BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Agribisnis Pembangunan ekonomi yang semakin kompleks dan kompetitif dalam era globalisasi ini mendorong perubahan orientasi pembangunan sektor pertanian dari orientasi produksi ke arah pendapatan. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan pertanian Indonesia telah berubah dari pendekatan usahatani ke agribisnis. Sistem agribisnis tidak sama dengan sektor pertanian, dimana sistem agribisnis jauh lebih luas daripada sektor pertanian yang dikenal selama ini (Saragih, 2000). Hafsah (1999) mengemukakan bahwa agribisnis adalah kegiatan usaha di bidang pertanian yang berwatak bisnis, pelakunya secara konsisten berupaya untuk meraih nilai tambah komersial dan finansial yang berkesinambungan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan pasar. Konsep agribisnis adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian (Soekartawi, 2010). Sedangkan menurut Arsyad, dkk (dalam Soekartawi, 2010), agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Agribisnis dapat dipandang dari sisi mikro maupun makro. Sisi mikro, agribisnis itu sebagai suatu unit bisnis di bidang pertanian yang senantiasa melakukan pertimbangan-pertimbangan secara rasional, mulai dari memperoleh
1
2
bibit, pemeliharaan, penanganan pasca panen, hingga melakukan pemasaran (Suparta, 2005). Agribisnis secara makro adalah suatu sistem yang terdiri atas beberapa sub-sistem, dimana antara satu sub-sistem dengan sub-sistem lainnya saling terkait dan terpadu untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya. Kegiatan agribisnis yang dipandang sebagai suatu konsep sistem dapat dibagi menjadi lima sub-sistem, yaitu (1) sub-sistem pengolahan hulu (upstream agribusiness), (2) sub-sistem produksi (on-farm agribusiness), (3) subsistem pengolahan hilir (down-stream agribusiness), (4) sub-sistem pemasaran, dan (5) sub-sistem lembaga penunjang. Semua sub-sistem ini saling mempunyai keterkaitan satu sama lain sehingga gangguan pada salah satu sub-sistem akan berpengaruh terhadap sub-sistem yang lainnya. Hubungan antara sub-sistem agribisnis tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Antara, 2012). Hubungan antar sub-sistem agribisnis seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 juga berlaku untuk agribisnis yang berbasis peternakan. Saragih (2000) menjelaskan sistem agribisnis berbasis peternakan mencakup empat sub-sistem utama yaitu: (1) sub-sistem agribisnis hulu peternakan, sub-sistem ini merupakan kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi peternakan (sapronak), (2) sub-sistem agribisnis budidaya peternakan, kegiatan ekonomi yang menggunakan sapronak untuk menghasilkan komoditi peternakan primer, (3) sub-sistem agribisnis hilir peternakan, kegiatan ekonomi yang mengolah komoditi peternakan primer menjadi produk olahan, (4) sub-sistem agribisnis pemasaran/perdagangan, kegiatan ekonomi yang memasarkan ternak sapi maupun hasil olahannya. Keempat sub-sistem agribisnis tersebut perlu didukung oleh sub-sistem penunjang agribisnis
3
berupa jasa peternakan sebagai bagian dari pembangunan agribisnis. Sub-sistem penunjang merupakan kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh sub-sistem lain seperti transportasi, penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah.
Pemasaran/Perdagangan (domestik, internasional)
Agro-industri Hulu (up-stream) - Benih/bibit - Pupuk - Pakan - Pestisida - Alat dan mesin - Obat-obatan - Teknologi
Produksi (keluaran) Usahatani/kebun/ ternak/ikan - Pangan - Hortikultura - Kebun - Ternak - Ikan
Agro-industri Hilir (down-stream) - Pasca panen - Pengolahan lanjutan
Lembaga Penunjang Prasarana Organisasi
- Jalan - Jembatan - Transportasi - Pelabuhan
- Perkreditan - Penyuluhan - Koperasi - Penelitian - Peraturan pemerintah - Dan lain-lainnya
Gambar 2.1 Sistem Agribisnis
2.2 Teknik Sapta Usaha Peternakan Sapi Petani-peternak di Pulau Timor Provinsi NTT lebih dominan memelihara ternak sapi bali (Boss sondaicus). Begitu juga YMTM menggunakan ternak sapi bali dalam kemitraan usaha ternak sapi potong dengan petani di Kabupaten TTU.
4
Oleh karena itu, paparan teknik sapta usaha peternakan sapi lebih difokuskan untuk ternak sapi bali yaitu: pemilihan bibit, kandang dan perlengkapan, pemberian
pakan,
manajemen
pemeliharaan,
pengendalian
penyakit
dan
pengobatan, pengolahan kotoran ternak dan pemasaran ternak.
2.2.1 Memilih bibit sapi bali Menurut Muzani (2010), kriteria umum sapi bali bakalan yang baik adalah: jantan, umur > 2,5 tahun (minimal gigi tetap 2 pasang), sehat dan tidak cacat, napsu makan tinggi, tenang dan tidak liar, kurus tapi sehat, akan lebih baik kalau diketahui silsilahnya. Sedangkan ciri-ciri luar (eksterior) yaitu: warna kulit hitam atau hitam kemerahan, tulang/rangka besar, kepala pendek/persegi, leher pendek dan badan segi empat panjang.
2.2.2 Kandang dan perlengkapan Menurut Rasyid dan Hartati (2007), beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi kandang yaitu: tersedia sumber air, dekat dengan sumber pakan, transportasi mudah, dan areal kandang dapat diperluas lagi. Sedangkan letak bangungannya yaitu: permukaan lahan lebih tinggi dari kondisi sekelilingnya, jarak kandang minimal 10 m dari bangunan umum atau perumahan, tidak menggangu kesehatan lingkungan, agak jauh dengan jalan umum dan air limbah tersalur dengan baik. Konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, mempunyai sirkulasi udara yang baik, tidak lembab dan mempunyai tempat penampungan kotoran serta saluran drainasenya. Ukuran lantai kandang untuk setiap ekor sapi bali yang
5
digemukkan adalah panjang 175 cm-200 cm dan lebar 125 cm-150 cm. Tinggi atap disesuaikan dengan bentuk dan konstruksi kandang, idealnya tinggi atap kandang bagian depan sekitar 250 cm - 350 cm dan tinggi atap bagian belakang sekitar 140 cm - 225 cm. Dinding kandang tidak menjadi keharusan untuk sapi bali, namun jika dipandang perlu maka dinding kandang dibuat setinggi saat sapi berdiri. Di daerah dataran tinggi yang beriklim dingin dan daerah pantai dengan angin yang kencang, maka perlu ada dinding kandang dengan ukuran lebih tinggi dari ternak sapi saat berdiri. Perlengkapan kandang yang diperlukan yaitu tempat makanan, tempat minuman, dan tempat pembuangan limbah. Ukuran tempat makanan disesuaikan dengan ukuran kandang. Misalnya panjang tempat makanan sekitar 90 cm - 125 cm, lebar bagian atas 50 cm, lebar bagian bawah 40 cm, tinggi bagian luar 60 cm dan tinggi bagian dalam 50 cm. Tempat minuman dapat menggunakan ember yang ditempatkan di dalam tempat makanan. Tempat pembuangan limbah berupa lubang di dalam tanah yang dibuat beberapa meter dari kandang, dimana ada saluran untuk memudahkan pembuangan limbah dari kandang.
2.2.3 Pemberian pakan Salah satu keunggulan sapi bali adalah tidak terlalu selektif terhadap jenis pakan. Ada dua jenis pakan ternak sapi penggemukan, yakni hijauan (raughage) dan pakan penguat (konsentrat). Pertumbuhan sapi bali pada fase penggemukan mencapai rata-rata sekitar 200 - 300 g/ekor/hari dengan hanya memberikan pakan hijauan terutama rumput-rumputan (Guntoro, 2002). Sedangkan dengan pemberian pakan tambahan berupa konsentrat, pertumbuhan sapi bali mencapai 500 - 600
6
g/ekor/hari. Bahkan, pertumbuhan sapi bali bisa mencapai 600 - 700 g/ ekor/hari apabila diberikan probiotik. Pakan hijauan dikelompokkan menjadi dua macam, yakni jenis rumputrumputan dan daun-daunan. Pakan jenis rumput-rumputan seperti rumput raja, gajah, setaria dan benggala. Rumput-rumputan memiliki kandungan karbohidrat relatif tinggi tetapi protein yang rendah. Pakan jenis daun-daunan yang gizinya paling baik adalah tanaman jenis leguminosa seperti daun gamal, lamtoro, turi dan kaliandra. Jenis leguminosa mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan rumput-rumputan. Jenis daun-daun lainnya untuk pakan ternak sapi adalah daun waru, nangka, intaran, daun dadap dan lain-lainnya. Ternak sapi memerlukan hijauan dalam bentuk segar per hari minimal 10% dari berat badan sapi (Guntoro, 2002). Jika berat seekor sapi 300 kg maka diperlukan hijauan minimal 30 kg/hari. Makin banyak jenis hijauan yang diberikan kepada sapi, maka semakin baik karena unsur zat-zat makanan semakin lengkap. Pemberian 30% atau lebih leguminosa dari total hijauan yang dikonsumsi setiap hari akan memberikan pertumbuhan yang baik. Pemberian pakan hijauan dapat dilakukan pada pagi dan sore hari, dan akan lebih baik lagi bila diberikan pakan pada siang hari. Hijauan sebaiknya dipotongpotong, makin lembut pemotongan akan semakin baik. Persediaan hijauan segar sangat terbatas pada musim kemarau, namun sapi bali dapat diberikan hijauan kering (hay) dan hijauan olahan atau hasil fermentasi yang disebut silase. Konsentrat merupakan pakan tambahan yang nilai gizinya lebih tinggi serta mudah dicerna dibandingkan dengan pakan hijauan. Pemberian konsentrat
7
dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan sapi, namun perlu diperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian konsentrat sebanyak 0,7 % - 1,2 % dari berat badan sapi bali akan meningkatkan keuntungan (B/C ratio lebih tinggi). Jenis konsentrat yang murah dan mudah diperoleh adalah dedak padi, bungkil kelapa, ketela, ubi jalar dan kotoran ayam yang dapat diberikan secara sendiri-sendiri atau campuran. Sapi bali yang beratnya 250 kg, jika diberikan dedak padi sebanyak 2 kg per ekor per hari yang disertai dengan hijauan yang memadai dapat meningkatkan pertumbuhan hingga mencapai 475 - 500 g/ekor/hari (Guntoro, 2002).
2.2.4 Manajemen pemeliharaan sapi Pada usaha sapi potong, produktivitas ditekankan pada pertumbuhan sapi untuk mengoptimalkan keuntungan. Oleh karena itu, selama masa penggemukan harus diupayakan untuk memperoleh pertambahan berat badan sebesar-besarnya dengan input terutama berupa pakan semurah mungkin. Produktivitas yang optimal dipengaruhi oleh faktor teknis, pemberian pakan yang cukup dan bergizi, kesehatan dan berat awal sapi bakalan harus diperhatikan dengan sunguh-sungguh selama periode pemeliharaan. Pada saat sapi bali berumur 2,5-3,5 tahun, grafik pertumbuhannya menanjak tajam. Di atas umur 3,5 tahun, sapi bali masih akan tumbuh namun pertumbuhannya makin lambat. Pertumbuhan sapi bali menjadi semakin lambat pada umur 4 tahun, sehingga kurang menguntungkan jika tetap dipelihara. Lama penggemukan sapi bali berdasarkan pertimbangan umur/berat awal dapat dilihat pada Tabel 2.1.
8
Tabel 2.1 Umur/Berat Awal, Berat Badan, Lamanya Penggemukan dan Berat Badan Akhir No 1 2 3 4
Keadaan awal gigi/umur (thn) I0 (0 - 1,5) I1 ( 2 ) I2 ( 3 ) I3 ( 4 )
Berat badan (kg) 110 – 150 200 – 250 275 – 300 300 – 350
Lama penggemukan (bln) 18 bulan 12 bulan 6 - 8 bulan 5 - 6 bulan
Perkiraan berat badan akhir (kg) 350 – 400 350 – 400 350 – 400 390 – 450
Sumber: Djagra IB.,1992 (dalam Guntoro, 2002)
2.2.5 Pengendalian penyakit dan pengobatan Penyakit yang sering menyerang sapi bali di Provinsi NTT sampai saat ini adalah: penyakit ngorok (SE), penyakit mencret dan cacing hati. Gejala awal ternak sapi yang terserang penyakit ngorok adalah pembengkakan bawah leher dan lidah yang terjulur keluar, suhu tubuh meningkat dan mulut sapi menganga dengan mengeluarkan lendir berbusa, kesulitan bernafas dan saat tidur terdengar suara ngorok. Gejala lainnya, pembengkakan bagian dada dan leher, akibatnya mengalami penurunan nafsu makan, tubuh lemah dan gemetar, mata sapi sayu dan berair, selaput mata berlendir dan mencret. Penyebab penyakit SE (Septichamia Epizootica) adalah bakteri Pasteurella miltocida yang tinggal di selaput lendir hidung dan tenggorokan. Bakteri ini dapat mati pada suhu 70o C selama 15 detik. Pengendaliannya dengan pemberian vaksinasi SE setiap enam bulan sekali. Sapi yang sudah terlanjur terserang dapat diobati dengan serum SE atau antibiotika seperti senkomisin dan sulfonamid sebanyak 0,5 ml/kg berat badan atau sesuai dengan petunjuk dalam kemasan. Penyakit mencret (diare) sering menyerang pedet. Diare pada ternak khususnya sapi bukan merupakan sebuah penyakit, tapi lebih merupakan gejala
9
klinis dari sebuah penyakit yang lebih komplek yang bisa disebabkan oleh berbagai hal. Diare selalu berakibat kehilangan cairan atau dehidrasi, dimana cairan tubuh yang keluar itu membawa garam-garam mineral. Diare pada ternak sapi dibagi dua kategori yaitu diare yang dibebabkan oleh ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dengan ciri-ciri penyakit mencret, sebagai berikut (Sudarmono, 2008). 1) Bagian panggul sapi terlihat kotor oleh kotorannya yang mengering 2) Sapi sering mengangkat ekornya walaupun tidak membuang kotoran (hal ini terlihat jelas pada anak sapi yang mencret) 3) Kotoran cenderung cair walaupun diberi pakan hijauan tua atau kering 4) Nafsu makan berkurang 5) Bulu badan ternak sapi terlihat kusam Ternak sapi yang terkena mencret harus diberi antibiotik yang tepat baik jenis dan dosisnya dengan cara injeksi secara intra musculer (IM). Pemberian antibiotik pada ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan kuda) tidak dilakukan melalui asupan. Hal ini untuk melindungi perkembangbiakan bakteri yang ada di dalam saluran pencernaan hewan ruminansia. Penyakit cacing hati merupakan jenis parasit yang dominan menyerang sapi bali. Sapi yang terserang cacing hati akan tampak pucat, lesu, mata membengkak, tubuhnya kurus dan bulu kasar, kusam atau berdiri. Sapi yang terserang cacing hati mengalami gangguan fungsi hati sehingga timbul peradangan hati dan empedu dan pertumbuhan terganggu. Penyebab penyakit cacing hati disebut fascioliasis jika disebabkan oleh cacing Fasciola hepatica, atau disebut distomiasis bila disebabkan
10
oleh cacing Distumum hepaticum. Pengendaliannya dilakukan dengan pemberian obat cacing yang tersedia banyak di pasaran, namun hanya efektif untuk cacing stadium dewasa. Obat yang efektif untuk cacing stadium larva dan telur cacing masih jarang tersedia di pasaran.
2.2.6 Pengolahan kotoran ternak Pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai sumber pupuk organik sangat mendukung usaha pertanian seperti sayur-sayuran, tanaman pangan dan tanaman lainnya. Prabowo (2008) mengatakan bahwa penggemukan ternak sapi dengan target pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,5 kg akan dihasilkan 12,5 kg kotoran ternak per hari. Jika target pertambahan berat badan sebanyak 90 kg dalam satu periode penggemukan selama 6 bulan akan dihasilkan kotoran sebanyak 2,2 ton dari seekor ternak sapi. Jadi seekor ternak sapi minimal menghasilkan 1,5 ton kompos per 6 bulan. Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman yaitu 26,2 kg N per ton, 4,5 kg P per ton dan 13,0 kg K per ton. Selain menghasilkan unsur hara makro, pupuk kandang juga menghasilkan unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu dan Mo. Oleh karena itu, pupuk kandang menjadi pupuk yang baik untuk meningkatkan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan. Kotoran ternak sapi dapat digunakan sebagai pupuk tanaman setelah mengalami fermentasi baik secara alamiah maupun secara sengaja mengolah kotoran ternak sapi menjadi kompos atau bokashi. Selain itu, kotoran ternak dapat juga digunakan sebagai sumber energi yang terbarukan yaitu biogas. Dari proses
11
biogas juga menghasilkan pupuk ampas biogas (bio slurry) dan pupuk cair yang dapat langsung digunakan untuk menyuburkan tanaman.
2.2.7 Pemasaran ternak sapi Sebagian besar pemasaran ternak sapi potong di NTT tidak berdasarkan perencanaan, namun karena kebutuhan uang tunai yang mendesak sehingga bobot ternak yang dijual tidak sesuai dengan permintaan pasar. Sistem pemasaran ternak masih bersifat tradisional yaitu dengan cara cawang untuk menentukan perkiraan berat badan ternak sapi dan harga ditentukan oleh pedagang pengumpul (blantik). Posisi tawar petani rendah dalam berhadapan dengan blantik karena petani tidak mempunyai informasi pasar dan harga. Pengusaha menjual ternak sapi potong hidup melalui perdagangan antar pulau dari NTT ke Jakarta, Jawab Barat dan Kalimantan Timur melalui laut dan darat sehingga tidak terhindarkan tingkat kematian ternak sapi yang tergolong tinggi dalam perjalanan. Menurut Yusuf dan Nulik (2008) terdapat 3 saluran pemasaran ternak sapi potong di NTT yaitu: saluran I (produsen - blantik desa blantik pasar hewan - padagang antar pulau); saluran II produsen - blantik pasar hewan - pedagang antar pulau; dan saluran III (produsen - pedagang antar pulau). Lebih lanjut dikatakan, bahwa margin pemasaran yang paling besar adalah pada saluran I yakni Rp 1.062.500/ekor dan yang paling kecil pada saluran III yakni Rp 637.500 per ekor. Hal ini berarti petani-peternak mendapatkan harga jual ternak sapi yang lebih rendah pada saluran pemasaran yang lebih panjang (saluran I), sebaliknya petani-peternak mendapatkan harga jual ternak sapi yang lebih tinggi pada saluran pemasaran yang lebih pendek (saluran II).
12
2.3 Konsep Kemitraan 2.3.1 Pengertian dan prinsip kemitraan Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan di antara kedua belah pihak dalam menjalankan usahannya (Hafsah, 1999). Sedangkan menurut Suparta (2005), kemitraan adalah bentuk hubungan kerjasama dua atau lebih lembaga dengan keseimbangan, keselarasan dan keterpaduan, yakni saling percaya, saling menguntungkan dan mendidik, saling menghidupi dan melakukan etika bisnis. Menurut UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 13), kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dengan usaha besar. Kemitraan usaha peternakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian adalah
suatu
usaha
pembibitan
dan
atau
budidaya
peternakan
dalam
bentuk perusahaan peternakan atau peternakan rakyat, yang diselenggarakan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial atau sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan ternak bibit/ternak potong, telur, susu serta menggemukkan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan.
13
2.3.2 Azas dan etika bisnis kemitraan Dalam keputusan
Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/1997
tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian pada Pasal 3 dinyatakan bahwa kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, keselasaran dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan yang menggambarkan hubungan sebagai berikut: (1) saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan; (2) saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis; (3) saling menguntungkan, yaitu kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha. Menurut Hafsah (1999), kemitraan merupakan suatu strategi bisnis, untuk itu keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Konsistensi dalam penerapan etika bisnis akan berbanding lurus dengan kemantapan atau kekokohan dalam menopang pilarpilar di atasnya. Menurut Marioti (dalam Hafsah, 2009) ada enam dasar etika berbisnis (empat merupakan interaksi manusia dan dua perspektif bisnis), yaitu: (1) berkarakter, berintegritas dan jujur; (2) sikap saling percaya; (3) komunikasi yang terbuka; (4) bersikap adil; (5) ada nilai tambah yang ingin diraih oleh pihak-pihak yang bermitra; dan (6) keseimbangan antara insentif dan risiko.
14
2.3.3 Tujuan dan manfaat kemitraan Kemitraan usaha bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kuantitas dan kualitas produksi, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas kelompok usaha, peningkatan usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri (Suryanto dan Martodireso, dalam Hafsah, 1999). Sedangkan menurut Hafsah (1999), tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan adalah: (1) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat; (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan; (3) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan; (4) memperluas kesempatan kerja; dan (5) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Lebih lanjut Hafsah mengatakan bahwa manfaat dari kemitraan adalah: (1) tercapainya produktivitas yang tinggi; (2) tercapainya efisiensi; (3) jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas; (4) penanganan risiko; (5) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (6) menumbuhkan ekonomi pedesaan, daerah dan nasional; dan (7) memperluas kesempatan kerja.
2.3.4 Pola kemitraan agribisnis Dalam pelaksanaan usaha pertanian di Indonesia, terdapat berbagai pola atau bentuk kemitraan yang dapat diterapkan antara petani dan atau peternak dengan pengusaha menengah atau besar. Menurut Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian (Kepmentan No.940/kpts/OT.210/10/1997), Departemen Pertanian (2003), kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan lima pola kemitraan yaitu: (1) pola inti plasma, (2) pola sub-kontrak, (3) pola dagang, (4) pola keagenan, dan (5) pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Dari lima pola
15
kemitraan tersebut, dua pola kemitraan yang relevan dengan usaha ternak yaitu pola inti plasma dan pola kerjasama operasional agribisnis, dengan penjelasan sebagai berikut. 1. Pola inti plasma Pola inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dimana usaha menengah atau besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Perusahaan inti melaksanakan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam hal penyediaan dan penyiapan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan dan peningkatan teknologi yang diperlukan, pembiayaan dan bantuan lain yang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sampai pemasaran hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra usaha kecil memenuhi kebutuhan perusahan inti sesuai dengan persyaratan yang disepakati sehingga produknya mempunyai daya kompetitif dan nilai jual yang tinggi. Beberapa keunggulan dari kemitraan pola inti plasma yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut. a) Memberikan manfaat timbal balik antara pengusaha besar/menengah sebagai inti dengan pengusaha kecil sebagai plasma. b) Berperan dalam pemberdayaan pengusaha kecil di bidang teknologi, modal, kelembagaan dan lain-lain. c) Pengusaha besar/menengah dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang mempunyai keunggulan dan mampu bersaing di pasar nasional dan internasional.
16
d) Bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga terjadi pemerataan pendapatan. e) Usaha kecil yang mendapat bimbingan dari pengusaha besar/menengah akan mampu memenuhi skala ekonomi sehingga dapat tercapai efisiensi. f) Keberhasilan kemitraan inti plasma dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha besar lainnya sebagai investor baru untuk membangun kemitraan yang baru. 2. Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Pola KOA merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra yang menyediakan sarana dan tenaga dengan
perusahaan mitra yang menyediakan
modal, biaya, manajemen dan sarana produksi untuk mengusahakan suatu komoditas pertanian. Selain itu, perusahan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Dalam pelaksanaan KOA terdapat kesepakatan tentang pembagian hasil dan risiko dalam usaha komoditas pertanian. Keunggulan pola KOA ini sama dengan keunggulan pola inti plasma. Pola KOA paling banyak ditemukan pada masyarakat pedesaan, antara usaha kecil di desa dengan usaha rumah tangga dalam bentuk sistem bagi hasil. Misalnya, jika pemilik lahan menyediakan lahan dan modal, sedangkan petani menyediakan tenaga dan sarana pertanian lainnya maka bagi hasilnya 50:40. Hal ini berarti 50% keuntungan untuk pemilik lahan dan 40% untuk petani. Kelemahan yang sering ditemukan dalam pelaksanaan pola KOA, adalah: (1) pengambilan untung oleh perusahan mitra yang menangani aspek pemasaran dan pengolahan produk terlalu besar, sehingga dirasakan kurang adil oleh
17
kelompok usaha kecil mitranya; (2) perusahan mitra cenderung monopsoni sehingga memperkecil keuntungan yang diperoleh pengusaha kecil; (3) belum ada pihak ketiga yang berperan efektif dalam memecahkan permasalahan tersebut.
2.4 Pemberdayaan Masyarakat 2.4.1 Konsep pemberdayaan masyarakat Pengembangan masyarakat adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Menurut Rachman (1998), pengembangan masyarakat merupakan suatu proses swadaya masyarakat yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kondisi masyarakat pada bidang sosial, politik, kultural, dan ekonomi. Pengembangan masyarakat merujuk kepada usaha-usaha yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat bersama dengan pemerintah setempat untuk meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh pada kejayaan dan kemakmuran bangsa (Sumodiningrat, 1997). Cushway dan Lodge (1999) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pendelegasian tanggung jawab dan pembuatan keputusan pada tingkat kewenangan yang terendah dalam organisasi sehingga keputusan-keputusan dapat dibuat di tempat yang paling dekat dengan titik-titik dampaknya. Pemberdayaan (empowerment) berarti memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat/ individu untuk menggali potensi yang dimiliki untuk kemudian ditingkatkan
18
kualitasnya agar mampu mandiri (Wahyuni, 2003). Menurut Rachman (1998), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kemampuan dalam hal: (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan; (b) menjangkau sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusankeputusan yang mempengaruhi mereka. Dari paparan di atas dapat dikatakan, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.4.2 Peran YMTM dalam pemberdayaan masyarakat YMTM menempatkan seorang staf lapangan di desa untuk melakukan pemberdayaan ekonomi petani.
Ada beberapa peran yang dilakukan YMTM
dalam pengembangan usaha ternak sapi potong, yaitu: (1) memfasilitasi pelatihan dan penyuluhan dalam hal teknik usahatani dan teknik pemeliharaan ternak sapi potong; (2) menumbuhkan dan memperkuat kapasitas kader dan kelompok tani; (3) memberikan ternak sapi bakalan dengan sistem gaduh; (4) memberikan bantuan benih/bibit hijauan makanan ternak; (5) mendampingi petani secara
19
intensif dan regular serta mengawasi kondisi ternak sapi; (6) memperkuat kapasitas petani dalam manajemen pemeliharaan ternak sapi potong; (7) melatih petani dalam pengelolaan kotoran ternak dan penggunaan pupuk organik untuk tanaman; (8) membangun jaringan pasar dan melakukan negosiasi harga jual ternak sapi potong; (9) mengorganisir petani dan ternak sapi yang siap untuk dijual; (10) mengawasi penimbangan ternak sapi sampai pengangkutan serta membagikan uang pembagian hasil penjualan ternak sapi yang sesuai dengan kesepakatan.
2.5 Efektivitas 2.5.1 Konsep efektivitas Kinerja suatu program ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dalam mencapai tujuan atau sasaran. Dalam pengukuran efektivitas pelaksanaan program maka tidak dapat dilepaskan dari efisiensi. Indikator efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program antara lain mencakup kesesuaian jenis kegiatan, biaya unit kegiatan, dan hasil kegiatan. Pengukuran efektivitas menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah tujuan suatu program tercapai atau tidak. Efektivitas merupakan ukuran untuk menggambarkan sejauhmana sasaran dapat dicapai (Atmosoeprapto, 2001). Efektivitas yang tinggi dengan efisiensi yang rendah dapat mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sebaliknya, efisiensi yang tinggi tetapi efektivitas yang rendah berarti tidak tercapainya sasaran atau terjadi penyimpangan sasaran. Efektivitas lebih mengarah kepada pencapaian sasaran atau tujuan yang direncanakan. Hasil yang semakin mendekati sasaran berarti derajat efektivitasnya semakin tinggi (Supari, 2002). Sedangkan efisiensi
20
lebih mengacu pada biaya, dimana dengan penggunaan input yang relatif sedikit akan dihasilkan output yang lebih banyak. Seseorang pengusaha/petani/pelaksana usaha berupaya untuk mencapai efektivitas yang setinggi-tingginya dengan biaya yang seefisien mungkin. Gaspersz (2000) menyatakan bahwa tingkat efektivitas dari sistem produksi merupakan rasio output actual terhadap output yang direncanakan, diukur dalam satuan persen dengan nilai ideal 100%. Penyimpangan dari nilai 100% baik lebih atau kurang perlu dikoreksi agar memperkecil atau menghilangkan penyimpangan yang ada.
2.5.2 Faktor-faktor efektivitas Menurut Price (dalam Umar, 2005), indikator yang dipakai untuk mengukur efektivitas adalah produktivitas, moral, persesuaian, kemampuan adaptasi dan kemampuan melembaga dimana produktivitas dijadikan sebagai indikator yang paling utama/erat kaitannya dengan efektivitas. Sedangkan Gibson, dkk (2000) menyatakan bahwa unsur-unsur yang dipakai sebagai indikator efektivitas adalah produksi, mutu, efisiensi, fleksibelitas, kepuasan, persaingan, pengembangan dan kelangsungan hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas yaitu: (1) faktor internal yang terdiri atas kemampuan, keterampilan, pengetahuan, sikap, motivasi, stress, keterpaduan, kepemimpinan, struktur, status, peran, norma-norma, lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses dan kultur; (2) faktor eksternal terdiri atas kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi secara umum dan aktivitas sosial yang berada diluar kendali manajemen (Gibson, dkk, 2000).
21
2.5.3 Keterkaitan efektivitas dan efisiensi Dalam pengukuran efektivitas tidak bisa dilepaskan dari efisiensi. Efisiensi diartikan sebagai upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya (Soekartawi, 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum menganalisis efisiensi yaitu: (1) tingkat tranformasi antara input dan output dalam fungsi produksi, dan (2) perbandingan antara harga input dengan harga output sebagai upaya untuk mencapai indikator efisiensi. Efisiensi dicapai bila pemanfaatan sumber daya itu menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Supari (2002) mengatakan efisiensi menunjukkan keberhasilan dari segi besarnya sumber (masukan) yang digunakan atau biaya yang dikeluarkan untuk mencapai hasil yang direncanakan. Makin kecil sumber yang digunakan berarti makin efisien. Menurut Mang (2000) dalam Supari (2002), efisiensi dapat berbentuk waktu dan tenaga. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan inti dapat menghemat tenaga dalam mencapai target dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki petani plasma. Sebaliknya, petani plasma dapat menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan inti.
2.5.4 Efektivitas kemitraan usaha ternak Dalam kaitannya dengan kemitraan usaha ternak sapi potong di Kabupaten TTU, efektivitas digunakan sebagai ukuran untuk menggambarkan sejauhmana tujuan dari kemitraan usaha ternak sapi potong dapat tercapai. YMTM mengatakan bahwa tujuan atau keberhasilan usaha ternak sapi potong telah ditetapkan dari sejak awal kemitraan, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan petani-peternak; (2)
22
meningkatkan jumlah ternak sapi yang dimiliki sendiri oleh petani-peternak; (3) meningkatkan posisi tawar petani-peternak berhadapan dengan pengusaha; (4) meningkatkan ketersediaan pupuk organik untuk memupuk tanaman; (5) meningkatkan berat jual dari ternak sapi potong; dan (6) meningkatkan harga jual ternak sapi potong yang dipelihara oleh petani-peternak. Semakin banyak tercapai tujuan usaha maka efektivitas kemitraan semakin tinggi dan sebaliknya semakin sedikit tercapai tujuan usaha itu maka efektivitas kemitraan semakin rendah. Efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong ini juga diukur dengan pencapaian efisiensi usaha ternak sapi potong. Efisiensi diukur dengan adanya pengurangan durasi waktu penggemukan ternak sapi potong dan terjadinya peningkatan berat badan jual dari ternak sapi potong, serta peningkatan pendapatan dari usaha ternak sapi potong dan pengurangan biaya-biaya produksinya. Selanjutnya, YMTM mengatakan bahwa petani-peternak telah merasakan manfaat dari kemitraan usaha ternak sapi potongnya, yaitu: (1) mempunyai sumber pendapatan yang baru sehingga terjadi peningkatan pendapatan; (2) pemasaran ternak sapi potong telah terorganisir dengan baik sehingga posisi tawar petani meningkat; (3) YMTM selalu negosiasi harga jual ternak sapi potong dengan pengusaha sehingga mendapatkan harga yang lebih tinggi; (4) penjualan ternak sapi ditimbang dengan timbangan yang telah ditera; (5) petani mempunyai pupuk organik yang lebih banyak untuk memupuk tanaman; (6) semakin banyak petanipeternak yang menjual ternaknya melalui skema collective marketing. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa efektivitas kemitraan usaha ternak sapi potong telah berjalan efektif. Indikasi ini dapat menjadi hipotesis dalam penelitian ini.
23
2.6 Pendapatan Petani-Peternak Dalam ekonomi, analisis pendapatan dilakukan dengan cara total penerimaan dari suatu usaha dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, dengan rumus sebagai berikut (Gaspersz, 2005). π = TR – TC = TR – (TVC + TFC) Keterangan: π
: Keuntungan/kerugian usaha
TR
: Total Revenue (total penerimaan)
TC
: Total Cost (total biaya)
TVC
: Total Variable Cost (total biaya variabel)
TFC
: Total Fixed Cost (total biaya tetap)
Ada beberapa konsep biaya dalam ekonomi yaitu: (1) biaya tetap (FC), (2) biaya total tetap (TFC); (3) biaya variabel (VC) dan (4) biaya total variabel (TVC) serta biaya tunai dan tidak tunai (Prawirokusumo, 1990). Lebih lanjut dikatakan biaya tetap (FC) yaitu biaya yang masa penggunaannya tidak berubah walaupun jumlah produksi berubah atau tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi karena tetap dan tidak tergantung kepada besar kecilnya usaha, bila diukur per unit produksi maka biaya tetap makin lama makin kecil (turun). Dalam usahatani yang termasuk biaya tetap antara lain tanah, peralatan, kandang, bunga modal dan pajak. Biaya variabel (VC) yaitu biaya yang selalu berubah tergantung besar kecilnya produksi. Dalam usahatani yang termasuk biaya variabel antara lain biaya sarana produksi, pemeliharaan, pakan ternak, panen, pasca panen, pengolahan, pemasaran, tenaga kerja dan biaya operasional.
24
Biaya tunai meliputi biaya yang dikeluarkan berupa uang tunai seperti pembelian benih/bibit, pupuk, obat-obatan dan pakan ternak. Biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak dikeluarkan sebagai uang tunai sehingga dalam analisa usaha ternak sapi potong ini tidak diperhitungkan, seperti tenaga kerja rumah tangga, hijauan makanan ternak yang diambil di kebun, material pembuatan kandang yang diambil di kebun dan lain-lainnya. Prawirokusumo (1990) menyatakan bahwa dalam usaha pertanian ada beberapa jenis pendapatan, adalah sebagai berikut. 1) Pendapatan kotor (gross income) adalah pendapatan usahatani yang belum dikurangi biaya. Pendapatan kotor dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu bentuk tunai (cash) dan tidak tunai (non cash). Pendapatan kotor dalam bentuk tunai adalah penjualan dari hasil produksinya, dapat dari tanaman maupun ternak. Sedang yang non cash dapat berupa produk yang dikonsumsi langsung oleh petani atau ditukar komoditi lain atau didonasikan, atau dapat berupa barang dan service. 2) Pendapatan bersih (net income) adalah pendapatan setelah dikurangi biaya. 3) Pendapatan pengelola (management income) adalah pendapatan yang merupakan hasil pengurangan dari total output dengan total input. Input produksi atau biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi serta menjadi barang tertentu atau menjadi produk akhir, dan termasuk didalamnya adalah barang yang dibeli dan jasa yang dibayar. Sisa dari pengurangan total output dengan total input merupakan jumlah tersisa setelah semua input untuk produksi, baik yang benar-benar dibayar maupun
25
yang hanya diperhitungkan saja telah dijumlahkan. Pendapatan ini biasanya pendapatan negatif bagi usahatani kecil atau keluarga. 4) Pendapatan tenaga kerja petani yaitu pendapatan pengelola ditambah upah tenaga kerja petani. Pendapatan tenaga kerja rumah tangga petani adalah pendapatan pengelola ditambah upah tenaga kerja petani dan anggota rumah tangga yang dihitung. Pendapatan petani adalah pendapatan tenaga kerja petani ditambah bunga modal milik sendiri dan sewa tanah milik sendiri. Pendapatan rumah tangga petani merupakan pendapatan tenaga kerja rumah tangga petani ditambah bunga modal milik sendiri.
2.7 Penelitian Terdahulu Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Sanjaya (2013) tentang efektivitas penerapan Simantri di Bali. Hasil penelitiannya mendapatkan bahwa penerapan usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan dan usaha pengolahan limbah ternak sapi terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas penerapan Simantri. Efekvititas penerapan Simantri terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan petanipeternak.
Sebagian
besar
responden
(67,38%)
memperoleh
peningkatan
pendapatan >25-50%, hanya 8,70% responden yang memperoleh peningkatan pendapatan di atas 100%, 6,52% responden memperoleh peningkatan pendapatan >75-100%, 8,70% responden memperoleh peningkatan pendapatan >50-75%, dan sisanya 6,52% responden memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 1-25%. Penelitian serupa dilakukan oleh Listiana (2010) tentang kemitraan penggemukan sapi potong antara PT Great Giant Livestock Company dan peternak
26
sapi di Kabupaten Lampung Tengah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor internal peternak sapi, faktor eksternal peternak sapi dan karakteristik kemitraan, berpengaruh secara bersama-sama terhadap partisipasi peternak sapi sebesar 68,9%. Begitu juga, faktor internal peternak sapi, eksternal peternak sapi dan karakteristik kemitraan berpengaruh secara bersama-sama terhadap elemen pendukung kemitraan sebesar 68,1%.
Faktor internal peternak sapi, faktor
eksternal peternak sapi, karakteristik kemitraan, partisipasi peternak sapi dan elemen pendukung kemitraan berpengaruh secara bersama-sama terhadap keberhasilan kemitraan antara PT Great Giant Livestock Company dan peternak sapi di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 83,1%. Selanjutnya penelitian Firmansyah, dkk (2006) tentang manfaat finansial pada pola kemitraan usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Sumedang mendapat pendapatan riil peternak sebesar Rp 6.544.425 per tahun dari investasi sebesar Rp 1.911.200, sedangkan pendapatan investor Rp 7.260.989 per tahun per unit usaha dari investasi sebesar Rp 14.400.000. Parameter ROI peternak 57,39 % lebih besar dari ROI investor 50,42 %. Hal ini mengindikasikan bahwa aturan bagi hasil yang selama ini berjalan dinilai hampir memberikan keuntungan finansial yang proporsional atau adil, bahkan sedikit lebih tinggi bagi peternak.
27