BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Kependidikan 1. Hakikat Pembelajaran Biologi Belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya (Sugihartono, dkk., 2007: 74). Belajar biologi artinya proses menggunakan biologi sebagai alat atau wahana untuk mengembangkan diri. Belajar biologi bukan hanya sekedar mengembangkan kemampuan siswa dalam menyerap konsep-konsep biologi, namun termasuk melatih siswa terlibat langsung dengan proses biologi, yang selanjutnya disebut sebagai proses ilmiah atau yang dikenal sebagai metode ilmiah (Sukirman dan Suyitno, 2002: 7). Menurut Surachman (2001: 8) secara konseptual biologi berkedudukan sebagai alat pendidikan artinya biologi bukan target atau tujuan akhir, tetapi merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja
oleh
pendidik
untuk
menyampaikan
ilmu
pengetahuan,
mengorganisasi dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal (Sugihartono, dkk., 2007: 81).
2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kalender pendidikan dan silabus (Haryati, M. 2008: 152). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang
disusun
dan
dilaksanakan
oleh
masing-masing
satuan
pendidikan/sekolah. Terkait dengan penyusunan KTSP ini, BSNP telah membuat panduan penyusunan KTSP. Panduan ini diharapkan menjadi acuan
bagi
satuan
SMA/MA/SMALB,
pendidikan dan
SD/MI/SDLB,
SMK/MAK
dalam
SMP/MTs/SMPLB, penyusunan
dan
pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan
yang
bersangkutan.
Departemen
pendidikan
nasional
mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disusun oleh tingkat satuan pendidikan masing-masing, dalam hal ini sekolah yang bersangkutan,
walaupun masih tetap mengacu pada rambu-rambu nasional. Panduan penyusunan KTSP yang disusun oleh badan independen yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Muslich, M. 2007: 17-18). Penyusunan KTSP dengan memperhatikan acuan operasional sebagai berikut. a. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia b. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik c. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan d. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional e. Tuntutan dunia kerja f. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni g. Agama h. Dinamika perkembangan global i. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan j. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat k. Kesetaraan gender l. Karakteristik satuan pendidikan KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik b. Beragam dan terpadu c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan e. Menyeluruh dan berkesinambungan f. Belajar sepanjang hayat g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (Muslich, M. 2007: 11). 3. Sumber Belajar a.
Hakikat sumber belajar Proses pembelajaran sebagai suatu proses merupakan suatu sistem yang tidak dapat lepas dari komponen – komponen lain yang saling berinteraksi didalamnya. Salah satu komponen yang dalam proses tersebut adalah sumber belajar. Sumber belajar adalah daya yang bisa di manfaatkan guna kepentingan proses pembelajaran baik secara langsung maupun secara tidak langsung sebagian maupun keseluruhan. (Nana sudjana dan Ahmad rivai, 2007:76) Menurut Abdul Majid (2008:170) menyatakan bahwa sumber belajar dapat diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan sekitar, benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai wahana bagi peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku. Sumber belajar akan bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui suatu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Jika tidak maka tempatataulingkungan aslam sekitar, benda,
orang, dan atau buku hanya sekedar tempat,benda, orang atau buku yang tidak berarti apa-apa. Selain pendapat diatas, menurut Suhardi (2007:5) sumber belajar biologi adalah segala sesuatu baik benda maupun gejala lainya, yang dapat dipergunakan untuk memperoleh pengalaman dalam rangka pemecahan
permasalahan
biologi
tertentu.
Wallington
(1970)
menyatakan bahwa peran utama sumber belajar membawa dan menyalurkan stimulus dan informasi kepada siswa (Nana sudjana dan ahmad rivai, 2007:78). b.
Fungsi sumber belajar Menurut Suhardi (Depdikbud,1981:163-164) Sumber belajar memiliki fungsi antara lain: 1) Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: a) Mempercepat laju belajar, dan menggunakan waktu lebih baik b) Mengembangan kegairahan belajar c) Memberikan kegiatan lebih ke arah individual 2) Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: a) perencanaan program pembelajaran yang lebih sistematis, b) pengembangan
bahan
pengajaran
yang
penelitian berdasarkan fakta. 3) Lebih memantapkan pembelajaran dengan cara,
dilandasi
oleh
a) meningkatkan kemampuan dengan fasilitas berbagai media komunikasi b) Penyajian informasi dan bahan secara lebih konkrit. c) Mengurangi sifat verbalistik danabstrak dengan kenyatan yang kongkrit. Fungsi – fungsi diatas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa. c.
Manfaat sumber belajar Manfaat sumber belajar antara lain: 1) Memberikan pengalaman belajar secara langsung dan konkret kepada peserta didik, misal: karyawisata ke objek-objek seperti kebun raya, pantai, kebun binatang. 2) Dapat
menyajikan sesuatu yang tidak memungkinkan, di
kunjungi atau dilihat secara langsung dan konkret, misal: denah, sketsa, foto. 3) Dapat menambahkan dan memperluas cakrawala sajian yang ada didalam kelas, misalnya: denah dan foto 4) Dapat memberika data yang akurat dan terbaru, misal: jurnal penelitian. 5) Dapat
membantu
memecahkan
masalah
pendidikan
(instruksional) baik dalam lingkup mikro maupun makro, misalnya: secara makro sistem belajar jarak jauh melalui
modul, secara mikro pengaturan ruang lingkup (lingkungan) yang menarik. 6) Dapat memberikan motivasi yang positive apabila diatur dan direncanakan pemanfaatanya secara tepat. 7) Dapat merangsang untuk berfikir, bersikap dan berkembang lebih lanjut. (Ahmad Tohari dalam Peri Pirdaus, 2008: 15) d.
Jenis-jenis sumber belajar Ditinjau dari jenisnya sumber belajar di bedakan menjadi, 1) Sumber
belajar
yang
siap
digunakan
dalam
prose
spembelajaran tanpa ada penyederhanaan dan atau modifikasi (by Utilization) 2) Sumber belajar yang disederhanakan dan atau dimodifikasi (dikembangkan/by design) (Suhardi,2008:5) Klasifikasi lain yang biasa dilakukan terhadap sumber belajar yang biasa dilakukan terhadap sumber belajar adalah sebagai berikut: 1) Sumber belajar tercetak: buku, majalah, brosur, koran, poster, denah, ensiklopedia, kamus, booklet, dan lain-lain 2) Sumber belajar noncetak: film, slides, video, model, audiocassette, transparansi, realia, objek, dan lain-lain 3) Sumber belajar berbentuk fasilitas: perpustakaan, ruangan belajar, carrel, studio, lapangan olahraga, dan lain-lain 4) Sumber belajar berupa kegiatan: wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi, permainan, dan lain-lain
5) Sumber belajar berupa lingkungan di masyarakat: taman, terminal, toko, pabrik, museum, dan lain-lain (Nana sudjana dan Ahmad rivai.2007: 80) e.
Syarat-syarat sumber belajar Memilih sumber belajar harus didasarkan atas kriteria tertentu yang secara umum terdiri dari dua macam ukuran, yakni kriteria umum dan kriteria berdasarkan tujuan. (Nana sudjana dan Ahmad rivai.2007: 84-86) 1) Kriteria umum, misalnya: a) Economis b) Praktis dan sederhana c) Mudah diperoleh d) Bersifat fleksibel e) Komponen-komponenya sesuai dengan tujuan 2) Kriteria berdasarkan tujuan a) Sumber belajar guna memotivasi b) Sumber belajar untuk tujuan pengajaran c) Sumber belajar untuk penelitian d) Sumber belajar untuk memecahkan masalah e) Sumber belajar untuk presentasi Pemilihan suatu sumber belajar perlu dikaitkan dengan tujuan yang ingin di capai dalam proses pembelajaran. Dengan demikinan sumber belajar dipilih dan digunakan dalam proses belajar apabila
sesuai dan menunjang tercapainya tujuan (Mulyasa dalam Dwi, 2009:18) . tetapi pemanfaatnya secara efektif harus memperhatikan syarat-syarat antara lain: 1) Kejelasan potensinya Sesuatu yang akan dijadikan sebagai sumber belajar harus diketahui potensinya terlebih dahulu. Dalam penelitian ini akan diketahui potensi gedung walet di Pantai Congot sebagai sumber belajar materi ekosistem. 2) Kesesuaian dengan tujuan Dalam proses pembuatan, pengembangan dan pemanfaatan suatu sumber belajar selain potensi yang dimiliki juga perlu mengetahui tujuanya. Tujuan ini terkait dengan kurikulum yang dipaparkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikatornya.
Tujuan
dalam
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui apakah gedung walet di Pantai Congot berpotensi sebagai sumber belajar. Yang hasil penelitian ini dalam bentuk modul mengenai materi ekosistem. 3) Kejelasan dengan sasaran Sasaran dalam pemanfaatan sumber belajar menjadi penting karena setiap subjek didik memiliki perbedaan kemampuan intelektual atau kognitif. Yang menjadi sasaran penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP semester 2. 4) Kejelasan informasi yang diungkap
Informasi yang di sampaikan dari sumber belajar menjadi tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi subjek didik tinggal bagaimana proses pembelajaran dilakukan sehingga dapat memaksimalkan sumber belajar ini. Gedung walet di Pantai Congot memberikan informasi yang cukup karena di gedung walet di Pantai Congot terdapat bermacam-macam komponen ekosistem yang saling berinteraksi. 5) Kejelasan pedoman eksplorasinya Untuk memanfaatkan suatu sumber belajar diperlukan pedoman dalam eksplorasi yang berfungsi sebagai pengarah untuk mencapai tujuan. Dalam kegiatan pembelajaran dapat diarahkan dengan menggunakan modul. Penelitian ini akan menghasilkan bentuk modul untuk mempelajari materi ekosistem. 6) Kejelasan perolehan yang diharapkan Setiap pemanfaatn suatu sumber belajar harus diketahui juga hal apa yang ingin diperoleh dari kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan sumber belajar tersebut. Kejelasan perolehan yang diharapkan terkait dengan tujuan pembuatan, pengembangan, dan pemanfaatn sumber belajar serta tujuan pembelajaran itu sendiri.
4. Bahan Ajar Menurut Dikmenjur yang dimaksud dengan bahan ajar adalah seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan bahan ajar memungkinkan
siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau KD
secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Prinsip-prinsip dalam memilih bahan ajar meliputi: a. Prinsip relevansi Prinsip relevansi artinya materi pembelajaran hendaknya relevan memiliki keterkaitan dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. b. Prinsip konsistensi Prinsip konsistensi artinya adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. c. Prinsip kecukupan Prinsip kecukupan artinya artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika
terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya (Depdiknas, 2006: 1-2). Bahan ajar disusun bertujuan: a. Menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial peserta didik. b. Membantu peserta didik dalam memperoleh alternatif bahan ajar disamping buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh. c. Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Jenis bahan ajar menurut Bandono (2009), antara lain yaitu: 1) Bahan ajar pandang (visual) terdiri atas bahan cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto atau gambar, dan non cetak (non printed) seperti model atau maket. 2) Bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. 3) Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk, film. 4) Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CAI (Computer Assisted Instruction), CD (compact disk), multimedia pembelajaran interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web based learning materials).
Menurut Chomsin S. Widodo dan Jasmadi (2008: 42), bahan ajar harus dikembangkan sesuai dengan kaidah-kaidah pengembangan bahan ajar. Rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam pembuatan bahan ajar adalah: 1) Bahan ajar harus disesuaikan dengan peserta didik yang sedang mengikuti proses belajar mengajar. 2) Bahan ajar diharapkan mampu mengubah tingkah laku peserta didik. 3) Bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik diri. 4) Program belajar mengajar mengajar yang akan dilangsungkan 5) Di dalam bahan ajar telah mencakup tujuan kegiatan pembelajaran yang spesifik 6) Guna mendukung ketercapaian tujuan, bahan ajar harus memuat materi pembelajaran secara rinci, baik untuk kegiatan dan latihan. 7) Terdapat evaluasi sebagai umpan balik dan alat untuk mengukur tingkat keberhasilan peserta didik. Menurut Padmo, D. (2004: 418-423) bahwa tahapan pengembangan sistem
pembelajaran
meliputi
analisys,
design,
development,
implementation dan evaluation (ADDIE). Pengembangan bahan ajar yang menerapkan pengembangan sistem pembelajaran dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Analisis (Analisys) Penulis melakukan kegiatan analisis yang meliputi: analisis kompetensi,
analisis
karakteristik
peserta
didik,
dan
analisis
instruksional. b. Tahap perancangan (design) Berdasarkan kegiatan analisis selanjutnya dilakukan kegiatan perancangan. Pada tahap perancangan dilakukan kegiatan menyusun outline, menentukan sistematika, dan merancang evaluasi. c. Tahap pengembangan dan produksi (Development & Production) Tahap ini terdiri atas empat langkah spesifik yaitu: pra penulisan, draft, review-edit, dan revisi. d. Tahap implementasi (Implementation). e. Tahap evaluasi (Evaluation).
5. Modul Modul merupakan alat atau sarana
pembelajaran yang berisi
materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya. Modul digunakan sebagai sumber belajar secara mandiri sesuai dengan kecepatan masing-masing individu secara efektif dan efisien. Modul memiliki karakteristik stand alone yaitu modul dikembangkan tidak tergantung media lain.
Tujuan penulisan modul meliputi: a. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal. b. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa atau peserta diklat maupun guru/instruktur. c. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti : 1) Meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa atau peserta diklat. 2) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya, 3) Memungkinkan siswa atau peserta diklat belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya. 4) Memungkinkan siswa atau peserta diklat dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya. Modul adalah salah satu bentuk bahan ajar yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar mandiri tanpa atau bimbingan guru, sehingga modul berisi paling tidak tentang segala komponen dasar bahan ajar. Sebuah modul akan bermakna jika peserta didik dapat dengan mudah menggunakanya (Abdul Majid, 2006: 176). Struktur modul dapat bervariasi, tergantung pada karakter materi yang akan disajikan, ketersediaan sumber daya dan kegiatan belajar yang Bahan ajar berbentuk modul setidaknya terdiri atas: a. Judul
akan dilakukan.
b. Petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru) c. Kompetensi yang akan dicapai d. Informasi pendukung e. Latihan-latihan f. Petunjuk kerja, dapat berupa Lembar Kerja (LK) g. Evaluasi penilaian Pedoman penulisan modul yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2003, maka modul yang dikembangkan harus mampu meningkatkan motivasi dan efektivitas penggunanya. Modul tersebut harus memperhatikan karakteristik modul, yaitu self instructional, self contained, stand alone, adaptif dan user friendly. a. Self Instructional Ketergantungan kepada orang lain harus dikurangi atau malah dihilangkan ketika seorang peserta didik menggunakan bahan ajar tersebut. Peserta didik mampu membelajarkan diri sendiri dengan modul yang dikembangkan tersebut, inilah yang dimaksud dengan self instructional. Hal ini sesuai dengan tujuan modul, yaitu agar peserta didik mampu belajar mandiri. Untuk memenuhi karakter self instructional, maka di dalam modul harus terdapat tujuan yang dirumuskan dengan jelas, baik tujuan akhir ataupun dengan tujuan antara. Selain itu, dengan modul tersebut akan memudahkan peserta
didik belajar secara tuntas dengan memberikan materi pelajaran yang dikemas ke dalam unit-unit atau kegiatan yang lebih spesifik. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan modul yang membuat peserta didik untuk belajar mandiri dan memperoleh ketuntasan dalam proses pembelajaran adalah: 1) Memberikan contoh dan ilustrasi yang menarik dalam rangka mendukung pemaparan materi pelajaran. 2) Memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memberikan umpan balik atau mengukur penguasaannya terhadap materi yang diberikan
dengan
memberikan
soal-soal latihan,
tugas
dan
sejenisnya. 3) Kontekstual yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan lingkungan siswa. 4) Bahasa yang digunakan cukup sederhana dan yang lebih penting adalah bahasa tersebut harus komunikatif karena peserta didik hanya berhadapan dengan buku ketika mereka belajar secara mandiri. 5) Memberikan rangkuman materi pembelajaran, untuk membantu peserta didik membuat sebuah catatn-catatan selama mereka belajar mandiri. 6) Mendorong peserta didik untuk melakukan self assessment dengan memberikan instrumen penilaian/assessment. 7) Terdapat instrumen yang dapat digunakan menetapkan tingkat penguasaan materi untuk menetapkan kegaiatan belajar selanjutnya.
8) Tersedia
informasi
tentang
rujukan/pengayaan/referensi
yang
mendukung materi pembelajaran yang dimaksud. b. Self Contained Self contained yaitu seluruh materi pelajaran dari satu kompetensi atau subkompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh. Tujuan konsep ini adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari materi pelajaran secara tuntas, karena materi dikemas dalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus dilakukan pembagian atau pemisahan materi dari satu kompetensi/subkompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik. c. Stand Alone (Berdiri Sendiri) Stand alone yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung bahan ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain. Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta didik masih menggunakan dan bergantung pada bahan ajar lain selain modul yang digunakan tersebut, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan sebagai modul yang berdiri sendiri. d. Adaptif Modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul tersebut dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, fleksibel digunakan di berbagai tempat, serta isi materi
pembelajaran dan perangkat lunaknya dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu. e. User Friendly Modul hendaknya juga memenuhi kaidah ‘user friendly’ atau bersahagat/akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya,
termasuk
kemudahan
pemakai
dalam
merespon,
mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan termasuk user friendly. Untuk
menghasilkan
modul
pembelajaran
yang
mampu
memerankan fungsi dan perannya dalam pembelajaran yang efektif, modul perlu dirancang dan dikembangkan dengan mengikuti kaidah dan elemen yang mensyaratkannya. Elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam menyusun modul, antara lain konsistensi, format, organisasi dan spasi/halaman kosong (Widodo, C. S. dan Jasmadi, 2008: 43-51).
6. Program Pengayaan Program pengayaan diberikan kepada siswa yang terlebih dahulu berhasil. Program pengayaan mempunyai ciri-ciri khusus, berbeda dengan program pembelajaran remedial ataupun program pembelajaran reguler. Guru dapat menentukan kompetensi dasar plus yang akan diberikan
kepada siswa. Kompetensi plus dapat diartikan lebih mendalam ataupun lebih luas dibandingkan kompetensi sebelumnya. Dalam program pengayaan, guru tidak dituntut adanya variasi model belajar, namun penentuan model belajar yang sesuai dengan siswa akan lebih menguntungkan siswa, akan lebih efektif dan efisien dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan program ini. Wujud program pengayaan lebih bebas dibandingkan dengan program remedial, maupun program pembelajaran reguler. Guru dapat melakukan persiapan dan diakhiri dengan evaluasi serta penilaian untuk melihat efektivitas dan efisiensinya program (Subali, B. dan Paidi, 2009: 71). Guru tidak boleh mengabaikan atau menelantarkan siswa yang memiliki kecepatan lebih dalam pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. Siswa tersebut perlu mendapatkan tambahan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kapasitasnya, melalui program pengayaan. Cara yang dapat dilakukan kaitannya dengan program pengayaan antara lain sebagai berikut: a. Pemberian materi tambahan atau berdiskusi tentang suatu hal yang berkaitan dengan materi ajar berikutnya, bersama teman kelompoknya yang mengalami hal serupa dengan tujuan memperluas wawasannya. b. Menganalisis tugas-tugas yang diberikan oleh guru, sebagai materi ajar tambahan. c. Mengerjakan soal-soal latihan tambahan yang bersifat pengayaan.
Program pengayaan diberikan sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dipelajari berikutnya. Program pengayaan dapat diberikan kepada peserta didik yang telah mengikuti tes atau ujian dari kompetensi dasar tertentu, ujian blok dari sejumlah kompetensi dasar dan ujian blok terakhir atau ujian semester (Haryati, M., 2008: 112-113).
7. Standar Penilaian Buku Sains Menurut Depdiknas (2003), standar penilaian dirumuskan dengan melihat tiga aspek utama yaitu materi, penyajian, dan bahasa/keterbacaan. a. Aspek Materi Standar yang berkaitan dengan aspek materi adalah: 1) Kelengkapan materi 2) Keakuratan materi 3) Kegiatan yang mendukung materi 4) Kemutakhiran materi 5) Upaya meningkatkan kompetensi sains siswa 6) Pengorganisasian materi mengikuti sistematika keilmuan 7) Kegiatan
pembelajaran
mengembangkan
ketrampilan
kemampuan berpikir. b. Aspek Penyajian Standar yang berkaitan dengan aspek penyajian adalah: 1) Organisasi penyajian umum 2) Organisasi penyajian per bab
dan
3) Materi disajikan dengan mempertimbangkan makna dan manfaat 4) Melibatkan siswa secara aktif 5) Mengembangkan proses pembentukan pengetahuan 6) Tampilan umum menarik 7) Variasi dalam penyampaian materi 8) Meningkatkan kualitas pembelajaran 9) Anatomi buku pelajaran sains 10) Memperhatikan kode etik dan hak cipta 11) Memperhatikan kesetaraan gender dan kepedulian lingkungan c. Aspek Bahasa/Keterbacaan Standar yang berkaitan dengan aspek keterbacaan adalah: 1) Bahasa Indonesia yang baik dan benar 2) Peristilahan 3) Kejelasan bahasa 4) Kesesuaian bahasa
B. Kajian Keilmuan 1. Karakteristik Burung Walet Walet adalah burung penghasil sarang yang dibentuk dari air liurnya. Air liur walet diproduksi oleh kelenjar saliva yang terletak di bawah lidah (Harrison, 1975: 106).
a. Sistematika Burung Walet Tingkatan taksonomi walet adalah sebagai berikut. Kingdom
: Animalia
Fillum
: Chordata
Subfillum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Ordo
: Apodiformes
Familia
: Apodidae
Genus
: Collocalia
Spesies
: Aerodramus fuciphagus (walet putih) Hydrochous gigas (walet besar) Aerodramus maximus (walet sarang hitam) Aerodramus vulcanorum (walet gunung) Aerodramus salanganus (walet sarang lumut) Collocalia esculenta (walet sapi/sriti)
b.Morfologi Burung Walet Menurut Abdullah Abd. Kadir Alhaddad (2003: 16-18), secara umum, ciri-ciri burung yang dikelompokkan dalam keluarga walet adalah sebagai berikut: 1) Memiliki daya jelajah/kemampuan terbangnya hingga ratusan kilometer dengan kecepatan 150 km/jam.
2) Memiliki sayap yang panjang dan runcing. 3) Bentuk tubuhnya ramping mirip burung gereja. Stuktur tubuh ini
sangat
cocok
untuk
menghalau
arus
udara
dari
depan/bersifat aerodinamis. 4) Panjang tubuhnya antara 9-15 cm. 5) Ekor umumya bercabang 2 dengan belahan yang bervariasi, yakni ada yang dalam dan ada yang dangkal. 6) Mata bulat dan cekung. 7) Ukuran paruhnya relatif kecil dengan bukaan lebar, sehingga mampu menangkap dan memangsa serangga sambil terbang. Seperti burung pemakan serangga umumnya, paruh walet berbentuk segi tiga. Walet biasa menangkap serangga yang sedang terbang. Oleh karena itu, ujung paruh membentuk sedikit lengkungan ke bawah. 8) Indera penciumannya sangat tajam. Aroma yang hampir tidak tercium oleh manusia, bisa tercium oleh kelompok walet, khususnya spesies Aerodramus fuciphagus. 9) Kaki berukuran sangat kecil dan stukturnya sangat lemah, sehingga tidak cukup kuat untuk berjalan. Namun, justru dengan struktur kaki yang seperti ini membuet ini mampu merayapi dinding-dinding gua yang kasar, terutama saat membuat sarang.
10) Makanannya berupa serangga-serangga kecil yang beterbangan di uadara dan ditangkapnya sembari terbang. 2. Jenis-jenis Burung Walet Spesies walet biasanya dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, warna bulu, dan bahan yang dipakai untuk membuat sarang. Indonesia dengan kondisi lingkungan yang ideal bagi habitat walet memiliki enam jenis walet (Budiman, 2005: 19). Walet dan kapinis sering dikacaukan dengan sebutan burung layang-layang. Memang, kedua jenis burung tersebut gemar terbang melayang di udara sehingga dari jarak jauh sulit dibedakan. Padahal, walet berbeda sekali dengan kapinis meskipun keduanya memakan senggga terbang. Burung walet (swiftlet) tergolong dalam suku Apodidae. Kenampakan jenis burung ini hampir mirip, sehingga sangat sulit dibedakan saat terbang. Burung ini terbangnya cepat, jarang sekali bertengger karena kakinya sangat kecil dan lemah tetapi mempunyai kemampuan terbang yang tinggi dan mampu terbang sepanjang hari. Warna bulunya sebagian besar hitam, sayapnya melengkung dengan ekor rata-rata bercelah. Sarang dibuat dari air liur atau ada tambahan lain, seperti bulu dan rerumputan yang direkat dengan air liur (Budiman, 2005: 19). Menurut Pramana Yuda (1999: 2) pada awalnya dan pada umumnya para ahli menggolongkan burung walet dalam marga Collocalia. Adanya perbedaan morfologi (misalnya warna bulu, ada tidaknya bulu di
tarsal) dan perilaku (kemampuan ekolokasi) menyebabkan walet dipecah menjadi tiga marga yaitu Collocalia, Aerodramus, dan Hydrochous. Andrew (1992) juga menggunakan klasifikasi yang terakhir untuk 12 jenis walet yang ada di Indonesia (Tabel 1). Menurut Mardistuti(1997) dalam Pramana Yuda (1999:2) jenis walet di Indonesia yang sarangnya biasa dimakan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi serta telah lama diperdagangkan adalah Walet sarang putih (Aerodramus fuciphagus), Walet sarang hitam (Aerodramus maximus), dan Walet sapi atau Sriti (Collocalia esculenta).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 1. Jenis-jenis Walet di Indonesia (Andrew, 1992) Nama Inggris Nama Ilmiah Hydrochous gigas Waterfall Swift Bare-legged Swiftlet Aerodramus nuditarsus Three-toed Swiftlet Aerodramus papuensis Volcano Swiftlet Aerodramus vulcanorum Edible-nest Swiftlet Aerodramus fuciphagus Uniform Swiftlet Aerodramus vanikorensis Mossy-nest Swiftlet Aerodramus salanganus Mountain Swiftlet Aerodramus hirundinacea Moluccan Swiftlet Aerodramus infuscatus Blact-nest Swiftlet Aerodramus maximus Glossy Swiftlet Collocalia esculenta Linchi Swiftlet Collocalia linchi
Menurut Andrew (1992), dari 12 jenis walet yang ada di Indonesia hanya 6 jenis walet yang hidup di Jawa (Tabel 2). Berikut ini ciri-ciri dari keenam jenis walet yang hidup di Pulau Jawa, yaitu walet putih, walet besar, walet sarang hitam, walet gunung, walet sarang lumut, dan walet sapi/ sriti.
1. Walet putih (Aerodramus fuciphagus) Walet putih disebut demikian karena menghasilkan sarng berwarna pituh. Bulu walet ini berwarna cokelat kehitam-hitaman dengan bulu bagian bawah keabuan tau cokelat. Bulu ekor sedikit bercelah. Suaranya melengking tinggi. Walet putih termasuk walet berukuran sedang dengan panjang tubuh sekiatar 12 cm. mata berwarna cokelat gelap, paruh hitam, dan kaki hitam. Walet putih banyak terdapat Asia Tenggara, Filipina, Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali (Budiman, 2005: 22). Sayap walet putih lebih kaku dan terbang juga lebih kuat. Bila walet ini mencari makan jarang berputar-putar di tempat yang rendah. Walet putih lebih suka mencari makan dekat pohon tinggi yang banyak serangga-serangga kecil. Walet jenis ini juga sering terlihat meluncur ke dalam air untuk mandi dan minum, kemudian terbang lagi. Di dalam, sarangnya terletak di celah-celah batu karang, pantai, atau gua kapur yang sulit dicapai. Sarang tersebut seluruhnya terbuat dari air liur sehingga harga mahal dan sering dicari pemetik sarang walet. Telurnya berwarna putih dan berbentuk memanjang. Biasanya walet putih hanya bertelur dua butir. Walet putih bersarang secara musiman, tergantung pada tempat bersarang yang dipilihnya (Abdullah Abd, 2003: 18-19).
2. Walet besar (Hydrochous gigas) Jenis walet ini berwarna hitam dengan bulu bagian bawah cokelat gelap. Bulu ekor agak bercelah. Suaranya keras dan berderik. Walet besar
merupakan
jenis
walet
yang
berukuran
paling
besar
dibandingkan jenis walet lainnya. Panjang tubuhnya sekitar 16 cm. walet ini banyak terdapat di semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, terutama di daerah perbukitan dan hutan-hutan pegunungan di setiap ketinggian (Budiman, 2005: 22). Sayap dan tubuhnya lebih besar sehingga walet ini dapat terbang lebih tinggi dan lebih cepat. Ketika terbang, wal;et besar memangsa serangga-serangga kecil yang menjadi makanannya. Walet besar lebih suka bersarang pada lubang-lubang batu (gua kecil) atau celah-celah batu dekat air terjun. Sarangnya tidak dapat dimakan. Sarang ini berbentuk mangkok yang terbuat dari campuran akar-akar, lumut, dan serat-serat. Dibandingkan dengan walet jenis lain, sarng walet besar termasuk kotor dan bentuknya tidak beraturan. Jika bertelur, biasanya hanya sebutir. Warna telur putih dan bentuknya agak lonjong. Walet besar biasanya memasuki musim bersarang pada bulan November dan Desember (Budiman, 2005: 22). 3. Walet sarang hitam (Aerodramus maximus) Warna bulu walet ini cokelat kehitam-hitaman dengan bulu ekor cokelat kelabu. Bulu ekor bercelah sedikit. Kakinya berbulu rata. Ukuran tubuhnya sedang. Panjang tubuhnya sekitar 12 cm. jika dilihat
sepintas, penampilannya sangat mirip dengan walet putih. Matanya berwarna cokelat tua, paruh hitam, dan kaki hitam. Tidak seperti walet lain, jenis ini suaranya terdengar mencicit. Walet sarang hitam banyak terdapat di Himalaya Timur, Filipina, Palawan, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Walet jenis ini dapat dijumpai di daerah pesisir pantai atau pegunungan kapur. Walet ini juga memakan serangga-serangga kecil yang disambarnya ketika terbang. Untuk lokasi sarang, lebih menyukai gua-gua kapur. Sarangnya disebut sarang hitam karena air liur untuk membuat sarang bercampur dengan bulu-bulu tubuhnya yang berwarna hitam. Tentu saja, kualitas sarangnya lebiih rendah. Dibandingkan dengan sarang walet putih. Telurnya hanya satu butir. Warna telur putih dan berbentuk memanjang. Musim kawinnya sama dengan walet putih (Budiman, 2002: 23-24). 4. Walet gunung (Aerodramus vulcanorum) Warna walet ini hitam, tetapi warna ekornya abu-abu. Kehitaman. Bulu ekor bercelah dalam. Kakinya sedikit berbulu atau tidak berbulu sama sekali. Suaranya khas suara walet yang berderik. Ukuran tubuhnya tergolong besar. Panjang tubuhnya sekitar 14 cm. Walet gunung banyak terdapat di Himalaya, Cina, Asia Tenggara, Filipina, Palawan, Andaman, Sumatera, dan Jawa Barat, terutama di daerah pegunungan yang paling tinggi. Walet ini terbang berkelompok dengan cepat di dekat tebing atau puncak gunung. Serangga-serangga kecil makanannya akan disantap ketika terbang. Sarang dibuat di celah-
celah batu. Biasanya sarang dibangun pada bekas kawah atau puncak pegunungan. Oleh karena terbuat dari rumput-rumputan dan hanya sedikit atau tidak ada air liur pada bahan sarangnya maka sarang walet gunung tidak dapat dimakan. Pada musim kawin, biasanya bertelur dua butir (Budiman, 2005: 24-25). 5. Walet sarang lumut (Aerodramus salanganus) Bulu walet ini berwarna cokelat kehitaman, tetapi warna ekor lebih gelap. Ekornya hanya sedikit bercelah. Dilihat dari jauh, penampilan di lapangan mirip dengan walet putih. Suaranya melengking tinggi. Tubuhnya berukuran sedang. Panjang tubuhnya sekitar 12 cm. walet sarang lumut banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, sampai daerah Pasifik Barat Daya (Budiman, 2005: 25). Jenis walet ini jarang dikenal orang karena sulit ditemui. Sarangnya dibangun pada bagian-bagian gua yang lebih dalam dan sangat sukar untuk dicapai. Walet sarang lumut kuat terbang jauh dan tinggi. Jarang sekali terbang berputar-putar rendah dekat permukaan tanah. Sambil terbang, walet ini langsung memangsa seranggaserangga kecil. Sarangnya bagus dengan permukaan yang halus dan bentuknya lebih bundar. Lumut digunakan untuk tambahan sarang sehingga sarangnya disebut sarang lumut (Budiman, 2002: 21).
6. Walet sapi (Collocalia esculenta) Walet ini berbulu hitam kebiru-biruan dengan warna mengkilap. Bulu bagian bawah kelabu gelap dan bagian perut agak putih. Ekornya sedikit bercelah. Walet sapai merupakan jenis walet yang berukuran paling kecil. Panjang tubuhnya hanya sekitar 10 cm. matanya berwarna cokelat gelap, paruh hitam, dan kaki hitam. Suaranya melengking tinggi. Walet sapi banyak terdapat di Asia, Himalaya, Cina, Asia Tenggara, Papua Nugini, dan Australia. Di Indonesia, walet jenis ini banyak ditemukan di daerah Jawa dan Kalimantan. Habitatnya meliputi semua ketinggian permukaan, baik di padang rumput berpohon terbuka maupun hutan (Budiman, 2005: 25). Walet sapi terbang berkelompok, tetapi tidak beraturan. Walet ini tidak kuat terbang jauh. Biasanya terbang rendah hanya berputar-putar di dekat permukaan tanah atau sungai untuk mandi dan minum. Jika mencari makan, sering mengitari pohon-pohon besar dan tinggi yang banyak serangganya, terutama lebah kecil. Sarangnya berbentuk tidak beraturan, terdiri dari campuran lumut dan rumput yang direkatkan dengan air liurnya. Pada celah gua yang terang, celah batu, atau sudut bangunan, walet sapi dapat bersarang. Jika bertelur biasanya hanya dua butir. Telurnya berwarna putih dan agak lonjong. Walet sapi bersarang tidak tergantung pada musim kawin sehingga bisa bersarang sepanjang tahun (Budiman, 2002: 20).
3. Distribusi Burung Walet Menurut Andrew (1992), dari 12 jenis walet yang ada di Indonesia hanya 6 jenis walet yang hidup di Jawa (Tabel 2). Jenis walet yang ditemukan di Yogyakarta ada dua jenis yaitu Walet putih dan Sriti. 4. Habitat Burung Walet Burung walet adalah burung aerial, sepanjang hari terbang tanpa istirahat, di udara mencari makan yang berupa serangga terbang. Burung ini mencari makan di beberapa tipe habitat yaitu hutan, sawah, tegal, sungai, dan rawa. Sedangkan tempat istirahat pada malam hari dan berbiaknya di gua-gua atau celah-celah batu (Yuda, 1999: 2). Menurut Djuwantoko (1999: 18) pada habitat aslinya, walet ditemukan bersarang di gua-gua yang terpencil karena walet lebih suka membangun sarangnya di tempat yang lembab, tenang, aman, dan belum tercemar oleh polusi udara. Umumnya, gua tersebut terletak di tebing-tebing yang curam dekat laut lepas. Di sekitar gua biasanya dikelilingi oleh hutan lebat. Walet lebih suka jika daerah itu memiliki perairan (sungai atau danau), padang rumput, dan pepohonan yang tinggi serta rimbun. Pada daerah seperti ini, banyak terdapat serangga-serangga kecil yang merupakan makanan walet. Di Indonesia walet terdapat hampir di seluruh provinsi. Walet tidak menyukai daerah yang tandus. Walaupun terbangnya tinggi, walet tidak menyukai
daerah dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (Budiman, 2005: 26).
No
Tabel 2. Distribusi dan habitat jenis-jenis walet di Indonesia Jenis Walet Distribusi Penyebaran Habitat beristirahat dan berbiak
1
Hydrochous gigas
2 3
Aerodramus nuditarsus Aerodramus papuensis
4
Aerodramus vulcanorum
5 6
Aerodramus fuciphagus Aerodramus vanikorensis Aerodramus salanganus
7 8 9 10
11
Aerodramus hirundinacea Aerodramus infuscatus Aerodramus maximus
Collocalia esculenta/ Collocalia linchi
Sumatera, Jawa
Celah batu, di balik air terjun Irian Gua Irian Gua Jawa Celah batu di puncak Sumatera, Kalimantan, gunung Jawa, Sulawesi, Sunda Gua, atap rumah Kecil Sulawesi,Maluku,Irian Gua Sumatera, Kalimantan, Gua Jawa Irian Gua Sulawesi, Maluku Sumatera, Kalimantan, Gua Jawa Sumatera,Kalimantan, Gua Sulawesi,Maluku,Irian Gua, celah batu, atap ,Jawa rumah/sudut bangunan Sumatera, Sunda Kecil Gua
Sumber: Andrew (1992), MacKinnon(1990) Burung Walet sarang putih (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Collocalia esculenta) juga menggunakan atap rumah-rumah untuk beristirahat, berbiak dan membangun sarangnya. Adaptasi baru ini akhirnya mendorong orang untuk mengembangkan budidaya rumah walet (Yuda, 1999: 2).
5. Pola Hidup Burung Walet Walet merupakan burung yang hidup secara berkelompok atau berkoloni. Walaupun anggota suatu kelompok dapat pindah ke kelompok lain, tetapi tidak ada walet yang hidup memisahkan diri dari lainnya. Tidak pernah dalam suatu rumah walet terjadi perselisihan antar kelompok. Walaupun hidup berdesak-desakkan di satu tempat, walet tidak saling mengusik walet lainnya. Jumlah anggota suatu kelompok walet berbedabeda, tergantung besar kecilnya tempat tingal. Semakin besar tempat tinggal walet maka semakin besar pula anggota kelompoknya. Dalam suatu rumah atau gua dapat dihuni oleh beberapa kelompok. Walet berkelompok dalam segala kegiatan hidup. Walet berkelompok antara lain untuk berburu serangga ke hutan atau peladangan. Pagi hari berangkat bersama dan sore hari pulang bersama kembali. Suatu kelompok walet akan membangun sarang-sarang secara berdekatan pada tempat tinggalnya (Budiman,2005: 26-27). Burung walet keluar dari huniannya saat matahari baru muncul dan pulang saat matahari akan tenggelam setelah senja hari dan keadaan rumah atau gua tempat tinggalnya saat itu sangat gelap. Untuk mengetahui dengan tepat posisi sarang, walet mengeluarkan suara melengking atau suara krincing. Suara dipantulkan kembali oleh dinding rumah atau gua tempat bersarangnya, menuntun walet untuk mengetahui lokasi dalam ruangan. Itulah sebabnya walet dapat masuk ke dalam gua yang gelap di malam hari tanpa kesulitan. Namun, ada pengecualian, jenis walet besar
dan walet sapi tidak menggunakan ekolokasi. Keadaan ini berlaku untuk walet yang bertempat tinggal di tempat yang cukup terang (Adisoemarto, 1999: 37). Pada musim membuat sarang dan bertelur, walet pulang lebih cepat dari hari biasanya. Walet adalah tipe burung yang memiliki sifat homing behavior. Walet terikat pada tempat tinggalnya dan senantiasa akan pulang ke tempat itu lagi selama keadaan tempat sesuai dan aman. Selain itu pada burung yang sedang merawat anaknya, waktu untuk berkeliarannya juga terbatas, mereka lebih sering mondar-mandir untuk menyuapi anaknya. Kegiatan ini berhenti hingga anaknya bisa terbang dan dapat mencari makan sendiri. Menjelang matahari tenggelam, burung walet kembali ke huniannya. Biasanya walet terbang lurus sewaktu berburu, sedangkan sewaktu pulang ke rumahnya walet akan terbang berputar-putar mengelilingi rumah. Mereka tidak langsung masuk ke dalam gedung. Setelah seharian berkeliaran, mereka biasanya berputar-putar lebih dahulu di sekitar hunian. Tujuannya adalah untuk meregangkan otot-otot sayapnya sebelum beristirahat pada malam hari. Burung walet beristirahat dengan cara bertengger di sarangnya. Jika belum menghasilkan sarang, burung-burung ini bertengger atau bergelantungan di dinding dan di kerangka-kerangka kayu di hunian rumah dengan cara mencengkeramkan kaki-kakinya (Djuwantoko, 1999: 17-19) .
6. Perkembangbiakan Burung Walet Aktifitas pembuatan sarang bagi bangsa burung merupakan salah satu aktifitas dalam proses reproduksinya. Menurut Miller (2005: 337) aktifitas reproduksi burung meliputi penentuan daerah kekuasaan (teritorial), menemukan pasangan, membangun sarang, pengeraman telur, dan pengasuhan anak. Hormon-hormon yang terlibat dalam reproduksi berasal dari tiga bangunan utama: hipothalamus, pituitaria, dan gonad. Hipothalamus menilai status hormon internal burung dan menerima input dari stimulus eksteroreseptif. Penilaian dan perbandingan informasi ini menagibatkan produksi RH (releasing hormon) yang disekresikan melalui darah portal. Kelenjar pituitaria menerima sinyal hipothalamus lewat darah ini dan memperbesarnya dengan melepaskan hormon trofik yang tepat. Ovarium atau testis distimulasi oleh gonadotrofin untuk melepaskan hormon steroid, yang beraksi pada traktus reproduksi untuk mengontrol fungsinya pada hipothalamus, dan mungkin pada kelenjar pituitaria sebagai bagian dari sistem umpan balik (Nalbandov, 1990: 206). Faktor klimatik (eksternal) berpengaruh pada aktifitas reproduksi burung. Faktor klimatik seperti suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan kecepatan
angin
akan
mempengaruhi
hipothalamus,
kemudian
hipothalamus akan mempengaruhi kelenjar pituitaria anterior. Kelenjar pituitaria
anterior
akan
mensekresi
hormon
prolaktin.
Prolaktin
menstimulasi produksi air susu sehingga mempengaruhi perilaku
menyusui atau jika pada bangsa burung adalah perilaku memberi makan anaknya (Miller, 2005: 415). Menurut Nalbandov (1990: 210) lobus anterior kelenjar pituitaria mensekresi glikoprotein TSH (thyroid stimulating hormone), FSH (follicle stimulating hormone), dan LH (luteinizing hormone) maupun hormon protein (atau peptida) kemudian tumbuh hormon prolaktin dan hormon ACTH (adrenocorticotrophic hormone). Hormon prolaktin inilah yang berperan penting dalam proses reproduksi, yaitu menstimulasi sekresi air susu, jika pada burung yaitu perilaku memberi makan pada anak (Nalbandov, 1990: 213). Memasuki usia produktif untuk walet adalah pada usia 8 bulan. Walet mampu bertahan hidup hingga usia 6 tahun. Walet yang sudah dewasa dan produktif dapat diketahui melalui bulunya yang sudah berwarna hitam seluruhnya, sudah tidak terdapat bintik-bintik agak merahnya seperti yang dimiliki walet muda. Walet yang sudah dewasa pada waktu terbang mengeluarkan suara “tek..tek..tek...” sedangkan walet yang belum dewasa tidak mengeluarkan suara. Selain itu ketika walet dewasa memasuki musim kawin, terlihat dua pasang walet terbang beriringan atau berkejar-kejaran. Masa berkembang biak burung walet sarang putih dimulai pada bulan September hingga April atau bersamaan dengan datangnya musim penghujan (Marzuki, 1987).
Pada musim kawin, walet akan saling mencari jodoh dengan jalan berkejar-kejaran di udara. Jantan dan betina akan terbang tinggi saling berkejaran. Pasangan walet yang terbentuk segera mencari tempat yang cocok untuk membangun sarang (Budiman, 2005:29). Sebelum melakukan perkawinan, burung walet betina dan jantan membuat sarang secara bersama-sama dan merekatkannya di tempat yang dianggap aman. Kedua pasangan walet, jantan dan betina, bekerja sama memoleskan air liurnya membentuk sarang. Burung walet jantan menghasilkan rajutan air liur lebih panjang dibandingkan burung walet betina. Sarang walet ini dibuat di malam hari setelah pulang. Pada kerongkongan walet terdapat sepasang kelenjar saliva yang dapat menghasilkan air liur cukup banyak (Budiman, 2005: 28). Pekerjaan membangun sarang dilakukan terus-menerus setiap hari. Proses pembentukan hingga sebuah sarang selesai memerlukan waktu 4080 hari. Saat musim penghujan dan makanan walet berupa serangga banyak terdapat, biasanya burung walet membangun sarangnya selama 40 hari, tetapi saat musim kemarau, pembuatan sarang lebih lama sampai 80 hari (Iswanto, 2002: 34-35). Menurut Pramana Yuda (1999: 4) walet sarang putih memerlukan waktu 33-41 hari untuk membuat sarang utuh. Dalam satu malam burung membuat satu baris air liur sepanjang 45 mm, tinggi 8 mm, dan tebalnya 2.5 mm.
Walet kawin setelah sarang yang dibuat bersama-sama terbentuk dengan bagus dan cukup besar. Perkawinan dapat dilakukan sambil terbang sewaktu walet berburu serangga atau dapat pula dilakukan di dalam sarang (Iswanto, 2002:34). Di luar musim bertelur, ukuran sarang lebih kecil serta bentuk sarang kurang bagus dan tidak beraturan. Sarang ini dibuat hanya sebagai tempat istiharat. Sebaliknya, sarang yang dibuat pada musim bertelur berukuran lebih besar dan bentuknya lebih bagus. Pada saat musim bertelur, sarang digunakan selain untuk beristirahat juga untuk mengerami telur dan membesarkan anaknya (Budiman, 2005: 29). Jika sarang diambil pada musim bertelur, walet akan segera membangun sarang baru kembali. Sarang baru dibuat dalam waktu lebih cepat daripada pembuatan sarang yang telah diambil. Pengambilan sarang sebaiknya jangan berturu-turut. Pengambilan secara beruntun dalam waktu musim bertelur akan merugikan. Walet akan kehilangan rasa aman. Apalagi jika orang yang memetik sarang melakukannya ketika walet sudah pulang dan tengah beristirahat atau mengerami telur (Budiman, 2005: 29). Susunan alat perkembangbiakan burung walet tidak berbeda dengan susunan alat reproduksi burung lainnya. Proses perkawinan bisa berlangsung 5-8 hari, setelah itu barulah walet betina akan segera bertelur. Biasanya walet hanya bertelur dua butir. Perbedaan waktu bertelur pada walet dalam satu rumah paling lambat hanya sekitar satu bulan. Telur hasil
perkawinan diletakkan pada sarang yang terletak di dinding atau langitlangit tempat tinggal. Pengeraman telur juga dilakukan bersama-sama, jantan dan betina akan mengerami telur bergantian sampai saatnya menetas (Budiman, 2005: 29). Anak walet disuapi dari makanan yang dikeluarkan dari paruh induknya. Makanan ini dapat dicerna oleh bayi walet karena sebelumnya telah dilumatkan oleh induknya. Dalam seminggu, bulu sayap anak walet sudah mulai tumbuh. Setelah bulu sayap tumbuh, disusul dengan tumbuhnya
bulu
punggung.
Barulah
seluruh
bulu
tubuh
walet
bermunculan. Pada usia 45 hari setelah menetas, walet sudah kuat terbang untuk mencari makan sendiri. 7. Budidaya Walet Belakangan ini, lokasi hunian walet muncul di berbagai daerah yang terlihat dari banyak gedung-gedung untuk budidaya walet. Namun, produksi sarang walet berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Ada yang ideal sehingga hasil produksi sarangnya cukup besar, dan ada lokasi yang kurang ideal sehingga hasil produksi sarangnya kurang baik (Budiman, 2004: 9-10). Menurut Redaksi Trubus (2005: 28-29) walet dapat dibudidayakan di seluruh kepulauan nusantara. Berdasarkan perilaku dan kebiasaan hidupnya, ada beberapa ciri daerah yang dianggap cocok, diantaranya:
a. Daerah basah yang mempunyai musim hujan lebih dari 6 bulan dalam setahun. b. Daerah hutan tropis. c. Daerah pertanian yang subur, beririgasi baik sehingga banyak air. d. Daerah perikanan yang banyak terdapat tambak, kolam atau genangan air berupa rawa. e. Daerah dataran rendah sampai ketinggian 300 m di atas permukaan laut. f. Daerah yang tidak terlalu banyak angin kencang. g. Daerah yang belum terpolusi oleh industri. h. Daerah yang tidak banyak terdapat musuh alami walet (elang, kelelawar, atau burung hantu). 8. Habitat mikro Burung seperti organisme lainnya, terbiasa hidup di lingkungan khusus. Meskipun salah satu spesies boleh dikatakan memiliki rentang/ daerah atau tersebar, melebihi luas wilayah benua. Dari hasil observasi memperlihatkan bahwa ada batasan untuk tipe tertentu pada lingkungan dan bahwa ada batasan untuk tipe tertentu pada lingkungan dan bahwa ada adaptasi morfologi, fisiologi dan fisiologi kepada kondisi dengan bagianbagian lingkungan tersebut. Segala sesuatu yang berhubungan dengan burung-burung dan lingkungannya disebut ekologi burung (Olin, 1955: 227).
Kondisi atau faktor lingkungan yang membuat burung berdaptasi ada 2, yaitu fisik dan biologi. Faktor-faktor fisik antara lain suhu, cahaya, atmosfer, air, dan tanah. Faktor biologi antara lain ketersediaan dan interaksi berbagai tumbuhan, burung-burung lain, dan hewan-hewan lain. Tidak hanya satu faktor tetapi secara umum dari kombinasinya menentukan keberadaan burung-burung dan perilakunya di sebuah lingkungan tertentu (Olin, 1955: 227). Burung walet
adalah salah satu burung yang membutuhkan
lingkungan khusus agar dapat hidup. Mikrohabitat walet adalah kondisi/ keadaan di dalam rumah walet yang memiliki pengaruh dalam perkembangan populasi burung walet (Hary K, 2006: 39). Kondisi di dalam gedung sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan walet, termasuk dalam membuat sarang. Faktor-faktor mikroklimatik yang mempengaruhi antara lain : suhu, kelembaban, intensitas cahaya, kecepatan angin, dan kondisi sirip (Budiman, 2002: 37). 1. Suhu Suhu udara adalah faktor fisik yang sangat penting di lingkungan burung. Burung memiliki pengaturan fisiologi untuk menentukan suhu udara di daerah dimana burung dapat hidup secara normal tanpa ketidaknyamanan. Luasnya daerah tergantung pada setiap spesies. Beberapa spesies memperlihatkan rentangan toleransi yang luas daripada yang lain. Ketika suhu di atas atau di bawah
rentangan, bagi seekor burung adalah biasa, namun bagi burung yang lain hal itu sudah menjadi masalah (Olin,1955: 227). Suhu berpengaruh bagi burung, antara lain mempengaruhi : a. Persebaran Distribusi seekor burung dibatasi tinggi atau rendahnya suhu udara pada kombinasi dengan faktor-faktor lainnya, seperti panjangnya pencahayaan harian dan ketersediaan makanan. Seekor spesies biasa terbatas pada distribusi arah ke utara oleh temperatur rendah, biasanya dilakukan pada malam hari, dan distribusi arah ke selatan oleh suhu maksimal, yang biasanya dilakukan pada pagi hingga siang hari. Suatu wilayah memiliki kondisi optimal yang khusus untuk spesies tertentu namun dapat juga memiliki keburukan yang ekstrim pada suhu udaranya. b. Migrasi Perubahan suhu yang tiba-tiba dapat mempengaruhi waktu dimulainya perpindahan atau migrasi pada burung. Suhu dapat menjadi faktor yang mengatur perlambatan atau percepatan pergerakan migrasi burung. c. Aktifitas harian Aktifitas burung diurnal dipengaruhi oleh temperatur. Secara umum, keseluruhan aktivitas diperlihatkan pada suhu rendah daripada suhu tinggi. Pada musim panas, burung aktif pada
suhu yang sangat rendah di pagi hari dan siang hari. Selama suhunya
panas,
burung-burung
berlindung
pada
daerah
perlindungan dan tempat tinggal yang relatif tenang. Ketika temperatur lebih tinggi, burung-burung membentangkan sayapsayap mereka dalam suatu jenis tertentu sebagai usaha untuk menurunkan suhu. d. Pulang kandang/ homing Untuk menyesuaikan diri dengan suhu malam hari yang rendah,
burung
diurnal
sering
berlindung
pada
daerah
perlindungan. Selama tidur, bulu-bulu yaitu bulu roma luar berfungsi untuk memberikan kehangatan dari udara diantara bulu dan kulit, dan kepala dilipat ke bawah tulang belikat sayap, disamping itu juga untuk melindungi mata. Kadang-kadang burung berkumpul bersama untuk melindungi masing-masing dari pengaruh udara dingin. e. Kicau Kicauan burung kebanyakan terjadi ketika suhu tidak panas, yaitu pada pagi hari dan sore hari atau saat hari berawan atau cerah. f. Pembuatan sarang Diawali
dengan
mendirikan
daerah
tempat
tinggal,
membangun sarang dan peletakan telur dapat ditunda ketika suhu
rata-rata dibawah normal, atau dapat dipercepat ketika suhu lebih tinggi dari biasanya. Suhu yang lebih dingin dari total banyaknya suhu harian dilibatkan dalam siklus pembuatan sarang dari seekor spesies tertentu. Namun ada pula sebagian spesies burung yang membuat sarang ketika suhu udara panas. Suhu yang lebih rendah mempercepat aktifitas kawin sehingga aktifitas pembuatan sarang pun semakin cepat. g. Pengeraman Waktu yang tidak diperhatikan saat pengeraman akan mengurangi lamanya penetasan telur, seperti peningkatan suhu selama sehari. Jika suhu dibuat lebih tinggi, burung akan meninggalkan atau membiarkan telur-telurnya tanpa perlu dierami. Telur diberi perlindungann dari matahari, hingga suhu menjadi lebih hangat. h. Perilaku anak-anak burung Pengeraman secara bersama-sama dalam sarang ketika suhu rendah supaya suhu lebih tinggi. Tetapi ketika suhu lebih tinggi, induk burung akan memisahkan diri. Ini sebagai usaha dari permukaan tubuh untuk menurunkan panas. i. Molting Proses pembentukan struktur yang penting pada anak burung biasanya terjadi sejak pertengahan musim panas, ketika
suhu meningkat dan bulu-bulu yang kecil dibutuhkan untuk melindungi dari kedinginan. Menurut penelitian yang dilakukan Dr. Boedi Mranata, ahli dan parktisi walet, walet lebih banyak di daerah ketinggian 300 m dpl.
Pada
ketinggian
ini
suhu
udara
berkisar
26-300C
(Budiman,2004: 6). Untuk memenuhi suhu yang dibutuhkan walet maka perlu dipertimbangkan faktor fisik bangunan, seperti ketebalan dinding, jumlah ventilasi, ketebalan atap, dan lebar ruang. 2. Kelembaban Kelembaban berkaitan erat dengan suhu yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan burung. Secara umum, suhu yang tinggi dihubungkan
dengan
kelembaban
yang relatif
rendah.
Kombinasi antara suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah adalah karakter sebuah ruangan. Kadang-kadang kombinasi suhu tinggi dan kelembaban yang tinggi terjadi secar serentak di daerah tropis (Olin,1955: 228). Walet senang tinggal di daerah basah dan lembab. Namun, bukan berarti menyukai daerah pegunungan. Burung ini tidak tahan dingin. Kelembaban ruangan yang ideal 75-90%. Kelembaban yang terlalu tinggi (di atas 100%) akan mempengaruhi kualitas sarang, yaitu sarang berkadar air tinggi dan berwarna kekuning-kuningan.
Kelembaban yang rendah sekitar 50-70% mengakibatkan sarang mudah retak, bentuknya kurang sempurna, dan daging sangat tipis (Budiman.2003: 1-2). Pengaturan kelembaban sangat penting dilakukan karena faktor-faktor berikut : a. Kelembaban udara berpengaruh terhadap suhu ruang. Jika kelembaban tinggi, ada kecenderungan suhu akan turun. Sebaliknya, jika suhu udara tinggi, kelembaban akan turun. b. Kelembaban yang terlalu tinggi (di atas 90%) atau yang terlalu rendah (di bawah 70%) akan berpengaruh terhadap produksi sarang dan kualitas sarang. Untuk mengendalikan kelembaban diperlukan bak-bak air atau kolam, terutama di dalam gedung. Di samping itu, volume air harus terus dijaga agar kelembaban stabil. Air dalam kolam diusahakan segera terbuang keluar. Air yang menggenang dan bercampur kotoran burung, berpotensi mengeluarkan gas-gas yang berbahaya dan menimbulkan polusi udara dalam gedung dan dapat mengganggu kesehatan burung (Budiman, 2003: 1-2). 3. Intensitas Cahaya Adanya cahaya matahari memiliki perbedaan pengaruh pada bermacam-macam spesies burung. Berdasarkan intensitas cahayanya, burung dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Burung diurnal, yaitu burung yang aktif di siang hari. b. Burung crepuscular, yaitu hewan yang aktif di senja hari. c. Burung nocturnal, yaitu burung yang aktif di malam hari. Keseluruhan pengaruh dari bertambahnya waktu penyinaran sepanjang
hari
mendorong
aktifitas
kelenjar
pituitary,
yang
berpengaruh pada perkembangan pusat metabolisme untuk migrasi dan mendorong fungsi gonade untuk tujuan reproduksi (Olin, 1955: 228). Variasi musim selama penyinaran dapat memperkecil distribusi burung. Tentunya spesies tertentu sebagai contoh, tidak mungkin dapat mempertahankan diri sepanjang suhu dingin di malam hari dan akan memperburuk waktu makan dimana tidak ada cahaya(Olin,1955: 228). Intensitas cahaya matahari dapat mempengaruhi distribusi lokal. Beberapa spesies menghendaki areal baru dimana cahaya tidak dibatasi, tetapi spesies yang lain memghendaki areal yang terlindung. Intensitas cahaya juga mengatur gerakan burung-burung, seperti untuk homing di sore hari dan pagi hari, berhentinya kicauan burung di sore hari dan dimulainya kicauan di pagi hari (Nugroho, 1992: 60). Menurut Adisoemarto (1999: 37) berbeda dengan jenis sriti yang cukup adaptif, baik terhadap lingkungan maupun aktifitas manusia, walet adalah jenis burung yang sensitif, agresif, dan liar. Walet menyukai tempat tinggal yang gelap. Terlebih jika sinar matahari yang masuk sangat sedikit. Ini sesuai dengan habitat asli di
dalam gua yang teduh dan gelap. Tidak seperti binatang lain, walet tidak mempunyai kesulitan dengan kegelapan di sekitar sarangnya. Untuk mengawasi keadaan yang gelap ini walet tidak mengandalkan panca indra matanya tetapi walet menggunakan sistem pantulan suara sebagai alat pengukur jarak (ekolokasi). Walet akan membangun sarangnya di tempat yang tersembunyi tersebut. Ruangan walet idealnya gelap karena kegelapan identik dengan tempat tersembunyi, cahaya remang-remang sampai gelap kurang dari 0.02 candella (Hary K, 2006: 41). Bagi walet, gelap identik dengan kenyamanan, ketenangan, dan keamanan. Situasi yang tenang sangat dibutuhkan oleh walet pada saat membangun sarangnya. Malam hari merupakan saat yang sering digunakan untuk merajut liur menjadi sarang yang kuat dengan susunan serat yang terjalin rapi. Dalam suasana gelap, lebih terjamin ketenangannya sehingga walet dapat berkonsentrasi membuat sarang (Budiman,2002: 39). Faktor intensitas cahaya dalam gedung walet berpengaruh pada tingkat produksi dan kualitas sarang walet. Cahaya atau sinar jelas akan menaikkan suhu dan menurunkan tingkat kelembaban. Suhu dan kelembaban di ruang yang gelap lebih stabil sehingga bentuk sarang lebih sempurna, besar, tebal, dan tidak mudak retak. Jika walet membuat sarang di tempat yang terang maka sarang yang dihasilkan
sering berbentuk kurang sempurna dan daging sarang tipis. Hal ini disebabkan cahaya di dalam ruangan relatif kuat dan tingkat kelembabannya rendah, sehingga saat walet membuat sarang, liurnya cepat mengering (Budiman,2002: 39). 4. Kecepatan angin Angin
memiliki
pengaruh
terhadap
kehidupan
burung.
Sirkulasi udara akan menurunkan suhu. Pengaruh ini sangat terasa ketika suhu meningkat dan tidak berlaku jika suhu selalu rendah. Bulubulu burung mudah dikerutkan ketika ada angin. Ini membantu meningkatkan panas tubuh oleh masuknya udara atau angina yang terlalu kencang diantara bulu dan permukaan tubuh (Olin,1955: 229). Udara dapat membantu atau bahkan menghalangi burung dalam kelompoknya. Terlihat nyata pada burung-burung laut yang menghendaki
angin
untuk
mempertahankan
kelompok
dan
persebarannya yang tetap hanya di wilayah di mana angin bertiup dengan konstan. Tubuh yang berat pada burung air diuntungkan oleh adanya angin, kemungkinan untuk terbang lebih mudah lagi daripada tanpa angin. Burung terbang tinggi dibantu oleh angin. Kekuatan angin ternyata dapat menghalangi pergerakan kelompok burung darat yang terbang lemah dan dapat menahan tidak bisa terbang sama sekali (Nugroho, 1992: 62).
Angin sebagai salah satu faktor yang mengatur migrasi, memperlambat atau menghalangi gerakan ketika bertiup berlawanan secara langsung dengan kelompok dan mendukung gerakan ketika tiupan angin sama secara langsung. Terkecuali kekuatan angin selama migrasi dapat menyimpangkan burung dari rute yang teratur bagi mereka (Olin,1955: 229). Angin memiliki pengaruh terhadap aktifitas reproduksi karena angin yang kencang dapat menurunkan suhu yang dapat mempercepat aktifitas kawin pada burung. Angin juga mempengaruhi aktifitas burung menyanyi. Pada burung-burung yang lebih memilih hinggap di pohon, mereka tidak sering berkicau selama ada angin karena angin ternyata menganggu ketika di pohon. Sarang pohon dapat terancam ketika ada angin yang kencang atau sarang pohon akan tertiup angin yang mencapai kecepatan tinggi (Olin,1955: 229). Kecepatan angin berpengaruh terhadap kestabilan kelembaban. Semakin tinggi kecepatan angin, maka kelembaban ruangan semakin rendah dan juga sebaliknya. Jika kelembaban udara tidak stabil akan membuat walet tidak nyaman tinggal di ruangan tersebut sehingga produksi sarang menurun (Nugroho, 1992: 65). 5. Kondisi gedung Kondisi di dalam gedung walet yang terdapat banyak kotoran membuat udara di dalamnya ikut tercemar. Kotoran walet yang
menumpuk akan membusuk dan menimbulkan gas amonia (NH3), gas asam belerang (H2S), dan gas karbondioksida (CO2). Dengan keadaan seperti ini, lambat-laun kesehatan burung akan terganggu dan kualitas sarang akan rendah (Budiman, 2002: 40-41). 6. Kondisi sirip Sirip adalah tempat burung untuk membuat sarangnya. Dalam budi daya walet, gedung atau rumah walet dilengkapi dengan papanpapan sirip yang dipasang di bawah plafon. Papan sirip ini berfungsi sebagai tempat walet menempelkan sarangnya. Papan sirip dapat dibuat dari kayu sengon, meranti, keruwing, jati, bungur, rasamala, dan lain-lain. Umumnya, sirip dibuat dengan ukuran tebal 2-3 cm sengan lebar 15-25 cm. Pemasangan sirip ada yang sistem kotak-kotak berukuran 50 cm x 50 cm, ada yang membujur dengan jarak antar sirip 30 cm atau 50 cm, dan ada pula yang mengombinasi keduanya (Hary K, 2006: 43). Kondisi dan tata letak sirip akan mempengaruhi bentuk, ukuran, dan kualitas sarang. Kondisi sirip meliputi sirip basah, berjamur, keropos, pendek, tipis, dan licin. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk sirip burung walet adalah empuk, tahan lama, kaki burung mudah menancap, mudah menyerap air liur, dan posisinya tepat (Budiman, 2002: 41).
7. Kepadatan populasi Populasi sebuah gedung walet yang sangat padat menyebabkan papn sirip penuh dengan sarang walet sehingga bentuk sarang menjadi kecil karena ruang yang makin menyempit (Budiman, 2002: 43). 8. Binatang pengganggu Adanya binatang pengganggu yang hidup dalam gedung walet jelas berpengaruh pada perkembangan populasi burung walet dan kualitas sarang walet. Binatang yang biasanya ada seperti tikus, tokek, kecoa, dan kepinding. Binatang-binatang ini akan memangsa walet, piyik, dan telur walet (Hary K, 2006: 46-49). 9. Habitat makro Menurut Hary K. (2006: 32) habitat makro merupakan kondisi lingkungan di luar gedung walet yang mempengaruhi perkembangan populasi walet yang ada. Selain mempengaruhi perkembangan populasi burung walet, faktor luar gedung ikut pula menentukan kualitas dan kuantitas sarang walet. Faktor ini meliputi curah hujan, musim, perubahan lingkungan, sumber makanan, pola panen, binatang pemangsa, dan populasi di sentra produksi walet (Budiman, 2002: 46). a. Curah Hujan Hujan atau salju lebih banyak memiliki efek buruk pada kehidupan burung. Meskipun burung memiliki struktur dan fisiologi
yang mungkin untuk bertahan dari hujan. Lebih banyak hujan lebat dapat menyebabkan kematian pada burung karena kedinginan. Namun pencegahan dapat segera dilakukan dengan melarikan diri dari kondisi dingin dengan terbang menggunakan sayapnya. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan rendahnya suhu sehingga udara menjadi lebih dingin. Curah hujan yang tinggi atau salju juga dapat menyebabkan kematian akibat kelaparan kareana terbunuhnya serangga sebagai makanan burung, dan oleh cara pembersihan atau tersembunyinya benih dan bahan makanan lainnya (Olin,1955: 229). Aktifitas pembuatan sarang dipengaruhi oleh curah hujan. Sarang burung pada sarang terbuka biasanya dierami lebih teratur selama hujan. Jika sarang menjadi basah dan lembab maka akan mengakibatkan kematian anak-anak burung. Kematian burung muda di luar sarang sering meningkat selama hujan lebat karena bulu-bulu burung muda belum cukup mampu melawan air hujan(Olin,1955: 229). Musim kering menyebabkan pengurangan suplay makanan dan air untuk mandi. Semua ini menyebabakan rendahnya kemampuan reproduksi. Musim kering yang basah di suatu wilayah yang pada kondisi normalnya memiliki curah hujan yang sedang pada pengeraman sedikit dapat diangkat. Pada umumnya, di daerah kering, rendahnya curah hujan dapat menahan aktifitas gonad (Olin,1955: 229).
b. Musim Masa berkembang biak burung walet dimulai pada bulan September hingga April atau bersamaan dengan datangnya musim penghujan, biasanya burung walet membangun sarangnya selama 40 hari, tetapi saat musim kemarau, pembuatan sarangnya lebih lama (Iswanto,2002: 34). Biasanya persediaan makanan dan air liur berkurang pada musim kemarau. Selain itu, di musim kemarau suhu lebih kering dan kelembaban udara relatif rendah. Namun, menjelang musim penghujan, persediaan makanan berupa serangga akan melimpah, suhu dan kelembaban udara juga menguntungkan bagi proses pembuatan sarang. Dengan demikian, kualitas dan kuantitas sarang pada musim penghujan relatif baik (Budiman, 2002: 46). c. Perubahan lingkungan Dibukanya lahan industri di suatu daerah pada kenyataannya menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem daerah tersebut. Asap pabrik menyebabkan hawa panas, sedangkan limbahnya mencemari sungai dan areal persawahan. Akibatnya, lahan-lahan produktif akan semakin menyusut dan daya dukung alam semakin berkurang. Sentra walet yang tidak jauh dari lokasi-lokasi industri akan merasakan dampaknya juga, seperti menurunnya kualitas dan kuantitas sarang walet (Budiman, 2002: 47).
d. Sumber Makanan Habitat makro yang ideal bagi perkembangan walet adalah tersedianya areal tanaman untuk tempat hidup serangga-serangga pakan alami walet. Adanya areal tanaman dan sungai di sekitar gedung walet membuat walet tidak perlu terbang jauh untuk mencari makan. Semakin jauh walet terbang dalam upaya untuk mencari makan, maka akan semakin mudah pula walet tersesat dan mengikuti kelompok lain ke rumah walet yang lain (Hary K, 2006: 35). Burung walet setiap hari akan keluar dari huniannya untuk mencari makan seharian dan di sore hari akan kembali untuk membuat sarangnya, namun apabila dalam situasi mengeram/menyuapi anak maka siang hari pun burung akan sering kembali (Budiman, 2005: 27). Menurut Dian Adijaya dalam Trubus
(2007: 123) makanan
walet berupa serangga seperti serangga terbang, laron, lalat buah Drosophilla sp, kemrutu, dan beragam jenis kutu berukuran kecil. Kemrutu adalah pakan terbaik bagi walet. Dari hasil uji laboraturium , kemrutu mengandung antara lain 10% air, 65,67% protein, 9,08% serat, 17,35% lemak, dan 0,14% mineral. Energi yang dihasilkan mencapai 4,188 kalori. Makanan walet terdiri dari serangga-serangga yang biasa menjadi hama bagi tanaman yang dibudidayakan. Serangga-serangga makanan walet antara lain jenis wereng, kumbang, belalang kecil,
laron, semut bersayap, hama putih padi, pengisap batang padi, dan sundep. Secara tidak langsung, walet merupakan musuh biologi hama tanaman sehingga dapat mengurangi kerugian usaha budidaya tanaman. Dengan demikian, walet berjasa bagi pertanian atau perkebunan rakyat di sekitarnya (Budiman, 2005: 30). e. Pola panen Pola
panen
yang
tidak
terencana
dan
teratur
dapat
mempengaruhi hasil produksi, kualitas sarang, dan kuantitas sarang pada pemanenan berikutnya. Pola panen yang benar adalah selain memikirkan kelestarian populasi walet, pola pemanenan harus sesuai dengan
waktu
dan musim.
Teknik
pemanenan
yang salah,
mengakibatkan hasil sarang rusak, berlubang, retak, bahkan remuk (Budiman,2002: 48). f. Binatang pemangsa Musuh-musuh alami walet, seperti elang, burung hantu, kelelawar, selalu mengancam keselamatan hidup burung walet. Hewan pemangsa ini selalu datang pada sore hari saat walet mulai masuk gedung (Budiman, 2002: 48-49). g. Populasi sentra yang padat Sentra walet yang padat populasinya dengan daya dukung alam sebagai penyedia makanan semakin terbatas akan berpengaruh pada
hasil produksi, kualitas, dan kuantitas sarang walet. Faktor makanan sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan walet. Sentra walet yang padat selain mengurangi sumber makanan, juga menjadikan perkembangan populasi walet mencapai klimaksnya. Walet-walet muda memilih migrasi ke lokasi lain, sedangkan waletwalet tua yang ada semakin tidak produktif lagi. Pada saat itu, produksi walet di sentra tersebut semakin berkurang dan kualitas sarang menjadi menurun (Budiman, 2002: 49-50). 10. Morfologi Sarang Burung Walet Burung walet mulai memasuki masa produksi pada usia sekitar 810 bulan. Pada fase ini, seluruh organ yang berkaitan dengan reproduksi mulai berfungsi. Sebagai contohnya, walet sudah mulai mengeluarkan bunyi untuk memikat pasangannya, organ kelamin mulai berfungsi, dan glandula sublingualis (kelenjar di bawah lidah) mulai menghasilkan saliva. Pada saat ini, walet siap berkembang biak (breeding) yang diawali dengan membangun
sarang,
tentunya
setelah
menemukan
pasangannya
(Budiman,2002: 1). Sarang walet berbeda dengan sarang burung lainnya. Sarang yang berbentuk seperti mangkuk ini mempunyai beberapa bagian, yaitu kaki sarang, fondasi, dinding, bibir, dan dasar sarang (Budiman,2002: 1-5). a. Kaki sarang
Bagian kaki sangat vital dari sebuah bangunan sarang. Kaki sarang ini terletak di kedua sisi bagian atas sarang. Jarak antar kaki sekitar 610 cm, tergantung besar kecilnya sarang yang dibuat. Kaki sarang berfungsi sebagai paku, tempat sarang menggantung. Kekuatan sarang terletak dari kuatnya kaki tersebut. Kaki sarang yang kurang kuat akan mudah terlepas sehingga membahayakan bagi proses regenerasi. Agar dapat menempel secara kuat pada papan sirip, kaki sarang dibangun dari air liur yang bertumpuk-tumpuk dan tidak beraturan. Semua jenis walet akan lebih dahulu membuat kaki sarang sebelum menyelesaikan bangunan sarang yang lain. b. Fondasi sarang Fondasi sarang merupakan bagian sarang yang menghubungkan kedua kaki sarang dan menempel pada papan sirip. Fungsi fondasi sarang mendukung kaki dalam memperkuat sarang. Bentuk fondasi ini bervariasi mengikuti tempatna. Ada yang berbentuk cekung seperti huruf U, ada yang cekungnya tidak terlalu dalam, dan ada pula yang datar. Pada sarang gua, fondasi sarang bentuknya tidak beraturan menyesuaikan lekuk-lekuk dinding gua. c. Dinding sarang Dinding sarang adalah bagian sarang yang berbentuk mirip mangkuk dibelah. Fungsinya untuk menampung dan menjaga telur serta piyik agar tidak jatuh. Tinggi dinding sarang bervariasi, tergantung besar kecilnya sarang, berkisar 2-5 cm dengan ketebalan
sekitar 1-2 mm. dinding sarang dibangun perlahan-lahan dari serat air liur yang disusun sejajar dan melekat satu sama lain. Dengan demikian, terbentuklah jalinan serat liur yang padat dan kuat. Pada umumnya, dinding bagian belakang menempel pada papan sirip sehingga walet hanya membuat dinding bagian depan dan samping saja. d. Bibir sarang Bibir sarang merupakan bagian tepi sarang yang berbentuk seperti setengah lingkaran (huruf U) atau tidak terlalu cekung, mengikuti bentuk sarang. Pada bagian muka, bibir sarang umumnya tipis hanya sekitar 2-3 mm, sedangkan bagian samping yang menghubungkan kedua kaki sarang sangat tebal. Meskipun bibir sarang ini tipis, tetapi dibangun cukup kuat. Bibir sarang berfungsi sebagai pembatas agar telur dan piyik tidak mudah jatuh. Selain itu, bibr sarang juga sebagai tempat hinggap saat induk hendak masuk ke dalam sarang. Pada saat menyuapi piyik (feeding visits), binbir sarang ini sebagai tempat induk menggantung sambil menyuapi. Pada malam hari, induk walet akan tidur dan manjaga anaknya dengan mengaitkan kaki di bibir sarang ini. Pada hari ke-45, piyik-piyik walet sudah tidak lagi tidur di dalam sarang. Sambil melatih kekuatan otot kaki, walet-walet muda ini akan menggantung tubuhnya pada bibir sarang.
e. Dasar sarang Dasar sarang adalah bagian alas sarang, bentuknya cekung seperti dasar mangkuk, fungsinya sebagai tempat telur, mengeram, dan alas bagi piyik walet. Pada dasar sarang ini, terdapat ruang yang berongga yang berfungsi sebagai kantong udara. Rongga ini sengaja dibuat agar suhu lebih hangat saat proses pengeraman atau saat pemeliharaan piyik. Di sisi lain, adanya ruang berongga ini justru menjagi tempat sembunyi dan berkembang biak kepinding atau kutu busuk. Dibanding bagian lain, dasar sarang merupakan bagian yang paling mudah keropos. Ini disebabkan adanya sisa-sisa kotoran piyik walet yang mengenai dasar sarang tersebut. Oleh karena itu, pada pemakaian ulang, bagian dasar sarang akan ditambal oleh induk walet agar utuh kembali, dasar sarang pun akan bertambah tebal. 11. Khasiat Sarang Burung Walet Menurut Dr. Ani Mardiastuti pengajar di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dalam penelitiannya menemukan adanya zat spesifik dalam sarang walet yang berpengaruh pada kesehatan manusia. Zat tersebut dianalisis sebagai ODA (9-octadecenoic acid) dan HAD (hexadecenoic acid). Menurutnya HDA inilah yang umum ditemukan pada minuman suolemen yang bersifat menguatkan atau berfungsi meningkatkan vitalitas tubuh (Redaksi Trubus, 2001: 128).
Di samping mengandung zat spesifik, sarang walet juga memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Kandungan protein sarang walet cukup tinggi (51,5%), karbohidrat 17,7%, abu 11,6%, dan kandungan lemaknya bisa dikatakan sangat rendah (0,07%). Beberapa mineral yang penting ditemukan, antara alin kadar nitrogen 8,23%, fosfor 0,27%, kalium 1,01%, kalsium 1,4%, Fe 278,6 ppm, dan natrium 0,4%. Kadar vitamin antara lain vitamin C 2,15%, vitamin A 12,09IU/g, dan niasin 3,15 mg/g (Redaksi Trubus, 2001: 128). Dengan demikian, sarang walet dianjurkan sebagai makanan sumber zat pembangun tubuh yang baik. Bagi penderita penyakit darah tinggi atau orang yang kegemukan, sarang walet tidak berbahaya karena kandungan lemak dan kolesterolnya sangat rendah. Selain itu, sarang walet mengandung zat-zat lain yang diperlukan oleh tubuh seperti kalsium dan fosfor untuk pembentukan tulang serta zat besi yang diperlukan pembentukan butir-butir darah merah. Sarang walet bukanlah sumber vitamin yang baik karena kandungan vitaminnya tidak terukur. Masyarakat umum juga percaya bahwa sarang walet berkhasiat untuk kekuatan tubuh, obat awet muda, mampu mempercepat proses penyembuhan gangguan alat pernapasan, seperti batuk, asma, atau gangguan pada kerongkongan, memberi stamina, dan vitalitas tubuh (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1991: 232).
12. Ekosistem a.
Pengertian Ekosistem Di alam terdapat organisme hidup (makhluk hidup) dengan lingkungannya yang hidup saling berinteraksi atau berhubungan erat, tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain yang merupakan suatu sistem. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem terdiri dari berbagai komunitas. Komunitas adalah seluruh populasi yang hidup bersama pada suatu daerah atau sekelompok makhluk-makluk hidup dari berbagai macam jenis yang hidup di suatu daerah. Macam-macam komunitas, antara lan: 1. Komunitas akuatik Komunitas ini misalnya terdapat di laut, di danau, di sungai, di parit atau di kolam. 2. Komunitas terrestrial Komunitas terrestrial yaitu sekelompok organisme yang terdapat di pekarangan, padang rumput, halaman sekolah, dan sebagainya.
b. Komponen Ekosistem Lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
organisme. Lingkungan hidup itu terdiri dari dua komponen yaitu komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik, yaitu terdiri dari benda-benda mati seperti air, tanah, udara, cahaya,matahari dan sebagainyab. Komponen biotik, yaitu terdiri dari mahkluk hidup seperti mikroba, hewan, tumbuhan dan manusia. Dalam
suatu
ekosistem
terdapat
makhluk
hidup
dan
lingkungannya. Setiap faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dalam suatu organisme dalam proses perkembangannya disebut faktor lingkungan (abiotik). Tumbuhan dan hewan dalam ekosistem merupakan bagian yang hidup atau komponen biotik. Tabel 3. Penggolongan Faktor Ekologi, menurut Euwsie, 1990 Faktor alam Faktor biologi Faktor fisiologi dan (abiotik) (biotik) edafik 1. curah hujan 2. suhu 3. kelembaban udara 3. angin 4. cahaya
1. tumbuhan hijau 2. hewan 3. dekomposer 4. manusia
1. topografi 2. faktor edafik (tanah) - pH tanah - suhu tanah - kelmbapan tanah
1. Komponen Biotik Komponen biotik adalah komponen lingkungan yang terdiri atas manusia, hewan, mikroba, dan tumbuhan. Ciri-ciri yang dimiliki faktor biotik, yaitu : a. Bernapas. b. Tumbuh. c. Berkembang biak.
d. Iritabilitas. e. Makan dan minum. f. Melakukan ekskresi. g. Beradaptasi dengan lingkungannya. 2. Komponen Abiotik Abiotik (bahasa Inggris: Abiotic) adalah salah satu komponen atau faktor dalam lingkungan. Faktor abiotik adalah faktor yang berasal dari alam semesta yang tidak hidup, misalnya udara,air, cahaya, dan lain-lain. Komponen abiotik adalah segala sesuatu yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Pengertian komponen abiotik yang tepat adalah komponen lingkungan yang terdiri atas makhluk tak hidup. Komponen abiotik adalah komponen-komponen yang tidak hidup atau benda mati. Yang termasuk komponen abiotik adalah tanah, batu
dan
iklim,hujan,
suhu,
kelembaban,
angin,
serta
matahari.Komponen abiotik dapat kita temui dimana saja. Komponen abiotik sama seperti komponen biotik, dimana juga berfungsi bagi kehidupan manusia. Faktor abiotik adalah faktor pendorong untuk biotik sehingga biotik dapat hidup dan melakukan aktivitas. Fungsi-fungsi komponen abiotik dalam pemenuhan kebutuhan manusia dan yang dapat mempengaruhi ekosistem antara lain :
1. Tanah Seperti yang kita ketahui, tempat dimana manusia tinggal dan
berpijak
adalah
tanah.
Manusiadapat
beraktifitas,
membangun rumah, gedung, bahkan bercocok tanam. Tanah juga ditempatioleh komponen biotik seperti tumbuhan dan hewan yang melakukan aktifitasnya setiap hari. 2. Suhu Atau Temperatur Pada umumnya mahkluk hidup rata-rata dapat bertahan hidup hanya pada kisaran suhu 00C± 400C. hanya mahkluk hidup tertentu saja yang dapat hidup dibawah 00C atau diatas 400C.hewan berdarah panas mampu hidup pada suhu dibawah titik beku karena memiliki bulu dan memiliki suhu tubuh yang konstan (tetap). Suhu merupakan syarat yang diperlukan organismeuntuk hidup. Temperatur lingkungan adalah ukuran dari
intensitas
panas
dalam
unit
standar
danbiasanya
diekspresikan dalam skala derajat celsius. Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkunan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyamandan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak membutuhkan temperatur nyaman 13 ± 18 oC atau Temperature HumidityIndex (THI) < 72. Keadaan pergerakan molekul ditentukan oleh temperatur atau suhu. Makin tinggi suhu, maka
akan mepercepat proses kehilangan air dari tanaman dan sebaliknya. Selama musim hujan, rata-rata temperatur udara lebih rendah, sedangkan kelembaban tinggi dibandingpada musim panas. Jumlah dan pola curah hujan adalah faktor penting untuk produksi tanaman dan dapat dimanfaatkan untuk suplai makanan bagi ternak. Curah hujan bersama temperatur dan kelembaban berhubungan dengan masalah penyakit ternak serta parasit internal dan eksternal.Curah hujan dan angin juga dapat menjadi petunjuk orientasi perkandangan ternak 3. Sinar / Cahaya Matahari Sinar matahari mempengaruhi sistem secara global, karena sinar matahari
menentukan
suhu.
Sinar
matahari
juga
merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis. Radiasi matahari dalam suatu lingkunganberasal dari dua sumber utama: a. Temperatur matahari yang tinggi. b. Radiasi termal dari tanah,pohon, awan dan atmosfir. Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain
perkandangan
ternak,
karena
dapat
mempengaruhi proses fisiologi ternak.Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak.. Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal yang tidak disukai, tergantungpada kemampuan ternak
itu sendiri dalam menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah
laku
secara
efisien
untuk
mempertahankan
keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan. 4. Air Sekitar 80-90 % tubuh mahkluk hidup tersusun atas air. Zat ini digunakan sebagai pelarut di dalam sitoplasma, untuk menjaga tekanan osmosis sel, dan mencegah sel dari kekeringan.
Air dibutuhkan
untuk
kelangsungan
hidup
organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan dan penyebaran biji, bagi hewan dan manusia air diperlukan untuk minum dan sarana hidup lain seperti transportasi bagi manusia dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain misalnya tanah dan batuan, air digunakan sebagai pelarut dan pelapuk. 5. Udara Selain berperan dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan sebagai penyebaran biji tumbuhan tertentu. angin diturunkan oleh pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas atau daerah panas dan dingin pada atmosfir. Kecepatan angin selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena transfer panasmelalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin.
Udara di atmosfer tersusun atas nitrogen (N2¬¬, 78 %), oksigen (O¬2, 21 %), karbondioksida (CO2,0,03 %), dan gas lainnya. Jadi gas nitrogen merupakan penyusun udara terbesar diatmosfer bumi. a.
Nitrogen Unsur Nitrogen merupakan gas yang diperlukan oleh mahkluk
hidup
untuk
membentuk
protein,
dan
persenyawaan lainnya. Tumbuhan, hewan, dan manusia tidak mampu memanfaatkan nitrogen yang ada di udara secara langsung. Ada bakteri yang dapat menangkap nitrogen bebas dari udara misalnya, bakteri rhizobium yang hidup bersimbiosis di akar tanaman kacang, atau ganggang biru anabaena yang hidup bersimbiosis dengan azolla (tumbuhan air). Tumbuhan lainnya memperoleh nitrogen dalam bentuk nitrit atau nitrat. Nitrit dan nitrat secara alami terbentuk dari nitrogen diudara yang terkena lecutan petir, secara alami tanah memperoleh nitrit dan nitrat sehingga menjadi subur. b.
Oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) Oksigen merupakan gas pembakar dalam proses pernapasan. Makanan, misalnya karbohidrat yang ada di dalam
sel,
mengalami
pembakaran
(oksidasi)
guna
mendapatkan energi. Oksidasi tersebut sering disebut sebagai pernapasan sel. Dalam pernapasan dihasilkan pula karbondioksida (CO2) dan air (H2O). baik tumbuhan maupun hewan memerlukan oksigen dariudara bebas untuk pernapasannya dlam rangka mendapatkan energi.
6. Angin Angin
berperan
membantu
penyerbukan
tumbuhan,
menyebarkan spora dan biji tumbuhan. Beberapa serangga hama tumbuhan dapat diterbangkan oleh angin ke tempat lain yang jauh. 7. Kelembaban Kelembaban berperan menjaga organisme agar tidak kehilangan air karena penguapan. Beberapa mikroorganisme seperti jamur dan bakteri hidup di tempat-tempat yang lembab. Mikroorganisme tersebut tidak dapat hidup ditempat-tempat kering. Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan (Chantalakhana dan Skunmun, 2002). Kelembaban biasanya diekspresikansebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari molpersen fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara padatemperatur dan tekanan yang sama (Yousef, 1984). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian
mempengaruhi
keseimbangan
(Chantalakhana dan Skunmun, 2002).
termal
ternak
8. Keasaman (PH) Keasaman juga berpengaruh terhadap mahkluk hidup. Biasanya
mahkluk hidup
memerlukan
lingkungan
yang
memiliki PH netral. Mahkluk hidup tidak dapat hidup dilingkungan yang terlalu asam atau basa. Sebagai contoh tanah di Kalimantan yang umumnya
bersifat asam memiliki
keanekaragaman yang rendah dibandingkan dengan didaerah lain yangtanahnya netral. Tanah di Kalimantan bersifat asam karena tersusun atas gambut. Oleh karena itu sulit dijadikan areal pertanian jika tidak diolah dan dinetralkan terlebih dahulu. Tanah yang bersifat asam dapat dinetralkan dengan diberikan bubuk kapur. Tanah berhumus seringkali bersifat asam. Tanah berkapur seringkali bersifat basa. Tanah bersifat basa dapat dinetralkandengan diberi bubuk belerang. c.
Interaksi Antara Komponen Ekosistem Samingan,
1980
mengatakan
bahwa,
hubungan
antara
komunitas dan lingkungannya bersifat holocoenotik. Ini berarti tidak ada dinding pemisah antara lingkungan dengan organisme atau komunitas biologis yang ada. Ekosistem beraksi sebagai satu keseluruhan, sulit untuk memisahkan satu faktor atau satu organisme didalam tanpa mengganggu komponen ekosistem lain. Di dalam ekosistem, komponen biotik dan abiotik merupakan komponen pokok ekosistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang
lainnya.
Antara
komponen
biotik
dan
abiotik
saling
mempengaruhi. Hubungan antar komponen dalam ekosistem disebut ekologi. 1. Pengaruh komponen abiotik terhadap komponen biotik Banyak kasus di sekitar kita yang menunjukkan bahwa komponen abiotik sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Air, kelembaban udara, angin, suhu, cahaya matahari, dan gaya grafitasi merupakan komponen abiotik yang besar pengaruhnya dalam kehidupan organisme. Keberadaan air dalam setiap ekosistem sangat menentukan kelangsungan hidup semua organisme yang ada di dalamnya. Kandungan air di berbagai lingkungan berbeda. Oleh karena itu pada kondisi lingkungan yang kandungan airnya berbeda akan ditemukan jenis tumbuhan yang berbeda. Contoh yang lain misalnya, cahaya matahari merupakan sumber energi primer. Energi cahaya matahari oleh produsen atau tumbuhan hijau dimanfaatkan untuk fotosintesis. Tanpa cahaya matahari tidak mungkin tumbuhan hijau dapat melakukan fotosintesis. Itu berarti tidak mungkin tersedia makanan bagi organisme lain (konsumen). Di samping itu, cahaya matahari juga bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Pada aktifitas pembuatan sarang burung juga dipengaruhi oleh curah hujan. Suhu juga mempengaruhi beberapa aktifitas
burung, seperti pengeraman, molting, berkicau, dan lain-lain. Angin juga mempengaruhi aktifitas burung menyanyi. 2. Pengaruh komponen biotik terhadap komponen abiotik Komponen biotik juga berpengaruh terhadap komponen abiotik. Misalnya saja cacing tanah. Cacing tanah memiliki peranan yang besar dalam menjaga kesuburan tanah. Cacing tanah hidup di dalam tanah yang basah dan lembab. Cacing tanah memakan sisa-sisa dari tumbuhan. Interaksi membentuk
antara
ekosistem.
komponen
biotik
Hubunganantara
dengan
abiotik
organisme
dengan
lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Dengan adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai keseimbangan baru. 3. Pengaruh komponen biotik terhadap biotik Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu
populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.
a.Netral Hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral. Contohnya : antara capung dan sapi. b. Predasi Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : Singa dengan mangsanya, yaitu kijang, rusa,dan burung hantu dengan tikus. c.Parasitisme Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bilasalah satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. contoh : Plasmodium dengan manusia, Taeniasaginata dengan sapi, dan benalu dengan pohon inang. Perhatikan Gambar 6.15
d.Komensalisme Komensalisme merupakan hubunganantara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang ditumpanginya. e.Mutualisme Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacangkacangan. 4. Interaksi Antar populasi Antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut. Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai
anabiosa.Contoh,
jamur
Penicillium
sp.
dapat
menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu. Kompetisi
merupakan
interaksi
antarpopulasi,
bila
antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput. 5. Interaksi Antar Komunitas Komunitas adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.
6. Pengaruh komponen abiotik terhadap komponen abiotik Antar komponen abiotik di dalam ekosistem juga terjadi interaksi. Misalnya Kelembaban udara berpengaruh terhadap suhu ruang. Jika kelembaban tinggi, ada kecenderungan suhu akan turun. Sebaliknya, jika suhu udara tinggi, kelembaban akan turun. Cahaya atau sinar juga akan menaikkan suhu dan menurunkan tingkat kelembaban.
Kecepatan angin berpengaruh terhadap
kestabilan kelembaban. Semakin tinggi kecepatan angin, maka kelembaban ruangan semakin rendah dan juga sebaliknya.
C. Kerangka Berfikir Proses belajar merupakan kegiatan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Pembelajaran di sekolah akan lebih mudah apabila siswa diajak untuk aktif mendapatkan konsep atau pengetahuan sendiri dari berbagai obyek di lingkungan. Hal ini senada dengan harapan kurikulum yang sedang dikembangkan yakni KTSP yang menuntut siswa lebih aktif dan guru lebih kreatif dalam proses pembelajaran. Lingkungan memiliki berbagai keanekaragaman yang tinggi dan banyak hal yang dapat dipelajari dari lingkungan. Walet dan ekosistemnya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar biologi bagi siswa yang terdapat Kabupaten Kulon Progo. Agar lebih mudah dipelajari oleh siswa, sumber belajar harus disususn menjadi suatu bahan ajar. Sebelum menjadi bahan ajar ada penelitian yang dilakukan dimana hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai alternatif bahan ajar sebagai pendukung materi
ekosistem dengan terlebih dahulu dikemas menjadi suatu bahan ajar yang berbentuk modul pengayaan. Belajar dengan menggunakan modul pengayaan diharapkan agar siswa lebih aktif belajar mandiri mengingat kegiatan belajar mengajar yang terjadi di kelas terdiri dari siswa-siswa yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diantaranya adalah kecepatan dalam menyerap materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Siswa yang telah berhasil mencapai KKM berarti telah tuntas dalam belajar sedangkan siswa yang belum mencapai KKM berarti belum tuntas dalam belajar. Siswa yang telah tuntas belajar akan diberi suatu program khusus yaitu program pengayaan. Program pengayaan adalah program yang bertujuan untuk memperdalam atau memperluas pengetahuan yang dimiliki siswa yang cepat dalam belajar. Dalam program pengayaan, siswa akan dibekali materi yang bersifat memperkaya pengetahuan. Materi yang diberikan ke siswa pada program pengayaan adalah materi yang dikembangkan dari KTSP yang ada di sekolah tersebut. Materi yang bersifat memperkaya pengetahuan dapat dikemas dalam bentuk modul pengayaan. Dengan demikian, penyusunan modul pengayaan juga diharapkan meningkatkan kreatifitas guru dalam menambah sumber belajar. Selain itu, sumber materi juga tidak hanya terpaku pada buku pegangan yang diperoleh dari percetakan. Sehingga diharapkan dengan adanya modul yang akan disusun ini dapat lebih mengenalkan siswa pada lingkungan terutama dalam materi ekosistem.
Pemilihan modul sebagai bahan ajar dikarenakan modul dapat digunakan secara mandiri. Dengan modul pengayaan ini diharapkan siswa akan memiliki pengetahuan yang lebih dan menguasai konsep materi ekosistem lebih baik. Berdasarkan uraian diatas, kerangka berfikir penelitian ini dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini. Kecepatan belajar pada masing-masing siswa berbeda sehingga menyebabkan perbedaan dalam pencapaian hasil belajar yaitu terdapat siswa yang telah tuntas dan siswa yang belum tuntas dalam belajar.
Proses belajar merupakan kegiatan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya
Walet dan ekosistemnya berada di lingkungan siswa yang dapat menjadi salah satu sumber belajar
SK: Memahami ketergantungan ekosistem.
Modul pengayaan materi ekosistem adalah bahan ajar yang disusun berdasarkan hasil penelitian dapat digunakan secara mandiri oleh siswa untuk memperdalam pengetahuan khususnya materi ekosistem.
saling dalam
KD: Menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem.
Modul pengayaan ekosistem
materi
Modul diharapkan dapat menjadi alternatif bahan ajar mandiri yang dapat memperdalam pengetahuan siswa. Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir Penelitian BAB III