BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
KONSEP TB PARU
2.1.1 Pengertian Tuberkulosis adalah suatu penyakit Granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Robbins, 2007). Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosae. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan merupakan organisame patogen maupun saprofit (Price dan Wilson, 2006). Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, 2000). 2.1.2 Penyebab Penyebab Tuberculosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Kuman mempunyai kandungan lipid kompleks, lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini karena kuman berada dalam sifat Dormant. dan sifat Dormant ini kuman dapat bangkit dan menjadikan Tuberculosis aktif lagi (Soeparman dan Waspadji, 2001). 2.1.3 Patofisiologi
Seseorang di curigai menghirup basil Mycrobacterium tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan napas ke alveoli, di mana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. penyebaran basil ini juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain ( ginjal, tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas). Sistem kekebalan tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag memfagositosis (Menelan) basil dan jaringan Normal. Jaringan ini mengakibatkan terakumulasi eksudat dalam alveoli dan tejadilah bronkopnumonia. Masa jaringan baru di sebut Granuloma, yang berisi gumpalan basil yang hidup dan yang sudah mati, di kelilingi oleh mikrofag yang membentuk dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. bagian tengah dari masa tersebut di sebut Ghon tubercle. Materi yang tediri atas makrofag bakteri menjadi nekrrotik membentuk perkijuan ( Necrotizing caseosa) setelah itu akan terbetuk klasifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi Non-aktif. Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respon sistem imun tidak adekuat. Penyakit aktif juga dapat timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada Ghon tubercle dan akhirnya menjadi perkijauan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan membentuk jaringan
parut.
paru-paru
yang
terinfeksi
kemudian
meradang,
mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel dan seterusnya. Pneumonnia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. proses ini berjalan terus dan basil terus di fagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga berkembang melalaui kelenjar getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit (Membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang di kelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respon berbeda yang akhrinya membentuk satu kapsul yang di kelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2009). 2.1.4 Klasifikasi TB paru Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis radio-logis dan mikrobiologis: TB Paru, Pernah menderita TB Paru, TB Paru tersangka (Soeparman dan Waspadji, 2001). Yang terbagi dalam: a.
TB Paru tersangka yang diobati, disini sputum BTA negatif, tetapi tanda lain positif.
b.
TB Paru tersangka yang tidak diobati, di sini sputum BTA negatif dan tanda lain juga meragukan. Dalam 2-3 bulan, TB Paru tersangka ini sudah harus dipastikan
apakah termasuk TB Paru (aktif) atau bekas TB Paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan:
1) Status bakteriologi; mikroskopik sputum BTA (langsung), biakan sputum BTA. 2) Status radiologis; Kelainan yang untuk tuberkulosis paru. 3) Status kemoterapi; Riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis. 2.1.5 Gejala Klinis. Keluhan yang dirasakan penderita dapat bermacam-macam atau malah tanpa keluhan sama sekali, keluhan yang terbanyak (Soeparman dan Waspadji, 2001) adalah: a.
Demam; Biasanya Subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas badan dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB Paru yang masuk.
b.
Batuk darah; Batuk terjadi karena adanya iritas pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk radang keluar, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
c.
Sesak nafas; Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sifat nafas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah badan paru-paru.
d.
Nyeri dada; Gejala ini agak jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e.
Malaise; Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala, keringat malam hari.
2.1.6 Penatalaksanaan Jenis Obat pengobatan dengan strategi DOTS (Direct Obseved Treadment Short Course) dipermudah dengan pengadaan obat yang telah dipadukan sesuai dengan kategori tersendiri : 1.
Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakteresid, dapat membunuh 90%
populasi dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolisme aktif, yaitu pada saat kuman sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg\kg BB. 2.
Rifampisin (R) Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang persisten
(Dortmant) yang tidak dapat dibunuh oleh Isonasid. Dosis 10 mg\kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. 3.
Pirazinamid (Z)
Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang berada didalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg\kg BB. 4.
Streptomisin (S) Bersifat bakteresid, dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg\kg
BB, sedangkan pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. 5.
Ethambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15
mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg\kg BB. 2.1.7 Komplikasi 1.
Pleuritis dan empiema
2.
Pneumotoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah
terjadi
robekan
pada
kavitas
tuberkulosis.
Hal
ini
mengakibatkan rasa sakit pada dada secara akut dan tiba-tiba pada bagian itu bersamaan dengan sesak napas dan dapat berlanjut menjadi suatu empiema. 3.
Laringitis tuberkulosis
4.
Korpulmonal (gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru).
2.1.8 Cara penularan 1.
Percikan ludah (Droplet infection) Pada saat penderita tuberkulosis batuk akan mengeluarkan droplet
dengan ukuran mikroskopik yang bervariatif. Ketika partikel tersebut berada di udara, air akan menguap dari permukaannya sehingga menurunkan volume dan menaikkan konsentrasi kumannya. Partikel inilah yang di sebut dengan droplet (Crofton, 2002) 2.
Inhalasi debu yang mengandung basil tuberkulosa (Air bone infection) Seorang yang melakukan kontak yang erat dalam waktu yang lama
dengan
penderita
tuberculosis
paru
akan
mudah
tertular
karena
menginhalasi udara yang telah tekontaminasi kuman Tuberculosis (Depkes RI, 2002) 2.1.9 Pencegahan penularan TB Paru. 1.
Penderita menutup mulut pada waktu batuk atau bersin dengan sapu tangan atau punggung tangan.
2.
Penderita tidur terpisah dari keluarganya semasa penularan.
3.
Penderita tidak meludah disembarang tempat tetapi meludah pada tempat tertentu yang sudah diisi dengan air sabun atau lisol.
4.
Mengusahakan agar sinar matahari masuk keruangan tidur penderita secara langsung dan menjemur alat-alat tidur sesering mungkin.
2.1
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU
2.2.1 Agent atau kuman Agent (A) adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit
timbul
atau
manifest,
tetapi
agent
sendiri
tidak
sufficient/memenuhi/mencukup isyarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi. Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi. 2.2.2 Penjamu atau penderita (Host) 2.2.2.1 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam
membentuk
tindakan
seseorang
(Over
behaviour)
(Notoatmodjo, 2007). Adapun
tingkatan
pengetahuan
menurut
Bloom
dalam
Notoatmodjo (2003), tingkatan pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan yaitu : a.
Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam mengingat kembali (Recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari suatu bahan yang dipelajari atas rangsangan yang diterima.
b.
Memahami
(Comprehensif)
Artinya
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi yang benar. c.
Aplikasi (Aplication) Artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
d.
Analisis (Analysis) Artinya kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e.
Sintesis (Synthesis) Artinya kemampuan untuk menghubungkan bagian didalam sesuatu bentuk keseluruhan yang baru.
f.
Evaluasi (Evaluation) Artinya kemampuan untuk melakukan penilaian suatu materi atau objek. Faktor pengetahuan yang merupakan ilmu yang diketahui
seseorang ataupun pengalaman yang dialami oleh seseorang maupun orang lain. Amat terlebih dalam hal ini bagaimana seharusnya seorang yang terdiagnosa TB Paru mengetahui secara jelas dan benar apa sebenarnya penyakit TB Paru ini, dan bagaimana cara penularan dan pencegahannya, terutama dilihat dari kebiasaan penderita yang kurang baik dalam pengelolaan ludah / secret akibat kurangnya pengetahuan (Crofton dkk, 2002). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003). 2.2.2.2 Umur dan jenis kelamin Hampir tidak ada perbedaan antar anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin memiliki daya tahan yang lemah. Sampai berusia dua tahun, infeksi terutama dapat berakibat paling fatal. Sesudah usia satu tahun sampai sebelum masa pubertas, seorang anak yang terinfeksi dapat berkembang menjadi TB Millier atau meningitis, atau salah satu bentuk Tuberculosis kronis yang lebih meluas terutama mengenai kelenjar getah bening, tulang
atau penyakit persendian. Sebelum pubertas bagian lesi paru biasanya hanya mempengaruhi lokasi tersebut. Di Eropa dan Amerika utara, sewaktu Tuberculosis sering di temukan, insiden tertinggi Tuberculosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Informasi terbatas dari afrika dan india tampaknya menunjukan pola yang sedikit berbeda. Prevanlensi tuberkulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada kedua jenis kelamin. Pada wanita prevalensi secara menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam dibandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton dkk, 2002). Umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua. 2.2.2.3 Kondisi sosial ekonomi Status ekonomi, sebuah komponen kelas sosial, mengacu pada tingkat pendapatan dan sumber pendapatan. Pendapatan yang mencukupi
kebutuhan-kebutuhan sebuah keluarga umumnya berasal dari pekerjaan dari para anggota keluarga dan sumber-sumber probadi seperti pension dan bantuan-bantuan (nonpublik), sementra penghasilan dari bantuan-bantuan umum atau pengangguran umumnya bersifat tidak stabil atau benar-benar tidak memadai (Friedman, 1998). Kondisi sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkat pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan pelayanan kesehatan (Sukarni, 1994). LIPI
(2000),
menyatakan
bahwa
penurunan
ringkat
pendapatan
menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli pangan, mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proforsi yang lebih besar untuk bahan makanan di bandingkan untuk kebutuhan bukan makanan seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. WHO (2003), menyebutkan 90% penderita TB Paru di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Keadaan ini mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini mungkin menurunkan daya tahan tubuh, sama halnya dengan memudahkan terjadinya infeksi. Orang-orang yang hidup dengan kondisi ini juga sering bergizi buruk. Kompleks kemiskinan seluruhnya ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi penyakit (Crofton dkk, 2002).
Indicator keluarga miskin (Suprajitno, 2004), yaitu; 1.
Tidak bisa makan dua kali sekali atau lebih
2.
Tidak bias menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk paling kurang seminggu sekali
3.
Tidak bias memiliki pakaian yang berbeda untuk setiap aktivitas
4.
Tidak bisa memperoleh pakaian yang baru minimal satu stel setahun sekali
5.
Bagian terluas dari lantai rumah dari tanah
6.
Luas lantai rumah kurang dari delapan meter persegi untuk setiap penghuni rumah
7.
Tidak ada anggota keluarga berusia 15 tahun mempunyai penghasilan tetap
8.
Bila anak sakit/PUS ingin ber-KB tidak bisa kefasilitas kesehatan
9.
Anak berumur 7-15 tahun tidak bersekolah. Upah Minimum Provinsi (UMP) Gorontalo pada 2013 mengalami
kenaikan signifikan. Sesuai Keputusan Gubernur Gorontalo nomor 433/12/XI/2012 disebutkan, besaran UMP Gorontalo pada 2013 sebesar Rp 1,175 juta per bulan. Ketentuan tersebut berlaku sejak Januari 2013. Keputusan Gubernur yang ditetapkan pada 26 November 2012 tersebut didasarkan pada nilai kebutuhan hidup layak (KHL) hasil survey, produktivitas makro, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja serta kondisi usaha.
2.2.2.4 Kekebalan Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan. Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberivaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya, (basil ini berasal dari suatu strain TB bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium). BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG, TB dapat memasuki tubuh, tetapi dalam kebanyakan kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh kuman-kuman tersebut (Crofton dkk, 2002). Percobaan-percabaan terkontrol di beberapa Negara barat, dengan sebagian besar anak bergizi cukup, menunjukan bahwa BCG dapat memberikan 80 perlindungan terhadap Tuberculosis selama 15 tahun bila diberikan infeksi pertama kali (Crofton dkk, 2002). Efek BCG mungkin bertahan sampai 15 tahun, setidaknya pada populasi bercukupan gizi. Sebab itu beberapa Negara mencoba mengulangi BCG pada usia sekitar 15 tahun, akan tetapi ternyata sulit untuk menjangkau seluruh populasi pada usia ini. Oleh karena efek utama vaksinasi bayi adalah untuk melindungi anak-anak dan arena anak dengan tuberkulosis
primer biasanya tidak menular. BCG kecil dampaknya untuk mengurangi jumlah orang dewasa yang infeksius didalam masyarakat. Untuk mengurangi jumlah tersebut jauh lebih penting adalah memberikan pengobatan yang baik kepada semua pasien dengan dahak positif, tetapi kita harus memberikan BCG secara rutin kepada semua bayi sebagai perlindungan di masa anak-anak (Crofton dkk, 2002). 2.2.2.5 Status gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru. 2.2.2.6 Penyakit infeksi HIV Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIVmeningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula. 2.2.2.7 Kebiasaan merokok Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan‐ bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan
berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang disekitarnya yang tidak merokok, merokok dapat menyebabkan sistim imun di paru menjadi
lemah
sehingga
mudah
untuk
perkembangan
kuman
Mycobacterium. Mengurangi konsumsi tembakau secara nasional akan membantu mencegah tuberkulosis, sama halnya dengan mencegah kanker paru (dan kanker lain), penyakit jantung koroner, bronchitis kronis dan sebagainya (Crofton dkk, 2002). 2.2.2.8 Riwayat kontak penderita Percikan dahak penderita merupakan media sumber penularan yang penting. Kuman tuberkulosis paru dapat menyebar ke udara waktu penderita berbicara, batuk atau bersin sehingga orang yang berada disekitar penderita dapat tertular kerena mengirup udara yang mengandung basil tuberkulosis. Kerena itu penderita harus menutup mulut bila batuk atau bersin, jangan membuang dahak disembarangan tempat. Terdapatnya penderita tuberkulosis dalam satu rumah dapat menyebabkan terjadinya kontak serumah dengan anggota keluarga lain. Satu penderita tuberkulosis paru BTA positif dapat menularkan kepada 10-15 orang (GPBK, 2003). Riwayat kontak keluarga dari pasien tuberkulosis yaitu seorang pasien dengan dahak positif sering kali akan menularkan anggota
keluarganya sendiri, khususnya anak-anak. Jelaslah keluarga merupakan kontak yang dekat (Crofton dkk, 2002) 2.2.3 Lingkungan Lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian TB, Pada umunya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB. 2.2.3.1 Kelembaban udara Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang pedoman penyehatan udara dalam ruang rumah: a.
Dampak Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme. b.
Faktor resiko Konstruksi rumah yang tidak baik seperti atap yang bocor, lantai, dan
dinding rumah yang tidak kedap air, serta kurangnya pencahayaan baik buatan maupun alami.
c.
Upaya Penyehatan 1.
Bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan antara lain :
a) Menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban seperti Humidifier (alat pengatur kelembaban udara) b) Membuka jendela rumah c) Menambah jumlah dan luas jendela rumah d) Memodifikasi fisik bangunan (meningkatkan pencahayaan, sirkulasi udara) 2.
Bila
kelembaban
udara
lebih
dari
60%,
maka
dapat
dilakukanupaya penyehatan antara lain : a) Memasang genteng kaca b) Menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban seperti Humidifier (alat pengatur kelembaban udara). Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan Hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40‐60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteri mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi
karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri‐bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis. 2.2.3.2 Ventilasi rumah Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: Ventilasi alam dan ventilasi buatan. Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: 1.
Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
2.
Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain‐lain.
3.
Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barangbarang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain‐lain. Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. 4.
Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasikarbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya prose spenguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri‐bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri‐bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. 2.2.3.3 Suhu rumah Adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi:
1.
Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24-34ºC.
2.
Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20‐25ºC. Secara
umum,penilaian
suhu
rumah
dengan
menggunakan
thermometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syaratkesehatan adalah antara 20‐25 ºC, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 25 ºC Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya.Suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Bakteri Mycobacterium tuberculosa memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25‐40 º C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31‐37 º C.
2.2.3.4 Pencahayaan Rumah Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan
yang
memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca. Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a.
Cahaya Alamiah Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena
dapat membunuh bakteri‐bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC, Oleh karena itu, rumah yang cukup sehat setidaknya harus mempunyai
jalan
masuk
yang
cukup
(jendela),
luasnya
sekurang‐kurangnya 15 % ‐ 20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. b.
Cahaya Buatan Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya
yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain‐lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (Brightness Of The Source). Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah‐tengah
ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50‐300lux. Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman Mycobacterium tuberculosa. Menurut Depkes RI (2004), kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadp kejadian tuberkulosis..Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3‐7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.
2.2.3.5 Kepadatan penghuni Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan over crowded, hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurang konsumsi O2, juga bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi penyakit menular akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain. Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia Nomor : 403/ Kpts/M/2002 Tentang Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, luas kamar tidur minimal 9 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu
ruangan.Persyaratan tersebut diatas berlaku juga terhadap kondisi minimum, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan
dan
lingkungan
pemukiman
menjadi
tanggung
jawab
pengembang atau penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah tinggal untuk rumah. ( Soedjajadi, 2005 ). 2.2.3.6 Lantai rumah Lantai rumah merupakan faktor resiko terjadinya penyakit TBC. Lantai tanah memiliki peran terjadinya penyakit TBC melalui kelembapan ruangan. Lantai perlu dilapisi dengan semen yang kedap air agar ruangan tidak lembab. Lantai yang lembab dapat memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan hidup kuman TBC dalam lingkungan.
2.3
KERANGKA TEORI TB PARU
KONSEP TB PARU 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pengertian Penyebab Patofisiologi Klasifikasi Gejala klinis Penatalaksanaan Komplikasi Cara penularan Pencegahan penularan
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU 1. Agent atau kuman 2. Penjamu/penderita (host) a. Pengetahuan b. Umur dan jenis kelamin c. Social ekonomi d. Kekebalan e. Statu gizi f. Penyakit infeksi HIV g. Kebiasaan merokok h. Adanya kontak dengan penderita 3. Lingkungan rumah a. Kelembaban udara b. Ventilasi rumah c. Suhu rumah d. Pencahayaan rumah e. Kepadatan penghuni rumah f. Lantai rumah
Kejadian TB paru
Gambar 2.1 Kerangka teori
2.4
KERANGKA KONSEP Variabel Independent
Variabel Dependent
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU 1. Agent atau kuman 2. Penjamu/penderita (host) a. Pengetahuan b. Umur dan jenis kelamin c. Social ekonomi d. Kekebalan e. Statu gizi f. Penyakit infeksi HIV g. Kebiasaan merokok h. Adanya kontak dengan penderita 3. Lingkungan rumah a. Kelembaban udara b. Ventilasi rumahSuhu rumah c. Pencahayaan rumah d. Kepadatan penghuni rumah e. Lantai rumah
Gambar 2.2 Kerangka konsep Keterangan: : variabel yang di teliti
Kejadian TB Paru
2.5
Hipotesis Penelitian Hₒ: 1. Tidak ada hubungan antara faktor pengetahuan dengan kejadian penyakit TB Paru. 2. Tidak ada hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan kejadian penyakit TB Paru. 3. Tidak ada hubungan antara faktor kepadatan penghuni dengan kejadian penyakit TB Paru Hₐ: 1. Ada hubungan antara faktor pengetahuan dengan kejadian penyakit TB paru. 2. Ada hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan kejadian penyakit TB paru. 3. Ada hubungan antara faktor kepadatan penghuni dengan kejadian penyakit TB paru.