). 2.5.2 Kompetensi Auditor Puslitbangwas BPKP (2003) telah meneliti auditor dan auditan pada lembaga pemerintah. Hasil penelitian secara umum menjelaskan bahwa semua variabel terkait dengan kompetensi sangat memengaruhi core competensi dan berdampak pada kualitas hasil audit. Sementara responden auditan berpendapat
18
bahwa laporan hasil pengawasan juga harus dapat menyajikan informasi hal-hal positif untuk peningkatan kinerja, pendorong kinerja yang lebih baik serta kendala dan solusi pelayanan publik.
Hal ini menegaskan bahwa kualitas hasil
pengawasan belum mampu mengakomodasi segala kendala dan solusinya, belum dapat mengubah pola kerja untuk peningkatan kinerja auditan dan belum dapat menilai kualitas kegiatan, tetapi hasil audit terbatas pada prosedur dan kuantitas. Kompetensi
auditor
sangat
menentukan
kualitas
auditor
dalam
melaksanakan tugasnya. Penegasan ini telah dibuktikan dengan penelitian empiris dari Setyaningrum dkk. (2014) bahwa kompetensi auditor berupa pengalaman, pelatihan, pendidikan dan motivasi akan membentuk kualitas auditor. Auditor yang kompeten akan mampu menghasilkan rekomendasi audit yang tepat dan mudah ditindaklanjuti.
Penelitian lain juga menjelaskan bahwa kompetensi
auditor berpengaruh positif pada pelaksanaan reviu laporan keuangan pemerintah (Amirullah dkk. 2010). Kompetensi auditor yang dimaksud menyangkut pemahaman akuntansi sektor publik, pemahaman SAP dan SPI, kode etik dan standar audit, dan sebagainya. Kompetensi auditor juga dilihat dari kesesuaian pendidikan dengan tugas pokok dan fungsinya sehingga akan memengaruhi kualitas audit (Zeyn, 2014; Tubbs, 1992).