BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan teori yang digunakan pada penelitian ini, selanjutnya akan diuraikan mengenai penelitian- penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya dan hasil dari penelitian tersebut. Landasan teori dan penelitian sebelumnya akan menjadi dasar dalam membangun hipotesis penelitian. Penjelasan terperinci pada bab ini akan dijelaskan sebagai berikut.
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan dalam Menjelaskan Senjangan Anggaran Penjelasan
mengenai
konsep
senjangan
anggaran
dimulai
dari
pendekatan teori agensi. Menurut Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan adalah konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara prinsipal dan agen, yaitu antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Pihak prinsipal adalah pihak yang mengambil keputusan dan memberikan mandat kepada pihak lain (agen), untuk melakukan semua kegiatan atas nama prinsipal. Inti dari teori ini adalah kontrak kerja yang didesain dengan tepat untuk menyelaraskan kepentingan antara prinsipal dengan agen (Supanto, 2010). Entitas di Indonesia terdiri dari dua sektor, yaitu entitas sektor publik dan non publik/swasta. Anggaran sektor publik berhubungan dengan proses penentuan jumlah dana untuk tiap- tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang menggunakan dana milik rakyat, serta bersifat terbuka untuk publik. Sedangkan, 10
11
anggaran dalam sektor swasta bersifat tertutup untuk publik dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Meskipun berbeda, tetapi kedua sektor memiliki kesamaan sifat yakni terbagi dalam dua pihak, yaitu: prinsipal dan agen. Permasalahan dalam keagenan menimbulkan biaya keagenan. Biaya ini meliputi biaya untuk monitoring (mengukur, mengamati dan mengawasi prilaku agen); biaya bonding (penyusunan dan penetapan suatu sistem agar agen bertindak untuk kepentingan prinsipal); dan kerugian residual sebagai akibat dari perjanjian yang tidak mampu meyelaraskan kepentingan agen dan prinsipal, karena tidak dapat teramatinya tindakan agen. Unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, sehingga yang menjadi fokus dan tujuan dari teori ini adalah pencapaian kontrak yang paling efisien antara prinsipal dan agen. Menurut Sukartha (2007) kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi 2 syarat, yaitu : 1) agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetri yang artinya baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri, 2) risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya. Pada penerapannya informasi simetri ini tidak pernah terjadi, yang berarti kontrak efisien tidak pernah dapat terlaksana sehingga hubungan antara prinsipal dan agen selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Menurut Eisenhard (1989)
12
dalam Arifah (2012) menyebutkan ada beberapa asumsi yang muncul terkait teori keagenan adalah sebagai berikut : 1) Asumsi sifat manusia yang cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri (self interest), keterbatasan rasionalitas atau daya pikir terhadap persepsi masa depan (bounded rationality) dan cenderung untuk menghindari risiko. 2) Asumsi tentang keorganisasian, adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi dan asimetri informasi antara prinsipal dan agen. 3) Asumsi tentang informasi, adalah informasi dianggap sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Berdasarkan
ketiga
asumsi
tersebut
manusia
akan
bertindak
opportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan organisasi. Agen akan termotivasi untuk meningkatkan kompensasi dan jenjang karir di masa mendatang, sedangkan prinsipal termotivasi untuk meningkatkan utilitas dan profitabilitasnya. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan terus meningkat, karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari. Sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang menimbulkan asimetri informasi yaitu ketidak seimbangan informasi antara prinsipal dan agen yang dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut antara lain : (1) moral hazard adalah permasalahan yang muncul karena agen tidak melaksanakan hal- hal yang telah disepakati bersama sesuai kontrak kerja; dan (2)
13
adverse selection adalah suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah keputusan yang diambil oleh agen benar- benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya atau terjadi kelalaian dalam bertugas. Pihak- pihak yang terlibat dalam proses penganggaran sektor publik terdiri dari tiga kategori utama yang meliputi eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Hubungan keagenan dalam penganggaran daerah adalah : 1) Hubungan Keagenan antara Masyarakat (Publik) dan Legislatif Legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat yang keberadaannya telah dipilih oleh rakyat (voters). Rakyat berdasarkan asas demokrasi adalah prinsipal utama dan legislatif berperan sebagai agen yang mewakili rakyat sebagai prinsipal. Rakyat melakukan pengawasan terhadap DPR dengan cara social pressure, yaitu rakyat berperan sebagai parliament watch, media dan aksi langsung dengan kekuatan massa melalui demokrasi (Kencana,2010). Legislatif berperan penting dalam penganggaran daerah karena DPRD adalah Pengesah APBD dalam tahap retifikasi. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, DPRD dan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan APBD. Sehingga, DPRD perlu untuk mendengarkan aspirasi rakyat melalui berbagai komponen yang mewakili rakyat, yang diantaranya terdiri dari Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi, kuesioner, kotak pos, media masa, dan lain sebagainya (Kencana, 2010). Masalah keagenan antara legislatif dengan rakyat adalah legislatif akan membela kepentingan rakyat atau pemilihnya, tetapi sering kali tidak terjadi karena pendelegasian kewenangan rakyat atau pemilih dengan legislatornya
14
tidak ada kejelasan aturan konsekuensi kontrol keputusan yang disebut abdikasi (abdication). Lupia dan Mc. Cubbins (2000) dalam Halim dan Abdullah (2006) menyatakan bahwa abdikasi tejadi karena pemilih (voters) tidak ingin mempengaruhi legislatif yang mereka pilih, sedangkan legislatif tidak memiliki banyak waktu dan pengetahuan untuk mengetahui semua kebutuhan rakyat. Sehingga, legislatur cenderung melakukan political corruption. 2) Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Eksekutif (Pemerintah Daerah) Hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, terjadi perubahan posisi luasnya kekuasaan antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen. DPRD tidak menjadi satu kesatuan dengan Kepala Daerah beserta perangkatnya. Hubungan keagenan terjadi dalam konteks pembuat kebijakan, yang mana legislatif memberikan kewenangan kepada eksekutif (agen) untuk membuat usulan kebijakan baru dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak. Fungsi DPRD adalah mengawasi pelaksana peraturan daerah, pelaksana keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, pelaksana APBD pelaksana kebijakan daerah, dan pelaksana kerjasama internasional di daerah. Sedangkan, kepala daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas terselenggaranya pemerintahan, serta meningkatkan kepuasan rakyat. Kinerja kepala daerah dinilai dari keberhasilan sebagai program pemerintah dan kebijakan pada realisasi APBD dalam laporan pertanggungjawaban kepada DPRD (Kencana, 2010).
15
Masalah keagenan dalam hubungan legislatif dan eksekutif adalah legislatif cenderung melakukan “kontak semu” dengan eksekutif, karena memiliki
keunggulan
kekuasaan
(discretionary
power).
Legislatif
mengutamakan kepentingan pribadi secara jangka panjang demi menjaga kesinambungan dan nama baik politisi atau anggota dewan. Sedangkan, eksekutif cenderung melakukan budgetary slack karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi) dan untuk mengamankan posisinya
di
pemerintahan. Eksekutif akan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dan target anggaran yang lebih rendah, agar lebih mudah dicapai ketika realisasi dilaksanakan. 3) Hubungan Keagenan antara Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dan Kepala Dinas/Kantor/Badan. Hubungan keagenan antara Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dan Kepala Dinas/Kantor/Badan adalah
Kepala Daerah (Bupati/Walikota)
berperan sebagai prinsipal dan Kepala Dinas/Kantor/Badan berperan sebagai agen. Eksekutif akan menyampaikan dokumen rancangan APBD kepada legislatif untuk diteliti dan disahkan. Kepala daerah berorientasi pada penetapan
sistem
pengendalian
manajemen
yang
mengatur
Dinas/Kantor/Badan, serta mendukung keberhasilan reformasi anggaran, keuangan
dan
sistem
akuntansi
daerah.
Dinas/Kantor/Badan
akan
mengajukan daftar usulan kegiatan daerah dan daftar usulan proyek daerah yang akan dibahas oleh panitia anggaran daerah. Perangkat daerah (Dinas/Kantor/Badan) bertanggung jawab dalam pelayanan masyarakat
16
(Kencana, 2010). Mardiasmo (2001) dalam Kencana (2010) menyatakan bahwa slack yang diciptakan oleh perangkat daerah cenderung merupakan slack yang positif, karena menjaga hubungannya dengan kepala daerah dan mengamankan pekerjaan dan posisi atau jabatan di pemerintahan.
2.1.2 Peran Keadilan Distributif dan Komitmen Organisasional Sebagian peneliti menyatakan bahwa dengan adanya partisipasi bawahan dalam proses penyusunan anggaran akan mengurangi kecendrungan untuk menciptakan senjangan anggaran (Dunk, 1993; Onsi, 1973). Hal ini terjadi karena bawahan membantu memberikan informasi pribadi tentang prospek masa depan sehingga anggaran yang disusun lebih akurat. Sedangkan penelitian lain (Young, 1985; Lowe dan Shaw, 1968; 1988) menemukan bukti empiris bahwa semakin tinggi partisipasi dalam penyusunan anggaran akan menyebabkan semakin besar terjadinya senjangan anggaran. Fahrianta dan Gozali (2002) menyatakan kemungkinan belum adanya kesatuan hasil penelitian mengenai anggaran dan implikasinya, yang disebabkan adanya faktor- faktor tertentu (situasional factor) atau yang dikenal dengan istilah variabel kontijensi (contingency variables). Tugas utama peneliti ini adalah mengidentifikasi kondisi- kondisi yang cocok untuk konsep- konsep tertentu dan mengembangkan teori yang bisa mendukungnya. Menurut Suhartono dan Solichin (2006) sistem pengendalian termasuk anggaran dan pendekatan kontijensi memungkinkan adanya variabel- variabel lain yang bertindak sebagai variabel intervening atau variabel moderating.
17
Variabel moderasi adalah variabel yang dapat memperkuat dan memperlemah hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Govindarajan (1986) juga menyatakan bahwa jika penelitian- penelitian sebelumnya mengindikasikan hasil yang masih saling bertentangan mengenai pengaruh partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran, maka dapat digunakan pendekatan kontijensi untuk melihat hubungan kedua variabel tersebut. Pendekatan kontijensi sebagai prediktor adanya senjangan anggaran. Faktor kontijensi yang akan digunakan adalah keadilan distributif dan komitmen organisasional. Faktor tersebut akan berperan sebagai variabel moderasi terhadap pengaruh partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran.
2.1.3 Anggaran Perencanaan
dan
pengendalian
merupakan
proses
yang
saling
berhubungan. Perencanaan adalah pandangan ke depan untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar dapat mewujudkan tujuan- tujuan tertentu. Pengendalian adalah melihat ke belakang, memutuskan apakah yang sebenarnya telah terjadi dan membandingkan dengan hasil yang direncanakan sebelumnya (Abdul, 2008). Anggaran merupakan rencana kegiatan yang terdirti dari sejumlah target yang akan dicapai oleh pimpinan organisasi dalam melaksaanakan serangkaian kegiatan tertentu pada masa yang akan datang (Husnatarina dan Nor, 2007). Rencana kegiatan ini memerlukan informasi lokal dari bawahan untuk tercapainya target tersebut. Anggaran juga dapat dikatakan sebagai pernyataan mengenai
18
estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dalam ukuran finansial (Mardiasmo, 2002). Anggaran daerah harus bisa menjadi tolak ukur pencapaian kinerja yang diharapkan, sehingga perencanaan anggaran daerah harus bisa menggambarkan sasaran kinerja secara jelas. Menurut Kenis (1979) kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh pihak yang bertanggung jawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut. Pencapaian sasaran anggaran akan lebih mudah dicapai ketika pihak penyusun mengerti mengenai mengenai rencana yang akan dilaksanakan. Yusfaningrum dkk (2005) menyatakan bahwa anggaran memberikan manfaat, antara lain : 1) Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan dan anggaran berarti mewakili kesepakatan negosiasi diantara partisipasi dominan dalam suatu organisasi mengenai tujuan kegiatan pada masa akan datang. 2) Anggaran merupakan gambaran tentang prioritas alokasi sumber daya karena dapat bertindak sebagai blue print aktivitas perusahaan. 3) Sebagai alat komunikasi antara divisi, dimana anggaran dapat sangat membantu melakukan komunikasi internal antara divisi dalam organisasi maupun manajemen puncak. Proses penyusunan anggaran menurut Chandra (1993) dibagi menjadi dua pendekatan yaitu imposed budgets approaches dan partisipatif budgeting approaches. Proses penganggaran imposed budgets dikenal dengan pendekatn top down, sedangkan partisipative budgeting dikenal dengan pendekatan botton up.
19
Anggaran mempunyai dampak langsung terhadap prilaku manusia, terutama bagi individu yang langsung terlibat dalam penyusunan anggaran.
2.1.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen hukum untuk mendukung reformasi penganggaran daerah. Kementrian Dalam Negeri telah mengeluarkan UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah, Permendagri No.13/2006, Peraturan Pemerintah No.58/2005 dan Permendagri No.37/2012 sebagai pedoman penyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lembaga- lembaga yang berperan penting dalam perencanaan dan penganggaran berdasarkan UU. No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU. No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pelaksanaan
otonomi
daerah
menimbulkan
praktek-
praktek
penyimpangan pengelolaan keuangaan Negara. Salah satu penanggulangan yang dilakukan pemerintah pusat adalah memperbaiki sistem keuangan Negara dengan menerapkan sistem penganggaran yang disebut dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan proses penyusunan APBD di organisasi sektor publik untuk tata kelola pemerintahan, yakni proses pembangunan yang efisien dan partisipatif, serta terjadi reformasi anggaran, yaitu penggunaan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budget system) untuk
20
menggantikan sistem anggaran tradisional (traditional budget system). Proses pembangunan ini melibatkan pengambilan kebijakan pemerintahan, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan dalam tahap tertentu melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Salah satu kunci utama penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah penentuan kinerja, adanya ukuran kinerja yang jelas dan dapat diverifikasi terhadap outcome, output maupun kewajaran dana yang dikeluarkan dengan output yang dicapai (Mahsun, 2007 dalam Ardianti 2015)
2.1.5 Partisipasi Penganggaran Menurut Brownell (1982) partisipasi penganggaran sebagai suatu proses dalam suatu organisasi yang melibatkan manajer dalam penentuan tujuan anggaran yang menjadi tanggujawabnya. Dalam organisasi sektor publik para manajer yang dimaksud adalah kepala dinas, kepala subdinas dan kepala bagian. Kenis (1979) mendefinisikan partisipasi dalam menyiapkan anggaran dan mempengaruhi sasaran anggaran dari masing- masing pusat pertanggungjawaban. Setiap pusat pertanggungjawaban ikut berperan serta dalam proses perencanaan tersebut. Anthony dan Govindarajan (2001) menyatakan partisipasi dalam penyusunan anggaran juga merupakan suatu pendekatan efektif untuk meningkatkan motivasi manajer. Partisipasi yang tinggi cenderung mendorong manajer untuk lebih aktif dalam memahami anggaran. Partisipasi penganggaran dalam sektor publik terjadi antara pihak eksekutif, legislatif dan masyarakat yang bekerjasama dalam penyusunan
21
anggaran. Pihak legislatif sebagai pihak pemberi kewenangan atas pengelolaan anggaran kepada pihak eksekutif yang nantinya harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran tersebut. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keterlibatan berbagai pihak dalam pembuatan keputusan dapat terjadi dalam penyusunan anggaran. Menyusun anggaran secara partisipatif diharapkan dapat meningkatkan kinerja para pimpinan dan bawahannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka bawahan akan bersungguh- sungguh pada tujuan atau standar yang ditetapkan, dan bawahan akan memiliki rasa tanggungjawab pribadi untuk mencapainya karena ikut serta terlibat dalam penyusunan (Milani, 1975). Bawahan dituntut berpartisipasi dalam penganggaran supaya anggaran menjadi lebih realistik dan dengan adanya partisipasi, bawahan tahu benar apa yang harus dikerjakan berkaitan dengan pencapaian anggaran dengan menggunakan informasi terkini (Suartana, 2010).
2.1.6 Proses Penyusunan Anggaran Menurut Mardiasmo (2002) penyusunan dan pelaksanaan anggaran tahunan merupakan rangkaian proses anggaran. Ada empat siklus anggaran yang meliputi empat tahap sebagai berikut. 1) Tahap persiapan anggaran Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran
22
pengeluaran, hendaknya dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Perlu disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran
pendapatan
diestimasi
pada
saat
bersamaan
dengan
pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran. 2) Tahap ratifikasi Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki manajerial skill, namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship dan coalitian building yang memadai. Intergitas dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hak tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. 3) Tahap implementasi/ pelaksanaan anggaran Dalam tahap ini paling penting harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini betanggung jawab untuk menciptakan sistem informasi yang memadai dan handal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah disepakati sehingga dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem informasi yang baik dapat dilihat dari sistem pengendalian intern yang memadai.
23
4) Tahap pelaporan dan evaluasi anggaran Tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Pada saat tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajer yang baik, maka diharapkan tahap pelaporan dan evaluasi anggaran tidak akan menemukan banyak masalah. Proses penyusunan anggaran dimulai bulan Januari dengan mengadakan musyawarah pembangunan desa. Bulan Februari dilaksanakan musyawarah pembangunan kecamatan.
Pada bulan Maret diadakan forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah untuk menyusun rancangan kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota, sehingga pada bulan Mei dapat dihasilkan penetapan rencana kerja pemerintah daerah. Bulan Juni diadakan pembahasan dan kesepakatan kebijakan umum anggaran antara kepala daerah dengan DPRD yang dilanjutkan dengan pembahasan dan kesepakatan priorotas dan plafon anggaran sementara. Untuk menyusun rencana kerja anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dan RAPBD dilakukan antara bulan Juli sampai September. Pada bulan Oktober sampai bulan November dilaksanakan pembahasan dan persetujuan rancangan APBD dengan DPRD, penetapan perda APBD dan penyusunan daftar pelaksanaan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah. Proses terakhir pada bulan Januari tahun berikutnya APBD dapat dilaksanakan.
24
2.1.7 Senjangan Anggaran Menurut Hansen dan Mowen (1999) perencanaan dan pengendalian adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Anggaran merupakan komponen utama dari perencanaan dan penganggaran. Anggaran sering kali digunakan untuk menilai kinerja aktual para atasan dan bawahan. Anggaran dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap prilaku atasan dan bawahan. Senjangan anggaran adalah perbedaan antara jumlah anggaran yang diajukan oleh subordinates dengan jumlah estimasi yang terbaik dari organisasi (Anthony dan Givindarajan, 2001).
Faktor yang memotivasi bawahan untuk
melakukan senjangan anggaran adalah untuk mendapatkan penilaian kinerja yang baik dari atasan. Desmiyawati (2009) mendefinisikan senjangan anggaran sebagai tindakan bawahan yang mengecilkan kapasitas produktif ketika bawahan diberi kesempatan untuk menentukan standar kinerjanya. Hal ini menyebabkan perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai dengan estimasi terbaik dari organisasi. Senjangan anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk diantaranya partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran (Yuwono, 1999). Faktor lain seperti kebijakan pemberian reward atau promosi atas pencapaian target anggaran. Senjangan anggaran timbul karena keinginan dari atasan dan bawahan yang tidak sama terutama jika kinerja tergantung pada pencapaian sasaran anggaran, maka mereka akan membuat senjangan anggaran melalui proses partisipatif (Schiff dan Lewin, 1970).
25
2.1.8 Keadilan Distributif Peran keadilan dalam proses penganggaran telah menjadi fokus riset akuntansi keprilakuan. Definisi keadilan distributif menurut Greenberg (1986) adalah kewajaran evaluasi yang diterima relatif terhadap pekerjaan yang dilakukan. Folger dan Kanovsky (1989), dalam Giri (2014) mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan yang dirasakan terkait jumlah kompensasi yang diterima karyawan. Keadilan distributif merupakan suatu anggapan mengenai keadilan hasil oleh organisasi dalam hubungannya dengan individu atau input kelompok, khususnya dalam hal bagaimana individu mengevaluasi dan beraksi terhadap perlakuan yang berbeda. Keadilan distributif berhubungan dengan persepsi karyawan dan keseimbangan antara masukan- masukan yang mereka berikan dengan hasil- hasil yang
mereka
terima.
Pada
saat
individu-
individu
dalam
organisasi
mempersepsikan bahwa rasio masukan yang mereka berikan terhadap kompensasi yang mereka terima seimbang. Ketidak seimbangan rasio antara masukan dan imbalan menggiring mereka pada persepsi akan adanya ketidakwajaran. Penemuan- penemuan penelitian menjelaskan bahwa keadilan distributif berhubungan dengan persepsi individu atas hubungannya dengan individu lain yang memiliki sumber daya. Keadilan distributif tersebut berkenaan dengan perbandingan atau standar dan pengaruh kekuatan perasaan maupun penilaian adil atau tidaknya hasil yang didapat. Leventhal (1980) dalam Giri (2014) mengusulkan beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam mengevaluasi keadilan dalam suatu proses pengalokasian
26
diantaranhya : Representativeness: proses tersebut menggabungkan minat dan nilai- nilai dari semua subgroup penting dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh keputusan itu; Accuracy: keputusan- keputusan yang berdasarkan informasi yang benar dan akurat, pendapat yang mengandung informasi yang baik; Competency: semua orang yang dipengaruhi oleh proses menerima perlakuan yang sama (konsisten antar orang) dan proses yang digunakan dibuat dalam cara yang sama setiap saat (konsisten antar waktu); Bias Suppression: pengambilan keputusan tidak memiliki kepentingan pribadi dalam keputusan tersebut dan memberikan semua pandangannya dengan pertimbangan yang cukup; Correctability; proses tersebut memungkinkan melakukan koreksi terhadap keputusan yang buruk; dan Ethically; proses tersebut sesuai dengan standar etika dan moralitas pribadi. Penyusunan anggaran yang bernilai tinggi akan tercapai tergantung pada motivasi pihak penyusun anggaran. Pada aspek keadilan distributif, untuk lingkungan pemerintah menjadi fenomena yang sering menjadi motorik terciptanya konflik (Siregar, 2005). Pihak atasan cenderung menyadari bahwa pihak bawahan dalam organisasi merasakan kecemasan akan keadilan yang digunakan dalam lingkungan kerjanya. Sebagai atasan yang bertanggung jawab berhak meminta upaya atau usaha yang maksimum dari pihak bawahan untuk meningkatkan kinerjanya dan bawahan cenderung lebih senang untuk memastikan bahwa proses yang adil telah diterapkan dalam organisasi yang berkaitan antara penghargaan yang diterima karyawan dengan kontribusi yang diberikan karyawan kepada organisasi. Hal ini akan dipandang oleh pihak bawahan sebagai suatu bentuk keadilan distributif
27
dalam lingkungan kerjanya. Penerapan keadilan distibutif dalam suatu organisasi, diduga semakin memperlemah hubungan partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran, sebaliknya tanpa adanya keadilan distributif dalam organisasi, diduga akan memperkut pengaruh partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran.
2.1.9 Komitmen Organisasional Mowday et. al. (1982) dalam Mahennoko (2011) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai the relative strenght of an individual’s identification with and involvement in a particular organisazion. Definisi tersebut menujukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. Komitmen organisasi yang dikemukankan oleh Mowday et. al.
Ini
memiliki ciri- ciri yaitu : (1) belief yang kuat serta penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, (2) kesiapan untuk bekerja keras, dan (3) keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Komitmen ini tergolong komitmen sikap atau efektif karena berkaitan dengan sejauh mana individu merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan tujuan organisasi. Semakin besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.
28
Mowday et. al. (1982) mengemukakan bahwa komitmen organisasi terbangun apabila masing- masing individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi, yang antara lain adalah : 1) Identifikasi (identification) yaitu pemahaman atau penghayatan terhadap organisasi. 2) Keterlibatan (involvement) yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan
atau
perasaan
bahwa
pekerjaan
tersebut
adalah
menyenangkan. 3) Loyalitas (loyality) yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempatnya bekerja atau tinggal.
2.2. Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai senjangan anggaran telah dilakukan oleh banyak peneliti dan menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Minan (2005) yang meneliti tentang pengaruh komitmen organisasi terhadap hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada 37 pimpinan menengah di perguruan tinggi swasta Kota Medan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi sederhana dan MRA. Hasil penelitian menunjukan bahwa anggaran partisipatif tidak berpengaruh pada senjangan anggaran dan komitmen organisasi juga tidak berpengaruh pada hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran.
29
Desmiyawati
(2009) meneliti tentang pengaruh partisipasi anggaran
terhadap senjangan anggaran dengan komitmen organisasi sebagai variabel moderating. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada unit kerja yang tergolong sebagai pejabat eselon III dan IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh negatif terhadap senjangan anggaran. Sedangkan pengaruh komitmen organisasi terhadap hubungan partisipasi anggaran pada senjangan anggaran adalah negatif tapi tidak signifikan. Supanto (2010) meneliti tentang pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack dengan informasi asimetri, motivasi dan budaya organisasi sebagai pemoderasi. Teknik analisi yang digunakan adalah analisis regresi moderasi (MRA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, infomasi asimetri dapat memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack sedangkan motivasi dan budaya organisasi tidak dapat memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack. Sedangkan penelitian yang dilakukan Sandrya (2013) yang membahas tentang pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack dengan empat variabel moderasi yaitu asimetri informasi, komitmen organisasi, budaya organisasi dan kapasitas individu. Data dikumpulkan dengan metode survei berupa kuesioner dan indepth intrview, serta dianalisis dengan analisis regresi moderasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack. Bahkan, asimetri informasi memperkuat pengaruh
30
tersebut. Sebaliknya, komitmen organisasi dan budaya organisasi memperlemah hubungan antara anggaran partisipatif dengan budgetary slack. Selain itu, tinggi atau rendahnya kapasitas individu tidak mampu memoderasi hubungan tersebut. Noviawati dan Utami (2014) meneliti tentang pengaruh locus of control, keadilan distributif, keadilan prosedural dan kepercayaan terhadap senjangan anggaran yang dilaksanakan di PT Apac Inti Corpora. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa locus of control dan keadilan prosedural berpengaruh terhadap senjangan anggaran. Karyawan yang bekerja di perusahaan ternyata memiliki locus of control yang kurang baik. Artinya, karyawan kurang berkeyakinan untuk dapat mencapai target anggaran, sehingga melakukan senjangan anggaran. Selain itu, prosedur anggaran yang diberikan perusahaan belum dirasa adil oleh karyawan, sehingga karyawan merasa perlu melakukan senjangan anggaran untuk mengantisipasi apabila target anggaran tidak tercapai. Sedangkan variabel keadilan distributif dan kepercayaan tidak berpengaruh terhadap senjangan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan sudah merasa mendapatkan distribusi anggaran yang adil dari perusahaan dan diberikan kepercayaan yang besar oleh atasan, sehingga karyawan tidak akan melakukan senjangan anggaran.