BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Kajian Yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang kesusastraan bukanlah hal yang baru lagi bagi kalangan peneliti di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Berdasarkan penelusuran peneliti, penelitian tentang Marjinalisasi Kaum Proletar Pada Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer belum pernah dilakukan. Penelitian yang sama pernah dilakukan, tetapi berbeda pada permasalahannya saja. Adapun penelitian dimaksud adalah Konteks, fungsi dan nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer sebagai model pembelajaran kajian prosa fiksi oleh Halimah (2009). Pada penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra secara umum. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini, Pertama bagaimana konteks sosial novel Bukan Pasar Malam? Kedua fungsi dan nilai apa saja yang terkandung dalam novel Bukan Pasar Malam? dan Ketiga bagaimana hasil telaah novel Bukan Pasar Malam dijadikan model yang relevan untuk pembelajaran kajian prosa fiksi? Selanjutnya hasil pembahasan yang dilakukan oleh Halimah dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Dilihat dari konteks sosial, novel Bukan Pasar Malam secara tajam mengkritik orang-orang yang selama ini tak pernah berjuang di medan perang menegakkan kemerdekaan, tetapi diberi predikat pahlawan: “dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”. (2) Bukan Pasar Malam mengandung fungsi sebagai media pendidikan (Didaktis). Bukan Pasar
Malam merupakan sebuah roman mengandug nasihat, anjuran, dan pendidikan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di Indonesia-sebelum dan pasca kemerdekaan. (3) Bukan Pasar Malam mengandung nilai religius. Novel ini menceritakan bagaimana ketimpangan nilai kemanusiaan yang erat hubungannya dengan nilai religiusitas. Tokoh aku menganggap sampai menuju ke liang lahat pun masih banyak kaum yang mengalami kesulitan. Pada penelitian ini memiliki kesamaan pada objek kajian yaitu novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, juga dalam penggunaan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian lainnya yaitu penelitian tentang novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy dilakukan oleh Mutmainah M. Datau pada tahun 2009 dengan sebuah kajian sosiologi sastra. Penelitian ini mengungkap tentang citra manusia sebagai pandangan hidup karena setiap peristiwa yang dialaminya menyimpan banyak hikmah seperti yang terdapat pada novel Ketika Cinta Bertasbih, sebuah kisah kehidupan tokoh Azzam yang pergi menuntut ilmu (studi) di Al-Azhar Mesir. Berbagai peristiwa yang dialami setiap tokoh merupakan citra yang dibangun pengarang berdasarkan status yang dimiliki masing-masing tokoh. Pada penelitian ini pun memiliki kesamaan hanya pada penggunaan teori sosiologi sastra yang dijadikan sebagai analisisnya. Berdasarkan gambaran di atas, tampak adanya perbedaan serta persamaan yang diteliti sebelumnya. Penelitan yang dilakukan oleh Halimah tahun 2009 dengan mengangkat permasalahan Konteks, Fungsi, dan Nilai Sosial Pada Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer sebagai model pembelajaran kajian prosa fiksi menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Perbedaan yang
tampak pada penelitian ini tentang permasalahannya saja, yaitu: marjinalisasi kaum proletar. Demikian juga yang dilakukan oleh Mutmainah M. Datau dengan mengungkap permasalahan citra manusia pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, menggunakan kajian sosiologi sastara sebagai teori analisisnya. Perbedaannya terletak pada objek kajiannya dan persamaannya terletak pada penggunaan teori sosiologi sastra. Selanjutnya di dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada masalah marjinalisasi kaum proletar pada novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Alan Singewood.
1.2 Kajian Teori Penelitian ini memiliki pijakan atau kajian teori berdasarkan permasalahan yang menjadi kajian adalah marjinalisasi kaum proletar. Hubungan teori
berdasarkan objek yang akan diteliti yaitu novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Selanjutnya akan diuraikan kajian teori sebagai berikut.
1.2.1 Marjinalisasi Marjin (kata bahasa Indonesia) hasil penyerapan kata margin (Inggris); artinya batas atau pinggir atau tepi; marjinal berarti berhubungan dengan batas atau tepi;. marjinal menunjukkan karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam dimensi sosial, budaya ataupun geografis. Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang merujuk pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada posisi marjinal. Marjinalisasi merupakan suatu proses peminggiran atau pembatasan seseorang atau kelompok akibat perbedaan kelas sosial yang menyebabkan kemiskinan. Selanjutnya untuk mengetahui secara mendalam tentang marjinalisasi, berikut akan dijelaskan proses marjinalisasi menurut Anupkumar (dalam Hardinatty, 2011: 13) “Marginalisasi merupakan sebuah proses sosial untuk menjadi terpinggirkan, tersudutkan, terjadinya kesenjangan ekonomi dan ter-intermidasinya sebuah kelompok dalam masyarakat. Ketentuan marginalisasi sesungguhnya dapat dideskripsikan sebagai reaksi yang berlebihan atau kecenderungan dari sosial masyarakat yang menjadi tidak berfungsi dari sistem yang lazim dari bentuk perlindungan dan pengintegrasian, yang bertujuan untuk membatasi kesempatan untuk bertahan hidup dengan baik.
Masyarakat marjinal ditandai dengan adanya pengekangan dan penolakan secara terang-terangan maupun diam-diam (namun terencana), yang dilakukan antar kelompok tertentu. Misalnya, Penguasa, Pengusaha, Kaum Politisi, serta Agamawan. Akibatnya, mereka yang menjadi korban mengalami pemisahan dan terpisah (bukan secara geografis saja) secara sosial, budaya, gaya dan tampilan hidup keseharian. Mereka tersingkir secara alami karena daya jangkaunya hampir pada semua aspek hidup dan kehidupan yang mengalami pembatasan dan penghambatan. Keadaan seperti ini, paling mudah dialami oleh mereka yang terlahir sebagai etnis minoritas, perempuan, pengangguran, orang-orang miskin, penyandang tuna-aksara, tuna-wisma, orang-orang cacad, pasien AIDS, dan lainlain. Berdasarkan pendapat di atas bahwa marginalisasi merupakan suatu proses peminggiran dan pengintimidasian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai suatu kekuatan atau kekuasaan terhadap beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan atau kekuatan. Menurut Chambers (1983: 140) proses marjinalisasi terhadap kaum miskin dapat dideskripsikan berdasarkan situasinya, yaitu: pertama, kemiskinan kelompok masyarakat secara keseluruhan, disebabkan oleh keberadaannya yang jauh terpencil atau tidak memadainya sumberdaya, atau karena kedua-duanya, dan kedua, suatu keadaan masyarakat yang di dalamnya terdapat ketimpangan yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin. Sebaliknya, suatu deskripsi yang dimulai dari perseorangan akan memberikan pembuktian ketidakadilan yang dialami oleh kaum miskin sebagai kaum marjinal dihampir seluruh kehidupan
masyarakat. Hal ini, maka kita dapat mengidentifikasi kelompok yang kurang beruntung atau termarjnalkan yang diuraikan di atas. Marjinalisasi tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan tindakan yang terencana dan sistematis dalam rangka untuk meminggirkan suatu kelompok tertentu. maka terdapat beberapa faktor yang menimbulkan adanya marjinalisasi diantaranya, yaitu: faktor ekonomi, faktor politik, faktor pendidikan, faktor gender, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa marjinalisasi atau pembatasan dapat terjadi pada seluruh bidang kehidupan terutama pada bidang ekonomi, kesehatan dan sosial. Pembatasan pada bidang ekonomi nampak pada kurangnya peluang kerja, kecilnya upah yang diperoleh, dan tidak memiliki alat produksi atau modal untuk mengahasilkan barang sendiri sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Pada bidang kesehatan dikarenakan terbatasnya obat-obatan, terbatasnya dokter atau suster sebagai pelayan kesehatan akibatnya banyak pasien yang terlantarkan, dan bahaya penyakit yang menular sehingga dokter atau suster kurang memberikan perawatan yang baik terhadap pasien karena takut terjangkit oleh penyakit yang diderita pasien. Selanjutnya pada bidang sosial yaitu adanya kesenjangan antara yang miskin dan kaya, adanya prasangka atau kecurigaan terhadap orang lain yang dianggap penghianat bangsa atau melakukan penyesatan kepada orang lain dan kurangnya lembaga sosial sebagai sarana pelayanan masyarakat. 1.2.2 Kaum Proletar
Selanjutnya pengertian proletar dalam Kamus Bahasa Indonesia, Gunawan (2001: 350) yaitu seseorang yang hidup dengan menjual tenaga kerjanya, memburuh. Marx, membagi kelas sosial menjadi dua bagian yaitu kelas pekerja atau proletariat dan kelas pemilik modal atau borjuis. Menurut defenisi Marx (dalam Ritzer, 2011: 65) proletar artinya kelas pekerja, yang tidak memiliki cara lain untuk bertahan hidup selain menjual tenaga kerjanya. Dalam pengertiannya, bahwa mereka bekerja hanya untuk bertahan hidup dan menggunakan seluruh tenaga atau kemampuannya untuk mendapatkan upah. Penjelasan Marx bahwa kelas sosial dapat dilihat dari aspek ekonominya, bagaimana individu dalam melakukan perannya dikehidupan masyarakat yang saling bertentangan antara kelas pekerja dengan pemilik modal. Pembagian kelas dalam masyarakat menunjukkan adanya perbedaan di kehidupan
sosial.
Baik
secara
ekonomi
maupun
dilihat
dari
segi
kehormatan/kedudukan yang memisahkan antara yang miskin dan yang kaya, juga antara yang lemah dan yang berkuasa atau penguasa. Pembagian kelas ini dapat memicu
terjadinya
proses
alienasi
(keterasiangan)
atau
pemarjinalan
(pembatasan/peminggiran) terhadap kelas masyarakat yang lemah. Menurut Marx (dalam Soekanto, 2010: 38) selama masyarakat terbagi atas kelas-kelas, maka pada kelas yang berkuasalah akan terhimpun segala kekuatan dan kekayaan. Sebab, kelas yang memiliki kekuatan akan dengan mudah mengeksploitasi atau penghisapan terhadap kelas yang dianggap lebih lemah. Dalam kaitannya dengan sosiologi, Soekanto (2010: 208) mengukur atau terdapat kriteria untuk membagi kelas masyarakat ke dalam suatu lapisan yaitu:
pertama, ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan suatu ukuran; barangsiapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk ke dalam lapisan sosial teratas. Kenyataan tersebut, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, berupa mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk belanja barang-barang mahal, dan sebagainya. Kedua, ukuran kekuasaan sehingga barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan sosial teratas. Ketiga, ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapatkan atau menduduki lapisan teratas. Ukuran seperti ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa besar kepada masyarakat. Dan keempat, Ukuran Ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-kadang menjadi negatif, karena ternyata bahwa bukan ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal itu mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal. Dari ukuran-ukuran tersebut, terdapat penggolongan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu. Kita dapat membagi dan memilah kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat berdasarkan kriterianya. Selain itu, dalam mengukur lapisan sosial pada hakikatnya tergantung pada sistem nilai yang dianut oleh anggota-anggota masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan marjinalisasi kaum proletar adalah masyarakat miskin yang terpinggirkan akibat pembagian kelas di dalam tatanan masyarakat. Sebab, seringkali kelas yang lebih tinggi menindas kelas
yang
lebih rendah,
karena
masyarakat
miskin selalu
menggantungkan hidupnya kepada masyarakat yang memiliki kekuatan secara materi, agar bisa bertahan hidup. Berbagai masalah yang membuat masyarakat jatuh dalam kemiskinan, karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dibidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain-lain. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa marjinalisasi kaum proletar merupakan suatu masyarakat yang terpinggirkan dari kelompok masyarakat yang lain karena masalah kemiskinan. Hal ini akan dibahas lebih dalam lagi oleh peneliti melalui penelitian pada novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.
1.2.3 Novel Novel merupakan sebuah cerita yang mengangkat berbagai gambaran kehidupan sosial. Pada dasarnya novel merupakan karya fiksi yang memberikan beberapa gambaran tentang kehidupan manusia. Menurut Nurgiantoro (2010: 2) novel sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,
hidup dan kehidupan.
Novel mengungkap
berbagai
permasalahan yang timbul dari rangsangan lingkungannya dengan penuh keseriusan. Wujud novel yang memiliki keluasan dalam menampilkan gagasan atau ceritanya secara kompleks sehingga banyak mengahadirkan peristiwa-peristiwa
menarik yang berkenaan langsung dengan kehidupan yang sering dialami oleh pembaca. Hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia”. Novel menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan dirinya sendiri serta interaksinya dengan dunia zamannya. Karya sastra novel merupakan proses komunikasi, perenungan dan reaksi terhadap lingkungan dan kehidupan. Sekalipun novel hasil khayalan, akan tetapi novel dianggap sebagai hasil penghayatan dan perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kebenaran dalam novel adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang. Secara khusus novel dijadikan sarana atau alat untuk menampilkan segala bentuk peristiwa yang berbau pada kenyataan sosial masyarakat. Zoest, Aart Van (dalam Tuloli, 2000: 26) berpendapat bahwa tokoh-tokoh dan peristiwaperistwa dalam novel berbeda dengan manusia-manusia nonfiktif dan peristiwaperistiwa yang kita saksikan dalam kenyataan disekitar kita. Novel memiliki masyarakat sendiri yang berbeda dengan masyarakat sebenarnya, akan tetapi masyarakat dalam novel dipengaruhi oleh masyarakat realitas baik secara langsung maupun tidak langsung. Novel berpijak pada kehidupan nyata, sebagaimana yang nampak pada peristiwa-peristiwa yang dilukiskan oleh pengarang ke dalam bentuk karya
imajinatif. Peristiwa-peristiwa dalam novel yang dibangun oleh pengarang mengungkap persoalan sosiokultur masyarakat realitas. Gambaran sosial dalam novel dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan sosial di mana karya itu diciptakan, sehingga terdapat perbedaan-perbedaan model kehidupan sosial yang ada pada setiap novel. Novel juga sebagai dokumen sosial yang akan merefleksikan kondisi atau situasi di mana karya sastra itu diciptakan oleh pengarang. Sebab, sengaja atau tidak sengaja dalam penciptaannya sebuah novel akan merekam peristiwa yang menampakkan situasi zamannya. Setiap novel yang lahir pada masa tertentu akan mengisahkan kondisinya masingmasing, seperti situasi sosial budaya, ekonomi, pendidikan yang menjadi perbincangan atau ketegangan pada masanya itu. Hal tersebut yang kemudian dijadikan topik utamanya dalam penciptaan karya sastra untuk menggambarkan situasi atau kondisi zamannya, sehingga dapat ditegaskan bahwa novel merupakan dokumen sosial yang merefleksiakan situasi pada masa sastra tersebut diciptakan untuk mengabadikan setiap peristiwa hidup dan kehidupan.
1.2.4 Pendekatan Sosiologi Sastra Kajian pada penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra sebagai pendekatan analisis untuk menguak aspek sosial yang terkandung dalam karya sastra. Ratna (2010: 331) sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke-18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la litterature cinsideree dans ses rapports avec les institution sociales
(1800). Sosiologi sastra sering dikatakan bahwa sejauh mana karya sastra mencerminkan kenyataan, juga sastra memang mencerminkan kenyataan. Sesuai pendapat di atas, hadir pula usaha yang mencoba membangun pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial. Swingewood (Faruk, 2010: 47) melacak usahausaha yang demikian jauh ke belakang, hingga terutama ke teori mimesis dari Plato, menurutnya dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga tiruan terhadap dunia ide. Dengan demikian, dunia dalam karya sastra membentuk diri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan teori terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan yang juga dipelajari oleh sosiologi. Tuloli (2000: 62) dunia nyata dan dunia sastra (rekaan=fiksi) selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Pada hubungannya sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial. Menurut Ratna (2010: 334) Pada umumnya pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial, sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Pengarang merupakan salah satu pijakan penting dalam menentukan berbagai unsur-unsur nilai yang terkandung dalam penciptaan karya sastra. Hubungan karya satra dengan masyarakat, baik sebagai pendorong maupun sebagai hubungan yang erat. Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik, keluarga, dan pendidikan, atau sosial budaya. Hal ini dapat dipahami karena
pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan karya sastra itu. Latar belakang sosial budayanya menjadi dasar penciptaan yang dapat mempengaruhi isi karya sastra. Pendapat Wellek dan Werren (1989: 109) sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial: masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra, simbol, dan mitos. Senada dengan pendapat Ratna (2009: 27) Sosiologi sastra juga mencoba untuk menjelaskan bahwa eksistensi karya sastra bukan semata-mata gejala individual, melainkan juga gejala sosial. Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari realitas sekitarnya yang memberikan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan masyarakat. Metode sosiologi sastra berdasarkan pada prinsipnya bahwa karya sastra merupakan refleksi atau cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Suroso (2009: 103) sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanan, ekonomi, dan alam yang melingkupinya. Selain merupakan sebagai eksperimen moral yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Sastra juga tentu dapat memberikan gambaran historis dari kenyataan sosial dan budaya pada suatu waktu tertentu. Swingewood (dalam Tuloli 2000: 63) mengajukan dua sasaran penelitian yang menggunakan data sastra sebagai sumber kajian. (a) sosiologi tentang sastra, yaitu pembicaraan dimulai dari lingkungan sosial kemudian masuk ke dalam sastra, yaitu hubungan sastra dengan faktor
luaran yang terbayangkan dalam sastra. Hal ini ingin melihat faktor sosial yang dapat menghasilkan atau mempengaruhi bahkan mendasari penciptaan karya sastra. Arahnya dari dunia luar ke dunia dalam sastra. (b) Sosiologi sastra, yang mengkaji mulai dari struktur karya sastra kemudian menghubungkannya dengan lembaga sosial budaya dalam masyarakat. Selanjutnya pandangan Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara, 2008: 79) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Berdasarkan pendapat di atas, maka pada kajian ini lebih cenderung pada pandangan Swingewood mengenai sosiologi sastra pada perspektif pertama yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Di dalam penerapannya penelitian ini akan mengkaji bagaimana marjinalisasi kaum proletar pada bidang ekonomi, kesehatan, dan sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Melihat masalah yang ditampilkan dalam novel Bukan Pasar Malam terdapat adanya ungkapan sosial yang sangat mengharukan di mana kebutuhan-kebutuhan sebagai seorang manusia yang berdaulat tidak terpenuhi, disebabkan adanya proses marjinalisasi yang dilakukan oleh para penguasa pada masa pasca
kemerdekaan. Hal ini perlu dilakukan penelitian secara mendalam untuk mengungkap gejala-gejala sosial yang belum terungkap secara jelas sampai saat ini. Melalui pendekatn sosiologi sastra akan melihat bagaimana marjinalisasi kaum proletar dibidang ekonomi, kesehatan, dan sosial yang dikisahkan dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini memandang karya sastra sebagai dokumen sosial atau sebagai potret kenyataan sosial yang mempunyai kemampuan dalam merekam ciri-ciri zamannya.