BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Definisi Belajar Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai
tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar (Dimyati dan mudjiono, 2009). Menurut Hamalik (dalam Hermawan 2014) dalam proses pengajaran, unsur proses belajar sangat memegang peranan yang sangat penting, mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar, dan kegiatan belajar akan bermakna jika terjadi kegiatan belajar siswa. Sedangkan menurut Slameto (dalam Hermawan, 2014) belajar adalah proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Burton (dalam Usman dkk, 2001) mengemukakan hal senada dengan teori behaviorisme di mana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu, dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya. 2.2
Pembelajaran Kolaboratif Istilah belajar kolaboratif (collaborative learning) mengacu kepada metode
pengajaran yang mana pebelajar dengan berbagai latar kemampuan bekerja bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan. Tiap-tiap 8
9
pebelajar saling bertanggungjawab atas belajar dengan teman-temannya sebagaimana ia bertanggungjawab belajar untuk diri sendiri. Keberhasilan tiap individu merupakan keberhasilan pebelajar lainnya dalam kelompok (Widjajanti, 2008). Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai tempat untuk belajar tentang kehidupan nyata (Agustina,2007). Zamroni (dalam Agustina, 2007) Teori belajar kolaboratif menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari pihak pebelajar maupun pengajar. Pebelajar bukanlah penonton dan pendengar yang pasif, tetapi mereka harus dilibatkan dalam proses pembelajaran. Teori ini didasarkan pada gagasan bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, dimana pebelajar perlu mempraktikannya. Tujuan akhir adalah menghasilkan pebelajar yang utuh yakni matang intelektual, sosial dan emosi. Mereka adalah generasi baru yang diharapkan yang disamping memiliki prestasi akademik cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Menurut Piaget dan Vigotsky (dalam Amin, 2013) dalam
Strategi
pembelajaran kolaboratif didukung oleh adanya tiga teori, yaitu:
1. Teori Kognitif, Teori ini berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada pembelajaran kolaboratif sehingga dalam suatu
10
kelompok akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.
2. Teori Konstruktivisme Sosial, Pada teori ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu perkembangan individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semua anggota kelompok.
3. Teori Motivasi, Teori ini teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaran tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar, menambah keberanian anggota untuk memberi pendapat dan menciptakan situasi saling memerlukan pada seluruh anggota dalam kelompok.
Piaget dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para siswa belajar lebih baik jika mereka berpikir secara kelompok, menurut pikiran mereka maka oleh sebab itu menjelaskan sebuah pekerjaan lebih baik menampilkan di depan kelas. Piaget juga berpendapat bila suatu kelompok aktif
kelompok
tersebut akan melibatkan yang lain untuk berpikir bersama, sehingga dalam belajar lebih menarik (Suprijono,2010).
Agustina (2007) mengatakan bahwa proses dalam pola belajar kolaborasi memiliki 6 karakteristik, yakni: (1) Tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran, (2) Diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, (3) Para anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti secara mendalam, (4) Tiap anggota tim menguasakan kepada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan, (5) Kerja tim
11
dipertanggungjawabkan ke (orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri, dan (6) Diantara anggota tim ada saling ketergantungan.
Panitz (1996) lebih lanjut menjelaskan bahwa peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah (1) free-rider, yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi, (2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia membagi pengetahuan yang dimilikinya, (3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya proses penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggota tim yang lain tidak optimal, (4) ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk menyelesaikannya.
Menurut Sato (dalam Widjajanti 2008), pembelajaran kolaboratif berbeda dari pembelajaran kooperatif. Perbedaan antara pembelajaran kolaboratif dan pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut; pembelajaran kooperatif berfokus pada kesatuan dalam kelompok, sedang pembelajaran kolaboratif, unit yang ditekankan adalah pada setiap individu. Tujuan dari kegiatan kelompok adalah bukan untuk mencapai kesatuan yang didapat melalui kegiatan kelompok, namun para siswa dalam kelompok didorong untuk menemukan beragam pendapat atau pemikiran yang dikeluarkan oleh setiap individu dalam kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran kolaboratif dalam kelompok kecil, guru tidak boleh berusaha untuk menyatukan pendapat dan ide para siswa dalam kelompok kecil tersebut, serta tidak boleh meminta mereka untuk menyatakan pendapat mereka sebagai perwakilan pendapat dari kelompok, seperti yang dilakukan dalam pembelajaran kooperatif.
12
Gokhale (2005) dalam penelitiannya berjudul Collaborative Learning Enhances Critical Thinking menjelaskan pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, dimana dengan berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
2.3
Pendekatan Pemecahan Masalah Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk
pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu (Arifin, 2000). Menurut Hamiyah (2014) definisi dari pendekatan pemecahan masalah adalah pendekatan yang digunakan dalam mempelajari suatu ilmu pengetahuan dengan maksud mengubah keadaan yang aktual menjadi keadaan seperti yang kita kehendaki dengan memperhatikan prosedur pemecahan yang sistematis. Pemecahan masalah adalah sangat penting dalam proses pembelajaran. Dengan pendekatan pemecahan masalah, siswa mampu memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Pendekatan pemecahan masalah bertujuan agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan
13
di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secar logis, rasional, kritis cermat, jujur dan efektif (Purba, 2010). Menurut Polya (dalam Hamiyah, 2014) indikator pemecahan masalah yaitu: a. Memahami masalah Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. b. Merencanakan penyelesaian Setelah siswa memahami masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah. c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat. d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase penyelesaian. Arifin (2000), menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam memecahkan masalah adalah sama halnya dengan memecahkan masalah dalam penelitian, tahapan-tahapan pemecahan masalah di sekolah oleh pelajar dalam hal ini yang dimaksud adalah pemecahan soal. Tahap-tahap pemecahan masalah tersebut adalah : 1) Tahap
analisis
masalah
untuk
menyimpulkan data yang ada.
mendapatkan
rumusan
masalah
dan
14
2) Tahap perencanaan pemecahan masalah. Dari data-data yang ada, siswa mencoba merencanakan suatu pemecahan masalah dengan tahapan sebagai berikut: a) memecahkan rumus standar, b) meneliti hubungan antar konsep, c) Membuat transformasi atau membuat suatu pengubahan bentuk yang dapat mendukung proses pemecahan masalah. 3) Tahap melakukan perhitungan 4) Tahap pengecekan. Redhana
&
Liliasari
(2008),
dalam
penelitiannya
menyebutkan,
pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menggunakan sejumlah keterampilan berpikir kritis. Di dalam pembelajaran kimia banyak materi-materi yang membutuhkan suatu pemecahan masalah, baik yang bersifat eksperimen, perhitungan, maupun yang bersifat teori. Untuk dapat memecahkan masalah tersebut, siswa harus menguasai konsepkonsep yang berhubungan dengan soal yang akan dipecahkan. Dengan pendekatan pemecahan masalah dalam pembelajaran kimia, diharapkan siswa menjadi terlatih untuk bisa memecahkan soal-soal kimia secara sistematis dan mampu mengaitkan konsep yang satu dengan yang lain. Pemecahan masalah mempunyai hubungan timbal balik dengan berpikir kritis. Melalui belajar memecahkan masalah dapat dibentuk antara lain cara berpikir secara analitik, logis, dan deduktif yang merupakan komponen berpikir kritis. Belajar dengan pemecahan masalah akan melatih siswa terampil dalam berpikir. 2.4
Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus
dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif
15
dan efisien. Strategi pembelajaran mengandung makna perencanaan. Artinya, strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual berkaitan dengan keputusankeputusan
yang
akan
diambil
dalam
suatu
pelaksanaan
pembelajaran
(Hamiyah,2014). Newman dan Logan (dalam Syamsuddin, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha,antara lain: 1) Mengidentifikasi dan menetapkan target yang harus dicapai, 2) Mempertimbangkan dan memilih pendekatan yang paling efektif untuk mencapai sasaran. 3) Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah yang akan ditempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran. 4) Mempertimbangkan dan menetapkan tolak ukur dan patokan untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan dari suatu usaha. Yang mana jika dterapkan dalam konteks pembelajaran keempat unsur tersebut, antara lain: 1) Menetapkan kualifikasi tujuan pembelajaran, yakni perubahan prilaku peserta didik. 2) Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif, 3) Mempertimbangkan dan menetapkan langkahlangkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran. 4) Menetapkan ukuran keberhasilan dan kriteria suatu keberhasilan. Strategi
kolaboratif
berbasis
masalah
merupakan
kombinasi
dari
pembelajaran kolaboratif dengan pendekatan pemecahan masalah, dimana masalah yang diajukan diharapkan dapat menimbulkan kolaborasi antar siswa dalam pembelajaran kolaboratif, sehingga siswa dalam kelompok dapat saling mengklarifikasi pengetahuannya dan meningkatkan pemahaman masing-masing, serta bertanggungjawab atas keberhasilan belajar diri sendiri dan temannya. (Widjajanti,2008)
16
2.4.1 Langkah-langkah Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah Menurut Widjajanti (2008) strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah mempunyai beberapa karakteristik yaitu: 1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang. 2) Sebelum siswa belajar dalam kelompok mereka diberi kesempatan untuk mengidentifikasi masalah yang diberikan oleh guru dan merancang strategi penyelesaiannya beberapa saat secara mandiri, kemudian 3) siswa dipersilahkan belajar dalam kelompok (4-5 orang) untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi ide/gagasan teman dalam kelompoknya,
membuat
konjektur,
memilih
strategi
penyelesaian,
dan
menyelesaikan masalah yang diberikan dengan cara saling bertanya dan beradu argumen. 4) Setelah belajar dalam kelompok, siswa menyelesaikan masalah yang diberikan guru, sementara guru berperan sebagai fasilitator, yang berkewajiban memfasilitasi jalannya diskusi kelompok dengan memberi pertanyaan pancingan untuk menghidupkan kolaborasi. 5) Beberapa siswa yang diberi kesempatan mempresentasikan penyelesaian masalahnya di depan kelas tidak dalam peran mewakili kelompok, tetapi menyampaikan hasil belajarnya sendiri, yang mungkin saja sebagian besar diantaranya ia dapatkan dari diskusi di dalam kelompoknya. Dengan cara yang demikian, maka diharapkan masing-masing siswa akan berupaya lebih keras untuk belajar “sesuatu” dalam kelompoknya agar dapat menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Tahapan pembelajaran kolaboratif dengan pendekatan pemecahan masalah seperti yang dipaparkan Agustina (2007) adalah: •
Pertama, tahap pemahaman (defining the problem), pada tahap ini guru memberikan suatu permasalahan yang berdasarkan fenomena yang ada,
17
kemudian
siswa
menguraikan
permasalahan
tersebut
dan
mengidentifikasinya. •
Tahap kedua (strategy for solving problem) yaitu tahap perencanaan atau merancang strategi, dimana siswa mulai mencari alternatif berbagai macam solusi untuk menjawab permasalahan yang ada
•
Tahap yang ketiga yaitu melaksanakan strategi (execution of the strategy), strategi yang sudah ditetapkan pada tahap dua diterapkan kemudian dianalisis apakah sudah sesuai dengan permasalahan yang ada.
•
Tahap terakhir yaitu menjawab permasalahan (the problem solved), pada tahap ini siswa sudah memperoleh jawaban dari permasalahan yang ada atau sudah dapat memecahkannya, kemudian dianalisis.
2.4.2 Manfaat Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah Moallem (2003) mengidentifikasi 4 (empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan masalah dalam pembelajaran antara lain: (1) Menumbuhkan tanggungjawab individu, karena diantara individu menyadari akan adanya tugas-tugas bersama dalam kelompok. (2) Meningkatkan komitmen pada kelompok dan tujuan-tujuan bersama dimana anggota
kelompok
saling
bantu-membantu,
saling
membutuhkan,
memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk pencapaian tujuan-tujuan bersama. (3) Memperlancar interaksi antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan tiap anggota menampilkan keterampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi.
18
(4) Memberikan stabilitas pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain dalam waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma kelompok, penampilan tugas bersama, dan pola-pola interaksi. Menurut Agustina (2007) Strategi pembelajaran kolaboratif yang berbasis masalah sangat cocok digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi siswa dikarenakan: (1) Dalam pembelajaran yang berbasis masalah, siswa belajar dalam kelompokkelompok kecil untuk memecahkan masalah. Dalam proses menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru, para siswa akan mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi ide/gagasan teman dalam kelompoknya, memilih strategi penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan. Apa yang akan dilakukan siswa dalam kelompoknya tersebut, akan berakibat pada meningkatnya kemampuan siswa untuk berpikir kritis. (2) Dalam menggunakan strategi pembelajaran kolaboratif, siswa belajar dalam kelompok kecil. Belajar dalam kelompok ditekankan pada terjadinya interaksi sosial melalui diskusi, saling bertanya dan memberi pendapat untuk meningkatkan pemahaman masing-masing. Interaksi yang demikian ini merupakan bagian dari cara untuk meningkatkan pemahaman, penalaran, kemampuan
berpikir
kritis,
kemampuan
pemecahan
masalah,
dan
kemampuan komunikasi. 2.5
Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking) Secara garis besar, berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar
mengajar. Menurut Patmawati (2011), pada proses berpikir terjadi kegiatan
19
penggabungan antara persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran, kegiatan memanipulasi mental karena adanya rangsangan dari luar membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan, serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah. Salah satu keterampilan berpikir adalah berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis (Rustaman, 2011). Tran Vui (dalam Patmawati, 2011) mendefinisikan kemampuan berpikir tingkat tinggi sebagai berikut: “Higher order thinking occurs when a person takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing situations”. Dengan demikian, kemampuan berpikir tingkat tinggi akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan menghubung-hubungkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan ataupun menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan. (Patmawati, 2011) Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan. Dilihat dari kinerja otak sebagai pusat berpikir, otak terdiri dari
20
belahan otak kiri dan otak kanan. Otak kiri banyak mendukung kemampuan berpikir kritis, sedangkan otak kanan banyak mendukung kemampuan berpikir kreatif. Kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pengembangan berpikir kritis dan berpikir kreatif tidak akan terlepas dari pengembangan kemampuan kinerja otak kiri dan otak kanan yang membutuhkan latihan yang berlanjut yang dapat dilakukan melalui pembelajaran semua bidang studi di sekolah. (Liliasari, 2003) 2.6
Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir kritis sebagai salah satu komponen dalam proses berpikir tingkat
tinggi, menggunakan dasar menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis. Semua pendidik semestinya tertarik untuk mengajarkan berpikir kritis kepada para siswanya. Berpikir kritis dimaksudkan sebagai berpikir yang benar dalam pencarian pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang dunia realita (Liliasari, 2003). Berpikir kritis dipandang sebagai kemampuan berpikir seseorang untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Jika terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk memperoleh penjelasan. Wingkel dalam Patmawati (2011) mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan merumuskan sesuatu problem, yang mencakup menentukan intinya, menemukan kesamaan dan perbedaan, menggali informasi serta data yang relevan, kemampuan untuk
21
mempertimbangkan dan menilai, yang meliputi membedakan antara fakta dan pendapat, menemukan asumsi atau pengandaian dan menarik kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan
berdasarkan
data
yang
relevan,
serta
memperkirakan akibat yang dapat timbul. Indikator keterampilan berpikir kritis menurut Fisher (dalam Oktaviana 2011) adalah : a. Mengidentifikasi, adalah membedakan komponen-komponen yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak menimbulkan kebingungan. Mengdientifikasi merupakan pemberian tanda-tanda pada golongan barang-barang atau sesuatu. Dengan identifikasi suatu komponen itu dapat dikenal dan diketahui masuk dalam golongan mana. b. Menilai, adalah suatu tindakan mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Menilai merupakan suatu kegiatan memeriksa kebenaran suatu informasi dan suatu kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. c. Menginterpretasi, merupakan kegiatan menjelaskan dan menafsirkan fakta, data. Informasi, atau peristiwa dalam tabel, gambar, diagram, grafik dan dapat juga menerangkan sesuatu dengan grafik atau tabel. d. Menganalisis, merupakan kegiatan menguraikan suatu bahan (fenomena atau bahan pelajaran) ke dalam unsur-unsurnya, kemudian menghubungkan bagian dengan bagian dengan cara disusun dan diorganisasikan. Kemampuan ini merupakan tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada pemahaman dan penerapan karena memerlukan pemahaman isi dan bentuk struktural materi yang dipelajari.
22
e. Mengemukakan pendapat atau berargumen, Pendapat merupakan pemikiran atau perkiraan tentang suatu hal. Selain itu, pendapat bisa didefinisikan sebagai suatu alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak alasan masing-masing. f. Mengevaluasi,
merupakan
kegiatan
mengumpulkan
informasi
tentang
bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan, menyatakan pendapat, member penilaian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun kuantitatif. Mengevaluasi merupakan tindak lanjut dari kegiatan menilai. g. Menyimpulkan atau menginferensi, Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk menginterpretasikan keadaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan fakta. Membuat kesimpulan berawal dari pengumpulan data, kemudian melalui suatu diskusi dibuat kesimpulan sementara berdasarkan informasi yang dimiliki sampai batas tertentu. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran ditengah kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Dengan demikian keterampilan berpikir kritis siswa adalah cara berpikir siswa untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi serta untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis. Seorang yang berpikir kritis adalah orang yang terampil penalarannya. Dia mempunyai kemampuan untuk menggunakan penalarannya dalam suatu konteks dimana penalarannya digunakan sebagai dasar pemikirannya (Kartimi, 2012).
23
Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Dalam berpikir kritis, seseorang dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah atau memperbaiki pikirannya sehingga dia dapat bertindak lebih tepat. Seorang yang berpikir kritis adalah orang yang terampil penalarannya. Dia mempunyai kemampuan utuk menggunakan penalarannya dalam suatu konteks dimana penalarannya digunakan sebagai dasar pemikirannya (Faiz, 2012). Anderson (dalam Mustaji, 2012) menjelaskan ada 6 keterampilan inti berpikir kritis, yaitu : 1) Interpretasi, adalah kemampuan memahami hubungan-hubungan logis antar gagasan 2) Analisis, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengkontruksi argumen 3) Evaluasi, adalah kemampuan untuk mendeteksi inkonsistensi dan kesalahan umum dalam pemberian alasan 4) Eksplanasi, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi ide-ide relevan dan kemampuan dalam mengemukakan gagasan 5) Regulasi diri, adalah kemampuan untuk merefleksikan kebenaran keyakinan dan nilai-nilai diri sendiri. Menurut Ennis (dalam Hassoubah,2008) berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Oleh karena itu, indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa sebagai berikut :
24
Tabel.2.1 Indikator dan aktivitas kritis siswa Indikator kemampuan berpikir kritis
1) Mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan 2) Mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah
3) Mampu memilih argumen logis, relevan dan akurat
4) Mampu mendeteksi bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda
5) Mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan
Aktivitas kritis siswa
1.
Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan 2. Berusaha mengetahui informasi dengan baik 3. Memakai sumber yang memiliki kredibilitasdan menyebutkannya 4. Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar 5. Mencari alasan 6. Berusaha tetap relevan dengan ide utama 7. Bersikap secara sitematis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah 8. Mencari alternatif 9. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu 10. Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan. 11. Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan 12. Bersikap dan berpikir terbuka
Redhana (2008) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMA pada mata pelajaran kimia perlu dilakukan pengujian peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada masing-masing indikator keterampilan berpikir kritis. Indikator keterampilan berpikir kritis 1 sampai dengan 5 berturut-turut adalah: 1.
Menerapkan prinsip utama,
2.
Mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin,
3.
Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan,
4.
Menarik kesimpulan, dan
5.
Menentukan ungkapan yang ekuivalen. Dari pendapat para ahli mengenai indikator-indikator berpikir kritis, maka
peneliti membuat kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut sehingga
25
didapatlah indikator berpikir kritis yang nantinya akan peneliti gunakan di dalam penelitian. Adapun indikator-indikatornya dirangkum sebagai berikut : 1) Tanggap dalam mengenali masalah 2) Merumuskan dan memecahkan masalah 3) Menata dan mengemukakan pendapat/gagasan 4) Mempertahankan pendapat dengan alasan logis 5) Meragukan temuan teman 6) Menemukan bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu masalah 7) Menarik kesimpulan dari berbagai informasi. 2.7
Termokimia Termokimia merupakan pokok bahasan pada pembelajaran kimia semester I
untuk kelas XI SMA. Pengetahuan tentang Termokimia sangat penting dipelajari sehubungan dengan proses reaksi kimia yang terjadi di alam yang berlangsung terus menerus. Pembahasan termokimia merupakan materi yang banyak berisikan prinsip-prinsip dan konsep-konsep kimia diantaranya adalah sebagai berikut: 2.7.1 Hukum Kekekalan Energi Energi merupakan besaran skalar yang menyatakan kemampuan untuk melakukan usaha. Energi merupakan sumber esensial bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Makanan yang kita makan merupakan sumber energi yang memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat bekerja, belajar, dan beraktivitas lainnya. Setiap materi mengandung energi dalam bentuk energi potensial dan energi kinetik. Kedua energi ini dinamakan energi internal. Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat diubah kedalam bentuk lain. Jika energi yang terkandung dalam materi berubah maka perubahan energi
26
dinamakan kalor. Perubahan energi (kalor) pada tekanan tetap dinamakan perubahan entalpi (∆H). 2.7.2 Sistem dan Lingkungan Sistem adalah sesuatu yang menjadi pusat perhatian. Lingkungan adalah daerah yang membatasi sistem. Reaksi kimia yang sedang diamati atau dipelajari disebut sistem, sedangkan segala sesuatu di luar sistem disebut lingkungan. Sebagai contoh apabila kita mereaksikan logam Magnesium dengan larutan HCl dalam tabung reaksi, maka zat-zat yang terdapat dalam tabung adalah sistem sedangkan selain dari itu adalah lingkungan. 2.7.3 Reaksi Eksoterm dan Endoterm Berdasarkan pembakaran energi, jenis reaksi ada 2 yaitu : 1. Reaksi Eksoterm : • Reaksi kimia yang menghasilkan/membebaskan kalor. • Pada reaksi ini terjadi perpindahan kalor dari sistem ke lingkungan menjadi panas (artinya suhu naik). Sehingga kalor dari sistem akan berkurang. Tanda reaksi eksoterm adalah ∆H= - (negatif) 2. Reaksi Endoterm : • Reaksi kimia yang menyerap / memerlukan / menerima kalor. • Pada reaksi ini terjadi perpindahan kalor dari lingkungan ke sistem sehingga suhu lingkungan menjadi dingin.( artinya suhu turun ). kalor sistem akan bertambah. Tanda reaksi endoterm adalah ∆H= + (positif) 2.7.4 Entalpi dan perubahan entalpi 1. Entalpi (H) : • Besarnya energi yang tersimpan di dalam zat. • Entalpi suatu zat tidak dapat diukur,tetapi yang dapat diukur adalah ∆H.
27
2. Perubahan Entalpi (∆H) • Yang menyatakan kalor yan diterima/dilepas oleh suatu reaksi atau : Perubahan entalpi (∆H) merupakan penambahan/pengurangan energi suatu zat dalam suatu proses perubahan energi. • Kalor reaksi adalah Kalor yang diserap atau dilepaskan dalam rekasi kimia. • Perbedaan antara Perubahan Entalpi dengan Kalor reaksi yaitu besarnya sama tapi tandanya berbeda. Contoh penulisan reaksi : 1. Reaksi Eksoterm : A + B → C + x kJ ( + x artinya kalor reaksi ) Atau A + B → C ∆H = -x kJ 2. Reaksi Endoterm : A + B → C - x kJ ( -x artinya kalor reaksi ) Atau A + B → C ∆H = + x kJ 2.7.5 Jenis-jenis perubahan Entalpi (∆H) a.
Entalpi
pembentukan
standar
(∆Hºf),
Besarnya
kalor
yang
diperlukan/dibebaskan untuk pembentukan 1 mol senyawa dari unsurunsurnya. b.
Entalpi Penguraian Standar (∆Hºd), Jumlah kalor yang diperlukan/dibebaskan untuk menguraikan 1 mol suatu senyawa menjadi unsur-unsurnya.
c.
Entalpi pembakaran standar (∆Hºc), Jumlah kalor yang dibebaskan untuk membakar 1 mol zat (unsur/senyawa) pada keadaan standar. Ingat : Pembakaran selalu membebaskan kalor sehingga nilai ∆Hºc = -
d.
Entalpi Pelarutan Standar (∆Hºs), Kalor yang diperlukan /dibebaskan untuk melarutkan 1 mol zat pada keadaan standar.
28
2.7.6 Penentuan Nilai ∆H 1. Perhitungan ∆H reaksi melalui Eksperimen a) Kalor jenis air dan kapasitas kalor • Kalor jenis (c) adalah Kalor jenis yang dibutuhkan oleh 1 gr zat untuk menaikkan suhunya sebesar 1ºC. • Kapasitas Kalor (C) adalah Kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu suatu zat sebesar 1ºC. Rumus : C=mxc Dimana C = Kapasitas Kalor J ºC -1 m = Massa Zat (gr) c = Kalor jenis (J/g/ ºC) Jika terjadi (∆T), perubahan kalor, maka : q = m x c x ∆T Dimana m x c = C, maka : q = kalor yang dibebaskan/diserap ∆T = Perubahan suhu Jika q = +, reaksi Endoterm q = -, reaksi Eksoterm b) Penentuan ∆H reaksi menggunakan Kalorimeter Tekanan Tetap Kalorimeter sederhana banyak digunakan untuk mempelajari reaksi-reaksi dalam larutan. Kalorimeter ini terdiri atas tempat larutan yang akan direaksikan, penutup gabus, batang pengaduk, dan termometer. Tempat larutan terbuat dari bahan yang kapasitas kalornya rendah, seperti plastik. Plastik merupakan bahan nonkonduktor, sehingga jumlah kalor yang diserap atau yang berpindah ke lingkungan dapat diabaikan.
29
Jika suatu reaksi yang berlangsung tergolong reaksi endoterm, maka kalor itu diserap dari larutan di dalam gelas. Jadi, kalor reaksi sama dengan jumlah kalor yang diserap atau yang dilepaskan larutan, sedangkan kalor yang diserap oleh tempat larutan dan lingkungan diabaikan. Rumus : q reaksi = - ( q sistem + q kalorimeter) Atau q reaksi = - q larutan Atau q reaksi + q larutan = 0 2. Perhitungan ∆H reaksi menggunakan Hukum Hess Menurut Hukum Hess : “ Kalor reaksi yang dibebaskan / diperlukan pada suatu reaksi tidak bergantung pada jalannya reaksi,tetapi hanya bergantung pada keadaan awal dan akhir reaksi“. Suatu unsur atau senyawa kimia terbentuk melalui ikatan antar atom penyusunnya, ikatan – ikatan antar memiliki energi maka disebut dengan energi ikat. Pemutusan ikatan antaratom molekul pereaksi dan pembentukan ikatan antaratom molekul produk melibatkan bentuk energi. Adapun selisih energi keduanya disebut perubahan entalpi (∆H). Secara sistematis, besarnya ∆H reaksi dapatditulis sebagai berikut: ∆H reaksi = Energi pemutusan ikatan – Energi pembentukan ikatan
30
2.7.7 Kalor Pembakaran Bahan Bakar Bahan bakar merupakan sumber energi utama yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Para ibu rumah tangga mengandalkan gas elpiji atau minyak tanah sebagai sumber panas yang dipergunakan untuk memasak. Kendaraan bermotor menggunakan bensin atau gasoline dan solar untuk sebagai sumber energi untuk menggerakkan mesin. Pembangkit listrik tenaga diesel juga menggunakan bahan bakar minyak bakar untuk membangkitkan listrik. Bagaimana bahan bakar dibakar dan menghasilkan energi merupakan hal yang sangat kita butuhkan. Beberapa senyawa-senyawa yang ada dalam minyak bumi merupakan contoh mudah kita amati. Misalnya gas butana yang ada dalam gas elpiji: C4H10+ 4,5 O2→ 4 CO2 + 5 H2O ∆H = -685,6 kkal/mol Untuk setiap mol dihasilkan 685,6 kkal, kitadapat mengecek berapa kg gas yang ada di dapur dan kamu dapat menghitung berapa panas yang dihasilkan. Contoh lainnya kita ambil dari beberapa senyawa yang tergolong dalam kelompok parafin, olefin dan naften. Parafin : CH4 + 2 O2 → CO2 + 2 H2O ∆H = -192 kkal C4H10 + 4,5 O2 → 4 CO2 + 5 H2O ∆H = -685,6 kkal Olefin : C2H4 + 2 O2 → CO2 + 2 H2O ∆H = -647,1 kkal C3H6 +4,5 O2 → 3 CO2 + 3 H2O ∆H = -646,1 kkal Naften : C5H10 + 7,5 O2 → 5 CO2 + 5 H2O ∆H = – 793.5 kkal C6H12 + 9 O2 → 6 CO2 + 6 H2O ∆H = – 944,5 kkal
31
Dari data diatas tampak bahwa semakin banyak jumlah atom karbon semakin besar panas yang dihasilkan yang diindikasikan dengan besarnya ∆H yang dihasilkan (Rahayu, 2007). 2.8
Kerangka Berpikir Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir pada umumnya dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada khususnya. Berpikir kritis dipandang sebagai kemampuan berpikir seseorang untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Jika terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk memperoleh penjelasan. Di dalam pembelajaran kimia banyak materi-materi yang membutuhkan suatu pemecahan masalah, baik yang bersifat eksperimen, perhitungan, maupun yang bersifat teori. Termokimia adalah salah satu konsep dalam pelajaran kimia yang sulit dipahami oleh siswa karena membutuhkan keterampilan penalaran untuk menghubungkan antara teori, konsep dan fakta serta aplikasinya dalam kehidupan. Collaborative learning (pembelajaran kolaboratif) adalah proses belajar kelompok yang setiap anggotanya aktif menyumbangkan informasi, pengalaman, ide/pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki untuk bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota (Agustina, 2007). Alat yang digunakan untuk mendorong adanya interaksi antara anggota kelompok tersebut adalah materi atau masalah yang menantang. Maka penggunaan
pendekatan
pemecahan masalah dalam pembelajaran sangat penting untuk menantang siswa
32
mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Pembelajaran kolaborasi yang dipadukan dengan pendekatan pemecahan masalah memungkinkan siswa belajar dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan masalah yang diberikan guru, dengan bertukar pendapat dan saling mengkritisi ide-ide teman dalam kelompoknya sehingga dapat melatih kemampuan berpikir kritis, yang masih kurang menjadi perhatian dalam proses belajar mengajar (Redhana, 2008). Strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah mempunyai beberapa karakteristik yaitu,: Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang. Sebelum siswa belajar dalam kelompok mereka diberi kesempatan untuk mengidentifikasi masalah yang diberikan oleh guru dan merancang strategi penyelesaiannya beberapa saat secara mandiri, kemudian dipersilahkan belajar dalam kelompok (4-5 orang) untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi
ide/gagasan
teman
dalam
kelompoknya,
memilih
strategi
penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan dengan cara saling bertanya dan beradu argumen. Setelah belajar dalam kelompok, siswa menyelesaikan tugas yang diberikan guru secara individual sementara guru berperan sebagai fasilitator, yang berkewajiban memfasilitasi jalannya diskusi kelompok dengan memberi pertanyaan pancingan untuk menghidupkan kolaborasi.
Beberapa
siswa
yang
diberi
kesempatan
mempresentasikan
penyelesaian masalahnya di depan kelas tidak dalam peran mewakili kelompok, tetapi menyampaikan hasil belajarnya sendiri, yang mungkin saja sebagian besar diantaranya ia dapatkan dari diskusi di dalam kelompoknya. Dengan cara yang
33
demikian, maka diharapkan masing-masing siswa akan berupaya lebih keras untuk belajar “sesuatu” dalam kelompoknya agar dapat menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru (Widjajanti, 2008). Penelitian yang dilakukan Fadhila (2015) dengan judul Pengaruh Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan
Siswa
SMAN
10
pembelajaran ini efektif dalam
Semarang,
menyimpulkan
meningkatkan
bahwa
strategi
hasil belajar dan kemampuan
berpikir kritis siswa. Sementara itu, menurut Widjajanti (2008) Strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan juga kemampuan memecahkan masalah. Berdasarkan uraian diatas penulis berasumsi bahwa, penerapan strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah dapat membantu siswa dalam memahami konsep pelajaran yang sulit seperti Termokimia dan menciptakan ruang diskusi antar siswa dalam memecahkan suatu permasalahan, juga memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. 2.9
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh antara keterlaksanaan
strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah dengan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi termokimia di kelas XI MIA SMA N 5 Jambi.