BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Kusta Lepra (penyakit kusta, Morbus Hansen) adalah suatu penyakit infeksi kronis pada manusia yang disebabkan Mycobacterium leprae (M. leprae) yang secara primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis (Amirudin dalam Harahap, 2000). Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah tersebut bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis (dalam Hutabarat, 2008) 2.1.2 Etiologi Menurut Amirudin dalam Harahap (2000), Penyebab penyakit ini adalah Mikobakterium lepra (Mycobacterium leprae, M. lepra). M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya 40 hari – 40 tahun (Mansjoer dkk, 2000). Menurut Entjang (2003), bentuk batang, Gram positif, tahan asam (acidfast), tidak bergerak, sampai sekarang belum dapat dibiakkan.
8
2.1.3 Epidemiologi Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya. (Kokasih dalam Djuanda, 2008) Menurut Amirudin dalam Harahap (2000), Sebenarnya kapan penyakit kusta ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat (Mansjoer dkk, 2000). Penyakit ini menyerang segala umur namun jarang sekali pada anak dibawah usia 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan dengan masa inkubasi yang cukup lama. Namun meskipun sebagian besar penduduk di daerah endemik lepra pernah terinfeksi M. Leprae tidak semua akan terserang penyakit ini karena kekebalan alamiah terhadap kuman tersebut. Diperkirakan sekitar 15% dari populasi didaerah endemis kekebalan tubuhnya tidak cukup untuk membunuh kuman yang masuk dan kemungkinan suatu saat bisa terserang penyakit ini (Edington dalam Lenna, 2004). Menurut Entjang (2003), masa inkubasinya antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Seseorang bisa saja mendapatkan penularan pada masa kanakkanak, tetapi gejala penyakitnya baru muncul setelah dewasa.
9
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim (Mansjoer dkk, 2000). 2.1.4
Diagnosis Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan
gejala-gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu : a. Lesi kulit yang mati rasa Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau kemerahan (eritematous) yang mati rasa. b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan dapa berupa : 1. Gangguan fungsi sensorik
: mati rasa/ kurang rasa
2. Gangguan fungsi motorik
: paresis atau paralysis
3. Gangguan fungsi otonom
: kulit kering, retak, edema.
c. Basil tahan asam (BTA) Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta, maka kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.
10
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta. Pemeriksaan apusan kulit (skin smear) beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan dalam program nasional untuk penegakan diagnosis kusta. Tetapi saat ini program nasional mengambil kebijakan untuk mengaktifkan kembali pemeriksaan skin smear. Pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis karena sekitar 7-10% penderita yang datang dengan lesi PB yang meragukan merupakan kasus MB yang dini. Bila pemeriksaan bakteriologis tersebut juga tidak ditemukan BTA, maka tersangka perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan kemudian atau dirujuk ke dokter spesialis kulit hingga diagnosa dapat ditegakan atau disingkirkan (Ditjen PPM dan PL 2007 dalam Olii, 2009). Diagnosis banding penyakit kulit yang jarang ditemukan: 1. Frambusia
(Yaws) : lesi berupa beberapa benjolan (nodul) yang
berkelompok di tungkai, berwarna merah, permukaan kasar dan terdapat krusta berwarna kuning. Kadang-kadang berulserasi dan sembuh membentuk parut atrofi berwarna agak putih. Gambar wajah tampak lesi atrofi, hipopigmentasi, dan kadang-kadang sensasi terhadap rasa raba dan nyeri agak terganggu. 2. Granuloma Multiforme : penyakit ini pada beberapa tingkatan sangat menyerupai kusta. Pertama kali ditemukan dan terutama ditempat lain di dunia. Penyebabnya masih belum diketahui, kemungkinan merupakan satu
11
varian dari granuloma anulare. Tahap awal ditandai oleh adanya gatal (tidak terjadi pada kusta). Lesi menghilang sendiri cepat atau lambat dan tidak ada respon terhadap pengobatan apapun. Fungsi sensasi, pengeluaran keringat dan saraf perifer normal. 3. Pellagra : bercak dapat menyerupai kusta tipe PB yang sedang mengalami reaksi. Lesi khas, simetris, tanpa keluhan dan seringkali dihubungkan dengan
malnutrisi,
alkoholisme
dan kemiskinan.
Fungsi
sensasi
pengeluaran keringat dan saraf perifer normal. Lesi tersebut (serta keadaan umum pasien) memberikan respon cepat dengan pemberian asam nikotinat (McDougall dan Yuasa, 2005), 2.1.5 Klasifikasi Lepra Menurut WHO 1988 dalam Mardika (2004) membagi lepra atas dua tipe yaitu : 1. Paucibacillary (PB), indeks bakteri < 2+, termasuk indeterminate TT, BT smear negatif 2. Multibacillary (MB), indeks bakteri ≥ 2+, termasuk tipe BT smear positif, BB, BL dan LL.
12
Menurut WHO (1995) dan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP (1990) membagi tipe Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB) Tabel 2.1. Klasifikasi PB dan MB menurut P2MPLP Kelainan kulit dan hasil Tipe PB pemeriksaan bakteriologis 1. Bercak (Makula) a. Jumlah 1-5 b. Ukuran Kecil dan besar c. Distribusi Unilateral atau bilateral simetris d. Permukaan Kering dan kasar e. Batas Tegas f. Gangguan Selalu ada dan jelas sensibilitas g. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak 2. Infiltrat a. Kulit
Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak
Tidak ada
b. Membran mukosa Tidak pernah (hidung tersumbat pendarahan dihidung) 3. Nodulus Tidak ada 4. Penebalan syaraf tepi Lebih sering terjadi dini, asimetris
Tipe MB
Banyak Kecil-kecil Bilateral, simetris Halus, berkilat Kurang tegas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut. Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok.
Ada, kadang-kadang tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada
Kadang-kadang ada Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari satu dan simetris
5. Deformitas
Biasanya asimetris terjadi dini
Terjadi pada stadium lanjut
6. Sediaan apus
BTA negatif
BTA positif
7. Ciri-ciri khusus
Central healing penyembuhan ditengah
Punched out lesion (lesi seperti kue donat), madarosis ginekomastia, hidung pelana, suara sungau.
Sumber Mansjoer (2000)
13
Tabel 2.2. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) Tipe PB
1. Lesi kulit (Makula datar, papul
yang meninggi,
nodus)
Tipe MB
1-5 lesi
>5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi
Distribusi tidak simetris
lebih simetris
Hilangnya sensi yang Hilangnya sensasi jelas kurang jelas
2. Kerusakan
saraf
Hanya satu cabang saraf
(menyebabkan hilangnya sensi/kelemahan
otot
yang
oleh
dipersarafi
Banyak cabang syaraf
saraf yang terkena) Sumber : Kokasih A dalam Djuanda (2008) 2.1.6 Penularan Penyakit Kusta Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama (Mansjoer dkk, 2000). Menurut Entjang (2000), cara penularan melalui kontak langsung maupun tidak langsung, melalui kulit yang ada lukanya atau lecet, dengan kontak yang lama dan berulang-ulang. Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita mempunyai resiko tertular lebih besar.
14
Menurut Mansjoer dkk (2000), Kusta dapat menyerang semua umur, anakanak lebih rentan dari pada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun. 2.1.7
Pengobatan dan Pencegahan
A. Pengobatan 1. Lepra tipe PB Jenis dan obat untuk orang dewasa Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas) a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang) a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan 2. Lepra tipe MB Jenis dan dosis untuk orang dewasa : Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas) a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28 a. 1 tablet Lampren 50 mg b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
15
1 blister untuk 1 bulan Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan 3. Dosis MDT Menurut Umur Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe PB digunakan bagan sebagai berikut : Nama Obat Rifampisin
< 5 tahun
5-9 Tahun 300 mg/bln
10-14 tahun 450 mg/bln
>15 tahun
keterangan
600 mg/bln
Minum di depan petugas
Berdasarkan 25 mg/hari Berat Badan
50 mg/hari
100 mg/hari
Minum di depan petugas
25 mg/hari
50 mg/hari
100 mg/hari
Minum di rumah
DDS
Sumber : Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK (2011)
16
Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe MB digunakan bagan sebagai berikut : Nama Obat Rifampisin
< 5 tahun
5-9 Tahun 300 mg/bln
10-14 tahun 450 mg/bln
>15 tahun 600 mg/bln
Keterangan
25 mg/hari
50 mg/hari
100 mg/hari
Minum di depan petugas
25 mg/hari
50 mg/hari
100 mg/hari
Minum di rumah
100 mg/bln
150 mg/bln
300 mg/bln
Minum di depan petugas
DDS
Berdasarkan Berat Badan
Clofazimine 50 mg 50 mg 50 2 kali setiap 2 mg/hari seminggu hari Sumber : Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK (2011)
Minum di depan petugas
Minum di rumah
Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan a. Rifampisin : 10-15 mg/ kg BB b. DDS
: 1-2 mg/ kg BB
c. Clofazimin : 1 mg/ kg BB B. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
17
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur (Zulkifli, 2003). Sementara itu menurut Entjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah menghindari kontak dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka hygiene badan cukup menjamin pencegahannya. Hygiene lingkungan yang baik dan makanan yang sehat cukup kwalitas maupun kwantitasnya. Usaha pencegahan untuk masyarakat, dilaksanakan dengan menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003). Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan maka pemberantasannya dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu: 1. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam masyarakat untuk diberikan pengobatan yang sebaik-baiknya. 2. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding) a. Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai penderita. b. Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan rumah untuk diberikan pengobatan dan penerangan.
18
c. Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak lepas dari pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena jangka waktu pengobatannya sangat lama, minimal tiga tahun terus menerus. 3. Pendidikan kesehatan tentang penyakit lepra kepada masyarakat : a. Agar masyarakat mempunyai pengertian yang wajar tentang penyakit
lepra
tanpa
membesar-besarkannya
maupun
mengecilkannya. b. Agar masyarakat dapat mengenal gejala penyakit lepra pada tingkat awal, sehingga pengobatan dapat segera diberikan supaya memudahkan penyembuhan dan mencegah terjadinya kecacatan. c. Agar masyarakat tahu bahwa penyakit lepra dapat disembuhkan asal
pengobatan
dilaksanakan
secara
teratur.
Pentingnya
pengobatan ini tidak hanya untuk penyembuhan saja, melainkan juga untuk mencegah penularan kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. d. Agar masyarakat menyadari bahwa penghuni serumah (contact person) harus memeriksakan diri setiap tahun untuk menemukan kasus-kasus yang dini (Entjang , 2000).
19
2.1.8 Evaluasi Pengobatan Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta adalah sebagai berikut : a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan (surveillance)dan dapat dilakukan oleh petugas kusta. d. Masa pengamatan. Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif: a) Tipe PB selama 2 tahun b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium e. Hilang/Out of Control (OOC) Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register pasien. f. Relaps (kambuh) Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT (Depkes dalam Mansjoer dkk , 2000)
20
2.2 Lingkungan Fisik Rumah b. Kondisi Fisik Bangunan Rumah adalah tempat tinggal dimana seluruh anggota rumah tangga tinggal dan menjalankan kegiatan sehari-hari dari makan hingga tidur, sehingga kondisi rumah yang ditempati dapat mempengaruhi status dan derajat kesehatan penghuninya (Badan Pusat Statistik dalam Harun, 2011). Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan dalam Silitonga, 2010). Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu: 1) Rumah permanen, memiliki ciri dinding bangunannya dari tembok, berlantai semen atau keramik, dan atapnya berbahan genteng. 2) Rumah semi-permanen, memiliki ciri dindingnya setengah tembok dan setengah bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng atau asbes, banyak dijumpai pada gang-gang kecil. 3) Rumah non-permanen, ciri rumahnya berdinding kayu, bambu atau gedek, dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng maupun asbes (Silitonga, 2010). Rumah yang sehat tidaklah harus mahal yang terpenting adalah memenuhi syarat rumah sehat serta penghuni dalam rumah dapat hidup dengan baik. Bahan
21
bangunannya tidak harus mahal. Lantai rumah yang terpenting tidak bersentuhan dengan tanah. c. Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan ruangan dari bakteri-bakteri pathogen karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus (Susanta, 2007). Menurut Notoatmodjo ada dua macam ventilasi, yakni : 1. Ventilasi alamiah, dimana aliran udara didalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubanglubang pada dinding dan sebagainya. Dipihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya kedalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk tersebut. 2. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. Perlu diperhatikan disini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak mendeg atau membalik lagi, harus
22
mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah harus ada jalan masuknya dan keluarnya udara (dalam Harun, 2011). Penghitungan luas ventilasi dilakukan dengan cara membagi jumlah luas lubang ventilasi dalam ruangan dibagi luas lantai ruangan tersebut. Bila ruangan digunakan setiap hari, maka ventilasi ruangan tersebut dimasukkan kategori ada, luas ≥ 10% luas lantai (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI dalam Harun, 2011). C. Suhu Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 ºC, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 25 ºC (Susanta, 2007). Suhu dalam rumah akan mempengaruhi derajat kesehatan penghuninya. Menurut Desikan dalam Kartini (2004), Daerah yang panas dengan kelembaban tinggi merupakan faktor mempermudah penularan penyakit. Hal ini terbukti karena M.leprae hidup optimal pada suhu 30-33° C dan kelembaban tinggi. Kuman M.leprae sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman yang dapat hidup dengan baik di suhu 27-30°C . Oleh karena itu suhu dalam ruangan (rumah) harus di jaga agar tidak melebihi batas normal (20°C-25°C). D. Kelembaban Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Secara
umum
penilaian
kelembaban
23
dalam
rumah
dengan
menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan Kualitas Kesehatan Lingkungan dan Pemukiman kelembaban
udara
yang
memenuhi syarat
kesehatan dalam rumah adalah 40-70% (Depkes RI 1994 dalam Fatimah, 2008). Rumah yang memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya, rumah yang lembab akan menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri. E. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian merupakan keadaan dimana kondisi antara jumlah penghuni dengan luas seluruh rumah seimbang dengan jumlah penguninya. Apabila luas rumah tidak seimbang dengan jumlah penguni atau melebihi akan berdampak negatif pada kesehatan (Maku, 2009). Dilihat dari segi kesehatan kondisi rumah dengan padat penghuni atau tidak sesuai dengan ketentuan dapat berpengaruh terhadap penularan penyakit terutama penyakit yang dapat menular lewat udara seperti penyakit kusta. Mukono dalam Harun, (2011), Berdasarkan Dir. Higiene dan Sanitasi Depkes RI, 1993 maka kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (9 m² per orang) dan kepadatan tinggi yaitu lebih 9 m² per orang dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah. Suhu di dalam rumah dipengaruhi oleh jumlah penghuni di dalam rumah dan luas rumah yang ditempati. Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah penghuni akan menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi tinggi dan hal ini yang dapat mempercepat penularan suatu penyakit.
24
2.3 Kerangka Berpikir a. Kerangka Teori Perorangan
Lingkungan
Hygiene Kepadatan Penduduk Lingkungan Fisik :
Kusta PB & MB
Sosial Ekonomi
Pendidikan
Pekerjaan
1. Kondisi fisik bangunan 2. Ventilasi 3. Suhu 4. Kelembaban 5. Kepadatan hunian
Status Gizi Pencahayaan Imunitas
Malnutrisi
25
b. Kerangka Konsep Lingkungan Fisik Rumah 1. 2. 3. 4. 5.
Kondisi fisik bangunan Ventilasi Suhu Kelembaban Kepadatan Hunian
Penderita Kusta
1. Kondisi fisik bangunan : kondisi fisik bangunan rumah yang ditempati dapat mempengaruhi status dan derajat kesehatan penghuninya, baik itu rumah permanen, semi permanen dan non permanen. 2. Ventilasi : ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan sehingga pertukaran oksigen didalam ruangan terjaga. 3. Suhu : suhu rumah yang terjaga serta memenuhi syarat sehingga tidak akan mempengaruhi derajat kesehatan penghuninya. 4. Kelembaban : kelembaban rumah yang terjaga dan memenuhi syarat sehingga tidak menjadi tempat media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri. 5. Kepadatan hunian : keadaan dimana kondisi antara jumlah penghuni dengan luas seluruh rumah seimbang, sehingga tidak mempermudah penularan penyakit yang ditularkan lewat udara.
26