BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori 1.Evaluasi kebijakan a.Pengertian Kebijakan Kebijakan merupakan suatu istilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan, definisi yang diberikan cukup beragam, dan dapat dipandang, baik secara luas maupun secara sempit, bergantung pihak yang berkepentingan terhadapnya. Derbyshire (dalam Samodra Wibawa, 1994: 49) memberikan batasan terhadap policy sebagai sekumpulan rencana kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Rencana kegiatan tersebut merupakan produk akhir setiap pemerintahan dalam arti merupakan kesepakatan terakhir antara eksekutif dengan wakil rakyat (legislatif). Kebijakan yang dihasilkan/direncanakan bertujuan untuk memberikan efek perbaikan terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi. Kebijakan yang dihasilkan/direncanakan merupakan produk kesepakatan antara legislatif dengan eksekutif. Hofferbert memberi pengertian policy sebagai hasil-hasil keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku tertentu untuk tujuan-tujuan publik. Lebih jauh, Hofferbert menawarkan dua buah cara untuk memahami suatu kebiajakan. Pertama, mendekati suatu policy melalui substansinya (yaitu rumusan-rumusan redaksi suatu kebijakan yang berisi tujuan-tujuan ‘goals’ apa yang hendak dicapai); Kedua, dari proses pelaksanaannya yang membeberkan kepada kita hasil
12
13
maupun dampak dari kebijakan tersebut, baik hasil yang masih bersifat sementara maupun yang sudah final(Samodra Wibawa, 1994: 49). Hofferbert menyoroti kebijakan menjadi “hasil-hasil keputusan”, “pelaku”, dan “tujuan-tujuan publik”. Pelaku yang dimaksud adalah legislatif, eksekutif dan siapapun yang hasil keputusannya untuk kepentingan orang banyak/masyarakat. Selanjutnya, pengertian yang dikemukakan oleh Hofferbert ini juga menekankan memahami kebijakan dari sisi substansi dan proses pelaksanaan kebijakan. Substansi kebijakan yaitu rumusan-rumusan kebijakan yang telah diputuskan dan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Kebijakan publik adalah pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan legislatif, penataan/pengaturan yang dilakukan oleh eksekutif, penggunaan anggaran, dan juga kegiatan apapun yang dilakukan oleh siapapun yang menjadikan masyarakat sebagai sasarannya (Samodra Wibawa,1994: 50). Menurut Samodra Wibawa (1994: 50), kebijakan sebagai suatu sistem yang memiliki tiga buah komponen yang berinteraksi secara timbal balik. Tiga komponen tersebut yaitu pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi satu sama lain. Komponen-komponen itu dapat dijelaskan secara rinci: 1) Pelaku kebijakan, yakni badan pemerintahan maupun orang atau lembaga nonpemerintah
yang
terlibat
dalam
pembuatan
kebijakan.Mereka
dapat
mempengaruhi dan sekaligus terkena pengaruh darisuatu kebijakan. 2) Lingkungan kebijakan. Yang dimaksud dengan lingkungan bukannya orangorang atau lembaga yang berada di sekitar dan mempengaruhi pemerintah selaku penentu akhir suatu kebijakan (mereka ini semua termasuk dalam kotak
14
pelaku/aktor kebijakan) melainkan lebih menunjuk kepada bidang-bidang kehidupan masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh pelaku kebijakan. 3) Kebijakan publik, yaitu serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk menjawab tantangan (atau memecahkan masalah) kehidupan masyarakat. Menurut Carl Friedrich yang dikutip oleh Budi Winarno (2004: 19), memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatuu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatuu maksud tertentu. Definisi yang dikemukakan Carl Friedrich ini memusatkan pada tindakan dan usulan oleh stakeholder kebijakan, usulan tersebut dapat menjadi hambatan dan kesempatan dalam mencapai tujuan kebijakan tersebut.Batasan-batasan kebijakan yang dikemukakan oleh banyak pihak, pada dasarnya menekankan pada apa yang dilakukan oleh pelaku kebijakan (keterlibatan aktor-aktor). Dalam penelitian kebijakan dilihat dari sudut substansinya,yaitu memahami kebijakan berdasarkan rumusan-rumusan redaksi suatu kebijakan yang berisi tujuan-tujuan „goals‟ apa yang hendak dicapai yaitu hasil keputusan yang telah ditetapkan oleh pelaku kebijakan. Kebijakan menekankan pada apa yang dilakukan aktor kebijakan. Anderson (dalam Budi Winarno, 2004: 19-20), menjelaskan sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami menjadi beberapa kategori seperti tuntutan
15
kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), penyataan-penyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (outcomers). Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut : 1) Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabatpejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutantuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatuu” sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatuu persoalan. 2) Keputusan kebijakan (policy demands) didefinisikan sebagai keputusankeputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijkan publik termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau penyataan-pernyataan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-undang. 3) Pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statement) adalah pernyataanpernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik yang termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-perintah dan
16
dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan pengadilan maupun penyataan-pernyataan atau pidato-pidato para pejabat yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 4) Hasil-hasil kebijakan lebih merujuk pada “manisfestasi nyata” dari kebijakankebijakan publik, hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusankeputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan menggunakan kalimat yang lebih sederhana, hasil-hasil kebijakan dapat diungkapkan sebagai apa yang dilakukan oleh suatu pemerintah untuk melakukan sesuatu. Penyelidikan mengenai hasil-hasil kebijakan mungkin akan menunjukkan bahwa kebijakan dalam kenyataannya sangat berbeda dari apa yang tersirat dalam pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan demikian kita dapat membedakan antara dampak-dampak kebijakan dengan hasil-hasil kebijakan. Hasil-hasil kebijakan lebih berpijak pada manifestasi nyata kebijakan publik, sedangkan dampak-dampak kebijakan (outcomes) lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (Anderson, dalam Budi Winarno, 2004:1920). Manifestasi nyata dari pemenuhan kebutuhan publik di sektor transportasi massal Trans Jogja ini adalah hasil undang-undang legislatif, peraturan menteri maupun penyataan-penyataan atau pidato pejabat yang menunjukkan adanya upaya terhadap pemenuhan dan perbaikan kebijakan yang menyangkut moda transportasi massal Trans Jogja, baik yang sudah dikeluarkan maupun yang masih
17
berupa rencana bahkan wacana, serta apa yang akan dilakukan untuk mencapainya. Dapat disimpulkan bahwa tidak semua kebijakan akan berjalan lancar dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditentukan. Banyak hal yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kebijakan. Untuk mengetahui penyebab kegagalan dalam mencapai tujuan serta untuk mengantisipasi kegagalan yang sama di masa mendatang, maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan. b. Tahap-tahap Kebijakan Publik Charles Lindblom (1986, dalam Budi Winarno 2004: 32) mengemukakan bahwa proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji oleh aktor pembuat kebijakan. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik. Tahap-tahap kebijakan publik yang dikemukakan oleh William Dunn (1998: 22) adalah sebagai berikut: 1) Tahap Penyusunan Agenda Sejumlah aktor yang dipilih dan diangkat untuk merumuskan masalahmasalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan, karena tidak semua masalah menjadi prioritas dalam agenda kebijakan publik. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah lain
18
ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasanalasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2) Tahap Formulasi Kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para aktor pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut kemudian didefinisikan untuk kemudian dicari solusi pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai tindakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah tersebut. 3) Tahap Adopsi Kebijakan Berbagai macam alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para aktor perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi untuk tindakan lebih lanjut dalam kebijakan publik dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. 4) Tahap Implementasi Kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus
19
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini muncul berbagai kepentingan yang akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementor), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. 5) Tahap Evaluasi Kebijakan Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan. Dilihat dari uraian di atas mengenai tahapan pembuatan kebijakan publik, maka dapat dimengerti bahwa evaluasi kebijakan memegang peranan penting dalam tahapan kebijakan publik. Mengingat banyaknya masalah-masalah yang ada dalam vmasyarakat tentunya juga membutuhkan pemecahan masalah yang tepat dan sesuai untuk kondisi masyarakat yang ada. c. Pelaksanaan Kebijakan Pelaksanaan kebijakan merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik. Biasanya pelaksanaan dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Pelaksanaan kebijakan adalah suatu rangkaian aktifitas
20
dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Afan Gaffar, 2009: 295). Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijak an tersebut. Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
maupun
Peraturan
Daerah,
menyiapkan
sumber
daya
guna
menggerakkan implementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat. Pelaksanaan kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program- program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Riant Nugroho Dwijowijoto, dalam Affan Gaffar 2009: 158-160). Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) yang dikutip oleh Affan Gaffar, menjelaskan makna pelaksanaan ini dengan mengatakan bahwa: memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
21
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan–kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian - kejadian. Pengertian pelaksanaan di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan saranasarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono 1994:137). Proses pelaksanaan kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut d. Evaluasi kebijakan Evaluasi merupakan suatu mata rantai dari proses kebijakan publik, James P. Lester dan Joseph Stewart menjelaskan, bahwa evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan (James P. Lester & Joseph Stewart, dalam Budi Winarno 165:23). Sehingga evaluasi kebijakan memiliki tugas untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampak dan
22
menilai keberhasilan atau kegagalandari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Briant & White (dalam Samodra Wibawa, 1994:63) evaluasi kebijakan pada dasarnya harus bisa menjelaskan sejauh mana kebijakan publik dan implementasinya mendekati tujuan. Pengertian evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh Briant & White di atas, mengarahkan penilaian evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada tahap implementasi, dan implementasi dapat dinilai sejauh mana dampak dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan. Sementara itu, Rossi & Freeman mengemukakan evaluasi: Evaluations are conducted to answer a variety of questions of related to that we have listed as the three focus of evaluation research:program conceptualization and design, program implementation (Monitoring and accountability) and program utility (impact and efficiency assessments). Pengertian evaluasi oleh Rossi & Freeman memberitahukan bahwa evaluasi program harus dapat menjawab beberapa pertanyaan dalam penelitian evaluasi yaitu: desain dan konseptualisasi program, implementasi program (monitoring
dan
akuntabilitas)
serta
kegunaan
program
(dampak
dan
efisiensi).Selanjutnya, menurut Rossi & Freeman (dalam Samodra Wibawa, 1994: 63) bahwa tujuan untuk mengevaluasi suatu program, peneliti harus menentukan nilai berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Dengan kata lain, hal yang terpenting dalam membuat evaluasi kebijakan adalah tersedianya tujuan (goals) dan kriteria (criteria). Goals merumuskan sasaran yang hendak dicapai dalam suatu kebijakan, baik dinyatakan dalam global maupun dalam angka-angka. Sedangkan
23
kriteria memastikan bahwa goals ditetapkan sebelum itu dapat dicapai dan dipenuhi secara memuaskan. Di dalam mengidentifikasi tujuan-tujuan evaluasi yang berbeda-beda dapat dilihat bagaimana suatu program dinilai gagal oleh suatu perangkat atau instrumen kriteria, sementara dipihak lain dianggap berhasil oleh kriteria lainnya (Suharyanto, dalam Deka Budianto, 2006 :15). Menurut Samodra Wibawa (1994: 13-14), evaluasi bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana programprogram mereka berlangsung. Serta menunjukkan faktor-faktor apa saja yang dapat dimanipulasi agar diperoleh pencapaian hasil yang lebih baik, untuk kemudian memberikan alternatif kebijakan baru atau sekedar cara implementasi lain. Berdasarkan penjelasan evaluasi oleh Samodra Wibawa di atas, informasi yang didapat dari evaluasi kebijakan dapat digunakan untuk memperbaiki program yang sedang berjalan bahkan juga bisa memberikan informasi faktorfaktor yang dapat dimanipulasi. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menghindari program yang merugikan masyarakat dan menentukan keberlanjutan program di masa mendatang. Jika hasil dari evaluasi program menunjukkan bahwa dalam program tersebut ada hal-hal yang perlu untuk dilakukan perubahan, maka para pengambil keputusan sebaiknya harus menanggapinya dengan serius. Artinya mereka harus mempunyai ide-ide baru guna memperbaiki programnya, sehingga program tersebut dapat terhindar dari kegagalan dan dapat mencapat tujuan yang dicita-citakan.
24
Menurut William Dunn (1998: 608-609), evaluasi memiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan metode-metode analisis kebijakan yang lainnya. Karakteristik yang membedakan ini terbagi menjadi empat yaitu sebagai berikut. 1) Fokus nilai Evaluasi merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri. 2) Interdependensi fakta nilai Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau terendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi semua individu, kelompok atau seluruh masyarakat. Untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan pra syarat bagi evaluasi.
25
3) Orientasi masa kini dan masa lampau Tuntutan evaluatif berbeda dengan tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan. Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan. 4) Dualitas nilai Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada, dan dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) atau ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi tujuan-tujuan lain). Nilai yang sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. Evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh William Dunn diatas menginformasikan bahwa evaluasi kebijakan tidak sekedar mengumpulkan informasi mengenai kebijakan yang dapat diantisipasi dan yang tidak dapat diantisipasi, tetapi evaluasi diarahkan untuk memberi informasi pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu evaluasi kebijakan diarahkan untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) bagi semua individu, kelompok dan masyarakat apabila adanya aksi-aksi yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Maka dari itu dari berbagai teori diatas, dipilihlah
26
teori William Dunn dikarenakan yang paling tepat dalam hal mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Trans Jogja di Daerah Istimewa Yogyakarta. e. Fungsi Evaluasi Evaluasi kebijakan sangat penting dalam menilai suatuu kebijakan publik. Karena evaluasi memiliki fungsi yang membuat suatuu kebijakan perlu untuk dievaluasi. William Dunn (1998: 608-609) mengemukakan dalam analisis kebijakan bahwa evaluasi memiliki beberapa fungsi penting antara lain: 1) Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan serta tujuan yang telah dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai dalam memecahkan masalah. 2) Evaluasi memberi sumbangan terhadap klarifikasi dan kritik terhadap nilainilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target dalam kebijakan publik. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Dalam
menanyakan
kepantasan
tujuan
dan
sasaran,
analisis
dapat
menggunakan alternatif sumber nilai maupun landasan dalam bentuk rasionalisme. 3) Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk dalam perumusan masalah maupun rekomendasi pemecahan masalah. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan baru atau revisi terhadap kebijakan dengan menunjukan bahwa kebijakan yang telah ada perlu diganti atau diperbaharui.
27
2.
Transportasi Transportasi atau transport diartikan sebagai tindakan atau kegiatan
mengangkut atau memindahkan muatan (barang dan orang) dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari tempat asal ke tempat tujuan. Tempat asal dapat merupakan daerah produksi, dan daerah tujuan adalah daerah konsumen (atau pasar). Tempat asal dapat pula merupakan daerah permukiman (perumahan), sedangkan tempat tujuannya adalah tempat bekerja, kantor, sekolah, kampus, rumah sakit, pasar, toko, pusat perbelanjaan, hotel, pelabuhan, Bandar udara, dan masih banyak sekali yang lainnya, ataupun dari arah sebaliknya, yaitu tempat tujuan merupakan tempat asal dan tempat asal merupakan tempat tujuan (Sakti Adji Adisasmita, 2011: 7). Peranan transportasi sangat penting yaitu sebagai sarana penghubung, mendekatkan, dan menjembatani antara pihak-pihak yang saling membutuhkan. Sangat pentingnya peranan transportasi dan perekonomian, ada yang mengatakan bahwa (1) transportasi itu merupakan urat nadi perekonomian, (2) transportasi adalah setua dengan peradaban manusia, (3) transportasi merupakan factor pembentuk ekonomi wilayah, (4) transportasi merupakan leading sector (sektor pendahulu,
yang
harus
disediakan
terlebih
dahulu
dalam
menunjang
pembangunan), (5) transportasi menciptakan penghematan waktu perjalanan yang sangat signifikan. Ada pula slogan yang mengatakan bahwa: “negara yang menguasai transportasi global, maka negara tersebutlah yang akan mendominasi dunia (dalam perekonomian dan percaturan politik internasional)”. Dengan itu pernyataan dan slogan diatas memperlihatkan betapa sangat pentingnya peranan
28
transportasi dalam kehidupan manusia, perekonomian dan pembangunan regional, nasional, internasional (Sakti Adji Adisasmita, 2011: 8-9). Pentingnya peranan transportasi dalam kehidupan setiap manusia sudah dirasakan sejak dari dulu, mulai dari masyarakat primitif hingga jaman modern seperti
sekarang.
Masyarakat
primitif
menyusuri
sungai
menggunakan
rakit/sampan, tetapi dalam jaman modern sekarang ini manusia berhasil mengarungi samudera luas menggunakan kapal-kapal laut besar dan berkecepatan tinggi. Pada permulaan abad ke-19 telah diketemukan sarana angkutan mobil (kendaraan bermotor), dan pada abad ke-20 telah digunakan pesawat udara yang berkecepatan tinggi dan berdaya muat besar, menghubungkan kota-kota besar antar benua. Menurut Sakti Adji Adisasmita (2007: 7), transportasi dalam kehidupan manusia, perekonomian, dan pembangunan semakin penting. Dicerminkan oleh digunakannya sarana angkutan modern yang berkecepatan tinggi dan berkapasitas muat besar. Selain itu transportasi mempunyai peranan penting dan semakin bertambah penting, sejak jaman primitif sampai jaman modern sekarang ini, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa transportasi setua peradaban manusia, setua dengan keberadaan manusia di dunia. Untuk memindahkan barang/orang dari satu tempat ke tempat lain diperlukan pengangkutan. Dengan demikian lalu lintas (traffic) dan pengangkutan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pergerakan (lalu lintas) dikenal trip (bepergian) dan travel (perjalanan), yaitu: 1) Trip (bepergian)
29
Berhubungan erat dengan asal (origin) dan tujuan (destination). Trip (bepergian) adalah pergerakan orang/barang antara dua tempat terpisah dengan perhitungan berapa kali satu hari mengadakan bepergian. 2) Travel (perjalanan) Berhubungan dengan lintasan (kecepatan) dan kendaraan (sarana). Travel (perjalanan) adalah proses perpindahan/pergerakan dari satu tempat ke tempat lain
dengan
perhitungan
berupa:
biaya,
waktu,
jarak
lintasan
dan
keadaan/kondisi sepanjang jalan. Pentingnya sistem transportasi dalam perkembangan dunia bersifat multidimensi. Sebagai contoh, salah satu fungsi dasar dari transportasi adalah menghubungkan tempat kediaman dengan tempat bekerja atau para pembuat barang dengan para konsumennya. Dari sudut pandang yang lebih luas, fasilitas transportasi memberikan aneka pilihan untuk menuju ke tempat kerja, pasar dan sarana rekreasi, serta menyediakan akses ke sarana sarana kesehatan, pendidikan, dan sarana lainnya. Bentuk fisik dari kebanyakan sistem transportasi tersusun atas empat elemen dasar: 1) Sarana Perhubungan ( link ) : jalan raya atau jalur yang menghubungkan dua titik atau lebih. Pipa, jalur darat, jalur laut, dan jalur penerbangan juga dapat dikategorikan sebagai sarana perhubungan. 2) Kendaraan: alat yang memindahkan manusia dan barang dari satu titik ke titik lainnya di sepanjang sarana perhubungan. Mobil, bis, kapal, dan pesawat terbang adalah contoh contohnya.
30
3) Terminal: titik titik dimana perjalanan orang dan barang dimulai atau berakhir. Contoh: garasi mobil, lapangan parkir, gudang bongkar muat,terminal bis, dan bandara udara. 4) Manjemen dan tenaga kerja: orang orang yang membuat, mengopreasikan, mengatur, dan memelihara sarana perhubungan, kenderaan, dan terminal. Keempat elemen di atas berinteraksi dengan manusia, sebagai pengguna maupun non pengguna sistem, dan berinteraksi pula dengan lingkungan (M.N Nasution, 1996: 35). a. Karakteristik jasa transportasi yang efektif dan efisien Jasa transportasi disediakan untuk melayani kegiatan pada sektor lain. Pelayanan yang diberikan oleh fasilitas transportasi tersebut diupayakan terlaksana dengan sebaik-baiknya, dengan demikian pengembangan pada sektor lain akan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, sehingga produksi dan produktifitasnya dapat tercapat secara optimal. Pencapaian hasil dalam transportasi dan pengembangan pada sektor lain harus dianalisis dan di evaluasi kinerjanya atau karakteristik pelayanannya. Karakteristik pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien meliputi: (1) Speed (lancar atau cepat); (2)Savety (selamat/aman); (3)Capacity (memiliki kapasitas yang cukup tinggi); (4)Frequency (frekuensi/berapa kali pelayanan transportasi dilakukan dalam jangka waktu tertentu, misalnya tiap minggu dan atau tiap bulan bahkan kuota tahun); (5)Regularity (keteraturan dalam pelayanan transportasi); (6)Comprehensive (pelayanan transportasi dilakukan secara komperehensif dari tempat asal ke tempat tujuan); (7)Responsibility (bertanggung
31
jawab terhadap kehilangan dan kerusakan muatan); (8)Acceptable Cost (biaya/tarif rendah) dan atau Affordable Price(harga terjangkau barang dan penumpang); dan (9)Comfort/Convenience (nyaman); untuk angkutan penumpang meliputi karakteristik yang diatas (L.A Schumer,1968:13). Kesejahteraan rakyat meningkat berarti standar hidup masyarakat bertambah baik (higher standart of leaving).Jelaslah bahwa kontribusi sektor transportasi yang efektif dan efisien, secara nyata akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan standar hidup masyarakat melalui peningkatan nilai produk domestic bruto pada sektor-sektor yang membutuhkan sektor transportasi. Karena itu sasaran pembangunan transportasi harus ditetapkan secara jelas dan terarah, strategi kebijakan pembangunan transportasi harus dirumuskan secara reliable (terjamin dari segi konseptual), acceptable (diterima oleh para pelaku pembangunan), dan bersifat implementable (dapat dilaksanakan). Selanjutnya, program dan proyek pembangunan transportasi harus diupayakan secara tepat, tepat dalam arti tepat jenisnya, tepat lokasinya, dan tepat kapasitasnya, dan dalam pelaksanaannya harus diupayakan secara tepat sasaran, tepat mutu dan tepat waktu (A. Kanafami, 1990: 56). Ketersediaan tranportasi menunjang pengembangan dan peningkatan kegiatan di sektor lain, berarti transportasi dibutuhkan untuk menunjang pembangunan, sebaliknya pembangunan sektoral dan pembangunan secara menyeluruh membutuhkan dukungan tersedianya transportasi, jadi antara tranportasi dan pembangunan saling dibutuhkan dan membutuhkan, maka dapat
32
dikatakan interaksi keterkaitan antara transportasi dan pembangunan bersifat dua arah. Fasilitas transportasi (sarana dan prasarana) yang disediakan untuk menunjang kegiatan pembangunan merupakan supply (penawaran) harus disediakan dalam kapasitas yangcukup untuk memenuhi permintaan (demand)atau kebutuhan pembangunan,kapasitas transportasi harus disediakan secara seimbang dengan kebutuhan, sehingga pembangunan transportasi dapat terwujudkan secara efektif dan efisien. Pembangunan transportasi harus diupayakan dan dilaksanakan secara berkapasitas
yang
mampu
memenuhi
kebutuhan
pembangunan
secara
komperehensif dalam arti secara menyeluruh dan meliputi secara keseluruhan sektor, wilayah, internoda, antar moda, meliputi berbagai pengguna jasa transportasi, serta bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Mengingat sangat pentingnya fungsi transportasi terhadap dukungannya terhadap keberhasilan pembangunan yang optimal, maka pembangunan transportasi harus direncanakan secara tepat dan terarah dan diorganisasikan secara kesisteman (Keputusan Menteri Perhubungan No. 49 Tahun 2005). Perencanaan pembangunan transportasi yang berhasil baik harus diukur menggunakan kriteria sebagai berikut: 1) Terciptanya pelayanan transportasi yang lancar, cepat dan selamat. 2) Tersedianya kapasitas fasilitas transportasi yang cukup (dalam arti seimbang dengan permintaan jasa transportasi), dalam frekuensi yang memadai, yang terselenggara secara tertib dan teratur (regular) dan merata.
33
3) Terselenggaranya pelayanan transportasi yang bertanggung jawab dan tarif yang terjangkau. 4) Termanfaatkannya kapasitas fasilitas transportasi mencapai tingkat utilisasi yang tinggi, dalam faktor penumpang(passenger factor)dan faktor muatan (load factor). 3.
Kebijakan Trans Jogja Trans Jogja adalah sebuah sistem transportasi bus cepat, murah dan ber-
AC di seputar Kota Yogyakarta, Indonesia. Trans Jogja merupakan salah satu bagian dari program penerapan Bus Rapid Transit (BRT) yang dicanangkan Departemen Perhubungan. Sistem ini mulai dioperasikan pada awal bulan Maret 2008 oleh Dinas Perhubungan, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Landasan kebijakan Trans Jogja sendiri adalah Perda No 1 Tahun 2008 serta Undang-undang nomer 22 tahun 2009 tentang Pengangkutan Orang dengan Angkutan Umum di jalan Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Motto pelayanannya adalah "Aman, Nyaman, Andal, Terjangkau, dan Ramah lingkungan". Trans Jogja merupakan salah satu alat transportasi umum yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan melihat semakin meningkatnya aktivitas masyarakat di wilayah Yogyakarta seperti para mahasiswa yang memilih berpergian menggunakan bus atau keluarga yang hanya sekedar jalan-jalan. Bus Trans Jogja ini adalah sebuah upaya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meningkatkan pelayanan publik khususnya pada sektor transportasi darat di kawasan perkotaan menggantikan sistem setoran menjadi sistem pembelian pelayanan. Bus ini mulai beroperasi pada tanggal 18 Februari 2008, Bus Trans
34
Jogja yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan bus kota yang sudah ada, akan tetapi bus Trans Jogja memiliki beberapa perbedaan. Pertama, pintu masuk penumpang yang ada di tengah dan otomatis terbuka dan tertutup, seperti halnya bus Trans Jakarta sebagai panutannya. Kedua, tempat duduknya yang berhadapan dan memanjang yang sama dengan bus Trans Jakarta. Ketiga, memakai air conditioning. Keempat, tidak ada kondektur yang menarik bayaran di dalam bus, karena tiket sudah dibeli di shelter atau shelter. Kelima, tidak berhenti di sembarang tempat dan hanya berhenti di shelter Trans Jogja saja seperti tidak seperti bus kota lainnya, bus terjadwal dari pukul 06.00–22.00 WIB yang berhenti di shelter-shelter khusus. Bus akan berhenti disetiap shelter sebanyak 5 atau 6 kali putaran sesuai dengan jadwal dan rute trayek bus, jarak bus nomor 1 dengan bus nomor 2 adalah 15 menit sesuai yang sudah ditentukan oleh perusahaan PT. Jogja Tugu Trans dengan melihat jumlah armada bus sebanyak 50 lebih unit bus. Bus Trans Jogja mempunyai moto yaitu aman, andal, terjangkau, dan ramah lingkungan (Dishubkominfo DIY, 2012: 2). Sistem yang menggunakan bus (berukuran sedang) ini menerapkan sistem tertutup, dalam arti penumpang tidak dapat memasuki bus tanpa melewati gerbang pemeriksaan, seperti juga Trans Jakarta. Selain itu, diterapkan sistem pembayaran yang berbeda-beda: sekali jalan, tiket berlangganan pelajar, dan tiket berlangganan umum. Ada tiga macam tiket yang dapat dibeli oleh penumpang, yaitu tiket sekali jalan (single trip), dan tiket umum berlangganan. Tiket ini berbeda dengan karcis bus biasa karena merupakan kartu pintar (smart card). Karcis akan diperiksa secara otomatis melalui suatuu mesin yang akan membuka
35
pintu secara otomatis. Penumpang dapat berganti bus tanpa harus membayar biaya tambahan, asalkan masih dalam satu tujuan. Sebagai komponen dari sistem transportasi terpadu bagi Kota Yogyakarta dan daerah-daerah pendukungnya, sistem ini menghubungkan enam titik penting moda perhubungan di sekitar kota: a. Stasiun Kereta Api Yogyakarta. b. Terminal Bus Giwangan sebagai pusat perhubungan jalur bis antar provinsi dan juga regional. c. Terminal Angkutan Desa Terminal Condong Catur. d. Terminal Regional Jombor di sebelah utara kota, Bandar Udara Adisucipto, dan Terminal Prambanan. Kecuali Giwangan dan Stasiun Yogyakarta, titik-titik terletak di wilayah Kabupaten Sleman. Terdapat pula shelter yang berada di dekat obyek wisata serta tempat publik penting, seperti sekolah, universitas, rumah sakit, bank, samsat, serta Perpustakaan. Perencanaan Trans Jogja cukup mendesak karena sistem transportasi Yogyakarta dan sekitarnya sebelumnya dinilai tidak efisien. Pada tahap perencanaan banyak tantangan muncul dari pengelola bus yang telah ada serta para pengemudi becak. Penerapan sistem ini semula direncanakan pada tahun 2007, namun bencana gempa bumi Yogyakarta pada bulan Juni 2006 menyebabkan pergeseran waktu pelaksanaan. Seiring dengan adanya problematika Trans Jogja, problematika yang cukup besar pun dirasakan oleh transportasi massal lainnya, seperti KOPATA, KOBUTRI dan angkutan kota lainnya yang masih beroperasi akan namun keberadaanya kian tersisihkan. Angkutan-angkutan ini terdesak keberadaannya
36
dan terancam gulung tikar dikarenakan fokus transportasi kota hanya ditujukan Trans Jogja saja. Penumpang dan pelanggan mereka kebanyakan sudah beralih ke transportasi yang lebih baik dan terjamin keberadaannya (walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa siklus transportasi bahwa kendaraan yang baru, nyaman, murah dan cepat pasti akan lebih diminati oleh masyarakat pada umumnya). Resistensi dengan mogok beroperasi dan demo yang dilakukan pengelola KOPATA dan KOBUTRI pun marak dilakukan belakangan ini ekspresi dari bentuk protes mereka. Trans Jogja pun dalam waktu dekat ini akan melebarkan sayap tidak hanya di kota saja, akan tetapi akan merambah di Sleman dan Bantul, keadaan ini pula yang dirasa semakin menyudutkan dan seakan-akan transportasi massal lainnya tidak punya tempat lagi untuk mengadu nasib. Lain halnya permasalahan pun muncul di pihak internal yaitu penegakan hukum dan monitoring UPTD khususnya kepada PT Jogja Tugu Trans, banyak kesepakatan kerjasama dan standart kendaraan yang diabaikan dikarenakan sanksi yang diberikan tidak tegas. Antusias masyarakat menggunakan Trans Jogja cukup banyak terutama di shelter-shelter sekitar Malioboro, selain itu di Malioboro merupakan salah satu tempat wisata di Yogyakarta sehingga banyak masyarakat lebih berminat untuk menggunakan jasa Trans Jogja, karena dari segi sarana dan prasarana Trans Jogja tergolong nyaman seperti adanya Air Conditioner (AC) dan lain sebagainya. Shelter yang disediakan dibuat lebih merata khususnya di dalam kota dan ditempatkan di titik-titik strategis seperti di sekitaran sekolah, kampus, pusat perbelanjaan, pasar sehingga banyak orang yang merasa dimudahkan apabila akan menggunakan Trans Jogja.
37
Tabel 2. Karakteristik Penumpang Trans Jogja No Profesi Presentase 1 Mahasiswa 32 % 2 Karyawan/Swasta 29 % 3 Pelajar 21% 4 Wiraswasta 7% 5 Ibu Rumah Tangga 4% 6 PNS 4% 7 Guru/Dosen 2% 8 Pensiunan 1% Sumber: Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta(2009)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa karakteristik profesi penumpang Trans Jogja cukup beragam. Sementara sebagian besar pengguna Trans Jogja adalah dari kalangan mahasiswa, karyawan/swasta, dan pelajar. PT. Jogja Tugu Trans adalah PT (Perseroan Terbatas) yang merupakan wadah konsorsium dari empat koperasi dan satu BUMN yaitu ASPADA, KOPATA, PUSKOPKAR Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemuda dan Perum Damri, yang memiliki trayek serta berpengalaman dalam mengoperasikan sarana angkutan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diharapkan oleh pemerintah untuk menjadi operator dalam program “Buy The Service System” secara profesional (PT. Jogja Tugu Trans, Juli 2008) PT. Jogja Tugu Trans dalam pengelolaan sistem transportasi “Buy The Service System” berkedudukan selaku penjual layanan yang diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pelayanan transportasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan adanya sistem ini, antara lain: a. Mengurangi kemacetan lalu lintas di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Meningkatkan
keamanan,
kenyamanan
dan
ketepatan
waktu
menggunakan fasilitas transportasi dengan sistem “Buy The Service”.
dalam
38
c. Memberikan fasilitas pelayanan transportasi yang murah dan terjangkau kepada masyarakat. d. Mengubah paradigma masyarakat terhadap angkutan umum. e. Mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. f. Mengurangi konsumsi BBM. g. Mengurangi beban parkir di dalam kota. h. Mengurangi polusi udara dan suara. i. Mengurangi social cost masyarakat. 4.
Pelayanan Publik a. Pengertian pelayanan publik Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu proses
pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan. Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai salah satu tugas pokoknya. Ratminto (2010:2) menjelaskan bahwa pelayanan merupakan suatuu aktivitas yang bersifat tidak kasat mata dan melibatkan pegawai atau sumber daya lain seperti sarana dan prasarana yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara pelayanan. Selanjutnya A.S. Moenir A (2002: 16) menyatakan bahwa proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang dinamakan pelayanan. Jadi dapat dikatakan pelayanan adalah kegiatan yang bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang lain. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefiniskan pelayanan
39
umum sebagai segala bentuk pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa hakekat pelayanan yang dijalankan oleh pemerintah adalah untuk melayani masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga timbul kepuasan dan meningkatkan daya beli oleh masyarakat.Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dengan pengertian masyarakat. Karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakan dari pelayanan swasta adalah: 1) Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Contohnya sertifikat, perijinan, peraturan, transportasi, ketertiban, kebersihan, dan lain sebagainya. 2) Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, da membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala nasional. Contohnya dalam hal pelayanan transportasi. 3) Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun kondisi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
40
4) Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan. 5) Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya guna untuk mengurus persoalannya masing-masing. Pelayanan yang berkualitas itu juga tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan. Dan yang menjadi prinsipprinsip layanan yang berkualitas antara lain: 1) Proses dan prosedur harus ditetapkan lebih awal. 2) Proses dan prosedur itu harus diketahui oleh semua pihak yang terlibat. 3) Disiplin bagi pelaksanaan untuk mentaati proses dan prosedur. 4) Perlu peninjauan proses dan prosedur oleh pimpinan, sewaktu-waktudapat dirubah apabila perlu. 5) Perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembang budayaorganisasi untuk menciptakan kualitas layanan. 6) Kualitas berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, selera konsumen.
41
7) Setiap orang dalam organisasi merupakan partner dengan orang lainnya. Sekarang ini kegiatan pemasaran tidak terlepas dari kualitas pelayanan terhadap konsumen. Kualitas pelayanan yang baik dan tepat akan mempengaruhi konsumen untuk membuat keputusan dalam pemakaian sebuah jasa, sehingga dibutuhkan strategi kualitas pelayan yang baik. Timbulnya pelayanan umum atau publik dikarenakan adanya kepentingan, dan kepentingan tersebut bermacammacam bentuknya sehingga pelayanan publik yang dilakukan juga ada beberapa macam. Ratminto (2010:20) membedakan jenis pelayanan menjadi tiga kelompok sesuai dengan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004. Adapun tiga kelompok tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewargangaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatuu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya. 2) Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/ jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.
42
3) Kelompok Pelayanan Jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya. Berdasarkan
jenis
kelompok
pelayanan
diatas
penyelenggaraan
transportasi termasuk kedalam kelompok pelayanan administratif. Hal ini dikarenakan dalam pelayanan penyelenggaraan transportasi merupakan kelompok pelayanan di bidang jasa yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik. b. Indikator pelayanan publik Timbulnya pelayanan umum atau publik dikarenakan adanya kepentingan, dan kepentingan tersebut bermacam- macam bentuknya sehingga pelayanan publik yang dilakukan juga ada beberapa macam.Indikator-indikator pelayanan publik yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto (2008:144-145) antara lain: 1) Lenvine mengemukakan produk pelayanan publik setidaknya harus memenuhi tiga indikator yaitu responsiveness, responsibility, accountability. a) Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi serta tuntutan customers. b) Responsibility atau responsibilitas adalah suatuu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. c) Accountability atau akuntabilitas adalah suatuu ukuran yang menunjukkan seberapa
besar
proses
penyelenggaraan
pelayanan
sesuai
dengan
43
kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. 2) Zeithaml, Parasuraman dan Berry menggunakan ukuran tangibles, reliability, responsiveness, assurance, empathy. a) Tangibles yaitu fasilitas fisik, peralatan, pegawai dan fasilitas-fasilitas komunikasi yang dimiliki oleh penyedia layanan. b) Reliability atau reliabilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat. c) Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas. d) Assurance atau kepastian adalah pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan para petugas penyedia layanan dalam memberikan kepercayaan kepada pengguna layanan. e) Empathy adalah kemampuan memberikan perhatian kepada pengguna layanan secara individual. 3) McDonald dan Lawton dalam Ratminto (2010: 174), juga mengemukakan dua indikator pelayanan publik yaitu: efficiency dan effectiveness. a) Efficiency atau efisiensi adalah suatuu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatuu penyelenggaraan pelayanan publik. b) Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.
44
B. Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi Widiastuti (2006) yang berjudul „Dinamika Kebijakan Bus Perkotaan Di Yogyakarta‟, dalam penelitian ini diketahui tentang dinamika kebijakan yang sangat menarik dalam perumusan hingga tahap evaluasi kebijakan colt kampus dan KOPATA pada saat itu. Sedangkan dalam penelitian ini rancangan Trans Jogja sudah dibahas sehingga dapat menjadi acuan awal. Penelitian ini juga sama-sama menggunakan metode deskriptif kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan observasi, dan wawancara mendalam dengan beberapa informan dari Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Qomariah (2010) dengan judul „Dampak Adanya Trans Jakarta‟ dalam penelitian ini diketahui tentang dampak adanya Trans Jakarta. Diketahui strategi-strategi yangditerapkan para pengemudi taksi dalam menghadapi persaingan dengan bus Trans Jakarta maupun dengan pengemudi taksi lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak bus Trans Jakarta agar para pengendara kendaraan pribadi beralih menggunakan Trans Jakarta, sehingga diharapkan kemacetan lalu lintas yang rutin terjadi di Jakarta menjadi berkurang. Metode yang digunakan dalam penelitian
sama-sama
menggunakan
pendekatan
deskriptif
kualitatif
berdasarkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Persamaan metodologi penelitian juga terdapat dalam teknik purposive dan validitas data melalui triangulasi sumber. Perbedaannya dalam penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terletak pada lokasi
45
dan bidang kajiannya. Lokasi dalam penelitian ini adalah di Kota Jakarta, sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti berada di Yogyakarta. Perbedaan yang lain adalah dilihat dari bidang kajiannya, jika penelitian yang sudah ada melihat dampak adanya Trans Jakarta, sedangkan peneliti akan meneliti tentang evaluasi pelaksanaan kebijakan moda transportasi massal Trans Jogja di Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.
Kerangka Berpikir Suatu kebijakan dirumuskan, diimplementasi serta dievaluasi dalam
rangka untuk memberi solusi pada suatuu permasalahan tertentu. Perumusan masalah kebijakan dinilai merupakan tahap yang paling krusial dalam suatu policy cycle, baik karena adanya subjektivitas yang sulit dihindari maupun karena kompleksitas masalah yang sedang dihadapi (Subarsono, 2008:23). Seiring berkembangnya jaman, transportasi massal mutlak berkembang dan dimajukan guna menekan angka kendaraan pribadi dan mengurai kepadatan jalan. Disini lah muncul transportasi massal yang bernama Trans Jogja, seiring berjalannya waktu moda trans Jogja mulai mendapat hati di tempat baik masyarakat lokal maupun diluar Jogja, terlebih wisatawan. Untuk menselaraskan terhadap apa yang telah dibuat sebelumnya dan setelahnya, terlebih dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan yang berubah-ubah setiap waktunya, Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta selalu mengevaluasi setiap apa kebijakan yang telah dijalankan sehingga nantinya dapat memuncul kebijakan baru yang lebih bermanfaat dan memiliki daya guna yang tinggi. Evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh William Dunn memberikan gambaran bahwa evaluasi
46
kebijakan tidak sekedar mengumpulkan informasi mengenai kebijakan yang dapat di antisipasi dan yang tidak dapat diantisipasi, tetapi evaluasi diarahkan untuk memberi informasi pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, sehingga terwujud mutu dan kualitas Trans Jogja yang lebih baik lagi. Pembatasan penelitian disini hanya menyangkut tentang pelaksanaannya, karena tidak dapat dipungkiri sebuah evaluasi muncul dari adanya sebuah implementasi. Resiko resistensi dan problematika pun bermunculan seiring kebijakan ini berjalan. Faktor Pendorong
Faktor Penghambat
1.
Transportasi massal unggulan
1.
Resistensi
2.
Terjangkau dan nyaman
2.
Sarana dan Prasarana yang tidak terawat
Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2008. tentang Pengangkutan Orang Dengan Angkutan Umum Di Jalan Di Daerah Istimewa Yogyakarta
Problematika internal dan ektrernal
Evaluasi Kebijakan (ditinjau dari pelaksanaan) 1. Fokus nilai 2. Interdependensi Fakta nilai 3. Orientasi masa kini dan lampau 4. Dualitas nilai
Peningkatan mutu dan kualitas Trans Jogja Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian
47
2.
Pertanyaan penelitian
1.
Apakah kebijakan moda transportasi massal Trans Jogja dapat dikatakan berhasil ditinjau dari pelaksanaan yang mengacu pada fokus nilai, interdependensi fakta nilai, orientasi masa kini dan lampau, dan dualitas nilai?
2.
Apa saja faktor yang mendukung pelaksanaan moda transportasi massal Trans Jogja?
3.
Apa saja faktor yang penghambat pelaksanaan moda transportasi massal Trans Jogja?
4.
Bagaimana sistem kerjasama yang terjadi?
5.
Bagaimana permasalahan yang terjadi? Dan bagaimana cara mengatasinya?